• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategic of Community Forest Development to Support of Wood Supply to Wood Industry at Donggala District

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategic of Community Forest Development to Support of Wood Supply to Wood Industry at Donggala District"

Copied!
297
0
0

Teks penuh

(1)

MENUNJANG PASOKAN BAHAN BAKU INDUSTRI KAYU

DI KABUPATEN DONGGALA-SULAWESI TENGAH

PLAGHELMO SERAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Hutan Rakyat untuk Menunjang Pasokan Bahan Baku Industri Kayu di Kabupaten Donggala-Sulawesi Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Plaghelmo Seran

(3)

PLAGHELMO SERAN. Strategic of Community Forest Development to Support of Wood Supply to Wood Industry at Donggala District. Under direction of

HARDJANTO and LETI SUNDAWATI

This study was intended to determine the strategic factors that influence the development of community forests in Donggala, analyze the role of government, and formulate the development of community forests. The continuous decrease in the supply of timber from natural forests has resulted in the difficulty for a number of industries to get the raw materials. This is so because the supply from natural forests and community forest industries cannot meet the need of industries. This research was conducted through a survey method, which examined the development of community forests in four aspects: namely production, marketing, processing, and institution. The results showed that there is some strength of farmers that can be optimized to take the advantage of opportunities in the development of community forests. The variables of strength and opportunities were obtained for the formulation of strategies. These strategies are 1) to build partnerships between farmers and timber industries, 2) to create conducive marketing and 3) to increase the business of community timber which is supported by incentive policies

(4)

PLAGHELMO SERAN. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat untuk Menunjang Pasokan Bahan Baku Industri Kayu di Kabupaten Donggala-Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh HARDJANTO, dan LETI SUNDAWATI

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi hutan alam yang cukup luas di dunia. Hampir tiga dekade produksi kayu dari hutan alam telah memberi kontribusi yang penting bagi perkembangan industri kayu di Indonesia. Namun demikian, kondisi tersebut di atas kini telah mengalami berbagai perubahan. Laju degradasi hutan yang tak terkendali telah berdampak pada penurunan produktifitas hutan, sehingga luasan hutan alam dari waktu ke waktu terus berkurang. Hal ini telah memberikan dampak negatif bagi pasokan bahan baku yang terus menurun.

Saat ini kebutuhan bahan baku industri kayu tidak dapat dipasok seluruhnya dari hutan alam. Pada tahun 2009 tingkat kebutuhan bahan baku kayu mencapai 21.600.00 m3 per tahun, sedangkan kemampuan pasokan dari hutan alam, sekitar 6.000.00 m3

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Donggala selama bulan Juni sampai Oktober 2010 dengan menggunakan metode survey dan observasi lapangan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara tertutup (kuesioner), wawancara terbuka, dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi teknis terkait melalui penelusuran dokumen, aturan-atauran, dan laporan-laporan kegiatan. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling dan pemilihan informan kunci (key informant) dilakukan dengan cara snowball sampling. Analisis data secara kualitatif dilakukan pada aspek produksi, pengolahan, dan kelembagaan, sedangkan anlisis kuantitatif dilakukan pada aspek pemasaran. Unsur-unsur penting yang ditemukan melalui analisis tersebut, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode SWOT. Pada analisis SWOT langkah-langkah yang dilakukan meliputi: 1) evaluasi faktor internal untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan, selanjutnya evaluasi faktor eksternal untuk mengetahui peluang dan ancaman; 2) penentuan bobot dengan menggunakan skala 1-4. Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruahan variabel; 3) penentuan rating dengan melakuan pengukuran terhadap pengaruh masing-masing variabel yang menggunakan skala 1-4, kemudian dikalikan dengan bobot dari masing–masing faktor untuk memperoleh skor; dan 4) penentuan rangking dilakukan dengan menjumlahkan faktor-faktor strategis internal dan eksternal yang terkait.

(5)

rakyat yang ada menyerupai kurva “J” terbalik. Hal ini ditandai dengan adanya penyebaran pohon pada setiap kelas diameter. Potensi tegakan hutan rakyat yang ada sekitar 49.65% dari total kebutuhan bahan baku kayu bagi industri. Karena itu, hutan rakyat yang ada belum mampu untuk memasok kebutuhan bahan baku industri yang ada. Pola peredaran kayu rakyat dari petani sampai ke konsumen melalui 2 (dua) bentuk, yaitu 1) petani langsung ke industri; dan 2) petani – pedagang perantara – industri kayu. Sesuai analisis margin keuntungan dan margin pemasaran, diketahui bahwa petani hanya mendapat keuntunan rata-rata sekitar 8-14.81% dibandingkan dengan pedagang perantara dan pihak industri kayu yang masing-masing mendapat keuntungan sekitar 12-14.71% dan 20-28.57%. Hal ini menunjukkan bahwa patani belum memperoleh keuntungan yang yang optimal.

Struktur pasar penjualan kayu rakyat menunjukkan bahwa harga dan informasi pasar yang dikuasai oleh pembeli sehingga distribusi keuntungan terbesar ada pada pembeli. Sesuai dengan perilaku pasar petani bukan merupakan satu-satunya pihak yang menentukan harga. Karena itu struktur pasar dan perilaku pasar ialah monopsoni lokal. Pada aspek pengolahan umumnya petani belum memiliki kemampuan dan keterampilan serta teknologi yang memadai dalam pengolahan kayu. Industri kayu yang ada hanya mampu mengolah kayu bulat menjadi barang setengah jadi. Karena itu, sistem pengolahan kayu kurang efisien, Pada aspek kelembagaan, ditingkat petani belum terbentuk lembaga pengurusan sumber daya dan lembaga usaha. Karena itu, petani masih melakukan proses produksi sampai penjualan secara individual. Peran pemerintah daerah (Pemda) dapat dikatakan masih berbasis proyek dan bersifat tentatif. Peraturan Bupati No.14 tahun 2009 yang mengatur proses produksi dan peredaran kayu rakyat belum semuanya bersifat insentif langsung.

Sesuai dengan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal maka ditemukan variabel-variabel kekuatan dan kelemahan. Variabel kekuatan internal tertinggi memiliki skor sebesar 0.638, sedangkan skor terendah sebesar 0.435. Selanjutnya analisis terhadap faktor-faktor internal kelemahan diperoleh variabel dengan skor tertinggi sebesar 0.735, sedangkan variabel dengan skor terendah sebesar 0.190. Pada faktor-faktor eksternal peluang ditemukan variabel-variabel dengan nilai skor tertinggi sebesar 0.989, sedangkan skor terendah sebesar 0.315. Selanjutnya faktor-faktor eksternal hambatan memiliki nilai skor tertinggi, sebesar 0.696 dan nilai skor terendah sebesar 0.232.

Berdasarkan analisis SWOT tersebut di atas diperoleh total skor faktor internal kekuatan sebesar 3.312, sedangkan total skor faktor kelemahan 3.245. Selanjutnya total skor faktor eksternal peluang sebesar 3.325 dan total skor ancaman sebesar 2.379. Karena itu diperoleh nilai koordinat pada kuadran 1, yaitu (0.067;0.936). Hal ini berarti bahwa dalam pengembangan hutan rakyat harus terus mengupayakan kekuatan-kekuatan yang dimiliki dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Strategi-strategi hasil analisis SWOT yang dihasilkan yaitu: 1) membangun kemitraan antara pihak industri kayu dan petani hutan rakyat; 2) menciptakan iklim pemasaran yang kondusif; dan 3) meningkatkan usaha kayu rakyat yang didukung dengan kebijakan yang bersifat insentif.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

MENUNJANG PASOKAN BAHAN BAKU INDUSTRI KAYU

DI KABUPATEN DONGGALA-SULAWESI TENGAH

PLAGHELMO SERAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Penelitian : Strategi Pengembangan Hutan Rakyat untuk Menunjang Pasokan Bahan Baku Industri Kayu di Kabupaten Donggala-Sulawesi Tengah

Nama : Plaghelmo Seran

NIM : E151080181

Disetujui

Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus: Ketua

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS.

Anggota

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.

Koordinator Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan pada Bulan Juni-Oktober 2010 ini berjudul“Strategi Pengembangan Hutan Rakyat untuk Menunjang Pasokan Bahan Baku Industri Kayu di Kabupaten Donggala-Sulawesi Tengah ”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS. dan Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. selaku komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.For. sebagai penguji luar komisi dan Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. selaku pimpinan sidang.

2. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penyelesaian karya tulis ini.

3. Kementerian Kehutanan sebagai sponsor, pimpinan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XIV Palu yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 ini.

4. Rekan-rekan Mahasiswa Ilmu Pengelolaan Hutan Angkatan 2008 untuk kebersamaan, persahabatan dan masukannya dalam mempertajam analisis karya tulis ini.

