• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

150 BAB IV

ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS

Pada bab ini, penulis akan menganalisis tentang sistem hisab Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms karya Jean Meeus. Pembahasan dibagi menjadi dua subbab, yakni analisis algoritma sistem Hisab Almanak Nautika dan

Astronomical Algorithms Jean Meeus serta kelebihan dan kekurangan antara

Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms Jean Meeus. Dalam subbab pertama, penulis akan mencari persamaan, perbedaan dan analisis hasil perhitungan awal bulan kamariah dari kedua metode tersebut.

Sedangkan pada subbab kedua, penulis akan membandingkan antara kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh kedua metode tersebut agar digunakan sebagai pertimbangan manakan metode yang lebih baik di antara kedua metode tersebut.

A. Analisis Algoritma Sistem Hisab Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms Jean Meeus.

Metode hisab Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms merupakan dua metode yang memiliki algoritma yang berbeda. Tentu di antara keduanya mempunyai persamaan dan perbedaan. Berikut ini adalah persamaan dan perbedaan dari kedua algoritma tersebut.

1. Persamaan Metode Hisab

Adapun algoritma di antara kedua metode ini memiliki persamaan di antaranya adalah dalam perhitungan altitude atau ketinggian hilal dan

(2)

151

azimuth. Perhitungan azimuth dan altitude menggunakan prinsip segitiga

bola (spherical trigonometri) sebagaimana yang terlihat pada gambar berikut ini:

Gambar 4.1.1

Konsep Segitiga Bola dalam Koordinat Horison

(Sumber: Andy)

Pada gambar di atas, M merupakan benda langit yang akan dihitung

altitude dan azimuth-nya. Titik O merupakan titik pengamat, titik T‟

merupakan posisi ketika benda langit mulai terbit dari horison. Titik Z‟ merupakan posisi ketika benda langit berkulminasi atau transit. Garis berwarna hitam merupakan meridian, garis berwarna hijau merupakan lingkaran horison, garis berwarna biru muda merupakan garis vertikal, garis berwarna ungu merupakan lingkaran ekuator langit, garis berwarna merah muda merupakan lingkaran deklinasi, garis berwarna merah merupakan garis lingkaran kutub langit, garis berwarna hijau merupakan lingkaran

altitude dan garis berwarna biru tua merupakan lingkaran sudut waktu

(3)

152 Segitiga Bola merupakan bidang yang dibentuk dari titik Kutub Utara (KU), Z‟ dan M yang dibatasi oleh Meridian, Lingkaran Deklinasi dan Lingkaran Sudut Jam. Busur KU–M merupakan sudut penyiku deklinasi, busur KU–Z‟ merupakan sudut penyiku lintang. Busur Z‟–M merupakan sudut penyiku altitude. Misalkan titik KU adalah A, titik Z‟ adalah B, titik M adalah C, busur Z‟–M adalah a, busur KU–M adalah b, busur KU–Z‟ adalah busur c, maka sudut yang diapit busur b dan c adalah sudut waktu, sedangkan sudut yang diapit busur a dan c adalah azimuth. Sefdangkan sudut yang diapit oleh busur a dan b selalu 90 derajat karena lingkaran deklinasi Matahari selalu tegak lurus dengan lingkaran Sudut Waktu.

Gambar berikut merupakan penyederhanaan segitiga bola yang berada pada permukaan bola langit dengan sistem koordinat horison (Altitude, Azimuth):

Gambar 4.1.2

Penyederhanaan Segitiga Bola

(Sumber: Andy)

Rumus yang berlaku dalam segitiga bola adalah:

Cos a = cos b cos c + sin b sin c cos A (4.1a)

(4)

153

Cos c = cos a cos b + sin a sin b cos C (4.1c)

Sin a ÷ sin A = sin b ÷ sin B = sin c ÷ sin C (4.1d) Karena yang kita adalah altitude dan azimuth, maka rumus yang digunakan adalah persamaan (4.1a) untuk menghitung altitude dan penurunan rumus dari persamaan (4.1a), (4.1b), dan (4.1d) untuk menghitung azimuth. Jika a = 90 – altitude, b = 90 – deklinasi, c = 90 – lintang, dan sudut CAB = sudut waktu, maka persamaan (4.1a) menjadi:

Sin h = sin φ sin δ + cos φ cos δ cos t (4.2a)

Sedangkan persamaan (4.1a), (4.1b) dan (4.1d) menjadi:

Cot B = (cot b sin c – cos c cos A) ÷ sin A (4.1e)

Jika b = 90 – deklinasi, c = 90 – lintang, sudut CAB = sudut waktu, sudut ABC = azimuth, maka persamaan (4.1e) menjadi:

Tan A = (tan δ cos φ – sin φ cos h) ÷ sin h (4.2b)

Di mana h = altitude, A = azimuth, δ = deklinasi, φ = lintang pengamat, dan t = sudut waktu.

2. Perbedaan Metode Hisab

Selain memiliki persamaan, kedua algoritma ini memiliki perbedaan dalam rumus antara lain: penentuan waktu ijtimak, perhitungan waktu maghrib, perhitungan deklinasi, perhitungan sudut waktu, perhitungan

irtifa‟ mar‟i beserta koreksi-koreksinya dan perhitungan elongasi.

a. Penentuan Waktu Ijtimak

Dalam penentuan waktu ijtimak, Almanak Nautika sudah mencantumkan kapan terjadinya konjungsi, bahkan tidak hanya konjungsi saja melainkan juga kapan terjadinya perempat awal, oposisi

(5)

154 dan perempat akhir dalam tabel phase of the moon sehingga tidak perlu menghitung waktu ijtimak maupun fase-fase bulan lainnya. Kita hanya mengonversi dari tanggal terjadinya ijtimak dalam kalender Hijriah ke kalender Masehi, kemudian mencocokkannya dengan tabel, kapan ijtimak terjadi yang dekat dengan ijtimak yang tertera di dalam tabel. Perlu diingat, dalam tabel phase of the moon, waktu dinyatakan dalam GMT (Greenwich Mean Time) sehingga perlu ditambah dengan zona waktu sesuai dengan daerah masing-masing.

Sedangkan dalam algoritma Meeus, fase-fase Bulan dihitung dengan rumus-rumus tertentu. Berikut ini adalah perhitungan waktu ijtimak menggunakan algoritma Meeus:

Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan bilangan lunasi k dengan rumus berikut:

Bilangan lunasi adalah bilangan yang digunakan untuk menghitung kapan terjadinya ijtimak. Dalam rumus asalnya, nilai k dihitung berdasarkan perkiraan tanggal dalam kalender Masehi35. Namun, untuk kepentingan praktis, nilai k bisa langsung ditentukan jika diketahui bulan dan tahun dalam kalender kamariah. Bilangan lunasi k bernilai 0 tepat pada ijtimak awal 1 Syawal 1420 Hijriah yang jatuh pada tanggal 7 Januari 2000 sehingga hasil penjumlahan bilangan tahun

35 Nilai k dengan input tanggal Masehi diturunkan dari rumus bilangan abad T = k ÷ 1236,85 dan T

= (JDE – JDE2000) ÷ 36525. Sehingga diperoleh rumus k = (tahun masehi – 2000) ÷ 1236,85.

(6)

155 kamariah yang dikalikan 12 dengan bilangan bulan harus dikurangi 1705036.

Selanjutnya adalah menghitung Bilangan Abad Julian (T) dengan rumus berikut:

Nilai 1236,85 diperoleh dari periode revolusi Bumi (365,2422 hari) dibagi dengan periode revolusi sinodis Bulan (29,5306 hari).

Kemudian menghitung Julian Date Ephemeris (JDE) ketika ijtimak yang belum terkoreksi dengan rumus berikut:

Di mana:

T = bilangan abad Julian k = bilangan lunasi

Nilai Julian Date Ephemeris (JDE) tadi belum dikoreksi, sehingga agar diperoleh waktu ijtimak yang tepat harus mencari koreksi-koreksi antara lain koreksi fase Bulan dan koreksi argumen Planet.

