• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meninjau Kembali Kebijakan dan Program Reunifikasi Anak Jalanan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Meninjau Kembali Kebijakan dan Program Reunifikasi Anak Jalanan di Indonesia"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Muhrisun

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: risonaf@yahoo.com

Abstract

For the umpteenth time, various programs have been developed in response to the problems of street children in Indonesia. The government has officially attempted to address the problems through a number of avenues. However, the overall effort appears to be cursory at best. Only a small number of street children seem to benefit from the official programs, while the number of this population continues to climb.

In spite of the failures of previous programs, the government seems to be reluctant to change its position and to undertake alternative approaches in addressing the problems of street children. Intervention programs for street children in Indonesia, at the provincial and regional levels, are uniformly developed in the form of national programs. Consequently, local culture and knowledge are not adequately reflected in the framework and approaches that the provincial and regional governments bring to the implementation of programs for street children. This severely reduces the value and impact of the programs.

Drawing from an extensive case study on the intervention programs for street children in Yogyakarta Province, this study explores the major problems surrounding the national intervention programs for street children in Indonesia. It focuses on how national policy and programs are implemented at the provincial and regional levels. For this purpose, this study employed a qualitative approach and used a twofold research methodology, a combination of analyzing the pertinent documentation relating to policy and programs for street children along with serial interviews conducted with key informants from government offices and non-governmental institutions (NGOs).

Keywords: Street Children, intervention, reunification

*Artikel ini merupakan hasil penelitian yang didanai oleh Puslitbit Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

(2)

I. Pendahuluan

Beragam kebijakan dan program telah dikembangkan oleh pemerintah sebagai jawaban atas permasalahan anak jalanan di Indonesia. Pemerintah telah secara resmi berupaya–dengan menggunakan berbagai pendekatan–untuk mengatasi masalah anak jalanan tesebut. Namun keseluruhan upaya itu terkesan hanya bersifat formalitas dan dilakukan dengan sepintas lalu. Hanya sebagian kecil anak jalanan yang benar-benar menerima manfaat program-program dari pemerintah tersebut, sementara itu jumlah anak jalanan terus mengalami meningkat tajam dari hari ke hari.

Meskipun demikian, pemerintah terkesan enggan mengubah kebijakan dan programnya dengan mengambil langkah alternatif dalam menangani permasalahan anak jalanan. Program-program intervensi bagi anak jalanan di Indonesia, di tingkat provinsi dan kabupaten, dikembangkan secara seragam dalam bentuk program nasional. Akibatnya, kerangka kerja dan pendekatan yang di kembangkan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program bagi anak jalanan cenderung kurang mengakomodir pengetahuan dan budaya lokal, sehingga berdampak pada kurang efektinya beberapa program yang ada saat ini.

Dengan menggunakan studi kasus yang dilakukan secara ekstensif mengenai program-program penanganan anak jalanan di Provinsi Yogyakarta, penelitian ini berusaha menganalisis berbagai masalah besar yang menyelimuti program-program nasional bagi anak jalanan di Indonesia secara keseluruhan. Penelitian ini berfokus pada bagaimana kebijakan dan program-program nasional diimplementasikan pada tingkat provinsi dan kabupaten. Untuk tujuan itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metodologi penelitian yang merupakan kombinasi antara analisis atas dokumen-dokumen terkait dengan kebijakan dan program bagi anak jalanan dan serangkaian wawancara yang melibatkan berbagai pihak terkait dari kantor-kantor pemerintahan dan lembaga non-pemerintahan.

Kebijakan dan program perlindungan serta pemenuhan hak-hak anak yang hidup di jalan di DIY sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kategori, yakni upaya pencegahan (preventif) terhadap anak-anak yang rentan untuk turun ke jalan karena berbagai alasan serta upaya perlindungan (protektif-rehabilitatif) terhadap anak-anak yang sudah berada atau hidup di jalan dengan beragam resikonya. Langkah pencegahan dimaksudkan sebagai upaya antisipatif, dimana dalam hal ini program pemerintah difokuskan pada anak-anak yang sebenarnya belum masuk dalam komunitas anak jalanan, namun mereka memiliki tingkat kerentanan tinggi untuk hidup di jalan karena berbagai alasan. Salah satu faktor utama yang mendorong anak turun ke jalan adalah ketidakberfungsian peran keluarga dalam pengasuhan anak secara ideal, baik karena

(3)

faktor ekonomi maupun karena faktor-faktor terkait lainnya, termasuk di dalamnya faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Oleh karena itulah program-program pemerintah terkait pencegahan ini lebih banyak difokuskan pada upaya pemberdayaan keluarga melalui berbagai kegiatan. Di antara beberapa program yang telah dijalankan pemerintah terkait penguatan keluarga ini antara lain kampanye atau edukasi tentang parenting skill, pengembangan ekonomi produktif, dan pelatihan-pelatihan terkait lainnya. Upaya penguatan keluarga diharapkan dapat menjadi jaring pengaman sosial (social safety net) yang dapat membantu mencegah anak turun ke jalan.

Adapun langkah Perlindungan (protektif-rehabilitatif) terhadap anak jalanan dimaksudkan sebagai upaya intervensi yang dilakukan pemerintah terhadap anak-anak yang sudah hidup di jalan dengan beragam resikonya. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini terfokus pada program pemenuhan hak-hak anak yang tercabut atau tidak dapat dipenuhi karena mereka berada dan hidup di jalanan, antara lain seperti hak identitas, hak pengasuhan, hak atas kebutuhan dasar, hak kesehatan, hak pendidikan, serta hak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum, mengingat kehidupan di jalan membuat mereka sangat rentan untuk terlibat dalam kasus-kasus hukum, baik keterlibatan mereka sebagai korban maupun sebagai pelaku.

Sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak yang hidup di jalan ini ada beberapa langkah penting yang merupakan bagian dari mandat yang ditekankan baik dalam Peraturan Daerah Nomor 6/2011 maupun Peraturan Gubernur DIY Nomor 13/2012, antara lain:

Pertama, upaya pemetaan data secara berkala tentang populasi anak yang hidup di jalan. Pemetaan data ini dirasa sangat penting karena komunitas anak jalanan sendiri sangat beragam klasifikasi, persoalan dan latar belakangnya. Ada indikasi kuat bahwa ketidakberhasilan program-program pemerintah terkait anak jalanan selama ini disebabkan karena lemahnya pendataan, sehingga banyak kebijakan dan program yang cenderung salah sasaran. Dalam hal ini pemerintah daerah membentuk tim khusus dari berbagai elemen, termasuk di dalamnya pekerja sosial, yang bekerja secara profesional melakukan pendataan dan asssessment terhadap anak-anak yang hidup di jalan beserta keluarganya.

Kedua, penjangkauan (outreach) merupakan aspek lain yang ditekankan dalam kedua kebijakan pemda DIY terkait anak jalanan. Dalam hal ini kebjikan yang ada mensyaratkan adanya standar operasional prosedur (SOP) dalam proses penjangkauan terhadap anak di jalan yang menjunjung tinggi hak-hak dan kepetingan terbaik anak. Prinsip-prinsip perlindungan anak menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan desain dan proses penjangkauan anak-anak di jalan dengan harapan agar tidak terjadi

(4)

lagi sistem penjangkauan dengan pola lama yang represif dan cenderung mengabaikan kepentingan dan hak-hak anak.

