• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS MAKNA MITONI BAGI MASYARAKAT DESA TUNTANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS MAKNA MITONI BAGI MASYARAKAT DESA TUNTANG"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV ANALISIS MAKNA MITONI BAGI MASYARAKAT DESA TUNTANG

1. Analisis Pelaksanaan Mitoni di Desa Tuntang

Mitoni di salah satu keluarga di Tuntang tidak hanya untuk kelahiran anak pertama saja, melainkan untuk anak ke dua dan seterusnya.1Fenomena ini tentu saja tidak sesuai dengan teori dalam literatur seperti disampaikan Bratasiswara. Demikian juga Purwadi, dikutip oleh Machmudah, menjelaskan bahwa mitoni diadakan hanya untuk kehamilan anak pertama saja.2Motivasimasyarakat desa Tuntang melakukan mitoni ialah keyakinan bahwa melalui ritual mitoni akan mendatangkan keselamatan bagi bayi dan ibunya. Keyakinan tersebut merupakan pemahaman masyarakat Jawa tentang agama Jawa. Generasi muda sekarang tidak memahami makna yang terdapat dalam tahapan mitoni. Oleh sebab itu, orang tua senantiasa memberikan pengajaran kepada anak-anaknya supaya mengadakan mitoni ketika akan melahirkan.

Bratasiswara menjelaskan mitoni mengenai pengertian mitoni, tujuan slametan, ciri-ciri upacara, perlengkapan, tahapan ritus, persiapan selamatan mitoni.Kesimpulan teori mitoni Bratasiswara ialah sebagai berikut:Mitoni dijelaskan memiliki fungsi ritual, sehingga penjelasan Bratasiswara fokus kepada upacara ritual yang sakral. Mitoni sebagai selamatan daur hidup diyakini dapat membuat hidup menjadi selamat, sehat dan persalinan lancar serta dihindarkan dari gangguan roh-roh jahat yang dapat mengganggu ibu dan bayinya.Hal ini ditunjukkan dengan adanya ubu rampe atau perlengkapan mitoni berupa tujuh macam barang-barang yang perlu dibuang. Tempat barang tersebut dibuang juga harus tertentu, misalnya:pojok pekarangan, ruang ibu hamil, kamar mandi, dan tempat lainnya. Selain itu ada juga sesaji berjumlah tujuh macam. Sesaji tersebut terdiri dari benda-benda peralatan rumah tangga seperti jodhog yaitu tempat

1 Wawancara dengan warga desa Tuntang , 18 Juli 2018. 2 Machmudah, 2016, hlm. 188.

(2)

meletakkan lampu pelita dan juga kendi, beras, dan tumpeng tujuh serta telur tujuh butir. Tindakan ritual tersebut tidak disertai dengan penjelasan, sehingga maknanya tidak diketahui secara jelas. Oleh sebab itu, tindakan ritual ini perlu dijelaskan dasar filosofis kejawennya.

Upacara mitoni menurut Abdullah, memiliki fungsi tidak hanya ritual saja seperti yang dijelaskan oleh Bratasiswara, akan tetapi meliputi:”ritual fungtion, social fungtion, fungtion to

preserve the local traditions”(fungsi ritual, fungsi sosial, dan fungsi untuk melestarikan tradisi lokal).3Masyarakat desa Tuntang memahami mitoni sebagai fungsi ritual yang meruwat sukertaatau ‘membersihkan segala kekotoran jiwa’ melalui air siraman dan bunga setaman.4 Mitoni dipahami juga sebagai fungsi sosial, ketika kenduri mitoni dipahami untuk mendoakan keselamatan diri sendiri yang disebut dalam istilah Jawasedulur papat lima pancer. Kata sedulur

berarti saudara atau kerabat. persaudaraan dan kekerabatan sosial masyarakat sangat dihargai.5 Selain itu mitoni diadakan supaya keluarga tidak hidup terasing di tengah masyarakat.6 Fungsi untuk melestarikan tradisi lokal terlihat ketika masyarakat desa Tuntang melakukan mitoni disertai dengan tujuan untuk memelihara adat-istiadat Jawa.7

