• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Praktis Penerapan Arti Persembahan: Persfektif Perjanjian Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Praktis Penerapan Arti Persembahan: Persfektif Perjanjian Baru"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Praktis Penerapan Arti Persembahan: Persfektif Perjanjian Baru

Yoel Benyamin

Sekolah Tinggi Teologi Borneo Pontianak, Kalimantan Barat

yoelstii@gmail.com

Abstraksi: Offering is a form of reflection of faith in Christianity which is a form of self-sacrifice by giving possessions to God. Offerings can be described as a reflection of the sacrificial model in the Old Testament where a worshiper surrenders his possession to God. In the world of the New Testament Jesus Christ is the fulfillment of an imperfect sacrifice in this Old Testament and He has offered Himself once and for all as a sacrifice perfecting the previous sacrifice. Offering to God, even though there are many variations in Christianity today, is meaningless if it does not come from a heart that is willing to worship God. The demand for offerings in the Church cannot be limited to one tenth or other types of offerings. According to the word of God, believers offer their whole lives to God, because the person of the believer belongs to God.

Keywords: church; church growth; evangelism; Grace Bible Church

Abstrak: Persembahan adalah wujud refleksi keimanan dalam kekristenan yang merupakan bentuk pengorbanan diri sendiri dengan memberikan harta milik kepunyaan bagi Allah. Persembahan dapat digambarkan sebagai cerminan dari model korban dalam Perjanjian Lama yang mana seorang pengibadah menyerahkan kepunyaannya kepada Allah. Dalam dunia Perjanjian Baru Yesus Kristus adalah penggenapan dari korban yang belum sempurna dalam Perjanjian Lama ini dan Ia telah mempersembahkan diriNya sekali untuk selamanya sebagai korban yang menyempurnakan korban sebelumnya. Persembahan kepada Allah, sekalipun banyak ragamnya dalam kekristenan kini, tidaklah bermakna bila tidak berasal dari hati yang ikhlas beribadah kepada Allah. Tuntutan memberi persembahan dalam Gereja tidak dapat dibatasi dengan sepersepuluh saja atau jenis-jenis persembahan lainnya. Berdasarkan firman Tuhan orang percaya mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Allah, karena pribadi orang percaya adalah milik Allah.

Kata kunci: New Testament; offering; sacrifice; tithe

PENDAHULUAN

Memberi persembahan adalah kewajiban rohani bagi orang Kristen terlepas dari apapun denominasi gereja atau jenis persembahan yang diatur masing-masing. Semua jenis persembahan ini bersumber dan berlandaskan secara teologis pada Alkitab dan disesuaikan pada penerapannya pada setiap denominasi. Misalnya ada denominasi gereja yang meng-ajarkan persembahan persepuluhan bersifat wajib, sementara denominasi lainnya menga-jarkan persembahan persepuluhan bersifat tidak wajib.1 Mencermati fenomena praktik

persembahan di gereja-gereja lokal yang ada, penulis tertarik mengamati dan meneliti bagaimana ajaran Alkitab dan bagaimana harus melakukannya sesuai ajaran Perjanjian Baru. Pemanfaatan ayat Alkitab secara corupt membuat banyak penyimpangan dalam

menerap-1Alvian Apriano, “Tentukan Pilihan: Fungsi Implementatif Tawaran Pilihan Etis-Teologis Kristen Di Dalam Konteks Dilema Moral,” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 3, no. 2 (2019): 67.

(2)

kannya. Sementara, masalah persembahan tidak dapat menjadi perdebatan yang pokok dalam doktrin kekristenan, karena ini adalah ranah parktis.

Secara biblikal tindakan memberi persembahan sudah ada sejak masa Kain dan Habel dalam kitab Kejadian bahkan sampai kitab Wahyu. Perkembangannya dari model persem-bahan korban yang tradisional sampai ke pola persempersem-bahan masa kini. Apa pun yang diajarkan Alkitab tentang persembahan korban, prinsipnya adalah sama, bahwa pribadi yang memberi persembahan secara iklas memberi dengan komitmen kepada Allah. Murni Sitanggang menyatakan bahwa perpuluhan merupakan salah satu aspek penting dalam hal memberi yang tak dapat diabaikan dalam kehidupan material segenap umat Tuhan, yang sangat tertib pelaksanaannya di masa PL, dan merupakan sistem pengelolaan keuangan yang ditetapkan oleh Allah sendiri.2 Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus menghantar jemaat

Kristen pada pemahaman baru terhadap korban persembahan.

