• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Faktor-Faktor Strategis dan Pengaruhnya terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala

5.2.1 Aspek Produksi Kayu Rakyat

5.2.2.1 Pola Pemasaran dan Rantai Tataniaga

Tataniaga umumnya diartikan sama dengan pemasaran, yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa barang dari produsen ke konsumen. Menurut Mubyarto (1987) tataniaga adalah segala sesuatu yang menyangkut aturan permainan dalam perdagangan barang-barang. Pengertian tersebut memberi gambaran bahwa fungsi dan peran tataniaga adalah agar konsumen/pembeli memperoleh barang-barang yang diinginkan pada waktu, tempat, dan harga yang tepat.

Pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala merupakan sesuatu yang spesifik. Petani umumnya menjual kayunya dalam bentuk kayu bulat. Penentuan harga per kubikasinya didasarkan pada perhitungan volume kayu saat sebelum diubah bentuknya menjadi squere log. Saluran pemasaran dapat diartikan sebagai suatu jalur yang dilewati oleh arus barang-barang, aktivitas dan informasi dari produsen sampai ke konsumen (Setyaningsih 2003). Pada pemasaran kayu rakyat di Donggala, saluran pemasaran kayu rakyat yang dilalui dari petani sampi ke konsumen adalah seperti pada Gambar 9.

Gambar 9 Pola pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala

Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa pola pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala secara umum ada 2 (dua) macam saluran, yaitu :

a. Petani – Pedagang Perantara – Industri Kayu b. Petani – Industri kayu .

Analisis margin pemasaran kayu rakyat pada saluran pertama disajikan pada Tabel 23. Petani Hutan Rakyat Pedagang Perantara Industri kayu

Tabel 23 Analisis margin pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala pada pola pemasaran pertama

Pola tataniaga N Kelompok Meranti Kelompok Rimba campuran

Harga (Rp/m³) Margin (Rp/m³) Harga (Rp/m³) Margin (Rp/m³)

Petani 35 1 350 000 1 250 000

350 000 300 000

Pedagang perantara 8 1 700 000 1 550 000

400 000 200 000

Industri Kayu 7 2 100 000 1 750 000

Tabel 23 menunjukkan bahwa margin pemasaran untuk kelompok meranti sebesar Rp 750 000, sedangkan untuk rimba campuran sebesar Rp 500 000. Margin pemasaran untuk kelompok meranti antara petani dan pedagang perantara lebih kecil, dibandingkan dengan margin pemasaran antara pedagang perantara dan industri kayu. Di samping itu margin pemasaran untuk kelompok rimba campuran antara petani dan pedagang perantara lebih besar, dibandingkan dengan margin pemasaran antara pedagang perantara dan industri kayu. Hal ini menunjukkan bahwa, tingkat peminatan konsumen terhadap kayu kelompok meranti lebih tinggi dibandingkan dengan kayu kelompok rimba campuran. Selanjutnya untuk melihat persentase margin keuntungan maka dilakukan analisis margin keuntungan. Data hasil analisis margin keuntungan selengkapnya seperti pada Tabel 24.

Tabel 24 Analisis margin keuntungan pola tataniaga kayu kelompok meranti dan rimba campuran pada pola pemasaran pertama

Pola tataniaga N

Biaya Harga Harga Biaya Margin Nilai

Penebangan Pembelian Penjualan Tataniaga Keuntungan Margin (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (%) Kel. Meranti Petani 35 1 050 000 1 350 000 100 000 200 000 14.81 P.Perantara 8 1 350 000 1 700 000 100 000 250 000 14.71 Industri kayu 7 1 700 000 2 100 000 Kel.Ricam. Petani 35 1 050 000 1 250 000 100 000 100 000 8.00 P.Perantara 8 1 250 000 1 550 000 100 000 200 000 12.90 Industri kayu 7 1 550 000 1 750 000

Pada pola pemasaran ini, margin keuntungan kayu kelompok meranti dan rimba campuran berada dibawah 50% dengan biaya produksi di atas 50%, bila dibandingkan dengan harga yang harus dibayar konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa harga di tingkat petani berbeda jauh dengan konsumen akhir. Selanjutnya,

untuk jenis kayu kelompok meranti, petani mendapat pembagian keuntungan lebih besar dari pedagang perantara (14.81%). Hal ini karena petani tidak mengeluarkan biaya tataniaga. Sebaliknya untuk jenis kayu rimba campuran, petani mendapat keuntungan lebih kecil dibandingkan dengan pedagang perantara (8.00%). Hal ini karena terdapat selisih harga kayu, yaitu kayu jenis meranti lebih mahal Rp 100 000/m³ dibandingkan dengan harga kayu rimba campuran. Selain itu biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang perantara untuk penjualan kayu jenis rimba campuran lebih kecil dibandingkan dengan penjualan kayu jenis meranti.

