• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Faktor-Faktor Strategis dan Pengaruhnya terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala

5.3.4 Faktor Eksternal Hambatan (Threath)

Kinerja pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Donggala dipengaruhi pula oleh faktor-faktor eksternal petani, yang merupakan ancaman bagi keberlanjutan usaha kayu rakyat. Faktor-faktor tersebut perlu dipahami dengan baik agar dapat dirancang suatu strategi yang tepat, dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang berpihak pada petani hutan rakyat. Hal ini diharapkan akan dapat memotivasi petani hutan rakyat agar tetap eksis berpartisipasi sebagai mitra pemerintah dalam upaya-upaya pembangunan hutan rakyat.

Faktor ancaman dimaksud disini adalah faktor-faktor dari luar petani yang secara langsung/tidak langsung dapat merugikan petani. Implikasinya adalah dapat menurunkan kinerja usaha pengembangan hutan rakyat ke depan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap pemilik hutan rakyat dan para pakar diperoleh variabel-variabel eksternal ancaman. Variabel yang mempunyai skor tertinggi adalah rumitnya birokrasi untuk mengurus izin dengan skor 0.696, sedangkan variabel yang mempunyai skor terendah adalah banyaknya peratara dalam pembelian kayu rakyat dengan skor 0.294. Variabel-variabel eksternal ancaman seperti pada Tabel 34

Tabel 34 Hasil evaluasi variabel eksternal ancaman (Threath)

No Faktor eksternal (ancaman) Bobot Rating Skor 1 Rumitnya birokrasi untuk mengurus izin 0.232 3.000 0.696

2 Adanya pungutan liar 0.147 3.000 0.441

3 Belum adanya Perda yang bersifat insentif 0.200 2.000 0.400 4 Tingginya biaya pengurusan izin 0.158 2.000 0.316 5 Meningkatnya permintaan kayu 0.147 2.000 0.294 6 Banyaknya perantara dalam pembelian KR 0.116 2.000 0.232

Jumlah 1.000 2.379

Data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat enam faktor eksternal yang merupakan ancaman dalam usaha kayu rakyat ke depan. Variabel-variabel

eksternal - ancaman dalam usaha kayu rakyat tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Rumitnya Birokrasi untuk Mengurus Izin

Secara filosofis adanya Pemda adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat (public service) secara efektif dan efisien. Pelayanan Pemda yang terkesan birokratis dapat menjadi penghambat percepatan pembangunan di daerah tersebut. Pada aspek pelayanan ini terasa adanya kelemahan dalam hal akuntabilitas dari Pemda kepada masyarakat dalam menyediakan pelayanan tersebut.

Berdasarkan wawancara mendalam dengan petani hutan rakyat dan pihak industri kayu, diperoleh informasi bahwa salah satu faktor yang dapat mengahambat perkembangan hutan rakyat ke depan adalah rumitnya birokrasi dalam pengurusan izin penebangan kayu rakyat. Para petani yang akan melakukan penebangan kayu di tanah miliknya harus mengurus surat izin di tingkat desa, selanjutnya atas dasar izin yang dikeluarkan oleh kepala desa, petani melanjutkan permintaan rekomendasi dari camat setempat. Atas dasar rekomendasi tersebut maka petani dapat mengurus perizinan ke kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala. Proses ini memakan waktu yang cukup lama.

Rumitnya birokrasi seperti ini merupakan sesuatu yang disinsentif karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengurus izin tersebut. Hal ini berdampak pada efektifitas dan efisiensi proses pengolahan kayu. Oleh karena petani memiliki keterbatasan soal pengetahuan, keuangan dan waktu maka hal ini dirasa sangat memberatkan. Akibatnya adalah timbulnya rent seeking dalam proses penyelesaian administrasi dan kebiasaan free rider oleh oknum yang berperan agar proses izin atau rekomendasi cepat diterbitkan oleh pejabat yang berwewenang.

