• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUBLIKASI ACARA BEDAH BUKU SEKOLAH NELAYAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PUBLIKASI ACARA BEDAH BUKU SEKOLAH NELAYAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PUBLIKASI ACARA

BEDAH BUKU

(2)
(3)

http://www.ciputranews.com

Daya Tampung SUPM Ditargetkan 10.000 Siswa

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan pada tahun 2013 daya tampung Sekolah Umum Perikanan Menengah (SUPM) meningkat menjadi 10.000 siswa.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Manusia Kelautan dan Perikanan, KKP, R.Sjarief Widjaja di Jakarta, Sabtu mengatakan, daya tampung SUPM di seluruh Indonesia awalnya hanya 4500 siswa kemudian ditingkatkan menjadi 6.000 siswa seiring meningkatnya minat masyarakat melanjutkan pendidikan ke sekolah tersebut.

"Meskipun demikian peminatnya tetap saja banyak bahkan melebihi daya tampung sehingga kami akan meningkatkan kapasitasnya tahun ini menjadi 10.000 ribu orang," katanya. Sebelumnya dalam bedah buku "Sekolah Nelayan" yang ditulisnya, Sjarief menyatakan, sumber daya manusia berperan penting dalam menentukan laju pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.

Namun demikian, lanjutnya, dari sekitar 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia, kebanyakan tingkat pendidikannya masih rendah bahkan banyak yang putus sekolah. Kondisi ini, menurut dia, menjadi tidak seimbang ketika di laut mereka harus berkompetisi dengan nelayan asing yang sudah jauh lebih maju, baik dari pola pikir maupun teknologi yang digunakan.

Oleh karena itu, Sjarief menyatakan, BPSDMKP merasa bertanggung jawab dalam

membangun SDM kelautan dan perikanan Indonesia untuk lebih maju dan modern. "Salah satu pilar pembangunan SDM kelautan dan perikanan yakni melalui pendidikan. Jalur ini dirasa penting sebagai fondasi menciptakan SDM yang maju dan modern," katanya.

Selain meningkatkan daya tampung sekolah perikanan yang dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan, tambahnya, pihaknya juga akan bersinergi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) perikanan dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini jumlahnya mencapai 107 sekolah.

Sementara itu untuk memberikan kesempatan keluarga nelayan atau masyarakat pesisir yang ingin mengenyam pendidikan namun mengalami kendala biaya , maka pihaknya juga akan menambah sekolah-sekolah lapang di sentra-sentra nelayan.

Saat ini, lanjutnya, sekolah lapang tersebut terdapat di empat titik yakni Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, Kabupaten Belawan Sumatera Utara dan Kupang Nusa Tenggara Timur.

Nantinya sekolah lapang tersebut akan dikembangkan lagi di tujuh titik yang merupakan kampung-kampung nelayan dengan intensitas industri perikanan tinggi namun banyak memiliki potensi SDM yang putus sekolah.

Ke tujuh titik tersebut yakni Sibolga Sumatera Utara, Tegal Jawa Tengah, Pontianak

Kalimantan Barat, Bitung Sulawesi Utara, Ambon Maluku, Sorong Papua Barat dan Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. (ant/id)

(4)

http://www.okezone.com

Sekolah Lapang Solusi Pendidikan bagi Anak Nelayan

Ilustrasi (Foto : Okezone)

JAKARTA - Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau nelayan Indonesia yang berjumlah 2,7 juta orang ternyata masih hidup merana. Kemiskinan, kebodohan, dan

keterbelakangan telah menjadi keseharian dan stigma bagi mereka.

"Hingga kini memang ada stigma seperti itu," kata Kepala Badan Pengembangan

Sumberdaya Manusia Kelautan dan

Perikanan Kementerian Keluatan dan Perikanan (BPSDM-KKP) Sjarief Widjaja pada acara peluncuran Buku Sekolah Nelayan, Jumat 25 Januari 2013, di kantornya.

