• Tidak ada hasil yang ditemukan

REALITAS SOSIAL DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI: PERSPEKTIF REALISME SOSIALIS GEORG LUKACS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REALITAS SOSIAL DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI: PERSPEKTIF REALISME SOSIALIS GEORG LUKACS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SOCIAL REALITY IN THE NOVEL ENTITLED PULANG BY LEILA S. CHUDORI: GEORG LUKACS’ SOCIALIST REALISM PERSPECTIVE

Moch. Zainul Arifin

Komunitas Teratai, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Ruang admin prodi magister Sastra, Gedung margono, Lantai III

Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta Pos-el: arifin_zain90@yahoo.com

(Makalah diterima tanggal 7 April 2019—Disetujui tanggal 20 juni 2019)

Abstrak: Karya sastra sebagai cerminan masyarakat pada jamannya. Sebagai cerminan masyarakat, karya sastra mengangkat budaya masyarakat saat atau sebelum karya sastra itu tulis. Novel Pulang karya Leila S. Chudori dapat dikatakan novel sejarah karya mengangkat peristiwa sejarah besar yakni tragedi berdarah 30 September 1965, revolusi Prancis pada tahun 1968 dan juga peristiwa 1998 di Indonesia. Menurut Lukacs, novel sejarah dan novel sosial sama saja karena sebuah peristiwa sosial pada masa lalu akan menjadi sejarah bagi generasi masa kini. Berdasar hal tersebut, penelitian ini menggunakan teori realisme sosialisme Georg Lukacs. Teori tersebut menyatakan bahwa fakta murni alam muncul ketika suatu fenomena dunia riil ditempatkan (dalam pikiran atau dalam realitas) ke dalam suatu lingkungan di mana hukum-hukumnya dapat diawasi tanpa perlu melakukan intervensi internal. Dalam melakukan hal tersebut, kita akan sampai pada suatu pemahaman tentang bentuk-bentuk luaran fenomena dan menganggapnya sebagai bentuk, di mana inti terdalam pasti dapat muncul. Dengan bahasa yang sederhana pengetahuan totalitas akan fakta dari peristiwa haruslah dimengerti eksistensi riil dan inti terdalam dari fakta tersebut. Dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini, terdapat realitas sosial yang tidak pernah di pelajar di bangku sekolah. Fakta seperti adanya eksil politik yang hidup terkatung-katung di Eropa, penyiksaan dan pembantaian korban salah tangkap, dan sebagainya. Hal tersebut menjelaskan betapa sejarah yang kita pelajar saat ini hanyalah sejarah buatan oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, realitas sosial yang ada dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini merupakan kehidupan masyarakat Indonesia yang terlupakan.

Kata Kunci: realitas sosial, novel, masyarakat

Abstract: Literary works as a reflection of society in their era. As a reflection of society, literary works raise the culture of society by the time or before the literary work was written. Leila S. Chudori's novel entitled Pulang can be said to be a historical work by bringing up major historical events namely the bloody tragedy of 30 September 1965, the French revolution in 1968 and also the events of 1998 in Indonesia. According to Lukacs, historical novels and social novels are the same because a social event in the past will be history for the present generation. Based on this, this study uses Georg Lukacs's theory of socialism realism. The theory states that the pure fact of nature arises when a real world phenomenon is placed (in the mind or in reality) into an environment where its laws can be monitored without the need for internal intervention. In doing so, we will be arrived at an understanding of the external forms of phenomena and think of them as forms, in which the deepest core can certainly emerge. With simple language the knowledge of the totality of facts from events must be understood the real existence and the deepest core of the facts. In Pulang's novel by Leila S. Chudori, there is a social reality that has never been learned at school. Facts such as the existence of political exiles that are adrift in Europe, torture and slaughter of victims of wrongful arrests, and so on. That explains how the history we learn today is only history made by irresponsible people. Therefore, the social reality in the novel Le Pulang S. Chudori's Pulang is a forgotten Indonesian community life.

(2)

PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan tiruan atau pemanduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang, hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan yang ada. Karena karya sastra merupakan gambaran dari kehidupan, Plato berpendapat bahwa sastra ialah mimesis atau tiruan dari alam semesta. Maka dari itu, karya sastra juga tidak dapat di pisahkan dari kebudayaan yang membentuknya. Selain kelahiran karya sastra yang tidak dapat terpisah dari pengaruh sosio-budaya, hubungan karya sastra dengan masyarakat pembentuknya bersifat timbal balik. Dengan kata lain, karya sastra mampu mempengaruhi kehidupan kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam hal ini termasuk juga penciptaan sebuah novel. Novel juga dapat mempengaruhi seseorang untuk bisa bertindak atau meniru gaya dari novel yang dibacanya. Dengan alasan itu maka novel juga dimanfaatkan oleh para pengarang untuk memperoleh masa baik dalam hal dunia politik atau yang lainnya.

Karya sastra merefleksikan sejarah yang terjadi pada masanya atau pada masa sebelumnya, namun tetap karya sastra merupakan tulisan cita fiktif. Hal tersebut seperti apa yang dikemukakan oleh Lukacs (Kuntowijoyo, 1995: 133) bahwa novel sosial sama halnya dengan novel sejarah yang menggunakan peristiwa sejarah kontemporer itu barang kali di zaman pengarangnya hanya dianggap sebagai peristiwa sosial, tetapi bagi generasi sesudahnya dapat diangkat menjadi sebagi peristiwa sejarah.

Dalam hubungan novel sejarah dengan novel sosial Lukacs bahwa keduanya dapat mempunyai hubungan timbal balik: karya sastra menjadi saksi dan diilhami oleh jamannya, dan sebaliknya karya sastra itu dapat pula mempengaruhi peristiwa-peristiwa sejarah jamannya dengan membentuk semacam opini publik. Realitas sosial yang diungkapkan lewat tokoh-tokoh imajiner dapat memberikan gambaran hidup (keaslian sejarah) tentang jamannya. Yang dimaksud dengan keaslian sejarah yaitu ‗kualitas dari kehidupan batin, moralitas, heroisme, kemampuan untuk berkorban, keteguhan hati, dan sebagainya, yang khas untuk suatu jaman‘ (Kuntowijoyo, 1995: 133-135).

Dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini menggambarkan sejarah atau peristiwa

besar dalam sejarah yakni peristiwa gerakan 30 September 1965, revolusi Prancis pada tahun 1968, dan juga tragedi Indonesia pada tahun 1998. Novel Pulang ini menceritakan bagaimana perjalanan hidup orang-orang eksil politik Indonesia di luar negeri hingga berpengaruh kepada keturunan mereka. Kisah yang sarat dengan sejarah yang perah terjadi di Indonesia. Berdasar hal tersebutlah penulis menggunakan teori Realisme Sosialis Georg Lukacs untuk membedah novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Realisme Sosialis Georg Lukacs

Georg Lukacs dengan teori realisme sosialisnya berkaitan erat dengan teori Marxisme. Dasar dari pendapat Lukacs adalah teori Karl Marx. Marx menjelaskan bagaimana kondisi tentang hubungan antara teori dan praktek menjadi mungkin. Hal tersebut dapat dilihat dalam ungkapan Lukacs sebagai berikut.