Secara empirik hal yang dialami oleh petani adalah pelayanan yang diberikan oleh Pemda umumnya masih lamban dan birokratis, kurang responsif karena aparat masih memposisikan diri sebagai patrón dan petani sebagai client

sebagai konsumen bagi Pemda tetapi juga sebagai warga negara yang memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.

Menurut Suwandi (2006) bahwa Pemda seharusnya memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat, karena Pemda mendapat legitimasi politik dari masyarakat selaku pemilih (voters). Untuk itu Pemda harus akuntabel terhadap warganya. Masyarakat memiliki hak secara aktif berpartisipasi dalam urusan-urusan Pemda diantaranya adalah: 1) mengetahui kebijakan dan keputusan yang dibuat Pemda; 2) mengetahui alasan-alasan yang melatar belakangi keputusan yang dibuat Pemda; 3) berkesempatan untuk ikut aktif berpartisipasi diskusi mengenai isi-isu yang dibicarkan Pemda; 4) berhak didengar pendapat dan kepentingannya dalam pembahasan isu-isu; 5) dilibatkan dalam kegiatan pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan 6) bersama-sama mengevaluasi hasil kerja dari Pemda.

Dengan demikian, adanya pemahaman Pemda akan kedudukan petani sebagai warga negara dan diberikannya kesempatan kepada petani untuk terlibat dalam diskusi untuk menyerap informasi dari arus bawah, maka diharapkan dapat meningkatkan pelayanan Pemda kepada masyarakat sebagai mitra dalam usaha kayu rakyat ke depan.

b. Adanya Pungutan Liar

Pungutan liar merupakan suatu istilah yang dinyatakan kepada oknum pemerintah dan atau pihak keamanan yang melakukan pungutan tidak resmi atas hasil hutan kayu milik masyarakat. Berdasarkan wawancara mendalam dengan para petani (key informant) bahwa menurut tempat terjadinya pungutan tidak resmi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu 1) saat kayu hasil penebangan sudah berada di tempat penimbunan kayu sementara; dan 2) saat terjadi pengurusan izin pengolahan kayu.

Pada saat kayu hasil pengolahan tiba di tempat penimbunan kayu maka oknum keamanan dengan berbagai alasan malakukan pemungutan tidak resmi. Hal ini umumnya berlangsung pada saat pertama melakukan penebangan. Pada kesempatan itu akan terjadi tawar menawar mengenai besar - kecilnya nilai uang dan kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang setiap kali petani melakukan

transaksi. Selanjutnya, setelah sepakat maka secara berkala petani harus menyetor langsung ke oknum tersebut setiap kali akan ada pengangkutan kayu. Hal ini dilakukan di tempat-tempat yang sudah ditentukan dan bukan lagi di tempat penimbunan kayu.

Pungutan tidak resmi saat pengurusan izin umumnya terjadi untuk mempercepat proses perizinan. Umumnya oknum yang melakukan itu memiliki kedekatan dengan atasan langsung yang akan menerbitkan izin, sehingga dengan alasan-alasan tertentu maka diminta biaya tambahan dari petani. Hal ini terjadi pada level kecamatan dan kabupaten. Walaupun petani sepakat untuk memberi namun sesungguhnya hal ini terasa memberatkan. Hal ini juga merupakan sikap

free rider dari oknum pegawai terhadap petani. Karena oknum dimaksud akan

memanfaatkan momentum tersebut untuk memperoleh sejumlah uang. Hal ini dapat berdampak pada besarnya biaya (high cost) yang harus dikeluarkan dalam pengurusan izin.

