1
IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN
DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM MEDAN)
J U R N A L I L M I A H
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
CYNTHIA WIRAWAN 100200074
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2
IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN
DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM MEDAN)
J U R N A L I L M I A H
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
CYNTHIA WIRAWAN 100200074
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh, Penanggung Jawab,
Dr. M. Hamdan, SH, MH NIP. 195703261986011001
Editor,
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum NIP. 195102061980021001
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
1
IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN
DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM MEDAN) ABSTRAK
Cynthia Wirawan* Syafruddin Kalo**
Edi Yunara***
Sebagai negara hukum, Indonesia menjamin penghargaan terhadap hak untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum. Namun, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Seringkali, sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangka/terdakwa tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono publico).
Berdasarkan hal tersebut, batasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimanakah keberadaan bantuan hukum di Indonesia, bagaimanakah pengaturan mengenai bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku di Indonesia, dan bagaimanakah implementasi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum berdasarkan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan, dan metode penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat dengan teknik wawancara.
Keberadaan bantuan hukum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama ada sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, bantuan hukum mulai mendapatkan kepastian dengan lahirnya berbagai peraturan dan lembaga pemberi bantuan hukum. Meskipun demikian, beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku mengenai bantuan hukum tidak mengatur secara khusus prosedur bantuan hukum sampai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang mengatur secara khusus mengenai bantuan hukum. Namun demikian, implementasinya di Kota Medan masih sangat kurang dan perlu ditingkatkan lagi agar pelaksanaan bantuan hukum cuma-cuma dapat terwujud dengan lebih baik.
* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan ** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan *** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan Kata Kunci: Bantuan Hukum, Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Pro Bono Publico.
2
IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN
DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM MEDAN)
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum dalam sistem hukum Eropa Kontinental yang disebut dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia; 2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Peradilan Tata Usaha Negara.1
Sebagai negara hukum, Indonesia dalam peraturan perundang-undangannya menjamin penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk hak untuk memperoleh keadilan (access to justice) dan persamaan di muka hukum
(equality before the law). Hal ini diatur secara konstitusional dalam Pasal 27 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan ditegaskan kembali
dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”
Ketentuan tersebut mengindikasikan makna bahwa pemerintah tidak mengistimewakan seseorang atau kelompok orang tertentu dan mendiskriminasikan seseorang atau kelompok orang tertentu lainnya. Dengan demikian, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak yang sama dalam memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.
Selaras dengan pemahaman tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia memberikan jaminan secara konstitusional terhadap golongan lemah dan miskin yang sekiranya paling rentan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan, yakni dalam Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya pengaturan ini dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, maka perlindungan terhadap fakir miskin dan anak terlantar menjadi tanggung jawab negara.
1
Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, (Ketua Mahkamah Konstitusi: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional), hlm. 1.
3
Salah satu perwujudan jaminan perlindungan terhadap keadilan dan persamaan di muka hukum, terutama bagi fakir miskin, adalah melalui bantuan hukum cuma-cuma, yang disebut pro bono publico atau prodeo.
Pada dasarnya, hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua orang. Keadilan, menurut Aristoteles, harus dibagikan oleh negara kepada semua orang dan hukum mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai pada semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, mereka harus diperlakukan sama (audi et alteram partem). Jika orang mampu dapat dibela advokat, maka fakir miskin harus dapat dibela pembela umum secara pro bono
publico. Pembelaan ini dilakukan tanpa memperhatikan latar belakang individu
yang bersangkutan, seperti agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosio-ekonomi, warna kulit, dan gender. 2
Penyediaan bantuan hukum pro bono publico (legal aid) bagi warga miskin oleh negara sebenarnya telah mempunyai akar sejarah yang panjang. Konsep ini sudah dikenal sejak zaman Romawi Kuno. Pada masa itu, bantuan hukum diberikan oleh Patronus dengan motivasi untuk merebut sebanyak mungkin pengaruh dan kekuasaan dalam masyarakat.
Sejak Magna Charta (1215) di Inggris, motivasi pemberian bantuan hukum tidak lagi didasarkan pada kekuasaan. Di dalam peradilan accusatoir yang menganut sistem jury, seorang pihak berperkara harus diwakili oleh seorang
Barrister, yang biasanya adalah putra-putra laki-laki kedua dari kaum bangsawan
yang hanya mencari kehormatan. Mereka tidak sudi menerima upah, melainkan harus dalam bentuk honorarium (eereloon).3
Pada abad pertengahan, bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu
(pro bono publico) mendapat pengaruh dari kebiasaan Agama Kristen, yaitu
charity yang merupakan suatu dorongan bagi manusia untuk memberikan derma.
Caranya yang ada pada saat itu ada 2 (dua), yaitu:
1. Advocatus pauparum atau poorman advocates atau advokat bagi orang
miskin. Yang mengangkat mereka adalah gereja, diberi honor atau gaji oleh gereja asal mereka menolong orang-orang yang miskin di wilayah gereja itu;
2. Privileges, yakni pemberian fasilitas-fasilitas tertentu kepada orang miskin,
seperti misalnya boleh beracara di muka pengadilan tanpa membayar.
Pemberian bantuan hukum berdasarkan nilai kemanusiaan tersebut kemudian mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan profesi hukum sehingga motivasi pemberian bantuan hukum berubah menjadi kedermawanan profesi, yang pada gilirannya menjadi tanggung jawab profesi (profesional
responsibility).4
2
Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 2.
3
Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press, 1983), hlm. 28.
4
T. Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 1.
4
Berdasarkan tanggung jawab profesi inilah, mulai banyak bermunculan organisasi-organisasi bantuan hukum di banyak negara sepanjang abad ke-19. Organisasi-organisasi bantuan hukum yang didirikan di negara-negara tersebut diberikan secara cuma-cuma (pro bono publico) kepada individu ataupun kelompok-kelompok yang lemah dan tidak mampu secara ekonomi. 5
Sejak terjadinya Revolusi Perancis abad ke-19, pemberian bantuan hukum mengalami revolusi pula, melalui teori kontrak sosial, yang berkonsekuensi pada negara berkewajiban untuk, bukan saja melindungi warga negaranya terhadap sesama warga negara, melainkan juga berkewajiban mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negaranya, salah satunya dengan cara memberikan bantuan hukum.6 Konsep bantuan hukum pro bono yang baru ini kemudian diakui secara internasional dalam Universal Declaration of Human
Rights yang kemudian diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional
oleh banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Hak atas bantuan hukum merupakan non-derogable rights, artinya hak tersebut bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun.7 Bantuan hukum dapat dimintakan kapan saja, tidak hanya ketika menghadapi persoalan hukum di pengadilan. Bantuan hukum dapat dimintakan untuk perkara pidana, perdata, administrasi negara, perburuhan, dan lain-lain. Untuk bantuan hukum dalam perkara pidana dapat diberikan sejak dilakukannya pemeriksaan di tingkat penyidikan.8
Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum memberikan suatu penegasan terhadap hak warga negara, terutama masyarakat miskin, untuk memperoleh bantuan hukum. Namun demikian, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya bagi rakyat miskin atau tidak mampu.
