• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Pelaku Usaha Hutan Rakyat

Pemberdayaan masyarakat lewat upaya pembangunan hutan rakyat merupakan suatu upaya yang strategis jika dilihat dari segi lingkungan, ekonomi, maupun keamanan dan keutuhan hutan negara. Pembangunan hutan rakyat secara terarah dan terencana diharapkan dapat memperbaiki mutu lingkungan (iklim mikro, tanah, dan pengendalian erosi).

Petani hutan rakyat umumnya merupakan masyarakat dengan golongan ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan hasil wawancara, pendapatan para petani hutan rakya bervariasi, yaitu: < Rp 500 000/bulan - > Rp 750 000/bulan. Selengkapnya seperti pada Tabel 15.

Tabel 15 Rata-rata pendapatan petani hutan rakyat per bulan

No Jumlah pendapatan/bulan Persentase (%)

1 < Rp500 000 17.2

2 Rp500 000 - 750 000 65.7

3 >Rp750 000 17.1

Jumlah 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa umumnya pendapatan petani hutan rakyat sebesar Rp 500 000 – 750 000/bulan (65.7%). Hal ini menggambarkan bahwa umumnya pendapatan para petani masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan upah minimum regional Kabupaten Donggala, yaitu sebesar Rp50 000/hari (BPS 2009). Karena itu, dalam perdagangan kayu rakyat umumnya petani masih sangat tergantung pada pemilik modal. Hal ini berimplikasi pada posisi tawar petani yang selalu lemah dalam bertransaksi.

Berdasarkan hasil observasi lapangan, kondisi hutan rakyat yang ada di Kabupaten Donggala meliputi kepemilikan lahan sendiri yang ditanam dengan pola agroforestry dan monokultur. Karena itu terdapat lahan yang di dalamnya ditanami tanaman pertanian atau perkebunan seperti coklat yang dipadu dengan tanaman kehutanan. Di samping itu juga ada lahan yang secara khusus hanya ditanami tanaman kayu-kayuan seperti jati. Pada umumnya masyarakat mulai mengembangkan hutan rakyat sebagai akibat dari sulitnya memperolah kayu

(2)

untuk keperluan bahan bangunan. Selain itu, adanya permintaan kayu untuk kebutuhan industri kayu dan industri meubel menjadi faktor pendorong lainnya. Pemanfaatan lahan oleh masyaakat untuk pengembangan hutan rakyat seperti pada Gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4 Hutan rakyat pola agroforestry (a) dan pola monokultur (b)

Berdasarkan hasil wawancara, lahan masyarakat yang diperuntukan bagi pemgembangkan hutan rakyat merupakan lahan milik sendiri. Luas lahan milik petani hutan rakyat umumnya seperti pada Tabel 16 di bawah ini

Tabel 16 Luas lahan milik petani hutan rakyat

No Luas lahan milik (ha) Persentase (%)

1 0.25 – 1 11.5

2 1 - 2.5 71.4

3 >2.5 17.1

Jumlah 100

Tabel 16 menunjukkan bahwa luas pemilikan lahan garapan petani hutan rakyat terbesar, yaitu 1-2.5 ha (71.4%). Umumnya para petani melakukan pembedaan peruntukan dalam pemanfaatan lahannya masing-masing. Pola peruntukan lahan oleh petani dapat dibagi menjadi 3 (tiga) stratifikasi, dengan luasan masing-masing berbeda menurut kepemilikannya. Stratifikasi kepemilikan lahan dan pola pemanfaatannya seperti pada Tabel 17.

(3)

Tabel 17 Stratifikasi pemilikan lahan berdasarkan luas

Jenis Penggunaan Lahan Strata Status Luas (ha) Kombinasi Tanaman

Hutan Rakyat 1 Milik 0.25 - 1 Jati,Kelapa,Gmelina, Kemiri

2 Milik >1 – 2.5 Jati, Kemiri, Jagung, Kakao,

Kelapa, dan Gmelina

3 Milik > 2.5 Jati, Kelapa, Pisang dan Ebony

Kebun 1 Milik 0.1 – 1 Kakao

2 Milik >1 – 2.5 Kakao

3 Milik > 2.5 Kakao

Pekarangan 1,2,3 Milik 0.25 Palawija

Pada Kabupaten Donggala, kepemilikan lahan akan menentukan status sosial dan ekonomi pemilik lahan. Pada umumnya, semakin luas lahan maka semakin tinggi status sosialnya di masyarakat. Hal ini disebabkan akses seseorang pada lahan berpengaruh pada kondisi sosial ekonominya. Hamparan luas hutan rakyat yang kompak dengan luasan yang cukup, dapat ditemukan pada petani yang memiliki lahan diatas rata-rata.

5.2 Faktor-Faktor Strategis dan Pengaruhnya terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala

5.2.1 Aspek Produksi Kayu Rakyat

Penyebaran hutan rakyat secara umum dapat ditemui di wilayah Kabupaten Donggala. Hutan rakyat yang terdapat di wilayah tersebut, umumnya dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu 1) hutan rakyat yang vegetasinya tumbuh secara alami di lahan masyarakat; dan 2) hutan rakyat yang yang ditanam sendiri oleh masyarakat.

Pada aspek produksi ini akan dibahas secara khusus tentang vegetasi kayu rakyat baik yang tumbuh secara alami maupun dari hasil penanaman. Hal-hal yang akan dianalis, yaitu a) struktur tegakan hutan rakyat; b) potensi produksi; dan c) upaya pengembangan hutan rakyat.

5.2.1.1Struktur Tegakan Kayu Rakyat

Dalam pengelolaan hutan rakyat dua hal pokok yang harus diperhatikan adalah kelestarian hasil dan kelestarian usaha. Menurut Suhendang (1999) kelestarian hasil menyatakan bentuk prinsip yang dipegang dalam pengelolaaan tegakan hutan yang bersifat dapat memberikan hasil secara lestari. Konsep ini

(4)

berbicara tentang suatu kondisi hutan yang harus tetap ada. Bentuk hutan yang menjadi suatu syarat agar dari padanya diperoleh hasil kayu yang lestari adalah bentuk hutan normal. Selanjutnya kelestarian usaha menggambarkan secara ekonomis usaha kayu rakyat harus mendatangkan keuntungan bagi masyarkat dan juga bersifat kontinyu.

Sesuai dengan hasil análisis data tegakan yang didukung dengan pengamatan langsung di lapangan, bahwa struktur tegakan kayu rakyat yang ditanam oleh responden umumnya dikategorikan menyerupai kurva ‘J” terbalik. Struktur tegakan seperti ini terbentuk karena, kegiatan penanaman pohon secara meluas pada umumnya dilakukan saat awal kegiatan Gerhan (tahun 2004). Selanjutnya diikuti dengan kegiatan penanaman pohon pada tahun-tahun berikutnya hingga saat ini. Selanjutnya struktur tegakan pohon yang tumbuh secara alami di lahan petani juga menyerupai kurva “J” terbalik. Struktur tegakan hutan rakyat seperti pada Gambar 5.

Gambar 5 Distribusi pohon hutan rakyat yang ditanam dan tumbuh secara alami menurut kelas diameter di Kabupaten Donggala (Dishutbun. Kabupaten Donggala, 2010)

Gambar 5 menunjukkan bahwa distribusi pohon ada pada setiap kelas diameter, akan tetapi struktur tegakan pada hutan tanaman rakyat di Kabupaten Donggala belum menggambarkan struktur hutan normal. Hutan normal Menurut Davis et al.(2001) ; Bettinger et al. (2009) bahwa suatu keadaan hutan yang dapat memberikan hasil yang tetap, baik berdasarkan luas atau volume pada periode

(5)

penebangan berikutnya. Pada Gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa sebaran pohon untuk hutan rakyat yang tumbuh secara alami terbanyak pada kelas diameter 20-25 cm, dan semakin sedikit pada kelas diameter di atas 40 cm.

Selanjutnya pada hutan rakyat hasil budi daya, terlihat bahwa sebaran pohon terbanyak pada kelas diameter 20-25 cm, sedangkan untuk kelas diameter 40 cm ke atas belum ada. Jadi dinamika pertumbuhan pohon menunjukkan bahwa semakin bertambah dimensi suatu tegakan, maka jumlah pohon pada suatu luasan tertentu mengalami penurunan. Hal ini secara alami diantaranya diakibatkan oleh adanya persaingan pertumbuhan antar

Berdasarkan hasil wawancara, jumlah pohon yang ditanam oleh responden di atas lahan milik rata-rata lebih dari 100 pohon (100 – 1336) per pemilik. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pohon yang ditanam cukup banyak. Selanjutnya contoh tegakan hutan rakyat jenis jati (Tectona grandis), yang ditanam oleh masyarakat pada lahan milik seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

pohon untuk memperoleh hara dan cahaya matahari.

(a) (b)

Gambar 6 Tegakan kayu jati rakyat berdiameter rata-rata 20-25 cm (a) dan berdiameter 25-30 cm (b)

Umumnya kegiatan penebangan kayu rakyat yang tumbuh secara alami belum diikuti dengan penanaman kembali. Masyarakat berpendapat “lebih baik hutan itu tumbuh secara alami”. Sementara itu, sampai saat ini belum terlihat

(6)

upaya Pemda baik dalam rencana aksi (program) maupun kegiatan secara nyata. Upaya tersebut dimaksud untuk mendorong petani agar melakukan penanaman kembali pada lahan yang telah ditebang.

Agar usaha kayu rakyat tetap lestari dan didukung oleh potensi kayu yang lestari pula, maka pengaturan hasilnya sangat dipengaruhi oleh kepemilikan lahan, luas lahan, dan struktur serta komposisi kayu yang diusahakan. Berdasarkan hasil wawancara bahwa jumlah pohon yang ditanam oleh responden umumnya di atas 100 pohon/pemilik. Karena itu ke depan hutan rakyat hasil budi daya petani diharapkan dapat menjadi sumber pasokan bahan baku bagi industri.