Oleh karena itu suatu ancaman ekternal yang dapat menghambat upaya pengembangan hutan rakyat ke depan adalah pungutan liar. Hal ini dapat menimbulkan keresahan dalam diri petani dan apabila ini terus berlarut-larut maka dikuatirkan akan berdampak pada kinerja pengelolaan hutan rakyat ke depan.

c. Belum Adanya Perda yang Bersifat Insentif

Pemberlakuan otonomi daerah telah memberi peluang yang besar kepada Pemda dalam menyusun kebijakan-kebijakan strategis di bidang kehutanan yang meliputi kegiatan perencanaan, penebangan/pemanenan, pembinaan/rehabilitasi, konservasi dan pengamanan hutan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat hendaknya mengacu pada aturan-aturan yang lebih tinggi menurut hierarki penetapan sebuah aturan di negara ini. Dalam konteks pembuatan kebijakan pengembangan hutan rakyat, maka Pemda seharusnya memperhatikan peraturan yang lebih tinggi yang terkait langsung dengan usaha kayu rakyat yang meliputi empat aspek penting, yaitu aspek produksi, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan.

Sesuai dengan hasil wawancara tertulis dengan pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala, bahwa sampai saat ini Pemda Donggala baru menerbitkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Bupati Donggala (Perbub),

yaitu Perbub No.14 Tahun 2009, tentang Petunjuk Pelaksana Pemanfaatan Hutan Hak. Petunjuk Pelaksana (Juklak) tersebut secara umum hanya mengatur kegiatan pemanenan, peredaran kayu, pembinaan dan pengendalian hasil hutan kayu rakyat, yang lebih menekankan pada pemungutan retribusi atas kayu yang ditebang.

Umumnya para petani menginginkan aturan-aturan yang bisa menjamin kelanjutan pengembangan hutan rakyat ke depan. Aturan-aturan tersebut diharapkan lebih mengakomodir kepentingan petani, yaitu: terkait langsung dengan penyediaan input berupa bibit dan pupuk, adanya jaminan tidak adanya intervensi pihak lain dalam kegiatan penebangan dan penjualan kayu untuk mengindari pungutan liar, dan birokrasi yang tidak berbelit-belit dalam pengurusan izin.

Belum adanya Perda yang bersifat insentif langsung kepada petani, dalam jangka panjang dapat berdampak pada penurunan keinginan masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat. Hal ini cukup beralasan karena umumnya petani hanya mendapatkan sebagian kecil dari keseluruhan rentabilitas pengusahaan hutan rakyat. Selanjutnya, ada semacam kekuatiran akan sustensi/kelestarian

family-based forests/privat-based forests ini, terutama jika para petani mempunyai alternatif usaha yang financially attractive pada lahan yang selama ini digunakan untuk menanam tanaman kehutanan.

Oleh sebab itu perlunya political will dari pihak Pemda untuk membuat Perda yang bersifat insentif, sebagai salah satu bentuk pelayanan yang berkualitas dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektifitas. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Suwandi (2006) dan Cubbage et al. (1993), bahwa untuk mencapai maksud tersebut, maka diperlukan pelayanan yang memberikan kemudahan kepada masyarakat sebagai konsumen dan warga negara (people as consumers and also citizen).

d. Tingginya Biaya Pengurusan Izin

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan petani hutan rakyat, tingginya biaya pengurusan izin tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan yang birokratis kepada masyarakat saat akan mengurus izin pemungutan hasil

hutan kayu. Sebenarnya tidak ada aturan tetap yang mewajibkan petani untuk mengeluarkan sejumlah uang dalam pengurusan izin. Karena yang menjadi kewajiban pemilik izin adalah pajak yang berlaku sesuai ketentuan yang sudah ada. Namun hal ini tidak berarti petani tidak mengeluarkan biaya dalam pengurusan izin. Sesuai dengan hasil wawancara mendalam bahwa biaya yang dikluarkan untuk pengurusan izin sebesar Rp 25 juta-30 juta.

