• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Faktor-Faktor Strategis dan Pengaruhnya terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala

5.3.1 Faktor Internal Kekuatan (Strength)

Usaha hutan rakyat di Kabupaten Donggala sampai saat ini masih mengalami berbagai kendala di lapangan. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk pengembangan usaha tersebut, perlu dilakukan inventarisasi potensi yang dimiliki oleh petani. Potensi tersebut yang dimaksud dalam kajian ini, yaitu segala kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam usaha kayu rakyat.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam maka diperoleh variabel-variabel kekuatan internal hutan rakyat. Faktor-faktor kekuatan internal tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja usaha kayu rakyat ke depan. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya baik dari pemerintah sebagai regulator dan petani sebagai mitra untuk memaksimalkan setiap kekuatan internal yang ada. Variabel-variabel yang merupakan kekuatan internal pada petani tersebut seperti pada Tabel 29. Tabel 29 Tabel evaluasi variabel internal kekuatan (Strength)

No Faktor internal (kekuatan) Bobot Rating Skor 1 Terdapat usaha pengembangan HR 0.159 4.000 0.638 2 Dapat dimanfaatkan oleh masyarakat 0.152 4.000 0.609 3 Menambah pendapatan petani 0.203 3.000 0.609 4 Dampak terhadap lingkungan 0.174 3.000 0.522 5 Tersedianya tenaga kerja 0.167 3.000 0.500 6 Adanya partisipasi masyarakat 0.145 3.000 0.435

Jumlah 1.000 3.312

Tabel 29 menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai skor yang relatif paling tinggi ada dua, yaitu terdapat usaha pengembangan hutan rakyat dengan nilai skor 0.638 dan menambah pendapatan petani dengan nilai skor 0.609. Variabel yang mempunyai skor terendah yaitu partisipasi masyarakat dengan nilai skor 0.435. Selanjutnya variabel-variabel kekuatan internal yang ada pada Tabel 21 dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Terdapat Usaha Pengembangan Hutan Rakyat

Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala sebenarnya sudah dimulai sejak 1975, bersamaan dengan berjalannya program reboisasi dan penghijauan yang dicanangkan oleh pemerintah pada waktu itu. Namun tidak adanya pendampingan dari pemerintah secara kontinyu karena sifat kegiatan yang berbasis proyek, dan masih tersedianya dengan melimpah kayu dari hutan alam (saat itu) sehingga hutan rakyat tidak berkembang dengan baik. Situasi ini berlangsung hingga tahun 1999-2000 atau sampai masa reformasi.

Perkembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala tidak terlepas juga dari upaya pemerintah pusat dalam melakukan kegiatan rehabilitasi lahan melalui kegiatan Gerhan. Kegiatan Gerhan yang mulai dicanangkan pada tahun 2004 telah memicu masyarakat dalam memanfaatkan lahan-lahan tidur untuk pengembangan

hutan rakyat. Sebaran informasi melalui kegiatan penyuluhan tentang keberhasilan pengembangan hutan rakyat di daerah Jawa, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan menjadi suatu motivasi tersendiri bagi masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat. Selanjutnya kegiatan Gerhan telah membangun suatu kesadaran baru bagi masyarakat tentang pentingnya hutan baik ditinjau dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi (Aspar 2010).

Peran serta masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat melalui program Gerhan yaitu dalam bentuk kegiatan penanaman, pemeliharaan tanaman, dan penyuluhan/pelatihan. Selanjutnya agar usaha pengembangan hutan rakyat ini dapat terus berlangsung di masyarakat maka hal-hal yang perlu untuk dilakukan oleh pemerintah daerah dalam suatu rencana aksi, yaitu: 1) peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani agar dapat mengadopsi informasi dan teknologi yang ditawarkan; 2) pemberian insentif kepada para petani yang berkomitmen dalam pengembangan hutan rakyat; 3) menjadi fasilitator dalam pembentukan kelembagaan di tingkat petani; dan 4) dapat memberikan jaminan kepastian tidak terdapat pungutan liar dalam proses peredaran kayu, dan lain-lain.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan para petani, umumnya mereka menginginkan kesediaan dari pemerintah untuk terus menyampaikan informasi - informasi penting lainnya terkait dengan usaha hutan rakyat ke depan. Informasi - informasi tersebut berupa informasi harga kayu, bagaimana proses pemasarannya, dimana mendapatkan bibit, dan bagaimana caranya, sehingga ke depan usaha ini terus berkembang.