Walaupun demikian, petani belum mendapatkan pembagian keuntungan yang dianggap layak karena hanya memperoleh keuntungan sebesar 14.81% untuk kayu rakyat jenis meranti dan 8.00% untuk kayu jenis rimba campuran. Karena itu pola ini tidak efisien bagi petani, karena petani hanya menerima keuntungan di bawah 50%. Selanjutnya analisis margin pemasaran kayu rakyat pada pola pemasaran kedua, selengkapnya seperti pada Tabel 25.

Tabel 25 Analisis margin pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala pada pola pemasaran kedua

Pola Tataniaga N Kelompok Meranti Kelompok Rimba campuran

Harga (Rp/m³) Margin (Rp/m³) Harga (Rp/m³) Margin (Rp/m³)

Petani 35 1 350 000 1 250 000

750 000 500 000

Industri Kayu 7 2 100 000 1 750 000

Tabel 25 menunjukkan bahwa, pada saluran kedua para petani langsung menjual kayunya ke industri kayu tanpa melalui pedagang perantara. Sesuai dengan analisis margin pemasaran pada pola ini, margin untuk kelompok meranti sebesar Rp750 000/m³ dan kelompok rimba campuran sebesar Rp 500 000/m³. Selanjutnya untuk mengetahui margin keuntungan maka dilakukan analisis seperti pada Tabel 26.

Tabel 26 Analisis margin keuntungan tataniaga kayu rakyat di Kabupaten Donggala pada pola pemasaran kedua

Pola tataniaga N

Biaya Harga Harga Biaya Margin Nilai

Penebangan Pembelian Penjualan Tataniaga Keuntungan Margin (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (Rp/m³) (%) Kel. Meranti Petani 35 1 050 000 1 350 000 100 000 200 000 14.81 Industri kayu 7 1 350 000 2 100 000 150 000 600 000 28.57 Kel.Ricam. Petani 35 1 050 000 1 250 000 100 000 100 000 8.00 Industri kayu 7 1 250 000 1 750 000 150 000 350 000 20.00

Seperti pada pola pemasaran pertama, pada pola kedua produsen mendapat keuntungan sebesar Rp 200 000/m³ untuk kelompok meranti dan Rp 100 000/m³ untuk rimba campuran. Namun demikian, berdasarkan analisis margin keuntungan pada pola ini petani memiliki margin keuntungan di bawah 50%, yaitu 14.81% untuk kelompok jenis meranti dan 8.00% untuk kelompok jenis rimba campuran. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan margin keuntungan pihak industri kayu yang memiliki nilai margin sebesar 28.57% untuk kelompok meranti dan 20% untuk rimba campuran. Sesuai hasil analisis margin keuntungan tersebut, maka petani hutan rakyat belum mendapat pembagian keuntungan yang layak.

Berdasarkan analisis margin pemasaran dan margin keuntungan pada kedua pola tersebut menunjukkan bahwa, pada tingkat petani tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pola pemasaran pertama dan kedua. Hal ini karena harga jual kayu di tingkat petani pada kedua pola tersebut tidak pernah berubah atau tetap. Para pembeli baik dari pedagang perantara ataupun dari pihak industri selalu membeli dengan harga yang sama. Pada Tabel 24 dan 26 terlihat bahwa nilai margin tataniaga tertinggi mencapai 14.81% untuk kelompok jenis meranti dan 8.00% untuk rimba campuran. Walau demikian, besar kecilnya nilai margin tersebut belum sepenuhnya menggambarkan tingkat efisiensi sistem tataniaga.