Tingginya biaya inipun tidak terlepas dari Perbub. No. 14 Tahun 2009 yang pada pasal 2 ayat (2) menagatakan bahwa Tim...bertugas melaksanakan inventarisasi dan pemeriksaan kesesuaian lokasi...yang akan dipetakan sebagai hutan hak. Konsekuensi logis sebagai fungsi laten dari kebijakan ini adalah petani mengeluarkan sejumlah dana kepada tim yang melakukan verifikasi di lapangan agar mempercepat proses penerbitan izin. Seyogyanya dana pelaksanaan tugas tersebut harus dialokasikan sendiri oleh Pemda, dalam bentuk anggaran perjalanan dinas sehingga tidak membebani masyarakat.

e. Meningkatnya Permintaan Kayu Rakyat

Hampir seluruh industri kayu yang berada di Kabupaten Donggala memanfaatkan kayu rakyat sebagai bahan baku utama. Hal ini dapat dilihat sebagai ancaman juga sebaliknya suatu peluang. Selanjutnya, seiring penurunan pasokan kayu dari IPK-HA mengakibatkan tingginya permintaan kayu dari hutan rakyat. Hal ini dapat meningkatkan intensitas penebangan di lapangan, jika tidak diatur dalam bentuk suatu rencana karya yang baik di tingkat petani yang dalam proses perencanaannya difasilitasi oleh pemerintah. Tingginya intensitas penebangan yang tidak diikuti dengan penanaman kembali dapat berdampak pada kelestarian usaha kayu rakyat di masa yang akan datang.

f. Banyaknya Perantara dalam Pembelian Kayu Rakyat

Dalam pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala ditemukan banyak perantara (middleman), selain produsen/petani dan konsumen. Menurut Purnama (2001) broker (pialang) adalah perantara yang kerjanya mempertemukan pembeli dan penjual, namun yang bersangkutan tidak memiliki persediaan produk, tidak terlibat dalam pembiayaan dan tidak menanggung resiko. Sesuai dengan

pengertian tersebut maka peran perantara dirasa penting untuk menghubungkan antara penjual/petani dan pembeli.

Namun, hal ini terkadang tidak sesuai dengan kondisi khusus peredaran kayu di Kabupaten Donggala. Pada konteks ini, middleman justru menjadi perantara yang dirasakan oleh petani banyak berfungsi sebagai free rider. Umumnya petani mengalami kesulitan untuk bertemu langsung dengan pembeli, karena peran para middleman yang menutup rantai tersebut. Dalam penentuan harga kayu umumnya dilakukan oleh petani dan middleman yang mengatasnamakan pembeli. Akibatnya, harga kayu pada tingkat petani lebih kecil. Karena middleman akan berusaha mendapat bagian dari harga yang sesungguhnya lebih dari pembeli. Pada keadaan tertentu middleman akan berlaku sebagai penjual kayu yang mengatas namakan petani dengan terlebih dahulu mendapatkan kesepakatan harga dengan petani.

Keberadaan middleman sendiri merupakan salah satu taktik perdagangan yang diterapkan oleh pembeli. Umumnya pembeli dikenal sebagai pemilik utama modal, dan mempunyai usaha di bidang perkayuan yang menjadi sasaran pungutan liar selain petani. Untuk menghindari hal tersebut maka pembeli memanfaatkan middleman, yang umumnya adalah masyarakat yang berdomisili dalam satu kecamatan dengan petani hutan rakyat sebagai pembeli kayu di lapangan. Kondisi ini menjadi sesuatu yang dilematis bagi petani, karena

middleman memiliki peran ganda yang begitu kuat dalam penjualan kayu dan

penentuan harga, sehingga petani selalu dalam posisi lemah.

5.4 Analisis Strategi Prioritas Pengembangan Hutan Rakyat

Analisis strategis ini dimulai dengan penyusunan matriks SWOT, untuk memadukan antara faktor-faktor internal dan eksternal guna mendapatkan strategi pengembangan hutan rakyat ke depan di Kabupaten Donggala. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas peluang dan ancaman eksternal yang dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa total skor faktor internal - kekuatan adalah (3.312), faktor internal - kelemahan (3.245).

Selanjutnya total skor faktor eksternal - peluang adalah (3.325), faktor eksternal - ancaman (2.379). Sesuai dengan hasil perpaduan nilai-nilai skor internal dan eksternal tersebut di atas, diperoleh posisi strategi pengembangan hutan rakyat pada kuadran 1, yang merupakan strategi pertumbuhan dengan nilai koordinat sebesar (0.067; 0.936). Selengkapnya seperti pada Gambar 15.