Pada akhirnya, muara dari keseluruhan kebijakan perlindungan dan pemenu-han hak-hak anak yang hidup di jalan adalah upaya reunifikasi/reintegrasi mereka dengan keluarga dan lingkungan sosialnya yang lebih baik. Pada hakekatnya, orang tua merupakan eleman penting dalam proses tumbuh kembang anak yang tidak bisa di gantikan perannya oleh pihak manapun. Idealnya, keluarga dan rumah tangga yang kon dusif merupakan tempat dimana anak seharusnya berada dan menjalani poses perkembangannya.

Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar anak-anak yang hidup di jalan tidak memiliki orang tua atau keluarga yang secara positif mendukung proses tumbuh kembangnya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari program reintegrasi/ reunifikasi ini, pemerintah juga diamanatkan oleh kebijakan yang ada untuk secara berkesinambungan mempersiapkan pihak orang tua, keluarga dan lingkungan sosial yang mendukung proses asimilasi anak ke dalam kehidupan sosial yang lebih positif. Dalam prosesnya, sistem pengasuhan alternatif (berbasis lembaga maupun non-lembaga) merupakan salah satu proses antara atau bentuk tansisi yang dipilih untuk menjembatani anak dan keluarganya menuju proses reunifikasi yang sesunguhnya.

Namun demikian, berkaca pada implementasi kebijakan dan program terkait penanganan masalah anak jalanan di tingkat nasional selama ini, ada indikasi kuat bahwa beragam langkah terobosan dan pedekatan alternatif yang ditempuh oleh pemerintah selama ini untuk melakukan reunifikasi anak jalanan dengan keluarganya sangat sulit untuk memperoleh hasil yang maksimal sebagaimana yang diharapakan. Jumlah anak yang hidup di jalanan sendiri tetap mengalami peningkatan di hampir semua wilayah di Indonesia dari hari ke hari, sementara jumlah anak yang menerima manfaat dari program pemerintah masih cenderung terbatas.

Tidak konsistennya berbagai kebijakan pemerintah pada level konseptual dan empiris turut berperan dalam pembentukan budaya politik yang tidak mengupayakan keberlanjutan program perlindungan bagi anak-anak yang hidup di jalan. Konsep perlindungan anak dalam praktiknya masih diterjemahkan ke dalam mekanisme korektif dan pendekatan rehabilitatif. Berbagai tindakan represif masih menjadi model dominan dalam program-program pemerintah pusat, meskipun dibungkus dengan label perlindungan. Kegagalan pelaksanaan program-program nasional juga disebabkan oleh minimnya sumber daya manusia di tingkat provinsi dan kabupaten. Sedikitnya sumber daya yang mampu memahami dan mengimplementasikan gagasan dan program nasional dengan benar merupakan faktor penting bagi kegagalan kebijakan dan program pemerintah selama ini, terutama di tingkat daerah.

(5)

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa, pada akhirnya, muara dari ke-seluruhan kebijakan dan program perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak jalanan adalah upaya reunifikasi/reintegrasi mereka dengan keluarga dan lingkungan sosialnya yang lebih baik. Penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya evaluasi atas implementasi kebijakan dan program perlindungan anak yang hidup di jalanan di wilayah Provinsi DIY, khususnya implementasi program reunifikasi yang ada selama ini. Adapun yang menjadi inti pertanyaan (research question) dalam penelitian ini adalah: ‘Bagaimanakah pendekatan reunifikasi anak jalanan di DIY, khususnya pendekatan yang berbasis agama, diimplementasikan di lapangan?’

Secara rinci pertanyaan penelitian tersebut dapat dijabarkan menjadi 2 (dua) pertanyaan, antara lain:

1. Bagaimanakah kebijakan dan program reunifikasi dan reintegrasi anak jalanan diimplementasikan di DIY selama ini?

2. Bagaimanakah bentuk pendekatan alternatif berbasis agama serta bagaimanakah signifikansi dari pendekatan tersebut dalam mendukung program reunifikasi dan reintegrasi anak jalanan dengan keluarga dan lingkungan sosialnya?

Penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya evaluasi atas implementasi kebijakan dan program perlindungan anak yang hidup di jalanan di wilayah Provinsi DIY, khususnya implementasi program reunifikasi yang ada selama ini. Secara khusus penelitian ini terfokus pada upaya menggali pendekatan-pendekatan alternatif dalam mendukung program reunifikasi anak jalanan dengan keluarga dan lingkungan sosialnya yang lebih baik. Karena pada hakekatnya, sebagaimana telah disinggung di atas, orang tua dan lingkungan sosial yang sehat merupakan eleman penting dalam proses tumbuh kembang anak yang tidak bisa digantikan perannya oleh pihak manapun.

II. Metode Penelitian

Pendekatan kulatitatif diaplikaskan dalam penelitian ini guna menggali data tentang implementasi program perlindungan anak jalanan di DIY khususnya dan di Indonesia pada umumnya, khususnya terkait program reunifikasi anak jalanan dengan keluarga dan lingkungan sosialnya. Namun demikian penelitian ini juga menggunakan data kuantitatif yang digunakan sebagai baseline data guna menjelaskan persoalan umum komunitas anak jalanan di Indonesia.

Data sekunder yang terkait dengan anak-anak yang hidup di jalan dikumpulkan dari berbagai lembaga, baik pemerintah DIY, Pemerintah kabupaten/Kota, LSM maupun lembaga lainnya. Selain itu data yang berbasis website juga menjadi salah satu

(6)

acuan dalam kajian ini. Data dapat berbentuk data populasi, data sasaran pelayanan, laporan program dan kegiatan serta informasi terkait lainnya.

Karena alasan etika penelitian, tidak ada anak-anak yang secara langsung dilibatkan dalam proses wawancara. Wawancara mendalam dilakukan terhadap sejumlah partisipan atau narasumber sebagai berikut:

1. Perwakilan komunitas jalanan

2. Orang tua atau keluarga anak yang hidup di jalan 3. Pejabat pemerintah

4. Pakar tentang isu perlindungan anak

5. Aktivis dari lembaga kesejahteraan anak berbasis agama (Islam) 6. Tokoh masyarakat

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu dengan cara data yang telah dihimpun selanjutnya disusun secara sistematis, diinter-pretasikan, dan dianalisis sehingga dapat menjelaskan pengertian dan pemahaman tentang gejala yang diteliti. Ada 3 (tiga) jalur yang digunakan untuk melakukan analisis tersebut, yakni:

a. Reduksi data (data reduction) merupakan proses seleksi, pemfokusan, penye-der hanaan dan abstraksi data kasar yang ada dalam fieldnote (catatan lapangan). Reduksi data dilakukan selama penelitian berlangsung, dimana hasilnya data dapat disederhanakan dan ditransformasikan melalui seleksi ketat, ringkasan serta penggolongan dalam satu pola.

b. Penyajian data (data display) adalah rakitan organisasi informasi yang memung-kinkan kesimpulan atas riset yang dilakukan, sehingga peneliti akan mudah memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

c. Penarikan kesimpulan (conclusion drawing). Proses ini dilakukan dari awal pengum pulan data. Dalam hal ini peneliti harus mengerti apa arti dari hal-hal yang ditelitinya, dengan cara pencatatan peraturan, pola-pola, pernyataan konfigurasi yang mapan dan arahan sebab-akibat sehingga memudahkan dalam pengambilan kesimpulan (Miles & Huberman, 1992; 15-19).

Ketiga komponen analisis data di atas dalam aplikasinya membentuk sebuah interaksi antara ketiganya dengan proses pengumpulan data sebagai sebuah siklus, dimana sifat interaksi ketiganya berjalan terus menerus dari proses awal peneliti turun ke lapangan hingga selesainya proses penelitian (HB Sutopo, 1988; 37).

