• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Pengembangan Tanaman Jati

Jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Tumbuhan yang dikenal sebagai kayu komersial bermutu tinggi ini, termasuk dalam suku Verbenaceae. Daerah sebaran asli dari jati meliputi India, Myanmar, dan Thailand. Jati pertama kali ditanam di Indonesia (di Pulau Jawa) diperkirakan pada abad ke 2 Masehi, yang dilakukan oleh para penyebar agama Hindu. Saat ini jati telah dikenal secara luas dan dikembangkan oleh pemerintah, swasta, dan petani. Tanaman ini telah banyak dikembangkan, bahkan di beberapa tempat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan tradisional masyarakat.

Di Indonesia, tanaman jati secara khusus berpotensi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, pedagang, dan industri pengolahan. Secara umum berperan dalam pembangunan daerah dan nasional. Kayu jati dan hasil olahannya memiliki wilayah pemasaran yang luas, di luar maupun di dalam negeri. Tanaman jati memiliki masa tebang yang panjang sehingga memiliki fungsi lingkungan dalam pengaturan tata air (hidrologi) dan iklim lokal. Kualitas kayunya yang tinggi, memungkinkan hasil olahannya untuk digunakan dalam jangka waktu yang lama. Hampir seluruh bagian dari tanaman jati dapat dimanfaatkan, bahkan salah satu jenis ulatnya (Hyblaea puera) di beberapa daerah menjadi makanan sumber protein yang disukai masyarakat (Pramono AA. et al.

2010)

Pengelolaan hutan jati rakyat umumnya dilaksanakan secara tradisional, sehingga mutu dan jumlah kayu yang dihasilkan masih rendah. Petani masih sulit memperoleh informasi teknis tentang pengelolaan jati, sehingga teknik yang benar belum banyak diterapkan di hutan rakyat. Informasi tentang pengelolaan jati yang

tersedia saat ini kebanyakan masih ditulis dalam bahasa yang ilmiah, sehingga sulit dipahami, kurang menarik dan kurang praktis untuk petani. Di samping itu pula, terbatasnya akses untuk mendapatkan informasi yang tepat guna dalam budi daya jati menyebabkan belum maksimalnya produktifitas jati secara umum, khususnya di luar P. Jawa.

Peningkatkan mutu hutan jati rakyat yang baik dapat dilakukan dengan cara penerapan teknik budi daya (silvikultur) yang baik, dimulai dari pemilihan benih, pembibitan, penanaman, pemeliharaan sampai pemanenan. Teknik pengelolaan jati yang diperlukan adalah teknik yang tidak memerlukan biaya mahal dan sederhana sehingga mudah untuk dilaksanakan oleh petani. Nilai jual pohon jati ditentukan oleh kualitas pohon yang dicirikan dengan: ukuran dan kelurusan batang, tinggi batang bebas cabang, kelurusan serat kayu, dan ada tidaknya cacat kayu. Perlakuan silvikultur yang tepat akan mampu meningkatkan mutu pohon jati sehingga meningkatkan nilai jualnya. Perlakuan-perlakuan silvikultur yang dimaksud menurut Pramono et al. (2010) yaitu: a) penggunaan bibit unggul sehingga akan menghasilkan pohon yang tumbuh cepat dan berbatang lurus; b) pemangkasan cabang (pruning) pada saat jati berumur muda akan menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu, dan batang bebas cabang tinggi; c) penjarangan (thinning) akan mengurangi persaingan antara pohon dalam memperoleh makanan (hara) dari tanah dan cahaya, sehingga mempercepat pertumbuhan diameter batang; dan d) pemupukan pada tanaman jati akan mempercepat pertumbuhan sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar. Selain itu, diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit agar menjamin pohon tumbuh sehat dan normal sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar dan bebas dari cacat.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini pengembangan pohon jati tidak hanya dilakukan secara generatif tetapi juga melalui cara vegetatif. Usaha pengembangan pohon jati dengan cara vegetatif dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan mutu benih yang sama dengan induknya. Salah satu cara yang dikembangkan adalah dengan sistem kultur jaringan. Untuk mendapatkan sifat fisiologis yang sama maka diperlukan pohon induk jati yang memiliki pertumbuhan yang baik. Pohon induk jati berasal dari

hasil seleksi terbaik dari klon unggul yang sudah teruji di lapangan. Perbanyakan bibit dilakukan dengan teknologi kultur jaringan sehingga mutu bibit dapat dijamin sesuai dengan induknya (true to type), sehat dan seragam (Sumarni et al.

2009)

Masyarakat umumnya telah memanfaatkan bibit jati yang berasal dari pengembangbiakan dengan sistem kultur jaringan. Jati hasil kultur jaringan memiliki keunggulan-keunggulan jika dibandingkan dengan jati yang dikembangkan secara generatif (tradisional). Beberapa ciri yang merupakan keunggulannya, yaitu 1) pertumbuhan batang yang lebih cepat dan lurus; 2) jati ini lebih proporsional antara pertambahan tinggi dan diameternya; 3) lebih keras sehingga tidak mudah patah saat terjadi angin kencang; dan 4) daun jatinya relatif lebih kecil, tapi lebih tebal dan posisi tegak (tidak terkulai). Bentuk seperti ini mendukung ketahanan tanaman terhadap kekeringan (penguapan air lebih efisien). Ukuran daun yang terlalu lebar dan tipis pada jati lain akan mudah mengalami stres air dan kering (mempercepat kerontokan daun) terutama pada saat musim kemarau.