b. Dapat Dimanfaatkan oleh Masyarakat

Masyarakat yang menetap di pedesaan umumnya sangat menggantungkan hidupnya dengan hutan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tingkat kebutuhan akan kayu untuk bahan bakar dan kayu untuk keperluan ramuan rumah sangat tinggi. Masyarakat di lokasi penelitian umumnya membangun rumah dengan menggunakan kayu sebagai bahan utama. Selain untuk kusen, daun pintu dan rangka bagian atas, kayu juga dimanfaatkan untuk membuat dinding rumah.

Potensi kayu dari hutan alam yang terus menurun dan jauhnya jarak tempuh untuk memperolehnya, mendorong masyarakat untuk memelihara pohon

yang tumbuh di lahan miliknya. Selanjutnya masyarakatpun mulai memanfaatkan lahan tidur untuk menanam jenis pohon jati dan gmelina seiring dengan kebutuhan kayu yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil survey lapangan, kayu gmelina dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membuat daun pintu, jendela, dan juga lemari. Hal ini berarti bahwa kayu rakyat telah memberikan kontribusi yang cukup baik bagi petani, karena mereka dapat memanfaatkannya secara langsung untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masing-masing. Walaupun belum tersedianya data secara akurat tentang penggunaan kayu rakyat oleh petani, namun di lapangan dapat dilihat secara nyata bahwa kebutuhan akan kayu rakyat oleh masyarakat terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.

c. Menambah Pendapatan Petani

Secara ekonomis usaha kayu rakyat dapat meningkatkan pendapatan petani. Sesuai dengan hasil wawancara para petani umumnya memperoleh tambahan penghasilan sebesar Rp 150 000 – Rp 200 000/m3 setiap kali melakukan transaksi. Jika dalam sebulam mereka mampu menjual 5 m3

Berdasarkan hasil observasi di lokasi penelitian, bahwa umumnya petani akan melakukan peningkatan frekwensi penjualan kayu apabila ada permintaan dari konsumen. Selain itu, penjualan kayu semakin bertambah pada musim masuk sekolah dan saat ada hajatan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan harga kayu untuk kelompok rimba campuran rata-rata sebesar Rp 1 250 000/m³, dengan rata-rata biaya operasional sebesar Rp 1 100 000. Pendapatan petani rata-rata-rata-rata sebesar Rp 150 000/m³/bulan, dengan asumsi bahwa dalam sebulan petani hanya melakukan transaksi sebanyak satu kali. Hasil analisis pendapatan petani dari usaha kayu rakyat seperti pada Tabel 30.

maka para petani akan memperoleh tambahan pengahasilan sebesar Rp 750 000 – Rp 1 000 000. Walaupun angka tersebut belum dapat menggambarkan perolehan keuntungan sesuai usaha dan jerih payahnya, Namun hal ini tentu sangat membantu ekonomi rumah tangga para petani.

Tabel 30 Analisis biaya dan pendapatan petani dalam usaha kayu rakyat di Kabupaten Donggala