Hal inilah menjadi dasar dan alasan yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan).”
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Keberadaan Bantuan Hukum Cuma-Cuma di Indonesia? 2. Bagaimanakah Pengaturan Mengenai Bantuan Hukum Cuma-Cuma dalam
Beberapa Peraturan yang Pernah dan Masih Berlaku di Indonesia?
5
Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum – Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 57, et seq.
6
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 32, et seq. 7
Siti Aminah, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 34. 8
Daniel Panjaitan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia – Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 51.
5
3. Bagaimanakah Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro
Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Berdasarkan Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan?
C. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan 2 jenis penelitian, antara lain: a. Penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka
sebagai bahan penelitiannya. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas;9 dan
b. Penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 sumber data, antara lain: a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung
dari masyarakat, dalam penulisan ini adalah wawancara.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dalam bentuk dokumen atau literatur dan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
1) Bahan hukum primer.
Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai otoritas yang mengikat dan terdiri dari suatu norma atau kaidah dasar yang mana yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan bantuan hukum.
2) Bahan hukum sekunder.
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum berupa publikasi hukum yang bukan bersifat dokumen resmi, meliputi buku teks, jurnal, pendapat para ahli hukum, dan sumber elektronik.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka (library research), yaitu dengan meneliti sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, serta
9
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 118.
6
sumber elektronik lainnya; observasi; dan field research berupa wawancara dengan pihak-pihak yang berperan dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma.
4. Analisa Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak LBH Medan dan Pengadilan Tinggi Medan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan:
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini yang berhubungan dengan bantuan hukum;
c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah;
d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan dengan hasil wawancara kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.
D. HASIL PENELITIAN
1. Keberadaan Bantuan Hukum di Indonesia
Di Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional. Dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisatic en het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.10 Dalam peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut.11
Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 163 ayat (1) Indische Staatsregeling (IS) pada masa itu berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia. Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Untuk Peradilan Eropa berlaku Reglement op de
10
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 40. 11
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 2.
7
Rechtsvordering (Rv) untuk acara perdatanya dan Reglement op de
Strafvoerdering (Sv) untuk acara pidananya. Sedangkan bagi Peradilan Indonesia
berlaku Herziene Inlandsch Reglement (HIR), baik untuk acara perdata maupun acara pidananya.
Apabila diperbandingkan, maka HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal representation by a lawyer (verplichte procureur stelling), baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Sebaliknya, pemerintah kolonial tidak menjamin hak fakir miskin Bumiputera untuk dibela advokat dan mendapatkan bantuan hukum. Kemungkinan untuk mendapatkan pembela atas permohonan terdakwa di muka pengadilan terbatas kepada perkara yang menyebabkan hukuman mati saja sepanjang ada advokat atau pembela lain yang bersedia.12
Pentingnya bantuan hukum bagi golongan Bumiputera baru disadari setelah hadirnya para advokat Bumiputera pada tahun 1910 yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda. Demikian pula yang berasal dari
Reschtschoogeschool di Batavia yang didirikan pada tahun 1924. Para advokat
Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di negeri Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut adalah sebagai bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap Penjajah.13
Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari pemberian bantuan hukum. Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.14
Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat mengalami kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum.15 Menurut Adnan Buyung Nasution, hal tersebut disebabkan karena pada masa itu peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif.16
Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat dimulainya era Orde Baru. Pada masa ini muncul keinginan yang kuat untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang berantakan. Usaha pembangunan kembali ini berpuncak pada digantinya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan
12
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan.,Op. cit., hlm. 21.
13
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 43. 14
Bambang Sunggono dan Aries Harianto. Op. cit., hlm. 14. 15
Ibid. 16
8
Undang No. 14 Tahun 1970 yang untuk pertama kalinya secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan hukum. Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-ketentuan bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan.17
Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk mendirikan biro konsultasi hukum. Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide untuk mendirikan suatu organisasi atau perkumpulan bagi para advokat, namun awalnya perkumpulan-perkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan organisasi advokat nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, suatu organisasi advokat yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) didirikan guna menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 1964 yang kemudian pada tanggal 30 Agustus 1964 meresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).18
Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian Lembaga Bantuan Hukum. Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution.19 Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang.
Selama jangka waktu tersebut, banyak usaha yang telah dilakukan untuk membentuk suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Untuk merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama belum adanya undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum, dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum yang memerintahkan setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan TUN di Indonesia untuk segera membentuk Pos Bantuan Hukum guna memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.20
Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan hukum membuahkan hasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, pemberian bantuan hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan prosedural yang tegas dan pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat miskin guna memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.
17
Ibid, hlm. 48. 18
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., hlm. 26, et seq.
19
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit.
20
Lampiran 7 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
9
Sejalan dengan kegiatan bantuan hukum untuk masyarakat miskin yang semakin meluas dan memasyarakat, suatu pandangan kritis terhadap konsep-konsep bantuan hukum yang kini dikembangkan di Indonesia mulai banyak dilontarkan oleh kalangan hukum dan kalangan ilmuwan sosial.21 Para ahli tersebut mengkategorikan bantuan hukum dalam 2 konsep pokok.
Pertama, konsep bantuan hukum tradisional. Konsep ini bertitik pada pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual. Sifat dari bantuan hukum ini pasif dan cara pendekatannya sangat formal-legal, dalam arti melihat segala permasalahan hukum kaum miskin semata-mata dari sudut hukum yang berlaku. Namun demikian, penekanan di dalam konsep bantuan hukum ini lebih kepada hukum itu sendiri, hukum yang selalu diandaikan netral, sama rasa, dan sama rata. Hal ini menimbulkan permasalahan dimana sering terjadi hukum itu tidak memberikan keadilan dan bahkan hukum itu pada posisinya yang netral justru menguntungkan mereka yang berkuasa dan yang berpunya dan merugikan mayoritas rakyat miskin.22
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka berkembanglah suatu konsep bantuan hukum yang kedua, yaitu konsep bantuan hukum konstitusional. Konsep ini mengadakan bantuan hukum untuk rakyat miskin yang dilakukan dalam kerangka usaha dan tujuan yang lebih luas, seperti:
a. Menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum;
b. Penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum.
