• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Faktor-Faktor Strategis dan Pengaruhnya terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala

5.3.2 Faktor Internal Kelemahan (Weakness)

Kinerja usaha kayu rakyatpun dapat dipengaruhi oleh kelemahan-kelemahan yang secara internal ada pada petani. Dibandingkan dengan faktor-faktor kekuatan, maka kelemahan-kelemahan yang ada perlu diketahui agar dapat dilakukan minimalisasi dengan memanfaatkan kekuata-kekuatan yang ada pada petani.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap key informan dan petani diperoleh variabel-variabel kelemahan dari usaha pengembangan hutan rakyat seperti pada Tabel 31. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa variabel yang relatif mempunyai skor paling tinggi, yaitu belum adanya kelembagaan di tingkat petani dengan nilai skor 0.735, sedangkan variabel dengan skor terendah, yaitu daya jangkau ke lokasi pemanenan dengan nilai skor sebesar 0.190.

Tabel 31 Hasil evaluasi variabel faktor internal kelemahan (Weakness)

No Faktor internal (kelemahan) Bobot Rating Skor

1 Belum adanya kelembagaan di tingkat petani 0.184 4.000 0.735

2 Kurangnya pengetahuan dan teknologi 0.156 4.000 0.626

3 Ketergantungan terhadap pedagang 0.163 3.000 0.490

4 Kesulitan memperoleh informasi pasar 0.143 3.000 0.429

5 Belum ada rencana pengelolaan kayu rakyat 0.129 3.000 0.388

6 Belum adanya penanaman kembali 0.129 3.000 0.388

7 Sulitnya akses ke lokasi pemanenan 0.095 2.000 0.190

Jumlah 1.000 3.245

Data pada Tabel 31 mengenai variabel-variabel kelemahan internal pada petani dalam usaha kayu rakyat dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Belum Adanya Kelembagaan di Tingkat Petani

Kelembagaan dan organisasi terkadang sulit untuk dipisahkan secara nyata. Organisasi merupakan suatu struktur mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks yang mengenal dan mengatur aturan-aturan yang beroperasi secara formal dan informal. Suatu organisasi dikatakan telah melembaga apabila organisasi tersebut mendapat status khusus dan legitimasi, karena telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan memberikan harapan normatif bagi masyarkat.

Pengelolaan hutan rakyat pada tingkat petani di Kabupaten Donggala masih dilakukan secara individual. Hal ini terjadi karena belum terbentuknya lembaga di tingkat petani yang berfungsi sabagai pemersatu seluruh petani dalam melakukan aktifitas pengelolaan hutan rakyat. Lembaga yang dimaksud dapat berupa kelompok tani. Kelompok ini diharapkan dapat menjadi media yang berfungsi menampung aspirasi petani, menyamakan persepsi dan media komunikasi antar petani dan kelompok lain di luar petani.

Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala pernah membentuk kelompok tani. Namun, kelompok tani yang dibentuk bukan didasari oleh kemamuan petani tetapi oleh pemerintah. Dorongan pihak pelaksana proyek Gerhan yang mensyaratkan pembentukan kelompok tani merupakan faktor utama terbentuknya kelompok tani. Akibatnya setelah proyek selesai, kelompok tanipun bubar dengan sendirinya. Pembentukan

kelembagaan di tingkat petani hendaknya tumbuh dan hidup di dalam kehidupan masyarakat, yang muncul sebagai reaksi terhadap permasalahan sosial ekonomi yang petani hadapi dalam proses pengelolaan kayu rakyat. Selanjutnya dengan kesadaran akan pentingnya suatu kelembagaan tersebut maka lembaga yang terbentuk akan bertahan dengan baik.

Pemahaman yang kurang akan manfaatnya kelompok tani, membuat para petani melakukan kegiatan pemanenan dan pemasaran kayu rakyatnya secara bebas. Padahal keberadaan lembaga seperti kelompok tani yang tumbuh atas kesadaran akan pentingnya kesamaan visi, sangat perlu sebagai media tukar menukar informasi mengenai kegiatan pengembangan hutan rakyat yang selama ini dilakukan petani.

Berkaitan dengan kebijakan pengelolaan hutan rakyat, pemerintah desa belum berfungsi sebagai media penampung informasi dan aspirasi terkait pengelolaan hutan rakyat untuk disampaikan kepada pemerintah. Pemerintah desa belum pernah menyampaikan kepada pemerintah kecamatan dan kabupaten, tentang ketidak sepadanan informasi mengenai harga kayu yang sebenarnya di tingkat petani, atau terjadi pungutan liar saat melakukan penjualan kayu. Hal ini bisa dimaklumi karena lembaga ini selain tidak mempunyai kewajiban, pemerintah desa lebih berfungsi untuk menyampaikan kebijakan pemerintah kepada masyarakat dan cenderung tidak menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah.