Marx jelas-jelas mendefinisikan kondisi-kondisi tentang hubungan antara teori dan praktek menjadi mungkin. ―Tidaklah cukup jika pikiran harus berusaha merealisasikan dirinya; kenyataan juga harus berjuang menuju pikiran‖. Atau, sebagaimana yang dia ungkapkan dalam sebuah karya awalnya: ―Maka, akan disadarilah bahwa dunia sudah lama mengambil bentuk sebuah mimpi yang hanya perlu dikuasai secara sadar agar dapat dikuasai dalam realitas‖ (Lukacs, 2014: 24).

Selanjutnya Lukacs mengemukakan bahwa ketika kesadaran berdiri dalam hubungan semacam itu dengan realitas, barulah teori dan praktek dapat disatukan. Agar hal tersebut dapat terpenuhi, adanya kesadaran harus menjadi tahap paling menentukan yang mesti dilalui proses historis dalam langkahnya menuju tujuan tersebut.

Ketika suatu situasi historis telah muncul, tempat di mana sebuah kelas harus memahami masyarakat jika ia ingin menyatakan dirinya; dan juga di saat fakta kelas memahami dirinya berarti bahwa kelas tersebut memahami masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan, konsekuensinya ketika kelas mampu menjadi subjek sekaligus objek pengetahuan; pendek kata, ketika kondisi-kondisi sudah terpenuhi, barulah kesatuan teori dan praktek, yaitu pra-kondisi bagi fungsi revolusioner dari teori menjadi mungkin (Lukacs, 2014: 24).

Lukacs (2014: 30) menjelaskan mengenai hubungan antara fakta dalam kehidupan nyata

(3)

dengan pikiran manusia. Hubungan tersebut dijelaskan dengan mengaitkan fakta murni ilmu alam dengan realitas pikiran manusia. Menurut Lukacs, fakta murni alam muncul ketika suatu fenomena dunia riil ditempatkan (dalam pikiran atau dalam realitas) ke dalam suatu lingkungan di mana hukum-hukumnya dapat diawasi tanpa perlu melakukan intervensi internal. Proses ini diperkuat dengan mereduksi fenomena yang pada esensinya murni kuantitatif.

Lukacs kembali menggunakan pendapat Marx tentang eksistensi riil dan inti terdalamnya. Dalam buku Dialektika Marxis menjelaskan bahwa jika fakta-fakta ingin dimengerti, maka perbedaan antara eksistensi riil dan inti terdalamnya tersebut harus ditelaah secara jernih dan jitu. Perbedaan tersebut merupakan premis awal dari kajian ilmiah sesungguhnya yang terdapat dalam kata-kata Marx, ―Kajian yang akan berlebihan, sekiranya penampakan luar benda-benda berkoinsidensi dengan esensinya.‖ Untuk itu, kita harus melepaskan fenomena dari bentuk di mana ia diterima dalam keadaan terberi dan menemukan hubungan-hubungan buatan yang mengaitkannya dengan inti, esensinya. Dalam melakukan hal tersebut, kita akan sampai pada suatu pemahaman tentang bentuk-bentuk luaran fenomena dan menganggapnya sebagai bentuk, di mana inti terdalam pasti dapat muncul (2014: 34).

Kemudian Lukacs (2014: 35)

menjelaskan bahwa hanya dalam konteks yang melihat fakta-fakta kehidupan sosial yang terisolasi sebagai aspek proses historis dan menyatukannya ke dalam suatu totalitas inilah pengetahuan tentang fakta-fakta dapat diharapkan menjadi sebuah pengetahuan tentang realitas. Pengetahuan tersebut berawal dari determinan-determinan yang bersifat sederhana dan bagi kaum kapitalis hal tersebut bersifat murni, langsung dan natural. Berangkat dari determinan-determinan tersebut menuju pengetahuan tentang totalitas yang konkret, yakni, menuju reproduksi konseptual atas realitas. Totalitas konkret ini sama sekali bukan datum langsung bagi pikiran.

Idealisme menurut Lukacs takluk terhadap delusi yang mencampuradukkan objekreproduksi intelektual atas realitas dengan struktur aktual realitas itu sendiri. Karena di dalam pikiran, realitas muncul sebagai proses sintesis, bukan sebagai sebagi titik tolak, melainkan sebagai hasil.

Meskipun begitu, ia adalah titik tolak yang sebenarnya karena itu merupakan titik tolak bagi persepsi dan ide-ide.

Dalam kasus realitas sosial, menurut Lukacs (2014: 38-39), kontradiksi-kontradiksi yang terdapat di dalamnya sama sekali bukan tanda dari

ketidaksempurnaan pemahaman tentang

masyarakat; justru sebaliknya, kontradiksi-kontradiksi itu adalah bagian dari hakikat realitas itu sendiri dan hakikat kapitalisme. Ketika totalitas sudah diketahui, kontradiksi-kontradiksi itu bukannya harus melampaui lewat transendensi dan setelah itu tidak lagi menjadi kontradiksi. Justru sebaliknya, kontradiksi-kontradiksi tersebut mesti dipandang sebagai kontradiksi-kontradiksi niscaya yang lahir dari antagonisme sistem produksi itu sendiri. Manakala teori membentangkan jalan bagi penyelesaian kontradiksi-kontradiksi itu, maka ia

melakukannya dengan menyingkap dan

menunjukkan kecenderungan-kecenderungan sebenarnya dari evolusi sosial. Kecenderungan-kecenderungan inilah yang telah ditakdirkan untuk menawarkan suatu resolusi nyata bagi kontradiksi-kontradiksi yang telah muncul dalam perjalanan sejarah.

Lukacs (2014: 44) menyatakan bahwa bentuk-bentuk objektif seluruh fenomena sosial selalu berubah di sepanjang interaksi dialektisnya yang tiada henti satu dengan yang lain. Kemasukakalan objek-objek berkembang sebanding dengan pemahaman kita tentang fungsinya di dalam totalitas tempatnya menjadi bagian. Inilah sebabnya, hanya pemahaman dialektis tentang totalitas saja yang memungkinkan kita memahami realitas sebuah proses sosial.

Lukacs mengaitkan antara kelas proletariat dengan realitas sosial. Lukacs (2014: 58) menjelaskan kelas proletariat adalah subjek sadar dari realitas sosial secara keseluruhan, namun subjek sadar tidak didefinisikan seperti yang terdapat dalam Kant yang mendefinisikan ‗subjek‘ sebagai sesuatu yang tidak akan pernah menjadi objek. Subjek bukanlah penonton yang terpisah dari proses kelas proletariat lebih dari sekadar bagian aktif dan pasif dari proses ini: kelahiran dan evolusi pengetahuannya, dan kemunculan dan evolusi aktualnya dalam perjalanan sejarah, adalah dua sisi dari proses yang sama. Jadi, yang terjadi bukanlah sekadar kelas pekerja muncul dalam rangkaian tindakan-tindakan spontan dan tidak disadari yang

(4)

dipacu oleh penderitaan langsung, lalu berlahan-lahan menjadi canggih lewat perjuangan sosial yang tiada henti sampai ke titik di mana dia membentuk dirinya sendiri menjadi sebuah kelas. Namun, tidak kurang benarnya pula bahwa kesadaran proletariat tentang realitas sosial, tentang situasi kelasnya sendiri, tentang posisi historisnya, dan tentang sudut pandang materialismenya terhadap sejarah, adalah produk dari proses evolusi diri yang sama yang pertama kalinya dipahami materialisme historis dengan sangat baik.