` 0,9 0,6 0,3 0,1 -0,9 -0,6 -0,3 -0,1 0,0 0,1 0,3 0,6 0,9 -0,1 -0,3 -0,6 -0,9 Peluang (O) Hambatan (T) Kekuatan (S) Kelemahan (W) (0,67:0,936)

Gambar 15 Diagram SWOT strategi pengembangan hutan rakyat.

Diagram SWOT pada Gambar 15 menunjukkan bahwa hasil perpaduan antara variabel internal dan eksternal berada pada posisi kuadran 1. Hal ini berarti usaha kayu rakyat memiliki kekuatan dan peluang untuk dikembangkan. Karena itu menurut Rangkuti (2006), bahwa apabila titik perpaduan antara kedua variabel berada pada kuadran 1, maka harus diterapkan strategi SO (Strength –

Opportunities). Dengan demikian pengembangan hutan rakyat harus terus

mengupayakan kekuatan-kekuatan yang dimiliki petani dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Penggunaan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada selengkapnya seperti pada Gambar 16.

Kekuatan (S) Kelemahan (W) FAKTOR INTERNAL 1 Terdapat usaha pengembangan 1 Belum adanya kelembagaan

hutan rakyat di tingkat petani

2 Dapat dimanfaatkan oleh 2 Kurangnya pengetahuan

Masyarakat dan teknologi

3 Menambah pendapatan petani pengolahan KR

4 Dampak terhadap lingkungan 3 Ketergantungan terhadap

5 Tersedianya tenaga kerja Pedagang

6 Adanya partisipasi Masyarakat 4 Kesulitan memperoleh

informasi pasar

5 Belum ada rencana

pengelolaan HR

di tingkat petani

6 Belum adanya penanaman

Kembali

FAKTOR EKSTERNAL 7 Jauhnya jarak tempuh

ke lokasi pemanenan

Peluang (O) STRATEGI (SO) STRATEGI (WO)

1 Adanya industri yang menerima 1 Membangun kemitraan antara 1 Membangun kelembagaan

kayu rakyat. petani dan pihak industri kayu untuk mendorong usaha

2 Dukungan pemerintah lewat dalam usaha kayu rakyat KR agar lebih efisien

kebijakan nasional (S1,S2,S3,O1,02,O3,O4,O5,S4 (W1,W3,W4,W5,O2,O3,O5)

3 Peningkatan permintaan pasar S5,S6) 2 Meningkatkan keterampilan

kayu rakyat 2 Menciptakan iklim pemasaran petani lewat kursus

4 Adanya gap pemenuhan BB-HA yang kondusif (O1,O2,O3,O4, dan diklat

5 Peningkatan harga dari tahun ke O5,S1,S2,S3,S5,S6) (O2,W1,W2,W5,W6,W7)

Tahun 3 Meningkatkan usaha KR

yang didukung oleh kebijakan

yang bersifat insentif (O1,O3,

O4,O5,S1,S2,S3,S5,S6)

Tantangan/Ancaman (T) STRATEGI (ST) STRATEGI (WT)

1 Rumitnya birokrasi untuk 1 Mendorong pertumbuhan 1 Melakukan penyuluhan

mengurus izin dan usaha kayu rakyat dengan terkait budi daya

2 Adanya pungutan liar melakukan penyederhanaan tanaman dan teknik

3 Belum adanya Perda yang birokrasi (S1,S2,S3,S4,S5,S6, pemanenan yang baik

bersifat insentif S6,T1,T2,T4,T5) (W2,W5,W6,W7,T6)

4 Banyaknya broker kayu 2 Pelayanan yang maksimal

5 Tingginya biaya pengurusan izin dalam pengurusan izin

6 Meningkatnya permintaan kayu (T1,T2,T5,W1,W2,W3,W5)

Gambar 16 Analisis matrik SWOT.