Pada dasarnya masyarakat menyadari pentingnya saling kerjasama dalam kelompok dan menyatukan sikap dan pendapat, khususnya ketika berhadapan dengan pengusaha/pembeli kayu dalam menegosiasi harga yang disadari pula masih sangat rendah. Walaupun motivasi untuk membentuk suatu kelompok cukup besar, tetapi diperlukan waktu yang lama untuk membentuk lembaga di tingkat petani yang kuat dan mandiri. Hal ini disadari membutuhkan waktu dan tenaga serta pikiran yang jauh melebihi waktu yang tersedia untuk satu kali periode penelitian.

b.Kurangnya Pengetahuan dan Teknologi dalam Pengolahan Kayu

Umumnya masyarakat yang berada di lokasi penelitian memiliki pengetahuan yang terbatas dalam pengolahan kayu. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk menginventarisasi potensi kayu, cara mengolah kayu hasil tebangan secara efisisen dan efektif dengan memperhatikan azas kelestarian hasil dan azas kelestarian ekonomi dengan menggunakan teknologi yang memadai. Selanjutnya, karena keterbatasan pengetahuan dalam menentukan kubikasi maka umumnya dalam penentuan kubikasi dilakukannya dengan setelah pohon hasil tebangan diubah bentuk menjadi squere log. Walaupun ini dilakukan atas dasar pengalaman petani, namun hal ini dapat berakibat pada pohon yang dijual umumnya memiliki ukuran yang lebih dibanding dengan yang sebenarnya.

Masyarakat menyadari bahwa mereka harus mengelolah hutan untuk mendapatkan kayu dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang memadai, sehingga usaha kayu rakyat bisa berlangsung secara kontinyu. Namun kenyataannya mereka belum memiliki pengetahuan yang memadai dan keterampilan teknis yang baik, tentang cara mengelolah hutan agar fungsi kelestarian dapat terjamin sejalan dengan fungsi ekononi yang mereka peroleh dari usaha kayu rakyat.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, setelah melakukan penebagan pohon masyarakat hanya mengambil batang pohon utama. Batang tersebut selanjutnya dipacak dengan menggunakan kampak, sedangkan bagian-bagian pohon yang lain dibiarkan begitu saja. Sisa-sisa bagian pohon yang lain belum dimanfaatkan untuk kebutuhan kayu bakar dan pembuatan arang, yang sesungguhnya telah memiliki pasar tersendiri. Kondisi seperti ini akan mempengaruhi efisiensi dalam pemanfaatan kayu hasil panen. Selain itu, sistem penebangan yang dilakukan adalah tebang butuh yang belum diikuti dengan penanaman kembali, dapat mengancam kelestarian lingkungan dan usaha dalam jangka panjang.

c. Ketergantungan terhadap Pedagang

Petani hutan rakyat yang ada di Kabupaten Donggala umumnya masih tergantung kepada pedagang. Hal ini terjadi karena umumnya petani hutan rakyat adalah petani miskin modal. Karena itu, ketergantungan petani kepada pemodal berdampak pada penentuan harga kayu tidak mutlak dilakukan oleh petani, tetapi atas kesepakan kedua belah pihak.

Sebagian petani hutan rakyat telah menerima persekot/pembayaran di muka saat mereka membutuhkan uang untuk keperluannya. Karena itu posisi petani selalu menjadi yang terlemah dalam proses jual-beli kayu. Oleh karena kelemahan ini merupakan sesuatu yang bersifat sistemik, maka dapat berakibat pada pemanfaatan sumber daya kayu rakyat secara berlebihan yang tidak seimbang dengan pendapatan yang diperoleh petani hutan rakyat.

Dengan demikian hal tersebut merupakan suatu kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat karena peran petani menjadi sangat kecil jika dibandingkan dengan pedagang/pembeli kayu.

d. Kesulitan Memperoleh Informasi Pasar

Para petani hutan rakyat selalu mengalami kesulitan untuk memperoleh informasi pasar yang sesungguhnya. Informasi mengenai harga kayu umumnya dikuasai oleh pembeli dan atau broker kayu. Karena itu informasi mengenai harga kayu bersifat asimetrik informasi, sehingga petani hanya sebagai pengambil harga (price taker). Hal ini dapat berdampak langsung terhadap kesejahteraan petani hutan rakyat. Menurut Sundawati (2007b) bahwa kesejahteraan petani yang masih relatif rendah diantaranya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a) terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan; b) struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi tawar petani yang lemah; dan c) masih terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi. Oleh sebab itu, diperlukan intervensi pemerintah dalam memberikan informasi pasar kepada petani secara berkala, agar petani mendapatkan informasi yang memadai tentang harga kayu sebenarnya (Hardjanto 2003). Hal ini akan sangat berguna bagi petani ketika melakukan negosiasi harga dengan pembeli.

e. Belum Ada Rencana Pengelolaan di Tingkat Petani.