Selama ini, lanjut Sjarief, banyak anak nelayan yang putus sekolah bahkan tidak sekolah. Lihat saja di kawasan-kawasan sentra nelayan seperti di Indramayu dan Tegal, anak-anak nelayan banyak yang putus sekolah. Kebanyakan mereka mengikuti jejak orangtua, menuju laut mencari ikan. “Bagaimana mau menembus kemiskinan kalau pola hidupnya hanya mengikuti orangtua saja?” ujarnya. Berangkat dari keprihatinan itulah, pendidikan menjadi pilihan penting untuk membangkitkan sikap anak-anak nelayan Indonesia mampu menjadi lebih baik, mampu bersaing. "Pendidikan anak nelayan adalah kata kunci memutus

kemiskinan," ungkap Sjarief.

Untuk membuka akses pendidikan bagi anak nelayan tersebut, sejak dua tahun lalu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggagas pembentukan sekolah lapang sebagai salah satu solusi agar anak nelayan bisa mendapatkan pendidikan dasar seperti membaca dan menulis. Sekolah ini diharapkan akan memberikan sesuatu kepada anak-anak nelayan tersebut bahwa hidupnya selama ini tidak sia-sia.

Adapun kurikulum yang diberikan tidak ubahnya kurikulum kejar paket A, B, dan C yang dimiliki oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kalaupun ada perbedaan, hanya menyangkut materi muatan lokal saja yang harus sesuai dengan local wisdom yang berlaku di daerah tersebut. "Namun, yang pasti, sekolah ini gratis bagi anak-anak nelayan," tambahnya.

Sejak tahun lalu, KKP sudah membuat empat sekolah lapang di perkampungan nelayan Belawan (Sumatera Utara), Cilacap (Jawa Tengah), Kupang (NTT), dan Parigi (Sulawesi Tengah). Rencananya, tahun ini KKP akan menambah lagi tujuh sekolah lapang lagi di sentra-sentra nelayan seperti Sibolga (Sumatera Utara), Tegal (Jawa Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), Ambon (Maluku), Sorong (Papua), dan Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat).

Untuk jadwal sekolah, kata Sjarief, disesuaikan dengan kegiatan para anak nelayan tersebut. "Kami menyesuaikan jadwal dengan anak-anak nelayan. Usai melaut, barulah

mereka belajar," tutur Sjarief.

(5)

www.madina.co.id

Menuju Nelayan Sejahtera

(Jakarta, MADINA): Kepala Badan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Ka BPSDMKP KKP) Prof Ir H Sjarief Widjaya PhD FRINA meluncurkan buku perdananya dengan judul Transformasi Nelayan Formula Membangun Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan. Peluncuran buku ini dilakukan di Gedung Mina Bahari (GMB) III kantor KKP, Jakarta, Jum’at (24/2) sekaligus dilanjutkan dengan acara bedah buku. Buku dengan ketebalan 102 halaman dan memiliki 12 bab ini mengupas tentang berbagai hal menyangkut peningkatan kesejahteraan nelayan, pendidikan anak-anak nelayan dan kehidupan keluarganya. “KKP di satu sisi baru berumur 12 tahun. Berdiri pada tahun 1999. Energi yang kita dorong lebih kepada arah kelautan. Kita sudah berhasil menurunkan jumlah nelayan perikanan yang menggunakan alat tangkap tradisional,― katanya. Dalam buku ini juga dikupas cara-cara meningkatkan pendidikan anak-anak nelayan. KKP mendirikan sekolah lapang atau lebih dikenal dengan Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) setingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan biaya gratis yang kini salah satunya sudah ada di Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk anak-anak nelayan.