5.2.1.2Potensi Tegakan

Potensi tegakan yang dimaksud disini adalah jumlah volume (kubikasi) dari kayu rakyat yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat dalam luasan tertentu. Data potensi tegakan yang ada belum mencakup seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Donggala, akan tetapi data yang tersedia dapat dijadikan dasar untuk mengetahui potensi tegakan. Hal ini karena potensi tegakan kayu rakyat yang ada umumnya hanya terdapat pada beberapa kecamatan, sehingga umumnya kayu rakyat yang dipasarkan selama ini berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Data sebaran potensi hutan rakyat sebagai penghasil kayu rakyat di setiap kecamatan di Kabupaten Donggala seperti pada Tabel 18.

Tabel 18 Potensi kayu rakyat di Kabupaten Donggala

Kecamatan Luas (ha) Potensi Tegakan (m3)

Banawa Selatan 8.783.86 912.40 Sindue 37.533.07 3.898.65 Labuan 10.031.54 1.042.00 Rio Pakava 3.421.89 355.44 Damsol 6.513.86 676.61 Sindue Tombusabora 9.772.86 1.015.13 Sirenja 27.197.12 2.825.03 Jumlah Total 103.254.20 10.725.26

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala, 2010.

Tabel 18 menunjukkan bahwa Kecamatan Sindue memiliki potensi kayu rakyat terbesar yaitu sebesar 3.898.65 m3 (36.35%) dan terendah di Kecamatan Rio Pakava sebesar 355.44 m3 (3.31%). Potensi tegakan rata-rata sebesar 0.10 m3/ha. Akan tetapi, potensi tegakan dari kayu rakyat tersebut dikategorikan rendah,

(7)

karena belum dapat mencukupi kebutuhan pemenuhan bahan baku industri kayu di Kabupaten Donggala. Hubungan luas dengan potensi dapat dinyatakan dengan regresi linear sederhana yakni potensi = 0.104*Luas, dengan koefisien determinasi (R2

Berdasarkan data statistik (2009) luas lahan potensial berupa lahan kering sebesar 150.582 ha dan lahan tidur sebesar 7.111 ha. Lahan-lahan potensial tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan hutan rakyat. Secara agroklimat dapat dikembangkan jenis-jenis pohon yang sesuai indikator umum telah tumbuh dengan baik di lokasi tersebut. Sesuai pengamatan di lapangan, pohon jati dan gmelina dapat tumbuh dengan baik di Kabupaten Donggala.

) sebesar 100%. Terdapat korelasi positif antara luas dengan potensi. Semakin bertambah luas hutan rakyat, maka potensi makin tinggi. Karena itu perlu dilakukan upaya pengembangan hutan rakyat.

Hutan rakyat di Kabupaten Donggala umumnya mempunyai keragaman jenis yang sama. Walaupun demikian ada ciri khas tertentu sesuai dengan potensi dan kondisi geografis wilayah yang bersangkutan. Contohnya di Kecamatan Banawa selain jenis jati dapat juga ditemui gmelina dan ebony. Di samping itu di Kecamtan Damsol selain jenis-jenis yang tumbuh secara alami, juga terdapat jenis sengon dan durian. Secara umum persentase jenis tanaman yang banyak dijumpai di hutan rakyat seperti pada Tabel 19.

Tabel 19 Distribusi responden berdasarkan jenis pohon yang ditanam Sumber bibit

Jenis pohon Swadana Gerhan Total

N % N % N %

Jati 5 14.29 26 74.29 31 88.57

Gmelina 3 8.57 0 0.00 3 8.57

Ebony 1 2.86 0 0.00 1 2.86

Total 9 25.71 26 74.29 35 100

Tabel 19 menunjukkan bahwa jati merupakan jenis yang paling banyak ditanam oleh masyarakat dengan persentase 88.57%. Hal ini seiring dengan tren harga jati yang terus naik dan faktor kecocokan tempat tumbuh. Jenis jati yang umumnya dikembangkan adalah jati super. Jati ini memiliki sifat pertumbuhan diameter maupun tinggi yang lebih cepat dibandingkan dengan jati konvensional (Sumarni et al.2009). Karena itu, dengan melihat kecepatan pertumbuhan tersebut

(8)

maka diperkirakan pada umur 15 tahun jati sudah dapat dipanen. Hal ini seperti yang disampaikan Pramono, et al. (2010) bahwa jati dapat dipanen pada umur 15-20 tahun. Keadaan pertumbuhan jati yang ditanam oleh petani seperti pada Gambar 7.

Gambar 7 Pohon jati yang berumur 6 tahun.

Berdasarkan data potensi hutan rakyat, maka luas hutan rakyat sampai dengan tahun 2010 diketahui seluas 103.254.20 ha. dengan potensi tegakan sebesar 10.725.26 m³ (Tabel 18). Namun demikian potensi tersebut belum mampu untuk memasok kebutuhan bahan baku seluruh industri kayu yang ada di Kabupaten Dongggala. Berdasarkan kapasitas terpasang, bahwa setiap tahun industri kayu membutuhkan pasokan bahan baku sebesar 43.200.00 m3/tahun, sedangkan kemampuan pasokan dari hutan rakyat sebesar 11.645.26 m3/tahun (26.95%). Karena itu masih terdapat kesenjangan sebesar 31.555.00 m3/tahun (73.05%). Selanjutnya, pada tahun 2010 Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah telah mengurangi jatah pemenuhan bahan baku bagi industri kayu menjadi 21.600.00 m3

5.2.1.3 Upaya Pengembangan Hutan Rakyat

/tahun. Hal ini bertujuan untuk penyesuaian tingkat kebutuhan dan kemampuan pasokan bahan baku. Selain itu, untuk mencegah terjadi illegal logging.

Upaya pengembangan hutan rakyat yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan pengembangan hutan rakyat pada lahan masyarakat dengan menggunakan jenis-jenis tertentu. Hal ini dimaksud untuk merehabilitasi

(9)

lahan-lahan kritis yang ada. Selain itu juga untuk memenuhi pasokan kebutuhan bahan baku industri dan kayu bangunan bagi petani. Sampai dengan tahun 2010, upaya pengembangan hutan rakyat melalui kegiatan Gerhan baru mencapai luasan 3.225 ha (BPDAS Palu-Poso 2009). Selanjutnya pengembangan hutan rakyat oleh petani secara swadaya seluas 56 ha. Pemanfaatan lahan untuk pengembangan hutan rakyat dikategorikan masih sangat rendah, jika dibandingkan dengan luas lahan potensial (lahan tidur dan kering) yang masih tersedia.

Kesenjangan pemenuhan bahan baku bagi industri kayu di Kabuapten Donggala telah berakibat pada tidak beroperasinya sejumlah industri kayu. Pemenuhan bahan baku industri kayu dari hutan rakyat telah menjadi subsitusi kayu dari IUPHHK/IPK. Namun demikian, pasokan kayu tersebut belum mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi seluruh industri kayu yang berada di Kabupaten Donggala. Karena itu, diperlukan upaya-upaya pengembangan hutan rakyat secara lebih intensif agar ke depan dapat menjadi pemasok utama bagi industri kayu secara kontinyu (sustainable). Upaya pengembangan dimaksud dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan potensial yang tersebar di Kabupaten Donggala. Lahan-lahan potensial yang belum dimanfaatkan saat ini berupa lahan tidur dan lahan kering. Oleh karena itu, lahan-lahan tersebut sangat potensial dimanfaatkan untuk pengembangan hutan rakyat. Sesuai dengan kondisi faktual di lapangan, bahwa kegiatan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala didominasi dengan jenis jati. Jenis jati umumnya dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang mengandung kapur dengan siklus musim panas yang nyata (Pramono et al.2010).

Berdasarkan data statistik (2009), di Kabupaten Donggala jenis-jenis tanah umumnya terdiri dari tanah latosol, grumosol, podsolik, androsol, regosol dan vertisol. Tanah-tanah yang mengandung kapur termasuk dalam kelompok vertisol. Penyebarannya di Indonesia diantaranya meliputi Jawa bagian Tengah sampai ke Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi (Hardjowigeno 2003).

Sebagai sebuah asumsi untuk pengembangan hutan rakyat jati, maka dapat dilakukan dengan pendekatan pemanfaatan secara optimal lahan potensial yang ada di Kabupaten Donggala. Pendekatan pertama yang dilakukan yaitu

(10)

pemanfaatan lahan tidur seluas 7.111 ha untuk penanaman jati salomon secara

monokultur dengan asumsi sebagai berikut: a) Luas lahan: 7.111 ha; b) Jarak tanam: 3 m x 3 m (1.100 tan/ha). Maka dalam luasan 7.111 ha akan tertanam bibit sebanyak 1.100 x 7.111 = 7.822.100 tanaman.

Berdasarkan hasil proyeksi produksi per hektar yang dikembangkan oleh PT. General Green Inovation (Bogor), bahwa jati salomon memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu perbanyakan bibit dilakukan dengan teknologi kultur jaringan, sehingga mutu bibit dapat dijamin sesuai dengan induknya (true to type), sehat, dan seragam. Pertumbuhan batang keduanya lebih cepat dan lurus. Pada jenis jati ini antara pertambahan tinggi dan diameternya lebih proporsional serta lebih keras, sehingga tidak mudah patah saat terjadi angin kencang. Selanjutnya jati jenis ini dapat di panen pada umur 7, 10, dan 15 tahun. Jati jenis ini sudah banyak ditanam pada lahan tidur dan kritis di daerah Jawah Barat, Lampung, dan Gorontalo. Keunggulan-keunggulan dari jati salomon seperti pada Tabel 20 di bawah ini.

Tabel 20 Proyeksi produksi kayu jati salomon per hektar

Uraian Kisaran Produksi

Umur (thn) 7 10 15 T. Bebas Cabang (M) 7.00 8.5 10.00

Diameter (cm) 22.00 28.00 38.00

Volume per pohon (m³) 0.27 0.52 1.13 Populasi per ha (pohon) 1.100 1.100 1.100 Jumlah panen (%) 25 25 50

Produksi (m³) 74.25 142.00 621.50

Sumber : Mani, 2011.