5. Seluruh instansi dan pihak terkait di tingkat pusat (Kementerian Kehutanan, Pusat Diklat Kehutanan), tingkat provinsi (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, BPDAS Palu-Poso, BP2HP Palu, Kantor BPS, Kantor Pelayan Izin Terpadu) dan tingkat kabupaten (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala) atas fasilitas, data, dan informasi yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Istri tercinta Yosephin Nini Tina Timang, anak-anak tersayang Eugenia Kana D.T. Seran dan Melkyor Dalbergia T. Seran, Ibunda dan Bapak Mertua tercinta, Ibunda dan Bapak tercinta di Timor, serta saudara-saudariku tercinta di Palu dan Timor atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak, Amien.

Bogor, Agustus 2011

(12)
(13)

Penulis dilahirkan di Manufui (NTT), 13 April 1975 dari Bapak Paulus Seran Kiik dan Mama Elisabeth Bubu. Penulis merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara. Penulis menikah dengan Yosephin Nini Tina Timang pada tahun 2004 dan dikaruniai putra-putri yaitu Eugenia Kana D.T. Seran dan Melkyor Dalbergia T. Seran

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Ujung Pandang. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Universitas Muhammadiyah di Palu pada tahun 2003.

(14)

DAFTAR ISI

1.5 Kerangka Pikir Penelitian ... 9

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Hutan Rakyat di Indonesia ... 13

2.2 Industri Perkayuan Indonesia ... 16

2.3 Pengembangan Tanaman Jati ... 17

2.4 Pemasaran ... 20

4.2 Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 37

4.3 Aksesibilitas ... 39

4.4 Pola Penggunaan Lahan ... 40

4.5 Kondisi Hutan Rakyat Secara Umum di Kabupaten Donggala ... 40

4.6 Kondisi Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu ... 43

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Pelaku Usaha Hutan Rakyat ... 47

5.2 Faktor-Faktor Strategis dan Pengaruhnya terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala ... 49

5.2.1 Aspek Produksi ... 49

5.2.1.1 Struktur Tegakan Kayu Rakyat ... 49

5.2.1.2 Potensi Produksi ... 52

5.2.1.3 Upaya Pengembangan Hutan Rakyat ... 54

5.2.2 Aspek Pemasaran ... 58

5.2.2.1 Pola Pemasaran dan Rantai Tataniaga ... 61

5.2.2.2 Proses Peredaran dan Tataniaga Kayu Rakyat ... 65

(15)

5.2.2.4 Perilaku Pasar (Market Conduct) ... 68

5.2.3 Aspek Pengolahan ... 70

5.2.3.1 Industri Pengolahan Kayu Rakyat ... 70

5.2.3.2 Tingkat Persediaan Bahan Baku Kayu Rakyat ... 72

5.2.3.3 Produk dan Konsumen ... 72

5.2.4 Aspek Kelembagaan ... 73

5.2.4.1 Lembaga Pengurusan Sumberdaya ... 74

5.2.4.2 Lembaga Usaha ... 75

5.2.4.3 Peran Pemda dalam Upaya Pengembangan Hutan Rakyat ... 76

5.3 Analisis Faktor-Faktor SWOT ... 80

5.3.1 Faktor Internal-Kekuatan (Strength) ... 80

5.3.2 Faktor Internal-Kelemahan (Weakness) ... 88

5.3.3 Faktor Eksternal-Peluang (Opportunities) ... 95

5.3.4 Faktor Eksternal-Hambatan (Threat)...102

5.4 Analisisi Strategi Prioritas Pengembangan Hutan Rakyat ...108

5.4.1 Membangun Kemitraan antara Petani dan Pihak Industri Kayu ... 112

5.4.2 Menciptakan Iklim Pemasaran yang Kondusif ... 113

5.4.3 Meningkatkan Usaha Kayu Rakyat yang Didukung dengan Kebijakan yang Bersifat Insentif ... 115

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

6.1 Kesimpulan... 117

6.2 Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE) …….………..….. 31

2 Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE) ……….…… 31

3 Matriks SWOT ……….……… 33

4 Penyusunan rangking strategi analisis SWOT ... 33

5 Penentuan rangking alternatif rencana strategi ……….…….. 34

6 Variabel, definisi operasional, parameter pengukuran dan keterangan penilaian sub sistem produksi, sub sistem pengolahan, sub sistem sistem pemasaran, dan sub sistem kelembagaan ... 35

7 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ... 38

8 Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Donggala tahun 2009 ... 38

9 Jarak antara ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan ... 39

10 Luas wilayah Kabupaten Donggala berdasarkan pola penggunaan lahan ... 40

11 Luas kawasan hutan dan peruntukannya di Kab. Donggala ... 41

12 Luas hutan rakyat/hak berdasarkan asal-asulnya ... 41

13 Jenis pohon yang tumbuh secara alami di lahan milik petani ... 43

14 Nama industri, jenis dan kapasitas terpasang ... 44

15 Rata-rata pendapatan petani hutan rakyat/bulan ... 47

16 Luas lahan milik petani hutan rakyat ... 48

17 Stratifikasi pemilikan lahan berdasarkan luas... 49

18 Potensi kayu rakyat di Kabupaten Donggala ... 52

19 Distribusi responden berdasarkan jenis pohon yang ditanam ... 53

20 Proyeksi hasil produksi kayu jati Salomo per hektar …..……….... 56

21 Proyeksi hasil produksi kayu JUN per hektar ... 57

22 Kayu hutan rakyat yang dibeli oleh industri ... 58

23 Analisis margin pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala pada pola pemasaran pertama ... 62

(17)

pada pola pemasaran kedua ... 63

26 Hasil analisis margin keuntungan tataniaga kayu kelompok jenis meranti dan rimba campuran pada pola pemasaran kedua ... 64

27 Persentase pembelian kayu berdasarkan daerah asal pembeli kayu ...65

28 Karakteristik industri berdasarkan produk, jenis, ukuran dan konsumen ... 73

29 Tabel evaluasi variabel internal kekuatan (strength) ... 81

30 Analisis biaya dan pendapatan petani dalam usaha kayu rakyat di di Kabupaten Donggala ... 84

31 Hasil evaluasi variabel faktor internal kelemahan (weakness) ... 89

32 Hasil evaluasi variabel eksternal peluang (opportunities) ... 95

33 Jumlah industri, kapasitas terpasang dan letak industri ... 96

34 Hasil evaluasi variabel eksternal ancaman (threath) …..…..…….……102

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alur pikir penelitian ... 11

2 Diagram SWOT ... 23

3 Hutan rakyat/hak yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat ... 42

4 Pemanfaatan lahan dengan pola agroforestry dan monokultur... 48

5 Distribusi pohon menurut kelas diameter di Kabupaten Donggala ... 50

6 Tegakan kayu jati rakyat yang berdiameter 20-25 cm dan berdiameter 25-30 cm. ... 51

7 Pohon jati yang berumur 6 tahun ... 54

8 Jenis kayu utama yang dijual ... 60

9 Pola pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Donggala ... 61

10 Para pihak yang menentukan harga jual kayu rakyat ... 66

11 Produk lanjutan dari kayu gergajian ... 71

12 Tingkat umur tenaga kerja ... 86

13 Partisipasi masyarakat dalam mengikuti kegiatan pelatihan/ penyuluhan ... 88

14 Peningkatan harga kayu rakyat tiga tahun terakhir …..………..101

15 Diagram SWOT strategi pengembangan hutan rakyat ... 109

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil pengolahan data responden pedagang perantara ………... 125

2 Hasil pengolahan data responen pihak industri kayu... 126

3 Hasil pengolahan data responen petani ... 127

4 Harga kayu di tingkat petani ... 129

5 Karakteristik kepemilikan lahan di Kecamatan Banawa dan Sindue ... 130

6 Komposisi tegakan hutan rakyat per kelas diameter ... 131

7 Nilai rata-rata jenis pohon pada kelas diameter tertentu terhadap total jumlah pohon ... 132

8 Jumlah pohon per ha ... 133

9 Karakteristik responden ... 134

10 Hasil kombinasi unsur SWOT ... 135

11 Hasil penilaian bobot IFE ... 136

12 Hasil penilaian bobot EFE ... 137

13 Hasil evaluasi faktor internal ... 138

14 Hasil evaluasi faktor eksternal ... 139

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil pengolahan data responden pedagang perantara ………... 123

2 Hasil pengolahan data responen pihak industri kayu... 124

3 Hasil pengolahan data responen petani ... 125

4 Harga kayu di tingkat petani ... 127

5 Karakteristik kepemilikan lahan di Kecamatan Banawa dan Sindue ... 128

6 Komposisi tegakan hutan rakyat per kelas diameter ... 129

7 Nilai rata-rata jenis pohon pada kelas diameter tertentu terhadap total jumlah pohon ... 130

8 Jumlah pohon per ha ... 131

9 Karakteristik responden ... 132

10 Hasil kombinasi unsur SWOT ... 133

11 Hasil penilaian bobot IFE ... 134

12 Hasil penilaian bobot EFE ... 135

13 Hasil evaluasi faktor internal ... 136

14 Hasil evaluasi faktor eksternal ... 137

15 Hubungan antara luas dan potensi yang dinyatakan dalam regresi liner sederhana ………. 138

(21)

1.1 Latar Belakang

Bergulirnya otonomi daerah (Otoda), telah memberikan peluang bagi

pemerintah daerah (Pemda) untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini

membawa konsekuensi logis kepada Pemda, untuk membiayai seluruh kegiatan

pembangunan daerahnya dengan dana sendiri. Karena itu Pemda berupaya

seoptimal mungkin untuk menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah

(PAD). Salah satu sumber PAD yang potensial adalah dari sektor kehutanan.

Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 jo.No.32 tahun 2002, Pemda diberi

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat yang berkembang di

lapangan.

Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah di Kabupaten Donggala

telah memunculkan kekawatiran pada masyarakat. Bahwa daerah cenderung

untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan secara berlebihan, melalui penerbitan

Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Ijin Sah Lainnya (ISL). Hal ini dalam rangka

mendapatkan sumber dana guna mendukung penyelenggaraan pembangunan

daerah. Kebijakan penerbitan IPK dan ISL ini, di salah satu sisi mempunyai

maksud untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Industri Pengelolaan Hasil Hutan

Kayu (IPHHK) dan kebutuhan pasar lokal, namun di sisi yang lain telah

menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Laju kerusakan hutan di Kabupaten

Donggala yang melebihi 50% dari luas kawasan hutan telah mengakibatkan

turunnya produksi kayu dari hutan alam (Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng

2006). Otonomi daerah telah menjadikan hutan sebagai salah satu sumber PAD

sehingga laju kerusakan hutan sampai saat ini telah mencapai tingkat yang

memprihatinkan dan sulit untuk dikendalikan (Ohorella 2003).

Produksi kayu dari hutan alam yang terus menurun berimplikasi pada

terbatasnya pemenuhan bahan baku bagi industri kayu. Peran industri perkayuan

yang sangat penting bagi perolehan devisa dan pembangunan ekonomi, serta

perkembangannya yang pesat selama ini, telah menimbulkan persoalan-persoalan

(22)

bahan baku kayu dari hutan alam, rendahnya realisasi pembangunan Hutan

Tanaman Industri (HTI), serta inefisiensi produksi telah menyebabkan produksi

hasil hutan menurun. Hal ini berakibat pada banyak perusahaan pengelolaan kayu

yang mengalami kerugian dan terlilit hutang (Ditjen BPK 2006). Hal ini selaras

dengan Manurung (2006) bahwa pemanfaatan kapasitas terpasang dan produksi

hasil hutan dari tahun ke tahun menunjukkan tren yang menurun.

Pada tingkat nasional industri perkayuan kini tak lagi menggantungkan

sepenuhnya pada pasokan bahan baku yang berasal dari hutan negara. Kendatipun

kualitas kayu rakyat dinilai masih sangat terbatas, faktanya dari waktu ke waktu

semakin diperhitungkan. Potensi kayu rakyat inilah yang diharapkan ke depan

bisa mengurangi tingkat kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan kayu. Total

produksi kayu dari hutan negara pada tahun 2004 adalah 13.4 juta m³ (berasal dari

hutan alam, hutan tanaman industri, hutan tanaman perhutani dan areal

konservasi). Sementara itu kebutuhan bahan baku kayu diperkirakan mencapai 53

juta m³ per tahun. Terdapat angka kesenjangan kira-kira sebesar 39.55 juta m³.

Sejauh ini angka kesenjangan ini diatasi terutama oleh pasokan kayu-kayu ilegal.

Pasokan kayu rakyat tidak lebih dari 6 juta m³ per tahun (Santosa 2006).

Berangkat dari fakta ini, sebenarnya sejauh ini hutan rakyat sudah memberikan

sumbangan yang cukup berarti bagi keberlangsungan industri perkayuan di

Indonesia, terutama untuk industri-industri berskala menengah ke bawah.

Kondisi industri kayu di Kabupaten Donggala yang beroperasi jumlahnya

terus menurun dari tahun ke tahun. Ini terjadi sebagai akibat kuranngnya pasokan

bahan baku dari hutan alam. Saat ini jumlah industri yang terdaftar dan memiliki

Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) sebanyak 15 unit.

Industri-industri tersebut dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu 1) Industri-industri menengah ke

atas dengan kapasitas terpasang >2000 m³ per tahun sebanyak 2 unit; dan 2)

industri menengah ke bawah dengn kapasitas terpasang <2000 m³ per tahun

sebanyak 13 unit. Selanjutnya, total kapasitas produksi untuk keseluruhan industri

tersebut yaitu 21.600 m³ per tahun. Dari 15 unit industri yang terdaftar saat ini

hanya 7 unit yang beroperasi, sedangkan 8 unit lainnya tidak beroperasi (BP2HP

XIV Palu 2009). Walaupun demikian, dari ketujuh industri yang beroperasi itupun

(23)

menunjukkan bahwa adanya kesenjangan dalam pemenuhan bahan baku industri

kayu. Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, masih

diperlukan kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan hutan rakyat dari luar

Kabupaten Donggala.

Pasokan bahan baku dari hutan alam yang terus menurun, dapat dilihat

sebagai peluang untuk mendorong upaya pengembangan hutan rakyat di luar

kawasan hutan negara. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan

potensial dan aktual milik masyarakat yang ada (Hakim et al. 2009). Keberadaan hutan rakyat ke depan diharapkan dapat manjadi penyedia bahan baku untuk

industri kayu di Kabupaten Donggala. Potensi pengembangan dan keberhasilan

pembangunan hutan rakyat ini, akan sangat bergantung pada kesiapan aparat

pemerintah pusat maupun daerah dan masyarakat, yaitu petani dan industri kayu

(Sukadaryati 2006). Pengembangan hutan rakyat, memiliki potensi yang cukup

untuk pengembalian fungsi lingkungan (ekologis) maupun ekonomis, sehingga

perlu didukung oleh aturan-aturan yang jelas. Selanjutnya aturan-aturan tersebut

sebagai pegangan bagi para pihak (stakeholders) yang terlibat di dalam pengembangan hutan rakyat. Sebagai landasan yuridis, aturan-aturan dimaksud

diharapkan dapat menjadi payung hukum yang efektif dan efisien.

Di Kabupaten Donggala keberadaan hutan rakyat belum berkembang

sebagaimana jika dibandingkan dengan hutan rakyat di Jawa. Hutan rakyat yang

ada saat ini umumnya merupakan hutan rakyat yang tumbuh secara alami di atas

lahan milik masyarakat, hutan rakyat hasil program Gerakan Rehabilitasi Hutan

dan Lahan (Gerhan) dan hutan rakyat swadaya (BPDAS Palu-Poso 2009). Luas

hutan rakyat hasil program Gerhan yang mulai dicanangkan tahun 2003 di

Kabupaten Donggala adalah 3.225 ha (Ditjen RLPS 2010). Pengembangan hutan

rakyat di Kabupaten Donggala belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Hal ini karena masih adanya kendala-kendala pada masyarakat yang belum

teratasi. Selain itu peran Pemda sebagai regulator dan motivator dalam

mendukung upaya pengembangan hutan rakyat dapat dikatakan masih minim

(24)

Keterlibatan dari Pemda baru sebatas pada penyediaan bibit dan kegiatan

penyuluhan. Kegiatan ini merupakan bagian dari pelaksanaan proyek Gerhan. Di

samping itu sampai pada saat ini belum ada peraturan-peraturan daerah (Perda)

yang bersifat insentif, untuk mendorong masyarakat dalam mengembangkan

hutan rakyat. Sementara itu, semakin berkurangnya bahan baku dari hutan alam,

tidak terlepas dari kebijakan penurunan jatah produksi tebangan tahunan (JPT)

secara nasional. Hal ini dapat dilihat sebagai peluang yang memungkinkan bagi

Pemda untuk berupaya melakukan pengembangan hutan rakyat.

Penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan faktor-faktor internal

maupun faktor-faktor eksternal, yang berpengaruh dalam upaya pengembangan

hutan rakyat di Kabupaten Donggala. Faktor-faktor dimaksud dapat berasal dari

petani, pedagang atau pihak-pihak lain, juga dapat berasal dari pemerintah.