Korelasi antara kehidupan sosial dengan pikiran manusia dijelaskan oleh Lukacs (2014: 256) bahwa manusia yang telah dihancurkan kehidupan sosial itu, yang terfragmentasi dan terbelah menjadi berbagai sistem parsial, dapat dipadukan lagi menjadi satu keseluruhan di dalam pikiran.

Dalam buku karangan Karyanto (1997: 37) Lukacs mengemukakan bahwa sastrawan sebagai pribadi yang terus mengalami perkembangan bersama lingkungan sosialnya yang terus mengalami perubahan.

METODE

Teknik baca dan catat menjadi teknik pengumpulan data yang akan dianalisis. Karena kajian dalam penelitian ini menggunakan sosiologi sastra, maka data dari teks novel juga akan direlevansikan dengan data dari kejadian di kenyataan melalui laporan, arsip sejarah, internet maupun koran. Berikut ini, tahap pengumpulan data dari novel Pulang.

(1) Pembacaan novel Pulang dari akhir untuk memeroleh gambaran mengenai novel tersebut secara utuh.

(2) Pencatatan data-data yang bisa menunjang kesempurnaan analisis. Data-data yang dikutip dijadikan sebagai bukti yang bisa mendukung hasil analisis.

(3) Melakukan analisis sesuai dengan data yang sudah dikelompokkan.

(4) Mencari data dari arsip sejarah, laporan penelitian, internet maupun koran yang menunjang kejadian nyata yang dituliskan di dalam novel.

Teknik analisis data menggunakan metode deskriptif analisis dan analisis isi. Berikut ini langkah-langkah dalam melakukan analisis sesuai dengan data dan rumusan masalah penelitian.

(1) Pengumpulan data-data yang berkaitan dengan tokoh dan penokohan dalam novel Pulang. (2) Penganalisisan sesuai dengan teori Realisme

Sosialis.

(3) Merelevansikan data-data yang dianalisis dari novel dengan data-data yang ditemukan di arsip sejarah, internet maupun koran. Untuk menunjukkan bahwa basis kejadian dalam novel ini memang realisme sosialis atau benar terjadi di dunia nyata saat itu.

(4) Penyimpulan hasil analisis sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian.

(5) Pengkritikan terhadap novel Pulang.

PEMBAHASAN

Realisme Sosialis dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori

Mengacu kepada pendapat Karl Marx, Lukacs (2014: 24) menyatakan bahwa Marx yang jelas-jelas mendefinisikan kondisi-kondisi tentang hubungan antara teori dan praktek menjadi mungkin. ‗Tidaklah cukup jika pikiran harus berusaha merealisasikan dirinya; kenyataan juga harus berjuang menuju pikiran.‘ Atau, sebagaimana yang dia ungkapkan dalam sebuah karya awalnya: ‗Maka, akan disadarilah bahwa dunia sudah lama mengambil bentuk sebuah mimpi yang hanya perlu dikuasai secara sadar agar dapat dikuasai dalam realitas.‘

Berangkat dari pendapat Marx yang diungkapkan oleh Lukacs tersebut, karya sastra merupakan dunia ide dari pengarang untuk menciptakan realitas dalam karyanya. Dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori terdapat beberapa realitas sosial. Realitas sosial tersebut yaitu mengenai perburuan orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI, revolusi Prancis pada tahun 1968, mendirikan restoran tanah air malapraktek sejarah, Peristiwa Indonesia 1998, dan malapraktek sejarah. Berikut ini penjelasan dari realitas sosial yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Perburuan terhadap setiap individu yang berhubungan dengan PKI

Realitas pertama yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori yakni mengenai tragedi pencarian individu yang dianggap terlibat dengan PKI. Masyarakat diharuskan membuat surat keterangan bahwa tidak terlibat dalam G 30

(5)

September untuk membuktikan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

Hampir setiap hari, paling tidak, ada 10 sampai 15 orang yang harus membuat surat keterangan tidak terlibat Gerakan 30 September yang butuh pas foto (Chudori, 2013: 2).

Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana status tidak terlibat G 30 September menjadi penting untuk mengamankan diri dari perburuan tentara. Realitas lain yang menggambarkan perburuan terhadap orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI dialami oleh tokoh Hananto Prawiro. Hananto yang di anggap memiliki hubungan dengan PKI, menjadi orang yang dicari dan akhirnya tertangkap setelah tiga tahun Hananto hidup dalam pelarian dan kesusahan. Hal tersebut dapat diketahui dalam kutipan berikut.

Aku tahu, dia puas karena aku adalah butir terakhir rangkaian yang mereka buru. Ratusan teman-temanku sudah mereka tangkap sejak perburuan yang dimulai tiga tahun lalu.

‗Mari ikut kami...‘ (Chudori, 2013: 4)

Mas Hananto terjaring oleh empat orang intel bulan April lalu. Kami mendapat kabar ini dari pak Adi Tjahjono. Kami tak tahu ke mana mereka membawa Mas Hananto. Mungkin dia dibawa gen Gntur (Chudori, 2013: 19).

Kutipan tersebut menjelaskan kebosanan para pelarian menghadapi tentara yang mencari mereka karena terlalu lamanya mereka menghadapi kesulitan dan kesusahan. Setiap orang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI baik keluarga, kerabat bahkan sahabat menjadi perburuan para tentara suruhan penguasa. Ketika mereka berhasil diciduk, kemudian hari pulang hanya sebuah nama, hilang atau lebih banyak mati. Berikut kutipan yang menjelaskan hal tersebut.

Ada dua helai surat itu di saku jaketku. Sudah sejak awal tahun semua yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia atau keluarga PKI atau rekan-rekan anggota PKI atau bahkan tetangga atau sahabat yang dianggap dekat dengan PKI diburu-buru, ditahan, dan diinterogasi. Dik Aji menceritakan begitu banyak kisah suram. Banyak yang menghilang. Lebih banyak lagi yang mati (Chudori, 2013: 10-11). Keluarga, kerabat, saudara bahkan tetangga yang memiliki hubungan dengan PKI menjadi perburuan dan ditangkap untuk diinterogasi. Entah nantinya dapat kembali atau tidak dari tangkapan para intel tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari tokoh Surti dan anak-anaknya yang masih kecil ditangkap oleh kawanan intel untuk diinterogasi. Seperti dalam kutipan berikut.

Mbak Surti yang sejak peristiwa 65 terus-menerus diinterogasi di Guntur, kini juga dibawa, Mas. Dia tidak mau meninggalkan Kenanga, Bulan, Alam (Chudori, 2013: 19).