2. Makna Tahapan Mitoni di desa Tuntang

Berdasar hasil penelitian diperoleh penjelasan mengenai makna yang terdapat dalam simbol-simbol mitoni, sebagai berikut:

1) Makna Simbolis Tahapan Siraman

3Wakit Abdullah, “Local Knowledge and Wisdom in the Javanese Salvation of Women Pregnancy ‘ Mitoni ’ :An Etholinguistic Perspective,” in 4th PRASASTI International Conference on Recent Linguistics Research (Atlantis Press, 2018), CLXVI, 351–56. Diakses pada 8 Maret 2019.

4 Wawancara dengan warga desa Tuntang , 16 September 2017. 5 Wawancara dengan warga desa Tuntang, 18 Juli 2018. 6 Wawancara dengan warga desa Tuntang , 13 November 2019. 7 Wawancara dengan warga desa Tuntang , 14 November 2018.

(3)

Siraman adalah tindakan untuk membersihkan tubuh. Siraman bertujuan membersihkan kekotoran tubuh pada ibu hamil, dan juga membersihkan kekotoran jiwa. Istilah Jawa disebut dengan ngruwat sukerta atau “membersihkan kekotoran”. Tabiat tidak baik yang dianggap sukerta atau “kekotoran” ialah seperti, mudah bosan, manja, sukanya dipuji, jahil, iri hati dan sombong. Tabiat yang tidak baik tersebut semestinya dibersihkan atau dibuang agar tidak menurun kepada bayi yang masih dikandung. Anggota masyarakat desa Tuntang pada saat mitoni pada umumnya menggunakan tahapan siraman, ganti busana, dan Kenduri. Pada

siraman pertama, air disiramkan ke ibu hamil sebanyak tujuh kali. Air tersebut telah dicampur dengan bunga tujuh rupa.8

Hal ini senada dengan penjelasan Mustaqim, pada saat siramanperempuan yang sedang hamil dimandikan dengan air bunga setaman disertai dengan doa. Isi doa meminta rahmat dan berkah dari Tuhan, supaya bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.9Demikian juga Bratasiswara menjelaskan bahwatujuh macam bunga, disebut air kembang setaman, yang terdiri dari berbagai macam bunga. Lebih lanjut, sesepuh atau tua-tua yang melakukan siraman

berjumlah tujuh orang. Mereka adalah ibu-ibu yang sudah berkeluarga dan memiliki keturunan baik-baik.10

Air siraman melambangkan penyucikan dari kekotoran batiniah, sedangkan bunga tujuh rupa merupakan tindakan simbolis yang melambangkan keharuman. Anak diharapkan lahir dalam keadaan suci dan memiliki karakter yang baik seperti bunga yang harum.11 Air yang digunakan untuk siraman diambil dari tujuh sumber mata air, dalam bahasa Jawa disebut tuk

8 Wawancara dengan warga desa Tuntang , 18 Juli 2018. 9 Mustaqim, 2017, 125.

10 Hermanto Bratasiswara, 2000, 798.

(4)

pitu. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk edukasi dari orang tua jaman dahulu, agar manusia memelihara bumi, dalam bahasa Jawa ngrumat bumi. Memelihara bumi dilakukan dengan menjaga sumber air di setiap desa supaya tidak kering. Manusia tidak bisa hidup bila tidak ada air, sehingga dapat dikatakan air adalah kehidupan bagi manusia.12

Menurut Rassers orang Jawa di dalam menyelenggarakan upacara ruwatan memiliki tujuan untuk membebaskan manusia dari kekuatan supranatural buruk yang mengancam.Selanjutnya menurut Siswahardjo, ngruwat berarti mengatasi atau menghindarkan kesulitan batin atau dalam bahasa Jawa disebut ngudari ruwet renteng. Ruwatan di Jawa, semula berkembang dari cerita Jawa kuno tentang dewa yang bernoda dan hidup sengsara, setelah diruwat, ia berubah menjadi suci dan hidup bahagia. Orang-orang yang diruwat adalah seseorang yang keberadaannya dianggap berada dalam dosa atau nandhang sukerta. Orang yang nandhang sukerta bila tidak diruwat akan mengalami kesengsaraan dan membahayakan lingkungannya.13