“Sekolah-sekolah kami sekarang ini didedikasikan untuk anak-anak nelayan. Yang dikatakan orang miskin tidak bisa sekolah, rasanya itu tidak benar. Karena sekolah kita semuanya gratis. Mulai dari masuk sampai lulus itu dibiayai oleh negara. Termasuk uang makan sampai akomodasi dibiayai oleh negara,― terangnya. Di dalam buku ini, Sjarief Widjaya juga mengupas adanya handicap (salah persepsi) di kalangan nelayan dan keluarganya. “Handicap itu antara lain kalau nelayan mempunyai anak, punya putera-puteri menurut nelayan sebagai modal atau aset bukan realibilitis atau bukan kewajiban untuk disekolahkan sehingga anak-anak nelayan yang sudah lulus Sekolah Dasar (SD), mereka membantu orang tuanya untuk bekerja sebagai nelayan,― katanya. Sjarief Widjaya mengatakan dengan menjadi nelayan untuk membantu perekonomian keluarga sehingga pilihannya anak-anak nelayan rata-rata yang hanya lulusan SD, langsung bekerja atau menjadi tenaga kerja. “Untuk itu kita membuat sekolah dengan konsep teaching factory, yaitu sekolah yang mendekatkan dengan kebutuhan nelayan. Kami tidak akan mengajarkan ilmu-ilmu yang terlalu jauh dari apa yang dari sehari-hari nelayan sehingga kalau misalnya bapaknya nelayan, maka anaknya akan disekolahkan di jurusan penangkapan ikan secara gratis,― tegasnya. (mur)

(6)

www.kabarbisnis.com

Pendidikan tak jadi prioritas, SDA perikanan

banyak dinikmati asing

Indonesia memilki garis pantai 81.497 km persegi, terpanjang di dunia. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan pun luar biasa. Sayangnya, tidak sedikit nelayan masih diselimuti kemiskinan. Kunci persoalaan itu tidak lain karena nelayan belum mengganggap sektor pendidikan sebagai hal yang prioritas.

"Dunia mengenal kita sebagai sebagai tiga besar dalam memproduksi ikan. Kenaikan rerata per tahun selama 1996-2010, untuk tuna 11,1%, cakalang 7,2% dan cucut 38,1%.

Seharusnya, potensi kekayaan yang begitu besar.Indonesia mampu menjadi negara maju dan menguasai pasar perikanan dunia," ujar Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDMKP) Syarief Widjaja dalam bedah buku "Sekolah Nelayan" di Jakarta, Jumat (25/1/2013).

Namun realitasnya, menurut Syarief, lebih dari 80% potensi laut Indonesia belum

dieksplorasi dan dikelola dengan baik. Indonesia tidak termasuk lima besar pengekspor ikan. "Ini tidak diikuti pertumbuhan di proses pengolahan. Aktivitas industrialisasi perikanan di Indonesia masih terbilang minim," terang Syarief.

Kondisi demikian, menurut Syarief, memposisikan Indonesia menghadapi masalah pelik. Tidak sedikit keakyaan sumberdaya perikanan justru dimanfaatkan pihak asing. Padahal hasil kekayaan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan oleh nelayan.

Menurut Syarief, faktor rendahnya sumberdaya manusia (SDM) sektor kelautan dan

perikanan menjadi salah satu penyebabnya. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, dari 3,8 juta kepala keluarga (KK) yang berprofesi sebagai nelayan, sementara 2,7 juta KK masih dikategorikan sebagai nelayan miskin.

Dari jumlah 2,7 juta KK itu setara 7,8 jiwa yang mendiami 10.624 desa di pesisir. "Sayangnya lagi, jumlah yang sangat besar itu justru terdiri dari mereka yang masih mengandalkan cara-cara dan alat penangkapan yang tradisional," terang Syarief.

Menurut Syarief, kondisi itu menjadi tidak seimbang. Ketika di laut, nelayan kecil itu harus berkompetisi dengan nelayan asing yang sudah jauh lebih maju, baik dari pola pikir maupun teknologi yang digunakan. kbc11

(7)

www.edukasi.kompas.com

Pendidikan Anak Nelayan Memutus Kemiskinan

KOMPAS.com - Di tengah hamparan laut luas Nusantara, nelayan Indonesia ternyata hidup merana. Bahkan,

kemiskinan, kekurangan,

kebodohan, dan keterbelakangan menjadi stigma. "Iya, memang ada stigma seperti itu," aku Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Keluatan dan Perikanan (BPSDM-KKP) Sjarief Widjaja pada Jumat

(25/1/2013) di kantornya di Jakarta.