Dalam menghitung koreksi fase Bulan, pertama-tama adalah menentukan eksentrisitas orbit Bulan dengan rumus berikut (Meeus, 1991: 308) :

Dimana:

E = eksentrisitas orbit Bulan

36 Nilai 17050 diperoleh dari Syawwal yang memiliki nomor bulan 10 dijumlah dengan tahun

1420 yang dikalikan 12. 12 × 1420 + 10 = 17040 + 10 = 17050. T = k / 1236,85

E = 1 – 0,02516 T – 7,4 × 10-6 T2

JDEijtima belum terkoreksi = 2451550,07965 + 29,530588853k + 0,0001337T2 + 0,00000015 T3 + 0,00000000074 T4

(7)

156 T = bilangan abad Julian.

Selanjutnya mencari argumen atau sudut yang diperlukan dalam perhitungan koreksi fase Bulan, antara lain (Meeus, 1991: 308) :

Anomali Rata-Rata Matahari (M)

Anomali Rata-Rata Bulan (M‟)

Argumen Lintang Bulan (F)

Argumen Simpul Bulan (Ω)

Berikut ini adalah rumus yang digunakan untuk menghitung koreksi fase Bulan (Meeus, 1991: 321):

Selanjutnya adalah menghitung koreksi argumen Planet yang terdiri dari 14 suku, antara lain (Meeus, 1991: 321) :

(8)

157 Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet

Masing-masing nilai sinus dari setiap argumen dikalikan oleh koefisiennya, sehingga diperoleh koreksi total argumen Planet dengan rumus sebagai berikut:

Selanjutnya untuk menghitung Julian Date Ephemeris ijtimak setelah koreksi adalah dengan menambahkan Julian Date Ephemeris ijtimak sebelum terkoreksi dengan koreksi fase Bulan dan koreksi argumen Planet (Meeus, 1991: 319).

(9)

158 Setelah mendapatkan nilai Julian Date Ephemeris ketika ijtimak yang sudah terkoreksi, selanjutnya adalah mencari delta T (ΔT). Parameter yang dibutuhkan adalah Y yang merupakan bilangan tahun Julian. Nilai Y didapatkan dari rumus berikut:

Di mana T adalah bilangan abad Julian. Jika saat ini tahun terletak di antara rentang 2005 dan 2050, maka persamaan delta T yang dipakai adalah sebagai berikut37:

Di mana Y adalah bilangan tahun Julian. Setelah mendapatkan nilai delta T, nilai ini digunakan untuk mengurangi Julian Date Ephemeris ijtimak untuk mendapatkan nilai Julian Date Ijtimak yang kemudian akan dikonversi dalam bentuk tanggal.

Berikut ini adalah langkah-langkah mengonversi Julian Date ke dalam tanggal:

Menjumlahkan Julian Date dengan 0,5.

Mencari nilai Z (angka bantu) dengan membulatkan kebawah Julian Date yang sudah dijumlahkan dengan 0,5 terlebih dahulu.

Mencari nilai F (angka bantu) dengan mengurangkan JD + 0,5 dengan Z.

37

Delta T diambil dari buku karangan Morinson, Land Stephenson F.R. Historical Value of the

Earth‟s Clock Error ΔT and the Calculation of Eclipses. J. Hist Astron, vol. 35, part 3, Agustus

2004, No. 120, pp. 327-336; The Effect of Delta T on Astronomical Calculations. Journal of the British Astronomical Association, 108 (1998), pp. 154-156

Y = 2000 + 100 T

ΔT = 62,92 + 0,32217 (Y - 2000) + 0,005589 (Y – 2000)2

(10)

159 Memeriksa nilai Z apakah lebih besar dari 2299161 (Julian Date pada 15 Oktober 1582), jika lebih besar mencari nilai AA (angka bantu) dengan rumus:

Jika tidak, maka tidak perlu mencari nilai AA

Menghitung nilai A (angka bantu) dengan rumus berikut:

Menjumlahkan nilai A agar memperoleh nilai B Mencari nilai C dengan rumus berikut:

Mencari nilai D dengan rumus berikut:

Mencari nilai E dengan rumus berikut:

Mencari tanggal dengan rumus berikut:

Mencari bulan dengan rumus berikut:

Mencari tahun dengan rumus berikut:

Mencari jam, menit dan detik dengan rumus berikut: AA = (Z – 1867216,5) ÷ 36524,25 × 16

Jika nilai AA ada, A = Z + AA – INT(AA÷4) Jika nilai AA tidak ada, A = Z

C = INT((B – 122,1) ÷ 365,25)

D = INT(365,25 × C)

E = INT((B – D) ÷ 365,25)

tanggal = B – D – INT(30,6001 × E)

Jika nilai E lebih besar dari 13, bulan = E – 13 Jika nilai E lebih kecil dari 14, bulan = E – 1

Jika bulan lebih besar dari 13, tahun = C – 4716 Jika bulan lebih kecil dari 14, tahun = C – 4715

(11)

160

b. Perhitungan Waktu Maghrib

Dalam Almanak Nautika, proses perhitungan waktu maghrib dilakukan 2 kali, yakni:

1) Menghitung perkiraan waktu maghrib

Perkiraan waktu maghrib dilakukan dengan cara menghitung kapan terjadinya ghurub pada lintang pengamat. Data tersebut diambil dari data Almanak Nautika dengan melihat table sunrise (Matahari terbit) dan sunset (Matahari terbenam). Pada tabel sunset disediakan beberapa waktu Matahari terbenam dalam setiap lintang di permukaan Bumi. Seperti lintang 00, 100, 150, 200 LS/LU dan seterusnya.

Oleh karena lintang pengamat berada pada 070 070 LS, maka pengambilan data diambil dari tabel moonset pada lintang ghurub antara 00 dam 100 LS. perlu proses perhitungan dengan cara interpolasi. Adapun rumus interpolasi waktu ghurub yaitu:

Keterangan :

Ghurubφ = Ghurub pada lintang tempat pengamat (φ) Ghurub0 = Ghurub pada lintang 00

Ghurub10 LS = Ghurub pada lintang 100 LS Jam = INT (24 × F)

Menit = INT (60 × (24 × F – jam)) Detik = 3600 × (24 × F – (menit ÷ 60))

(12)

161 φ = Lintang Tempat Pengamat

Perkiraan waktu maghrib dinyatakan dalam GMT (Greenwich Mean Time) untuk memudahkan pengambilan data dalam tabel pergerakan deklinasi Matahari dan Bulan.

2) Menghitung waktu maghrib hakiki

Untuk menghitung waktu maghirb hakiki diperlukan ketinggian Matahari, deklinasi Matahari dan sudut waktu Matahari. Deklinasi Matahari diambil dari data pergerakkan Matahari perjam dalam waktu Greenwich. Jika waktu tersebut tidak tepat dalam waktu yang disediakan dalam Greenwich maka perlu melakukan interpolasi di antara jam tersebut. Begitu juga dengan mencari

equation of time (e) dilakukan interpolasi karena di dalam Almanak

Nautika hanya disedikan equation of time pada jam 0 GMT dan 12 GMT.

Menghitung ketinggian Matahari pada waktu ghurub memerlukan koreksi, di antaranya adalah koreksi Semi Diameter (SD) Matahari, Refraksi, dan kerendahan Ufuk (Dip). Setelah menghasilkan ketinggian Matahari yang telah dikoreksi kemudian menghitung sudut waktu Matahari ketika Ghurub dan menghitung awal waktu maghrib dengan rumus sebagai berikut:

Adapun t (sudut waktu) dihitung dengan menggunakan rumus

(12 – e) + tʘ ÷ 15 + (λdaerah – λtempat) ÷ 15

Cos tʘ = sin hʘ ÷ (cos φ × cos δʘ) – (tan φ × tan δʘ)

(13)

162 Keterangan : e = equation of time

tʘ = Sudut waktu Matahari

hʘ = ketinggian Matahari pada waktu Maghrib φ = Lintang tempat pengamat

λdaerah = Bujur daerah (WIB=1050, WITA=1200, WIT=1350)

λtempat = Bujur tempat pengamat δʘ = Deklinasi Matahari.