(7)

III. Hasil dan Pembahasan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, komitmen kuat dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk meningkatkan sistem perlindungan terhadap anak yang hidup di jalan salah satunya ditandai dengan lahirnya 2 (dua) kebijakan baru yang diharapkan memunculkan langkah-langkah terobosan bagi penyelesaian masalah anak jalanan di daerah ini. Kedua kebijakan tersebut antara lain Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan serta Peraturan Gubernur DIY Nomor 13 tahun 2012 tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang Hidup di Jalan.

Implementasi dua kebijakan tersebut sudah memasuki tahun ke lima. Namun demikian belum ada indikasi kuat bahwa beragam langkah terobosan dan pendekatan alternatif yang ditempuh oleh pemerintah selama ini memiliki dampak yang signifikan bagi penyelesaian persoalan anak jalanan di wilayah DIY. Jumlah anak yang hidup di jalanan tidak kunjung mengalami penurunan, bahkan ada indikasi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sementara jumlah anak yang menerima manfaat dari kebijakan dan program pemerintah tersebut masih cenderung terbatas. Data dari kajian ini menunjukkan gambaran di lapangan tentang implementasi 2 (dua) kebijakan pemerintah DIY tersebut. Berbagai kendala teridentifikasi dalam kajian ini yang menyebabkan implementasi kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan sebagaimana yang ditargetkan.

A. Kerancuan Pemahaman Arah Kebijakan Anak Jalanan

Pretensi dari kebijakan baru pemerintah, khususnya pemerintah DIY terkait anak jalanan ini adalah upaya dekonstruksi terhadap paradigma lama, yakni perubahan dari pendekatan kontrol dan kriminalisasi menuju paradigma baru yang mengedepankan upaya perlindungan anak melalui upaya pemenuhan hak-hak mereka. Namun demikian data di lapangan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan dan program anak jalanan di DIY masih cenderung berpegang pada pola dan paradigma lama. Program-program yang sudah dijalankan selama lebih dari dua tahun terakhir ini terfokus hanya pada individu anak sebagai obyek sasaran (Castanon, 1998; Ferguson, 2003), sementara pihak dan faktor terkait lainnya, termasuk keluarga dan lingkungan belum sepenuhnya menjadi bagian dari framework implementasi kebijakan itu sendiri.

Dalam hal ini, seperti telah disinggung juga di atas sebelumnya, ada 2 (dua) kecenderungan utama dalam kebijakan dan program-program yang ada selama ini. Pertama, kebijakan dan program terkait anak jalanan tersebut cenderung menyoroti berbagai bentuk perilaku yang dianggap menyimpang yang ditunjukkan oleh anak

(8)

jalanan. Menjadi anak jalanan seolah-oleh identik dengan bentuk kenakalan dan perilaku menyimpang. Dalam hal ini langkah-langkah yang ditempuh cenderung menjadikan anak sebagai obyek sasaran perubahan perilaku, sementara itu aspek-aspek lain di sekelilingnya, termasuk pengaruh orang tua dan ketidakberfungsian keluarga cenderung terabaikan.

Kedua, beberapa program anak jalanan lainnya cenderung melakukan romantisasi yang berlebihan tentang kondisi anak jalan, sehingga gambaran obyektif tentang persoalan dan apa yang sebenarnya dibutuhakn oleh mereka tidak pernah terkespose dengan benar (Beazley, 1999). Dominannya kedua jenis pendekatan tersebut telah berdampak pada minimnya penerapan langkah-langkah strategis, seperti model asesmen yang berbasis bio-psycho-social-spiritual, sebagaimana diintrodusir oleh kedua kebijakan baru tersebut.

Langkah perlindungan bagi anak jalanan tersebut tidak semata-mata bertujuan untuk mengentaskan anak dari kehidupan di jalan, sebagaimana yang lazim dipahami selama ini. Perlindungan yang diharapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2011, misalnya, meliputi upaya menjamin pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. Lebih lanjut, perlindungan tersebut juga meliputi upaya melindungi anak jalanan dari bentuk-bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (Pasal 3).

Secara garis besar upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak jalanan yang digariskan oleh Perda Nomor 6 tahun 2011 dan Pergub Nomor 13 tahun 2012 diselenggarakan melalui 4 (empat) langkah startegis, yakni: Upaya pencegahan, upaya penjangkauan, upaya pemenuhan hak, dan/atau upaya reintegrasi sosial.

Upaya pencegahan menjadi salah satu komponen yang ditekankan dalam dua kebijakan tersebut, dengan maksud sebagai upaya preventif untuk menekan pertumbuhan komunitas anak yang hidup di jalan di DIY. Pendekatan yang dipakai pemerintah selama ini cenderung terfokus pada aspek kuratif dengan menafikan pentingnya upaya membendung anak-anak yang rentan untuk ikut turun ke jalan. Anton (bukan nama sebenarnya), salah seorang child protection specialist yang bekerja untuk salah satu LSM, memberikan apresiasi atas langkah pemerintah ini.

‘Kalau dari sisi konsep keberpihakan pada hak-hak anak saya akui Perda anjal ini memang lebih kuat ya. Alur filosofi dan muatannya sangat kuat dan memang pro anak, harus kita akui itu. Tapi itu dalam konsep ya, karena praktiknya nanti gimana kita masih menunggu.... Saya senang juga baca ada penekanan pada upaya-upaya preventif. Harusnya kita memang mainnya lebih di situ. Selama ini kan seperti menunggu saja.

(9)

Artinya seolah-olah kita tunggu sampai anak itu kondisinya parah baru kita intervensi. Langkah preventif itu kan seperti kita siap-siap sebelum hujan dan banjir datang. Kalau telat persiapannya ketika banjir sudah datang ya nggak ada gunanya. Tapi ya itu, kita tunggu bagaimana apakah praktik dan implikasinya sesuai dengan konsep’ (Interview, 22 September 2016).

Aspek penting lain dari kedua kebijakan tersebut adalah dijadikannya upaya reintegrasi/reunifikasi anak jalanan dengan keluarga dan lingkungan sosialnya yang lebih baik sebagai muara dari keseluruhan kebijakan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak yang hidup di jalanan. Termasuk dalam rangkaian pendekatan ini adalah pemberdayaan keluarga dan masyarakat sebagai bagian tidak terpisahkan dari program intervensi untuk anak jalanan sebagaimana diamanatkan oleh kedua kebijakan pemerintah DIY tersebut. Hal ini banyak ditanggapi positif oleh responden yang terlibat dalam kajian ini, karena pendekatan itu dirasa paling sesuai dengan filosofi perlindungan anak, dimana pada hakekatnya orang tua, keluarga, dan masyarakat merupakan eleman penting dalam proses tumbuh kembang anak yang tidak bisa digantikan perannya oleh lembaga perlindungan anak.

Namun demikian beberapa pihak merasa masih belum cukup yakin bahwa kebijakan reunifikasi dan reintegrasi ini akan berjalan sebagaimana yang ditargetkan, terutama mengingat kesiapan sumber daya dan juga kesiapan para pemangku kebijakan. Anton (bukan nama sebenarnya) memberikan komentar yang senada tentang hal ini:

‘Sama dengan kebijakan yang lain, kita masih menunggu kesiapan pemerintah mengimplementasikannya. Kalau dari sumber daya yang ada saat ini saya pesimis bahwa program-program yang ada akan berjalan dengan baik. Maaf ya, orang-rangnya kan masih sama, itu-itu saja dari dulu, dan saya kira mereka juga tidak aktif mengembangkan diri dengan baik ya, artinya tidak memperbaharui pengetahuan dan wawasannya... Seperti reintegrasi itu kan tidak bisa instan perencanaannya. Mau diintegrasikan gimana kalau kesiapan keluarga dan masyarakat tidak ditata dulu. Begitu juga yang lain ya, saya kira kita harus tetap optimis tapi ya harus tetap di kawal pelaksanaannya’ (Interview, 22 September 2016).