Tabel 20 di atas menunjukkan bahwa pada umur 7 tahun dengan jumlah panen sebesar 25%, maka jati akan dapat dipanen dengan produksi sebesar 74.25 m³/ha, sedangkan pada umur 10 tahun produksi kayu sebesar 142.00 m³/ha dan pada umur 15 tahun produksi kayu jati akan mencapai 621.50 m³/ha. Apabila jati yang ditanam dipanen pada umur 7 tahun (74.25 m³/ha) maka akan diperoleh volume kayu sebesar 74.25 m³ x 7.111 ha = 527.991.75 m³. Jumlah ini tentu sangat bermanfaat bagi kelangsungan pasokan bahan kayu bulat bagi industri kayu yang ada di Kabupaten Donggala. Di samping itu pula dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, kegiatan pertukangan yang memproduksi meubeler, dan

(11)

dapat juga untuk memasok kebutuhan bahan baku bagi industri lain di luar Kabupaten Donggala.

Selanjutnya pada pendekatan kedua, dilakukan asumsi pengembangan hutan jati rakyat dengan memanfaatkan lahan kering sebesar 50% dari luas total yang tersedia di Kabupaten Donggala, yaitu 150.582 ha. Luas lahan yang akan dimanfaatkan sebesar 75.291 ha. Kegiatan ini dilakukan dengan pola agroforestry

berdasarkan sistem yang dikembangkan oleh Koperasi Perumahan Wana Bakti Nusantara (KPWN), dengan menggunakan bibit Jati Unggul Nusantara (JUN). Jati ini memiliki keunggulan perakaran tunggang majemuk, sehingga perakarannya kokoh dan batang cepat besar dan tidak mudah roboh. Penanaman JUN dengan dengan pola ini diasumsikan sebagai berikut: a) Luas lahan: 75.291 ha; b) Jarak tanam : 2 m x 5 m (1.000 tan/ha). Dalam luasan 75.291 ha akan tertanam bibit sebanyak 1.000 x 75.291 = 75.291.000 tanaman. Sesuai dengan hasil proyeksi produksi per hektar, JUN dapat dipanen pada umur 5 tahun dengan volume seperti pada Tabel 21 di bawah ini.

Tabel 21 Proyeksi produksi kayu Jati Unggu l Nusantara per hektar

Uraian Asumsi Produksi per Pohon

Minimal Maksimal

Umur (thn) 5 5

T. Bebas Cabang (M) 6.5 8.00

Diameter (cm) 20.00 22.00

Volume per pohon (m³) 0.204 0.304

Populasi per Ha (pohon) 1.000 1.000

Jumlah Panen (%) 25 25

Produksi (m³) 51.00 76.00

Sumber: Soeroso dan Poedjowadi, 2009.

Tabel di atas menunjukkan bahwa untuk JUN pada umur 5 tahun sudah dapat dipanen, dengan asumsi kubikasi terendah per pohon sebesar 0.204 m³ dan tertinggi sebesar 0.304 m³. Apabila jumlah panenan diasumsikan sebesar 25% maka volume kayu yang akan dihasilkan untuk asumsi produksi terendah sebesar 51 m³/ha, sedangkan untuk asumsi tertinggi sebesar 76 m³/ha. Dengan demikian pada umur masa panen 5 tahun akan diperoleh kayu sebesar 51 m³ x 75.291 ha = 3.839.841.00 m³ atau 76 m³ x 75.291 ha = 5.722.116.00 m³.

(12)

Berdasarkan asumsi-asumsi pengembagan hutan rakyat dengan 2 (dua) pendekatan seperti di atas, diperoleh gambaran bahwa dengan memanfaatkan lahan tidur dan lahan kering secara optimal maka akan memberi hasil panenan kayu yang lestari. Dengan demikian, kesenjangan pemenuhan bahan baku bagi industri kayu di Kabupaten Donggala dapat teratasi. Hal ini dapat terwujud apabila ada itikad baik dari pemerintah, masyarakat, dan pengusaha di bidang industri kayu dalam membangun sinergisitas pengembangan usaha kayu rakyat yang sustainable.

5.2.2Aspek Pemasaran

Pengertian pemasaran disini adalah suatu kegiatan pendistribusian kayu rakyat, yang dimulai dari petani ke pedagang perantara atau dari petani langsung ke industri kayu. Pola peredaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala terdiri dari 2 (dua) pola, yang dimulai dari petani hutan hak/rakyat dan berakhir pada industri kayu sebagai pemakai produk. Persentase peredaran kayu rakyat yang dibeli oleh industri kayu berdasarkan kapasitas terpasang seperti pada Tabel 22.

Tabel 22 Kayu hutan rakyat yang dibeli oleh industri Asal kayu Industri kecil Industri sedang

Total (< 2000 m³) (2001-6000 m³)

(%) (%) (%)

Petani hutan rakyat 1.080.05 32 - - 1.080.05 32 Pedagang perantara 2.025.09 60 270.01 8 2.295.10 68

Total 3105.14 92 270.01 8 3375.15 100

Sumber: BP2HP XIV Palu (diolah), 2010.

Tabel 22 menunjukkan bahwa pola peredaran kayu hutan rakyat/hak yang dibeli oleh industri kayu dari pedagang perantara memiliki persentase tertinggi (68%), kemudian diikuti yang dibeli dari petani hutan rakyat (32%). Hal tesebut menunjukkan bahwa petani umumnya tidak memiliki akses langsung ke industri kayu dalam memasarkan kayunya.

Pola pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala merupakan sesuatu yang spesifik apabila dilihat dari komoditi, tempat pemasaran, waktu terjadinya pemasaran dan pelaku yang menanganai pemasaran. Kegiatan peredaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala umumnya dimulai dari tempat oto atau tempat

(13)

penimbunan. Tempat ini yang berfungsi sebagai lokasi penimbunan kayu setelah di angkut dari lahan masyarakat, dan sekaligus sebagai tempat transaksi. Secara khusus di Kabupaten Donggala umumnya pengangkutan kayu dari areal penebangan ke tempat penimbunan menggunakan tenaga hewan atau tenaga manusia. Jarak yang ditempuh dari areal hutan hak sampai ke tempat penimbunan rata-rata 0.5–1 km. Hal ini karena areal hutan hak/rakyat belum dapat dijangkau oleh kendaraan umum. Setelah kayu hasil tebangan tersebut tiba di tempat penimbunan, selanjutnya para pembeli yang akan mengangkutnya untuk dibawa ke konsumen berikutnya.

Kayu rakyat yang akan diangkut umumnya telah diubah bentuknya dari

log menjadi pacakan (squere log). Hal ini untuk mempermudah dalam proses pengangkutan. Pada umumnya para petani belum memiliki teknologi yang memadai dalam proses penebangan sampai pengangkutan ke tempat penimbunan. Kegiatan penebangan yang dilakukan masih bersifat sederhana. Alat penebangan yang digunakan berupa mesin chain saw. Selanjutnya untuk melakukan pemacakan para petani menggunakan parang atau kampak. Hal ini sangat berpengaruh pada produktivitas para petani dalam melakukan pemungutan kayu rakyat. Namun disisi lain, pola penebangan seperti ini berdampak sangat kecil pada kerusakan tumbuhan lainnya.

Jika dibandingkan dengan Kecamatan Taviora, kayu yang telah ditebang diubah bentuknya menjadi squre log kemudian dirakit lalu ditarik oleh perahu motor menuju tempat penimbunan kayu. Lama waktu tempuh dari areal hutan hak sampai ke tempat penimbunan ± 3 jam. Hal ini berdampak pada biaya operasional yang mahal dan menyebabkan biaya produksi yang tinggi. Walau demikian, karena tuntutan ekonomi maka para petani memilih untuk tetap menebang pohon yang ada di lahan milik mereka untuk kemudian dijual ke industri. Pada kecamatan ini hanya terdapat 1 buah industri kayu dengan kapasitas < 2000 m³/tahun.

Sesuai dengan data peredaran kayu yang tersedia di BP2HP XIV Palu (2010), bahwa kegiatan jual beli kayu rakyat pada Kabupaten Donggala setiap harinya melibatkan kurang lebih 3 truk dengan kapasitas 6-8 m³/truk. Ukuran

(14)

kayu pada umumnya panjang 4 meter dengan diameter 35-50 cm. Harga perkubik dari kayu berkisar antara Rp1 200 000 - Rp1 750 000, tergantung jenis dan ukuran. Untuk kayu yang teksturnya berwarna putih umumnya harganya lebih murah dibandingkan dengan jenis kayu yang berwarna merah. Jenis kayu yang dikategorikan berwarna putih, yaitu binuang (Octomeles sp), sengon (Albizia sp), andolia (Cananga odorata), lita-lita (Koordersiodendron pinnatum), siuri (Solenocarpus philipinensis), bayur (Pterospermum sp), kedondong hutan (Spondias sp), mangga hutan (Mangifera sp) dan ketapang (Terminalia catapa). Di samping itu yang berwarna merah, yaitu nyatoh/nantu (Palaquium spp), palapi (Heritiera spp), durian (Durio carinatus), tapi-tapi (Melia Koetjape) dan dara-dara (Eugenia sp). Selanjutnya, dalam proses penjualannya umumnya kayu-kayu tersebut dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu 1) kelompok meranti, dan 2) kelompok rimba campuran. Pengelompokan jenis kayu utama yang dijual seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Persentase kelompok jenis kayu yang dijual oleh petani

Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa jenis kayu hutan rakyat yang paling banyak dijual adalah kelompok jenis rimba campuran dengan persentase sebesar 81.82%, kemudian kelompok meranti sebesar 18.18%. Kedua kelompok jenis kayu ini dikenakan pungutan resmi berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Hal ini mengacu pada Permenhut. No. P. 33/Menhut-II/2006, bahwa kayu rakyat yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat wajib dikenakan pajak.

(15)

5.2.2.1Pola Pemasaran dan Rantai Tataniaga

Tataniaga umumnya diartikan sama dengan pemasaran, yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa barang dari produsen ke konsumen. Menurut Mubyarto (1987) tataniaga adalah segala sesuatu yang menyangkut aturan permainan dalam perdagangan barang-barang. Pengertian tersebut memberi gambaran bahwa fungsi dan peran tataniaga adalah agar konsumen/pembeli memperoleh barang-barang yang diinginkan pada waktu, tempat, dan harga yang tepat.

Pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala merupakan sesuatu yang spesifik. Petani umumnya menjual kayunya dalam bentuk kayu bulat. Penentuan harga per kubikasinya didasarkan pada perhitungan volume kayu saat sebelum diubah bentuknya menjadi squere log. Saluran pemasaran dapat diartikan sebagai suatu jalur yang dilewati oleh arus barang-barang, aktivitas dan informasi dari produsen sampai ke konsumen (Setyaningsih 2003). Pada pemasaran kayu rakyat di Donggala, saluran pemasaran kayu rakyat yang dilalui dari petani sampi ke konsumen adalah seperti pada Gambar 9.