No Uraian Satuan Nilai

K.Rimba Campuran

1 Produksi 1.00

2 Harga Rp 1 250 000

3 Biaya Operasional

a. Upah tenaga kerja Rp 700 000

b. Konsumsi dan perlengkapan Rp 400 000

4 Penerimaan(1x2) Rp 1 250 000

5 Pendapatan(4-3) Rp 150 000

6 R/C Ratio Rp 1.14

Tabel 30 menunjukkan bahwa usaha kayu rakyat layak untuk dilaksanakan karena nilai R/C Ratio lebih dari satu. Menurut Sugiarto (2005) bahwa jika satu kegiatan usaha mempunyai nilai R/C ratio lebih dari satu, maka usaha tersebut layak untuk dilaksanakan. Nilai R/C ratio kegiatan usaha kayu rakyat adalah sebesar 1.14 yang berarti bahwa dengan pengeluaran biaya operasional oleh petani usaha kayu rakyat sebesar Rp 1 100 000, maka diperoleh penerimaan sebesar Rp 1 250 000. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan petani usaha kayu rakyat sebesar Rp150 000/m³ untuk kayu rimba campuran setiap kali melakukan transaksi. Hal ini dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap perekonomiannya. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa usaha kayu rakyat layak untuk dikembangkan menjadi suatu usaha tetap.

d. Dampak Terhadap Pengaturan Tata Air, Banjir dan Erosi

Hutan dengan segala kekayaannya telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, tidak hanya kayu dan hasil hutan non kayu tetapi juga jasa hutan berupa perlindungan plasma nutfah, rekreasi, penciptaan iklim mikro, pemeliharaan kesuburan tanah serta pengaturan terhadap tata air. Pengembangan hutan rakyat secara ekologis berdampak pada lingkungan hidup. Masyarakat mengakui hal tersebut bahwa mereka secara langsung dapat merasakan kenyamanan, kesejukan, keindahan saat berada disekitar kawasan hutan.

Sesuai dengan hasil wawancara terhadap responden, umumnya responden memahami manfaat hutan secara ekologis. Keberadaan hutan rakyat memiliki manfaat ekologis yang sangat besar sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir

dan erosi. Pemahaman ini timbul sebagai akibat dari gejala alam berupa banjir yang pernah melanda kedua kecamatan yang dijadikan wilayah penelitian ini. Menurut BPS Kabupaten Donggala (2009) bahwa banjir bandang yang pernah melanda kedua kecamatan tersebut terjadi pada tahun 2003 dan 2007 yang menghanyutkan sejumlah rumah, ternak dan merusak lahan petanian dan sarana transportasi berupa jembatan. Kegiatan pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu upaya menjaga kelestarian lingkungan tempat tinggal masyarakat.

Salah satu bentuk pemanfaatan hutan rakyat yang berwawasan lingkungan, yaitu pemungutan kayu rakyat hasil penjarangan pohon, kayu mati dan pohon yang tumbuhnya merana untuk kebutuhan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan kayu bakar tanpa merusak ekosistem yang ada. Pengelolaan vegetasi hutan secara bijaksanapun, dapat mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air. Beberapa pengelolah Daerah Aliran Sungai (DAS) beranggapan bahwa hutan dapat dipandang sebagai pengatur aliran air (streamflow regulator), artinya bahwa hutan dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau (Asdak 2004).

Secara hidrologis hutan memberikan efek pada kuantitas dan kualitas air (Lee 1988), yaitu jumlah presipitasi yang mencapai tanah dikurangi oleh intersepsi kanopi hutan. Selanjutnya sejumlah kelembaban tanah ditranspirasikan melalui sistem batang, daun, dan akar. Pada akhirnya melalui sistem akar, material organik dan serasah meningkatkan infiltrasi dan kelembaban tanah. Kombinasi ketiga proses ini menyebabkan run off menjadi kecil. Waktu run off

menjadi lama dan proses pencairan air menjadi sedikit pada daerah yang berhutan dibandingkan dengan daerah yang tidak berhutan. Vegetasi memegang peranan penting dalam mengatur banyaknya hasil air yang dihasilkan. Vegetasi hutan cenderung akan lebih menstabilkan besarnya debit puncak yang terjadi yakni debit puncak akan lebih rendah daripada lahan pertanian (Stadmuler 1989 dalam

Hardiwinarto 2009). Fakta ini sangat wajar karena pada vegetasi hutan air yang dihasilkan akan dipakai untuk konsumsi sendiri melalui proses evapotranspirasi yang relatif lebih besar dibandingkan pada lahan pertanian.

