• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Faktor-Faktor Strategis dan Pengaruhnya terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala

5.2.1 Aspek Produksi Kayu Rakyat

5.2.1.3 Upaya Pengembangan Hutan Rakyat

/tahun. Hal ini bertujuan untuk penyesuaian tingkat kebutuhan dan kemampuan pasokan bahan baku. Selain itu, untuk mencegah terjadi illegal logging.

Upaya pengembangan hutan rakyat yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan pengembangan hutan rakyat pada lahan masyarakat dengan menggunakan jenis-jenis tertentu. Hal ini dimaksud untuk merehabilitasi

lahan-lahan kritis yang ada. Selain itu juga untuk memenuhi pasokan kebutuhan bahan baku industri dan kayu bangunan bagi petani. Sampai dengan tahun 2010, upaya pengembangan hutan rakyat melalui kegiatan Gerhan baru mencapai luasan 3.225 ha (BPDAS Palu-Poso 2009). Selanjutnya pengembangan hutan rakyat oleh petani secara swadaya seluas 56 ha. Pemanfaatan lahan untuk pengembangan hutan rakyat dikategorikan masih sangat rendah, jika dibandingkan dengan luas lahan potensial (lahan tidur dan kering) yang masih tersedia.

Kesenjangan pemenuhan bahan baku bagi industri kayu di Kabuapten Donggala telah berakibat pada tidak beroperasinya sejumlah industri kayu. Pemenuhan bahan baku industri kayu dari hutan rakyat telah menjadi subsitusi kayu dari IUPHHK/IPK. Namun demikian, pasokan kayu tersebut belum mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi seluruh industri kayu yang berada di Kabupaten Donggala. Karena itu, diperlukan upaya-upaya pengembangan hutan rakyat secara lebih intensif agar ke depan dapat menjadi pemasok utama bagi industri kayu secara kontinyu (sustainable). Upaya pengembangan dimaksud dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan potensial yang tersebar di Kabupaten Donggala. Lahan-lahan potensial yang belum dimanfaatkan saat ini berupa lahan tidur dan lahan kering. Oleh karena itu, lahan-lahan tersebut sangat potensial dimanfaatkan untuk pengembangan hutan rakyat. Sesuai dengan kondisi faktual di lapangan, bahwa kegiatan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala didominasi dengan jenis jati. Jenis jati umumnya dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang mengandung kapur dengan siklus musim panas yang nyata (Pramono et al.2010).

Berdasarkan data statistik (2009), di Kabupaten Donggala jenis-jenis tanah umumnya terdiri dari tanah latosol, grumosol, podsolik, androsol, regosol dan vertisol. Tanah-tanah yang mengandung kapur termasuk dalam kelompok vertisol. Penyebarannya di Indonesia diantaranya meliputi Jawa bagian Tengah sampai ke Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi (Hardjowigeno 2003).

Sebagai sebuah asumsi untuk pengembangan hutan rakyat jati, maka dapat dilakukan dengan pendekatan pemanfaatan secara optimal lahan potensial yang ada di Kabupaten Donggala. Pendekatan pertama yang dilakukan yaitu

pemanfaatan lahan tidur seluas 7.111 ha untuk penanaman jati salomon secara

monokultur dengan asumsi sebagai berikut: a) Luas lahan: 7.111 ha; b) Jarak tanam: 3 m x 3 m (1.100 tan/ha). Maka dalam luasan 7.111 ha akan tertanam bibit sebanyak 1.100 x 7.111 = 7.822.100 tanaman.

Berdasarkan hasil proyeksi produksi per hektar yang dikembangkan oleh PT. General Green Inovation (Bogor), bahwa jati salomon memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu perbanyakan bibit dilakukan dengan teknologi kultur jaringan, sehingga mutu bibit dapat dijamin sesuai dengan induknya (true to type), sehat, dan seragam. Pertumbuhan batang keduanya lebih cepat dan lurus. Pada jenis jati ini antara pertambahan tinggi dan diameternya lebih proporsional serta lebih keras, sehingga tidak mudah patah saat terjadi angin kencang. Selanjutnya jati jenis ini dapat di panen pada umur 7, 10, dan 15 tahun. Jati jenis ini sudah banyak ditanam pada lahan tidur dan kritis di daerah Jawah Barat, Lampung, dan Gorontalo. Keunggulan-keunggulan dari jati salomon seperti pada Tabel 20 di bawah ini.

Tabel 20 Proyeksi produksi kayu jati salomon per hektar

Uraian Kisaran Produksi

Umur (thn) 7 10 15 T. Bebas Cabang (M) 7.00 8.5 10.00

Diameter (cm) 22.00 28.00 38.00

Volume per pohon (m³) 0.27 0.52 1.13 Populasi per ha (pohon) 1.100 1.100 1.100 Jumlah panen (%) 25 25 50

Produksi (m³) 74.25 142.00 621.50

Sumber : Mani, 2011.