Gambar 9 Pola pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala

Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa pola pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala secara umum ada 2 (dua) macam saluran, yaitu :

a. Petani – Pedagang Perantara – Industri Kayu b. Petani – Industri kayu .

Analisis margin pemasaran kayu rakyat pada saluran pertama disajikan pada Tabel 23. Petani Hutan Rakyat Pedagang Perantara Industri kayu

(16)

Tabel 23 Analisis margin pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala pada pola pemasaran pertama

Pola tataniaga N Kelompok Meranti Kelompok Rimba campuran Harga (Rp/m³) Margin (Rp/m³) Harga (Rp/m³) Margin (Rp/m³)

Petani 35 1 350 000 1 250 000

350 000 300 000

Pedagang perantara 8 1 700 000 1 550 000

400 000 200 000

Industri Kayu 7 2 100 000 1 750 000

Tabel 23 menunjukkan bahwa margin pemasaran untuk kelompok meranti sebesar Rp 750 000, sedangkan untuk rimba campuran sebesar Rp 500 000. Margin pemasaran untuk kelompok meranti antara petani dan pedagang perantara lebih kecil, dibandingkan dengan margin pemasaran antara pedagang perantara dan industri kayu. Di samping itu margin pemasaran untuk kelompok rimba campuran antara petani dan pedagang perantara lebih besar, dibandingkan dengan margin pemasaran antara pedagang perantara dan industri kayu. Hal ini menunjukkan bahwa, tingkat peminatan konsumen terhadap kayu kelompok meranti lebih tinggi dibandingkan dengan kayu kelompok rimba campuran. Selanjutnya untuk melihat persentase margin keuntungan maka dilakukan analisis margin keuntungan. Data hasil analisis margin keuntungan selengkapnya seperti pada Tabel 24.

Tabel 24 Analisis margin keuntungan pola tataniaga kayu kelompok meranti dan rimba campuran pada pola pemasaran pertama

Pola tataniaga N

Biaya Harga Harga Biaya Margin Nilai Penebangan Pembelian Penjualan Tataniaga Keuntungan Margin

(Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (%) Kel. Meranti Petani 35 1 050 000 1 350 000 100 000 200 000 14.81 P.Perantara 8 1 350 000 1 700 000 100 000 250 000 14.71 Industri kayu 7 1 700 000 2 100 000 Kel.Ricam. Petani 35 1 050 000 1 250 000 100 000 100 000 8.00 P.Perantara 8 1 250 000 1 550 000 100 000 200 000 12.90 Industri kayu 7 1 550 000 1 750 000

Pada pola pemasaran ini, margin keuntungan kayu kelompok meranti dan rimba campuran berada dibawah 50% dengan biaya produksi di atas 50%, bila dibandingkan dengan harga yang harus dibayar konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa harga di tingkat petani berbeda jauh dengan konsumen akhir. Selanjutnya,

(17)

untuk jenis kayu kelompok meranti, petani mendapat pembagian keuntungan lebih besar dari pedagang perantara (14.81%). Hal ini karena petani tidak mengeluarkan biaya tataniaga. Sebaliknya untuk jenis kayu rimba campuran, petani mendapat keuntungan lebih kecil dibandingkan dengan pedagang perantara (8.00%). Hal ini karena terdapat selisih harga kayu, yaitu kayu jenis meranti lebih mahal Rp 100 000/m³ dibandingkan dengan harga kayu rimba campuran. Selain itu biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang perantara untuk penjualan kayu jenis rimba campuran lebih kecil dibandingkan dengan penjualan kayu jenis meranti.

Walaupun demikian, petani belum mendapatkan pembagian keuntungan yang dianggap layak karena hanya memperoleh keuntungan sebesar 14.81% untuk kayu rakyat jenis meranti dan 8.00% untuk kayu jenis rimba campuran. Karena itu pola ini tidak efisien bagi petani, karena petani hanya menerima keuntungan di bawah 50%. Selanjutnya analisis margin pemasaran kayu rakyat pada pola pemasaran kedua, selengkapnya seperti pada Tabel 25.

Tabel 25 Analisis margin pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala pada pola pemasaran kedua

Pola Tataniaga N Kelompok Meranti Kelompok Rimba campuran Harga (Rp/m³) Margin (Rp/m³) Harga (Rp/m³) Margin (Rp/m³)

Petani 35 1 350 000 1 250 000

750 000 500 000

Industri Kayu 7 2 100 000 1 750 000

Tabel 25 menunjukkan bahwa, pada saluran kedua para petani langsung menjual kayunya ke industri kayu tanpa melalui pedagang perantara. Sesuai dengan analisis margin pemasaran pada pola ini, margin untuk kelompok meranti sebesar Rp750 000/m³ dan kelompok rimba campuran sebesar Rp 500 000/m³. Selanjutnya untuk mengetahui margin keuntungan maka dilakukan analisis seperti pada Tabel 26.

(18)

Tabel 26 Analisis margin keuntungan tataniaga kayu rakyat di Kabupaten Donggala pada pola pemasaran kedua

Pola tataniaga N

Biaya Harga Harga Biaya Margin Nilai Penebangan Pembelian Penjualan Tataniaga Keuntungan Margin

(Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (%) Kel. Meranti Petani 35 1 050 000 1 350 000 100 000 200 000 14.81 Industri kayu 7 1 350 000 2 100 000 150 000 600 000 28.57 Kel.Ricam. Petani 35 1 050 000 1 250 000 100 000 100 000 8.00 Industri kayu 7 1 250 000 1 750 000 150 000 350 000 20.00

Seperti pada pola pemasaran pertama, pada pola kedua produsen mendapat keuntungan sebesar Rp 200 000/m³ untuk kelompok meranti dan Rp 100 000/m³ untuk rimba campuran. Namun demikian, berdasarkan analisis margin keuntungan pada pola ini petani memiliki margin keuntungan di bawah 50%, yaitu 14.81% untuk kelompok jenis meranti dan 8.00% untuk kelompok jenis rimba campuran. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan margin keuntungan pihak industri kayu yang memiliki nilai margin sebesar 28.57% untuk kelompok meranti dan 20% untuk rimba campuran. Sesuai hasil analisis margin keuntungan tersebut, maka petani hutan rakyat belum mendapat pembagian keuntungan yang layak.

Berdasarkan analisis margin pemasaran dan margin keuntungan pada kedua pola tersebut menunjukkan bahwa, pada tingkat petani tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pola pemasaran pertama dan kedua. Hal ini karena harga jual kayu di tingkat petani pada kedua pola tersebut tidak pernah berubah atau tetap. Para pembeli baik dari pedagang perantara ataupun dari pihak industri selalu membeli dengan harga yang sama. Pada Tabel 24 dan 26 terlihat bahwa nilai margin tataniaga tertinggi mencapai 14.81% untuk kelompok jenis meranti dan 8.00% untuk rimba campuran. Walau demikian, besar kecilnya nilai margin tersebut belum sepenuhnya menggambarkan tingkat efisiensi sistem tataniaga.

Berdasarkan wawancara mendalam dengan petani hutan rakyat, bahwa ketergantungan mereka terhadap pedagang (pemilik modal) sangat tinggi. Petani juga memiliki keterbatasan akses terhadap informasi pasar dan harga kayu. Hal lain yang dapat diketahui pada proses penjualan kayu rakyat, yaitu pada saat melakukan pengukuran terhadap kayu yang akan dijual, maka petani diminta untuk memberi ukuran lebih pada setiap sortimen yang melebihi toleransi ukuran

(19)

yang diperkenankan. Kelebihan ukuran ini akan mempengaruhi volume kayu yang dijual, yaitu terdapat penambahan sekitar 10% per kubikasi. Sehingga dalam setiap 1 m³ terdapat kelebihan sekitar 0.1 m³, atau setiap membeli 10 m³ kayu maka pembeli akan memperoleh tambahan 1 m³.

Dengan demikian posisi petani dalam rantai tataniaga umumnya yang terlemah. Hal ini menjadi persoalan yang belum terpecahkan dengan adil bahkan cenderung menjurus menjadi suatu dilema. Dengan kata lain posisi tawar petani cenderung lemah. Hal ini selaras dengan Sundawati (2007a), bahwa dalam pemasaran produk agroforestry seperti produk kehutanan, seringkali petani berada pada posisi yang terlemah. Hal ini terutama berkaitan dengan karakteristik petani hutan rakyat yang nota bene merupakan petani kecil. Karena itu bentuk perdagangan yang adil (fair trade) untuk produk agroforestry umumnya, dan khusus kayu rakyat hampir tidak terwujud.

5.2.2.2Proses Peredaran dan Tataniaga Kayu Hutan Rakyat

Peredaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala sering mengalami berbagai hambatan terutama dalam pemasarannya. Pada proses pemasaran yang menjadi permasalahan adalah harga kayu dan banyaknya pungutan liar dalam pemasaran. Hasil wawancara terhadap para pedagang menunjukkan bahwa umumnnya terdapat pungutan tidak resmi saat melakukan pengakutan kayu rakyat yang besarannya bervariasi. Proses peredaran dan tataniaga kayu hutan rakyat berdasarkan daerah pembeli kayu seperti pada Tabel 27.

Tabel 27 Persentase pembelian kayu berdasarkan daerah asal pembeli kayu Daerah Asal pembeli kayu

Persentase (%) pembelian kayu per industri

Total

Kecil Sedang Besar

<2000m³ 2001-6000m³ >6000m³

Luar Kecamatan dalam Kabupaten 46.15 0.00 0.00 46.15

Luar Kabupaten dalam Provinsi 36.80 12.30 0.00 49.17

Luar Provinsi 0.00 0.00 4.68 4.68

Jumlah 82.95 12.37 4.68 100.00

(20)

Tabel 27 menunjukkan bahwa daerah asal pembeli kayu hutan rakyat yang berasal dari luar kabupaten dalam provinsi memiliki persentase tertinggi, yaitu sebesar 49.17%, kemudian diikuti pembeli dari luar kecamatan dalam kabupaten sebesar 46.15% dengan kapasitas terpasang <2000m³. Selain itu pembeli kayu dari luar provinsi sebanyak 4.6% dan merupakan industri kayu dengan kapasitas terpasang >6000 m3. Kenyataan seperti di atas menampilkan bahwa sesungguhnya kayu rakyat telah berperan dalam menunjang pasokan bahan baku industri kayu, terutama industri kayu dengan kapasitas menengah ke bawah. Selanjutnya penentuan harga kayu rakyat seperti pada Gambar 10.