Dalam algoritma Meeus, waktu maghrib dihitung dua kali sama halnya dengan Almanak Nautika, yakni mencari perkiraan waktu maghrib dan waktu maghrib hakiki. Namun secara mendasar, hal yang membedakan di antara keduanya adalah jika pada Almanak Nautika waktu maghrib menggunakan interpolasi dari tabel Sunset, sedangkan pada algoritma Meeus waktu maghrib dihitung dengan rumus tertentu yang akan dijelaskan di bawah ini:

Parameter yang harus diketahui terlebih dahulu adalah lintang tempat, bujur tempat, bujur daerah, ketinggian tempat dan Julian Date pada pukul 12 waktu lokal. Julian Date pukul 12 waktu lokal dicari dengan rumus berikut:

Keterangan:

JD12 LT = Julian Date pada jam 12 waktu lokal JDijtimak = Julian Date pada Ijtimak

λdaerah = Bujur daerah (WIB=1050

, WITA=1200, WIT=1350) JD12 LT = INT(JDijtimak + 0,5) – (λdaerah ÷ 360)

(14)

163 Julian Date pada pukul 12 waktu lokal digunakan untuk menghitung equation of time, deklinasi Matahari, sudut waktu dan perkiraan waktu maghrib. Untuk menghitung equation of time dan deklinasi Matahari, terlebih dahulu mencari Bilangan Abad Julian (T), Sudut Tahun (U) dan Bujur Rata-rata Matahari (L0) dengan rumus sebagai berikut (Meeus, 1991: 151):

Selanjutnya menghitung deklinasi Matahari dan equation of

time dengan rumus berikut38:

Keterangan:

T = bilangan abad Julian U = sudut tahun

L = Bujur rata-rata Matahari δʘ = deklinasi Matahari e = equation of time

38 Rumus deklinasi dan equation of time yang dipakai penulis untuk perhitungan perkiraan waktu

maghrib merupakan penurunan rumus oleh Dr. Eng. Rinto Anugraha, M.Si dalam buku beliau yang berjudul Mekanika Benda Langit hal. 79.

T = (JD12 LT – 2451545) ÷ 36525 U = 2πT × 100 L = 280,466070 + 36000,7698 × U δʘ = 0,37877° + 23,264° sin (57,297×T – 79,547) + 0,3812° sin (2×57,297×T – 82,682) + 0,17132° sin (3×57,297×T – 59,722) e = – (1789 + 237 U) SIN L – (7146 – 62 U) COS L + (9934 –14 U) SIN 2 L – (29 + 5 U) COS 2 L + (74 + 10 U) SIN 3 L + (320 – 4 U) COS 3 L- 212 SIN 4 L

(15)

164 Sebelum menghitung sudut waktu maghrib, terlebih dahulu mencari ketinggian Matahari saat terbenam di bawah ufuk yaitu:

Keterangan:

hʘ = tinggi Matahari saat terbenam H = ketinggian tempat (meter)

Nilai 50 menit busur diperoleh dari penjumlahan Semi Diameter rata-rata Matahari sebesar 16 menit busur dengan refraksi pada ketinggian 0 derajat sebesar 34 menit busur.

Adapun t (sudut waktu) dihitung dengan menggunakan rumus : Keterangan: tʘ = sudut waktu hʘ = tinggi Matahari φ = lintang pengamat δʘ = deklinasi Matahari

Setelah didapat sudut waktu, maka perkiraan waktu maghrib dapat dihitung dengan rumus berikut:

Selanjutnya membandingkan antara perkiraan waktu maghrib dan ijtimak menggunakan parameter umur hilal yang merupakan waktu maghrib dikurangi dengan ijtimak. Jika umur hilal positif (ijtimak terjadi sebelum maghrib), maka dapat dilanjutkan dengan

hʘ = – (1,73′ √H + 50′)

Cos tʘ = sin hʘ ÷ (cos φ × cos δʘ) – (tan φ × tan δʘ)

(16)

165 mencari maghrib hakiki dengan mengulang perhitungan seperti ketika menghitung perkiraan waktu magrib namun dengan sedikit perubahan parameter. Jika pada perhitungan perkiraan waktu maghrib, menggunakan Julian Date jam 12 waktu lokal, pada perhitungan maghrib hakiki menggunakan Julian Date ketika maghrib seperti yang ditunjukkan oleh rumus berikut.

Jika umur hilal negatif (ijtimak terjadi setelah maghrib), maka Julian Date pada jam 12 waktu lokal dapat ditambah dengan 1 yang menandakan bahwa perhitungan waktu maghrib dilakukan untuk esok harinya. Kemudian dilakukan iterasi kembali sampai didapat waktu maghrib hakiki.

c. Perhitungan Deklinasi

Secara ringkas, perhitungan deklinasi pada Almanak Nautika menggunakan interpolasi dari tabel deklinasi sedangkan pada algoritma Meeus terlebih dahulu menghitung bujur ekliptika dan lintang ekliptika Matahari dan Bulan, kemiringan sumbu Bumi beserta koreksi-koreksinya, kemudian mengkonversikannya dari koordinat ekliptika geosentris ke ekuator geosentris. Berikut ini penjelasan perbedaan perhitungan deklinasi pada Almanak Nautika dan algoritma Meeus.

Dalam Almanak Nautika, nilai deklinasi baik Bulan maupun Matahari setiap jamnya sudah dicantumkan dalam tabel. Waktu yang dipakai adalah waktu Greenwich Mean Time atau GMT, sehingga untuk

JDMaghrib = JD12 LT – 0,5 + (t ÷ 15) T = (JDMaghrib– 2451545) ÷ 36525 ; dst...

(17)

166 mencari deklinasi pada waktu maghrib harus dikurangi dengan zona waktu daerah tersebut untuk mendapatkan waktu maghrib dalam GMT. Kemudian menginterpolasikannya dengan rumus berikut:

Adapun δmaghrib adalah deklinasi pada waktu maghrib, δ1 adalah deklinasi pada t1 sebelum waktu maghrib, δ2 adalah deklinasi pada t2 sebelum waktu maghrib, t1 adalah waktu pengambilan data sebelum maghrib, dan t1 adalah waktu pengambilan data sebelum maghrib.

Sedangkan dalam algoritma Meeus, berikut ini langkah-langkah dalam menghitung deklinasi Bulan maupun Matahari:

5) Menghitung Koreksi Nutasi dan Sumbu Rotasi Bumi

Dalam perhitungan koreksi nutasi dan sumbu Bumi, terlebih dahulu menentukan paramater yang digunakan untuk perhitungan antara lain (Meeus, 1991h: 133 – 135):

Julian Date ketika Maghrib

JDmaghrib’ = JDmaghrib – (t ÷ 15) + (t’ ÷ 15) Delta T (untuk 2005 < Y < 2050)

ΔT = 62,92 + 0,32217 (Y - 2000) + 0,005589 (Y – 2000)2

Di mana Y = 2000 + (100 × T) dan T = (JDmaghrib – 2451545) ÷ 36525

Julian Date Ephemeris ketika Maghrib JDEmaghrib’ = JDmaghrib’ + ΔT

Bilangan Abad Julian (T‟)

T’ = (JDEmaghrib’ – 245145) ÷ 36525

(18)

167 Bilangan Milenium Julian (τ)

τ = T ÷ 10

Elongasi Rata-Rata Bulan (D)

Anomali Rata-Rata Matahari (M)

Anomali Rata-Rata Bulan (M‟)

Argumen Lintang (F)

Bujur Ascending Node Rata-Rata (Ω)

Kemiringan sumbu rotasi Bumi rata-rata (ε0) ε0=

Greenwich Sidereal Time (GST)

θ0 = (280,46061837 0

+ 360,98564736629 × (JDmaghrib’ – 2451545) + 0,000387933 × T2 + T3 ÷ 38710000) ÷ 15

Setelah semua parameter yang diperlukan dihitung, selanjutnya adalah menghitung koreksi nutasi dengan rumus berikut (dihitung

(19)

168

dengan satuan detik busur):

Berikut ini rumus koreksi kemiringan sumbu Bumi (dihitung dengan satuan detik busur):

(20)

169

6) Menghitung Jam Bintang Lokal

Kemiringan sumbu Bumi sesungguhnya dapat dihitung dengan menjumlahkan kemiringan sumbu Bumi rata-rata dengan koreksi kemiringan sumbu Bumi.

Sedangkan GST Tampak dirumuskan dengan persamaan berikut:

Sehingga jam lokal bintang (LST, Local Sidereal Time) dapat dihitung menggunakan persamaan dibawah ini:

Jika hasilnya lebih besar dari 24, kurangkanlah dengan kelipatan 24.