Berdasarkan wawancara mendalam dengan petani hutan rakyat, bahwa ketergantungan mereka terhadap pedagang (pemilik modal) sangat tinggi. Petani juga memiliki keterbatasan akses terhadap informasi pasar dan harga kayu. Hal lain yang dapat diketahui pada proses penjualan kayu rakyat, yaitu pada saat melakukan pengukuran terhadap kayu yang akan dijual, maka petani diminta untuk memberi ukuran lebih pada setiap sortimen yang melebihi toleransi ukuran

yang diperkenankan. Kelebihan ukuran ini akan mempengaruhi volume kayu yang dijual, yaitu terdapat penambahan sekitar 10% per kubikasi. Sehingga dalam setiap 1 m³ terdapat kelebihan sekitar 0.1 m³, atau setiap membeli 10 m³ kayu maka pembeli akan memperoleh tambahan 1 m³.

Dengan demikian posisi petani dalam rantai tataniaga umumnya yang terlemah. Hal ini menjadi persoalan yang belum terpecahkan dengan adil bahkan cenderung menjurus menjadi suatu dilema. Dengan kata lain posisi tawar petani cenderung lemah. Hal ini selaras dengan Sundawati (2007a), bahwa dalam pemasaran produk agroforestry seperti produk kehutanan, seringkali petani berada pada posisi yang terlemah. Hal ini terutama berkaitan dengan karakteristik petani hutan rakyat yang nota bene merupakan petani kecil. Karena itu bentuk perdagangan yang adil (fair trade) untuk produk agroforestry umumnya, dan khusus kayu rakyat hampir tidak terwujud.

5.2.2.2Proses Peredaran dan Tataniaga Kayu Hutan Rakyat

Peredaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala sering mengalami berbagai hambatan terutama dalam pemasarannya. Pada proses pemasaran yang menjadi permasalahan adalah harga kayu dan banyaknya pungutan liar dalam pemasaran. Hasil wawancara terhadap para pedagang menunjukkan bahwa umumnnya terdapat pungutan tidak resmi saat melakukan pengakutan kayu rakyat yang besarannya bervariasi. Proses peredaran dan tataniaga kayu hutan rakyat berdasarkan daerah pembeli kayu seperti pada Tabel 27.

Tabel 27 Persentase pembelian kayu berdasarkan daerah asal pembeli kayu

Daerah Asal pembeli kayu

Persentase (%) pembelian kayu per industri

Total

Kecil Sedang Besar

<2000m³ 2001-6000m³ >6000m³

Luar Kecamatan dalam Kabupaten 46.15 0.00 0.00 46.15

Luar Kabupaten dalam Provinsi 36.80 12.30 0.00 49.17

Luar Provinsi 0.00 0.00 4.68 4.68

Jumlah 82.95 12.37 4.68 100.00

Tabel 27 menunjukkan bahwa daerah asal pembeli kayu hutan rakyat yang berasal dari luar kabupaten dalam provinsi memiliki persentase tertinggi, yaitu sebesar 49.17%, kemudian diikuti pembeli dari luar kecamatan dalam kabupaten sebesar 46.15% dengan kapasitas terpasang <2000m³. Selain itu pembeli kayu dari luar provinsi sebanyak 4.6% dan merupakan industri kayu dengan kapasitas terpasang >6000 m3. Kenyataan seperti di atas menampilkan bahwa sesungguhnya kayu rakyat telah berperan dalam menunjang pasokan bahan baku industri kayu, terutama industri kayu dengan kapasitas menengah ke bawah. Selanjutnya penentuan harga kayu rakyat seperti pada Gambar 10.

Gambar 10 Para pihak yang menentukan harga jual kayu rakyat

Gambar 10 menunjukkan bahwa dalam proses transaksi kayu rakyat penentuan harga jual sebagian besar (57.1%) ditetapkan oleh kedua belah pihak (petani dan pedagang) melalui proses tawar menawar. Untuk menetapkan harga dasar kayu umumnya petani secara mandiri mencari informasi harga pada oknum petugas kehutanan. Namun demikian, umumnya petani menentukan harga kayu didasarkan pada biaya operasional yang dikeluarkan. Hal ini dilakukan dengan cara penetapan harga sebesar 10-20% dari biaya operasional yang telah dikeluarkan. Selanjutnya pola penjualan kayu hutan rakyat terbanyak umumnya terjadi pada bulan Juni-Juli, yaitu pada saat masuk sekolah. Hal ini karena pada bulan tersebut petani membutuhkan biaya untuk keperluan anak sekolah. Sebaliknya penjulan terendah pada bulan Nopember–Januari oleh karena pada bulan tersebut mulai memasuki musin penghujan. Kegiatan penjualanpun akan

meningkat apabila ada kebutuhan mendesak untuk kepentingan pesta atau menjelang bulan puasa.