Sebagaimana diterangkan di atas, seluruh korban persembahan itu memuncak dan menyatu di bawah pendamaian oleh Allah. Apa pun jenis-jenis persembahan lainnya terlihat hanya punya arti di dalam pendamaian dari Allah. Pendamaian sebagai puncak dari seluruh korban persembahan kemudian terpenuhi di dalam kematian Yesus Kristus di kayu salib. Dia adalah korban satu-satunya untuk pendamaian, yang berlangsung hanya satu kali untuk selama-lamanya. Imam Besar yang menjalankan korban ini adalah Yesus Kristus sendiri dan domba yang dikorbankan untuk pendamaian itu adalah juga Yesus Kristus sendiri (Bandingkan terutama pemberitaan dalam Ibrani 6 s/d 10). Bonar H. Lumbantobing berkata bahwa, “Dengan kematian Tuhan Yesus, yaitu korban satu-satunya dan sekali untuk selamanya, maka berakhirlah seluruh korban-korban persembahan dalam bentuk apa pun. Korban sajian, korban ucapan syukur, persembahan perpuluhan, korban keselamatan dan yang lain –lainnya berakhirlah sudah. Semuanya sudah terpenuhi di dalam korban Yesus Kristus untuk pendamaian antara manusia yang berdosa di sepanjang abad dengan Allah yang kekal.3

Tradisi apapun dalam ke-Yahudian, baik dulu maupun kini, tidak dapat diperkenankan untuk dijalankan dan tidak mendapat legitimasi lagi secara hukum. Orang percaya masa kini sudah merayakan pengorbanan Kristus tersebut melalui ibadah setiap hari minggu dalam persekutuan dan perjamuan Tuhan. Ibadah kristiani pada masa kini adalah bentuk penga-kuan legal-formal bahwa Kristus sudah menyelesaikan dan menggenapkan korban yang dilakukan Israel secara tradisional di kayu salib. Bonar juga mengatakan: Pengakuan ini kemudian dirayakan pada hari kebangkitan Tuhan Yesus, dimana jemaat selalu berkumpul, yaitu pada hari Minggu. Jemaat yang berkumpul itu adalah jemaat yang percaya pada Allah sebagaimana diberitakan dalam Perjanjian Lama, bahkan memegang dan mengakui Kitab Suci yang kemudian jemaat tubuh Kristus sebut sebagai Perjanjian Lama, dan masih tetap mengunjungi Bait Suci. Oleh karena itu, dalam perkumpulan-perkumpulan mereka, kebak-tian Yahudi mempengaruhi.4

2Murni H. Sitanggang, “Teologi Biblika Mengenai Perpuluhan,” Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 12, no. 1 (2011): 19–37.

3Bonar H. Lumbantobing, http://www.hkbp.or.id/files/1.5.Teologi%20Persembahan.doc 4Ibid.

(3)

Bila membahas persembahan, maka ada beberapa pertanyaan yang dapat muncul, misalnya, di manakah letak prinsip persembahan yang sudah mereka warisi dari keYahudian melalui Perjanjian Lama dan bagaimana kelanjutannya? Jika diteliti persembahan apapun dalam Perjanjian Lama memiliki berkaitan dengan ketiga hal, yakni: di mana Allah adalah sumber persembahan, dan apa yang dari Allah kembali pada Allah, serta sambutan akan persembahan sebagai penatalayan dalam wujud perjuangan keadilan. Penegasan arti dari persembahan ini termanifestasi dalam kehidupan jemaat mula-mula dalam memaknai sebuah pemberian kepada Allah. Dan jika melihat pada kehidupan Ananias dan Safira prinsip memberi yang menekankan penghormatan pada Allah adalah yang utama. Tindakan mereka tidak memberi seluruhnya bukanlah berarti Allah membutuhkan semua harta mereka, namun dalam perbuatan mereka terlihat bagaimana cara mereka menghormati Allah melalui pemberian harta yang dimiliki.

Pada banyak gereja model-model persembahan tergantung kebijakan masing-masing denominasi dalam menafsirkan dan mempraktekkan teks kitab suci.5 Murray mengatakan bahwa “persepuluhan yang dilakukan zaman sekarang di banyak gereja bertumpu pada hermeneutik (penafsiran) yang tidak memadai. Selanjutnya Murray bertanya lebih lanjut, apakah kita bisa memastikan bahwa kita tidak menafsirkan satu aspek ajaran Alkitab secara harafiah, sedangkan mengabaikan yang lain? Ia menekankan bahwa seperti halnya Tahun Yobel, persepuluhan tidak dapat dikeluarkan dari konteks sosial, ekonomi, dan keagamaan atau dari komponen ketentuan lainnya dari ketetapan Musa yang berkaitan dengan persepuluhan tanpa membiarkan artinya.”6 Secara praktis orang percaya dapat menetapkan

pemberian jenis persembahan berdasarkan kebutuhan lokal. Dengan demikian gereja tubuh Kristus dapat melihat bahwa persembahan-persembahan lain tidak disebut, walau pun tidak pernah ditolak. Sebab Yesus Kristus tidak pernah menolak korban persembahan, tetapi mengembalikan pelaksanaan korban persembahan itu pada motivasi yang sebenarnya seperti dalam Perjanjian Lama.