Masyarakat memahami bahwa kegiatan pengembangan hutan rakyat sangat positif dan harus terus dilanjutkan. Keberadaan hutan rakyat dapat mencegah banjir dan erosi tanah serta sebagai penyangga sistem kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. Karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal untuk menjaga daya dukungnya (carring capacity) secara lestari.

Dengan demikian diharapkan masyarakat benar-benar sadar bahwa mengembangkan hutan rakyat bukan semata-mata mengejar keuntungan secara ekonomis tetapi juga membawa misi ekologis, yaitu konservasi tanah dan air. Atas pemahaman akan fungsi hutan rakyat secara holistik dan terpadu tersebut, maka masyarakat dapat merasa memiliki (sense of belonging) terhadap keberadaan hutan rakyat.

e.Tersedianya Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang dimaksud disini adalah setiap orang yang terlibat dalam pengembangan hutan rakyat yang dijadikan sebagai responden. Salah satu karakteristik internal individu seseorang adalah umur yang sangat dipengaruhi oleh fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa struktur umur petani/tenaga kerja yang terlibat dalam pengembangan hutan rakyat di daerah penelitian dan berkisar antara 16-65 tahun. Tingkat umur responden seperti pada Gambar 12.

Hasil analisis pada Gambar 16 jika dikaitkan dengan tingkat produktivitas penduduk berdasarkan kategori umur seperti dikemukakan oleh Kamaludin (2003) maka responden yang termasuk ketegori usia sangat produktif (25-45 tahun) persentasenya lebih tinggi kemudian disusul oleh produktif (46-60 tahun), non produktif (<24 tahun) dan non produktif (>60 tahun). Berdasarkan karakteristik usia tersebut, responden paling banyak adalah masyarakat yang termasuk dalam kategori usia sangat produktif. Hal tersebut menjamin bahwa ketersediaan sumberdaya manusia yang dapat mendukung dan berpartisipasi dalam aktivitas pembangunan dan pemanfataan sumberdaya khususnya pengembangan hutan rakyat cukup banyak. Faktor usia juga menentukan objektivitas seseorang dalam memberikan pendapat maupun penentuan sikap dan pilihan terhadap pengembangan hutan rakyat.

Tersedianya tenaga kerja pada daerah penelitian diharapkan menjadi potensi yang dapat dimanfaatkan guna pengembangan usaha kayu rakyat. Selain itu, kultur dari masyarakat yang umumnya lebih memilih untuk bekerja di kampung sendiri dari pada ke kota (kecuali untuk menuntut ilmu) merupakan kekuatan tersendiri yang dapat dimanfaatkan guna memaksimalkan potensi tenaga kerja yang ada. Dengan demikian, tersedianya tenaga kerja dalam jumlah dan usia yang produktif diharapkan dapat menjadi daya gerak dalam percepatan pembangunan hutan rakyat ke depan.

f.Adanya Partisipasi Masyarakat

Partisipasi merupakan kunci sukses dalam mewujudkan pengembangan hutan rakyat dengan pendekatan pemberdayaan petani. Partisipasi yang dimaksud dalam penelitian ini dikaji pada partisipasi masyarakat dilokasai penelitian dalam pelaksanaan kegiatan penanaman, pengamanan, dan partisipasi pada kegiatan pelatihan/penyuluhan. Partisipasi masyarakat pada kegiatan pelatihan/penyuluhan seperti pada Gambar 13.

Gambar 13 Partisipasi masyarakat dalam mengikuti kegiatan pelatihan/ penyuluhan

Gambar 13 menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan penyuluhan/pelatihan cukup tinggi (62.86%). Hal ini berpengaruh pada penyerapan informasi dan teknologi bagi kegiatan pengembangan hutan rakyat. Untuk kegiatan penanaman masyarakat melakukan secara mandiri pada lahan masing-masing dibawah bimbingan/pendampingan dari penyuluh lapangan. Selanjutnya untuk kegiatan pengamanan hutan, masing-masing pemilik lahan bertanggung jawab atas keamanan lahannya dari kebakaran, pencurian dan kerusakan tanaman yang disebabkan oleh ternak.