Tabel 20 di atas menunjukkan bahwa pada umur 7 tahun dengan jumlah panen sebesar 25%, maka jati akan dapat dipanen dengan produksi sebesar 74.25 m³/ha, sedangkan pada umur 10 tahun produksi kayu sebesar 142.00 m³/ha dan pada umur 15 tahun produksi kayu jati akan mencapai 621.50 m³/ha. Apabila jati yang ditanam dipanen pada umur 7 tahun (74.25 m³/ha) maka akan diperoleh volume kayu sebesar 74.25 m³ x 7.111 ha = 527.991.75 m³. Jumlah ini tentu sangat bermanfaat bagi kelangsungan pasokan bahan kayu bulat bagi industri kayu yang ada di Kabupaten Donggala. Di samping itu pula dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, kegiatan pertukangan yang memproduksi meubeler, dan

dapat juga untuk memasok kebutuhan bahan baku bagi industri lain di luar Kabupaten Donggala.

Selanjutnya pada pendekatan kedua, dilakukan asumsi pengembangan hutan jati rakyat dengan memanfaatkan lahan kering sebesar 50% dari luas total yang tersedia di Kabupaten Donggala, yaitu 150.582 ha. Luas lahan yang akan dimanfaatkan sebesar 75.291 ha. Kegiatan ini dilakukan dengan pola agroforestry

berdasarkan sistem yang dikembangkan oleh Koperasi Perumahan Wana Bakti Nusantara (KPWN), dengan menggunakan bibit Jati Unggul Nusantara (JUN). Jati ini memiliki keunggulan perakaran tunggang majemuk, sehingga perakarannya kokoh dan batang cepat besar dan tidak mudah roboh. Penanaman JUN dengan dengan pola ini diasumsikan sebagai berikut: a) Luas lahan: 75.291 ha; b) Jarak tanam : 2 m x 5 m (1.000 tan/ha). Dalam luasan 75.291 ha akan tertanam bibit sebanyak 1.000 x 75.291 = 75.291.000 tanaman. Sesuai dengan hasil proyeksi produksi per hektar, JUN dapat dipanen pada umur 5 tahun dengan volume seperti pada Tabel 21 di bawah ini.

Tabel 21 Proyeksi produksi kayu Jati Unggu l Nusantara per hektar

Uraian Asumsi Produksi per Pohon

Minimal Maksimal

Umur (thn) 5 5

T. Bebas Cabang (M) 6.5 8.00

Diameter (cm) 20.00 22.00

Volume per pohon (m³) 0.204 0.304

Populasi per Ha (pohon) 1.000 1.000

Jumlah Panen (%) 25 25

Produksi (m³) 51.00 76.00

Sumber: Soeroso dan Poedjowadi, 2009.

Tabel di atas menunjukkan bahwa untuk JUN pada umur 5 tahun sudah dapat dipanen, dengan asumsi kubikasi terendah per pohon sebesar 0.204 m³ dan tertinggi sebesar 0.304 m³. Apabila jumlah panenan diasumsikan sebesar 25% maka volume kayu yang akan dihasilkan untuk asumsi produksi terendah sebesar 51 m³/ha, sedangkan untuk asumsi tertinggi sebesar 76 m³/ha. Dengan demikian pada umur masa panen 5 tahun akan diperoleh kayu sebesar 51 m³ x 75.291 ha = 3.839.841.00 m³ atau 76 m³ x 75.291 ha = 5.722.116.00 m³.

Berdasarkan asumsi-asumsi pengembagan hutan rakyat dengan 2 (dua) pendekatan seperti di atas, diperoleh gambaran bahwa dengan memanfaatkan lahan tidur dan lahan kering secara optimal maka akan memberi hasil panenan kayu yang lestari. Dengan demikian, kesenjangan pemenuhan bahan baku bagi industri kayu di Kabupaten Donggala dapat teratasi. Hal ini dapat terwujud apabila ada itikad baik dari pemerintah, masyarakat, dan pengusaha di bidang industri kayu dalam membangun sinergisitas pengembangan usaha kayu rakyat yang sustainable.

5.2.2Aspek Pemasaran

Pengertian pemasaran disini adalah suatu kegiatan pendistribusian kayu rakyat, yang dimulai dari petani ke pedagang perantara atau dari petani langsung ke industri kayu. Pola peredaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala terdiri dari 2 (dua) pola, yang dimulai dari petani hutan hak/rakyat dan berakhir pada industri kayu sebagai pemakai produk. Persentase peredaran kayu rakyat yang dibeli oleh industri kayu berdasarkan kapasitas terpasang seperti pada Tabel 22.

Tabel 22 Kayu hutan rakyat yang dibeli oleh industri

Asal kayu Industri kecil Industri sedang

Total (< 2000 m³) (2001-6000 m³)

(%) (%) (%)

Petani hutan rakyat 1.080.05 32 - - 1.080.05 32 Pedagang perantara 2.025.09 60 270.01 8 2.295.10 68

Total 3105.14 92 270.01 8 3375.15 100

Sumber: BP2HP XIV Palu (diolah), 2010.