Gambar 10 Para pihak yang menentukan harga jual kayu rakyat

Gambar 10 menunjukkan bahwa dalam proses transaksi kayu rakyat penentuan harga jual sebagian besar (57.1%) ditetapkan oleh kedua belah pihak (petani dan pedagang) melalui proses tawar menawar. Untuk menetapkan harga dasar kayu umumnya petani secara mandiri mencari informasi harga pada oknum petugas kehutanan. Namun demikian, umumnya petani menentukan harga kayu didasarkan pada biaya operasional yang dikeluarkan. Hal ini dilakukan dengan cara penetapan harga sebesar 10-20% dari biaya operasional yang telah dikeluarkan. Selanjutnya pola penjualan kayu hutan rakyat terbanyak umumnya terjadi pada bulan Juni-Juli, yaitu pada saat masuk sekolah. Hal ini karena pada bulan tersebut petani membutuhkan biaya untuk keperluan anak sekolah. Sebaliknya penjulan terendah pada bulan Nopember–Januari oleh karena pada bulan tersebut mulai memasuki musin penghujan. Kegiatan penjualanpun akan

(21)

meningkat apabila ada kebutuhan mendesak untuk kepentingan pesta atau menjelang bulan puasa.

5.2.2.3Struktur Pasar (Market Structure)

Jumlah pembeli kayu, sifat produk, hambatan masuk, intergrasi vertikal dan diversifikasi adalah indikator sederhana dari struktur pasar. Menurut Bain (1959) dalam Hardjanto (2003), struktur pasar adalah karakteristik organisasi pasar yang secara strategis berpengaruh terhadap sifat kompetisi dan pembentukan harga di pasar yang bersangkutan. Unsur-unsur struktur pasar dapat dibedakan dalam empat ciri, yaitu tingkat konsentrasi penjual, tingkat konsentrasi pembeli, sifat kekhasan produk dan hambatan berusaha (barrier to entry).

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden, bahwa para petani pemilik kayu rakyat melakukan penjualan kayunya secara bebas dan bersifat individual. Para petani belum melakukan kerjasama baik sebagai suatu kelompok tani atau yang bersifat paguyuban. Para petani memiliki kebutuhan ekonomi yang berbeda-beda. Hal ini yang mendorong mereka untuk melakukan penjualan secara bebas. Di samping itu sebanyak 28.6% dari responden mengungkapkan bahwa umumnya mereka telah menerima persekot terlebih dahulu saat mereka membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak. Tidak adanya kerjasama antar petani menyebabkan petani bukan sebagai satu-satunya penentu utama akan harga kayu. Harga kayu ditentukan berdasarkan kesepakan antar petani dan pedagang. Hal ini selaras dengan Hardjanto (2003), bahwa ketiadaan kerja sama dan informasi pasar pada level petani (penjual) menyebabkan petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat, sehingga petani cenderung hanya sebagai pengambil harga (price taker). Dengan demikian tidak terjadi konsentrasi penjual pada pasar pohon berdiri.

Purnama (2001) dalam Trison (2007) mendefinisikan pedagang (merchant) sebagai perantara yang membeli, memiliki hak atas barang, dan menjual kembali barang dagangannya. Pada pasar produk kayu rakyat di Kabupaten Donggala, para pedagang perantara yang selalu mendatangi petani untuk membeli pohon dari petani. Sering para pedagang perantara menawarkan persekot terlebih dahulu kepada petani. Apabila harganya cocok maka petani akan

(22)

menerima persekot. Para pedagang perantara melakukan kegiatannya secara bebas dan cenderung terdapat persaingan antar pedagang tersebut dalam memperoleh kayu rakyat dari petani. Hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan para pedagang, dapat disimpulkan bahwa setiap pedagang telah memiliki wilayah yang dikuasainya. Hal ini ditandai dengan adanya pemberian persekot terlebih dahulu kepada para petani yang membutuhkan uang. Dengan demikian tidak terdapat konsentrasi pembeli pada satu tempat.

Selanjutnya, umumnya hasil kayu rakyat di wilayah penelitian yang diproduksi untuk dijual berupa kayu dari kelompok meranti dan rimba campuran (Tabel 13). Kayu-kayu dari kedua kelompok tersebut umumnya memiliki kualitas yang sama dan memiliki pasar tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada sifat kekhasan produk dari masing-masing petani sehingga tidak terjadi deferensiasi produk. Dengan demikian tidak terdapat pola perilaku dan keragaan pasar yang berbeda. Di samping itu, dalam usaha kayu rakyat di Kabupaten Donggala tidak terjadi hambatan berusaha. Hal ini karena tidak adanya deferensiasi produk oleh petani tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa umumnya perusahaan yang ada berupa industri penggergajian kayu. Pada tingkat petani tidak terjadi persaingan yang menyebabkan pihak tertentu mendominasi pihak lain. Masing-masing petani secara bebas memanfaatkan kayu yang ada di lahan miliknya. Oleh karena itu, maka ke depan pengembangan usaha kayu rakyat masih sangat mungkin untuk di tingkatkan dari sisi luasan maupun jenis.

Dengan demikian, sesuai data yang ada maka struktur pasar kayu rakyat di Kabupaten Donggala menunjukkan kekuatan monopsoni lokal (Pindyck & Rubinfeld 2008). Akibatnya distribusi manfaat cenderung hanya kepada pembeli kayu sebagai monopsonis. Selanjutnya para petani belum memiliki kemampuan apapun untuk merubah pasar, karena umumnya tidak ada kerja sama antar mereka, dan keterbatasan modal.

5.2.2.4 Perilaku Pasar (Market Conduct)

Perilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga pemasaran dalam hubungannya dengan sistem pembentukan harga dan praktek transaksi (melakukan pembelian dan penjualan) secara horisontal maupun vertikal. Perilaku

(23)

pasar yang dimaksud disini merupakan pola kebiasaaan pasar, yang meliputi peroses pengambilan keputusan individual (petani) atau organisasi (pedagang perantara/industri kayu) terhadap produk kayu rakyat, selama periode tertentu. Karena itu perilakuku pasar tidak selamanya konstan. Perilaku pasar akan berubah sesuai dengan pelaku pasarmya di masa yang akan datang. Perilaku pasar sangat dipengaruhi oleh informasi yang beredar di lapangan mengenai apa, siapa, mengapa, dan bagaimana proses pembelian terjadi.

Para petani hutan rakyat umunya bukan merupakan pihak yang memiliki modal usaha yang besar. Dalam penentuan harga jual kayu umumnya petani tidak memiliki suatu acuan yang jelas. Hal ini terjadi karena informasi pasar tentang harga kayu merupakan sesuatu yang sulit untuk didapatkan. Kalaupun informasi itu ada, umumnya dapat dipastikan bahwa harga kayu tersebut telah diatur oleh pemilik modal/pembeli. Sebagaimana yang ditemukan di lokasi penelitian, umumnya petani secara mandiri berusaha untuk mengetahui harga kayu rakyat di pasaran dengan tujuan agar petani dapat menentukan harga kayu yang disesuaikan dengan naiknya biaya opersional di lapangan, dan seiring pula naiknya tingkat kebutuhan hidup mereka. Pola perilaku ini selaras dengan apa yang diungkapkan Hardjanto (2003) bahwa perilaku pasar merupakan pola perilaku yang dianut dalam adaptasi atau penyesuaian tehadap harga pasar.

Proses penyesuaian harga pasar oleh petani dilakukan dengan mencari informasi harga pasar kayu rakyat kepada petugas kehutanan. Walaupun demikian besarnya harga kayu di pasar yang mereka dapatkan tidak selalu sesuai dengan harga sesungguhnya. Hal ini karena petugas kehutananpun tidak mengetahui secara tepat harga kayu yang sebenarnya. Sesuai dengan hasil wawancara mendalam dengan pihak BP2HP XIV Palu, diperoleh informasi bahwa salah satu upaya untuk memperoleh informasi harga yang sebenarnya, yaitu dengan cara menyurati pihak industri kayu agar secara periodik menyampaikan laporan perkembangan harga untuk setiap jenis kayu. Namun demikian, umumnya industri kayu tidak menyampaikan informasi tersebut dengan benar. Hal ini dapat dipahami karena harga kayu merupakan salah satu variabel utama dalam penentuan pengenaan retribusi/pungutan, yang dalam dunia bisnis merupakan sesuatu yang sensitif. Selanjutnya harga kayu yang sebenarnya hanya diketahui

(24)

oleh pembeli kayu. Karena itu, dalam proses penentuan harga telah terjadi asimetrik informasi dari pembeli kepada penjual/petani. Dengan demikian perilaku pasar yang ada di lokasi penelitian menggambarkan pasar monopsoni lokal yang hanya menguntungkan pembeli (Mankiw 2006).

5.2.2Aspek Pengolahan

Pengolahan kayu yang dimaksud disini adalah kegiatan pengolahan kayu bulat lebih lanjut setelah ditebang di lahan petani. Sesuai dengan hasil wawancara, bahwa setelah pohon ditebang umumnya batang tersebut diubah bentuknya menjadi squer log dengan menggunakan mesin chain saw. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses pengangkutan kayu dari lokasi tebangan ke tempat penimbunan. Pengangkutan kayu tersebut pada umumnya menggunakan ternak (sapi) atau tenaga manusia. Setelah tiba di tempat penimbunan, selanjutnya kayu-kayu tersebut akan diangkut oleh pembeli kayu-kayu sesuai dengan tujuan masing-masing. Selain untuk kepentingan penjualan, para petanipun mengolah kayu bulat untuk keperluan pembangunan rumah sendiri atau rumah kerabat yang masih berada dalam satu kampung/desa.