Sifat dari jenis bantuan hukum konstitusional lebih aktif dimana bantuan hukum diberikan tidak saja secara individual melainkan juga kepada kelompok-kelompok masyarakat secara kolektif. Cara pendekatan yang dilakukan di samping formal-legal, juga melalui jalan politik dan negosisasi. Orientasi dan tujuannya adalah usaha mewujudkan negara hukum yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bantuan hukum untuk rakyat miskin dipandang sebagai suatu kewajiban dalam rangka untuk menyadarkan mereka sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak yang sama dengan golongan masyarakat lain.23
Namun demikian, para pengamat dari kalangan ilmuwan sosial yang berorientasi ke bawah menganggap bahwa bentuk-bentuk bantuan hukum tersebut masih belum mampu menembus permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Pendidikan dan penerangan hukum dalam kerangka menciptakan proses penyadaran hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum tidak akan banyak merubah nasib golongan miskin tanpa merubah pola hubungan yang mendasari suatu kehidupan sosial yang menimbulkan dan mempertahankan kemiskinan masyarakat.24
21
Abdul Hakim G. Nusantara, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural” dalam Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke Arah Bantuan Hukum Struktural, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm. 16.
22
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 26. 23
Ibid, hlm. 28. 24
Abdul Hakim G. Nusantara, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural” dalam Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Op. cit.,hlm. 26.
10
Dari sinilah kemudian Lembaga Bantuan Hukum memperkenalkan konsep
bantuan hukum struktural yang pada dasarnya merupakan suatu konsep kegiatan
pemberian bantuan hukum yang bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang menuju ke arah struktur yang lebih adil tempat peraturan hukum dan pelaksanaannya menjamin persamaan kedudukan, baik di lapangan ekonomi maupun lapangan politik. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan dan pengembangan hukum harus dilihat dari sudut bantuan hukum struktural yang dilaksanakan dalam konteks turut membangun masyarakat yang adil dan makmur.25
Dengan berkembangnya konsep bantuan hukum struktural, ruang lingkup bantuan hukum disepakati bukan semata-mata terbatas pada pembelaan di dalam proses peradilan saja, akan tetapi juga mencakup pembelaan di luar pengadilan, konsultasi, penyuluhan dan pendidikan hukum, penelitian, rekomendasi dan penyebaran gagasan-gagasan, serta upaya-upaya law reform.26
Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, ditentukan bahwa bantuan hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara, baik litigasi maupun non-litigasi. Bantuan hukum tersebut meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum.
Berdasarkan penggolongan ruang lingkup bantuan hukum tersebut, Schuyt, Groenendijk, dan Sloot membedakan 5 (lima) jenis bantuan hukum, antara lain:
a. Bantuan hukum preventif: pemberian keterangan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara;
b. Bantuan hukum diagnostik: pemberian nasihat-nasihat hukum atau dikenal dengan konsultasi hukum;
c. Bantuan hukum pengendalian konflik: mengatasi secara aktif masalah-masalah hukum konkrit yang terjadi di masyarakat;
d. Bantuan hukum pembentukan hukum: untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas, dan benar;
e. Bantuan hukum pembaruan hukum: untuk mengadakan pembaruan hukum, baik melalui hakim maupun pembentuk undang-undang (dalam arti materiil).27
Di era reformasi, konsep bantuan hukum responsif sebagaimana yang dikemukakan oleh Schuyt, Groenendijk, dan Sloot paling tepat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan masing-masing wilayah di Indonesia membutuhkan jenis bantuan hukum yang berbeda karena sifat majemuk masyarakatnya.
Menurut Dr. Cappelleti, program bantuan hukum di negara berkembang pada umumnya mengambil arti dan tujuan yang sama seperti di Barat yang pada dasarnya terdiri dari dua tujuan, antara lain:
25
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 30. 26
Ibid, hlm. 50. 27
11
a. Bahwa bantuan hukum yang efektif merupakan syarat yang esensial untuk berjalannya fungsi maupun integritas pengadilan dengan baik; b. Bahwa bantuan hukum merupakan tuntutan dari rasa perikemanusiaan.28
Barry Metzger menambahkan beberapa tujuan lain dari program bantuan hukum di negara berkembang, antara lain:
a. Untuk membangun suatu kesatuan sistem hukum nasional;
b. Untuk melaksanakan yang lebih efektif daripada peraturan-peraturan kesejahteraan sosial untuk keuntungan si miskin;
c. Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar dari pejabat-pejabat pemerintah atau birokrasi kepada masyarakat;
d. Untuk menumbuhkan rasa partisipasi masyarakat yang lebih luas ke dalam proses pemerintahan;
e. Untuk memperkuat profesi hukum.29
Lawasia Conference III (1973) telah merumuskan adanya 3 fungsi dari bantuan hukum di negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, yaitu:
a. The service function: serving the poor to obtain legal redress on equal
terms with other members of society;
b. The informative function: making the general public more aware of their
legal rights;
c. The reform function: legal aid, if properly and responsibility conducted,
can play a useful rule in the law reform process.
Dalam sebuah penelitian hukum yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, pada tahun 2011, menyebutkan tujuan pemberian bantuan hukum, antara lain:
a. Aspek Kemanusiaan.
Dalam aspek kemanusiaan, tujuan dari program bantuan hukum ini adalah untuk meringankan beban (biaya) hukum yang harus ditanggung oleh masyarakat tidak mampu di depan Pengadilan. Dengan demikian, ketika masyarakat golongan tidak mampu berhadapan dengan proses hukum di Pengadilan, mereka tetap memperoleh kesempatan untuk memperolah pembelaan dan perlindungan hukum.
b. Peningkatan Kesadaran Hukum.
Dalam aspek kesadaran hukum, diharapkan bahwa program bantuan hukum ini akan memacu tingkat kesadaran hukum masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian, apresiasi masyarakat terhadap hukum akan tampil melalui sikap dan perbuatan yang mencerminkan hak dan kewajibannya secara hukum.30
28
Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, hlm. 26.
29
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 26. 30
Mosgan Situmorang, dkk, “Penelitian Hukum tentang Tanggung Jawab Negara dan Advokat dalam Memberikan Bantuan hukum Kepada Masyarakat”, (Ahli Peneliti Utama: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011), hlm. 21.
12
Dalam kehidupan selama ini di masyarakat, pemberi bantuan hukum yang dikenal oleh masyarakat ada beberapa, antara lain:
a. Advokat atau pengacara.
Di Indonesia, ketentuan mengenai advokat diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Advokat tanggal 23 Mei 2002. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, jasa hukum yang diberikan advokat meliputi pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, serta melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum kliennya. Cakupan pemberian jasa hukum oleh seorang advokat mencakup lingkup yang lebih luas dimana seorang advokat wajib memberikan bantuan hukum tidak hanya kepada kliennya, melainkan juga kepada masyarakat yang memerlukannya. Profesi advokat merupakan profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile) dan karenanya dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai penegak hukum di pengadilan posisinya sejajar dengan jaksa dan hakim.
b. Pokrol (pengacara praktek).