Tabel 22 menunjukkan bahwa pola peredaran kayu hutan rakyat/hak yang dibeli oleh industri kayu dari pedagang perantara memiliki persentase tertinggi (68%), kemudian diikuti yang dibeli dari petani hutan rakyat (32%). Hal tesebut menunjukkan bahwa petani umumnya tidak memiliki akses langsung ke industri kayu dalam memasarkan kayunya.

Pola pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala merupakan sesuatu yang spesifik apabila dilihat dari komoditi, tempat pemasaran, waktu terjadinya pemasaran dan pelaku yang menanganai pemasaran. Kegiatan peredaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala umumnya dimulai dari tempat oto atau tempat

penimbunan. Tempat ini yang berfungsi sebagai lokasi penimbunan kayu setelah di angkut dari lahan masyarakat, dan sekaligus sebagai tempat transaksi. Secara khusus di Kabupaten Donggala umumnya pengangkutan kayu dari areal penebangan ke tempat penimbunan menggunakan tenaga hewan atau tenaga manusia. Jarak yang ditempuh dari areal hutan hak sampai ke tempat penimbunan rata-rata 0.5–1 km. Hal ini karena areal hutan hak/rakyat belum dapat dijangkau oleh kendaraan umum. Setelah kayu hasil tebangan tersebut tiba di tempat penimbunan, selanjutnya para pembeli yang akan mengangkutnya untuk dibawa ke konsumen berikutnya.

Kayu rakyat yang akan diangkut umumnya telah diubah bentuknya dari

log menjadi pacakan (squere log). Hal ini untuk mempermudah dalam proses pengangkutan. Pada umumnya para petani belum memiliki teknologi yang memadai dalam proses penebangan sampai pengangkutan ke tempat penimbunan. Kegiatan penebangan yang dilakukan masih bersifat sederhana. Alat penebangan yang digunakan berupa mesin chain saw. Selanjutnya untuk melakukan pemacakan para petani menggunakan parang atau kampak. Hal ini sangat berpengaruh pada produktivitas para petani dalam melakukan pemungutan kayu rakyat. Namun disisi lain, pola penebangan seperti ini berdampak sangat kecil pada kerusakan tumbuhan lainnya.

Jika dibandingkan dengan Kecamatan Taviora, kayu yang telah ditebang diubah bentuknya menjadi squre log kemudian dirakit lalu ditarik oleh perahu motor menuju tempat penimbunan kayu. Lama waktu tempuh dari areal hutan hak sampai ke tempat penimbunan ± 3 jam. Hal ini berdampak pada biaya operasional yang mahal dan menyebabkan biaya produksi yang tinggi. Walau demikian, karena tuntutan ekonomi maka para petani memilih untuk tetap menebang pohon yang ada di lahan milik mereka untuk kemudian dijual ke industri. Pada kecamatan ini hanya terdapat 1 buah industri kayu dengan kapasitas < 2000 m³/tahun.

Sesuai dengan data peredaran kayu yang tersedia di BP2HP XIV Palu (2010), bahwa kegiatan jual beli kayu rakyat pada Kabupaten Donggala setiap harinya melibatkan kurang lebih 3 truk dengan kapasitas 6-8 m³/truk. Ukuran

kayu pada umumnya panjang 4 meter dengan diameter 35-50 cm. Harga perkubik dari kayu berkisar antara Rp1 200 000 - Rp1 750 000, tergantung jenis dan ukuran. Untuk kayu yang teksturnya berwarna putih umumnya harganya lebih murah dibandingkan dengan jenis kayu yang berwarna merah. Jenis kayu yang dikategorikan berwarna putih, yaitu binuang (Octomeles sp), sengon (Albizia sp), andolia (Cananga odorata), lita-lita (Koordersiodendron pinnatum), siuri (Solenocarpus philipinensis), bayur (Pterospermum sp), kedondong hutan (Spondias sp), mangga hutan (Mangifera sp) dan ketapang (Terminalia catapa). Di samping itu yang berwarna merah, yaitu nyatoh/nantu (Palaquium spp), palapi (Heritiera spp), durian (Durio carinatus), tapi-tapi (Melia Koetjape) dan dara-dara (Eugenia sp). Selanjutnya, dalam proses penjualannya umumnya kayu-kayu tersebut dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu 1) kelompok meranti, dan 2) kelompok rimba campuran. Pengelompokan jenis kayu utama yang dijual seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Persentase kelompok jenis kayu yang dijual oleh petani

Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa jenis kayu hutan rakyat yang paling banyak dijual adalah kelompok jenis rimba campuran dengan persentase sebesar 81.82%, kemudian kelompok meranti sebesar 18.18%. Kedua kelompok jenis kayu ini dikenakan pungutan resmi berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Hal ini mengacu pada Permenhut. No. P. 33/Menhut-II/2006, bahwa kayu rakyat yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat wajib dikenakan pajak.