Sesuai dengan hasil wawancara bahwa bagian kayu yang dimanfaatkan hanya batang utama dari pohon yang ditebang, sedangkan bagian lainnya belum dapat dimanfaatkan atau dibiarkan sebagai limbah di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan kayu di lapangan belum maksimal, padahal bagian-bagian dari batang pohon lainnya masih dapat dimanfaatkan. Karena itu, untuk meningkatkan produktivitas kayu hasil tebangan di lapangan, maka para dilakukan penyuluhan dan pelatihan terhadap petani.

5.2.3.1 Industri Pengolahan Kayu Rakyat

Industri pengolahan kayu rakyat yang terdapat di Kabupaten Donggala umumnya merupakan industri primer hasil hutan kayu. Industri primer adalah industri penggergajian yang mengolah bahan baku kayu bulat menjadi barang setengah jadi. Hasil produk dari industri primer ini, kemudian dapat dijual ke industri sekunder yang berada di luar Kabupaten Donggala untuk diolah lebih lanjut. Di samping itu, kayu gergajian yang telah diolah juga dapat langsung dijual ke konsumen. Hasil olahan kayu dari industri primer yang langsung dijual

(25)

umumnya berupa sortimen kayu dengan ukuran-ukuran tertentu yang sesuai untuk kebutuhan pembangunan rumah/gedung.

Secara mekanis, industri kayu di Kabupaten Donggala umumnya menggunakan band saw sebagai gergaji utama. Karena itu, umumnya industri kayu tersebut hanya mampu mengolah bahan baku kayu bulat menjadi kayu gergajian (sawn timber), sehingga rendeman yang dihasilkan masih tergolong rendah atau sama dengan 50%. Karena itu masih perlu ditingkatkan ke industri penggergajian kayu terpadu untuk menghasilkan produk barang jadi yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu dengan adanya industri terpadu maka kayu yang dimanfaatkan bukan saja terbatas pada batang kayu utama, tetapi juga bagian-bagian yang lain. Kasmudjo (2002) mengatakan bahwa dengan adanya industri penggergajian terpadu dapat diperoleh keanekaragaman produk akhir dan rendemen yang lebih banyak. Hal ini tentu akan meningkatkan nilai tambah dari kayu yang diolah.

Sesuai hasil penelusuran data administrasi, industri pengolahan kayu hilir umumnya berasal dari luar kabupaten dan luar provinsi. Produk barang setengah jadi/jadi yang dibeli oleh indutri hilir, selanjutnya diolah menjadi produk-produk lanjutan dengan keunggulan kompetitif yang baik. Salah satu industri hilir tersebut terletak di Kota Palu. Industri tersebut mampu mengolah kayu gergajian menjadi produk-produk lanjutan berupa moulding, stick, planer,dan flooring.

Salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki indus tri hilir, yaitu mampu memanfaatkan kayu sampai dengan ukuran yang paling kecil. Ini tentu membawa nilai tambah bagi kayu olahan. Salah satu contoh produk hasil olahan lanjutan dari kayu gergajian pada industri hilir di Kota Palu tersebut seperti pada Gambar 11.

(26)

5.2.3.2 Tingkat Persediaan Bahan Baku Kayu Rakyat

Tingkat persediaan bahan baku yang dimaksud disini, yaitu jumlah volume bahan baku kayu bulat yang berasal dari hutan rakyat yang dapat dibeli oleh industri kayu setiap bulan. Sesuai data peredaran hasil hutan kayu rakyat pada BP2HP XIV Palu, bahwa sejak bulan Januari – Oktober 2010, terdapat penjualan kayu rakyat oleh petani sebanyak 2152 batang = 670.6700 m³. Dengan demikian maka jumlah penjualan kayu rakyat setiap bulan hanya 67.0670 m³/bulan. Hal ini tentu sangat kurang apabila dibandingkan dengan jumlah industri kayu yang beroperasi di Kabupaten Donggala yang membutuhkan pasokan bahan baku kayu bulat sebanyak 21.600.0000 m³/tahun atau 1.800.0000 m³/bulan. Angka-angka tersebut dapat menggambarkan bahwa industri kayu mengalami kesulitan dalam memenuhi pasokan bahan baku kayu.

Berdasarkan wawancara mendalam dengan pihak BP2HP XIV Palu, terungkap bahwa dampak langsung dari sulitnya bahan baku industri kayu ialah produktivitas dari indutri kayu yang terus menurun. Salah satu akibatnya yaitu tidak aktifnya sejumlah petugas Penguji Hasil Hutan (PHH) dalam melakukan tugasnya di industri. Hal ini karena industri kayu tidak melakukan perpanjangan Kartu Pengawas Penguji (KPP) atas PHH yang bertugas di industri kayu. PHH ini yang bertugas menyampaikan laporan kegiatan produksi dan peredaran kayu di industri hulu ke instansi teknis terkait. Di samping itu, sejumlah industri telah mengajukan permohonan pemindahan petugas PHH ke industri lainnya yang berada di luar Kabupaten Donggala. Hal ini menunjukkan pula bahwa indutri kayu telah melakukan relokasi ke wilayah lain, dengan maksud agar lebih dekat dengan sumber bahan baku. Dengan demikian bahwa kekurangan bahan baku kayu bulat sangat erat hubungannya dengan kelangsungan industri kayu. Walaupun potensi kayu dapat diperoleh dari luar Kabupaten Donggala, terpenuhinya kebutuhan bahan baku dalam jumlah dan jenis yang sesuai harus selalu diperhitungkan dengan baik.

5.2.3.3 Produk dan Konsumen

Industri kayu yang menggunakan kayu rakyat dari lokasi penelitian umumnya berkapasitas kecil (< 2000 m³). Berdasarkan hasil observasi, industri

(27)

kayu belum mampu untuk menghasilkan produk kayu gergajian sesuai dengan kapasitas terpasang. Dilihat dari efisisensi produksinya umumnya industri kecil berada pada kapasitas produksi dibawah 50%. Ini menggambarkan bahwa semua industri yang ada tidak dapat bekerja secara optimal atau dalam kesulitan memperoleh bahan baku.

Kayu dari hutan rakyat telah berperan cukup penting dalam mendukung pasokan bahan baku untuk industri kayu. Perkembangan tersebut semakin penting melihat tidak adanya ijin pengolahan kayu dari hutan alam berupa IUPHHK-HA di Kabupaten Donggala. Sementara itu, ijin pemanfaatan kayu pada areal konversi hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri terkait (in house industry). Dengan demikian umumnya industri sangat bergantung pada kayu rakyat.

Selanjutnya, bahwa konsumen pengguna kayu gergajian tidak terbatas pada perorangan atau industri kayu yang berada di Kabupaten Donggala. Sebaliknya kayu gergajian yang ada, telah dipasarkan ke konsumen akhir yang berada diberbagai kota baik dalam kabupaten, dalam provinsi, dan antar provinsi. Umumnya konsumen pengguna kayu gergajian yaitu industri kayu lanjutan, toko bahan bangunan, industri meubeler, dan masyarakat umum. Data selengkapnya seperti pada Tabel 28.

Tabel 28 Karakteristik industri kayu berdasarkan produk, jenis, ukuran, dan konsumen

No Produk Jenis Ukuran (t x l x p) Konsumen Lokasi

1 Kayu Gergajian Balok 15x15x400 Industri lanjutan Surabaya, Palopo,

8x12x400 Palu

6x16x400

2 Kayu Pertukangan Balok 8x12x400 Toko bahan bangunan Palu 6x16x400 Industri meubel Palu

Papan 3x20x400 Masyarakat Palu dan sekitar

3x15x400 Lokasi industri

Kaso 5x5x400 Reng 3x5x400

Sumber: BP2HP XIV Palu (diolah), 2010.

5.2.4 Aspek Kelembagaan

Dalam usaha kayu rakyat diperlukan suatu kelembagaan yang dapat menjembatani kepentingan petani dan juga konsumen, sehingga terjadi

(28)

sinergisitas antara para pihak yang terlihat dalam usaha kayu rakyat. Peran kelembagaan tersebut diharapkan mampu untuk mengangkat kepentingan petani agar mempunyai peran yang seimbang dengan pihak pedagang dan industri kayu. Kelembagaan dalam konteks penelitian ini merupakan suatu aspek yang dipandang penting dalam mendukung ketiga aspek yang telah dijelaskan di atas.

Karena usaha kayu rakyat secara umum menyangkut 2 (dua) hal, yaitu sumber daya dan sumber usaha (Hardjanto 2003) maka kelembagaan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah lembaga pengurusan sumber daya kayu rakyat dan lembaga usahanya. Selain dari kedua hal tersebut akan dibahas pula kelembagaan di level Pemda, yaitu kebijakan yang telah dibuat oleh Pemda terkait usaha kayu rakyat.

5.2.4.1 Lembaga Pengurusan Sumber Daya

Dalam pengurusan hutan rakyat diperlukan partisipasi para pihak yang dapat berperan secara aktif sehingga sumber daya hutan hak yang ada pemanfaatnnya dilakuakan secara optimal dan berkelanjutan. Interaksi partisipatif dari para pihak yang terlibat diharapkan menuju suatu kelembagaan yang akan memuaskan semua stakeholders, khususnya petani dan pemerintah. Petani sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan diharapkan mampu mengelolah sumberdaya kayunya dengan memperhatikan asas kelestarian hasil. Di samping itu, pemerintah sebagai mitra petani berperan sebagai pembuat kebijakan yang berpihak pada petani, untuk mendorong upaya keberhasilan pembangunan di bidang kehutanan. Dengan demikian antar petani dan pemerintah terdapat kepentingan yang saling menguntungkan. Lembaga tersebut hakikatnya berasal dari petani dan mendapat dukungan pemerintah.

Sesuai dengan hasil observasi dan wawancara mendalam, bahwa pengurusan sumber daya kayu rakyat di lokasi penelitian masih dilakukan secara individu oleh masing-masing petani. Belum terlihatnya kerjasama diantara petani menyebabkan kinerja usaha kayu rakyat belum memberi hasil yang optimal bagi petani. Mulai dari proses produksi sampai penjualan kayu rakyat, petani masih melakukannya secara individual. Hal ini sebagai akibat belum terbentuknya suatu lembaga yang dapat berfungsi sebagai media berkumpulnya para petani hutan

(29)

rakyat. Umumnya para petani belum memahami akan pentingnya suatu lembaga sebagai mediator bagi petani, untuk menyampaikan aspirasi petani terkait hal teknis dalam proses produksi, pemasaran, dan pengolahan kayu rakyat, maupun terkait kebijakan yang dibuat oleh Pemda mengenai ketiga aspek tersebut di atas. Karena itu, petani mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi pasar, dan harga kayu. Di samping itu, kebijakan-kebijakan tentang hutan rakyat belum tersosialisasikan kepada petani. Karena itu petani selalu berada dalam posisi yang paling lemah.