Ketentuan mengenai pokrol (pengacara praktek) diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965. Pada dasarnya tugas dan fungsi pokrol sama dengan advokat. Perbedaannya terletak pada latar belakang pokrol yang bukan sarjana hukum. Selain itu, advokat umumnya berasal dari kalangan elite yang strata sosialnya lebih tinggi dan menempuh pendidikan tinggi, sedangkan pokrol malah berasal dari desa-desa kecil. Kebanyakan advokat menangani klien-klien besar sedangkan pokrol menangani sisanya.31 Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, pokrol tidak ada lagi keberadaannya di Indonesia.
c. Fakultas Hukum.
Program bantuan hukum yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum secara resmi telah diakui dan didukung oleh Pemerintah melalui Surat Edaran Mahkamah Kehakiman RI cq. Direktorat Jenderal Pembinaan Badan-Badan Peradilan tanggal 12 Oktober 1974 Nomor 0466/Sek/DP/74 yang menyatakan bahwa program bantuan hukum yang diberikan oleh Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum adalah program pendidikan keterampilan yang sudah menjadi kebijaksanaan pemerintah. Program bantuan hukum yang diberikan oleh Fakultas Hukum melibatkan mahasiswa dan staf pengajar di Fakultas Hukum tersebut.
d. Lembaga Bantuan Hukum
Lahirnya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia sebenarnya merupakan proyek dari Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang dibentuk dalam Kongres Nasional pada tanggal 26 Oktober 1970. Konsep dan program LBH meliputi dan ditujukan pada:
31
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 350.
13
1) Menitikberatkan bantuan dan nasihat hukum terhadap lapisan masyarakat kecil yang tidak berpunya;
2) Memberi nasihat hukum di luar pengadilan terhadap buruh, tani, nelayan, dan pegawai negeri yang merasa haknya dilanggar;
3) Mendampingi atau memberi bantuan hukum secara langsung di sidang pengadilan, baik yang meliputi perkara perdata dan pidana;
4) Bantuan dan nasihat hukum yang mereka berikan dilakukan dengan cuma-cuma.32
e. Organisasi Advokat.
Di Indonesia, berdasarkan Pasal 32 ayat 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, wadah tunggal organisasi advokat adalah Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). Peranan PERADI sangat penting dalam mengawasi dan mendidik para anggotanya sehingga seorang advokat tidak dapat bertindak menyimpang dan merugikan masyarakat, terutama masyarakat kecil.33
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, maka pendanaan bantuan hukum dibebankan pada APBN dan dapat berasal dari hibah atau sumbangan dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat. Tata cara pemberian bantuan hukum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
2. Pengaturan Mengenai Bantuan Hukum dalam Beberapa Peraturan yang Pernah dan Masih Berlaku di Indonesia
Beberapa peraturan mengenai bantuan hukum yang berlaku pada zaman Hindia-Belanda, antara lain:
a. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Belied der Justitie
(R.O.) Stb. 1847 No. 23.
R.O. merupakan peraturan tentang susunan organisasi peradilan dan beberapa kebijakan peradilan. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, R.O. dinyatakan tidak berlaku lagi.34 Dalam R.O., pengaturan mengenai bantuan hukum diatur dalam Pasal 185 sampai dengan Pasal 192.
b. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) Stb. 1941 No. 44.
Pada masa penjajahan Belanda, HIR berlaku sebagai hukum untuk peradilan bagi orang pribumi, baik untuk acara perdata maupun acara pidananya. Dalam HIR, ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai pelayanan hukum bagi golongan masyarakat yang tidak mampu dapat ditemukan dalam Pasal 83 h ayat 6, Pasal 237 sampai
32 Ibid 33 Ibid, hlm. 68. 34
14
242, Pasal 250, dan Pasal 254 HIR.35 Berdasarkan ketentuan HIR, kemungkinan seorang tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum sangatlah terbatas, yaitu pada ketersediaan orang yang dapat memberikan bantuan tersebut dan apakah orang tersebut mau memberikannya. Itupun hanya terbatas pada kasus dimana tersangka/terdakwa tersebut terancam hukuman mati.36
c. Regeling van de Bijstand en de Vertegenwordiging van Partijen in de
Burgerlijke Zaken voor Landraden Stb. 1927 No. 496.
Peraturan ini pada pokoknya mengatur tentang bagaimana bantuan hukum dari orang-orang yang diberi kuasa untuk bertindak atas nama pemberi kuasa di muka Pengadilan. Dikeluarkannya peraturan ini sebenarnya lebih dimaksudkan untuk menanggulangi para pengacara dan pokrol.
Ketentuan mengenai bantuan hukum yang berlaku pada masa penjajahan sangat terbatas berlakunya sehingga dianggap kurang memuaskan dalam praktek penyelenggaraan bantuan hukum di Indonesia terutama dalam kaitannya dengan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan.37 Oleh karena itu, muncullah usaha-usaha untuk membuat suatu peraturan baru yang dapat menjamin pemberian bantuan hukum sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat miskin sebagai bagian daripada hak asasi yang mereka miliki.
Beberapa peraturan yang mengatur mengenai bantuan hukum yang berlaku setelah kemerdekaan Indonesia, antara lain:
a. Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965. Peraturan ini dikeluarkan atas dasar pertimbangan bahwa sebelum undang-undang tentang bantuan hukum terbentuk, perlu diadakan penertiban dalam pemberian bantuan hukum terutama oleh pokrol (pengacara praktek).
b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Dicabut Dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, masalah bantuan hukum diatur secara khusus dalam Bab VII Pasal 35 sampai dengan Pasal 38.38 Dalam ketentuan tersebut diatur suatu ketentuan mengenai bantuan hukum yang mengatur secara tegas adanya suatu jaminan bagi seseorang untuk memperoleh bantuan hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana. Undang-Undang tersebut lebih lanjut menghendaki adanya suatu ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum yang berdiri sendiri dalam hukum acara pidana nasional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
35
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 32. 36
Abdurrahman, Loc. cit.
37
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 33.
38
15
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian dicabut kembali dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, terdapat ketentuan-ketentuan baru mengenai bantuan hukum yang diatur dalam BAB XI Pasal 56 dan Pasal 57 yang menegaskan perlindungan terhadap hak rakyat miskin sebagai bentuk tanggung jawab negara.