Kemudian bagaimana peran pemerintah dalam upaya pengembangan hutan rakyat

di Kabupaten Donggala. Atas dasar kajian terhadap faktor-faktor yang dimaksud

di atas, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat merekomendasikan

strategi-strategi, agar dapat digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan hutan rakyat

di Kabupaten Donggala. Dengan demikian, hutan rakyat di masa depan

diharapkan mampu menjadi salah satu pemasok kebutuhan bahan baku industri

kayu yang tangguh, efisien, dan kompetitif.

1.2Perumusan Masalah

Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala selama ini, belum

menunjukkan suatu hasil yang signifikan yang dapat dirasakan manfaatnya, baik

oleh masyarakat maupun oleh industri kayu (Aspar 2009). Hutan rakyat dapat

dikembangkan untuk mengatasi kesulitan bahan baku industri, yang dalam

pelaksanaannya melibatkan banyak pihak, yaitu pemerintah, petani, dan industri

kayu. Oleh karena itu, hal yang perlu dikaji saat ini adalah bagaimana usaha

pengembangan hutan rakyat ke depan. Upaya-upaya tersebut yang akan dilakukan

dengan melibatkan pemerintah, petani, dan industri, sehingga manfaatnya dapat

dirasakan langsung oleh petani dan industri kayu yang saat ini terus mengalami

(25)

Aspar (2009) mengemukakan bahwa lambatnya pengembangan hutan

rakyat di Kabupaten Donggala disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor

internal petani maupun faktor eksternal yang saling berkaitan. Faktor-faktor

internal petani meliputi: 1) kelembagaan hutan rakyat yang belum terbentuk; 2)

produkstivitas hutan rakyat rendah; dan 3) pengembangan usaha hutan rakyat

belum menjadi fokus utama atau masih bersifat sampingan. Masalah-masalah

tersebut sangat terkait dengan kebijakan pendukung bagi penyediaan bahan baku

kayu hutan rakyat bagi industri. Selanjutnya faktor-aktor eksternal meliputi: 1)

hambatan dalam peredaran kayu rakyat sehingga menjadi tidak efisien; dan 2)

kebijakan pengembangan hutan rakyat yang masih lemah. Hal ini sekaligus

menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengembangan hutan rakyat selama ini

belum menyentuh permasalahan sesungguhnya di lapangan.

Permasalahan lambatnya proses pengembagan hutan rakyat, dapat pula

terjadi karena lemahnya kelembagaan di tingkat petani yang berfungsi membantu

petani, kurangnya informasi pasar, aplikasi teknologi yang kurang tepat/tidak

sesuai dengan kondisi biofisik setempat, atau dapat pula disebabkan oleh

persoalan-persoalan sosial lainnya. Maka bagaimana memikirkan pengembangan

hutan rakyat ke depan yang dapat menjadi pemasok bahan baku industri kayu.

Hasil penelitian Aspar (2009) tentang hutan rakyat di Kabupaten Donggala

menunjukkan bahwa adanya keinginan masyarakat untuk mengembangkan hutan

rakyat. Namun demikian pengembangan hutan rakyat tersebut belum didukung

sepenuhnya dengan suatu strategi pengelolaan yang baik, diantaranya yaitu belum

ada perencanaan dan koordinasi antar instansi teknis terkait. Strategi dimaksud

diharapkan dapat mendorong upaya pengembangan hutan rakyat ke depan yang

meliputi aspek produksi, pemasaran, dan pengolahan yang didukung oleh

kelembagaan yang lebih baik pada setiap aspek tersebut di atas. Hal in selaras

dengan Hardjanto (2003) bahwa dalam pengembangan usaha kayu rakyat harus

memperhatikan empat aspek penting tersebut yang saling terkait satu sama lain.

Persoalan mendasar yang dihadapi saat ini adalah adanya gap dalam

pemenuhan bahan baku industri kayu di Donggala. Kesenjangan ini terjadi karena

(26)

IPK-HA/IUPHHK-HA, sedangkan tingakat kebutuhan kayu dari tahun ke tahun terus meningkat.

Hutan rakyat sebagai sumber bahan baku alternatif belum mampu untuk

memenuhi kebutuhan industri kayu. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan

untuk menggali permasalahan-permasalahan pada pengembangan hutan rakyat

yang meliputi sub sistem produksi, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan.

Secara umum permasalahan yang dihadapi pada keempat sub sistem

tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) aspek produksi. Produktivitas hutan

rakyat tergolong rendah dan belum mampu untuk memasok bahan baku pada

seluruh industri yang ada di Donggala. Petani hutan rakyat tergolong petani

tradisional yang kemampuannya sangat terbatas. Permasalahan lainnya dalam

aspek ini yaitu usaha hutan rakyat yang masih bersifat sampingan (Aspar 2009).

Permasalahan yang ada dapat dikaji dengan memperhatikan atribut-atribut, yaitu:

struktur dan potensi tegakan, tingkat produktivitas hutan rakyat dan pemanfaatan

lahan untuk pengembangan tanaman yang sesuai dengan kondisi agroklimat; 2)

aspek pemasaran. Umumnya petani belum mengetahu informasi pasar, banyaknya

biaya yang harus dikeluarkan saat mengurus izin. Permasalahan yang ada dapat

dikaji dengan memperhatikan atribut-atribut, yaitu: sistem distribusi kayu, struktur

pasar dan perilaku pasar; 3) aspek pengolahan. Para petani belum memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam pengolahan kayu. Selain itu

industri kayu yang masih beroperasi umumnya merupakan industi hulu, yang

hanya mampu mengolah kayu bulat menjadi barang setengah jadi. Selanjutnya,

umumnya industri penggergajian (saw mill) masih menggunakan alat-alat sederhana (band saw) sebagai gergaji utama, sehingga mutu kayu olahan yang dihasilkan masih rendah. Selain itu banyak menghasilkan limbah dan dapat juga

menyebabkan tingginya rendemen kayu. Permasalahan yang ada pada aspek

pengolahan dapat dikaji dengan memperhatikan atribut-atribut, yaitu: jumlah dan

jenis industri kayu, tingkat persediaan bahan baku, dan produk dan konsumen

kayu rakyat.

Dengan demikian, diharapkan dari hasil analisis pada ketiga sub sistem

tersebut di atas dapat ditemukan hubungan antara potensi supply dan potensi

(27)

Permasalahan terakhir yaitu pada aspek kelembagaan. Kelembagaan yang

dimaksud disini adalah seluruh aturan main yang ada dan merupakan suatu sistem

yang kompleks, yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, hak

kepemilikan dan batas yurisdiksi serta kebiasaan yang tidak terlepas dari

lingkungan pengelolaan hutan rakyat. Kelembagaan yang dikaji meliputi aspek

produksi, pemasaran dan pengolahan. Kelembagaan juga sudah mencakup

lembaga resmi dari pemerintah, dan lembaga lain yang dibentuk oleh masyarakat

secara mandiri yang berperan dalam pengembangan hutan rakyat.

Pada tingkat Kabupaten Donggala, instansi pemerintah yang mengurusi

hutan rakyat adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan Balai

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Palu–Poso (BPDAS Palu-Poso). Keterlibatan

BPDAS Palu-Poso secara teknis yaitu melalui kegiatan Gerhan, sedangkan pihak

Dishutbun terlibat sebagai instansi pelaksana di lapangan. Namun demikian

keterlibatan kedua instansi tersebut di atas baru pada tahap penyediaan bibit dan

penyebaran informasi dan pengetahuan melalui kegiatan penyuluhan. Selain itu,

secara kelembagaan belum dibentuk lembaga (usaha dan ekonomi) di tingkat

petani yang bersifat permanen (Aspar 2009). Atas dasar informasi tersebut maka

dapat dipastikan bahwa usaha pengembangan hutan rakyat oleh para petani

sampai saat ini praktis dilakukan secara mandiri. Jadi pola pengembangan yang

dilakukan bersifat individual tanpa didukung dengan kemampuan teknis maupun

manajemen yang memadai. Oleh sebab itu progres pengembangan hutan rakyat

oleh para petani menjadi sangat lambat atau dapat dikatakan terhambat.