Untuk mengikis stigma itu, pendidikan adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh. Pilihan itu, kemudian, menjadi salah satu landasan dirinya menulis buku bertajuk Sekolah Nelayan. Sjarief lebih lanjut memaparkan, di kawasan-kawasan sentra nelayan macam di Indramayu dan Tegal, anak-anak nelayan banyak yang putus sekolah. Mereka kebanyakan mengikuti jejak orang tua, menuju laut mencari ikan.

Masuk akal kemudian, pendidikan bagi generasi penerus itu terbengkalai. Tak cuma itu, ditambah dengan kemiskinan, anak-anak nelayan menjadi begitu berkekurangan. Dalam pengamatan Sjarief, banyak anak nelayan tidak punya sepatu untuk sekolah. "Bahkan, untuk memotong kuku, anak nelayan perlu diajari,"ujar Sjarief.

Berangkat dari keprihatinan itulah, pendidikan menjadi pilihan penting untuk membangkitkan sikap anak-anak nelayan Indonesia mampu menjadi lebih baik, mampu bersaing.

"Pendidikan anak nelayan memutus kemiskinan,"kata Sjarief yakin.

Data termutakhir menunjukkan, jumlah nelayan Indonesia ada 2,7 juta jiwa. Mereka tinggal di 10.624 desa nelayan. Total jumlah desa di Indonesia mencapai 78.000 buah.

Bertolak dari pendidikan, di dalam buku setebal 113 halaman itu, Sjarief menggagaskan sekolah lapang sebagai salah satu pemecahan agar anak nelayan bisa setidaknya

mendapatkan pendidikan dasar seperti membaca dan menulis. Sejak tahun lalu, pihaknya sudah membuat empat sekolah lapang di perkampungan nelayan Belawan (Sumatera Utara), Cilacap (Jawa Tengah), Kupang (NTT), dan Parigi (Sulawesi Tengah). "Kami menyesuaikan jadwal dengan anak-anak nelayan. Usai melaut, barulah mereka belajar,"katanya sambil menambahkan kalau minimal 40 persen siswa sekolah memang benar-benar anak nelayan. Menurut rencana, pada tahun ini, lanjut Sjarief, pihaknya akan menambah lagi tujuh sekolah lapang lagi di sentra-sentra nelayan seperti Sibolga (Sumatera Utara), Tegal (Jawa Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), Ambon (Maluku), Sorong (Papua), dan Lombok Timur (Nusa

(8)

Tenggara Barat). "Sekolah lapang gratis bagi anak-anak nelayan,"katanya.

Tak cuma itu, daya tampung sekolah lapang juga akan ditambah lipat dua. Sampai dengan akhir tahun ini, target kapasitas mencapai 6.000 siswa.

Pada bagian lain, Sjarief menjelaskan kalau KKP juga meningkatkan kemampuan sekolah-sekolah formal kelautan dan perikanan dengan muatan lokal sesuai dengan lokasi. "Kalau di Tegal, muatan lokal akan terkait dengan perikanan tangkap mulai dari hulu sampai dengan hilir. Di Boyolali, konsentrasinya budidaya lele,"ujarnya lagi sembari menambahkan kalau pihaknya pun mengarahkan lulusan pendidikan sekolah usaha perikanan menjadi wiraswasta bidang perikanan dan kelautan.

Data menunjukkan, sampai kini KKP memiliki 9 Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM), 3 Akademi Usaha Perikanan, dan 1 Sekolah Tinggi Usaha Perikanan. "Di Sekolah Tinggi Usaha Perikanan sudah ada Strata 2 Vokasi Perikanan juga,"kata Sjarief.