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KUHAP bukanlah undang-undang yang mengatur khusus mengenai bantuan hukum, namun di dalamnya dimuat ketentuan mengenai bantuan hukum yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Dalam pasal-pasal KUHAP yang mengatur mengenai bantuan hukum tersebut diatur mengenai hak memperoleh bantuan hukum, saat memberikan bantuan hukum, pengawasan pelaksanaan bantuan hukum, dan wujud dari bantuan hukum, yang akan diuraikan sebagai berikut. Pasal 56 KUHAP secara tegas memberikan jaminan mengenai hak memperoleh bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa yang:
1) Melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih;
2) Tidak mampu secara ekonomi yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri. d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat jo Peraturan
Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma.
Sebagai salah satu pemberi bantuan hukum, maka seorang advokat wajib untuk memberikan bantuan hukum. Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 menegaskan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat 2, maka dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma. Dalam hal pemberian bantuan cuma-cuma terhadap suatu perkara, perkara yang dapat dimintakan bantuan hukum cuma-cuma meliputi perkara di bidang pidana, perdata, tata usaha negara, dan pidana militer. Bantuan hukum secara cuma-cuma diberikan pula bagi perkara non-litigasi (di luar pengadilan).
e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum jo Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menandakan untuk pertama kalinya di Indonesia bantuan hukum disusun dan dibuat dalam suatu tatanan yang teratur dan pasti sehingga diharapkan dapat mewujudkan keadilan dan persamaan kedudukan di muka hukum bagi rakyat miskin. Pasal 4 menentukan bahwa bantuan hukum yang diberikan meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik
16
litigasi maupun nonlitigasi. Pemberian bantuan hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum meliputi perbuatan menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum. Ketentuan Pasal 15 ayat 5 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menentukan syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Peraturan tersebut mengatur mengenai syarat dan tata cara pendanaan serta pemberian bantuan hukum di Indonesia.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 membawa angin segar dalam sejarah bantuan hukum di Indonesia. Meskipun demikian, para pakar melihat bahwa masih ada kekurangan yang perlu disempurnakan dalam ketentuan Undang-Undang ini, antara lain:
1) Limitasi penerima bantuan hukum yang hanya terbatas pada masyarakat tidak mampu. Ketidakmampuan masyarakat harus dimaknai secara luas, bukan hanya tidak mampu secara ekonomi, tetapi juga ketidakmampuan dalam bidang sosial, politik, dan lain sebagainya sehingga penerima bantuan hukum tidak hanya sebatas mereka yang miskin secara materi, tetapi juga meliputi kelompok-kelompok masyarakat yang rentan seperti anak, perempuan, penyandang cacat, dan lain sebagainya.
2) Kewenangan tanpa batas penyelenggara bantuan hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM menjadi satu-satunya penyelenggara bantuan hukum yang memiliki kewenangan membuat kebijakan
(regulating), melaksanakan (implementing), anggaran (budgeting),
dan pengawasan (controlling). Melekatnya semua fungsi tersebut tidak lazim dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance), dan berpeluang menimbulkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
3) permasalahan verifikasi dan akreditasi. Perlu diketahui bahwa masalah verifikasi dan akreditasi harus dimaknai bukan sebagai proses legalisasi organisasi bantuan hukum melainkan hanya bagian dari prosedur untuk mendapatkan dana bantuan hukum dari pemerintah. Verifikasi dan akreditasi tidak boleh membatasi hak untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan. Peraturan perundang-undangan harus menjamin bahwa organisasi bantuan hukum yang tidak ingin mengikuti verifikasi dan akreditasi (tidak mengakses dana pemerintah) tetap berhak untuk memberikan bantuan hukum dengan berpegang pada standar bantuan hukum.
4) Prosedur mendapatkan bantuan hukum. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 mengatur sedemikian rupa syarat dan tata cara
17
pemberian bantuan hukum. Akan tetapi, tidak selayaknya hak atas bantuan hukum terkalahkan oleh persoalan administratif. Seharusnya Undang-Undang dan peraturan pelaksananya memberikan kemudahan-kemudahan agar seseorang yang betul-betul memenuhi kualifikasi miskin dapat mengakses bantuan hukum tanpa terhambat dengan persoalan-persoalan administratif.39
Menurut penulis sendiri, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum masih memiliki kekurangan. Apabila kita selidiki, dalam Undang-Undang tersebut, bantuan hukum baru diberikan setelah adanya permohonan dari masyarakat. Menurut penulis, seharusnya dalam Undang-Undang tersebut dimasukkan suatu ketentuan yang mengharuskan pemberi bantuan hukum bersikap aktif mencari perkara. Apabila pemberi bantuan hukum yang bersikap aktif, tentunya akan semakin banyak perkara yang diberikan bantuan hukum cuma-cuma. Dengan demikian, kepentingan hukum masyarakat, terutama masyarakat miskin atau tidak mampu, akan lebih terjamin.
Das sein, das solen. Apa yang diharapkan seringkali tidak sesuai dengan
kenyataan yang ada. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 beserta peraturan pelaksananya, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, diundangkan dengan harapan peraturan tersebut dapat menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negaranya, khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin, untuk mendapatkan akses keadilan dan persamaan di hadapan hukum.40 Namun bagaimanakah implementasinya di Kota Medan, Propinsi Sumatera Utara?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis telah melakukan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan, selanjutnya disebut LBH Medan. Sejak didirikannya LBH Medan, telah banyak bantuan hukum pro bono yang diberikan oleh LBH Medan kepada masyarakat miskin atau tidak mampu. Menurut Adi Mansar, yang pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Internal LBH Medan untuk periode 2006/2007 sampai dengan 2009/2010, pemberian bantuan hukum
pro bono oleh LBH Medan dapat dibedakan atas beberapa fase, antara lain:
a. Fase tahun 1972-1980.
Pada masa ini, LBH Medan sepenuhnya bertindak sebagai “pemadam kebakaran”. Maksudnya adalah LBH Medan bertindak sigap dengan langsung turun tangan untuk menangani kasus-kasus yang diberitakan melalui media massa, demikian pula kasus-kasus yang dimohonkan kepada LBH Medan. Pada masa ini, LBH Medan sangatlah aktif dalam mencari kasus-kasus dalam masyarakat yang dapat diberikan bantuan hukum pro bono dan juga dalam mencari keterangan yang diperlukan untuk memberikan pembelaan dalam perkara tersebut.
b. Fase tahun 1980-1994.
39
Point Krusial Implementasi UU Bantuan Hukum, diakses dari
http://www.pbhi.or.id/berita/point-krusial-implementasi-uu-bantuan-hukum, pada tanggal 2 Januari 2014, pukul 20.00.