Seperti yang disebutkan di atas, jemaat perdana (mula-mula) memahami bahwa seluruh korban persembahan telah berakhir di dalam Yesus Kristus, sehingga persembahan apa pun yang selama ini dikenal oleh umat, telah disempurnakan di dalam korban oleh Yesus Kristus sekali untuk selamanya.7 Hal tersebut dirayakan dalam kebaktian-kebaktian jemaat perdana tersebut. Ketika kitab-kitab dan surat-surat yang kemudian menjadi Perjanjian Baru perlahan-lahan ditulis dan dikumpulkan serta beredar di jemaat, maka di dalamnya termaksudlah keyakinan jemaat perdana tadi baik di dalam ucapan Tuhan Yesus, mau pun dalam tulisan para Rasul.

5Apriano, “Tentukan Pilihan: Fungsi Implementatif Tawaran Pilihan Etis-Teologis Kristen Di Dalam Konteks Dilema Moral.” Band: Ayub Widhi Rumekso, “Evaluasi Terhadap Tata Ibadah Kontekstual Gereja Kristen Jawa,” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 5, no. 1 (2019): 74–93.

6Steven Teo, 12-13

7Harls Evan Siahaan, “Karakteristik Pentakostalisme Menurut Kisah Para Rasul,” Dunamis: Jurnal

Teologi dan Pendidikan Kristiani 2, no. 1 (2017): 12–28. Band: Sonny Eli Zaluchu, “Eksegesis Kisah Para

Rasul 2:42-47 Untuk Merumuskan Ciri Kehidupan Rohani Jemaat Mula-Mula Di Yerusalem,” EPIGRAPHE:

Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 2, no. 2 (2018): 72–82, accessed April 1, 2020,

(4)

Di dalam Kitab-kitab Injil, Tuhan Yesus tidak pernah mengutuk korban persembahan Yahudi. Khotbah Tuhan Yesus malah menunjukkan bahwa mezbah dan korban persemba-han adalah bagian yang sah dari penyembapersemba-han akan Allah (Mat. 5:23 dab; 23:18dab). Memang Yesus Kristus mengecam sikap kaum Farisi, agar mengingat bahwa yang Allah kehendaki adalah belaskasihan, bukan korban (Mat. 9:13; 12:7), namun ini bukan berarti penolakan terhadap persembahan. Bait Suci juga memang dinilai oleh Tuhan Yesus (seperti dalam Mat. 12:6; 26:61; bnd dengan 27:40; Yoh. 2:19; 4:21) namun itu menunjukkan bahwa korban persembahan itu adalah bersifat sekunder dan akan lenyap juga, karena korban persembahan itu bagian dari masa yang akan segera berlalu ini. Di dalam Yesus Krituslah terwujud kebenaran sehingga korban persembahan berakhir.8 Steven Teo mengatakan

bahwa, Perpuluhan hampir tidak disebut-sebut dalam Perjanjian Baru. Tuhan Yesus hanya menyingungnya ketika Ia mengecam perilaku munafik kaum Farisi (Matius 23:23 dan Lukas 11:42, 18:12).

Sementara itu Yamowa’ Abate’e menulis dalam buku Mengungkapkan Misteri Persepuluhan bahwa, Persepuluhan dalam Perjanjian Baru khususnya dalam kitab Injil hanya disinggung dua kali oleh Tuhan Yesus Kristus, yaitu dalam Matius 23:32 dan Lukas 11:42. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, Memang kitab Ibrani juga menyingung persepu-luhan, tetapi berdasarkan konteksnya kitab ini membandingkan keimamatan Melkisedek dan Kristus. Penulis kitab ini tidak menekankan tentang persepuluhan, tetapi kebesaran keima-matan Kristus.9 Oleh karena itu, ajaran Tuhan Yesus selanjutnya bukan lagi tentang persembahan dalam rangka Perjanjian Lama lagi, tetapi persembahan dalam zaman yang baru ini yang disebut zaman kasih karunia. Kebebasan dalam memberi persembahan men-jadi ciri dari zaman baru ini, karena persembahan itu mengacu pada apa yang Yesus Kristus korbankan sebagaimana dirayakan dalam Perjamuan Tuhan. Jemaat bebas untuk memberi seperti janda miskin yang memberikan seluruhnya (Mark. 12:44) tergantung pada kebebasan yang diberikan oleh Yesus Kristus.

Walau pun secara singkat, namun sudah dapat ditunjukkan bahwa pemberitaan ini mengembalikan pada inti pemberitaan Perjanjian Lama tentang penatalayanan dari umat yang memberikan korban persembahan dibawah naungan korban utama yaitu pendamaian. Saat ini di dalam Yesus Kristus, penatalayanan itu diulang kembali. Oleh karena itu prinsip-prinsip persembahan dalam zaman kasih karunia ini serta penatalayanan umat percaya seperti yang diterangkan di atas, ditunjukkan secara konkrit dalam kebaktian jemaat Kristen. Bentuknya menjadi sangat baru dan konkrit serta transformatif.