Salah satu temuan menarik dari kajian ini adalah bahwa, meskipun memiliki perspektif berbeda, semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini baik dari pihak pemerintah maupun LSM, menyatakan pendapat yang sama bahwa kebijakan dan program pemerintah bagi anak yang hidup di jalan di DIY masih belum cukup efektif untuk mengatasi kompleksitas persoalan yang ada. Dari pendapat para responden kajian ini terlihat jelas bahwa dari sisi konseptual hampir kebanyakan dari mereka cukup optimistis dengan filosofi dan arah dari kedua kebijakan pemerintah DIY tentang anak jalanan tersebut.

(10)

Namun demikan, salah satu hal yang membuat sebagian responden pesimistis adalah kenyataan bahwa implementasi kedua kebijakan tersebut meniscayakan adanya perubahan perspektif, sikap dan komitmen penuh dari para penyelenggara negara, aparat pemerintahan, penegak hukum, serta pihak-pihak terkait perlindungan anak di DIY untuk melaksanakan mandat mereka sebagaimana diatur dalam kebijakan yang ada. Lebih lanjut, beberapa pihak memandang bahwa tanpa adanya perubahan yang fundamental terkait cara pandang, sikap dan komitmen para pemangku kebijakan, program-program baru yang diinisiasi pemerintah selama ini tidak akan tepat sasaran dan bahkan bisa kontra produktif.

Dalam konteks penjangkauan (outreach) misalnya, langkah-langkah dan pendekatan yang semestinya diterapkan oleh Tim Perlindungan Anak telah diatur dengan rinci baik dalam Perda maupun Pergub yang ada. Namun demikian tanpa didukung oleh sumber daya yang memiliki kualifikasi yang memenuhi standar, karakter perlindungan dan pengayoman yang menjadi tekanan dari kedua kebijakan tersebut bisa diimplementasikan dalam bentuk yang sebaliknya, yang jutrsu merugikan anak.

Karakter perlindungan dan pengayoman yang diusung oleh Perda dan Pergub tersebut semestinya tidak lagi mentolerir bentuk-bentuk upaya represif. Dalam konteks DIY sendiri memang benar bahwa pendekatan represif mungkin tidak lagi dominan dan bahkan mungkin tidak lagi terlihat di permukaan. Namun demikian bukan berarti bahwa upaya represif tersebut tidak diterapkan lagi oleh pemerintah dalam program-program penyelesaian masalah anak jalanan. Sebagimana dijelaskan oleh Budi (bukan nama sebenarnya), salah satu aktivis di rumah perlindungan anak, bahwa pendekatan represif dalam penanganan anak jalanan di Yogyakarta masih tetap dominan, meskipun tidak terang-terangan tampak di permukaan seperti dulu.

‘Ya mungkin tidak kayak dulu ya, digaruk dimasukkan mobil secara paksa gitu. Nggaklah kalau sekarang, sudah lebih baik caranya. Tapi bukan berarti bahwa pendekatan koreksional itu tidak diterapkan lho ya. Banyak yang salah paham di sini. Dalam beberapa hal praktik yang sekarang dijalankan pemerintah itu lebih kejam lho. Dulu digaruk paksa memang, tapi nggak lama dilepaskan lagi karena pemerintahnya nggak punya rencana jelas. Sekarang kan beda ya, digaruk terus dikurung tidak bisa keluar. Kan begitu desainnya… Yang jelas anggapan bahwa anak jalanan sebagai gangguan keamanan masyarakat itu masih ada dan masih menjadi alasan utama dalam kebijakan yang ada di sini (di DIY). Mereka digaruk bukan untuk diamankan tapi lebih karena alasan mengganggu ketertiban, yak kan?’ (FGD, 21 Agustus 2016)

(11)

B. Persoalan Asesmen dan Desain Program

Beberapa hasil penelitain terdahulu menunjukkan bahwa keputusan anak jalanan di Indonesia untuk tinggal dan bekerja di jalanan adalah akibat dari rangkaian kondisi yang kompleks di dalam keluarga, lingkungan pertemanan, komunitas, dan masyarakat pada umumnya (Bongkok, 1994). Sehubungan dengan itu, upaya untuk mengidentifikasi faktor tunggal sebagai penyebab utama keberadaan anak jalanan di Indonesia bukan hanya sulit dilakukan, tapi juga sia-sia karena sebenarnya tidak ada faktor tunggal (single major factor) atau faktor paling dominan sebagai penyebab utama keberadaan anak jalanan di Indonesia. Masing-masing faktor dan variabel memiliki andil tersendiri dalam mendorong anak turun ke jalanan. Oleh karena itu, mengambil kesimpulan bahwa salah satu faktor lebih kuat dibandingkan dengan faktor lainnya sebagai ’push-pull factors’ (Bromling, 1977), faktor yang mendorong anak ke jalan atau sebaliknya menarik anak dari jalanan, juga sulit dilakukan, karena keputusan sebagian besar anak jalanan untuk tinggal dan bekerja di jalanan berbeda satu sama lain, dimana alasan anak turun ke jalanan juga kerap berubah-rubah.

Atas dasar inilah para ahli menyimpulkan bahwa pemetaan data anak jalanan akan memiliki signifikansi hanya bila didasarakan pada hasil asesmen yang komprehensif. Pemetaan data berbasis asesmen ini dirasa sangat penting karena komunitas anak jalanan sendiri sangat beragam klasifikasi, persoalan dan latar belakangnya. Ada indikasi kuat, sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ketidakberhasilan program-program pemerintah terkait anak jalanan selama ini disebabkan karena data yang ada cenderung artifisial, sebatas data demografis yang tidak berbasis asesmen, yang tidak bisa memberi arah bagi desain kebijakan dan sistem penganggarannya. Oleh karena itu, banyak kebijakan dan program yang disesain berdasarkan pada data tersebut yang pada akhirnya cenderung salah sasaran.

Tidak bisa dipungkiri bahwa melakukan pendataan anak jalanan berbasis asesmen tidaklah mudah dilakukan mengingat beberapa persoalan dan kondisi terkait komunitas ini, seperti persoalan mereka dengan identitas kependudukan, kehidupan mereka yang nomaden serta tidak adanya keteriktan yang signifikan dengan orang tua/keluarga. Namun sebagimana telah disinggung di atas, persoalan tersebut tidak semestinya dijadikan alasan untuk menyimpulkan bahwa pendataan anak jalanan berbasis asesmen tidak bisa dilakukan (Ennew, 2000; Panter-Brick, 2002).

Data dari hasil asesmen tersebut akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang anak jalanan beserta variasi kondisi persoalan riil mereka di lapangan yang sangat beragam. Dari beberapa forum diskusi (FGD) dan interview selama proses pengumpulan data penelitian ini tergambar dengan jelas bahwa data anak jalanan

(12)

yang ada saat ini masih memberikan gambaran yang salah tentang anak jalanan, dimana mereka masih dipresentasikan sebagai komunitas yang homogin karakter dan persoalannya. Oleh karena itu, seperti dijelaskan oleh Iwan (bukan nama sebenarnya), kebijakan dan program yang didasarkan pada penggambaran homogin tentang anak jalanan tersebut sering kali tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak jalanan itu sendiri.