40
18
Pada masa ini, terutama setelah lahirnya KUHAP pada tahun 1981, terlihat adanya kerja sama yang sangat kuat antara LBH Medan dengan lembaga penegak hukum lain, terutama polisi, dalam hal pemberian bantuan hukum pro bono yang diatur dalam Pasal 56 ayat 1 KUHAP. Pada masa ini pula, peran LBH Medan dalam memberikan bantuan hukum tidak hanya terbatas sebagai “pemadam kebakaran” saja tetapi juga bertindak sebagai “lokomotif demokrasi”. Artinya disini, LBH Medan menjadi penggerak dalam penegakan aspek-aspek negara hukum. Apabila dibuat perbandingannya, maka LBH Medan pada masa ini 60% bertindak sebagai “pemadam kebakaran”, 40% sebagai “lokomotif demokrasi”. Pada masa ini, perkara yang ditangani LBH Medan secara
pro bono meluas, tidak hanya dalam perkara hukum, tapi juga menangani
isu-isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya. c. Fase tahun 1994-1998.
Pada masa ini, LBH Medan mulai meninggalkan konsep bantuan hukum yang lama dan mulai memandang pemberian bantuan hukum pro bono sebagai hak asasi manusia. Pada masa ini pula, pemberian bantuan hukum pro bono tidak lagi terbatas pada individu semata, tetapi lebih cenderung kepada komunitas, seperti komunitas buruh, tani, nelayan, dan komunitas miskin kota, yaitu pedagang kaki lima, supir angkot, tukang becak, mahasiswa yang termarginalkan, dan sebagainya. Karena kuatnya isu-isu hak asasi manusia pada masa itu, LBH Medan berupaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam tubuh LBH Medan sendiri, misalnya dalam hal keanggotaan dan kepengurusan LBH tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, etnis, dan gender.
d. Fase reformasi (setelah tahun 1998).
Pada masa ini, LBH Medan aktif mendorong penghapusan ketentuan-ketentuan yang dominatif dan diskriminatif terhadap golongan tertentu, misalnya penghapusan TAP MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 yang dinilai diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Selain itu, LBH Medan aktif dalam mendorong pembentukan lembaga-lembaga negara baru yang bersifat independenden, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada masa ini pula, LBH Medan cenderung membaur dengan rakyat banyak dengan pemikiran bahwa bantuan hukum merupakan bagian dari demokratisasi negara, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akibatnya, dari kalangan komunitas yang diberikan bantuan hukum pro bono oleh LBH Medan, muncul banyak Biro Bantuan Hukum-nya sendiri yang dalam pelaksanaannya diberikan pengawasan oleh LBH Medan.41
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, bantuan hukum pro bono yang diberikan oleh LBH Medan bersumber dari sumbangan-sumbangan luar negeri. Dalam melaksanakan bantuan
41
Hasil wawancara dengan Adi Mansar, Mantan Wakil Direktur Internal Lembaga Bantuan Hukum Medan, pada tanggal 3 April 2014, pukul 15.00.
19
hukum pro bono tersebut, LBH Medan memegang prinsip anti dominasi dan diskriminasi dan berpusat pada demokratisasi, penegakan keadilan dan hak asasi manusia. LBH Medan tidak memberikan pembatasan pemberian bantuan hukum pada yang tidak mampu semata, melainkan juga bersedia memberikan bantuan hukum pada mereka yang secara materi mampu namun “buta hukum”.42
Bantuan hukum pro bono yang diberikan setiap tahunnya sendiri cukup banyak. Untuk tahun 2011, misalnya, ada sekitar 70 (tujuh puluh) perkara pro
bono yang ditangani oleh LBH Medan, baik litigasi maupun non-litigasi, termasuk
juga dalam perkara pidana.43
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, maka sistem pemberian bantuan hukum pro bono yang sebelumnya dilaksanakan dan dianut oleh LBH Medan mulai disesuaikan dengan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Misalnya dalam hal persyaratan untuk bertindak sebagai pemberi bantuan hukum. Berdasarkan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, pemberi bantuan hukum haruslah terakreditasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-02.HN.03.03 tanggal 31 Mei 2013, LBH Medan telah mendapat akreditasi B dari Kementerian Hukum dan HAM.
Lebih lanjut lagi, apabila ditinjau dari Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, maka LBH Medan telah memenuhi semua persyaratan lain untuk bertindak sebagai pemberi bantuan hukum, antara lain:
a. Berbadan hukum.
LBH Medan bernaung di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sehingga berkedudukan sebagai badan hukum.
b. Terakreditasi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-02.HN.03.03 tanggal 31 Mei 2013, LBH Medan terakreditasi B.
c. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap.
LBH Medan berkantor di Jalan Hindu No. 12, Medan. d. Memiliki pengurus.
LBH Medan memiliki pengurus, antara lain Sdr. Surya Adinata, SH., MKn. sebagai Direktur LBH Medan; M. Khaidir Harahap selaku Wakil Direktur; dan Irwandi Lubis selaku Bendahara untuk Periode 2012–2015. e. Memiliki program Bantuan Hukum.
Sejak diverifikasi dan diakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 31 Mei 2013, LBH Medan baru menangani 2 kasus yang dilakukan secara
pro bono, itupun hanya 1 diantaranya yang merupakan perkara pidana, perkara
yang lainnya merupakan perkara Perselisihan Hubungan Industrial. Meskipun demikian, perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
(inkracht van gewijsde) di tingkat Pengadilan Negeri karena tidak dilakukan
banding maupun kasasi.
42
Ibid.
43
Hasil wawancara dengan Ismail Lubis, Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum Medan, pada tanggal 4 Maret 2014, pukul 13.30.
20
Pendampingan hukum dalam perkara pidana terdaftar atas nama terdakwa Yogas Sabrin als Yogas No. Reg. 1853/Pid.B/2013/PN.Mdn tersebut dilakukan secara
pro bono oleh LBH Medan. Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2011, bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum. Dalam hal ini terdakwa Yogas didakwa melakukan perbuatan pidana tersebut dalam Pasal 170 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni “Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.”
Pasal 4 ayat 3 menyatakan bahwa pemberian bantuan hukum meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum. Dalam hal ini, LBH Medan telah menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, dan membela kepentingan hukum terdakwa Yogas Sabrin als Yogas di Pengadilan Negeri Medan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, yang dapat diberi bantuan hukum secara pro bono adalah setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak dasar tersebut meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menentukan bahwa untuk memperoleh bantuan hukum pro bono, pemohon harus memenuhi syarat-syarat:
a. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum;
b. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
c. Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon.
LBH Medan menetapkan syarat-syarat serupa dalam mempertimbangkan pemberian bantuan hukum pro bono. Persyaratan utama untuk memperoleh bantuan hukum pro bono di LBH Medan adalah Surat Keterangan Miskin. Apabila pemohon tidak mempunyai Surat Keterangan Miskin, pemohon dapat menunjukkan Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Kartu Beras Miskin sebagai gantinya. Apabila pemohon tidak mempunyai Surat Keterangan Miskin atau dokumen lain pengganti Surat Keterangan Miskin tersebut, LBH Medan tidak akan memberikan bantuan hukum pro bono.