Persembahan harus dimaknai sebagai ekspresi rasa hormat dan kerinduan untuk me-muliakan Tuhan. Injil Matius 2:11 mengatakan “Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” Dalam ayat ini tidak disebutkan satuan dari barang yang dipersembahkan. Artinya, penulis tidak tahu jumlah yang mereka persembahkan: Apakah

8Susanto Dwiraharjo, “Persembahan Yang Hidup Sebagai Buah Dari Pembenaran Oleh Iman Menurut Roma 12:1-2,” PRUDENTIA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 1, no. 1 (2018): 1–6.

(5)

sepersepuluh dari yang mereka miliki atau seperlimapuluh? Penulis hanya bisa menduga bahwa mereka ingin memberikan yang terbaik yang mereka miliki untuk Tuhannya. Tuhan Yesus agaknya tidak mengutamakan persembahan dalam arti uang atau benda, tetapi yang jauh lebih penting adalah kesediaan seseorang untuk bertobat. Perhatikan Injil Matius 9:13 “Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” Bukan jumlah atau banyak-sedikitnya persembahan yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus, melainkan bobot pengorbanan yang mendasari persembahan yang diberikan.

Pengertian demikian bisa dibaca dalam Injil Markus 12: 41-44, secara jumlah pasti amat sedikit yang diberikan oleh janda itu, tetapi secara prosentase dibandingkan dengan harta yang dimiliki, nilainya bisa lebih dari 100% (“..ia memberi dari kekurangannya…”). Sebaliknya persembahan dari orang kaya, secara jumlah pasti lebih besar, tetapi secara prosentase dari harta milik mereka, pastilah tidak lebih dari 1/10 (“…mereka memberi dari kelimpahannya….”). Janda miskin memberi persembahan dengan bobot pengorbanan yang amat besar, sementara orang kaya memberi persembahan dengan ringan saja -tanpa beban dan pengorbanan- karena memang hanya diambilkan sebagian kecil (sangat kecil?) dari harta miliknya. Walter M. Post mengemukakan dalam bukunya bahwa, “Tuhan tidak memerhatikan berapa banyak yang diberikan oleh seseorang, tetapi berapakah yang disimpan untuk dirinya sendiri. Tuhan Yesus berkata bahwa orang kaya memberi banyak karena ia mewah, sehingga pemberiannya hanya merupakan sebagian kecil dari hartanya. Wanita miskin ini hanya memberi dua peser, tetapi uang yang sedikit itu merupakan seluruh milikinya.”10

Rasul Paulus sebagai salah satu tokoh Alkitab menghayati persembahan bukan hanya uang atau benda, tetapi seluruh hidup.11 Dikatakan dalam Roma 12:1 “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembah-kan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Istilah “tubuh sama dengan seluruh hidup” artinya menghayati dan mempraktekkan hidup untuk memusatkan perhatian kepada orang lain, bukan lagi untuk dirinya sendiri. Bandingkan dengan Injil Yohanes 21: 18 “tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Bandingkan juga dengan cerita tentang anak muda yang kaya. Ia sudah menjalankan semua ajaran di Perjanjian Lama (tentunya termasuk persembahan persepuluhan dan jenis-jenis persem-bahan lainnya), tetapi di depan Tuhan Yesus anak muda itu dianggap belum melakukan sesuatu yang berarti (Matius 19:21 Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sem-purna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.“ Dan, ternyata, pemuda tadi masih lebih terikat pada hartanya daripada terikat pada Kristus.

10Walter M. Post, Tafsiran Injil Markus, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995), hal. 149

11Dwiraharjo, “Persembahan Yang Hidup Sebagai Buah Dari Pembenaran Oleh Iman Menurut Roma 12:1-2.”

(6)

Perhatikan 2 Timotius 4:6 “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat.” Pada usia lanjut Rasul Paulus menengok ke belakang, bagaimana ia telah mencurahkan segala yang ia miliki, secara jasmani dan rohani, untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Kata “darah” di dalam kalimat di atas adalah juga melambangkan berbagai penderitaan dan kesusahan yang pernah dialaminya sebagai pemberita injil, dan itu dihayati sebagai bagian dari persembahan yang diberikan Paulus kepada Tuhan. Perhatikan Ibrani 10:8 “Di atas Ia berkata: “Korban dan persembahan, korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau kehendaki dan Engkau tidak berkenan kepadanya” meskipun dipersembahkan menurut hukum Taurat.” Pada ayat ini diperoleh gambaran tentang pemahaman yang baru tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sementara di Perjanjian Lama hubungan itu antara lain ditandai dengan persembahan sebagai simbol kesetiaan dan kepatuhan umat terhadap Tuhannya, sedangkan di dalam Perjanjian Baru hubungan antara manusia dengan Tuhan ditandai dengan pemberian anugerah keselamatan dari Yesus Kristus. Di Perjanjian Baru kesetiaan dan kepatuhan orang percaya kepada Tuhan-nya tidak lagi ditandai oleh besar kecilnya persembahan, tetapi oleh cara hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerajaan Allah, yaitu: kasih, keadilan, kebenaran, sukacita, damai sejahtera.