Setelah menghitung koreksi nutasi, koreksi sumbu Bumi, dan jam bintang lokal, maka selanjutnya menghitung lintang ekliptika matahari, bujur ekliptika Matahari dan jarak Bumi-Matahari beserta koreksi-koreksinya dengan langkah sebagai berikut:

4) Menghitung Lintang Ekliptika Matahari dan Koreksinya ε = ε0 + Δε

θ0' = θ0 + (Δψ cos ε) ÷ 15

(21)

170 Berikut ini adalah persamaan koreksi lintang ekliptika Matahari (Meeus, 1991h: 386 – 389):

Koreksi Lintang Tampak Matahari B0 = 280 cos (3,199 + 84334,662 τ) + 102 cos (5,422 + 5507,553 τ) + 80 cos (3,88 + 5223,69 τ) + 44 cos (3,7 + 2352,87 τ) + 32 cos (4 + 1577,34 τ) Koreksi Lintang Tampak Matahari B1 = 9 cos (3,9 + 5507,55 τ) + 6

cos (1,73 + 5223,69 τ)

Lintang tampak Matahari sebelum koreksi dirumuskan dengan persamaan berikut (dinyatakan dalam radian):

Koreksi terhadap bujur Matahari dinyatakan dengan persamaan berikut:

Koreksi lintang tampak Matahari dinyatakan dengan persamaan berikut:

Sehingga, lintang tampak Matahari setelah koreksi adalah lintang tampak Matahari sebelum terkoreksi ditambah dengan koreksi lintang tampak Matahari.

5) Menghitung Bujur Ekliptika Matahari dan Koreksinya

Berikut ini adalah persamaan koreksi bujur ekliptika Matahari: Koreksi Bujur Ekliptik L0 = 175347046 + 3341656 cos (4,6692568

+ 6283,07585τ) + 34894 cos (4,6261 + 12566,1517τ) + 3497 cos β0ʘ = - (B0 + B1τ) ÷ 100000000

λ0 = Θ0 – 1,397τ – 0,00031τ2

Δβʘ = 0,03916 (cos λ0 – sin λ0)

(22)

171 (2,7441 + 5753,3849 τ) + 3418 cos (2,8289 + 3,5231 τ) + 3136 cos (3,6277 + 777713,772 τ) + 2676 cos (4,4181 + 7860,4194 τ) + 2343 cos (6,1352 + 3930,2097 τ) + 1324 cos (0,7425 + 11506,77 τ) + 1273 cos (2,0371 + 529,691 τ) + 1199 cos (1,1096 + 1577,3435 τ) + 990 cos (5,233 + 5884,927 τ) + 902 cos (2,045 + 26,298 τ) + 857 cos (3,508 + 398,149 τ) + 780 cos (1,179 + 5223,694 τ) + 753 cos (2,533 + 5507,553 τ) + 505 cos (4,583 + 18849,228 τ) + 492 cos (4,205 + 775,523 τ) + 357 cos (2,92 + 0,067 τ) + 317 cos (5,849 + 11790,629 τ) + 284 cos (1,899 + 796,298 τ) + 271 cos (0,315 + 10977,079 τ) + 243 cos (0,345 + 5486,778 τ) + 206 cos (4,806 + 2544,314 τ) + 205 cos (1,869 + 5573,143 τ) + 202 cos (2,458 + 6069,777 τ) + 156 cos (0,833 + 213,299 τ) + 132 cos (3,411 + 2942,463 τ) + 126 cos (1,083 + 20,775 τ) + 115 cos (0,645 + 0,98 τ) + 103 cos (0,636 + 4694,003 τ) + 102 cos (0,976 + 15720,839 τ) + 99 cos (6,21 + 2146,17 τ) + 98 cos (0,68 + 155,42 τ) + 86 cos (5,98 + 161000,69 τ) + 85 cos (3,67 + 71430,7 τ) + 80 cos (1,81 + 17260,15 τ) + 79 cos (3,04 + 12036,46 τ) + 75 cos (1,76 + 5088,63 τ) + 74 cos (3,5 + 3154,69 τ) + 74 cos (4,68 + 801,82 τ) + 70 cos (0,83 + 9437,76 τ) + 62 cos (3,98 + 8827,39 τ) + 61 cos (1,82 + 7084,9 τ) + 57 cos (2,78 + 6286,6 τ) + 56 cos (4,39 + 14143,5 τ) + 56 cos (3,47 + 6279,55 τ) + 52 cos (0,19 + 12139,55 τ) + 52 cos (1,33 + 1748,02 τ) + 51 cos (0,28 + 5856,48 τ) + 49 cos (0,49 + 1194,45 τ) + 41 cos (5,37 + 8429,24 τ) + 41 cos (2,4 + 19651,05 τ) + 39 cos (6,17 + 10447,39 τ) + 37 cos (6,04 +

(23)

172 10213,29 τ) + 37 cos (2,57 + 1059,38 τ) + 36 cos (1,71 + 2352,87 τ) + 22 cos (0,59 + 17789,85 τ) + 30 cos (0,44 + 83996,85 τ) + 30 cos (2,74 + 1349,87 τ) + 25 cos (3,16 + 3690,48 τ)

Koreksi Bujur Ekliptik L1 = 628331966747 + 206059 cos (2,678235 + 6283,0759 τ) + 4303 cos (2,6351 + 12566,152 τ) + 425 cos (1,59 + 3,523 τ) + 119 cos (5,796 + 26,298 τ) + 109 cos (2,966 + 1577,344 τ) + 93 cos (2,59 + 18849,23 τ) + 72 cos (1,14 + 529,69) + 68 cos (1,87 + 398,15 τ) + 67 cos (4,41 + 5507,55 τ) + 59 cos (2,89 + 5223,69 τ) + 56 cos (2,17 + 155,42 τ) + 45 cos (0,4 + 796,3 τ) + 36 cos (0,47 + 775,52 τ) + 29 cos (2,65 + 7,11 τ) + 21 cos (5,34 + 0,98 τ) + 19 cos (1,85 + 5486,79 τ) + 19 cos (4,97 + 213,3 τ) + 16 cos (0,03 + 2544,31 τ) + 16 cos (1,43 + 2146,17 τ) + 15 cos (1,21 + 10977,08 τ) + 12 cos (2,83 + 1748,02 τ) + 12 cos (3,26 + 5088,63 τ) + 12 cos (5,27 + 1194,45 τ) + 12 cos (2,08 + 4694 τ) + 11 cos (0,77 + 553,57 τ) + 10 cos (1,3 + 6286,6 τ) + 10 cos (4,24 + 1349,87 τ) + 9 cos (2,7 + 242,73 τ) + 9 cos (5,64 + 951,72 τ) + 8 cos (5,3 + 2352,87 τ) + 6 cos (2,65 + 9437,76 τ) + 6 cos (4,67 + 3690,48 τ)

Koreksi Bujur Ekliptik L2 = 52919 + 8720 cos (1,0721 + 6283,0758 τ) + 309 cos (0,867 + 12566,152 τ) + 27 cos (0,05 + 3,52 τ) + 16 cos (5,19 + 26,3 τ) + 16 cos (3,68 + 155,42 τ) + 10 cos (0,76 + 18849,23 τ) + 9 cos (2,06 + 77713,77 τ) + 7 cos (0,83 + 775,52 τ) + 5 cos (4,66 + 1577,34 τ) + 4 cos (1,03 + 7,11 τ) + 4 cos (3,44 + 5573,14 τ) + 3 cos (5,14 + 796,3 τ) + 3 cos (6,05 + 5507,55

(24)

173 τ) + 3 cos (1,19 + 242,73 τ) + 3 cos (6,12 + 529,69 τ) + 3 cos (0,31 + 398,15 τ) + 3 cos (2,28 + 553,57 τ) + 2 cos (4,38 +5223,69 τ) + 2 cos (3,75 + 0,98 τ)

Koreksi Bujur Ekliptik L3 = 289 cos (5,844 + 6283,076 τ) + 35 + 17 cos (5,49 + 12566,15 τ) + 3 cos (5,2 + 155,42 τ) + cos (4,72 + 3,52 τ) + cos (5,3 + 18849,23 τ) + cos (5,97 + 242,73 τ)

Koreksi Bujur Ekliptik L4 = 114 cos 3,142 + 8 cos (4,13 + 6283,08 τ) + cos (3,84 + 12566,15 τ)

Koreksi Bujur Ekliptik L5 = cos 3,14

Bujur ekliptika Matahari dapat dihitung dengan rumus berikut:

Selanjutnya, menghitung koreksi aberasi dengan rumus berikut (dinyatakan dalam detik busur):

Dimana R adalah jarak Bumi-Matahari.

Sehingga bujur Matahari tampak (Sun‟s Apparent Longitude) diperoleh dari bujur ekliptika Matahari ditambah dengan koreksi aberasi.