Petani pengelolah hutan rakyat di Kabupaten Donggala belum membuat suatu rencana pengelolaan hutan secara holistik . Rencana ini diharapkan menjadi acuan bagi petani untuk mengelolah hasil hutan kayu rakyat dengan memperhatikan azas kelestarian hasil dan azas kelestarian usaha. Rencana pengelolaan yang dimaksud disini adalah meliputi kegiatan perencanaan, penataan areal dan pengaturan produksi untuk satuan luasan tertentu yang kemudian dituangkan dalam rencana tahunan, jangka menengah dan jangka panjang.

Berdasarkan rencana yang telah dibuat, maka petani dapat melakukan pemungutan kayu rakyat secara kontinyu dalam periode waktu tertentu. Perencanaan tersebut harus juga memperhatikan aspek pembinaan hutan yang meliputi pemeliharaan tegakan tinggal, dan penanaman kembali sesuai dengan kebutuhan.

Menurut Osmaston (1968) dalam Suhendang (1999) bahwa sistem silvikiultur yang dapat diterapkan dalam hutan tidak seumur adalah sistem tebang pilih yang dapat dikelompokkan ke dalam tebang pilih kelompok (group selection) dan tebang pilih murni (true or single tree selection). Perbedaan kedua kelompok tebang pilih ini terletak pada ukuran luas kesatuan pengelolaan hutan terkecilnya. Pada sistem tebang pilih murni yang luasnya sangat kecil (< 0.5 ha), sedangkan sistem tebang pilih kelompok berukuran lebih besar, yaitu sekitar 2.5 ha atau bahkan lebih. Dalam sistem silvikultur ini penebangan setiap tahunnya dapat dilakukan secara tersebar dalam seluruh areal hutan.

f. Belum Adanya Penanaman Kembali

Berdasarkan hasil survey di lapangan diketahui bahwa umumnya petani belum melakukan penanaman kembali pada areal bekas tebangan. Petani lebih memilih untuk memelihara tegakan tinggal yang ada di lahan mereka bersamaan dengan tanaman perkebunan lainnya seperti coklat dan durian. Hasil wawancara menunjukkan bahwa masyarakat lebih berminat untuk menanam tanaman jenis lainnya, seperti jati dan gmelina di lahan mereka masing-masing secara homogen tanpa disertai dengan jenis tanaman umur pendek yang lain. Tidak adanya penanaman kembali pada areal yang telah ditebang, merupakan suatu kelemahan

karena akan mempengaruhi kontiunitas sediaan kayu dalam kelompok diameter tertentu pada periode waktu yang akan datang.

Dengan demikian perlu adanya kegiatan penyadaran kepada masyarakat pengelolah hutan rakyat agar dapat melakukan penanaman kembali pada areal yang telah ditebang. Kegiatan tersebut berupa penyuluhan secara periodik yang dilakukan oleh instansi teknis terkait, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala dan BPDAS Palu-Poso.

g. Sulitnya Akses ke Lokasi Pemanenan

Para petani hutan rakyat yang hendak memungut hasil kayu rakyatnya, harus menempuh jarak yang cukup jauh dengan berjalan kaki menuju ke lokasi penebangan. Sarana transportasi darat umumnya hanya sampai pinggir lahan masyarakat. Di samping itu, topografi hutan rakyat yang umumnya tidak rata menjadi kendala tersendiri saat melakukan pengangkutan kayu dari lokasi penebangan ke tempat penimbunan kayu atau dalam bahasa setempat di sebut TO (tempat oto). Hal ini tentu berdampak langsung pada produktifitas dari petani dalam pemungutan kayu rakyat, karena harus membutuhkan tenaga kerja dan biaya yang banyak agar kayu hasil penebangan bisa sampai ke tempat penimbunan.

Pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.16/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak, pada pasal 13 ayat (2) mengatakan bahwa pada hutan hak yang berfungsi konservasi agar pemanfaatannya berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan. Apabila pemanfaatan hutan hak tidak memperhatikan fungsi konservasi dari hutan hak tersebut, dikuatirkan akan berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan yang dapat berimplikasi pada penurunan kualitas dan produktivitas dari hutan rakyat. Oleh sebab itu, diperlukan pertimbangan–pertimbangan secara ekologis dari Pemda sebelum menerbitkan ijin pemanfaatan hutan hak untuk pemungutan hasil kayu pada areal hutan hak yang memiliki topografi yang berat.

Dengan demikian sulitnya akses ke lokasi penebangan dapat merupakan kelemahan secara ekonomis dan ekologis. Hal ini menuntut kearifan pemilik hutan hak dalam memungut hasil hutan yang berasal dari lahan miliknya, dengan

sungguh-sungguh mempertimbangkan fungsi konservasi dari lahan yang memiliki topografi berat tersebut.