Peter Wongso mengemukakakan:

Persembahan dalam Perjanjian Baru, yaitu Kristus mempersembahkan tubuh-Nya sebagai korban penebusan serta sebagai teladan mendirikan Perjanjian Baru, barang siapa yang percaya kepada Kristus, juga mempersembahkan seluruhnya untuk dipergunakan bagi kebenaran, ia baru dapat dibenarkan. Juga ada dibicarakan tentang persembahan emas, perak dan lainnya, tetapi benda-benda tersebut hanya khusus dipakai bagi keperluan pekabaran Injil atau dipakai untuk maksud yang mulia.12

Demikianlah secara konkrit, bagaimana persembahan dijalankan dalam jemaat Kristen berkaitan dengan pengorbanan tunggal dan sekali untuk selamanya oleh Kristus. Persembahan jadinya selalu terkait dengan Perjamuan Tuhan. Buah dari keterkaitan persembahan dengan Perjamuan Tuhan ini adalah terkumpulnya pemberian jemaat untuk kepentingan orang-orang miskin, atau dalam pengistilahan saat ini, untuk diakonia. Sehingga Perjamuan Tuhan, Persembahan dan Diakonia menjadi satu kesatuan.

Tuhan Yesus mengajarkan untuk Memberi

Tuhan Yesus berfirman kepada kita supaya kumpulkan harta di surga (Mat. 6:19-21). Tuhan Yesus memuji seorang janda sebab dia memberikan semua nafkanya dalam bentuk uang dua peser (Luk. 21:1-4). Kevin J. Conner mengemukakan:

Tuhan Yesus menghargai kaum Farisi dalam segala persepuluhan yang telah mereka berikan, tetapi mengutuk mereka atas kelalaian mereka perihal belas kasihan, keadilan dan kesetiaan (Mat. 23:23). Lebih lanjut ia mengatakan, Orang kaya masih tetap memiliki kelebihan dan tidak pernah merasa kehilangan seberapa pun banyaknya mereka memberi. Janda itu sudah tidak memiliki apa pun yang tersisa, sebab dia memberikan semua yang dimilikinya. Tuhan Yesus masih duduk mendekati peti persembahan saat ini, dalam bentuk Roh Kudus. Dia memperhatikan siapa yang memberi dan alasan mereka memberi (Mrk. 12:38-44).13

12Peter Wongso, Doktrin Keselamatan (Malang: SAAT, 1993), 121 13Kevin J. Conner, Jemaat Dalam Perjanjian Baru, 594

(7)

Prinsip tabur-tuai dalam persembahan disampaikan oleh Paulus dalam suratnya 1Korintus 9:6-9, bahwa kerelaan dan keiklasan merupakan pendorong dalam hati orang percaya. Pemikiran demikian tergambar juga dalam ungkapan Yesus: berilah dan kamu akan diberi, menurut ukuran yang kamu pakai untuk mengukur (Luk. 6:38). Maria memberikan peng-urapan dan hal ini mengeluarkan bau yang harum (Mrk. 14:1-11). Tuhan Yesus mengajar-kan bahwa memberi amengajar-kan lebih diberkati dari pada menerima (Kis. 20:35).

Yesus tidak pernah mengajarkan persepuluhan kepada murid-muridNya, demikian juga para murid tidak mengajarkannya. Kitab Ibrani justru memberikan gambaran yang jelas bahwa dalam Perjanjian Lama, manusia-manusia yang fana menerima persepuluhan (untuk kehidupan mereka), tetapi Yesus (yang adalah domba Paskah dan Imam Besar) tidak lagi membutuhkannya karena "Ia Hidup" dan lebih tinggi derajatnya dari Abraham (Ibr.7:1-10), karena itu persembahan kepada Yesus adalah persembahan kepada sesama manusia terutama mereka yang terlebih hina daripada kita (Mat.25:31-46).14

Jadi, Persembahan umat Kristen berdasarkan prinsip Alkitab bukan lagi dalam bentuk perse-puluhan yang diundangkan untuk dilakukan secara harafiah tetapi merupakan buah kasih yang keluar dari hati yang dibenarkan Allah. Mereka yang telah beriman dan lahir baru akan hidup dalam mengasihi Allah dan sesamanya dengan harta mereka (Kis. 2:44-45;4:34-35; Mat.35:31-46; Luk.18:22) dan menyisihkan dengan teratur persembahan sesuai dengan yang diperoleh (1Kor.16:1-2; Gal.6:6) untuk pelayan dan pekerjaan Tuhan dengan kasih.