Sementara, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki 167 Sekolah Menengah Kejuruan Perikanan. Lalu, ada 28 universitas negeri yang memiliki fakultas maupun jurusan perikanan. "Ke depan, integrasi antara sekolah-sekolah perikanan itu akan semakin lebih baik," demikian Sjarief Widjadja.

(9)

http://bangka.tribunnews.com

Nelayan Melarat, Tak Bisa Kaya Raya? Baca

Penyebabnya di Buku Ini

BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Jumat (25/1/2013) hari ini meluncurkan buku yang berjudul 'Sekolah Nelayan' di Gedung Mina Bahari III KKP, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat.

Menurut Sjarief Widjaja, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDM), buku ini merupakan gambaran lengkap atas semua permasalahan dan solusi dalam membangun sistem pendidikan kelautan dan perikanan di Indonesia. Semua permasalahan dan solusi tersebut tertuang dalam sembilan bab.

"Kami harapkan melalui buku ini masyarakat luas bisa terbuka wawasannya bahwa betapa pentingnya memiliki SDM kelautan dan perikanan guna mendorong laju pembangunan nasional," kata Sjarief Widjaja.

Lebih lanjut Sjarief mengatakan, nelayan sebagai salah satu pelaku utama sektor kelautan dan perikanan tentunya mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya alam di sektor ini. Dengan kekayaan alam yang sangat melimpah tersebut idealnya para nelayan dapat hidup sejahtera.

"Tetapi ironisnya, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya, kehidupan nelayan identik dengan kemiskinan, kekurangan, kebodohan, terbelakang dan sebaliknya," kata Sjarief.

Menurutnya, hal tersebut diperparah dengan banyaknya anak-anak nelayan, sebagai generasi penerus tidak mengenyam pendidikan. Mereka masih berpikir bahwa daripada mengeluarkan uang untuk biaya sekolah, lebih baik membantu orangtua melaut yang dapat memperoleh penghasilan.

"Jika hal ini terus dibiarkan tentunya tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik, karena itu perlu ada terobosan dalam bidang pendidikan bagi nelayan," kata Sjarief.

"Cara tercepat mengentaskan kemiskinan bagi nelayan, adalah memberikan pendidikan bagi mereka," tambahnya.

(10)

http://www.suarakarya-online.com

PENDIDIKAN MINIMUM

Nelayan Indonesia Sulit Bersaing

JAKARTA (Suara Karya): Sulit untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan

Indonesia. Sebab, dari sekitar 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia, kebanyakan tingkat pendidikan mereka masih rendah bahkan banyak yang putus sekolah." Kondisi ini, menjadi tidak seimbang ketika di laut mereka harus berkompetisi dengan nelayan asing yang sudah jauh lebih maju, baik dari pola pikir maupun teknologi yang digunakan," kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP) R. Sjarief Widjaya, di Jakarta, kemarin.

Oleh karena itu, Sjarief menegaskan, pihaknya merasa bertanggung jawab dalam membangun SDM kelautan dan perikanan Indonesia, agar bisa lebih maju dan modern di dalam berkompetisi. "Salah satu pilar pembangunan SDM kelautan dan perikanan yakni melalui pendidikan. Jalur ini dirasa penting sebagai fondasi menciptakan SDM yang maju dan modern," katanya.

Sebagai langkah memenuhi harapan tersebut, katanya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan pada tahun 2013 daya tampung Sekolah Umum Perikanan Menengah (SUPM) akan ditingkatkan menjadi 10.000 siswa.

R.Sjarief menambahkan, daya tampung SUPM di seluruh Indonesia awalnya hanya 4500 siswa kemudian ditingkatkan menjadi 6.000 siswa seiring meningkatnya minat masyarakat melanjutkan pendidikan ke sekolah tersebut.

"Meskipun demikian peminatnya tetap saja banyak, bahkan melebihi daya tampung sehingga kami akan meningkatkan kapasitasnya tahun ini menjadi 10.000 ribu orang," katanya. Sebelumnya dalam bedah buku "Sekolah Nelayan" yang ditulisnya, Sjarief menyatakan, sumber daya manusia berperan penting dalam menentukan laju pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.