2) Makna Simbolis TahapanNgagem Busana

Ibu hamil berganti pakaian sebanyak tujuh kali pada tahapan ngagem busana atau berganti pakaian. Setelah ibu hamil selesai mengenakan kain, dukun mitoni bertanya kepada tamu undangan yang hadir: “wis pantes durung?” atau “sudah pantas apa belum.” Tamu

undangan menjawab “durung” atau “belum”. Demikian selanjutnya sampai pada kain terakhir yaitu kain lurik, dukun mitoni bertanya “wis pantes durung?” maka tamu undangan menjawab

“patut” atau pantas.14 Senada dengan itu, Purwadi sebagaimana dikutip oleh Machmudah, menuliskan bahwa calon ibu berganti kemben atau penutup dada dengan motif yang memiliki

12 Wawancara dengan warga desa Tuntang , 14 November 2018.

13Soetarno. 1995. Ruwatan di Daerah Surakarta. Surakarta:Cendrawasih, 15. 14 Wawancara dengan warga desa Tuntang, 15 Oktober 2018.

(5)

simbol kebaikan. Motif tersebut ialah: trumtum, sidoluhur, sidomukti, sidoasih, grompol, parangkusuma dan kain lurik yang bermotif lasem dengan penutup dada bermotif dringin. Setiap kali mengenakan busana sesepuh seorang wanita bertanya: “Wis patut opo durung?” atau “sudah pantas apa belum?” Kemudian semua hadirin menjawab: “durung patut” sampai enam kali, dan untuk yang terahir dijawab “wis patut” atau sudah pantas.15

Bratasiswara tidak menjelaskan secara terperinci makna motif kain yang digunakan dalam tahap ganti pakaian. Menurut Abdullah pada saat tahapan ganti pakaian mengenakan jenis kain yang disebut jarik. Motif yang digunakan ada tujuh macam meliputi:Sidaluhur, Sidamukti, Truntum, Parangkusuma, Udanriris, Lasem, dan Dringin.Setiap pola motif memiliki makna tersendiri. Jariksidaluhur menggambarkan harapan agar anak dalam kandungan menjadi seseorang yang memiliki karakter yang mulia. Jarik sidamuktimengandung harapan supaya bayi yang dilahirkan menjadi orang benar. Jarik truntum memiliki makna semua kebaikan orang tua dapat diwarisikan ke bayi. Jarik parangkusuma mewakili makna bayi yang dilahirkan mewarisi sifat baik. Agar anak kelak dapatmikul dhuwur mendhem jero yang berarti mampu menjunjung tinggi citra dan martabat orang tua yang baik. Jarik udanriris mewakili makna agar bayi yang dilahirkan akan dikasihi banyak orang dan menyenangkan bagi orang disekitarnya. Jarik lasem

dimaksudkan agar bayi yang dilahirkan mewarisi sifat selalu takut akan Tuhan Yang Mahakuasa.

Jarik dringin mewakili harapan agar bayi yang dilahirkan dapat bekerja sama dan bersosialisasi secara baik dengan orang lain. Kebaikan dan keberuntungan hidup dalam motif jarik diharapkan dapat diwariskan untuk bayi di dalam rahim ibu.16 Masyarakat desa Tuntang, khususnya generasi muda tidak memahami makna yang ada pada motif jarik tersebut. Meskipun demikian, generasi tua masih memahami makna jarik yang digunakan walaupun secara tidak lengkap.

15 Machmudah, 2016, 189-190. 16Abdullah, 355.

(6)

Makna simbolis tahapan ini adalah menjelaskan bahwa hubungan suami dan istri tidak selalu harmonis. Kehidupan suka dan duka senantiasa dirasakan oleh suami dan istri dalam mendidik anak. Hal itu dilambangkan dengan tujuh corak kain yang berbeda-beda dalam tahapan

ganti busana. Tahapan ini menggambarkan persiapan psikologis untuk menghadapi persalinan yang rumit. Kata persiapan dalam istilah Jawa disebut cecawis. Orang tua mempersiapkan diri untuk mendidik anaknya, agar menjadi orang yang bertanggung jawab atau dalam bahasa Jawa

sembada. Sembada memiliki arti yang bertanggung jawab dan serba berkecukupan.