6) Menghitung Jarak Bumi-Matahari dan Koreksinya

Berikut ini adalah persamaan koreksi jarak Bumi-Matahari: Koreksi Jarak Bumi-Matahari R0 = 100013989 + 1670700 cos

(3,0984635 + 6283,07585 τ) +13956 cos (3,05525 + 12566,1517 τ) Θ0 = L0 + L1τ + L2τ2 + L3τ3+ L4τ4+ L5τ5 Θ = Θ0 + 1800 – 0,09033″ c = – 20,4898″ ÷ R λʘ = Θ + c

(25)

174 + 3084 cos (5,1985 +77713,7715 τ) + 1628 cos (1,1739 + 5753,3849 τ) + 1576 cos (2,8469 + 7860,4194 τ) + 925 cos (5,453 +11506,77 τ) + 542 cos (4,564 +3930,21 τ) + 472 cos (3,661 + 5884,927 τ) + 346 cos (0,964 + 5570,553 τ) + 329 cos (5,9 + 5223,694 τ) + 307 cos (0,299 + 5573,143 τ) + 243 cos (4,273 + 11790,629 τ) + 212 cos (5,847 + 1577,344 τ) + 186 cos (5,022 + 5486,778 τ) + 175 cos (3,012 + 18849,228 τ) + 110 cos (5,044 + 5486,778 τ) + 98 cos (0,89 + 6069,78 τ) + 86 cos (5,69 + 15720,84 τ) + 65 cos (0,27 + 17260,15 τ) + 63 cos (0,92 + 529,69 τ) + 57 cos (2,01 + 83996,85 τ) + 56 cos (5,24 + 71430,7 τ) + 49 cos (3,25 + 2544,31 τ) + 47 cos (2,58 + 775,52 τ) + 45 cos (5,54 + 9437,76 τ) + 43 cos (6,01 + 6275,96 τ) + 39 cos (5,36 + 4694 τ) + 38 cos (2,39 + 8827,39 τ) + 37 cos (4,9 + 12139,55 τ) + 36 cos (1,67 + 12036,46 τ) + 35 cos (1,84 +2942,46 τ) + 33 cos (0,24 + 7084,9 τ) + 32 cos (0,18 + 5088,63 τ) + 32 cos (1,78 + 398,15 τ) + 28 cos (1,21 + 6286,6 τ) + 28 cos (1,9 + 6279,55 τ) + 26 cos (4,59 + 10447,39 τ) Koreksi Jarak Bumi-Matahari R1 = 103019 cos (1,10749 +

6283,07585 τ) + 1721 cos (1,0644 + 12566,1517 τ) + 702 cos 3,142 + 32 cos (1,02 + 18849,23 τ) + 31 cos (2,84 + 5597,55 τ) + 25 cos (1,32 + 5223,69 τ) + 18 cos (1,42 + 1577,34 τ) + 10 cos (5,91 + 10977,08 τ) + 9 cos (1,42 + 6275,96 τ) + 9 cos (0,27 + 5486,78)

Koreksi Jarak Bumi-Matahari R2 = 4359 cos (5,7846 + 6283,0758 τ) + 124 cos (5,579 + 12566,152 τ) + 12 cos 3,14 + 9 cos (3,63 +

(26)

175 777713,77 τ) + 6 cos (1,87 + 5573,14 τ) + 3 cos (5,47 + 18849,23 τ)

Koreksi Jarak Bumi-Matahari R3 = 145 cos (4,273 + 6283,076 τ) + 7 cos (3,92 + 12566,15 τ)

 Koreksi Jarak Bumi-Matahari R4 = 4 cos (2,56 + 6283,08 τ)

Sehingga jarak Bumi-Matahari dapat dinyatakan dengan persamaan berikut (satuan dalam Satuan Astronomi = 149598000 kilometer):

7) Menghitung Asensiorekta dan Deklinasi Matahari

Berikut ini adalah rumus-rumus untuk menghitung

asensiorekta dan deklinasi Matahari:

Assenciorekta Matahari

Deklinasi Matahari

Keterangan:

λʘ = Bujur Ekliptika Matahari βʘ = Lintang Ekliptika Matahari ε = Kemiringan Sumbu Bumi αʘ = Ascenciorecta Matahari δʘ = Deklinasi Matahari

R = (R0 + R1τ + R2τ2 + R3τ3+ R4τ4) ÷ 100000000

cotan αʘ = (tan λʘ × cos ε) – (tan βʘ × sin ε ÷ cos λʘ)

sin δʘ = (sin βʘ × cos ε) + (cos βʘ × sin ε × sin λʘ)

(27)

176 Setelah menghitung ascenciorecta dan deklinasi Matahari, selanjutnya adalah menghitung ascenciorecta dan deklinasi Bulan yang akan dijelaskan di bawah ini:

8) Menghitung Lintang Ekliptika Bulan dan Koreksinya

Dalam menghitung koreksi lintang ekliptika Bulan maupun bujur ekliptika Bulan, terlebih dahulu menentukan paramater yang akan digunakan di dalam perhitungan antara lain (Meeus, 1991: 308) :

Bujur Rata-Rata Bulan (L‟)

Elongasi Rata-Rata Bulan (D)

Anomali Rata-Rata Matahari (M)

Anomali Rata-Rata Bulan (M‟)

(28)

177 Argumen A1 A1 = (119,75 + 131,849T) Argumen A2 A2 = (53,09 + 479264,29T) Argumen A3 A3 = (313,45 + 481266,484T) Eksentrisitas Orbit Bulan

Sehingga lintang ekliptika Bulan dinyatakan dengan persamaan berikut:

(29)

178

9) Menghitung Bujur Ekliptika Bulan dan Koreksinya Berikut ini adalah persamaan koreksi bujur Bulan: Koreksi Bujur Bulan

(30)

179

Sehingga Bujur Ekliptika Bulan adalah bujur rata-rata Bulan ditambah dengan koreksi bujur ekliptika Bulan dan koreksi nutasi.

10) Menghitung Jarak Bulan-Bumi dan Koreksinya

Berikut ini adalah persamaan koreksi jarak Bumi-Bulan: λϿ = L’ + ΔL’ +Δψ

(31)

180

Sehingga, jarak Bumi-Bulan adalah sebagai berikut:

11) Menghitung Asensiorekta dan Deklinasi Bulan

Berikut ini adalah rumus-rumus untuk menghitung

asensiorekta dan deklinasi Bulan:

Asensiorekta Bulan

Deklinasi Bulan

d. Perhitungan Irtifa’ Mar’i dan Koreksi-koreksinya

Dalam Almanak Nautika, ketinggian Bulan secara mar‟i memerlukan beberapa koreksi di antaranya adalah koreksi Parallaks Bulan, Refraksi, Semi Diameter (SD) Bulan dan kerendahan ufuk (Dip) yang dihitung dari ketinggian pengamat. Berikut ini adalah rumus irtifa‟

mar‟i menurut Almanak Nautika:

Keterangan:

hϿ' = ketinggian hilal setelah dilakukan koreksi hϿ = ketinggian hilal hakiki

πϿ = parallaks, nilai sudut pandang pengamat terhadap Bulan cotan αϿ = (tan λϿ × cos ε) – (tan βϿ × sin ε ÷ cos λϿ)

sin δϿ = (sin βϿ × cos ε) + (cos βϿ × sin ε × sin λϿ)

r = 385000,56 + Δr

hϿ’ = hϿ – πϿ +ref + SDϿ + Dip

(32)

181 ref = refraksi; pembiasan/ pembelokkan cahaya yang terjadi

ketika Bulan berada di ufuk

SDϿ = Semi Diameter/ garis seperdua Bulan.

Dip = kerendahan ufuk yang dihitung dari ketinggian pengamat di permukaan Bumi.