Selanjutnya, peran Pemda terbatas pada pungutan retribusi dari petani dan belum membuat suatu rencana aksi yang bersifat insentif bagi petani. Di samping itu, peran pihak Dishutbun Kabupaten Donggala baru sebatas pada hal-hal teknis seperti penyuluhan dan penyediaan bibit. Kegiatan teknis tersebut adalah bagian dari kegiatan Gerhan, sehingga saat proyek tersebut selesai maka tidak ada lagi kegiatan teknis di lapangan. Peran pihak kecamatan dan desa baru sebatas pemberian rekomendasi untuk pengurusan izin, sedangkan untuk membentuk suatu kelembagaan yang solid di tingkat petani belum menjadi perhatian dari pihak pemerintah.

Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya mengambil inisiatif untuk membentuk lembaga yang dapat berperan menjadi fasilitator dan mediator di tingkat petani. Lembaga ini dapat berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan petani. Apabila telah terbentuk maka pemerintah terus mendampingi dan bekerjasama dengan lembaga tersebut, tanpa harus mengintervensi keputusan-keputusan penting yang dibuat oleh lembaga itu demi kebaikan petani.

5.2.4.2 Lembaga Usaha

Pada lokasi penelitian belum terdapat lembaga usaha baik berupa Koperasi Usaha Bersama (KUB) ataupun lembaga sejenisnya, yang diharapkan dapat memberikan bantuan langsung kepada petani berupa modal usaha. Hal ini pula menjadi salah satu penyebab ketergantungan petani terhadap pemilik modal atau pembeli. Karena itu menurut Hardjanto (2003) bahwa diperlukan lembaga ekonomi yang dapat memfasilitasi petani dalam melakukan usaha kayu rakyat,

(30)

menyediakan informasi yang dibutuhkan petani guna memperlancar sistem usaha kayu rakyat.

Koperasi Unit Desa (KUD) yang telah dibentuk oleh pemerintah belum berperan secara optimal. Hal ini karena tidak ada lagi aktifitas ekonomi apapun pada KUD tersebut. Sesuai dengan hasil wawancara mendalam, bahwa keberadaan lembaga usaha seperti koperasi atau sejenisnya sangat diharapkan oleh para petani di lapangan. Keberadaan koperasi tersebut diharapkan nantinya dapat membantu masyarakat, saat membutuhkan dana pinjaman yang sifatnya mendadak, tanpa harus melalui prosedural yang berbelit dan tidak dibebani bunga yang tinggi. Keberadaan lembaga usaha inipun diharapkan akan mampu mengurangi ketergantungan petani pada pemilik modal/pembeli, sehingga ke depan petani memiliki posisi tawar yang kuat.

Dengan demikian diharapkan peran pemerintah daerah secara nyata dalam upaya membentuk lembaga usaha di tingkat petani. Peran pemerintah yang terpenting adalah memfasilitasi untuk bantuan permodalan di perbankan. Selanjutnya, memberikan kepastian tidak adanya pungutan liar dalam pemasaran kayu rakyat, serta secara berkala memberikan informasi pasar mengenai harga kayu, sehingga secara gradual petani dapat memperoleh bagian keuntungan yang layak dari usaha kayu rakyatnya.

5.2.4.3 Peran Pemda dalam Upaya Pengembangan Hutan Rakyat

Pembangunan kehutanan di tingkat pedesaan harus dipakai sebagai strategi untuk mengentaskan kemiskinan. Pembangunan kehutanan melalui pengembagan usaha kayu rakyat dengan melibatkan masyarakat yang berada di sekitar hutan, diharapkan akan berdampak pada peningkatan pendapatan yang akhirnya dapat membawa kesejahteraan bagi petani. Hal ini selaras dengan salah satu kebijakan prioritas sebagaimana yang tertera dalam Rencana Strategis Departemen Kehutanan tahun 2004-2009.

Pemda Kabupaten Donggala telah melakukan upaya nyata secara teknis melalui kegiatan Gerhan. Upaya tersebut merupakan wujud dukungan Pemda terhadap pemerintah untuk melakukan usaha merehabilitasi lahan kritis. Hal ini dapat terlihat dengan adanya hutan rakyat hasil program Gerhan yang tumbuh

(31)

dengan baik. Selanjutnya untuk mensukseskan program Gerhan Pemda melakukan pendekatan-pendekatan melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Kegiatan tersebut mampu mengubah pandangan masyarakat tentang pentingnya keberadaan hutan dalam suatu wilayah tertentu. Hal ini dapat dilihat dengan keterlibatan masyarakat secara nyata dalam menanam pohon pada lahan-lahan kritis. Di samping itu juga, lewat program Gerhan masyarakatpun terpacu untuk menanam pohon pada lahan-lahannya, baik dengan pola monokultur maupun

agroforestry.

Dari aspek kebijakan, upaya Pemda Kabupaten Donggala dalam pengembangan hutan rakyat, terlihat dari telah dirumuskannya Peraturan Bupati (Perbub) Nomor 14 Tahun 2009, tentang petunjuk pelaksana pemanfaatan hutan hak. Perda tersebut lebih bersifat mengatur tata cara produksi, peredaran, retribusi dan penatausahaan hasil hutan. Dalam konteks ini Pemda telah berusaha membuat suatu petunjuk teknis yang mengatur hal ihwal tentang hutan rakyat. Perbub tersebut memberikan penjelasan-penjelasan sesuai dengan kondisi lokal di lapangan. Aturan tersebut dibuat untuk mendukung peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang pedoman pemanfaatan hutan hak.

Walaupun demikian, pada Perbub tersebut masih terdapat hal-hal yang belum sesuai dengan inti dari Permenhut. Nomor P 26/Menhut-II/2005. Seperti halnya dalam bab III, Pasal 10 yang mengatur hak pemilik hutan hak/rakyat dalam pemungutan kayu, masih terkesan tidak secara eksplisit memberikan hak yang sesungguhnya kepada petani. Bagaimanapun, sesuatu obyek yang adalah hak milik privat, secara otomatis berimplikasi dapat digunakan secara bebas oleh pemiliknya. Untuk jelasnya pasal 10 berbunyi demikian. Pemilik hutan hak berhak: a. melaksanakan kegiatan pemanfaatan hutan hak sesuai dengan bukti kepemilikan hak/alas titel yang dimilikinya pada hutan hak yang berfungsi produksi; b. melaksanakan kegiatan pengangkutan, pengolahan dan/atau pemasaran hasil hutan hak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Melihat bahwa penggunaan kata melaksanakan bermakna adanya suatu perintah. Hal ini berarti menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

(32)

petani, akan tetapi bukan mengacu pada sesuatu yang harus diperoleh petani sebagai haknya. Hakikatnya Perbub tersebut harus memperhatikan peraturan yang lebih tinggi untuk memahami spirit dari aturan tersebut, sehingga tidak menimbulkan kesalahan persepsi yang berujung pada pembuatan Perbub yang kontra produktif. Pada Permenhut. Nomor P.26/Menhut-II/2005, pasal 20 yang mengatur hak pemegang hutan hak/rakyat dinyatakan bahwa pemegang hutan hak berhak: a. mendapatkan pelayanan; b. menikmati kualitas lingkungan; c.

memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsinya; d. memperoleh insentif; dan e.

menentukan bentuk pemanfaatan hutan.

Jika dibandingkan dengan hak pemegang hutan hak yang ada pada pasal 10 Perbub. Nomor 14 Tahun 2009, dengan jelas dapat dilihat tidak terdapatnya

benang merah. Hal ini tentu berakibat langsung pada suatu sistem pelayanan kepada pemegang hutan hak yang lebih menekankan pemungutan retribusi, tanpa melihat unsur insentif secara langsung yang dapat diberikan kepada pemilik hutan hak. Menurut Kotler et al. (2009) bahwa meskipun pembuatan suatu peraturan memiliki alasan yang sah, tapi peraturan tersebut mungkin memiliki dampak yang tidak terduga yang dapat mematikan inisiatif dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pemberian insentif kepada petani diharapkan dapat mendorong petani untuk terus mengembangkan hutan rakyat.

Setiap produk aturan (hukum) yang ditetapkan akan selalu memiliki fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dari atauran tersebut. Sebaliknya fungsi laten adalah apa yang tidak diharapkan maupun yang tidak diketahui. Fungsi laten bisa positif juga bisa negatif (Adi 2009). Implikasinya adalah apabila aturan yang dibuat sengaja menutupi fungsi latennya agar tidak menimbulkan keresahan atau penolakan dari masyarakat. Fungsi laten dari suatu aturan perlu diketahui oleh masyarakat, agar masyarakat sadar apakah aturan tersebut apabila diterapkan akan membawa keuntungan atau kerugian. Contohnya Perbub No.14 Tahun 2009 diterbitkan untuk mengatur proses peredaran kayu rakyat agar dapat dimonitor (fungsi manifes). Tetapi pada prakteknya akan terjadi pungutan liar, apabila kayu yang diangkut jumlah batang dan kubikasinya tidak sesuai dengan faktur/surat angkutan kayu (fungsi laten). Hal ini tentu akan merugikan pemilik kayu.

(33)

Sesuai hasil wawancara mendalam dengan pihak Dishutbun Kabupaten Donggala dapat dikemukakan bahwa, sampai saat ini Pemda baru menerbitkan satu buah Perbub yang terkait dengan pengolahan sumber daya hutan. Kegiatan pengembangan hutan rakyat yang ada dilakukan berdasarkan proyek yang sudah dianggarkan secara nasional. Di samping itu, saat ini belum ada upaya langsung dari Pemda berupa rencana aksi yang diatur dalam suatu rencana stratejik (renstra), yang dapat mendorong pengembangan hutan rakyat ke depan.