3) Makna Simbolis Tahapan Brojolan

Brojolan adalah acara melepaskan dua buah kelapa muda gading, dalam bahasa Jawa disebut cengkir gading. Kelapa tersebut diberi gambar tokoh wayang Kamajaya dan Kamaratih. Acara ini memiliki makna agar bayi dapat lahir dengan selamat, baik laki-laki ataupun perempuan. Jika bayi berjenis kelamin perempuan, maka memiliki wajah cantik seperti dewi Kamaratih. Jika lahir bayi laki-laki, maka akan memiliki wajah tampan seperti Kamajaya.17 Hal senada juga disampaikan Purwadi, dikutip oleh Machmudah, pada saat brojolan diucapkan kata:

“Wadon arep lanang arep waton slamet” Artinya, perempuan atau laki-laki semuanya diterima, yang penting selamat.18 Kata menerima dalam istilah Jawa disebut nampi. Penerimaan terhadap kehadiran anak ini menggambarkan spiritualitas batin orang Jawa, yaitu nrima atau berkenan menerima. Hal ini termaktub dalam nasihat luhur Jawa, yaitu: ndarbeni ati segara, atau memiliki hati seluas samudera. Seseorang memiliki hati yang sabar sehingga tidak mudah menjadi emosi,

17 Wawancara dengan warga desa Tuntang, 12 Oktober 2018. 18 Machmudah, 2016, hlm. 190.

(7)

mudah memaafkan dan penyayang. Ia dengan mudah menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.19

4) Makna Simbolis Tahapan Kenduri

Kenduri atau selamatan merupakan acara doa dan makan bersama yang menjadi tahap akhir ritual mitoni. Salah satu cita-cita utama orang Jawa ialah dapat menjalani kehidupan dengan selamat. Selamat artinya terhindar dari bencana, aman, sehat, sentosa, bahagia, sejahtera lahir dan batin dalam menjalani kehidupan.20 Ritual selamatan memiliki fungsi sosial terutama untuk merekatkan solidaritas diantara anggota masyarakat.21

3. Landasan Filosofis Mitoni

Manusia dalam setiap perubahan hidupnya mengalami krisis. Oleh sebab itu, diperlukan pendampingan dari pihak luar agar berhasil dalam menghadapi krisis tersebut. Slametan

merupakan bentuk pendampingan dengan menggunakan pendekatan budaya. Esensi mitoni adalah doa memohon keselamatan, sehingga selametan merupakan landasan filosofis mitoni. Kata selametan,berasal dari kata “selamat” yang artinya terhindar dari bencana, aman, sehat,

sentosa, bahagia, sejahtera lahir dan batin dalam menjalani kehidupan.22 Orang Jawa meyakini penyebab terganggunya keselamatan dapat berasal dari diri sendiri, orang lain, masyarakat, alam

19 Sumodiningrat dan Wulandari, 2014, hlm. 271-272. 20 Santosa, 2012, 5.

21 Humaeni, 2015,176.

22 Iman Budhi Santosa, Manusia Jawa Mencari Kebeningan Hati Menuju Tata Hidup Tata Krama Tata Prilaku (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2013), 5.

(8)

semesta dan hal-hal yang bersifat gaib atau supernatural.23 Oleh sebab itu, potensi gangguan tersebut perlu diantisipasi dengan mengadakan selamatan mitoni, agar tidak muncul malapetaka yang dapat mengancam kehidupan keluarga orang Jawa. Berdasarkan studi terhadap mitoni pada masyarakat desa Tuntang dalam perspektif pendekatan pendampingan, ditemukan landasan filosofis mitoni ialah selametan.