Agar dapat memberikan penghasilan yang maksimal sebaiknya pohon jati ditebang jika: a) telah cukup dewasa untuk menghasilkan kayu berkualitas baik, minimal pohon telah berumur sekitar 15-20 tahun; dan b) harga kayu sedang tinggi. Untuk menentukan volume pohon berdiri maka dapat dihitung dengan menggunakan tabel volume jati, yang disesuaikan dengan kualitas lahan tempat jati ditanam. Pengukuran diameter batang (Dbh) diukur dari batang setinggi dada (130 cm). Selanjutnya untuk perhitungan volume batang kayu/log dapat dilakukan dengan menghitung rata-rata luas bidang dasar pangkal dan ujung dan dikalikan dengan panjang batang, dengan menggunakan rumus:

V= (¼ x

π

x dp²) + (¼ x

π

x du²) x 1/2 x P Keterangan : V = Volume batang

π

= 3.14 dp = Diameter pangkal du = Diameter ujung P = Panjang batang

2.4Pemasaran

Pemasaran berhubungan dengan mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat. Salah satu dari definisi terpendek dari pemasaran adalah memenuhi kebutuhan manusia secara menguntungkan (Kotler

et al. 2009). Pemasaran adalah suatu sistema keseluruhan dari kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Fuad et al. 2005).

Pemasaran atau marketing merupakan semua kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar arus barang atau jasa dari produsen ke konsumen secara paling efisien dengan maksud untuk menciptakan permintaan efektif. Defenisi tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemasaran bukanlah semata-mata kegiatan untuk menjual barang atau jasa, sebab kegiatan sebelum dan sesudahnya juga merupakan suatu kegiatan pemasaran.

Pemasaran pada prinsipnya merupakan aliran barang dari produsen ke konsumen dan aliran pemasarn ini terjadi karena adanya lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran ini sangat tergantung dari sistema pemasaran yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Oleh karena itu kita mengenal saluran pemasaran (marketing chanel). Lembaga pemasaran memegang peranan penting dan juga menentukan dalam saluran pemasaran (Soekartiwi 1989). Dalam pemasaran barang/jasa dibutuhkan suatu sistema pemasaran yang efisien. Sistem pemasaran dikatakan efisien apabila memenuhi dua syarat (Mubyarto 1989) yaitu: 1) sampainya barang ke konsumen dengan harga serendah-rendahnya; dan 2) adanya pembagian keuntungan yang adil terhadap setiap pelaku pasar. Efisisensi pemasaran juga ditentukan oleh struktur pasar. Untuk mengetahui struktur pasar tersebut harus dilakukan pengamatan tentang organisasi pasar. Pada dasarnya organisasi pasar secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga komponen sebagai berikut:

a. Struktur pasar (market structure), yaitu karakteristik yang menghubungkan antara para penjual satu sama lain, para penjual dan pembeli, serta hubungan antara para penjual di pasar dengan para penjual potensial yang akan masuk ke

pasar. Unsur-unsurnya adalah tingkat konsentrasi, diferesiansi produk, dan rintangan masuk pasar (Pindyck & Rubinfeld 2008).

b. Perilaku pasar (market conduct) merupakan pola tingkah laku dari lembaga pemasaran dan hubungannya dengan sistema pembentukan harga dan praktek transaksi (penjualan dan pembelian) baik secara horizontal maupun vertikal. c. Keragaan pasar (market performance) yaitu bagaimana pengaruh struktur

pasar dan perilaku pasar yang berkenaan dengan harga, biaya dan volume produksi. Ketiga komponen tersebut di atas merupakan konsep yang dipakai sebagai dasar untuk análisis suatu pasar.

2.5 Kelembagaan

Kelembagaan sesungguhnya bukanlah merupakan kata yang asing dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun dalam mendefenisikan kelembagaan dalam kehidupan nyata amat sulit, bahkan terkadang rancu dengan istilah organisasi. Tidak dipungkiri bahwa organisasi merupakan bagian dari kelembagaan, namun kelembagaan tidak semata-mata organisasi. Kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan (Nugroho 2003). Kelembagaan juga merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak pemilikan, aturan representasi atau batas yurisdiksi dari masing-masing pihak (Lane 2003).

Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti organisasi pemerintah, bank, koperasi, pendidikan dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan, sedangkan aturan main merupakan perangkat lunaknya. Karena itu, masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk membangun kelembagaan secara utuh, termasuk mengidentifikasi kemitraan yang terjadi, kontrak yang melandasi kemitraan, principalagents relationship, property rights, collectibve action dan lain-lain (Ostrom et al.1993).