Hasil perpaduan dari matriks SWOT seperti pada Gambar 16 menghasilkan strategi yang harus diterapkan. Selanjutnya strategi-strategi tersebut diurutkan menurut rangking berdasarkan jumlah skor

unsur-unsur penyusunnya. Penyusunan rangking strategi-strategi analisis SWOT tersebut menghasilkan strategi prioritas seperti yang tersaji pada Tabel 35.

Tabel 35 Strategi prioritas berdasarkan analisis matrik SWOT

Nomor Strategi Unsur SWOT Skor Rangking 1 Membangun kemitraan antara petani S1,S2,S3,S4, 6.628 1

dan pihak industri kayu dalam usaha S5,S6,O1,O2

kayu rakyat O3,O4,O5

2 Menciptakan iklim pemasaran O1,O3,O4,O5, 5.791 2 yang kondusif. S1,S2,S3,S4,S6

3 Meningkatkan usaha kayu rakyat yang O2,O3,O5, 5.207 3 didukung oleh kebijakan yang bersifat S1,S2,S3,S5,S6

insentif

Berdasarkan hasil perangkingan pada Tabel 35 menunjukan bahwa terdapat tiga strategi yang perlu dilakukan untuk pengembangan hutan rakyat untuk mendukung pasokan bahan baku industri. Rangking tersebut menjadi urutan prioritas dalam pelaksanaan strategi.

Berdasarkan analisis yang terdapat pada diagram SWOT dan matrik SWOT, dapat dilihat bahwa kegiatan usaha kayu rakyat pada kuadran 1. Menurut Hardjanto (2003) bahwa posisi pada kuadran tersebut menunjukkan usahan kayu rakyat dalam proses pertumbuhan. Sesuai dengan hasil perangkingan strategi, diketahui bahwa variabel-variabel yang terdapat pada kuadran 1 secara berturut-turut merupakan strategi yang memiliki skor tertinggi, yaitu 6.628, 5.791, 5.207 dengan urutan rangking 1, 2, dan 3. Strategi-strategi tersebut, yaitu: 1) membangun kemitraan antara petani dan pihak industri kayu yang didukung oleh kebijakan nasional, 2) menciptakan iklim pemasaran kayu yang kondusif, dan 3) membangun usaha kayu rakyat yang efisien dan efektif. Pada tulisan ini hanya ketiga strategi tersebut yang akan dibahas. Karena itu diharapkan adanya perhatian pada ketiga strategi tersebut yang menjadi prioritas utama dalam pengembangan usaha kayu rakyat ke depan.

Strategi-strategi tersebut diharapkan merupakan suatu keputusan yang didesain dan disepakati bersama antara masyarakat dan pemerintah. Keputusan

tersebut perlu diterjemahkan kedalam keputusan-keputusan teknis yang legal guna merealisasikan strategi-strategi tersebut dalam jangka menengah dan panjang.

5.4.1Membangun Kemitraan antara Petani dan Pihak Industri kayu

Industri kayu yang berada di Kabupaten Donggala secara nyata memperoleh bahan baku kayu dari hutan rakyat. Bahkan mayoritas industri kayu yang ada sekarang hanya bertumpu pada bahan baku yang berasal dari hutan hak/rakyat. Tingkat ketergantungan yang besar pihak industri kayu terhadap hutan rakyat dapat dijadikan sebagai entry point untuk membangun pola kemitraan dalam usaha kayu rakyat yang lestari.

Potensi yang ada pada masyarakat berupa luasan hutan, tenaga kerja, dan adanya usaha pengembangan hutan rakyat merupakan suatu kekuatan yang baik dimanfaatkan untuk pengembangan usaha kayu rakyat, dengan melibatkan pihak industri kayu sebagai konsumen penerima kayu dari hutan rakyat. Kerjasama yang terbangun antara pihak petani dan industri kayu daharapkan dapat memicu pertumbuhan usaha kayu rakyat. Pola kerjasama yang dimaksud akan melibatkan pihak industri kayu sebagai penyedia input berupa bibit dan pupuk.