Tidak hanya interogasi secara manusiawi. Intel tersebut menyiksa mereka yang dianggap memiliki kedekatan dengan PKI. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Saat diinterogasi, aku bisa mendengar suara teriakan orang-orang yang disiksa. Suara mereka melengking menembus langit-langit. Dan aku hanya bisa berharap jeritan mereka tiba ke telinga Tuhan. Apa yang disaksikan dan didengar Kenanga jauh lebih mengerikan, Mas (Chudori, 2013: 20).

Tiga tahun setelah tahun 1965, Indonesia mengalami keadaan yang menyedihkan. Pencarian orang, penunjukan nama, penyiksaan dan pembataian merupakan hal yang terjadi ketika itu. Hal ini dapat diketahui dalam kutipan berikut.

Setelah 12 hari yang menegangkan, barulah aku menerima telegram: Ibu dan Aji menghiburku dengan mengatakan mereka ‗hanya diminta keterangan‘. Pada tahun 1965, ‗hanya diminta keterangan‘ memiliki elemen teka-teki: bisa saja hanya diinterogasi, bisa juga disetrum. Sejarah –meski tak tertulis–membuktikan, untuk tiga tahun berikutnya setelah 1965, Indonesia memiliki beberapa tahap kekejian: perburuan, penunjukan nama, penggeledahan, penangkapan, penyiksaan, penembakan, dan pembataian (Chudori, 2013: 70).

Eksil yang berada di luar negeri, tidak dapat kembali ke Indonesia karena keadaan yang tidak memungkinkan bagi mereka. Pencarian orang-orang yang di anggap terlibat dengan PKI masih dilakukan. Tokoh Dimas dan teman-temannya yang telah masuk daftar orang yang dicari karena dianggap memiliki keterlibatan mereka kepada PKI. Berikut kutipan yang menjadi penjelasnya.

Kami menjadi sekelompok manusia stateless. Sekelompok orang tanpa identitas. Kejadian ini begitu mengejutkan hingga aku tak mempunyai waktu barang sedetik pun untuk berpikir, betapa jauhnya hidupku dari tanah air, dari ibu, dan dari Aji; dari Jakarta, dari solo, dan dari segala kehidupan yang baik dan buruk (Chudori, 2013: 72).

Setiap hari, hidup kami diisi dengan debar jantung karena kami tak yakin dengan nasib yang terbentang didepan. Untuk pulang tak mungkin. Untuk melanglang buana masih sulit (Chudori, 2013: 72). Di tengah perburuan atas orang-orang yang berkaitan dengan PKI, Tokoh Dimas dan teman-temannya yang sama-sama sebagai Eksil yang terkatung-katung di luar negeri justru mendapat berita buruk lain yakni dicabutnya paspor Indonesia mereka. Indonesia yang mereka rindukan malah

(6)

mencampakkan mereka. Berikut kutipan pembuktinya.

Aku masih mencoba mencari cara untuk menghubungi Mas Hananto dan Surti tanpa membahayakan mereka. Tetapi kawan-kawan di Havana mengatakan segala macam hubungan dan koneksi ke Indonesia bisa membuat keluarga kami semakin diburu tentara. Lalu jatuhlah bom berikutnya: paspor Indoensia kami dicabut (Chudori, 2013: 72).

Revolusi Perancis 1968

Terjadi kerusuhan yang melibatkan kaum mahasiswa Prancis menuntut keadilan. Para mahasiswa menentang penutupan kampus untuk sementara. Gerakan mahasiswa dan buruh yang berkecamuk di Paris pada Mei 1968 melawan pemerintahan Perancis. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Perseteruan antara mahasiswa dan buruh melawan pemerintah De Gaulle (Chudori, 2013: 10).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa pada tahun 1968, sesuai bab yang berada dalam novel yakni Paris Mei 1968, tengah terjadi perseteruan gerakan mahasiswa dan buruh melawan pemerintah Perancis saat itu. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Mei 1968. Hal tersebut dapat ketahui dalam kutipan berikut.

Aku mencium bau udara bulan Mei yang penuh dengan bau sanggit tubuh yang jarang bertemu air. Bau mulut yang tak bertemu odol bercampur dengan aroma alkohol, menguarkan semangat perlawanan yang tak tertandingi (Chudori, 2013: 10).

Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa bau badan yang menyengat memperlihatkan sudah lama tidak mandi dan bau mulut beraroma alkohol menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa telah berhari-hari dalam aksinya melawan pemerintah.

Mendirikan Restoran Indonesia

Realitas sosial yang selanjutnya yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S.Chudori yakni didirikannya restoran tanah air oleh para eksil politik Indonesia tersebut. Berawal dari mahirnya seorang Dimas dalam memasak yang diakui rasa msakannya oleh seluruh teman-temannya. Akhirnya mereka memiliki gagasan untuk mendirikan restoran Indonesia di kota Paris. Berikut bukti kutipannya.

Belum pernah aku mendengar Tjai berbicara penuh semangat seperti itu. Kedua matanya berkilat-kilat. Mas Nug memegang kedua bahu dan berseteru setinggi langit:‘Dimas! Kita akan membuat restoran Indonesia di Paris!‘ (Chudori, 2013: 102).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa walau keadaan mereka yang dibuang oleh negara namun tidak menyulutkan rasa nasionalisme mereka terhadap tanah air. Mendirikan restoran Indonesia di kota Paris merupakan sebuah gagasan yang luar biasa, seakan mereka berjuang membuang atas anggapan eksil politik yakni komunis mereka, dengan mendirikan restoran bercorak Indonesia tersebut.

Dengan mendirikan restoran Indonesia di

Paris, Dimas dan kawan-kawannya

menggantungkan tempat mencari nafkah mereka kepada restoran tersebut. Restoran yang telah berdiri selama lima belas tahun tersebut menjadi kebanggaan mereka. Berikut kutipannya.

Kini suara sember yang dinyanyikan dengan ceria itu meliuk-liuk masuk ke dapur yang terletak di lantai bawah restoran tanah air, rumah kami mencari nafkah, sekaligus kebanggaan kami selama 15 tahun terakhir (Chudori, 2013: 93).

Malapraktek Sejarah

Di setiap tahun, ada sebuah film yang wajib diputar. Film tersebut adalah tentang pengkhianatan PKI. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

Salah satu sejarawan pernah menulis jurnal ilmiah, menyatakan bahwa persoalan politik saat itu tidak hitam-putih seperti yang di tampilkan pada diorama Lubang Buaya dan film buatan pemerintah yang setiap tahun harus kami tonton sebagai kewajiban (Chudori, 2013: 288).