4. Nilai-nilai spiritual Mitoni Masyarakat Desa Tuntang.

Menurut Frankl ada tiga macam nilai yang dapat menjadi sumber makna hidup, yaitu: nilai kreatif, nilai pengalaman, dan nilai sikap. Ketiga nilai ini disebut sebagai spiritualitas yang terintegrasi. Penyatuan ketiga nilai tersebut membentuk keseimbangan pribadi secara total, sehingga seseorang dapat mencapai kepuasan yang memberi makna bagi kehidupannya. Nilai-nilai tersebut adalah dimensi spiritual yang merupakan inti dari makna hidup. Nilai-Nilai-nilai tersebut menggambarkan sebuah proses pendekatan spiritual dalam menangani ketidakmampuan spiritual.24 Nilai spiritual yang ditemukan dalam mitoni berfungsi untuk mendampingi ibu hamil melewati masa krisis yang terjadi. Tujuan dilakukan pendampingan ialah ibu hamil dan keluarganya mengalami kesuksesan meningkatkan potensi dirinya. Lebih lanjut, masyarakat dapat sukses dalam memelihara harmoni sosial melalui penghayatan terhadap nilai-nilai spiritual tersebut. Nilai spiritual yang terkandung dalam tahapan mitoni di Tuntang ialah sebagai berikut:

1) Ngruwat Sukerta

Ngruwat sukerta atau membuang sial, merupakan nilai spiritual yang terdapat pada tahapan Siraman. Ruwatan adalah upacara untuk membebaskan seseorang yang sedang

23 Iman Budhi, 2013,7.

24 J.D. Engel, Model Logo Konseling untuk Memperbaiki Low Spiritual Self-Esteem (Yogyakarta:Kanisius, 2014), 83-85.

(9)

kerasukan setan atau yang sedang diganggu roh jahat.25 Ritual ruwatan pada umumnya diyakini oleh masyarakat setempat sebagai tameng atau senjata untuk menghindarkan masyarakat dari berbagai bahaya bencana. Bentuk ruwatan yang dilakukan mencakup dua model yaitu membersihkan makam serta memberi sesajen di waktu pagi dan menyelenggarakan wayang di sore dan malam hari.26Ruwatan memiliki arti pencerahan batin kepada yang diruwat, dilakukan dengan maksud memutus rantai hukum karma. Orang Jawa meyakini setiap perbuatan jahat seseorang akibatnya sebagian akan ditanggung oleh keturunan atau keluarga dekatnya.27

Berdasar keterangan di atas, ngruwat sukerta memiliki arti penyucian dari kekotoran batin, agar sifat buruk dari orang tua tidak diturunkan pada anak. Anak dilahirkan dalam kondisi yang suci, sehingga hidupnya dibebaskan dari hal-hal yang buruk. Senada dengan itu, Setiawan menjelaskan bahwa upacara siraman merupakan simbol pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan untuk membersihkan calon ibu dari dosa-dosa, sehingga tidak lagi memiliki beban moral.28 Menurut Santosa, ibu adalah pengasuh pertama dan utama bagi anak yang masih ada dalam kandungan.29 Ibu sebagai pengasuh bayi dapat merawat anaknya kelak dengan tidak ada halangan dari faktor keturunan, dikarenakan telah diadakan penyucian.

2) Cecawis

Persiapan atau cecawis merupakan nilai spiritual yang terdapat pada tahapan ganti pakaian atau ganti busana. Orang tua mempersiapkan secara psikologis dan materi untuk menghadapi persalinan. Orang tua, ketika memiliki anak, akan mengalami berbagai suka dan

25 Syuropati, 2015, 166. 26 Wahidah, 2015, 207. 27 Mandali, 2010, 117. 28 Setiawan, 2015, 45. 29 Santosa, 2013, 65.

(10)

duka, yang dilambangkan dengan tujuh corak kain yang berbeda. Meskipun demikian, doa dan harapan orang tua pada akhirnya keluarga akan hidup dengan bahagia, mulia dan mendapat kesenangan hidup.