Berikut ini adalah koreksi-koreksi yang ada dalam perhitungan

irtifa‟ mar‟i:

1) Semi Diameter

Nilai Semi Diameter Bulan dan Matahari sebenarnya sudah dicantumkan dalam buku Almanak Nautika, namun baik Semi Diameter Bulan maupun Semi Diameter Matahari hanya sampai pada ketelitian sepersepuluh menit busur. Agar lebih presisi, Semi Diameter Bulan dapat dihitung dengan cara mengalikan horizontal parallaks Bulan dengan perbandingan jari-jari Bumi dan jari-jari Bulan dengan rumus sebagai berikut:

Di mana: SDbulan = Semi Diameter Bulan

a = jari-jari Bumi = 6378,137 km (WGS ‟84) aϿ = jari-jari Bulan = 1738, 64 km

HPϿ = Horizontal Parallaks Bulan 2) Refraksi

Dalam buku Explanatory Supplement to the Astronomical

(33)

182 refraksi pada ketinggian objek tertentu, dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Seidelmann, 1992: ):

Dimana:

P = tekanan atmosfer sekitar dinyatakan dalam milibar. T = suhu atmosfer sekitar dinyatakan dalam derajat Celcius. h0 = ketinggian geosentrik benda langit yang akan diamati.

Umumnya dalam keadaan standar, nilai yang digunakan untuk tekanan sebesar 1010 milibar dan suhu 10°C. Jika ketinggian geosentrik bernilai 0 derajat, maka refraksinya bernilai 34,5 menit busur.

3) Kerendahan Ufuk

Jika diketahui ketinggian tempat diukur dari permukaan air laut sebesar H meter, maka kerendahan ufuk (Dip) dirumuskan sebagai berikut:

Nilai dip dinyatakan dalam menit busur (1/60 derajat). Nilai koefisien 1,76 menit busur menyatakan saat pengamatan kondisi langit cukup cerah dan tidak diselubungi oleh awan yang cukup tebal.

4) Parallaks

Nilai Horizontal Parallaks (HP) baik Matahari maupun Bulan sudah dicantumkan dalam buku Almanak Nautika. Nilai Horizontal

(34)

183 busur. Oleh karena itu, untuk mencari sudut Parallaks Bulan dengan cara Horizontal Parallaks dikalikan dengan nilai kosinus ketinggian Bulan geosentrik seperti pada rumus dibawah ini:.

Dimana: πϿ = Sudut Parallaks Bulan HP = Horizontal Parallaks Bulan h0 = Ketinggian Geosentrik Bulan

Sedangkan untuk algoritma Meeus, koreksi-koreksi yang digunakan dalam perhitungan irtifa‟ mar‟i sama dengan Almanak Nautika yakni Semi Diameter, refraksi dan kerendahan ufuk atau dip. Berikut ini adalah rumus untuk menghitung irtifa‟ mar‟i atau altitude geosentris menggunakan algoritma Meeus:

Terlihat perbedaan antara rumus di atas dengan rumus yang digunakan dalam Almanak Nautika. Jika dalam Almanak Nautika tinggi hilal hakiki dikurangi koreksi Semi Diameter, refraksi dan kerendahan ufuk kemudian ditambah dengan Parallaks, maka dalam algoritma Meeus tinggi hilal hakiki ditambah koreksi Semi Diameter, refraksi dan kerendahan ufuk kemudian dikurangi dengan Parallaks. Berarti ada perbedaan tanda untuk setiap koreksi dalam rumus yang digunakan baik pada Almanak Nautika dengan algoritma Meeus. Berikut ini adalah penjelasan koreksi-koreksi yang digunakan dalam algoritma Meeus:

Sudut Parallaks Bulan πϿ = HPϿ × cos hϿ

(35)

184 Menghitung sudut parallaks Bulan dengan menggunakan algoritma Meeus terlebih dahulu menghitung Horizontal Parallaks Bulan dengan rumus sebagai berikut:

Dimana r adalah jarak Bumi-Bulan, sedangkan nilai 6378,137 merupakan jari-jari ekuator Bumi menurut WGS‟84.

Sudut Parallaks Bulan dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Semi Diameter Bulan

Semi Diameter Bulan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Dimana r adalah jarak Bumi-Bulan dalam kilometer yang sudah dihitung sebelumnya.

Refraksi

Refraksi dalam algoritma Meeus dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Di mana P adalah tekanan atmosfer pada tempat pengamat, T adalah suhu pada tempat pengamat, dan hϿ adalah tinggi Bulan sebenarnya. tan HPϿ = 6378,137 ÷ r SDϿ = 99575,94 ÷ r πϿ= HPϿ × cos hϿ Ref = (P ÷ (T + 273,15)) × (0,1594 + 0,0196 hϿ + 0,00002 hϿ2) / (1 + 0,505 hϿ + 0,0845 hϿ2)

(36)

185 e. Perhitungan Elongasi Bulan-Matahari

Dalam Almanak Nautika, elongasi Bulan dihitung dengan rumus berikut:

Di mana:

= Sudut Elongasi Bulan – Matahari.

hϿ = ketinggian Bulan saat Matahari terbenam hʘ = ketinggian Matahari saat terbenam

PH = posisi hilal (selisih azimuth Bulan – Matahari)

Sedangkan rumus elongasi yang digunakan dalam algoritma Meeus adalah sebagai berikut:

Di mana:

= Sudut Elongasi Bulan – Matahari. δϿ = deklinasi Bulan

δʘ = deklinasi Matahari

Δα = selisih asensiorekta Bulan–Matahari

Dari rumus di atas terlihat perbedaannya, jika Almanak Nautika menggunakan azimuth dan altitude Bulan dan Matahari untuk menghitung elongasi Bulan–Matahari, sedangkan algoritma Meeus menggunakan asensiorekta dan deklinasi Bulan dan Matahari untuk menghitung elongasi Bulan–Matahari.

Cos = (sin hϿ x sin hʘ) + (cos hϿ x cos hʘ x cos PH)

(37)

186 3. Analisis Hasil Perhitungan Awal Bulan Kamariah.

a. Bulan Ramadan 1435 H 1) Ijitmak

Ijtimak untuk awal bulan Ramadan 1435 Hijriah menggunanakan Almanak Nautika terjadi pada hari Jumat tanggal 27 Juni 2014 pukul 15:08:00. Sedangkan menurut perhitungan menggunakan algoritma Meeus, ijtimak terjadi pada hari Jumat, tanggal 27 Juni 2014 pukul 15:08:30,44.

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, antara Almanak Nautika dengan algoritma Meeus memiliki selisih yakni 30,44 detik. Hal ini karena dalam tabel Phase of The Moon dalam Almanak Nautika waktu dinyatakan dalam ketelitian menit saja, sedangkan jika menghitung dengan algoritma Meeus kita bisa menyatakan waktu ijtimak tidak hanya sampai ketelitian menit melainkan juga sampai detik.

2) Ketinggian Hilal

Ketinggian hilal pada tanggal 27 Juni 2014 ketika Magrib, jika dihitung menggunakan Almanak Nautika adalah sebesar 00°06′28,96″. Sementara jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus ketinggian hilal sebesar 0°34′59,43′′.

Perbedaan di antara kedua sistem tersebut cukup besar yakni 28 menit 31,47 detik busur. Hal ini terjadi karena rumus ketinggian hilal toposentrik yang berbeda di antara kedua algortima tersebut sehingga menghasilkan perbedaan yang cukup besar.

(38)

187 3) Elongasi

Elongasi merupakan jarak sudut antara hilal dengan Matahari. Elongasi pada tanggal 27 Juni 2014 pada waktu maghrib jika dihitung menggunakan Almanak Nautika adalah sebesar 04°35′38,37, sedangkan jika dihitung menggunakan algoritma Meeus adalah sebesar 04°55′05,23′′. Selisihnya cukup besar yakni 19 menit 26,82 detik Hal ini dikarenakan pada Almanak Nautika, elongasi dihitung menggunakan kedua azimuth dan altitude, baik dari Matahari maupun Bulan. Sedangkan pada algoritma Meeus, elongasi dihitung menggunakan asensiorekta dan deklinasi, baik dari Matahari maupun Bulan, sehingga menghasilkan nilai yang cukup besar perbedaannya jika dibandingkan kedua metode tersebut sama-sama menggunakan kedua azimuth dan altitude baik dari Matahari maupun Bulan. Selain itu selisih altitude yang cukup besar yakni 28 menit 31,47 detik busur sehingga perbedaan elongasi juga cukup besar.

4) Azimuth Matahari-Bulan

Azimuth Matahari jika dihitung menggunakan Almanak

Nautika memiliki nilai sebesar 293°21′38,89″ atau 23°21′38,89″ jika diukur dari Barat ke Utara. Sedangkan jika dihitung menggunakan Algortima Meeus, akan memiliki nilai sebesar 293°22‟19,05′′ atau 23°22‟19,05′′ jika diukur dari Barat ke Utara. Berarti di antara kedua metode tersebut memiliki selisih sebesar 40,16 detik busur.