Setiap tahun per tanggal tiga puluh September, anak-anak sekolah dasar diharuskan mengunjungi Monumen Pancasila Sakti. Setibanya di sana akan ada Ibu pemandu yang menjelaskan tentang tempat tersebut mulai dari patung jenderal yang berdiri gagah hingga cerita pembuangan para jenderal ke dalam lubang buaya oleh PKI. Hal tersebut dapat di ketahui dari kutipan berikut

Tanggal 30 September 1975, kami di halau naik ke atas bis warna kuning kunyit untuk mengunjungi Monumen Pancasila Sakti. Tiba di sana, kami – menyandang ransel di punggung berisi nota, pensil, roti, dan air minum – di halau turun dan diperintahkan berbaris dengan rapi dan sikap takzim. Sekali saja mengunjungi Monumen itu, aku sudah hafal di luar kepala. Ada patung-patung jenderal yang berdiri tegak dan berwibawa. Kami harus mengelilingi Ibu Pemandu, mendengarkan kisah Ibu Pemandu yang menjelaskan hal yang sama, nama yang sama,

(7)

peristiwa yang sama. Sesuai dengan sejarah: jenderal diseret dan disiksa, lalu dicemplungkan ke dalam lubang Buaya. Dan itu salah partai Komunis Indonesia. Juga salah keluarga PKI dan saudara-saudara PKI. Termasuk anak-anak keluarga PKI yang baru lahir atau bahkan yang belum lahir tahun 1965. Semua dianggap berdosa.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa masyarakat, dalam hal ini anak-anak sekolah dasar, telah dicekoki oleh sejarah buatan yang dipaksakan memahaminya. Hal tersebut dilakukan agar pemahaman negatif masyarakat terhadap PKI terus berkelanjutan hingga anak turun mereka kelak.

Seluruh keluarga PKI, atau siapa pun yang berhubungan dengan PKI dianggap bertanggung jawab atas apa yang menimpa para jenderal. Seluruhnya bahkan keluarga PKI yang baru lahir atau bahkan belum lahir pada tahun 1965 harus menanggung dosa turunan yang tidak pernah terbukti kebenarannya.

Siapakah pemilik sejarah? Pertanyaan tersebut yang harus diacungkan perihal adanya manipulasi sejarah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal tersebut diungkapkan oleh tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Berikut bukti kutipannya.

Siapakah pemilik sejarah? Siapa yang menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang jadi penjahat? Siapa pula yang menentukan akurasi setiap peristiwa? (Chudori, 2013: 288).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Lintang memandang adanya realitas yang di buat-buat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pertanyaan yang sederhana yang mempertanyakan keakuratan dan keaslian sejarah yang digambarkan dalam diorama. Berikut ini kutipan selanjutnya tentang pertanyaan Alam tersebut.

Mereka, sejarawan yang dipesan oleh pemerintah dan ditugaskan menulis peristiwa September? Atau mereka, sejarawan dan para intelektual yang nekat mempertanyakan berbagai hal yang tak tertulis dalam sejarah. Aku tahu, ada beberapa gelintir sejarawan Indonesia yang sudah lama gatal untuk menggali, mengulik, dan menggugat sejarah versi Orde baru (Chudori, 2013: 288).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa secara sepihak membelokkan sejarah agar tampak beberapa tokoh sebagai pahlawan. Dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori menerangkan bahwa persoalan politik saat itu tidak hitam-putih seperti yang di tampilkan pada diorama Lubang Buaya dan film buatan pemerintah yang setiap tahun harus ditonton oleh masyarakat Indoensia.

Peristiwa kekerasan 1998

Realisme sosial dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori selanjutnya mengenai tragedi yang terjadi pada tahun 1998. Terdapat unjuk rasa besar-besaran yang meminta presiden Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden republik Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.

Meski ini adalah pekan kedua saya di Jakarta, saya memasuki era di mana masyarakat Indonesia sudah berani terang-terangan meminta presidennya untuk mundur (Chudori, 2013: 410).

Dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori tersebut juga terdapat realitas sosial yakni terdapat adanya mahasiswa tertembak mati ketika demonstrasi berakhir ricuh. Hal tersebut dapat di ketahui dalam kutipan berikut.

Siang ini, kami akan memberi penghormatan terakhir pada para mahasiswa yang tertembak mati kemarin. Suatu peristiwa yang semoga saja tak dilupakan oleh generasi masa kini (Chudori, 2013: 411).

Realitas sosial terdapat pula pada keadaan demonstrasi 1998 yakni di lokasi kampus Tri Sakti terdapat pula Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Emil Salim, Ali Sadikin, dan Adnan Buyung Nasution. Para tokoh tersebut datang ke kampus Tri Sakti untuk melaksanakan aksi berkabung atas kematian penembakan mahasiswa Tri Sakti. Hal tersebbut dapat diketahui melalui kutipan berikut.

Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan alumni, tetapi terlihat banyak tokoh yang datang menghadiri aksi berkabung ini. Aku melihat Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Emil Salim, Ali Sadikin, dan Adnan Buyung Nasution (Chudori, 2013: 415).

Realitas Sosial Masyarakat

Lukacs (2014: 29) mengemukakan Realitas sosial dalam dunia nyata bahwa empiris picik tentu akan mengingkari pendapat bahwa fakta hanya bisa menjadi fakta dalam kerangka sebuah sistem – yang akan berbeda-beda menurut pengetahuan yang diinginkan. Mereka yakin bahwa setiap kepingan data dari kehidupan ekonomi, setiap statistik, setiap peristiwa mentah, sudah membentuk suatu fakta penting. Dengan keyakinan seperti ini, empiris picik melupakan bahwa bagaimana pun sederhananya suatu pembeberan fakta, betapa pun sedikitnya komentar atas fakta tersebut, tetapi itu semua sudah mengimplikasikan sebuah interpretasi. Di tahap ini pun fakta-fakta sudah dimengerti dengan sebuah teori, sebuah metode, fakta-fakta

(8)

tersebut telah diceraikan dari konteks hidupnya dan dipasangkan ke dalam sebuah teori.

Berdasarkan pernyataan Lukacs tersebut, dapat di simpulkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia nyata sebenarnya akan membentuk sebuah teori dalam pikiran manusia. Dengan begitulah realitas sosial yang berada dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori terilhami oleh realitas sosial yang terjadi dalam masyarakatnya. Berangkat dari hal tersebut, dalam pembahasan sub bab ini akan menjelaskan peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi pada masyarakat yang merupakan realitas sosial masyarakat pada saat dan sebelum novel Pulang ini dikarang. Peristiwa-peristiwa pada tahun 1965 sampai 1968 dan juga pada tahun 1998 yang memiliki kerelevanan dengan peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Perburuan Orang-orang yang dianggap terlibat PKI

Realitas sosial masyarakat yang pertama adalah mengenai adanya peristiwa perburuan dan pencarian besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap terlihat pada PKI. Sekiranya diduga orang tersebut terlibat dengan PKI maka langsung menjadi buronan, atau langsung ditangkap. Hal ini yang dialami oleh Astaman Hasibun, mantan anggota Lekra. Dalam buku 101 fakta dan mitos kontroversial seputar Gerakan 30 September, Astaman yakni warga medan mengaku bahwa bahwa memang orang tuanya PKI tetapi dirinya bukan PKI. Padahal tidak semua anggota Lekra adalah anggota PKIsebab keduanya tidak berhubungan satu sama lain. Berikut pernyataan Astaman,

‗Saya bukan PKI, orang tua saya yang PKI‘. Akan tetapi tentara yang meciduk Astaman tidak pernah peduli, tetap menggelandangnya ke Tahanan Gandhi, di mana Astaman disekap selama empat setengah tahun lengkap dengan segala siksaan (Mira R, 2014: 95).