5.2.2.3Struktur Pasar (Market Structure)

Jumlah pembeli kayu, sifat produk, hambatan masuk, intergrasi vertikal dan diversifikasi adalah indikator sederhana dari struktur pasar. Menurut Bain (1959) dalam Hardjanto (2003), struktur pasar adalah karakteristik organisasi pasar yang secara strategis berpengaruh terhadap sifat kompetisi dan pembentukan harga di pasar yang bersangkutan. Unsur-unsur struktur pasar dapat dibedakan dalam empat ciri, yaitu tingkat konsentrasi penjual, tingkat konsentrasi pembeli, sifat kekhasan produk dan hambatan berusaha (barrier to entry).

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden, bahwa para petani pemilik kayu rakyat melakukan penjualan kayunya secara bebas dan bersifat individual. Para petani belum melakukan kerjasama baik sebagai suatu kelompok tani atau yang bersifat paguyuban. Para petani memiliki kebutuhan ekonomi yang berbeda-beda. Hal ini yang mendorong mereka untuk melakukan penjualan secara bebas. Di samping itu sebanyak 28.6% dari responden mengungkapkan bahwa umumnya mereka telah menerima persekot terlebih dahulu saat mereka membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak. Tidak adanya kerjasama antar petani menyebabkan petani bukan sebagai satu-satunya penentu utama akan harga kayu. Harga kayu ditentukan berdasarkan kesepakan antar petani dan pedagang. Hal ini selaras dengan Hardjanto (2003), bahwa ketiadaan kerja sama dan informasi pasar pada level petani (penjual) menyebabkan petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat, sehingga petani cenderung hanya sebagai pengambil harga (price taker). Dengan demikian tidak terjadi konsentrasi penjual pada pasar pohon berdiri.

Purnama (2001) dalam Trison (2007) mendefinisikan pedagang

(merchant) sebagai perantara yang membeli, memiliki hak atas barang, dan

menjual kembali barang dagangannya. Pada pasar produk kayu rakyat di Kabupaten Donggala, para pedagang perantara yang selalu mendatangi petani untuk membeli pohon dari petani. Sering para pedagang perantara menawarkan persekot terlebih dahulu kepada petani. Apabila harganya cocok maka petani akan

menerima persekot. Para pedagang perantara melakukan kegiatannya secara bebas dan cenderung terdapat persaingan antar pedagang tersebut dalam memperoleh kayu rakyat dari petani. Hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan para pedagang, dapat disimpulkan bahwa setiap pedagang telah memiliki wilayah yang dikuasainya. Hal ini ditandai dengan adanya pemberian persekot terlebih dahulu kepada para petani yang membutuhkan uang. Dengan demikian tidak terdapat konsentrasi pembeli pada satu tempat.

Selanjutnya, umumnya hasil kayu rakyat di wilayah penelitian yang diproduksi untuk dijual berupa kayu dari kelompok meranti dan rimba campuran (Tabel 13). Kayu-kayu dari kedua kelompok tersebut umumnya memiliki kualitas yang sama dan memiliki pasar tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada sifat kekhasan produk dari masing-masing petani sehingga tidak terjadi deferensiasi produk. Dengan demikian tidak terdapat pola perilaku dan keragaan pasar yang berbeda. Di samping itu, dalam usaha kayu rakyat di Kabupaten Donggala tidak terjadi hambatan berusaha. Hal ini karena tidak adanya deferensiasi produk oleh petani tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa umumnya perusahaan yang ada berupa industri penggergajian kayu. Pada tingkat petani tidak terjadi persaingan yang menyebabkan pihak tertentu mendominasi pihak lain. Masing-masing petani secara bebas memanfaatkan kayu yang ada di lahan miliknya. Oleh karena itu, maka ke depan pengembangan usaha kayu rakyat masih sangat mungkin untuk di tingkatkan dari sisi luasan maupun jenis.

Dengan demikian, sesuai data yang ada maka struktur pasar kayu rakyat di Kabupaten Donggala menunjukkan kekuatan monopsoni lokal (Pindyck & Rubinfeld 2008). Akibatnya distribusi manfaat cenderung hanya kepada pembeli kayu sebagai monopsonis. Selanjutnya para petani belum memiliki kemampuan apapun untuk merubah pasar, karena umumnya tidak ada kerja sama antar mereka, dan keterbatasan modal.