‘Program pemerintah itu kan sudah ditentukan desain dan pelaksanaanya. Kita di lembaga kalau dapat bantuan program pemerintah kan sekedar ‘ngecakke’ (meng implementasikan) sesuai apa yang digariskan. Bisa sih kita sesuaikan dengan kebutuhan kita, tapi kita juga harus rubah pelaporannya nanti, kita malah yang akhirnya harus memalsukan laporan nantinya, repot juga…’ (FGD, 21 Agustus 2016).

Hasil asesmen yang komprehensif setidaknya bisa memberikan klasifikasi anak jalanan yang lebih akurat berdasarkan elemen atau variable tertentu yang bisa disesuaikan dengan arah kebijakan atau program yang akan dirancanang oleh pemerintah. Dalam merancang program reunifikasi atau permanency planning, misalnya, hasil asesmen terkait pola hubungan anak dengan keluarga bisa dijadikan rujukan. Seperti klasifikasi yang dikemukanan oleh Balanon (1989), seperti telah dijelaskan sebelumnya di atas, dimana anak jalanan dalam konteks ini bisa diklasifikasikan berdasarkan hasil asesmen level kontak mereka dengan orang tua atau keluarganya. Dalam hal ini, anak jalanan dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori utama, yakni: Pertama, Street children with continuous family contacts – yakni anak jalanan yang bekerja di jalanan paruh waktu, dimana mereka tetap tinggal bersama orang tuanya sebagaimana anak-anak pada umumnya. Kedua, Street children with occasional family contacts – yakni anak yang kerja di jalanan dan masih memiliki kontak dengan keluarganya, namun demikian pola relasi mereka dengan orang tua dan keluarga tidak sehat atau tidak cukup signifikan. Ketiga, Street children without family contacts – yakni anak yang memang hidup di jalan dan tidak lagi memiliki kontak dengan orang tua atau keluarganya (Balanon, 1989, p.160-161; lihat juga Phillips, 1994).

Dalam konteks kebijakan dan program penanganan masalah anak jalanan di DIY, sebagaimana digambarkan dalam hasil FGD penelitian ini, proses asesmen sendiri selama ini tidak dilakukan secara komprehesif sebagai bagian dari program penjangkauan (reach out) yang bisa menjadi panduan penentuan program intervesi yang tepat untuk anak-anak yang baru diselamatkan dari jalanan. Proses asesmen justru selama ini dilakukan kepada anak jalanan yang sudah masuk lembaga dan mengikuti program reguler dengan tujuan yang terbatas, seperti sekedar untuk menentukan pilihan kegiatan yang dirasa pas untuk diikuti oleh anak tertentu selama mereka dalam

(13)

pengasuhan lembaga, sebagaimana dijelaskan oleh Anton (bukan nama sebenarnya): ‘…asesmen itu sudah dilakukan memang, jadi bukan berarti tidak ada asesmen. Tapi hasil asesmen itu kan tergantung siapa yang melakukan juga. Asesmen anjal yang dilakukan oleh psikolog beda hasilnya dengan yang dilakukan oleh dokter. Kalau hasil asesmen tersebut dijadikan rekomendasi untuk kebijakan dan program kan jadi beda juga nanti. Psikolog akan merekomendasikan program intrevensi untuk anjal yang beda dengan apa yang direkomendasikan oleh dokter tentunya… kalau kita perhatikan selama ini proses asesmen ini kan terbatas artinya untuk placement saja. Program-program untuk anjal kan sudah didesain dengan beragam pilihan, nah asesmen itu dilakukan sekedar untuk menentukan pilihan program mana yang pas untuk anak, bukan untuk keperluan desain kebijakan atau program baru’ (Interview, 22 September 2016). Dalam proses asesmen dan pendataan anak jalanan, pemerintah daerah semestinya didorong untuk membentuk tim khusus dari berbagai elemen, termasuk di dalamnya pekerja sosial dan tenaga profesional di bidang perlindungan anak, yang bekerja secara profesional melakukan pendataan dan asesmen terhadap anak-anak yang hidup di jalan beserta keluarganya. Dalam data berbasis asesmen tersebut masing-masing anak jalanan secara singled-out akan terpetakan dengan jelas permasalahan dan kebutuhannya, termasuk background, faktor push-pull yang membawa mereka ke jalanan, tingkat resiliensi, faktor resiko dan faktor pelindungnya, serta skala prioritas pemenuhan kebutuhan dan perlindungan yang mereka butuhkan.

C. Pola Lama Rumah Singgah yang Sulit Ditinggalkan

Kebijakan dan program-program intervensi terkait penyelesaian persoalan anak jalanan yang digagas oleh pemerintah Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Program perlindungan anak berbasis lembaga (institutional-based programs) merupakan bagian dari kebijakan perlindungan anak jalanan di Indonesia yang hingga saat ini tetap dipertahankan sebagai salah satu pilar tumpuan utama program kesejahteraan anak jalanan, dengan didasari alasan bahwa lembaga akan menjadi tempat yang lebih aman bagi anak-anak untuk bisa lepas dari kehidupan jalanan.

Namun demikian dalam pelaksanaannya di lapangan penyediaan lembaga perlindungan anak ini tidak selalu mendapatkan respon positif, bahkan dari anak jalanan dan komunitas penggiat kesejahteraan anak jalanan itu sendiri. Animo anak untuk masuk ke lembaga perlindungan yang disediakan pemerintah tidak cukup tinggi. Dalam beberapa konteks, lembagalah yang pada akhirnya menerapakn kebijakan represif untuk memaksa anak masuk ke lembaga perlindungan, karena harapan bahwa anak akan dengan suka rela (voluntary) bergabung dengan program yang disediakan

(14)

lembaga perlindungan anak jalanan tidak pernah terwujud. Kondisi inilah yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan penting tentang ’Apa yang salah dari lembaga perlindungan anak yang didesain pemerintah selama ini, sehingga anak jalanan justru tidak mau bergabung di dalamnya?’

Menjamurnya lembaga perlindungan anak dengan model rumah singgah merupakan fenomena penting yang menandai gerakan masiv perlindungan anak jalanan di Indonesia, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 90an. Menjamurnya rumah singgah untuk anak jalanan juga tidak lepas dari dorongan internasional penanganan masalah anak jalanan di Indonesia yang dipandang mengalami eskalasi yang cukup memprihatinkan sebagai imbas dari krisis ekonomi. Banyak lembaga internasional, seperti UNICEF, UNDP dan ADB, yang menggelontorkan dana bantuannya guna membantu penyelesaian masalah anak jalanan di Indonesia. Namun demikian, rumah singgah yang sempat menjamur di Yogyakarta, dan di Indonesia pada umumnya, akhirnya hilang satu persaru seiring dengan menurunnya dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga donor baik di dalam maupun di luar negeri.

Dampak lain dari fenomena menjamurnya rumah singgah ini adalah kenyataan bahwa sistem layanan berbasis rumah singgah tersebut sepertinya sudah menjadi mainstream rujukan bagi pelaksaaan program anak jalanan hingga saat ini, meskipun banyak penelitain menunjukkan bahwa rumah singgah mengalami kegagalan yang luar biasa dalam upaya penanganan masalah anak jalanan di Indonesia umumnya dan di DIY khususnya (Muhrisun, 2004). Beberapa desain baru terkait lembaga perlindungan anak sudah diintrodusir oleh pemerintah selama ini, namun demikian karena beberapa keterbatasan, terutama keterbatasan sumber daya manusia, implementasi sistem baru tersebut akhirnya hanya sebatas replikasi dari sistem rumah singgah yang sudah ada sebelumnya, sebagaimana dijelaskan oleh Anton (bukan nama sebenarnya):

’…jangan salah, rumah singgah mungkin tidak banyak lagi. Tapi kalau kita teliti sistem rumah singgah tersebut tetap dipakai, bahkan pada LKSA dan rumah perlindungan anak yang ada saat ini. Orang-orangnya kan sama dengan yang dulu mengelola rumah singgah. Pejabat-pejabatnya juga masih sama. Jadi, kalau rumah singgah dianggap gagal maka sistem yang ada saat ini mereplikasi kegagalan itu terus menerus. Dari awal saya sudah bilang bahwa rumah singah itu tidak tepat di Indonesia, makanya saya dengan teman-teman dari awal tidak mau bergabung dengan teman-teman rumah singgah’ (Interview, 22 September 2016). Bila ditinjau dari dasar kebijakan pendidriannya, rumah singgah pada awalnya didesain sebagai sebuah lembaga penyedia layanan yang sifatnya semi institusional. Institusi ini berfungsi sebagai pusat program penjangkauan (outreach) dan informasi

(15)

yang menyediakan jasa dan bantuan 24 jam (Kementerian Sosial, 1999) atau yang juga dikenal dengan shelter atau drop-in center.