Lakukan Sinergi

Selain meningkatkan daya tampung sekolah perikanan yang dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan, tambahnya, pihaknya juga akan bersinergi dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) perikanan dibawah Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan yang saat ini jumlahnya mencapai 107 sekolah.

Sementara itu, untuk memberikan kesempatan keluarga nelayan atau masyarakat pesisir yang ingin mengenyam pendidikan namun mengalami kendala biaya, maka pihaknya juga akan menambah sekolah-sekolah lapang di sentra-sentra nelayan. Saat ini, lanjutnya, sekolah lapang tersebut terdapat di empat titik yakni Kabu-paten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, Kabupaten

Belawan Sumatera Utara dan Kupang Nusa Tenggara Timur.

Nantinya, sekolah lapang tersebut akan dikembangkan lagi di tujuh titik yang merupakan kampung-kampung nelayan dengan intensitas industri perikanan tinggi-namun banyak memiliki potensi SDM yang putus sekolah. Ke tujuh titik tersebut yakni Sibolga Sumatera Utara, Tegal Jawa Tengah, Pon-tianak Kalimantan Barat, Bitung Sulawesi Utara, Ambon Maluku, Sorong Papua Barat dan Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. (Bayu)

(11)

www.antaranews.com

Daya Tampung SUPM Ditargetkan 10.000 Siswa

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan pada tahun 2013 daya tampung Sekolah Umum Perikanan Menengah (SUPM) meningkat menjadi 10.000 siswa.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Manusia Kelautan dan Perikanan, KKP, R.Sjarief Widjaja di Jakarta, Sabtu mengatakan, daya tampung SUPM di seluruh Indonesia awalnya hanya 4500 siswa kemudian ditingkatkan menjadi 6.000 siswa seiring meningkatnya minat masyarakat melanjutkan pendidikan ke sekolah tersebut.

"Meskipun demikian peminatnya tetap saja banyak bahkan melebihi daya tampung sehingga kami akan meningkatkan kapasitasnya tahun ini menjadi 10.000 ribu orang," katanya. Sebelumnya dalam bedah buku "Sekolah Nelayan" yang ditulisnya, Sjarief menyatakan, sumber daya manusia berperan penting dalam menentukan laju pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.

Namun demikian, lanjutnya, dari sekitar 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia, kebanyakan tingkat pendidikannya masih rendah bahkan banyak yang putus sekolah. Kondisi ini, menurut dia, menjadi tidak seimbang ketika di laut mereka harus berkompetisi dengan nelayan asing yang sudah jauh lebih maju, baik dari pola pikir maupun teknologi yang digunakan.

Oleh karena itu, Sjarief menyatakan, BPSDMKP merasa bertanggung jawab dalam

membangun SDM kelautan dan perikanan Indonesia untuk lebih maju dan modern. "Salah satu pilar pembangunan SDM kelautan dan perikanan yakni melalui pendidikan. Jalur ini dirasa penting sebagai fondasi menciptakan SDM yang maju dan modern," katanya.

Selain meningkatkan daya tampung sekolah perikanan yang dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan, tambahnya, pihaknya juga akan bersinergi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) perikanan dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini jumlahnya mencapai 107 sekolah.

Sementara itu untuk memberikan kesempatan keluarga nelayan atau masyarakat pesisir yang ingin mengenyam pendidikan namun mengalami kendala biaya , maka pihaknya juga akan menambah sekolah-sekolah lapang di sentra-sentra nelayan. Saat ini, lanjutnya, sekolah lapang tersebut terdapat di empat titik yakni Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, Kabupaten Belawan Sumatera Utara dan Kupang Nusa Tenggara Timur.