Adanya eksil politik Indonesia yang tidak dapat pulang ke tanah kelahirannya karena nama mereka masuk dalam daftar pencarian orang-orang yang diduga terlibat dengan PKI. Eksil politik Indonesia yang berada di Eropa yakni, Agam Wispi, Basuki Resobowo, Sobron Aidit, dan sejumlah aktivis lainnya. Ada pula sastrawan senior yang mati di Moskow yakni Utay Tatang Sontani yang meninggal pada tahun 1979. Mereka merupakan

anggota dari LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Lekra merupakan sebuah lembaga yang didirikan lima tahun setelah revolusi Agustus 1945 atau lebih tepatnya pada . Lekra didirikan dengan tujuan keprihatianan para seniman dan sastrawan terhadap Indonesia yang dianggap belum lepas dari penjajah. Melalui konsep seni rakyat, lekra mengajak para pekerja kebudayaan mengabdikan diri mereka untuk revolusi Indonesia. Lekra diduga termasuk lembaga Onderbouw PKI yang menjadikannya semua yang terlibat dan ada dalam Lekra harus ditangkap.

Salah satu Eksil politik yang berlatar belakang penyair tersohor Lekra. Agam yang telah tua renta pulang kembali ke Indonesia setelah setahun rezim Soeharto jatuh. Agam Wispi merupakan eksil politik yang hidup dalam tiga rezim komunis yakni Cina, Rusia, dan Jerman Timur.

Dalam seri buku Tempo yang berjudul

Lekra dan Geger 1965, Agam mengaku ketika

terjadi tragedi 30 September 1965, dirinya tengah berada di Beijing, untuk menghadiri perayaan ulang tahun Republik Tiongkok. Ia sadar tak dapat kembali. Ketika itu, ia baru menjejak beberapa hari di beijing setelah selama tiga bulan menyusuri Vietnam Utara sebagai perwira angkatan Laut. Hidup berpindah-pindah, terkatung-katung tidak tahu arah tujuan akhirnya Agam hijrah ke Berlin barat setelah dari Berlin timur.

Di perpustakaan H.B. Jassin, suatu sore pada 1999, Agam Wispi bukanlah komunis senior yang kukuh terhadap membela revolusi. Hari itu, ia adalah orang yang muak terhadap komunisme.

Mendirikan Restoran Indonesia di Paris Realisme sosial yang memiliki kerelevanan dengan tokoh Dimas yang mendirikan restoran Indonesia di kota Paris. Dimas yang dulunya adalah seorang jurnalis Harian Rakyat berubah menjadi sesosok eksil politik Indonesia yang tidak henti-hentinya memikirkan tentang tanah air tercintanya, yakni Indonesia. Dalam dunia nyata terdapat pula eksil politik yang mendirikan restoran Indonesia di Paris, yakni Umar Said.

Umar Said, pria kelahiran malang, Jawa timur ini merupakan jurnalis Harian Rakyat. Kariernya melejit menjadi pimpinan redaksi koran Ekonomi Nasional. Dalam buku 101 fakta dan mitos kontroversial seputar gerakan 30 september,

(9)

menjelakan bahwa pada tahun 1963, Umar bersama almarhum Joesoef Isak termasuk penggagas persatuan wartawan Asia-Afrika. Berikut bukti yang penulis peroleh dalam buku tersebut.

Pria kelahiran malang, Jawa timur ini merupakan jurnalis Harian Rakyat. Kariernya melejit menjadi pimpinan redaksi koran Ekonomi Nasional. Pada tahun 1963, Umar bersama almarhum Joesoef Isak termasuk penggagas persatuan wartawan Asia-Afrika. Ketika G 30S meletus, Umar Said sedang berada di Aljazair, untuk persiapan kongres Wartawan Asia-Afrika ke-2.

Umar tinggal di Paris, Perancis setelah melanglang buanake berbagai negara. Dia mendirikan mendirikan restoran Indonesia bersama orang-orang eksil lainnya. Sampai usia lanjut Umar tak bisa kembali ke Tanah Air. Walau demikian ia selalu tak pernah dapat berhenti memikirkan tentang Indonesia (Mira R, 2014: 141).

Malapraktek Sejarah

Pemetintahan orde baru yang di usung oleh Soeharto mengharuskan rakyatnya untuk menonton film pengkhianatan G30S/PKI yang berdurasi sekitar 220 menit. Film yang diproduksi pada tahun 1984 tersebut sebagai propaganda tentang pemberontakan PKI versi Soeharto dan orde baru. Berikut buktinya.

TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI yang berdurasi sekitar 220 menit ini diproduksi pada 1984 dan almarhum Arifin C. Noer didapuk menjadi sutradara film itu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memerintahkan TVRI untuk menayangkan film itu setiap tanggal 30 September. Murid-murid sekolah juga diwajibkan menonton film propaganda tentang pemberontakan PKI versi Soeharto atau Orde Baru ini.

―Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu. Jadi, memang ada semacam muatan politik,‖ ujar Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.

Amoroso yang ditemui, Rabu, 26 September 2012, menuturkan bahwa memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti adanya film. ―Tapi memang ada beberapa adegan yang berlebihan,‖ pria berusia 72 tahun ini.

Sejarawan Hilmar Farid menyatakan dengan tegas bahwa film tersebut adalah propaganda Orde Baru. ―Dari segi produksi, kita lihat pembuatannya, ditangani langsung PPFN (Pusat Produksi Film Nasional) dengan restu Soeharto,‖ tulis dia dalam surat elektronik,‖ ujar dia. Sehingga, isi film pun

mewakili pandangan Orde Baru tentang peristiwa 30 September 1965. ―Dan sejumlah fantasinya.‖ Dari bukti tersebut membuktikan bahwa kewajiban menonton film tentang PKI tersebut dalam novel Pulang, memang benar terjadi dalam dunia nyata. Setiap tanggal 30 September film tersebut wajib diputar untuk membuat opini publik tentang PKI versi orde baru.

Revolusi Prancis 1968

Realitas sosial yang terjadi pada tahun 1968 di Paris ialah adanya pertempuran jalanan yang melibatkan

buruh muda dan mahasiswa melawan

pemerintahan yang dirasa tidak adil. Berikut kutipan buktinya.

Gerakan Mahasiswa Perancis MEI 1968

Pada tanggal 24 mei 1968, Pertempuran jalanan mencapai tingkat lebih tinggi. Di Paris sejumlah buruh muda yang baru ikut demonstrasi CGT bergabung dengan para mahasiswa. Mereka dipacu oleh tawaran de Gaulle untuk melakukan referendum terhadap pemerintahannya.

Di Nantes, dan kota kembarnya, St Nazaire, perlawanan itu makin hebat tanggal 26 Mei ketika penguasa rubuh seketika dan kekuasaan direbut oleh komite mogok pusat, yang didirikan di balai kota.Komite itu mengontrol transpor di seluruh wilayah tersebut. Penghadang jalan dibangun di mana-mana. Kupon bensin dan izin bepergian mulai dikeluarkan. Buruh, mahasiswa dan istri dari mereka yang mogok yang diorganisir melalui komite distrik bekerjasama dengan petani di wilayah itu untuk mengambil hasil panen dan menyediakan makanan bagi kota, melalui toko-toko dan penyalur yang baru didirikan. Harga jatuh dengan cepat karena perantara berhasil dienyahkan. Kontrol terhadap harga dilakukan oleh pengawas-pengawas dari komite. Kutipan tersebut membuktikan bahwa terjadinya revolusi Prancis pada tahun 1968 seperti yang ada dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Peristiwa kekerasan 1998

Peristiwa bersejarah pada tahun 1998 yakni kekerasan yang marak terjadi di Indonesia.