Setelah pemohon menunjukkan Surat Keterangan Miskin atau dokumen lain pengganti Surat Keterangan Miskin, LBH Medan akan melakukan penelitian lebih lanjut ke lapangan untuk memastikan bahwa pemohon benar-benar tidak mampu secara ekonomi. Setelah mendapatkan kepastian kebenaran status tidak mampu pemohon, LBH Medan baru akan memberikan bantuan hukum pro bono.
Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menentukan bahwa pemberi bantuan hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
21
setelah permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan bantuan hukum. Ketentuan yang sama juga diterapkan di LBH Medan dimana LBH Medan akan memberikan jawaban paling lama 3 hari setelah permohonan diajukan. Tujuannya adalah untuk efektivitas dan efisiensi kerja sehingga kepentingan hukum pemohon dapat dipastikan segera terjamin dan terlindungi dengan baik.
Jika permohonan diterima, bantuan hukum probono akan diberikan berdasarkan dana dari APBN yang akan dimintakan kepada Menteri Hukum dan HAM setelah perkara mempunyai kekuatan hukum tetap. Dana yang disediakan bagi LBH Medan untuk penyelesaian per-perkara adalah sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dimulai dari penyidikan, pengadilan tingkat I, banding, kasasi, dan Peninjuan Kembali.
Pihak LBH Medan menyatakan bahwa dana merupakan kendala utama dalam pemberian bantuan hukum pro bono. Menurut Ismail Lubis, Advokat dan Staf LBH Medan yang memberikan bantuan hukum pro bono, kesulitan dalam pemberian bantuan hukum pro bono adalah karena dana dari APBN baru dicairkan setelah perkara selesai/berkekuatan hukum tetap sementara terkadang proses penyelesaian perkara tersebut di pengadilan, terutama perkara perdata, bisa memakan waktu yang lama. Selama dana dari APBN belum cair, dana untuk pendampingan terhadap perkara dibebankan pada kantor (dalam hal ini Kantor LBH Medan).
Selain itu, jumlah dana yang diberikan per-perkara terlalu sedikit sementara untuk membiayai pendampingan hukum di tiap tahapan proses beracara perkara pidana di persidangan, meliputi dari penyidikan, pengadilan tingkat I, pengadilan tingkat banding, pengadilan tingkat kasasi, sampai pada Peninjauan Kembali membutuhkan dana yang jauh lebih besar daripada jumlah dana yang ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM per-perkara.44
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Amril, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan. Menurut beliau, kendala dalam memberikan bantuan hukum pro
bono terletak pada prosedur pencairan dana yang rumit. Selain itu, kurangnya
kesadaran dari masyarakat yang berperkara bahwa mereka berhak atas bantuan hukum juga berperan besar. Kebanyakan tersangka/terdakwa sewaktu diberitahukan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum menolak dengan alasan memperumit persidangan perkaranya. Di sisi lain, aparat penegak hukum juga kurang bekerja sama dan tidak mau direpotkan demi kepentingan terdakwa.45
Dalam melaksanakan bantuan hukum probono, LBH Medan masih memiliki kekurangan-kekurangan:
a. Pendampingan terhadap terdakwa Yogas Sabrin als Yogas baru dilakukan di tingkat persidangan di PN Medan, akan tetapi pihak LBH Medan tidak pernah mendampingi terdakwa pada tingkat penyidikan. Apabila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan
44
Hasil wawancara dengan Ismail Lubis, Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum Medan pada tanggal 30 Januari 2014, pukul 15.00.
45
Hasil wawancara dengan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan, Amril, pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 13.40.
22
Hukum, Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa bantuan hukum untuk kasus pidana seharusnya sudah diberikan sejak tingkat penyidikan sampai pada peninjuan kembali.
b. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, hubungan antara pihak LBH Medan dengan terdakwa tidak berlanjut sampai pada saat terdakwa berada di LP. Kemungkinan untuk melanjutkan hubungan di tingkat LP hanya dimungkinkan apabila ada pembebasan bersyarat, hal mana menurut LBH Medan tidak ada dalam perkara terdakwa. Apabila kita tinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Penjelasan Pasal 14 ayat 1 huruf k menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembebasan bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut, maka dalam perkara atas nama terdakwa Yogas Sabrin als Yogas, maka sebenarnya terdakwa Yogas Sabrin als Yogas dapat menerima pembebasan bersyarat setelah menjalani 2/3 masa hukumannya, yaitu 1 tahun 2 bulan, disebabkan minimum 2/3 dari hukumannya tersebut adalah 9 (sembilan) bulan. Oleh karena itu seharusnya pihak LBH Medan masih tetap memantau perkembangan dari terdakwa Yogas Sabrin als Yogas dan tidak membiarkan hubungannya dengan terdakwa berhenti pada saat putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
c. Bagi LBH Medan, Surat Keterangan Miskin adalah syarat mutlak pemberian bantuan hukum probono. Apabila pemohon tidak dapat menunjukkan Surat Keterangan Miskin atau dokumen pengganti lainnya, LBH Medan tidak akan memberikan bantuan hukum probono padahal berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum telah menentukan bahwa apabila pemohon tidak memiliki Surat Keterangan Miskin atau dokumen lain pengganti Surat Keterangan Miskin, pemberi bantuan hukum seharusnya membantu pemohon untuk memperoleh persyaratan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian penulis tersebut, kita dapat melihat bahwa sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum sampai dengan saat ini, penerapan bantuan hukum pro bono publico, khususnya di Kota Medan, Propinsi Sumatera Utara, masih sangat kurang dan perlu dikembangkan lagi. Masih banyak kendala dalam melaksanakan bantuan hukum. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah untuk mengambil tindakan guna memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut.
Dengan adanya kesadaran dari para penegak hukum dan kerja sama antara negara dan para penegak hukum yang digalang dengan baik, serta dengan adanya sosialisasi terhadap masyarakat luas, terutama masyarakat miskin, niscaya tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum untuk mewujudkan keadilan dan persamaan di depan hukum guna tercapainya masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud di Indonesia.