Program-program berbasis rumah singgah juga sebenarnya didesain sebagai salah satu elemen dari beberapa program lainnya, yakni satu rangkaian dari tiga program utama bagi anak jalanan di Indonesia yang dikembangkan oleh pemerintah bekerja sama dengan UNDP. Program-program lain yang menjadi rangkaian dari program rumah singgah ini adalah program Mobil Sahabat Anak dan program pengasuhan alternatif berbasis panti yang didukung dengan program-program pendidikan alternatif dan pelatihan kerja sebagai tindak lanjut untuk penyediaan layanan yang lebih baik bagi anak jalanan (Kementerian Sosial, 2002).

Masalah muncul ketika dua program yang disebut terakhir, terutama program-program berbasis rumah panti yang didukung oleh program-program pendidikan dan pelatihan, tidak berjalan dengan baik. Terlebih, petunjuk pelaksanaan (juklak) baru yang dikeluarkan pada 2002 menggarisbawahi bahwa layanan di rumah singgah telah bergeser, tidak hanya terfokus pada anak jalanan, namun juga orang tua mereka dan masyarakat yang tinggal di sekitar rumah singgah (Kementerian Sosial, 2002).

Hal itu pada gilirannya membebani rumah singgah dengan tanggung jawab untuk mengembangkan program-program lain yang semestinya dijalankan oleh panti-panti sosial, lembaga pendidikan alternatif, serta pusat-pusat pelatihan kerja dan ketrampilan. Dengan terbatasnya sumber daya yang ada serta bertambahnya beban dan tanggung jawab telah lebih banyak, sebagaimana diatur dalam juklak yang baru tersebut telah membatasi kemampuan rumah singgah untuk menjalankan tugas intinya, yakni memberikan perlindungan darurat kepada anak jalanan yang mengalami persoalan dan kesulitan di jalan. Rumah-rumah singgah tersebut pada gilirannya juga berubah bentuk, tidak lagi bersifat semi institusional, karena pada kenyataannya anak-anak yang akan masuk dan ingin mendapatkan layanan harus terdaftar secara resmi dan memenuhi kriteria tertentu.

Sebagian besar partisipan yang terlibat dalam penelitian kajian ini, terutama dari kalangan LSM, memandang perubahan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah terkait rumah singgah dan program sejenis tersebut sebagai langkah positif yang bisa meningkatkan kualitas program penanganan anak jalanan di kemudian hari. Namun, sebagian dari mereka juga menyayangkan bahwa niat baik untuk melakukan perubahan itu dinilai sudah terlambat, dimana kompleksitas persoalan terkait dengan rumah singgah sudah terlanjur sulit diatasi. Mereka mengatakan bahwa dari awal pemerintah telah menciptakan rintangan besar yang menghalangi perubahan pada rumah singgah. Dalam hal ini, perubahan pendekatan yang ditawarkan oleh pemerintah tidak ubahnya

(16)

hanyalah merupakan bentuk pengakuan mereka bahwa dalam kenyataannya program-program terkait dengan rumah singgah tersebut telah gagal. ’Sulit sekali memperbaiki program rumah singgah. Mungin lebih baik kalau kita tiadakan saja’ (Anton, Interview, 22 September 2016).

Kegagalan rumah-rumah singgah tersebut dalam melakukan implementasi program secara efektif dan tepat sasaran juga telah menuai beragam tanggapan dan kritik dari berbagai pihak. Penyaluran beragam dana bantuan pemerintah untuk anak jalanan yang dilakukan melalui rumah singgah disinyalir justru menjadi daya tarik bagi keluarga miskin untuk mendorong anak-anak mereka pergi ke kota dan bekerja di jalan, demi mendapatkan dana bantuan pemerintah yang dikucurkan melalui rumah singgah. Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Anton (bukan nama sebenarnya) bahwa program-program bantuan pemerintah yang berbasis rumah singgah hasilnya sangat kontra-produktif karena program-program itulah yang justru mendorong anak untuk pergi dari desa dan menjadi anak jalanan. Hal ini dapat dipahami mengingat program-program alternatif dari pemerintah untuk membantu anak dan keluarga miskin di pedesaan masih sangat kurang.

D. Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Kebijakan dan Program Pemerintah

Salah satu hal menarik dari data penelitian ini adalah bahwa, meskipun memiliki perspektif berbeda, semua responden dalam penelitian ini, baik dari kantor pemerintah maupun lembaga non-pemerintah, menyatakan bahwa kebijakan dan program pemerintah bagi anak jalanan di DIY khususnya dan di Indonesia pada umumnya tidak efektif. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa program-program yang ada selama ini terbukti tidak tepat sasaran dan tidak mampu menyelesaikan masalah anak jalanan. Dalam hal ini program reunifikasi yang menjadi muara dari keseluruhan kebijakan penanganan anak jalanan tidak berjalan dengan baik sebagaimana diharapkan.

Program anak jalanan di Indonesia, dan juga di dunia pada umumnya selama beberapa dekade terakhir ini, hampir selalu terfokus hanya pada anak sebagai obyek sasaran (Castanon, 1998; Ferguson, 2003). Dalam hal ini ada 2 (dua) kecenderungan utama. Pertama, program anak jalanan tersebut cenderung menyoroti berbagai bentuk perilaku yang dianggap menyimpang yang ditunjukkan oleh anak jalanan. Kedua, beberapa program lainnya cenderung melakukan romantisasi yang berlebihan tentang kondisi anak jalan, sehingga gambaran obyektif tentang persoalan dan apa yang sebenarnya dibutuhakn oleh mereka tidak pernah terkespose dengan benar (Beazley, 1999). Dominannya kedua jenis pendekatan tersebut telah berakibat pada minimnya program yang berupaya untuk mengevaluasi kebijakan dan program bagi anak jalanan.

(17)

Kebijakan dan program berbasis hak anak yang selama ini digagas oleh pemerintah dalam kenyataannya belum bisa mendorong perubahan berarti pada program-program pemerintah, bahkan pada sikap pemerintah terhadap anak jalanan itu sendiri. Dalam berbagai kebijakan dan program yang ada selama ini, populasi anak jalanan tetap berada dalam kategori kelompok pinggiran yang keberadaanya bahkan sering dianggap sebagai gangguan bagi kemapanan nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan ketertiban umum. Program-program intervensi bagi anak jalanan masih tetap dijalankan dengan pendekatan ”rehabilitasi sosial”, yang berarti bahwa populasi ini masih dipandang sebagai kelompok anak bermasalah yang perlu direhabilitasi, bukan sebagai pihak yang berhak dan harus mendapatkan perlindungan.