Peristiwa kekerasan semisal berupa

pemberontakan, demo mahasiswa, serta kasus penculikan dan penembakan aktivis.

Kasus penembakan terhadap para aktivis dan juga mahasiswa Universitas Trisaksi tersebut dibuktikan dengan adanya berita di dalam koran kompas sebagai berikut.

Kompas:

Kasus penculikan para aktivis maupun kasus penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti akan dijelaskan senin (25/5) besok, ungkap Kapuspen

(10)

(Kepala Pusat Penerangan) ABRI Brigjen TNI Wahab Monokongan, Sementara Kepala Staf Kodam Jaya Brigjen Sudi Silalah mengungkapkan secara transparan (‗Diungkap Besok, kasus Penembakan di Trisakti‘ Kompas, 24 Mei 1998: 1). Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa peristiwa penembakan aktivis dan juga mahasiswa memang terjadi pada Mei 1998. Penembakan dan penculikan aktivis akan di ungkap hari senin, keesokan hari setelah peristiwa terjadi.

Hubungan Realitas Sosial dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan Realitas Sosial Masyarakat tentang perburuan orang yang diduga terlibat PKI

Realitas sosial yang pertama dalam analisis awal ialah perburuan orang-orang yang dianggap terlibat dengan PKI. Dalam novel Pulang terdapat pencarian individu yang diduga terlibat dalam PKI, peculikan yang berakhir dengan rata-rata hilangnya setiap orang yang diduga memiliki hubungan dengan PKI.

Realitas sosial yang terjadi pada masyarakat pada tahun 1965-1968 juga demikian. Kondisi di mana terjadinya peristiwa berdarah yang terkenal dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Berawal dari pembersihan negara dari komunisme, semua pihak yang diduga berhubungan dengan PKI, entah ada hubungan darah keluarga, sanak saudara, sahabat, bahkan tetangga menjadi orang-orang perlu dibersihkan dari bumi Indonesia.

Setelah 12 hari yang menegangkan, barulah aku menerima telegram: Ibu dan Aji menghiburku dengan mengatakan mereka ‗hanya diminta keterangan‘. Pada tahun 1965, ‗hanya diminta keterangan‘ memiliki elemen teka-teki: bisa saja hanya diinterogasi, bisa juga disetrum. Sejarah –meski tak tertulis – membuktikan, untuk tiga tahun berikutnya setelah 1965, Indonesia memiliki beberapa tahap kekejian: perburuan, penunjukan nama, penggeledahan, penangkapan, penyiksaan, penembakan, dan pembataian (Chudori, 2013: 70). Kutipan di atas memperlihatkan bahwa keluarga Dimas yang diduga terlibat dalam PKI, menjadi orang yang diinterogasi. Interogasi para tentara tersebut biasa dengan tindak kekerasan, hingga penyiksaan seperti yang ada dalam kutipan berikut. Saat diinterogasi, aku bisa mendengar suara teriakan orang-orang yang disiksa. Suara mereka melengking menembus langit-langit. Dan aku hanya bisa berharap jeritan mereka tiba ke telinga Tuhan. Apa yang disaksikan dan didengar Kenanga jauh lebih mengerikan, Mas (Chudori, 2013: 20).

Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana tentara-tentara tersebut menginterogasi manusia yang diduga simpatisan PKI. Kejadian penyiksaan, hingga pembunuhan tersebut juga terjadi sebagai mana yang di alami oleh Hal ini yang dialami oleh Astaman Hasibun, mantan anggota Lekra. Dalam buku 101 fakta dan mitos kontroversial seputar

Gerakan 30 September, Astaman yakni warga

medan mengaku bahwa bahwa memang orang tuanya PKI tetapi dirinya bukan PKI. Padahal tidak semua anggota Lekra adalah anggota PKIsebab keduanya tidak berhubungan satu sama lain. Berikut pernyataan Astaman,

‗Saya bukan PKI, orang tua saya yang PKI‘(Mira R, 2014: 95).

Akan tetapi tentara yang meciduk Astaman tidak pernah peduli, tetap menggelandangnya ke Tahanan Gandhi, di mana Astaman disekap selama empat setengah tahun lengkap dengan segala siksaan.

Realisme Sosial yang terjadi di dunia nyata dalam masyarakat tentang penyiksaan para tentara terhadap dugaan simpatisan PKI ialah sebagai mana yang dialami oleh Eko Wardoyo, mantan pegawai Departemen Pertanian ini dituding sebagai komandan Pos Koordinasi Barisan Tani Indonesia (BTI). Eko diciduk di tanjung periuk kemudian diinterogasi sembari disiksa. Berikut pengakuan Eko kepada Tempo dalam buku 101 fakta dan mitos kontroversial seputar Gerakan 30 September. ‗Seorang tentara menyiram spiritus, lalu menyileti perut saya hingga berdarah-darah, (Mira R, 2014: 96).‘

Terdapat pula eksil politik dalam dunia nyata yang mengalami kesulitan untuk dapat kembali ke tanah kelahiran mereka. Hidup mereka tanpa tujuan yang jelas setelah menjadi Eksil Politik. Salah satu Eksil politik yang berlatar belakang penyair tersohor Lekra. Agam yang telah tua renta pulang kembali ke Indonesia setelah setahun rezim Soeharto jatuh. Agam Wispi merupakan eksil politik yang hidup dalam tiga rezim komunis yakni Cina, Rusia, dan Jerman Timur.

Dalam seri buku Tempo yang berjudul Lekra dan

Geger 1965, Agam mengaku ketika terjadi tragedi

30 September 1965, dirinya tengah berada di Beijing, untuk menghadiri perayaan ulang tahun Republik Tiongkok. Ia sadar tak dapat kembali. Ketika itu, ia baru menjejak beberapa hari di beijing setelah selama tiga bulan menyusuri Vietnam Utara sebagai perwira angkatan Laut. Hidup

(11)

berpindah-pindah, terkatung-katung tidak tahu arah tujuan akhirnya Agam hijrah ke Berlin barat setelah dari Berlin timur.

Di perpustakaan H.B. Jassin, suatu sore pada 1999, Agam Wispi bukanlah komunis senior yang kukuh terhadap membela revolusi. Hari itu, ia adalah orang yang muak terhadap komunisme.

Hubungan Realitas Sosial dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan Realitas Sosial Masyarakat tentang mendirikan restoran Indonesia di Paris

Mendirikan restoran Indonesia di kota Paris yang dilakukan oleh Eksil politik Indonesia, yakni dalam novel tokoh Dimas yang bertindak sebagai kepala koki, memiliki kemiripan perjalanan hidup dengan eksil politik di dunia nyata yakni Umar Said. Umar Said seorang jurnalis Harian rakyat. Umar bersama almarhum Joesoef Isak termasuk penggagas persatuan wartawan Asia-Afrika. Berikut bukti yang penulis peroleh dalam buku tersebut.