23 E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka selanjutnya dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
a. Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia pada masa penjajahan Belanda ketika diundangkan dalam R.O. dan HIR. Namun ketentuan dalam R.O. dan HIR masih sangat lemah dimana kemungkinan untuk mendapatkan bantuan hukum terbatas pada ketersediaan penasihat hukum dan apakah mereka mau memberikannya. Setelah kemerdekaan Indonesia, bantuan hukum mulai mendapatkan kepastian dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan lahirnya Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970, disusul dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di berbagai daerah. Konsep bantuan hukum yang dikenal sekarang ini adalah konsep bantuan hukum struktural yang dikembangkan oleh Lembaga Bantuan Hukum. Bantuan hukum diberikan oleh pemberi bantuan hukum yang meliputi Lembaga Bantuan Hukum, advokat, pokrol, Fakultas Hukum, dan Organisasi Advokat. Bantuan hukum diberikan berdasarkan dana dari APBN atau APBD, dan dapat juga berasal dari hibah atau sumbangan atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat. Tata cara pemberian bantuan hukum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
b. Sebelum kemerdekaan Indonesia, beberapa peraturan yang memuat pengaturan mengenai bantuan hukum, antara lain:
1) Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Belied der Justitie
(R.O.) Stb. 1847 No. 23 Pasal 185 sampai dengan Pasal 192.
2) Herziene Inlandsch Reglement (HIR) Stb. 1941 No. 44 dalam Pasal 83
h ayat 6, Pasal 237 sampai 242, Pasal 250, dan Pasal 254.
3) Regeling van de Bijstand en de Vertegenwordiging van Partijen in de
Burgerlijke Zaken voor Landraden Stb. 1927 No. 496 tanggal 21
Oktober 1927.
Setelah kemerdekaan Indonesia, beberapa peraturan yang memuat ketentuan mengenai bantuan hukum, antara lain:
1) Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965.
2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Dicabut dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman). 3) Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat jo Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma.
24
5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum jo Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
c. Penerapan bantuan hukum pro bono publico di Kota Medan masih sangat kurang dan perlu dikembangkan lagi. Dalam pemberian bantuan hukum, pemberi bantuan hukum sebenarnya sudah cukup aktif. Namun, dapat dilihat masih kurangnya kerja sama antara negara dengan pihak pemberi bantuan hukum dalam hal pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Di sisi lain, masyarakat miskin yang hendak memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma juga masih terkendala dengan persoalan administrasi. Demikian pula, masih banyak oknum penegak hukum yang tidak menjalankan pemberian bantuan hukum pro bono ini dengan baik.
2. Saran
Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam pembahasan dan kesimpulan, maka selanjutnya disarankan hal-hal sebagai berikut:
a. Konsep, ruang lingkup, jenis, tujuan, dan fungsi bantuan hukum telah dikembangkan agar dapat lebih menjamin kepentingan kaum miskin. Meskipun demikian, sangat disayangkan bahwa masih banyak masyarakat miskin yang tidak menyadari/mengetahui keberadaan bantuan hukum ini. Hal ini menjadi tugas Pemerintah bersama-sama dengan aparat penegak hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, dan advokat, untuk mensosialisasikan kepada masyarakat umum agar mereka mengetahui bahwa mereka mempunyai hak atas bantuan hukum apabila berperkara.
b. Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia, peraturan-peraturan mengenai bantuan hukum yang pernah dan masih berlaku sangat rentan terhadap penyimpangan dalam pelaksanaannya. Hal ini menjadi masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk terus berupaya mengadakan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan mengenai bantuan hukum agar dapat menjamin kepastian hukum yang tegas dalam pelaksanaan bantuan hukum bagi golongan miskin sehingga hak-haknya terjamin.
c. Di Kota Medan, pelaksanaan bantuan hukum masih menemui kendala-kendala, terutama mengenai persoalan dana. Hal ini menjadi masukan bagi para pihak yang terkait dengan pelaksanaan bantuan hukum agar dapat menggalang kerja sama dengan lebih baik lagi tanpa mementingkan suatu golongan atau kepentingan pribadi. Begitu pula dengan penegak hukum yang nakal dan sistem yang bobrok perlu untuk dibenahi dan dibersihkan. Kesadaran hukum yang baik perlu dipupuk dalam diri calon-calon penegak hukum agar dapat menjadi penegak hukum yang bersih dan teguh memegang kode etiknya. Demikian pula, Pemerintah sendiri perlu bersikap tegas dalam menentukan prioritas dan memangkas anggaran yang tidak perlu sehingga dana yang dialokasikan untuk pemberian bantuan hukum dapat lebih menjamin penegakan bantuan hukum itu sendiri.
25
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku
Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Cendana Press.
Aminah, Siti. 2009. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: YLBHI.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP –
Penyidikan dan Penuntutan.Jakarta: Sinar Grafika.
Lubis, T. Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.
Panjaitan, Daniel. 2006. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia – Pedoman Anda
Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: YLBHI.
Sartono dan Bhekti Suryani. 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Advokat.Jakarta: Dunia Cerdas.
Soekanto, Soerjono. 1983. Bantuan Hukum – Suatu Tinjauan Sosio Yuridis. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Subekti, R. 1977. Hukum Acara Perdata.Bandung: Bina Cipta.
Sunggono, Bambang dan Aries Harianto. 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Bandung: CV. Mandar Maju.
Winata, Frans Hendra. 1995. Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan
Keprihatinan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Winata, Frans Hendra. 2000. Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan
Belas Kasihan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Winata, Frans Hendra. 2009. Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin
Untuk Memperoleh Bantuan Hukum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Sumber Peraturan Perundang-Undangan
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
6. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 7. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
10.Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
26 Sumber Artikel dan Jurnal
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional: Majalah Hukum Nasional.
Dias, Clarence J. 1975. Research on Legal Services and Poverty: Its Relevance to
the Design of Legal Service Programs in Developing Countries,
Washington University Law Quarterly.
Mosgan Situmorang, dkk. 2011. Penelitian Hukum tentang Tanggung Jawab Negara dan Advokat dalam Memberikan Bantuan Hukum Kepada
Masyarakat. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum
dan HAM.
Nusantara, Abdul Hakim G dan Mulyana W. Kusumah. 1981. Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke Arah Bantuan Hukum
Struktural. Bandung: Penerbit Alumni.
Sumber Internet
“Kapan Putusan Pengadilan Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap?”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-pengadilan-dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap
“Pasal 163 Indische Staatsregeling”,
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasal_163_Indische_Staatsregeling
“Point Krusial Implementasi UU Bantuan Hukum”,
http://www.pbhi.or.id/berita/point-krusial-implementasi-uu-bantuan-hukum
“Tahun 2014 Posbakum Bertambah 5 Menjadi 74”,
http://www.badilag.net/direktori-dirjen/17982-tahun-2014-posbakum-bertambah-5-menjadi-74-111.html
Sumber Wawancara
1. Wawancara dengan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan, Amril, SH, M.Hum.
2. Wawancara dengan Adi Mansar, SH, M.Hum, Advokat dan Mantan Wakil Direktur Internal Lembaga Bantuan Hukum Medan Periode 2006-2009.
3. Wawancara dengan Ismail Lubis, SH, Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum Medan.
4. Wawancara dengan Reni Lorensa, Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum Medan.