Industri kayu yang diharapkan di masa datang adalah industri yang berdaya efisien, berdaya saing, dan terjamin keberlanjutan pemenuhan bahan bakunya yang berasal dari hutan rakyat/hak. Karena itu, Winarno (2006) mengatakan bahwa diperlukan pengembangan hutan rakyat yang mengarah kepada hutan rakyat kemitraan-swakarsa mandiri, yang mampu menjamin pasar dan harga yang bersaing dengan menstimulir kerjasama dengan perusahaan mitra untuk pemeliharaan selanjutnya.

Dalam jangka panjang diharapkan bahwa industri kayu yang bekerjasama dengan petani hutan rakyat akan didukung oleh suatu keseimbangan yang dinamis, antara supply dan demand bahan baku kayu yang bersumber dari hutan rakyat untuk memenuhi kepentingan lokal maupun yang berorientasi ekspor.

Dengan demikian sebagai upaya untuk membangun kemitraan antara pihak industri dan petani hutan rakyat, maka diperlukan keterlibatan Pemda sebagai mediator dan fasilitator. Peran Pemda disini bertujuan menjembatani kesenjangan

kepentingan yang ada pada kedua pihak, sehingga para pihak yang terlibat dapat mencapai kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan.

5.4.2Menciptakan Iklim Pemasaran yang Kondusif

Peningkatan pendapatan di tingkat masyarakat setempat melalui aktifitas usaha kayu rakyat, berdampak positif terhadap upaya pengembangan hutan rakyat ke depan di Kabupaten Donggala. Salah satu faktor yang menentukan terjadinya peningkatan pendapatan pada tingkat petani adalah adanya permintaan kayu rakyat. Dengan demikian hal ini berimplikasi pada pemasaran kayu rakyat yang pada akhirnya akan menambah pendapatan petani.

Berdasarkan hasil analisis SWOT terdapat sejumlah variabel yang mempengaruhi distribusi kayu rakyat dari petani sampai ke industri. Variabel-variabel tersebut dapat menghambat terjadinya proses pemasaran kayu yang sehat. Hal ini berdampak pada posisi tawar petani yang lemah, sehingga berimplikasi pada fungsi petani yang hanya sebagai pengambil harga (price

taker) dalam proses pemasaran kayu rakyat. Karena itu diperlukan strategi

menciptakan iklim pemasaran yang kondusif untuk mengatasi hambatan atau ancaman dimaksud.

Menciptakan iklim pemasaran yang kondusif disini berarti, membangun suatu mekanisme pasar kayu rakyat yang efisien dan berpihak pada petani

(option to the poor). Dalam pengertian ini petani bukan hanya sebagai

pengambil harga dalam proses transaksi kayu rakyat, sehingga petani dapat memperoleh bagian keuntungan yang semestinya diperolehnya. Hal ini tidak berarti adanya perbedaan perlakuan kepada pembeli atau konsumen lainnya.

Menurut Hardjanto (2003), bahwa untuk menciptakan efisiensi pemasaran setidaknya diperlukan dua syarat, yaitu: 1) terwujudnya kelompok (tani) usaha; dan 2) terwujudnya informasi pasar. Selanjutnya dengan terbentuknya kelompok tani, maka diharapkan akan meningkatkan posisi tawar petani (bargaining position) dalam proses pemasaran kayu rakyat. Suatu kelompok yang mempunyai kesamaan visi (vision) dan kebutuhan (need) akan mudah untuk melakukan kerjasama demi mencapai tujuan kolektif yang diinginkan, yaitu efisien, adil, dan merata (Nikijuluw 1999). Karena itu

kelompok tersebut harus terbentuk oleh keinginan anggotanya melalui suatu proses yang wajar, bukan atas rekayasa pemerintah karena adanya kepentingan-kepentingan terselubung, seperti memenuhi persyaratan sebuah proyek. Pada level ini pemerintah dapat berperan sebagai mediator atau fasilitator, yang terlebih dahulu telah melakukan pencerahan kepada masyarakat tentang manfaat suatu kelompok tani sebagai wadah pemersatu. Dalam hal ini peran pemerintah