3) Sembada

Tahapan ganti pakaian atau ganti busana juga memiliki nilai spiritual yaitu

bertanggungjawab atau sembada. Keluarga mengalami keadaan yang serba kecukupan, dalam bahasa Jawa disebut sembada. Kata sembada secara harfiah memiliki makna serba cukup, lengkap, dan kuat. Orang yang sembada bertindak sesuai dengan kemampuan, perkataan, serba cukup, sesuai dengan kenyataan dan selalu mengambil keputusan dengan tidak merepotkan orang lain. Bertanggung jawab dan mampu mencukupi apa yang dibutuhkan.30 Sikap sembada adalah sikap positif manusia yang senantiasa mampu menyelesaikan tugas dan pekerjaannya dengan baik dan tepat pada waktunya. Orang sembada akan selalu dipercaya oleh orang yang memberikan tugas dan akan dimudahkan rejekinya.31 Orang tua berdoa dan berharap agar anak dapat memiliki sifat yang bertanggung jawab atau sembada, sebagaimana kedua orang tuanya juga memiliki watak yang bertanggung jawab.

4) Panampi

Menerima atau dalam bahasa Jawa disebut panampi merupakan nilai spiritual yang terdapat pada tahapan brojolan. Nilai ini berarti orang tua bersedia menerima kelahiran anaknya, baik laki-laki ataupun perempuan. Penerimaan terhadap kehadiran anak ini menggambarkan spiritualitas batin orang Jawa, yaitu nrima atau berkenan menerima. Hal ini termaktub dalam nasihat luhur Jawa, yaitu: ndarbeni ati segara, atau memiliki hati seluas samudera. Di tengah

30 Syuropati, 2015, 218. 31 Achmad, 2017, 11.

(11)

kehidupan masyarakat, orang Jawa yang dewasa, semestinya memiliki hati yang sabar sehingga tidak mudah menjadi emosi, mudah memaafkan dan penyayang. Ia diharapkan memiliki watak toleransi terhadap orang yang berbeda dengannya. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah disebabkan telah terbiasa untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.32

5) Wilujeng

Wilujeng atau selamat merupakan nilai spiritual yang terdapat pada tahapan kenduri. Wilujeng memiliki makna permohonan kepada Tuhan agar orang tua, anak dan tetangga diberi keselamatan. Ibu hamil didoakan agar selamat ketika menjalani persalinan. Keselamatan ibu hamil merupakan hal yang sangat utama. Senada dengan itu, kata wilujeng juga bisa berarti suatu sapaan yang hangat bernada halus dan juga bermakna selamat.33 Geertz, dikutip oleh Wahidah, mengidentifikasi slametan sebagai: (1) "ritual inti" budaya Jawa; (2) ritus animisme yang memiliki tujuan untuk memperkuat solidaritas sosial dan (3) sebagai sebuah upacara yang utama pada suatu desa.34 Bahasa Jawa untuk kata selamat ialah selamet. Selamet ini memiliki makna aman dan selamat, sedangkan kata selamatan memiliki makna sesajian yang diperuntukkan untuk Yang Kuasa, rasul, para wali, dewa-dewa, bidadari-bidadari, kekuatan yang terdapat pada seorang ulama atau orang yang dihormati, setan-setan, hantu-hantu, roh-roh, dengan tujuan untuk menyenangkan mereka.35

6) Ngrumat Bumi

Tahapan Siraman juga memiliki nilai spiritual memelihara alam. Air yang digunakan untuk siraman dianjurkan diambil dari tujuh sumber mata air yang berbeda, dalam bahasa Jawa