(39)

188 Sementara itu, azimuth Bulan jika dihitung dengan algoritma Almanak Nautika memiliki nilai sebesar 288°43′24,45″ atau 18°43′24,45″ (diukur dari Barat ke Utara). Sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, akan memiliki nilai sebesar 288°43′23,53′′ atau 18°43′23,53′′ (diukur dari Barat ke Utara). Berarti di antara kedua algoritma tersebut memiliki selisih sebesar 0,92 detik busur.

Jika azimuth Bulan diukur relatif terhadap Matahari, maka hasil perhitungan dengan menggunakan algoritma Almanak Nautika dan Algortima Meeus berturut-turut adalah 4°38′14,44″ sebelah Selatan Matahari dan 4°38′55,52′′ Selatan Matahari. Berarti di antara kedua metode tersebut memiliki selisih sebesar 41,08 detik busur. Meskipun perbedaan azimuth Bulan di antara kedua algortima tersebut cukup kecil, namun jika diukur posisinya terhadap Matahari justru memiliki perbedaan yang cukup besar. Hal ini dikarenakan perbedaan azimuth di antara kedua algortima yang juga cukup besar, sehingga mempengaruhi selisih azimuth Bulan jika diukur terhadap Matahari.

5) Umur Hilal

Umur hilal merupakan selisih antara waktu terbenamnya Matahari atau maghrib dengan waktu terjadinya ijtimak. Sebelum membandingkan umur hilal, terlebih dahulu membandingkan waktu maghrib yang telah dihitung menggunakan Almanak Nautika dan Algoritma Meeus.

(40)

189 Jika dihitung menggunakan algoritma Almanak Nautika, maka pada tanggal 27 Juni 2014, Matahari akan terbenam pada pukul 17:49:14,12. Sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, maka Matahari akan terbenam pada pukul 17:49:14,79. Perbedaan di antara keduanya hanya 0,67 detik. Berarti antara kedua algortima tersebut dapat menghasilkan nilai yang nyaris sama dalam perhitungan waktu maghrib.

Jika dihitung menggunakan algoritma berdasarkan Almanak Nautika, umur hilal adalah sebesar 2 jam 41 menit 14,12 detik. Sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, umur hilal adalah sebesar 2 jam 40 menit 44,35 detik. Sehingga perbedaan di antara keduanya yakni sebesar 29,77 detik. Nilai ini cukup besar jika dibandingkan dengan selisih waktu maghrib dari dua algoritma tersebut. Hal ini dikarenakan perbedaan waktu ijtimak yang dihitung dari kedua algoritma tersebut cukup besar yakni 30,44 detik.

1. Bulan Syawal 1435 H a. Ijitmak

Ijtimak untuk awal bulan Syawwal 1435 Hijriah menggunanakan Almanak Nautika terjadi pada hari Jumat tanggal 27 Juli 2014 pukul 05:41:00. Sedangkan menurut perhitungan menggunakan algoritma Meeus, ijtimak terjadi pada hari Jumat, tanggal 27 Juli 2014 pukul 05:41:49,05.

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, antara Almanak Nautika dengan algoritma Meeus memiliki selisih yakni 49,05 detik.

(41)

190 Hal ini karena dalam tabel Phase of The Moon dalam Almanak Nautika waktu dinyatakan dalam ketelitian menit saja, sedangkan jika menghitung dengan algoritma Meeus kita bisa menyatakan waktu ijtimak tidak hanya sampai ketelitian menit melainkan juga sampai detik.

b. Ketinggian Hilal

Ketinggian hilal pada tanggal 27 Juli 2014 ketika Magrib jika dihitung menggunakan Almanak Nautika adalah sebesar 03°10′57,17″. Sementara, jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus ketinggian hilal sebesar 4°09′21,93′′.

Perbedaan di antara kedua algortima tersebut cukup besar 58 menit 34,86 detik busur. Hal ini terjadi karena rumus ketinggian hilal toposentrik yang berbeda di antara kedua metode tersebut sehingga menghasilkan perbedaan yang cukup besar.

c. Elongasi

Elongasi merupakan jarak sudut antara hilal dengan Matahari. Elongasi pada tanggal 27 Juli 2014 waktu maghrib jika dihitung menggunakan Almanak Nautika adalah sebesar 06°44′27,42″, sedangkan jika dihitung menggunakan algoritma Meeus adalah sebesar 07°19′48,47′′. Selisihnya cukup besar yakni 35 menit 21,05 detik. Hal ini dikarenakan pada Almanak Nautika, elongasi dihitung menggunakan kedua azimuth dan altitude baik dari Matahari maupun Bulan. Sedangkan pada algoritma Meeus, elongasi dihitung menggunakan asensiorekta dan deklinasi Matahari maupun

(42)

191 Bulan, sehingga menghasilkan nilai yang cukup besar perbedaannya. Selain itu selisih altitude yang cukup besar yakni 58 menit 34,86 detik busur sehingga perbedaan elongasi juga cukup besar.

d. Azimuth Matahari-Bulan

Azimuth Matahari jika dihitung menggunakan Almanak

Nautika memiliki nilai sebesar 289°16′20,64″ atau 19°16′20,64″ (diukur dari Barat ke Utara), sedangkan jika dihitung menggunakan algortima Meeus, akan memiliki nilai sebesar 289°11‟32,03′′ atau 19°11‟32,03′′ (diukur dari Barat ke Utara). Berarti di antara kedua algortima tersebut memiliki selisih sebesar 4 menit 48,61 detik busur.

Sementara itu, azimuth Bulan jika dihitung berdasarkan algoritma Almanak Nautika memiliki nilai sebesar 283°46′50,4″ atau 13°46′50,4″ (diukur dari Barat ke Utara), sedangkan jika dihitung menggunakan algoritma Meeus memiliki nilai sebesar 283°46′47,56′′ atau 13°46′47,56′′ (diukur dari Barat ke Utara). Berarti di antara kedua metode tersebut memiliki selisih sebesar 2,84 detik busur.

Jika azimuth Bulan diukur relatif terhadap Matahari, maka hasil perhitungan menggunakan Almanak Nautika dan Algortima Meeus berturut-turut adalah 5°29′30,24″ sebelah Selatan Matahari dan 5°34′44,47′′ Selatan Matahari. Berarti di antara kedua metode tersebut memiliki selisih 5 menit 14,23 detik busur. Meskipun perbedaan azimuth Bulan di antara kedua algortima tersebut cukup kecil, namun jika diukur posisinya dengan terhadap Matahari justru

(43)

192 memiliki perbedaan yang cukup besar. Hal ini dikarenakan perbedaan azimuth di antara kedua algoritma tersebut juga cukup besar, sehingga mempengaruhi selisih azimuth Bulan jika diukur terhadap Matahari.

e. Umur Hilal

Umur hilal merupakan selisih antara waktu terbenamnya Matahari atau maghrib dengan waktu terjadinya ijtimak. Sebelum membandingkan umur hilal, terlebih dahulu membandingkan waktu maghrib yang telah dihitung menggunakan Almanak Nautika dan Algoritma Meeus.

Jika dihitung menggunakan Almanak Nautika, maka pada tanggal 27 Juni 2014, Matahari akan terbenam pada pukul 17:54:55,38, sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, maka Matahari akan terbenam pada pukul 17:54:56,97. Perbedaan di antara keduanya sebesar 1,59 detik. Berarti antara kedua algortima tersebut dapat menghasilkan nilai yang nyaris sama dalam perhitungan waktu maghrib jika detik diabaikan.

Umur hilal jika dihitung berdasarkan algoritma Almanak Nautika menghasilkan nilai sebesar 12 jam 13 menit 55,38 detik, sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, umur hilal adalah sebesar 12 jam 13 menit 07,92 detik. Sehingga perbedaan di antara keduanya yakni sebesar 47,36 detik. Nilai ini cukup besar jika dibandingkan dengan selisih waktu maghrib dari dua algoritma

(44)

193 tersebut. Hal ini dikarenakan perbedaan waktu ijtimak di antara kedua metode yang cukup besar yakni 49,05 detik.