Paulus mengajarkan untuk Memberi

1 Korintus 16:1-4. Berkenan dengan pengumpulan uang untuk menolong orang-orang kudus, Paulus juga mengajarkan supaya hal ini dilakukan pada hari pertama tiap minggu, sebagaimana Allah telah menjadikan mereka mapan. Paulus juga mengajarkan untuk memberi tiap-tiap minggu, secara teratur, selayaknya, dan dengan sukacita. Kevin J. Conner menulis dalam bukunya bahwa, “Paulus juga memperkuat prinsip persepuluhan dalam 1 Kor. 9:1-14. Dia menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada seseorang yang melayani altar dan hidupnya didukung oleh apa yang ada di atas altar.”15

Di sini Paulus tidak menyimpang dari pokok pembahasan. Dia justru mengilustrasikan prinsip-prinsip yang baru saja dikemukakan dengan mengacu kepada pengalamannya sendiri. Selaku seorang rasul dan seorang yang juga memiliki kebebasan kristiani, dia dapat meminta dukungan keuangan dari orang-orang kepada siapa dia memberitakan Injil (ay. 1Kor 9:1-14) bukan mengenai prinsip persepuluhan.

Bagaiamanapun Steven Teo mengutip dalam buku Christian Finances, Olney mengatakan bahwa, “ayat dalam 1 Korintus itu tidak bisa dipandang sebagai ajaran tentang persepuluhan.”16 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, Dalam pengajarannya tentang

keuangan, pelayanan, dan perihal memberi, Paulus tidak secara khusus menyebut tentang persepuluhan (1 Korintus 9:3-10, 16:2; 2 Korintus 8-1-15 dan 9:1-15).”17

14Herlianto, Teologi Sukses (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993), 171 15Conner, 596

16Teo, 21 17Ibid.

(8)

Dalam 2 Korintus 8-9, penulis mendapatkan pengajaran yang paling menonjol dari Paulus perihal memberi. Jemaat Makedonia meskipun berada dalam kemiskinan, telah memberi dengan penuh sukacita bahkan melampaui kekuatan mereka. Pertama-tama memberikan diri kepada Tuhan, kemudian memberikan milik mereka.

PEMBAHASAN

Prinsip pengorbanan dalam Memberi Persembahan

Tidak Mencari Pujian Atau Ingin Dikenal

Melihat pada motivasi seseorang dalam memberi sangat mudah, yaitu apakah seorang pemberi ingin menonjolkan diri atau membuat diri dikenal orang banyak. Seorang yang berkorban bagi Allah tidak akan menuntut supaya pemberiannya diketahui semua orang, namun ia bahkan tidak menampilkan identitas dirinya sebagai si pemberi, dia tidak diketahui orang Namanya. Charles R. Swindoll mengetengahkan bahwa “Inilah salah satu ciri dari seorang pelayan yang sejati dalam memberi. Keterlibatan secara pribadi seperti itu akan memperlihatkan kesungguhan dari kata-kata kita”.18 Jika seorang memberi tapi ingin Namanya dikenal itu sama dengan mencari nama dan pujian yang sia-sia. Persembahan yang demikian tidaklah berkenan kepada Allah. Erastus Sabdono mengritik orang-orang kaya yang memberi persembahan dengan kepentingan pribadi, dan “tentu saja kepada orang yang memberi perpuluhan atau persembahan uang dalam jumlah besar, mereka mendapat perhatian dan keramahtamahan yang lebih dari yang lain. Biasanya orang-orang kaya tersebut juga cepat mendapat tempat atau posisi dalam pelayanan, melebihi orang lain.”19

Camkanlah bahwa salah satu ciri khas dari seorang pelayan Tuhan yang mau berkorban dalam memberi adalah kerendahan hati artinya dimana ia tidak sombong atau tidak mementingkan diri sendiri. Namun seringkali dijumpai bahwa terkadang sifat kerendahan hati bertentangan dengan sifat kebiasaan manusia lama yang suka menonjolkan diri supaya dihormati orang lain. Sangat berbeda dengan apa yang telah di teladani oleh Tuhan Yesus sendiri ketika Ia berada di dunia, Paulus menegaskan tentang kepribadian Kristus di dalam surat (Filipi 2:5-8).

Bersifat personal (pribadi)

V.Z. Azariah mengatakan, “Mereka menyerahkan dirinya kepada Tuhan dan kepada Paulus, Paulus menulis, bahwa hal itu ada diluar dugaannya, bukanlah maksud mereka untuk memperlihatkan, betapa baik hati mereka atau supaya mereka termasuk dalam golongan pemuka-pemuka. Mereka menyerahkan dirinya kepada Tuhan.”20 Orang-orang di Makedonia itu ingin menolong saudara-saudaranya yang lain dan dengan demikian mereka turut menderita seperti orang lain dan dengan demikian mereka juga turut dalam pekerjaan tubuh Kristus. Mereka ingin turut menderita seperti orang-orang lain dan dengan demikian mereka memperlihatkan bahwa mereka itu bersaudara (2 Kor. 5:4). Selanjutnya Dr. Peter Wongso mencatat dalam bukunya mengenai jenis-jenis persembahan dalam memberi persembahan dalam bentuk Benda yang dipersembahkan antara lain: “Diri sendiri (II