32 Sumodiningrat dan Wulandari, 2014, 271-272. 33 Syuropati, 2015, 260.

34 Wahidah, 2015. 210. 35 Syuropati, 2015, 217.

(12)

disebut tuk pitu. Mengapa harus dari tujuh sumber mata air berbeda? Hal ini merupakan tindakan simbolis yang mengandung edukasi agar manusia menjaga sumber air di setiap desa supaya tidak kering. Nilai spiritual memelihara alam merupakan suatu upaya orang Jawa untuk melestarikan alam semesta. Air adalah sumber kehidupan manusia. Manusia sedang memelihara kehidupan ketika menjaga kelestarian alam. Bumi berisi manusia, hewan dan tumbuhan. Manusia yang hidup dibumi memiliki banyak perbedaan baik dari sisi keyakinan agama, suku dan juga aliran politik, meskipun demikian bumi tetap menerima keadaan itu. Ngrumat bumi memiliki makna merawat perbedaan dengan sikap toleransi, menghargai sesama manusia dengan keyakinan yang berbeda, dan menjaga harmoni sosial. Ngrumat bumi juga memiliki makna menjaga kelestarian alam semesta sehingga tercapai kondisi harmoni antara manusia dengan alam.

7) Pitutur

Tahapan upacara kenduri mitoni memiliki nilai spiritual pitutur artinya nasihat. Orang Jawa meyakini bahwa Tuhan memberikan pertolongan kepada keluarga, sehingga bayi yang dikandung dapat mencapai usia tujuh bulan. Pertolongan juga didapatkan dari tokoh masyarakat atau tokoh agama yang menyampaikan pitutur kepada calon ibu dan calon ayah. Lebih lanjut,

pitutur atau nasihat juga dapat disampaikan oleh ayah, ditujukan kepada anak dan menantunya. Nasihat tersebut berisi bimbingan untuk menolong anak dan menantunya tentang bagaimana kesiapan secara mental, fisik dan spiritual menyambut bayi yang akan lahir.

8) Rukun

Orang Jawa memahami bahwa yang disebut rukun apabila dapat makan bersama. Sesuai dengan penjelasan Surbono, kerukunan masyarakat Jawa terjalin dalam aktivitas doa dan makan

(13)

bersama seluruh warga.36 Nilai spiritual rukun terdapat pada tahapan kenduri. Kenduri mitoni merupakan upacara makan bersama yang menjadi perekat sosial masyarakat desa Tuntang. Hal ini sesuai dengan cita-cita hidup orang Jawa yaitu hidup rukun. Tindakan simbolis yang ada dalam ritual adat orang Jawa dan aktifitas sosial masyarakat semuanya bertujuan untuk membangun kehidupan sosial yang rukun di tengah lingkungan masyarakat. Cita-cita menjadi rukun diwujudkan dalam tindakan simbolis dalam hidangan kenduri mitoni, yaitu dengan menyajikan hidangan ikan teri. Menurut Achmad, ikan teri yang disajikan dalam kenduri

melambangkan kehidupan ideal manusia yang semestinya selalu rukun dan tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Ikan teri memiliki prilaku yang senantiasa hidup bergerombol di laut. Oleh sebab itu, ikan ini digunakan sebagai lambang hidup kebersamaan dan kerukunan.37

9) Pitulungan

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian. Ia selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Hal ini juga menjadi pandangan hidup manusia Jawa. Oleh sebab itu, orang Jawa menyukai angka tujuh. Angka tujuh dalam bahasa Jawa disebut pitu, yang memiliki makna pitulungan atau pertolongan. Itulah sebabnya pada saat selamatan mitoni diadakan identik dengan penggunaan bilangan tujuh.Angka ‘tujuh’ dalam bahasa Jawa adalah

pitu, berarti pitulungan atau pertolongan, sehingga angka tujuh memiliki arti pertolongan dari Tuhan.38 Nilai-nilai spiritual yang terdapat pada selamatan dapat dihayati oleh warga masyarakat di desa Tuntang. Nilai-nilai tersebut merupakan konsolidasi budaya yang menjadi perekat sosial budaya karena bersifat universal sehingga dapat diterima semua kalangan masyarakat. Sebagaimana Geertz telah menyinggung di atas, ritus selametan memiliki tujuan untuk

36 Surbono dan Sutiyono, 2018, 48. 37 Achmad, 2017, 182.

(14)

memperkuat solidaritas sosial.39 Nilai tersebut dapat digunakan oleh pemimpin agama dalam membina umat untuk meningkatkan harmoni sosial. Nilai ini berfungsi sebagai energi sosial yang positif untuk menyatukan masyarakat desa Tuntang yang beraneka ragam.