B. Kelebihan dan Kelemahan antara Almanak Nautika dan Astronomical Algortihms Jean Meeus.

Selain adanya persamaan dan perbedaan dari kedua algoritma tersebut, ada pula perbandingan dari sisi kelebihan dan kekurangannya. Perbandingan terkait kelebihan dan kekurangan suatu algoritma ditinjau dari bagaimana algoritma tersebut dibangun dengan persamaan yang tidak begitu rumit, keakuratan suatu data dan mudah tidaknya suatu data tersebut diakses. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari kedua algoritma hisab awal bulan kamariah dengan menggunakan Almanak Nautika dan Astronomical

Algortihms Jean Meeus. 1. Almanak Nautika

a. Kelebihan

Sebagaimana dengan analisis perhitungan pada butir sebelumnya, terlihat bahwa Almanak Nautika tidak membutuhkan perhitungan yang rumit, karena data-data astronomis yang diperlukan seperti Ijtimak, Sudut Waktu, Waktu Maghrib, Perata Waktu dan Deklinasi sudah dicantumkan di dalam tabel yang disusun dengan data setiap satu jam mulai dari pukul 00.00 sampai dengan 23.00 GMT.

Selain itu, rumus-rumus yang dipakai dalam algoritma sistem hisab Almanak Nautika sudah didasarkan pada rumus astronomi modern. Rumus-rumus tersebut bahkan bisa dikembangkan menjadi lebih efektif, sehingga mempermudah bagi yang ingin mempelajarinya. Adapun data-data ephemeris yang berada dalam Almanak Nautika merupakan data-data yang memiliki

(45)

194 ketelitian cukup akurat, karena data tersebut dibuat berdasarkan observasi secara berkelanjutan.

b. Kekurangan

Kekurangan algoritma ini adalah perlunya beberapa proses interpolasi, seperti pencarian data deklinasi, sudut waktu pada jam, menit dan detik tertentu dan pada lintang serta bujur pengamat tertentu. Hal ini dikarenakan, data dalam tabel Almanak Nautika hanya disajikan sampai dengan ketelitian jam. Selain itu, pada tabel Moonset, Moonrise, Sunset dan

Sunrise disajikan dalam lintang pengamat berkelipatan 5 sampai 10.

Kelemahan lainnya adalah Almanak Nautika hanya diterbitkan setahun sekali, sehingga hanya bisa menghisab awal bulan maupun fenomena yang berkaitan dengan Bulan dan Matahari seperti fase-fase Bulan, gerhana Matahari, dan gerhana Bulan dalam rentang tahun diterbitkannya data tersebut. Artinya, tidak bisa digunakan untuk perhitungan awal bulan pada tahun-tahun mendatang.

Kelemahan lainnya pada penggunaan algoritma yang harus diperbaharui dengan temuan-temuan ilmiah (astronomi) modern. Algortima yang dibentuk oleh Almanak Nautika pada tahun 1976 oleh Saadoe‟ddin Djambek dan dianggap akurat hingga sekarang (dipakai pula oleh algoritma ephemeris Kementrian Agama RI), perlu adanya perubahan. Hal ini disebabkan karena adanya penelitian terbaru yaitu Astronomical Algortihms atau teori-teori Astronomi modern. Pada penelitian terbaru ini, algoritma perhitungan yang disusun telah terbukti akurat ketika hasilnya diuji pada observasi gerhana (karena lintang eklitptika dan bujur ekliptika berada pada nilai 0).39

39 Pada revolusi sains yang digagas oleh Thomas Samuel kuhn bahwa revolusi sains muncul

(46)

195 2. Astronomical Algortihms Jean Meeus

a. Kelebihan

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya dalam Bab III, pada perhitungan ephemeris Matahari berakurasi tinggi dengan Algoritma Jean Meeus sebenarnya merupakan reduksi dari algoritma VSOP87 yang jauh lebih akurat dengan kesalahan terkecil 0,01 detik busur yang mana total jumlah koreksi sebanyak 2425 buah antara lain: 1080 koreksi untuk bujur ekliptika, 348 koreksi untuk lintang ekliptika dan 997 koreksi untuk jarak Matahari ke Bumi, dengan mengambil koreksi-koreksi yang penting dengan suku yang berorde rendah di mana suku yang berorde tinggi tidak begitu memengaruhi hasil perhitungan. Total koreksi pada Algoritma Jean Meeus sebanyak 159 koreksi, dengan kesalahan tidak lebih dari 1 detik untuk periode tahun -2000 sampai 6000.

Sementara, pada perhitungan ephemeris Bulan berakurasi tinggi menggunakan algoritma Meeus, melibatkan suku-suku koreksi yang lebih banyak, oleh karena itu algoritma Meeus lebih akurat. Dalam menghitung bujur ekliptika Bulan, Meeus menggunakan 62 suku koreksi dengan suku koreksi terkecil adalah berorde 1 detik busur (1 detik busur = 1/3600 derajat). Untuk menghitung lintang ekliptika Bulan, Meeus menggunakan 66 suku koreksi dengan suku koreksi terkecil adalah berorde 0,4 detik busur. Untuk menghitung jarak Bumi-Bulan, Meeus menggunakan metode langsung tanpa menghitung parallaks terlebih dahulu (karena parallaks juga sudah dirumuskan oleh Meeus dengan parameter awal yang telah dihitung sebelumnya) dengan 46 suku koreksi dengan suku koreksi Meeus terkecil untuk menghitung jarak Bumi-Bulan adalah dalam orde 1 km.

yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang dijadikan referensi riset. Selanjutnya baca

(47)

196 Algoritma Meeus dapat menghitung ephemeris Matahari, Bulan bahkan Planet-Planet anggota tata surya yang diamati dari Bumi baik dari tahun sebelum maupun setelahnya, karena parameter awal yang didefinisikan untuk kemudian dipakai dalam perhitungan bujur ekliptika, lintang ekliptika, dan jarak Bumi–benda langit tersebut selalu berubah menyesuaikan dengan

epoch waktu yang sedang dihitung. Sehingga data ephemeris yang dihasilkan

merupakan data yang terjadi pada waktu yang sedang dihitung. Tidak seperti Almanak Nautika maupun metode lain yang sejenis yang hanya memanfaatkan interpolasi untuk mencari data yang terletak di antara dua data pada tabel yang dicantumkan dengan ketelitian atau skala terkecil jam.

b. Kekurangan

Meskipun algoritma Meeus sudah cukup akurat menghasilkan data ephemeris, namun perhitungan yang dilakukan cukup rumit, menggunakan koreksi-koreksi yang melibatkan suku-suku berorde tinggi dengan jumlah suku yang banyak (untuk Matahari total 159 suku, untuk Bulan total 134 suku, dari perhitungan bujur ekliptika, lintang ekliptika dan jarak Bumi-Bulan/Matahari), sehingga jika perhitungan dilakukan secara manual dapat memakan waktu cukup lama. Namun kekurangan ini dapat ditutupi dengan mengkomputerisasi perhitungan sehingga perhitungan dapat dilakukan dengan cepat tanpa harus menghitung ulang menggunakan rumus yang sama apabila kita menghitung dengan epoch tertentu.

Gambar

Gambar  berikut  merupakan  penyederhanaan  segitiga  bola  yang  berada  pada  permukaan  bola  langit  dengan  sistem  koordinat  horison  (Altitude, Azimuth):

Referensi

Dokumen terkait

Kajian yang penulis paparkan pada tugas akhir ini adalah studi komparasi kinerja bentuk lambung kapal kayu tradisional dengan bentuk lambung metode formdata,

Kesimpulan penelitian adalah (1) Terdapat interaksi rata-rata prestasi belajar matematika siswa antara bentuk tes dengan motivasi belajar siswa sebesar (0,001 &lt; 0,05) (2)

Jadi pembelajaran matematika pada era modern ini sangat tergantung kepada kualifikasi, partisifasi dari guru sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan untuk

[r]

Materi pembelajaran tentang pengaruh keunggulan lokasi terhadap kegiatan komunikasi menuntut siswa untuk berdiskusi bersama teman semejanya agar mereka mengetahui alat-alat

Pemberontakan yang dilakukan ini sebenarnya bisa dikatakan bersifat kolektif karena pada masa Junta Militer, tidak hanya warga Muslim Rohingya yang angkat senjata

Setiap kali bila kredit-manipulasi, seperti dimaksud dalam dan dihitung menurut Pasal IV Perjanjian Perhubungan Pembayaran, tertanggal 1 April 1950, dilampaui dan De Nederlandse

Misalnya, berkenalan, berkomunikasi, mengumpul maklum balas pelanggan (Facebook, Instagram, Ning), mencari kepakaran (Google Scholar, LinkedIn), menyediakan