Menurut Hardjanto (2003), bahwa dalam pengembangan usaha hutan

rakyat diperlukan adanya penataan kelembagaan, agar usaha hutan rakyat dapat

berkesinambungan melalui inovasi-inovasi maupun intervensi kelembagaan. Dari

permasalahan yang ada jelas bahwa usaha hutan rakyat di Kabupaten Donggala

belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan kajian-kajian mendalam terhadap

upaya-upaya pengembangan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani saat ini yang

meliputi aspek produksi, pemasaran, pengolahan, dan kelembagaan. Selanjutnya,

perlu pula dikaji bagaimana peran pemerintah terkait dengan upaya-upaya

(28)

Dengan demikian, diharapkan dari hasil kajian tersebut akan diperoleh

strategi-strategi khusus yang sesuai dengan kondisi setempat (local specific), dan dapat diimplementasikan di lapangan. Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten

Donggala merupakan sesuatu yang penting dan mendesak untuk dilakukan dengan

tujuan: a) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; b) untuk memanfaatkan

lahan kosong; c) untuk mendukung industri dalam penyediaan bahan baku; dan d)

menciptakan lapangan kerja.

Berdasarkan uaraian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian

dalam bentuk pertanyaan sebagai berkut:

1. Faktor-faktor strategis apa saja yang berpengaruh pada pengembangan usaha

hutan rakyat di Kabupaten Donggala.

2. Bagaimana peran pemerintah dalam upaya pengembangan hutan rakyat di

Kabupaten Donggala.

3. Strategi yang bagaimana yang dapat diterapkan dalam pengembangan hutan

rakyat yang dapat meningkatkan pendapatan petani pemilik hutan rakyat dan

mendukung pemenuhan bahan baku industri kayu.

1.3Tujuan

Tujuan Penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor strategis yang berpengaruh terhadap

pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala.

2. Menganalisis peran pemerintah daerah (Pemda) dalam upaya pengembangan

hutan rakyat.

3. Merumuskan strategi pengembangan hutan rakyat yang mendukung pasokan

bahan baku kayu bagi industri pengelolaan hasil hutan kayu.

1.4Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan:

1. Dapat bermanfaat sebagai acuan dan sumber informasi bagi para pihak terkait

dengan pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat ke depan di Kabupaten

(29)

2. Sebagai masukkan bagi pemerintah daerah dalam menyusun strategi

pengembangan hutan rakyat untuk mendukung supply bahan baku industri

kayu di Kabupaten Donggala.

1.5Kerangka Pikir Penelitian

Pasokan bahan baku dari hutan alam untuk kebutuhan industri kayu yang

berada di Kabupaten Donggala terus menurun dari tahun ke tahun. Hal ini dapat

dilihat sebagai peluang untuk mendorong upaya pengembangan hutan rakyat,

sehingga ke depan diharapkan hutan rakyat dapat diandalkan sebagai penyedia

bahan baku untuk kebutuhan industri kayu. Proses pengembangan dan

keberhasilan pembangunan hutan rakyat ini, sangat bergantung kepada

keterlibatan aparat pemerintah pusat maupun daerah, dan masyarakat baik petani

dan pihak industri kayu. Karena itu, keterlibatan para pihak tersebut di atas sangat

penting dalam rangka menyikapi semakin berkurangnya bahan baku kayu dari

hutan alam.

Permasalahan hutan rakyat yang muncul pada umumnya meliputi empat

aspek yaitu: a) produksi, b) pemasaran, c) pengolahan dan d) kelembagaan. Pada

aspek produksi variabel-variabelnya adalah struktur tegakan, potensi produksi,

dan upaya pengembanan hutan rakyat. Pada aspek pemasaran meliputi beberapa

hal antara lain, yaitu: sistem distribusi, struktur pasar, dan perilaku pasar.

Selanjutnya aspek pengolahan yang dimaksud disini adalah semua jenis

tindakan/perlakuan yang dapat mengubah bahan baku (kayu bulat) menjadi

barang setengah jadi atau barang jadi. Masalah terbesar pada aspek pengolahan

saat ini adalah jumlah dan kontiunitas sediaan bahan baku (Hartono 2006). Di

samping itu, permasalahan kelembagaan yang mendukung pada setiap aspek juga

perlu disempurnakan, agar kinerja usaha hutan rakyat secara keseluruhan menjadi

lebih baik. Pada penelitian ini, kajian kebijakan pengembangan hutan rakyat dan

industri menjadi kebutuhan mendesak untuk mengetahui

permasalahan-permasalahan yang ada dalam ke empat aspek tersebut di atas. Selanjutnya dapat

dirumuskan strategi-strategi yang dapat digunakan sebagai upaya pengembangan

(30)

Kondisi hutan rakyat di Kabupaten Donggala berdasarkan penelitian

sebelumnya menunjukkan kecenderungan perkembangan yang belum signifikan.

Peran pemerintah malalui Dishutbun Kabupaten Donggala dan BPDAS Palu-Poso

masih berbasis proyek. Selanjutnya belum dibentuknya lembaga sosial lainnya

oleh petani hutan rakyat dapat menjadi salah satu penyebab lambatnya

perkembangan hutan rakyat.

Berdasarkan kondisi hutan rakyat tersebut di atas, maka analisis yang

pertama dilakukan adalah analisis terhadap aspek produksi yang meliputi: struktur

tegakan, potensi tegakan dan upaya pengembangan hutan rakyat. Khusus untuk

aspek pemasaran kayu maka akan dilakukan analisis yang meliputi sistem

tataniaga kayu rakyat dari petani sampai ke industri kayu, sistem distribusi,

struktur pasar dan perilaku pasar. Hasil analisis tersebut di atas diharapkan dapat

melengkapi dan sekaligus untuk menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini.

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif berdasarkan hasil

wawancara, kajian pustaka, dan informasi lainnya yang dapat melengkapi dan

memperkaya analisis ini. Selanjutnya dilakukan analisis tehadap aspek

pengolahan yang meliputi jumlah industri industri kayu, tingkat persediaan bahan

baku, produk dan permintaan kayu.

Kemudian dilakukan kajian terhadap peran pemerintah pusat dan daerah

dalam upaya pengembangan hutan rakyat di Donggala. Hal ini dilakukan untuk

mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upaya pengembangan hutan

rakyat, sekaligus mengetahui persepsi masyarakat mengenai peran Pemda dalam

upaya pengembangan hutan rakyat. Dalam kajian ini digunakan analisis deskriptif

kualitatif berdasarkan wawancara, kajian pustaka, dan data-data lainnya yang

diperoleh di lapangan.

Atas dasar informasi yang diperoleh dari hasil analisis terhadap keempat

aspek tersebut, kemudain dilakukan analisis strategis dengan menggunakan

analisis SWOT. Analisis ini dilakukan untuk menemukan peubah-peubah strategis

internal dan eksternal serta pengaruhnya terhadap sistem pengembangan hutan

rakyat di Kabupaten Donggala. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis tersebut

(31)

unsusr-unsur internal dan eksternal yang telah ditetapkan. Penyusunan alternatif strategi

dilakukan dengan menggunakan diagram dan matriks SWOT, untuk merumuskan

arahan strategi pengembangan hutan rakyat untuk menjawab tujuan ketiga

penelitian ini.

Kerangka pikir yang dibangun dalam rangka penelitian strategi

pengembangan hutan rakyat untuk menunjang pasokan bahan baku di Kabupaten

Donggala tersebut, secara diagramatis seperti pada Gambar 1.

Kerangka pikir penelitian yang secara diagramatis seperti pada Gambar 1.

(32)
(33)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Hutan Rakyat di Indonesia

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 5

ayat 1 huruf b istilah hutan milik diganti dengan istilah hutan hak yang dalam bab

penjelasannya disebut hutan rakyat. Keputusan Menteri Kehutanan No.

29/Kpts-II/1997 tetang pendanaan dan usaha hutan rakyat dijelaskan bahwa hutan rakyat

adalah hutan yang dimiliki rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan

tajuk tanaman kayu-kayuan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman

tahun pertama sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.

Tinambunan (1995) menyatakan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang

dibangun pada lahan milik atau gabungan lahan milik yang ditanami pohon, yang

pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau suatu badan usaha

seperti koperasi, dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang sudah

digariskan oleh pemerintah.

Hutan rakyat dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu hutan rakyat

tradisional dan hutan rakyat inpres. Hutan rakyat tradisional, yaitu hutan rakyat

yang ditanam di atas tanah milik atas inisiatif pemiliknya sendiri tanpa adanya

subsidi atau bantuan dari pemerintah. Hutan rakyat inpres, yaitu hutan rakyat yang

dibangun melalui kegiatan atau program bantuan penghijauan (IPB 1990).

Istilah dan bentuk-bentuk hutan rakyat yang dikenal lainnya adalah:

1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman

pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur.

2. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis

pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

3. Hutan rakyat dengan sistem agroforestry, yaitu hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan usaha tani lainnya seperti

perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu pada satu

(34)

Hutan rakyat di Indonesia khususnya di Pulau Jawa telah dibangun dalam

skala besar sejak zaman kolonial Belanda baik melalui swadaya masyarkat

maupun program bantuan penghijauan. Produksi hutan rakyat semakin berperan

nyata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mulai dari kayu bakar, kayu untuk

pertukangan (perkakas) dan untuk komponen pembangunan rumah. Dewasa ini

kayu rakyat menjadi sesuatu yang sangat penting dan menjadi andalan dalam

upaya pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat, sejalan dengan menurunnya

produksi kayu rimba dari hutan alam.

Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar baik dari segi

populasi pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya. Perkiraan

potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari instansi kehutanan di daerah

mencapai 39.416.557 m³ dengan luas 1.568.415.64 ha (Statistik Kehutanan 2008).

Sementara itu, potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan

oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat

mencapai 39.564.003 m³ dengan luas 1.560.229 ha ( BPS 2004).

Potensi hutan rakyat tersebut secara nyata telah dapat merangsang

tumbuhnya aktivitas lanjutan seperti usaha-usaha yang termasuk dalam backward and forward linkages. Besarnya potensi hutan rakyat tesebut bukan berarti masalah produksi hasil hutan rakyat dapat diabaikan, namun masih menyisahkan

banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Permasalahan tersebut harus

dipecahkan melalui penelitian, baik melalui penelitian dasar maupun terapan

(Darusman & Hardjanto 2006).

Pengusahaan hutan rakyat merupakan kegiatan yang meliputi: aspek

produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan kelembagaan. Dari cakupan

pengusahaan hutan rakyat tersebut dapat diketahui bahwa para pihak yang terlibat

dalam pengusahaan hutan rakyat ini cukup banyak. Stakeholders yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat antara lain pemilik lahan, petani penggarap,

buruh tani, pedagang kayu dan industri pembeli serta pemerintah daerah

(Darusman & Hardjanto 2006).

Lebih lanjut diungkapkan bahwa sampai dengan saat ini hutan rakyat

(35)

hutan rakyat akan berdampak pada perekonomian desa. Walaupun demikian,

pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan

sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari

pendapatan total yang mereka terima. Usaha hutan rakyat pada umumnya masih

bersifat sampingan yang dilakukan oleh petani kecil hanya untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

Menurut Scott (1976) dalam Darusman dan Hardjanto (2006) mengatakan

bahwa usaha petani kecil yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari dikategorikan sebagai petani subsisten. Petani subsisten memiliki kebiasaan

yang menjadi filosofi hidup mereka yaitu mendahulukan selamat, artinya apa

yang diusahakan prioritas utamanya adalah untuk mencukupi kebutuhan konsumsi

sendiri. Hal ini disebut dengan etika subsisten.

Pengusahaan hutan rakyat dapat memberikan dampak ekonomis bagi

orang-orang diluar pemilik hutan rakyat seperti buruh tani atau tenaga kerja

lainnya. Ini dapat dilihat pada sistem pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan

secara intensif. Hal ini berdampak pada penyerapan tenaga kerja di pedesaan yang

berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Dengan terjadinya

peningkatan pendapatan masyarakat di desa, maka secara tidak langsung usaha

hutan rakyat akan ikut mendongkrak perekonomian pedesaan.

Keberadaan hutan rakyat diharapkan mampu untuk memasok bahan baku

industri penggergajian dan industri meubel. Sejak pembatasan/pengurangan jatah

tebangan tahunan terhadap pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

(IUPHHK) dari hutan alam permintaan kayu rakyat terus meningkat. Oleh karena

itu ke depan hutan rakyat diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif sumber

pasokan bahan baku kayu yang dapat diandalkan baik dari segi kualitas dan

kuantitas bahan baku yang dikelolah secara lestari.

Menurut Hardjanto (2003), permintaan kayu rakyat dikategorikan menjadi

tiga macam yaitu:1) permintaan pasar lokal (local market), 2) industri menengah yang produknya untuk scope yang lebih luas dan berorientasi ekspor, dan 3) industri besar padat modal. Pada industri menengah alat-alat yang digunakan

(36)

masih rendah. Selain itu masih belum ada standardisasi produk, sehingga

terkadang tidak sesuai dengan permintaan pasar.

2.2Industri Perkayuan di Indonesia

Pembangunan industri merupakan suatu fungsi dari tujuan pokok

kesejahteraan rakyat, bukan kegiatan mandiri hanya sekedar mencapai fisik saja.

Industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha meningkatkan mutu sumber daya

manusia dan kemampuannya memanfaatkan secara optimal sumber daya alam

dan sumber daya lainnya. Industri mempunyai peranan sebagai pemimpin

(leading sector), maksudnya adalah dengan adanya pembangunan industri maka pembangunan sektor-sektor lainnya akan dipacu.

Di samping peranan dan perkembangan yang pesat selama ini, industri

perkayuan menghadapi persoalan-persoalan yang kompleks dan berat, yaitu

defisit bahan baku yang sangat besar. Berdasarkan realisasi produksi

produk-produk hasil hutan diketahui bahwa, total konsumsi kayu oleh industri perkayuan

meningkat dengan tajam dari 11.7 juta m³ pada tahun 1980 menjadi 24.1 juta m³

pada tahun 1985, puncaknya 52.7 juta m³ pada tahun 2003, kemudain menurun

dengan tajam menjadi 44.5 juta m³ pada tahun 2005. Sementara itu, total produksi

kayu bulat yang dilaporkan Departemen Kehutanan adalah 25.2 m³ pada tahun

1980, 14.4 juta m³ pada tahun 1985, 11.4 juta m³ pada tahun 2003 dan 24.2 juta

m³ pada tahun 2005 (Simangunsong 2006).

Apabila selisih kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu olahan

dengan produksi kayu bulat resmi dianggap sebagai kayu bulat illegal, maka jelaslah industri kayu telah mengkonsumsi kayu illegal dalam jumlah yang sangat besar dalam proses produksinya. Industri perkayuan juga menghadapi perubahan

sumber bahan baku yang berakibat pada perubahan kualitas bahan baku yang

digunakan. Saat ini produksi kayu bulat Indonesia berasal dari berbagai sumber,

seperti hutan alam, HTI, hutan rakyat dan areal konversi. Menurut Departemen

Kehutanan (2006), total produksi kayu pada tahun 2005adalah 24.19 juta m³ yang

berasal dari hutan alam (5.69 juta m³),

Menurut Simangunsong (2006), bahwa kondisi yang dihadapi oleh industri

(37)

kurang berhasil. Realisasi pembangunan HTI untuk menghasilkan kayu pulp dan

kayu pertukangan sangat rendah. Dari 10.2 juta ha areal HTI yang sudah diproses

perizinannya, baru sekitar 2.8 juta ha atau 28% yang dilaporkan berhasil ditanam

selama periode tahun 1989-2006. Beberapa hal yang dirasakan menghambat

pengembangan hutan tanaman diantaranya adalah ketidakpastian lokasi,

ketidakjelasan status lahan dan kurang jaminan hukum dan usaha.

2.3Pengembangan Tanaman Jati

Jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Tumbuhan yang dikenal sebagai kayu

komersial bermutu tinggi ini, termasuk dalam suku Verbenaceae. Daerah sebaran asli dari jati meliputi India, Myanmar, dan Thailand. Jati pertama kali ditanam di

Indonesia (di Pulau Jawa) diperkirakan pada abad ke 2 Masehi, yang dilakukan

oleh para penyebar agama Hindu. Saat ini jati telah dikenal secara luas dan

dikembangkan oleh pemerintah, swasta, dan petani. Tanaman ini telah banyak

dikembangkan, bahkan di beberapa tempat menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari kehidupan tradisional masyarakat.

Di Indonesia, tanaman jati secara khusus berpotensi meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan petani, pedagang, dan industri pengolahan. Secara

umum berperan dalam pembangunan daerah dan nasional. Kayu jati dan hasil

olahannya memiliki wilayah pemasaran yang luas, di luar maupun di dalam

negeri. Tanaman jati memiliki masa tebang yang panjang sehingga memiliki

fungsi lingkungan dalam pengaturan tata air (hidrologi) dan iklim lokal. Kualitas

kayunya yang tinggi, memungkinkan hasil olahannya untuk digunakan dalam

jangka waktu yang lama. Hampir seluruh bagian dari tanaman jati dapat

dimanfaatkan, bahkan salah satu jenis ulatnya (Hyblaea puera) di beberapa daerah menjadi makanan sumber protein yang disukai masyarakat (Pramono AA. et al.

2010)

Pengelolaan hutan jati rakyat umumnya dilaksanakan secara tradisional,

sehingga mutu dan jumlah kayu yang dihasilkan masih rendah. Petani masih sulit

memperoleh informasi teknis tentang pengelolaan jati, sehingga teknik yang benar

(38)

tersedia saat ini kebanyakan masih ditulis dalam bahasa yang ilmiah, sehingga

sulit dipahami, kurang menarik dan kurang praktis untuk petani. Di samping itu

pula, terbatasnya akses untuk mendapatkan informasi yang tepat guna dalam budi

daya jati menyebabkan belum maksimalnya produktifitas jati secara umum,

khususnya di luar P. Jawa.