18Charles R. Swindoll, 51

19https://www.rehobot.org/beranda_renungan/ciri-ciri-gereja-yang-menyimpangkan-persembahan-uang/ 20V.S. Azariah, 23

(9)

Kor.8:5, Rom.6:13); Tubuh (Rom.12:1, 6:13,19); Anak Sulung (Kel.13:1); Anak Tunggal (Kej.22:2); Yang dikasihi; Hasil pertama dari bumi (Ul.26:10); Yang terbaik (Bil.18:12); Yang disucikan (Kej.8:20); Harta benda (Ams.3:9) dan Segala sesuatu (Luk.21:4).”21

Mengadakan Evaluasi Diri yang Menyeluruh.

Rick Warren menulis dalam buku The Purpose Driven Life, bahwa, “Cara terbaik untuk menemukan karunia-karunia dan kemampuan-kemampuan Anda adalah melakukan

percobaan dengan berbagai bidang pelayanan. Anda tidak akan pernah mengetahui dalam bidang apa Anda bagus sebelum anda mencobanya.”22 Ini tidak dimaksudkan bahwa

memberi persembahan adalah dengan langkah coba-coba, tetapi haruslah koreksi diri dan refleksi ke dalam batin untuk melihat apakah diri kita sudah menjadi pribadi yang benar.

Setelah Paulus selesai menggambarkan ketidakegoisan orang-orang percaya di Makedonia (ay 1-5), ia beralih kepada jemaat Korintus dan memuji mereka: Maka sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu--dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami--demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini. Aku mengatakan hal itu bukan sebagai perintah, melainkan, dengan menunjukkan usaha orang-orang lain untuk membantu, aku mau menguji keikhlasan kasih kamu (2 Kor. 8:7-8). “Evaluasi diri yang menyeluruh merupakan salah satu syarat untuk mengikuti Kristus dari dekat.”23 Jemaat

Korintus kaya dalam visi, karunia rohani, pengetahuan, semangat, dan bahkan cinta kasih. Kemudian Paulus menganjurkan mereka agar mereka juga kaya dalam pelayanan kasih. Jadilah orang yang memberi! Jadilah orang yang benar-benar tidak egois!

John Stott mengemukakan bahwa, “Betapa mudah budaya Barat kita yang nyaman memadamkan kepekaan kita terhadap kebutuhan orang lain. Orang-orang Makedonia tidak punya kenyamanan itu, dan tidak ada kemewahan dan kepuasan pribadi. Nilai hidup mereka sepenuhnya berbeda. Mereka memberikan diri mereka pertama-tama kepada Tuhan, lalu kepada Paulus, dan kepada rekan-rekan sekerja mereka. Sungguh suatu teladan bagi orang-orang Korintus, dan bagi kita juga!”24

Berpegang Teguh pada Komitmen

Ada satu harga yang harus dibayar yang sama sulitnya. Sementara Paulus meneruskan petunjuknya kepada jemaat Korintus, anggota jemaat akan dengan jelas dapat melihat dalam (2 Kor. 8:9-11). Setahun penuh sebelum Paulus menulis surat itu, mereka telah memulai proyek tersebut. tidak heran jika waktu itu mereka masih bersemangat, permulaan yang menggairahkan. Tetapi bersamaan dengan berjalannya waktu, kegairahan tersebut sudah mulai hilang. Motivasi spontan untuk memberi kini telah berubah menjadi seperti lari maraton yang menyengsarakan dan berkepanjangan. Dr. Peter Wongso mengatakan bahwa, Tekad Persembahan antara lain: Hidup bagi Tuhan (II Kor.5:14-15); Mati bagi Tuhan (Rom.14:7-8) Menjadi korban hidup (dipakai Tuhan) (Rom.12:1); Melaksanakan kehendak Tuhan (Rom.12:1-2); Agar diperkenankan Allah (Rom.12:1) Melakukan kebajikkan yang

21Wongso, Doktrin Keselamatan, 120-123

22Rick Warren, The Purpose Driven Life, (Malang: Gandum Mas, 2005), 260 23Charles R. Swindoll, hal. 51

(10)

Tuhan ingin kita lakukan (Efs.2:10) Memuliakan Tuhan (II Kor.6:20).”25 Paulus berkata