Nantinya sekolah lapang tersebut akan dikembangkan lagi di tujuh titik yang merupakan kampung-kampung nelayan dengan intensitas industri perikanan tinggi namun banyak memiliki potensi SDM yang putus sekolah. Ke tujuh titik tersebut yakni Sibolga Sumatera Utara, Tegal Jawa Tengah, Pontianak Kalimantan Barat, Bitung Sulawesi Utara, Ambon Maluku, Sorong Papua Barat dan Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. (tp)

(12)

http://harian-pelita.pelitaonline.com/

RI Mampu Kuasai Pasar Perikanan Dunia

Jakarta, Pelita

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDMKP) Sjarief Widjaja mengatakan, Indonesia mampu menjadi negara maju dan menguasai pasar perikanan dunia. Indonesia memilki garis pantai 81.497 kilometer persegi, terpanjang di dunia.

Dunia mengenal Indonesia sebagai sebagai tiga besar dalam memproduksi ikan. Kenaikan rerata per tahun selama 1996-2010, untuk tuna 11,1 persen, cakalang 7,2 persen dan cucut 38,1 persen.

"Seharusnya, potensi kekayaan yang begitu besar, Indonesia mampu menjadi negara maju dan menguasai pasar perikanan dunia," ujar Sjarief dalam bedah buku "Sekolah Nelayan" di Jakarta, kemarin.

Namun realitasnya, lebih dari 80 persen potensi laut Indonesia belum dieksplorasi dan dikelola dengan baik. Indonesia tidak termasuk lima besar pengekspor ikan. Hal ini tidak diikuti pertumbuhan di proses pengolahan. Aktivitas industrialisasi perikanan di Indonesia masih terbilang minim.

Kondisi demikian, memposisikan Indonesia menghadapi masalah pelik. Tidak sedikit kekayaan sumber daya perikanan justru dimanfaatkan pihak asing. Padahal hasil kekayaan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan oleh nelayan.

Menurut Sjarief, faktor rendahnya sumber daya manusia sektor kelautan dan perikanan menjadi salah satu penyebabnya. Merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2011, dari 3,8 juta kepala keluarga (KK) yang berprofesi sebagai nelayan, sementara 2,7 juta KK masih dikategorikan sebagai nelayan miskin.

Dari jumlah 2,7 juta KK itu setara 7,8 jiwa yang mendiami 10.624 desa di pesisir. "Sayangnya lagi, jumlah yang sangat besar itu justru terdiri dari mereka yang masih mengandalkan cara-cara dan alat penangkapan yang tradisional," tuturnya.

Akibatnya, kondisi itu menjadi tidak seimbang. Ketika di laut, nelayan kecil itu harus berkompetisi dengan nelayan asing yang sudah jauh lebih maju, baik dari pola pikir maupun teknologi yang digunakan. (cr-1)

(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)

Referensi

Dokumen terkait

merupakan suatu aturan yang wajib untuk ditaati karena roh dari segala peraturan sejatinya adalah untuk menjaga kemaslahatan ummat. Menurut Montesqieui, Pembentukan hukum

Prinsip utama dari pengendalian genetik cacat resesif sangat sederhana terlepas dari setinggi apa frekuensi alel resesif yang tidak diinginkan itu terjadi, frekuensi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Penyusunan basis data berbasis SIG dalam penentuan zonasi rawan bencana longsor menggunakan data

4) Seksi pencairan dana melakukan pendaftaran data supplier sesuai Surat Permintaan Perubahan Data Supplier , mencetak Laporan Informasi Supplier/Kartu Pengawasan

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengindentifikasi keragaman gen yang mengontrol sifat pertumbuhan dan produksi pada kambing

Dilihat dari segi harga, apakah harga di Swalayan sama, lebih murah atau bahkan lebih mahal dari pesaing serta pasar tradisional. Dari segi yang lain misalnya pelayanan

Pola difraksi pada Gambar 6 adalah pola difraksi dari hidroksiapatit yang sudah berpori, dengan porogen kitosan, ternyata keberadaan kitosan selama proses terjadinya

Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh ( Nan dan Lin, 2007) bahwa citra merek akan suatu produk berpengaruh