Beberapa faktor penting diidentifikasi dalam penelitian ini sebagai penyebab kegagalan upaya pemerintah, terutama program reunifikasi anak jelanan pada keluarga dan masyarakat. Pertama, tidak konsistennya kebijakan pemerintah adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan tidak efektifnya program-program pemerintah, meskipun dananya telah tersedia. Fenomena ”ganti pejabat ganti kebijakan” telah menjadi permasalahan serius bukan hanya di Kementerian Sosial yang selama ini menangani anak jalanan, tapi juga di kementerian dan departemen lain.

Kedua, kurangnya komunikasi dan koordinasi antar pemegang kekuasaan, dalam hal ini antar kementerian dan departemen terkait, diakui–bahkan oleh menteri sosial–menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kegagalan program-pro-gram pemerintah.

Ketiga, program-program tersebut tidak didesain sebagai program berkesinam-bungan. Program-program itu lebih terfokus pada penyediaan layanan karitatif dengan tujuan jangka pendek daripada menekankan pada pendekatan pengembangan sumber daya manusia sebagai tujuan jangka panjang (Asian Development Bank, 2003). Hal itu memaksa anak-anak menjalani berbagai program yang selalu berganti-ganti sebelum akhirnya gagal dan kembali lagi ke jalanan.

Keempat, kegagalan program-program yang telah ada juga disebabkan oleh minimnya sumber daya manusia di pemerintah, terutama di tingkat provinsi dan kabupaten. Minimnya sumber daya manusia ditambah dengan masalah kekurangan dana dipandang sebagai penyebab sulitnya implementasi berbagai program nasional terutama di level daerah. Seperti yang dinyatakan oleh informan dari beberapa kantor pemerintah bahwa sebenarnya begitu banyak gagasan dikemukakan oleh pemerintah pusat untuk penanganan anak jalanan. Namun semua gagasan tersebut pada akhirnya hanya sebatas menjadi ide-ide individu yang tidak pernah diwujudkan dalam bentuk program nyata berskala nasional yang dilengkapi dengan petunjuk teknis tentang

(18)

bagaimana implementasinya di level daerah. Minimnya sumber daya yang memiliki pengetahuan dan kompetensi dalam penanganan anak jalanan, terutama di level provinsi dan kabupaten, juga dipandang sebagai faktor utama yang menyebabakan program penanganan anak jalanan di daerah cenderung tidak tepat sasaran. Dengan pengetahuan dan kompetensi yang sangat minim, banyak pejabat pemerintah dan pihak terkait di tingkat provinsi dan kabupaten yang menganggap petunjuk teknis dari pemerintah pusat layaknya ”kitab suci” yang harus benar-benar secara detail dipatuhi, meskipun tidak sesuai dengan kondisi dan situasi riil yang ada di daerah. Akibatnya, berbagai program yang sebenarnya tidak relevan dengan kebutuhan anak jalanan di daerah tetap dijalankan, sementara program-program yang menjadi kebutuhan utama justru diabaikan.

IV. Simpulan

Program-program intervensi bagi anak jalanan di Indonesia hampir semuanya merupakan replikasi dari kebijakan dan program yang dibuat oleh lembaga-lembaga internasional, terutama lembaga-lembaga donor, yang kerap tidak mencerminkan dan tidak mempertimbangkan kondisi riil terkait faktor budaya dan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama kegagalan berbagai program penanganan anak jalanan di DIY khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Program-program nasional yang ada selama ini terkesan tidak dijalankan secara sungguh-sungguh, terutama terkait dengan bagaimana implementasinya di tingkat provinsi dan kabupaten sehingga cenderung gagal dalam membidik akar penyebab permasalahan anak jalanan di Indonesia. Beberapa kebijakan dan program bahkan terlihat semata-mata sebagai bentuk formalitas, sebagai reaksi atas desakan internasional, sebagaiman terlihat dalam berbagi bentuk ratifikasi kebijakan internasional oleh pemerintah Indonesia terkait masalah anak yang cenderung tidak memiliki dampak yang signifikan dalam penanganan masalah anak di Indonesia.

Tidak konsistennya berbagai kebijakan pemerintah pada level konseptual dan empiris turut berperan dalam pembentukan budaya politik yang tidak mengupayakan keberlanjutan program intervensi. Konsep perlindungan anak dalam praktiknya masih diterjemahkan ke dalam mekanisme korektif dan pendekatan rehabilitatif. Berbagai tindakan represif masih menjadi model dominan dalam program-program pemerintah, meskipun dibungkus dengan label perlindungan Kegagalan pelaksanaan program-program nasional juga disebabkan oleh minimnya sumber daya manusia di tingkat provinsi dan kabupaten. Sedikitnya sumber daya yang mampu memahami dan mengimplementasikan gagasan dan program nasional dengan benar merupakan

(19)

faktor penting bagi kegagalan program anak jalanan di Indonesia selama ini, terutama di tingkat daerah.

Daftar Pustaka

Aderinto, A.A. 2000. Social Correlates and Coping Measures of Street Children: A Comparative Study of Street and Non-Street Children in South-western Nigeria. Child Abuse & Neglect 24 (9), 199–213.

Agnelli, S. 1986. Street children: A growing urban tragedy. London: Weidenfeld & Nicolson.

Agustinanto, F. & Davis, J. 2003. [A sub-chapter] in J. Rosenberg (Ed). Trafficking of women and children in Indonesia (pp.56-62). Jakarta: ICMC & Solidarity Center. Alderfer, W.H. 2002. Street children of Delhi, India: Their lives today – their hopes

tomorrow. (Doctoral dissertation, the Union Institute and University Cincinnati, Ohio). ProQuest Digital Dissertation (AAT 3061984).

Alston, M. & Bowles, W. 1998. Research for social workers: An introduction to methods. Sydney: Allen & Unwin Ltd.

Asian Development bank (ADB). 2003. Working with street children exploring ways for ADB assistance. Manila, the Philippines: Author. Retrieved May 5, 2016, from http://www.adb.org/Documents/Books/Street_Children/Working_ Streetchildren/working_with_streetkids.pdf

Babbie, E. 1998. The practice of social research. Washington: Wadsworth Publishing Company.

Balanon, L.G. 1989. Street children: Strategies for action. Child Welfare, 68 (2), 159-166. Beazley, H. 1999. ‘A little but enough:’ Street children’s subcultures in Yogyakarta,

Indonesia [Microfiche]. Unpublished doctoral dissertation, Australian National University, Canberra, Australia.

Beazley, H. 2002. ‘Vagrants wearing make-up:’ Negotiating spaces on the streets of Yogyakarta, Indonesia. Urban Studies, 39(9), 1665-1683.

Beazley, H. 2003. The Construction and Protection of Individual and Collective Identities by Street Children and Youth in Indonesia. Children, Youth and Environments 13 (1).

Blagbrough, J. 1995. Child domestic work in Indonesia a preliminary situation analysis. London: Anti-Slavery International.

Bogdan, R., & Biklan, S. 1998. Qualitative research in education: An Introduction to theory and methods. Boston: Allyn & Bacon.

Bongkok, H. 1995. Perjuangan dan penindasan [Struggle and suppression]. Yogyakarta: YLPS Humana.

BPS DIY. 1999 & 2001. Keadaan umum Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta [General overview of the Province of the Special Territory of Yogyakarta]. Retrieved January 13, 2004, from http://www.deptan.go.id/ludm/yogya/ yogya2.htm

(20)

Bromling, C.M.A. 1997. Images of Street Children: A Study on Naming and Framing a Social Problem at UNICEF Brazil, Headquarters, and Egypt. (Doctoral dissertation, Harvard University).