Menurut Kartodihardjo et al. (2004) bahwa lemahnya formulasi kebijakan pengelolaan hutan paling tidak disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:

1) Lemahnya kapasitas dan kapabilitas lembaga kehutanan daerah. Kondisi sumberdaya birokrasi lembaga kehutanan di daerah tidak memungkinkan untuk merumuskan kebijakan yang dapat memecahkan permasalahan-permasalahan pengelolaan hutan.

2) Lemahnya koordinasi dan perbedaan kepentingan antar level pemerintahan (kabupaten/provinsi/pusat).

3) Adanya kepentingan individu elit lokal dan strategi pencapaiannya. Kepentingan individu elit lokal meliputi kepentingan ekonomi, pengembangan karir dan kepentingan untuk dukungan politik (political sponsorship). Dalam rangka pencapaian kepentingan tersebut para pengambil kebijakan melakukan apa yang disebut autonomus choice.

Sesuai hasil wawancara mendalam, bahwa peran yang dilakukan pemerintah selama ini masih terlalu pasif. Kalaupun ada pembinaan hal itu dilakukan dalam bentuk pelatihan-pelatihan singkat. Kegiatan tersebut lebih besifat tentatif yang mengikuti kegiatan proyek Gerhan. Karena itu, manfaat yang diperoleh pelaku usaha kayu rakyat dalam menambah pengetahuan tentang penanaman, pemeliharaan, pemanenan pohon, dan manfaatnya secara ekologis dirasa belum optimal. Selanjutnya tentang bagaimana membantu proses pemasaran kayu, menyampaikan informasi harga dan memperkuat modal usaha, belum banyak dilakukan Pemda.

Dengan demikian, strategi pengembangan usaha kayu rakyat di level masyarakat pedesaan, seharusnya didukung dengan kebijakan-kebijakan yang dapat merangsang peningkatan usaha pengembangan hutan rakyat, dan investasi

(34)

pelayanan sosial disatu sisi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan hubungan keterkaitan antara petani, pihak industri, dan Pemda sebagai regulator. Dengan demikian, usaha kayu rakyat tidak lagi berdiri sendiri, tetapi memadukan diri dengan industri kayu yang ada dalam satu alur produk vertikal (hulu-hilir) dalam suatu kelompok usaha. Hal ini tentunya akan membutuhkan dukungan pemerintah dalam aspek kebijakan, teknologi, kelembagaan, sumber daya manusia dan permodalan.

5.3Analisis Faktor-Faktor SWOT

Demi mendukung pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala yang berkelanjutan, maka diperlukan arahan dan dukungan yang dijabarkan dalam bentuk suatu strategi. Penentuan strategi pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,

Threat). Analisis SWOT secara prinsip akan memberikan arahan, dukungan dan kebijakan yang baik melalui hubungan yang sinergi antara faktor internal dan eksternal bagi stakeholders yang terlibat dalam usaha kayu rakyat.

Analisis SWOT dilakukan dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala. Hal tersebut merupakan rumusan hasil wawancara mendalam dengan pejabat dan staf dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, BPDAS Palu–Poso, BP2HP Wilayah XIV Palu, petani dan masyarakat setempat. Pada masing-masing faktor internal dan eksternal dilakukan pembobotan. Hasil analisis dimaksud disajikan pada Tabel 29 dan 31.

5.3.1 Faktor Internal Kekuatan (Strength)

Usaha hutan rakyat di Kabupaten Donggala sampai saat ini masih mengalami berbagai kendala di lapangan. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk pengembangan usaha tersebut, perlu dilakukan inventarisasi potensi yang dimiliki oleh petani. Potensi tersebut yang dimaksud dalam kajian ini, yaitu segala kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam usaha kayu rakyat.

(35)

Berdasarkan hasil wawancara mendalam maka diperoleh variabel-variabel kekuatan internal hutan rakyat. Faktor-faktor kekuatan internal tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja usaha kayu rakyat ke depan. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya baik dari pemerintah sebagai regulator dan petani sebagai mitra untuk memaksimalkan setiap kekuatan internal yang ada. Variabel-variabel yang merupakan kekuatan internal pada petani tersebut seperti pada Tabel 29. Tabel 29 Tabel evaluasi variabel internal kekuatan (Strength)

No Faktor internal (kekuatan) Bobot Rating Skor

1 Terdapat usaha pengembangan HR 0.159 4.000 0.638

2 Dapat dimanfaatkan oleh masyarakat 0.152 4.000 0.609

3 Menambah pendapatan petani 0.203 3.000 0.609

4 Dampak terhadap lingkungan 0.174 3.000 0.522

5 Tersedianya tenaga kerja 0.167 3.000 0.500

6 Adanya partisipasi masyarakat 0.145 3.000 0.435

Jumlah 1.000 3.312

Tabel 29 menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai skor yang relatif paling tinggi ada dua, yaitu terdapat usaha pengembangan hutan rakyat dengan nilai skor 0.638 dan menambah pendapatan petani dengan nilai skor 0.609. Variabel yang mempunyai skor terendah yaitu partisipasi masyarakat dengan nilai skor 0.435. Selanjutnya variabel-variabel kekuatan internal yang ada pada Tabel 21 dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Terdapat Usaha Pengembangan Hutan Rakyat

Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala sebenarnya sudah dimulai sejak 1975, bersamaan dengan berjalannya program reboisasi dan penghijauan yang dicanangkan oleh pemerintah pada waktu itu. Namun tidak adanya pendampingan dari pemerintah secara kontinyu karena sifat kegiatan yang berbasis proyek, dan masih tersedianya dengan melimpah kayu dari hutan alam (saat itu) sehingga hutan rakyat tidak berkembang dengan baik. Situasi ini berlangsung hingga tahun 1999-2000 atau sampai masa reformasi.

Perkembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala tidak terlepas juga dari upaya pemerintah pusat dalam melakukan kegiatan rehabilitasi lahan melalui kegiatan Gerhan. Kegiatan Gerhan yang mulai dicanangkan pada tahun 2004 telah memicu masyarakat dalam memanfaatkan lahan-lahan tidur untuk pengembangan

(36)

hutan rakyat. Sebaran informasi melalui kegiatan penyuluhan tentang keberhasilan pengembangan hutan rakyat di daerah Jawa, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan menjadi suatu motivasi tersendiri bagi masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat. Selanjutnya kegiatan Gerhan telah membangun suatu kesadaran baru bagi masyarakat tentang pentingnya hutan baik ditinjau dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi (Aspar 2010).

Peran serta masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat melalui program Gerhan yaitu dalam bentuk kegiatan penanaman, pemeliharaan tanaman, dan penyuluhan/pelatihan. Selanjutnya agar usaha pengembangan hutan rakyat ini dapat terus berlangsung di masyarakat maka hal-hal yang perlu untuk dilakukan oleh pemerintah daerah dalam suatu rencana aksi, yaitu: 1) peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani agar dapat mengadopsi informasi dan teknologi yang ditawarkan; 2) pemberian insentif kepada para petani yang berkomitmen dalam pengembangan hutan rakyat; 3) menjadi fasilitator dalam pembentukan kelembagaan di tingkat petani; dan 4) dapat memberikan jaminan kepastian tidak terdapat pungutan liar dalam proses peredaran kayu, dan lain-lain.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan para petani, umumnya mereka menginginkan kesediaan dari pemerintah untuk terus menyampaikan informasi - informasi penting lainnya terkait dengan usaha hutan rakyat ke depan. Informasi - informasi tersebut berupa informasi harga kayu, bagaimana proses pemasarannya, dimana mendapatkan bibit, dan bagaimana caranya, sehingga ke depan usaha ini terus berkembang.

b. Dapat Dimanfaatkan oleh Masyarakat

Masyarakat yang menetap di pedesaan umumnya sangat menggantungkan hidupnya dengan hutan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tingkat kebutuhan akan kayu untuk bahan bakar dan kayu untuk keperluan ramuan rumah sangat tinggi. Masyarakat di lokasi penelitian umumnya membangun rumah dengan menggunakan kayu sebagai bahan utama. Selain untuk kusen, daun pintu dan rangka bagian atas, kayu juga dimanfaatkan untuk membuat dinding rumah.

Potensi kayu dari hutan alam yang terus menurun dan jauhnya jarak tempuh untuk memperolehnya, mendorong masyarakat untuk memelihara pohon

Gambar

Gambar 4  Hutan rakyat pola agroforestry (a) dan pola monokultur (b)
Tabel 17  Stratifikasi pemilikan lahan berdasarkan luas
Gambar 5  Distribusi pohon hutan rakyat yang ditanam dan tumbuh secara alami  menurut kelas diameter di Kabupaten Donggala (Dishutbun
Gambar  6  Tegakan kayu jati rakyat  berdiameter rata-rata 20-25 cm (a) dan  berdiameter 25-30 cm (b)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengadakan penelitian terkait dengan keberadaan Obyek Wisata Banten Lama dan pengaruhnya terhadap perilaku sosial

Karang Porites tipe 3 memiliki luasan karang yang paling kecil sehingga hambur balik gelombang suara yang mengenai target tidak murni sepenuhnya berasal dari karang

Berdasarkan Firman Tuhan tersebut maka sebagai Pelayan Yesus Kristus kami memberitakan bahwa pengampunan dosa telah berlaku dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.. Umat SYUKUR

Menyatakan bahwa Pasal 14 ayat (1) huruf a dan penjelasannya yang menyatakan: “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru” sepanjang dimaknai “tidak termasuk

Gambar 4.10Tanggapan Responden Atas Dapat Bekerja Lebih Baik Setelah Mengikuti Program Pelatihan ...127. Gambar 4.11Tanggapan Responden Atas Dapat Memenuhi Target Mutu

Nilai difusivitas diperoleh dengan cara curve fitting data konsentrasi ion output inti hasil pengukuran AAS dengan hasil perhitungan dari persamaan konservasi

Drop shot adalah pukulan yang mirip dengan smash yang dipukul dari belakang dengan arah shuttle cock jatuh di dekat net lawan. Drive adalah pukulan yang mendatar atau lurus dengan

Dari rumus di atas terlihat perbedaannya, jika Almanak Nautika menggunakan azimuth dan altitude Bulan dan Matahari untuk menghitung elongasi Bulan–Matahari,