“Teruskan! Kalian telah membuat komitmen untuk ikut terlibat, untuk memberi dan untuk membantu-sekarang berpegang teguhlah pada komitmen tersebut! selanjutnya Charles Swindoll berkata bahwa, Berpegang teguh pada komitmen apa pun merupakan hal yang mahal.”26 Demikian setiap pemberian kepada Allah haruslah dengan komitmen yang kuat

dan konsisten. KESIMPULAN

Memberi persembahan adalah kewajiban rohani bagi orang Kristen terlepas dari apapun denominasi gereja atau jenis persembahan yang diatur masing-masing. Semua jenis persembahan ini bersumber dan berlandaskan secara teologis pada Alkitab dan disesuaikan pada penerapannya pada setiap denominasi. Apa pun yang diajarkan Alkitab tentang persembahan korban, prinsipnya adalah sama, bahwa pribadi yang memberi persembahan secara iklas memberi dengan komitmen kepada Allah. Ada satu harga yang harus dibayar yang sama sulitnya. Secara praktis orang percaya dapat menetapkan pemberian jenis persembahan berdasarkan kebutuhan lokal. Dengan demikian gereja tubuh Kristus dapat melihat bahwa persembahan-persembahan lain tidak disebut, walau pun tidak pernah ditolak. Sebab Yesus Kristus tidak pernah menolak korban persembahan, tetapi mengemba-likan pelaksanaan korban persembahan itu pada motivasi yang sebenarnya seperti dalam Perjanjian Lama. Sementara Paulus meneruskan petunjuknya kepada jemaat Korintus, anggota jemaat akan dengan jelas dapat melihat dalam (2 Kor. 8:9-11). Prinsip tabur-tuai dalam persembahan disampaikan oleh Paulus dalam suratnya 1Korintus 9:6-9, bahwa kerelaan dan keiklasan merupakan pendorong dalam hati orang percaya. Pemikiran demikian tergambar juga dalam ungkapan Yesus: berilah dan kamu akan diberi, menurut ukuran yang kamu pakai untuk mengukur (Luk. 6:38). Maria memberikan pengurapan dan hal ini mengeluarkan bau yang harum (Mrk. 14:1-11). Tuhan Yesus mengajarkan bahwa memberi akan lebih diberkati dari pada menerima (Kis. 20:35).

REFERENSI

Apriano, Alvian. “Tentukan Pilihan: Fungsi Implementatif Tawaran Pilihan Etis-Teologis Kristen Di Dalam Konteks Dilema Moral.” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 3, no. 2 (2019): 67.

Baker, Charles F. Bible Truth. Jakarta: Pustaka Alkitab Anugerah, 2010.

Dwiraharjo, Susanto. “Persembahan Yang Hidup Sebagai Buah Dari Pembenaran Oleh Iman Menurut Roma 12:1-2.” PRUDENTIA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 1, no. 1 (2018): 1–6.

Ensiklopedia Alkitab Masa Kini. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2004.

Herlianto. Teologi Sukses. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Menggali Isi Alkitab. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1999.

Post, Walter M. Tafsiran Injil Markus. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995.

Rumekso, Ayub Widhi. “Evaluasi Terhadap Tata Ibadah Kontekstual Gereja Kristen Jawa.”

KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 5, no. 1 (2019): 74–93. 25 Dr. Peter Wongso, Doktrin Keselamatan, (Malang: SAAT, 1993), hal. 120-123

(11)

Siahaan, Harls Evan. “Karakteristik Pentakostalisme Menurut Kisah Para Rasul.” Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 2, no. 1 (2017): 12–28.

Sitanggang, Murni H. “Teologi Biblika Mengenai Perpuluhan.” Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 12, no. 1 (2011): 19–37.

Wongso, Peter. Doktrin Keselamatan. Malang: SAAT, 1993.

Warren, Rick. The Purpose Driven Life. Malang: Gandum Mas, 2005. Wuwungan, O.E. Ch. Bina Warga. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009

Zaluchu, Sonny Eli. “Eksegesis Kisah Para Rasul 2:42-47 Untuk Merumuskan Ciri

Kehidupan Rohani Jemaat Mula-Mula Di Yerusalem.” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 2, no. 2 (2018): 72–82. Accessed April 1, 2020.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan konflik lalu lintas yang terbanyak berdasarkan jenis pergerakan adalah konflik antara kendaraan dengan pejalan kaki sebesar 51% dengan persentase tingkat serius konflik

anak dengan nilai OR = 6,20 yang berarti bahwa tindakan ibu yang kurang baik dalam pemeliharaan kesehatan gigi anak disebabkan sebesar 6 kali oleh tingkat pendidikan ibu

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari pemberian layanan bimbingan

Adapun pada metode kualitatif, prosedur peramalan didasarkan pada asumsi pola hubung- an yang bersifat dinamis dengan struktur hubungan yang bersifat mobil (Hubeis, 1991 a ),

Penelitian ini menunjukkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square dengan bantuan SPSS versi 16 didapatkan nilai signifikansi (nilai p) sebesar 0,818

Pengujian asumsi klasik dilakukan untuk mengetahui kondisi data yang ada agar dapat menentukan model analisis yang tepat. Data yang digunakan sebagai model regresi

Konflik dan penyimpangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut meru­ pakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Penerapan integrated coastal management dalam

Dengan menikah dan menghasilkan keturunan, maka kedua Dengan menikah dan menghasilkan keturunan, maka kedua orang tua yang mendidik keturunannya dengan baik