Peningkatkan mutu hutan jati rakyat yang baik dapat dilakukan dengan

cara penerapan teknik budi daya (silvikultur) yang baik, dimulai dari pemilihan

benih, pembibitan, penanaman, pemeliharaan sampai pemanenan. Teknik

pengelolaan jati yang diperlukan adalah teknik yang tidak memerlukan biaya

mahal dan sederhana sehingga mudah untuk dilaksanakan oleh petani. Nilai jual

pohon jati ditentukan oleh kualitas pohon yang dicirikan dengan: ukuran dan

kelurusan batang, tinggi batang bebas cabang, kelurusan serat kayu, dan ada

tidaknya cacat kayu. Perlakuan silvikultur yang tepat akan mampu meningkatkan

mutu pohon jati sehingga meningkatkan nilai jualnya. Perlakuan-perlakuan

silvikultur yang dimaksud menurut Pramono et al. (2010) yaitu: a) penggunaan bibit unggul sehingga akan menghasilkan pohon yang tumbuh cepat dan

berbatang lurus; b) pemangkasan cabang (pruning) pada saat jati berumur muda akan menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu, dan batang bebas cabang tinggi;

c) penjarangan (thinning) akan mengurangi persaingan antara pohon dalam memperoleh makanan (hara) dari tanah dan cahaya, sehingga mempercepat

pertumbuhan diameter batang; dan d) pemupukan pada tanaman jati akan

mempercepat pertumbuhan sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar.

Selain itu, diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit agar menjamin

pohon tumbuh sehat dan normal sehingga menghasilkan kayu yang berukuran

besar dan bebas dari cacat.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini

pengembangan pohon jati tidak hanya dilakukan secara generatif tetapi juga

melalui cara vegetatif. Usaha pengembangan pohon jati dengan cara vegetatif

dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan mutu benih yang sama dengan

induknya. Salah satu cara yang dikembangkan adalah dengan sistem kultur

jaringan. Untuk mendapatkan sifat fisiologis yang sama maka diperlukan pohon

(39)

hasil seleksi terbaik dari klon unggul yang sudah teruji di lapangan. Perbanyakan

bibit dilakukan dengan teknologi kultur jaringan sehingga mutu bibit dapat

dijamin sesuai dengan induknya (true to type), sehat dan seragam (Sumarni et al.

2009)

Masyarakat umumnya telah memanfaatkan bibit jati yang berasal dari

pengembangbiakan dengan sistem kultur jaringan. Jati hasil kultur jaringan

memiliki keunggulan-keunggulan jika dibandingkan dengan jati yang

dikembangkan secara generatif (tradisional). Beberapa ciri yang merupakan

keunggulannya, yaitu 1) pertumbuhan batang yang lebih cepat dan lurus; 2) jati

ini lebih proporsional antara pertambahan tinggi dan diameternya; 3) lebih keras

sehingga tidak mudah patah saat terjadi angin kencang; dan 4) daun jatinya relatif

lebih kecil, tapi lebih tebal dan posisi tegak (tidak terkulai). Bentuk seperti ini

mendukung ketahanan tanaman terhadap kekeringan (penguapan air lebih efisien).

Ukuran daun yang terlalu lebar dan tipis pada jati lain akan mudah mengalami

stres air dan kering (mempercepat kerontokan daun) terutama pada saat musim

kemarau.

Agar dapat memberikan penghasilan yang maksimal sebaiknya pohon jati

ditebang jika: a) telah cukup dewasa untuk menghasilkan kayu berkualitas baik,

minimal pohon telah berumur sekitar 15-20 tahun; dan b) harga kayu sedang

tinggi. Untuk menentukan volume pohon berdiri maka dapat dihitung dengan

menggunakan tabel volume jati, yang disesuaikan dengan kualitas lahan tempat

jati ditanam. Pengukuran diameter batang (Dbh) diukur dari batang setinggi dada

(130 cm). Selanjutnya untuk perhitungan volume batang kayu/log dapat dilakukan

dengan menghitung rata-rata luas bidang dasar pangkal dan ujung dan dikalikan

dengan panjang batang, dengan menggunakan rumus:

V= (¼ x

π

x dp²) + (¼ x

π

x du²) x 1/2 x P

Keterangan :

V = Volume batang

π

= 3.14

(40)

2.4Pemasaran

Pemasaran berhubungan dengan mengidentifikasi dan memenuhi

kebutuhan manusia dan masyarakat. Salah satu dari definisi terpendek dari

pemasaran adalah memenuhi kebutuhan manusia secara menguntungkan (Kotler

et al. 2009). Pemasaran adalah suatu sistema keseluruhan dari kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan

mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan, baik kepada

pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Fuad et al. 2005).

Pemasaran atau marketing merupakan semua kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar arus barang atau jasa dari produsen ke konsumen secara

paling efisien dengan maksud untuk menciptakan permintaan efektif. Defenisi

tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemasaran bukanlah semata-mata kegiatan

untuk menjual barang atau jasa, sebab kegiatan sebelum dan sesudahnya juga

merupakan suatu kegiatan pemasaran.

Pemasaran pada prinsipnya merupakan aliran barang dari produsen ke

konsumen dan aliran pemasarn ini terjadi karena adanya lembaga pemasaran.

Peranan lembaga pemasaran ini sangat tergantung dari sistema pemasaran yang

berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Oleh karena itu kita

mengenal saluran pemasaran (marketing chanel). Lembaga pemasaran memegang peranan penting dan juga menentukan dalam saluran pemasaran (Soekartiwi

1989). Dalam pemasaran barang/jasa dibutuhkan suatu sistema pemasaran yang

efisien. Sistem pemasaran dikatakan efisien apabila memenuhi dua syarat

(Mubyarto 1989) yaitu: 1) sampainya barang ke konsumen dengan harga

serendah-rendahnya; dan 2) adanya pembagian keuntungan yang adil terhadap

setiap pelaku pasar. Efisisensi pemasaran juga ditentukan oleh struktur pasar.

Untuk mengetahui struktur pasar tersebut harus dilakukan pengamatan tentang

organisasi pasar. Pada dasarnya organisasi pasar secara umum dapat

dikelompokkan ke dalam tiga komponen sebagai berikut:

a. Struktur pasar (market structure), yaitu karakteristik yang menghubungkan antara para penjual satu sama lain, para penjual dan pembeli, serta hubungan

(41)

pasar. Unsur-unsurnya adalah tingkat konsentrasi, diferesiansi produk, dan

rintangan masuk pasar (Pindyck & Rubinfeld 2008).

b. Perilaku pasar (market conduct) merupakan pola tingkah laku dari lembaga pemasaran dan hubungannya dengan sistema pembentukan harga dan praktek

transaksi (penjualan dan pembelian) baik secara horizontal maupun vertikal.

c. Keragaan pasar (market performance) yaitu bagaimana pengaruh struktur pasar dan perilaku pasar yang berkenaan dengan harga, biaya dan volume

produksi. Ketiga komponen tersebut di atas merupakan konsep yang dipakai

sebagai dasar untuk análisis suatu pasar.

2.5 Kelembagaan

Kelembagaan sesungguhnya bukanlah merupakan kata yang asing dalam

kehidupan kita sehari-hari. Namun dalam mendefenisikan kelembagaan dalam

kehidupan nyata amat sulit, bahkan terkadang rancu dengan istilah organisasi.

Tidak dipungkiri bahwa organisasi merupakan bagian dari kelembagaan, namun

kelembagaan tidak semata-mata organisasi. Kelembagaan merupakan suatu sistem

yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat,

aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan (Nugroho 2003).

Kelembagaan juga merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol

interdependensi antar manusia terhadap sesuatu kondisi atau situasi melalui

inovasi dalam hak pemilikan, aturan representasi atau batas yurisdiksi dari

masing-masing pihak (Lane 2003).

Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang

membungkus aturan main tersebut seperti organisasi pemerintah, bank, koperasi,

pendidikan dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi

dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan, sedangkan aturan

main merupakan perangkat lunaknya. Karena itu, masih banyak hal yang perlu

dipelajari untuk membangun kelembagaan secara utuh, termasuk mengidentifikasi

(42)

2.5Analisis SWOT

Menurut Rangkuti (2006) analisis SWOT merupakan satu cara untuk

mengidentifikasi faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan.

Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan

(strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Treats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi,

tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikina perencanaan

strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada. Hal ini

disebut analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah

analisis SWOT.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dapat

ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut

harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Analisis SWOT membandingkan

antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (thretas) dengan faktor internal kekuatan (Strength) dan kelemahan (weaknesses).

Rangkuti (2006) mengatakan bahwa kinerja suatu usaha dapat ditentukan

oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Hal ini untuk membandingkan antara

perbandingan kekuatan dan kelemahan (yang diwakili garis horisontal) dengan

perbandingan peluang dan ancaman (yang diwakili garis vertikal). Pada diagram

tersebut peluaang dan kekuatan diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan

ancaman diberi tanda negatif. Dengan menempatkan selisih nilai S (kekuatan) –

W (kelemahan) pada sumbu (x), dan menempatkan selish antara O (peluang) – T

(ancaman) pada sumbu (y), maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel dari

diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam diagram SWOT akan

menemukan arah strategi yang akan ditempuh oleh suatu bentuk usaha seperti

hutan rakyat. Secara diagramatis análisis SWOT tersebut seperti pada Gambar 2

(43)

1. Mendukung 3. Mendukung Strategi strategi

turnaround agresif

2. Mendukung 4. Mendukung Strategi strategi

divensif diversifikasi

Gambar 2 Diagram SWOT (Rangkuti 2006).

PELUANG

KELEMAHAN

ANCAMAN

(44)
(45)

III.

METODOLOGI

3.1Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu bulan Juni – Oktober

2010 di Kabupaten Donggala. Wilayah penelitian untuk pengambilan data

meliputi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Banawa dan Kecamatan Sindue.

Penetapan kedua kecamatan tersebut atas dasar bahwa secara umum telah

mewakili kondisi wilayah Kabupaten Donggala. Adapun yang menjadi alasan

penetapan Kabupaten Donggala sebagai tempat penelitian adalah a) di daerah

tersebut terdapat usaha pengembangan hutan rakyat, namun belum berkembang

dengan baik, b) terdapat sejumlah IPHHK yang mengalami kesulitan dalam

pemenuhan bahan baku industri, c) secara kelembagaan peran pemerintah belum

optimal dalam upaya pengembangan hutan rakyat, dan d) belum terbentuknya

lembaga di tingkat petani yang dapat berfungsi sebagai wadah untuk menampung

dan menyerap informasi dari petani untuk kemudian disampaikan ke pihak lain

(pemerintah dan pelaku usaha lainnya) dan sebaliknya menyampaikan informasi

dari pihak lain ke petani.

3.2Metode Pengambilan Contoh

Penelitian ini menggunakan metode survai melalui pengamatan langsung

di lapangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan

informan kunci di lapangan, melalui wawancara tertutup berdasarkan daftar

pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan sebelumnya baik berupa daftar

pertanyaan bagi petani hutan rakyat, pedagang kayu dan pihak industri kayu.

Selanjutnya untuk wawancara terbuka dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan

penuntun bagi informan kunci baik dari pihak pemerintah dan juga pihak petani.

Selanjutnya adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari

instansi-instansi terkait yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi literatur.

Inventarisasi dan penelusuran data sekunder ini dilakukan terhadap

instansi-instansi yang meliputi: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Direktorat

(46)

Perkebunan Kabupaten Donggala, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah,

BP2HP XIV Palu dan BPDAS Palu-Poso.

Pemilihan responden petani hutan rakyat dilakukan secara sengaja

(Purposive Sampling), dengan memilih 35 responden. Pemilihan secara sengaja ini dilakukan dengan asumsi populasinya dianggap seragam. Pemilihan responden

petani pada tingkat kecamatan dilakukan dengan pertimbangan bahwa kedua

kecamatan tersebut menggambarkan keadaan keseluruhan kecamatan di wilayah

Kabupaten Donggala yang memiliki hutan rakyat yang dipelihara dan terdapat

kegiatan transaksi kayu rakyat. Selain karena luasannya, kecamatan yang dipilih

dapat mewakili kondisi sosial budaya masyarakat di Kabupaten Donggala.

Populasi petani responden adalah mereka yang menanam jenis-jenis kayu baik

secara tumpangsari, tanaman pembatas maupun monokultur dan pernah melakukan transaksi kayu. Penarikan contoh pedagang ditelusuri berdasarkan

pergerakan kayu mulai dari petani hingga industri kayu. Banyaknya pengambilan

contoh pedagang berjumlah 8 orang yang diketahui sering melakukan transaksi

kayu di daerah sampel dan 7 orang dari pihak industri kayu yang membeli kayu

dari hutan rakyat baik langsung ataupun melalui pedagang perantara.

Pemilihan key informant dalam mengkaji fenomena sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan pengembangan hutan rakyat dilakukan dengan cara Snow-ball sampling yaitu memilih informan kunci secara berantai. Jika pengumpulan data dari informan kesatu sudah selesai, informan tersebut diminta memberikan

rekomendasi untuk informan kedua selanjutnya informan kedua juga memberikan

rekomendasi untuk infoman ketiga, demikian seterusnya dilakukan secara

bergulir. Proses bola salju bergulir ini berlangsung terus sampai peneliti

memperoleh data yang cukup sesuai kebutuhan.

Untuk mengetahui implementasi kebijakan pemerintah dan dampak dari

kegiatan pengembangan hutan rakyat maka dilakukan wawancara dengan instansi

teknis terkait antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala,

Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, BP2HP Palu, BPDAS Palu-Poso,

ISWA, petani, dan tokoh masyarakat. Informan tersebut berjumlah 9 orang.

(47)

dalam pengembangan hutan rakyat, yaitu petani yang tinggal di lokasi penelitian.

Responden tersebut dilihat mampu mengambil keputusan secara mandiri dan

mampu berpikir positif dan logis, sehingga mampu menjawab setiap pertanyaan

yang diajukan kepadanya.

3.3Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif maupun

kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menggambarkan kondisi

pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala yang meliputi aspek

produksi, pemasaran, pengolahan, dan kelembagaan. Analisis ini dilakukan untuk

mengetahui faktor-faktor strategis dan pengaruhnya terhadap usaha

pengembangan hutan rakyat, selain itu untuk mengetahui peran pemerintah dalam

usaha tersebut di atas yang meliputi keempat aspek tesebut di atas

Melalui analisis ini dapat diserap informasi mengenai pengetahuan dan

pemahaman masyarakat terhadap pengembangan hutan rakyat, peran serta

masyarakat, pemerintah dan lembaga lainnya dalam perencanaan, pelaksanaan,

dan pengawasan serta pengendalian usaha pengembangan hutan rakyat.

Selanjutnya analisis kuantitatif digunakan untuk menggambarkan

variabel-variabel yang meliputi aspek produksi dan pemasaran. Pada aspek produksi,

analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui struktur tegakan dan potensi

tegakan. Analisis struktur tegakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan

yang dikembangkan oleh Davis et al. (2001), yaitu:

Keterangan :

= Rata-rata pohon dalam kelas diameter ke- i : 1, 2, 3, 4

N = Total pohon

∑ = Jumlah

Selanjutnya analisis potensi tegakan, menggunakan pendekatan yang

dikembangkan oleh Jariyah et al. (2001), yaitu:

Gambar

Gambar 1  Diagram alur pikir penelitian
Gambar 2  Diagram SWOT (Rangkuti 2006). PELUANG
Tabel 5  Contoh tabel penentuan rangking alternatif rencana strategi
Tabel 7 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

waktu yang telah ditetapkan dengan disertai bukti terjadinya penyimpangan dan dapat ditembuskan secara offline (di luar aplikasi SPSE) kepada PPK, PA/KPA dan APIP

Dari hasil penelitian Pengaruh Perputaran Modal Kerja terhadap Rentabilitas Ekonomi pada Perusahaan Sub Sektor Semen yang terdaftar di BEI Periode 2011- 2015

(2) The analysis of determinants of paddy ield area in Timor Island using multiple linear regression with Ordinary Least Square (OLS) method indicated that the factors affecting

sesuai dengan Surat Penetapan Pemenang Lelang Nomor : 0SIPNTP/ULP-POKJA KONSTRUKSI UDPPID/PU-. ESDM/F.9/)02011 Tanggal 10 Oktober2011, telah ditetapkan sebagaipemenang

Skripsi dengan judul “ Pengaruh Suhu Vulkanisasi Pada Pembuatan Produk Film Lateks Karet Alam Berpengisi Tepung Kulit Singkong Termodifikasi Penyerasi Alkanolamida

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh angka oktan bahan bakar yang berbeda dari bensin pada kinerja torsi, daya dan konsumsi bahan bakar spesifik pada

rows in the field, so we’ll calculate the total amount of fuel the turtle needs to sweep the entire field as length * width. In addition, the turtle needs enough fuel to move back