Castanon, C.C. 1998. Coping with homelessness: Testing protective factors and an ecocultural exploration of homeless children. (Doctoral dissertation, University of California). ProQuest Digital Dissertation (AAT 9823545).

Dananto et al. 2003, March 12-14. Situational analysis of street children. Paper presented at Civil Society Forum for South East Asia, Bangkok, Thailand.

Davis, J. 2003. [A sub-chapter] in J. Rosenberg (Ed). Trafficking of women and children in Indonesia (p.110-115). Jakarta: ICMC & Solidarity Center.

Depsos RI. 2000. Konsep pelayanan anak jalanan melalui rumah singgah, mobil sahabat anak, dan boarding house. Jakarta, Indonesia: Author.

Depsos RI. 2001. Intervensi pekerjaan sosial professional: Intervensi psikososial [Professional social work intervention: Psychosocial intervention]. Jakarta, Indonesia: Author.

Depsos RI. 2002. Himpunan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak. Jakarta, Indonesia: Author.

Dinas Sosial DIY 2001. Laporan kegiatan bagian proyek peningkatan kesejahteraan sosial anak jalanan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun anggaran 2001 [Report of the activities of the sub-project for the improvement of social welfare for street children in the province of Yogyakarta 2001]. Yogykarta, Indonesia: Author.

Ennew, J. 2000. Why the convention is not about street children. In D. Fottrell (Ed.), Revisiting children’s rights: 10 years of the UN Convention on the Rights of the Child (pp. 169-82). Boston: Kluwer Law Int.

Ertanto, B. 1993. Kere ki ra sah mati yen mati ngrepoti, studi mengenai anak jalanan dan perubahan sosial [Vagrants should not die, when they die they bother people: Study on street children and social change]. Unpublished paper, YLPS Humana, Yogyakarta, Indonesia.

Ertanto, B. 2002. Sosialisasi dan siasat (budaya) anak jalanan [Socialization and strategy (cultural) for street children]. Unpublished master’s thesis, Gajah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.

Farid, M. & Dananto, A. 2002. Capturing our experience in working with street children. Yogjakarta: PLAN International-Indonesia.

Ferguson, K.M. 2003. Child Labor and Social Capital in the Mezzosystem: In Research of Family- and Community-Based Risks and Protective Factors for Street-Working Children. (Doctoral dissertation, the University of Texas at Arlington). Fraser, M.W. 2003. The ecology of childhood: A multisystems perspective. In M.W. Fraser (Ed.), Risk and resilience in childhood an ecological perspective. Washington, DC: NASW.

Galasso, E. 2000. Essay on the welfare of children in developing countries. (Doctoral dissertation, Boston College). ProQuest Digital Dissertation (AAT 9970400).

(21)

Garmezy, N. 1983. Stressors of childhood. In N. Garmezy, & M. Rutter (Eds.), Stress, coping and development in children (pp. 43-84). Minneapolis: McGraw-Hill. Goldstein, J., Solnit, A.J., Goldstein, S., & Frued, A. 1998. The best interests of the child:

The least detrimental alternative. New York: The Free Press.

Hutz, C. S. & Koller, S. H. 1999. Methodological and ethical issues in research with street children. New Directions for Child and Adolescent Development, 85, 59 – 71.

Kilbride, P., Suda, C., & Njeru, E. 2000. Street children in Kenya: Voices of children in search of a childhood. Westport, CT: Bergin and Garvey.

Kirby, L.D., & Fraser, M.W. 2003. Risk and resilience in childhood. In M.W. Fraser (Ed.), Risk and resilience in childhood an ecological perspective. Washington, DC: NASW.

Lalor, K.J. 1999. Street children: A comparative perspective. Child Abuse & Niglect, 23 (8), 759-770.

Lieberman, F. 1979. Social Work with Children, New York: Human Science Press. Lusk, M. W., Peralta, F., & Vest, G. 1989. Street children of Juarez: A field study.

International Social Work, 32, 289-302.

Marquez, P.C. (1999). The street is my home, youth and violence in Caracas. California: Stanford University Press.

Merriam, S.B. 1998. Qualitative research and case study applications in education. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Mikulak, M. 2002. The social construction of disposable children: Street and working children in Curvelo, Minas Gerais. (Doctoral dissertation, University of New Mexico, Albuquerque). ProQuest Digital Dissertation (AAT 3072249).

Miller, W. 1994. Screaming from the street: Street children of Java. Unpublished master’s thesis, Monash University, Australia.

Muhrisun. 2004, February 28. Surviving sexual abuse among the street children of Yogyakarta Indonesia. Paper presented at Southeast Asian Student Conference (SEACON), Northern Illinois University, Illinois.

Panter-Brick, C. 2002. Street children, human rights, and public health: A critique and future directions. Annual Review of Anthropology, 31, 147-171.

Rosenberg, R. 2003. [A chapter] in J. Rosenberg (Ed). Trafficking of women and children in Indonesia (p.11-33). Jakarta: ICMC & Solidarity Center.

Rothman, J., & Tropman, J.E. 1987. Models of community organization and macro practice perspectives: Their mixing and phasing. In Fred M. Cox, et al. (Eds), Strategies of community organization (pp. 3-26). Illinois: F.E. Peacock Publisher. Surjono, G. 2000. Karakteristik anak jalanan di Yogyakarta dan strategi alternative

pendampingannya [Characteristic of street children in Yogyakarta and alternative strategies for assistance]. Media Informasi Penelitian, 162 (24), 37-51. Surtees, R. 2003. [A sub-chapter] in J. Rosenberg (Ed). Trafficking of women and children

(22)

Trocme et al. 2001. Canadian incidence study of reported child abuse and neglect. Ottawa: Minister of public works and government services Canada

UNESCO. 1995. Working with street children: Selected case-studies from Africa, Asia and Latin America. Paris: UNESCO Publishing.

UNICEF. 1994. Children at work a report on the UNICEF & ILO/IPEC workshop on child labour and street children. Geneva: Author.

UNICEF. 1995. Situation analysis on children and women in Indonesia. Jakarta, Indonesia: Author.

Wright, R.M. 1999. Adolescents at risk, effectiveness of school-based interventions. (Doctoral disserartion, the University of Toronto, Ontario, Canada). ProQuest Digital Dissertation (AAT NQ50008).

YLPS Humana. 2002. Progress report monitoring output and activities assisting girl street children at risk of sexual abuse project. Yogyakarta, Indonesia: Author.

YLPS Humana. 2003. Analisis situasi anak jalanan perempuan di kota Yogyakarta [Situational analysis of female street children in the city of Yogyakarta]. Yogya-karta, Indonesia: Author.

Referensi

Dokumen terkait

07 Ngegong, Gedog, Sananwetan, Kota Blitar Program Studi/Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam. NIM

Penelitian tentang modifikasi bentonit dari Kuala Dewa, Aceh Utara menjadi bentonit terpilar alumina dan uji aktivitasnya pada reaksi dehidrasi etanol, 1-propanol dan 2-propanol telah

Adanya pengaruh internet memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Desa Jamprong, namun disisi lain adanya internet juga membawa banyak penyimpangan sosial pada

Subini (2012: 6) menerangkan bahwa “Pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Sistem Informasi Penjualan dan Piutang Dagang yang dirancang dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi karena adanya sistem

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika peserta didik yang diajar dan tidak

Jamur mampu menghasilkan senyawa yang berpotensi yang diaplikasikan dalam dunia kesehatan dan telah di buktikan memiliki banyak sumber metabolit sekunder aktif yang unik secara

Pelatihan Self Regulation phase Forethought yang diharapkan oleh Bank Swasta “X” adalah tidak sekedar calon Relationship Officer (RO) mampu mempersiapkan kegiatan