1. Tradisi Mitoni masyarakat Tuntang ditinjau dari Teori Pendampingan Pastoral

Sesuai dengan penjelasan Van Beek pendampingan pastoral adalah gabungan dua kata yang mempunyai makna pelayanan, yaitu kata pendampingan dan kata pastoral. Kata “pendampingan” berasal dari kata kerja “mendampingi.” Mendampingi merupakan suatu kegiatan menolong orang lain yang karena suatu sebab perlu didampingi. Istilah pendampingan memiliki arti kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, membagi atau berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan.40

Tradisi mitoni merupakan suatu upaya intervensi untuk mendampingi ibu hamil dalam melewati krisis hidupnya. Seorang ibu yang mengandung mengalami kegelisahan apakah bayinya dapat lahir dengan selamat atau tidak. Dalam masa-masa yang berat tersebut pendampingan sangat diperlukan dengan tujuan dapat menolong ibu hamil tersebut mengatasi kecemasan yang dialaminya. Upaya pendampingan dilakukan secara kolektif, tidak secara individualis. Melalui keterlibatan banyak pihak yang berkompeten, yang menjadi pemimpin mitoni. Pihak-pihak tersebut bisa dukun mitoni, tokoh agama ataupun pihak kerabat dekat. Keterlibatan peran membantu yang melibatkan banyak pihak dapat dilihat dan dirasakan dalam setiap tahapan ritus mitoni.

2. Kesimpulan Bab IV Analisis Makna Mitoni Bagi Masyarakat Desa Tuntang

39 Wahidah, 2015. 210.

(15)

Kesimpulan hasil analisa terhadap tradisi mitoni di masyarakat desa Tuntang adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat desa Tuntang melakukan mitoni untuk tujuan:melestarikan adat-istiadat Jawa.

2. Mitoni diyakini sebagai ritual yang menyelamatkan, dan juga sebagai perekat sosial. 3. Landasan filosofis mitoni adalahselametan.

4. Nilai-nilai spiritual Mitoni di masyarakat desa Tuntang meliputi Ngruwat Sukerta, Cecawis, Sembada, Panampi, Wilujeng, Ngrumat Bumi, Pitutur, Rukun, dan Pitulungan.

5. Tradisi mitoni merupakan suatu upaya untuk mendampingi ibu hamil dalam melewati krisis hidupnya.

Referensi

Dokumen terkait

Pastikan label pasien risiko jatuh terpasang di gelang pasien, Rekam Medis, dan tempat tidur pasien RR Risiko Jatuh Rendah. Monitor Kondisi Umum Pasien dan Tanda Vital tiap

Sub-judul di atas menggarisbawahi bahwa seorang penatua & diaken wajib memiliki kepekaan batin ketika ia mau dan ikhlas berbagian dalam kepemimpinan gereja melalui

Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat merupakan sebuah jejaring dari lima Kawasan Konservasi Perairan Daerah yang ditetapkan dengan tujuan untuk membentuk kawasan laut

S Sema emakin bes kin besa ar r nil nila ai i ffrra ame me ratenya maka akan semakin halus gerakan yang ditampilkan ratenya maka akan semakin halus gerakan yang

dalam kecerdasan buatan 10 Pemrograman Berbasis AI TIU: Mahasiswa mengetahui pemrograman untuk kecerdasan buatan • Mahasiswa membuat pemrograman PROLOG Kuliah mimbar,

Perlakuan A diberi rumput gajah (Pennisetum purpureum)secara ad libitum senilai TDN <65%, Perlakuan B diberi rumput gajah clan daun gamal (Gliricidia maculata) segar senilai TDN

Aplikasi adalah program siap pakai yang dapat digunakan untuk menjalankan perintah-perintah dari pengguna aplikasi tersebut dengan tujuan mendapatkan hasil yang lebih

Aplikasi dikembangkan dengan model client-server berbasis web yang terhubung dengan dinas kesehatan melalui jaringan sehingga pengiriman data dari puskesmas dan rumah