Pria kelahiran malang, Jawa timur ini merupakan jurnalis Harian Rakyat. Kariernya melejit menjadi pimpinan redaksi koran Ekonomi Nasional. Pada tahun 1963, Umar bersama almarhum Joesoef Isak termasuk penggagas persatuan wartawan Asia-Afrika. Ketika G 30S meletus, Umar Said sedang berada di Aljazair, untuk persiapan kongres Wartawan Asia-Afrika ke-2.

Umar tinggal di Paris, Perancis setelah melanglang buanake berbagai negara. Dia mendirikan mendirikan restoran Indonesia bersama orang-orang eksil lainnya. Sampai usia lanjut Umar tak bisa kembali ke Tanah Air. Walau demikian ia selalu tak pernah dapat berhenti memikirkan tentang Indonesia (Mira R, 2014: 141).

Hubungan Realitas Sosial dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan Realitas sosial Masyarakat tentang Malapraktek Sejarah

Di setiap tahun, ada sebuah film yang wajib diputar. Film tersebut adalah tentang pengkhianatan PKI. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

Salah satu sejarawan pernah menulis jurnal ilmiah, menyatakan bahwa persoalan politik saat itu tidak hitam-putih seperti yang di tampilkan pada diorama Lubang Buaya dan film buatan pemerintah yang setiap tahun harus kami tonton sebagai kewajiban (Chudori, 2013: 288).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa terjadinya kewajiban masyarakat Indonesia menonton film G

30 September 1965. Keharusan menonton tersebut sesuai dengan kebijakan yang di usung oleh pemerintahan orde baru Soeharto. Kebijakan yang mengharuskan penayangan film tersebut di sekolah-sekolah yang ditayangkan setiap tahunnya pada tanggal 30 September. Pemutaran film tersebut sebagai propaganda tentang pengkhianatan PKI oleh pemerintahan orde baru Soeharto. Dalam film tersebut banyak ketidaksesuaian dengan kenyataan, namun hal tersebut memang rencana dari pemerintahan Soeharto. Hal tersebut dapat di ketahui melalui bukti berikut.

TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI yang berdurasi sekitar 220 menit ini diproduksi pada 1984 dan almarhum Arifin C. Noer didapuk menjadi sutradara film itu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memerintahkan TVRI untuk menayangkan film itu setiap tanggal 30 September. Murid-murid sekolah juga diwajibkan menonton film propaganda tentang pemberontakan PKI versi Soeharto atau Orde Baru ini.

―Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu. Jadi, memang ada semacam muatan politik,‖ ujar Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.

Amoroso yang ditemui, Rabu, 26 September 2012, menuturkan bahwa memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti adanya film. ―Tapi memang ada beberapa adegan yang berlebihan,‖ pria berusia 72 tahun ini.

Sejarawan Hilmar Farid menyatakan dengan tegas bahwa film tersebut adalah propaganda Orde Baru. ―Dari segi produksi, kita lihat pembuatannya, ditangani langsung PPFN (Pusat Produksi Film Nasional) dengan restu Soeharto,‖ tulis dia dalam surat elektronik,‖ ujar dia. Sehingga, isi film pun mewakili pandangan Orde Baru tentang peristiwa 30 September 1965. ―Dan sejumlah fantasinya.‖ Bukti tersebut menjelaskan bahwa kewajiban menonton Film G 30 September sebagai propaganda rezim Soeharto tentang pengkhianatan PKI versi Soerhato atau orde baru.

SIMPULAN

Berdasar analisis realitas sosial di atas, dapat di asumsikan bahwa novel Pulang karya Leila S. Chudori ini merupakan novel sejarah yang luar biasa. Kehebatan novel ini ialah menyajikan tiga peristiwa bersejarah Indonesia yakni pada tahun 1965 dan tahun 1998 dan sejarah Perancis yakni tahun 1968.

Bukan hanya menyajikan sejarah yang biasa kita ketahui dari pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Leila S. Chudori menyajikan sejarah yang

(12)

tidak pernah terungkap oleh khalayak umum. Bagaimana peristiwa yang sebenarnya ada namun tidak pernah dianggap ada oleh sejarah. Peristiwa yang sejatinya ada namun tidak pernah di ungkap oleh sejarah tersebut oleh Leila S. Chudori di ceritakan kembali menjadi cerita yang sangat menarik untuk diketahui. Dengan novel Pulang ini kita ditarik kembali untuk pulang menuju kesadaran kita akan sejarah yang terlupakan.

Dalam segi usia novel Pulang ini layak di baca oleh semua kalangan sebagai pengetahuan tambahan akan sejarah dan juga sebagai pembanding antara sejarah yang kita dengarkan di sekolah dengan sejarah yang diungkapkan Leila melalui novel ini, untuk melihat mana yang benar mana yang salah. Kesadaran kita akan sejarah yang ditutup-tutupi dan di manipulasi menjadikan kita mengetahui akan sejarah yang benar-benar terjadi dan tidak mudah dibohongi oleh sejarah yang dibuat-buat oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Chudori, Leila S., 2013. Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Karyanto, Ibe. 1997. Realisme Sosialis Georg

Lukacs. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Kompas. 24 Mei 1998a. ―Diungkap Besok, Kasus Penembakan Di Trisakti‖, hal.1.

Kuntowijoyo. 1995. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lukacs, Georg. 2014. Dialektika Marxis: Sejarah dan Kesadaran Kelas. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Mira R (Eds). 2014. 101 Fakta dan Mitos

Kontroversial Seputar Gerakan 30

September. Jakarta: Gramedia Widiasarana

Indonesia.

Tim Seri Harian Tempo. 2014. Lekra dan Geger

1965. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia. Sumber Internet: Tempo.co. Jakarta http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29 /078432667/Film-Pengkhianatan-PKI-Propaganda-Berhasilkah

Referensi

Dokumen terkait

Range Finding Test addalah tahap yang bertujuan untuk mencari kisaran kadar toksikan air lindi secara kasar yang dapat menyebabkan kematian 50% terhadap biota

Berdasarkan hasil konsentrasi logam Pb yang dihasilkan, pada hari ke nol sudah terdapat logam Pb di daging ikan yang diambil dari bak perlakuan dengan rata-rata konsentrasi

Apabila pihak agent melakukan satu kesalahan dalam pengambilan keputusan, maka dapat mengakibatkan kerugian yang besar terhadap perusahaan sehingga dapat berakhir

Hasil perhitungan uji F menunjukkan bahwa variabel bebas (ongkos kirim, pendapatan perkapita, dan jumlah penduduk) secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang

Untuk menjadi seorang dosen di perguruan tinggi, menurut Nur Syam (2010) setidaknya harus memenuhi dua standard yaitu standar kualifikasi dan standar

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI MANAJEMEN KEPEMIMPINAN KEPALA RUANG DENGAN MOTIVASI KERJA PERAWAT.. DI RSI SULTAN

Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan di Laboratorium Entomologi Program Studi Kesehatan Lingkungan, diperoleh hasil ekstrak kulit pohon faloak dalam waktu 24

Puji syukur kepada tuhan Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi berjudul “ Peningkatan