• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Perdagangan orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Perdagangan orang"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN

DALAM PENGAWASAN IMPLEMENTASI PERDA NO. 6

TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN

PEREMPUAN DAN ANAK (STUDI KASUS DEWAN

PERWAKILAN

RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Skripsi ini akan membahas bagaimana peranan anggota legislatif perempuan dalam pengawasan implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Perdagangan orang merupakan tindak kejahatan dimana yang menjadi korban pada umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini merupakan pelanggaran berat atas Hak Asasi Manusia (HAM). Dikarenakan tindakan ini dilakukan secara paksa melalui orang ketiga (pelaku kejahatan perdagangan orang) sehingga korban tidak dapat menentukan jalan hidupnya sendiri (self determination), tidak bebas mengeluarkan ekspresi atau pendapatnya, tidak dapat bebas melakukan hidup sesuai dengan keinginannya, tidak dapat bebas melakukan tindakan yang diinginkan dan selalu merasa terintimidasi, ketakutan, terancam dan penuh kecurigaan.1

Perdagangan orang untuk keperluan seksual komersial pada dasarnya telah ada sejak abad ke 19, dan pada abad 21 jaringan perdagangan orang telah menjadi semakin terorganisir dan terstruktur. Jumlah perempuan dan anak yang menjadi

1

Jurnal, Trafiking terhadap Perempuan: Jaringan Sindikat yang Tak Lekang oleh Panas

(2)

korban perdagangan orang tidak lagi terhitung bahkan sulit ataupun sukar untuk diprediksi berapa jumlah korban perdagangan orang yang sebenarnya. Seperti kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak lainnya, teori fenomena gunung es berlaku bagi kejahatan ini karena kasus yang berhasil ditangani atau diproses secara hukum masih jauh lebih sedikit dibandingkan fakta kasus yang terjadi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa sedikitnya empat juta orang setiap tahunnya menjadi korban human trafficking di dunia.2 Setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan internasional. International

Organization for Migration (IOM) melaporkan bahwa 500.000 orang perempuan

setiap tahunnya menjadi korban perdagangan orang di wilayah Asia Tenggara.3

2

Melly Setyawati dan Kiki Sakinatul Fuad, Pentingnya Peraturan tentang Perdagangan

(Trafiking) Perempuan dan Anak, Jurnal Suara APIK untuk Kebebasan dan Keadilan, Edisi 31

Tahun 2006, hal. 28. 3

R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak:

Penelitian Advokasi Feminis tentang Trafiking di Jawa Barat (Bandung: Institut Perempuan,

2007), hal.5.

Hal ini semakin memperlihatkan buruknya penanganan akan kasus perdagangan orang yang telah marak terjadi dalam masyarakat, sehingga mampu menghasilkan angka yang begitu besar dan semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Buruh migran merupakan kelompok pekerja yang paling sering menjadi sasaran empuk para pelaku perdagangan orang. Karena kebutuhan hidup yang tinggi, tak menyurutkan langkah untuk menjadi buruh migran.

Indonesia merupakan negara yang mengirimkan buruh migran dalam jumlah yang cukup besar untuk kawasan Asia Tenggara. Berikut merupakan data dari Migration News yang menggambarkan hal tersebut.

(3)

Tabel 1.1.1. Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara Asal dan Negara Tujuan Tahun 20014

Negara

Tujuan

Negara Asal

Malaysia* Thailand** Singapura***

Indonesia 888.000 - 38.000 Filipina 24.000 - - Myanmar - 450.022 - Kamboja - 56.252 - Laos - 56.253 - Bangladesh 216.000 - 200.000 Lain-Lain 72.000 - -

Sumber: diolah dari Migration News, Vol. 9 No. 3, Maret 2002

Keterangan:

* Angka perkiraan merupakan jumlah migran legal dan illegal ** Pekerja migran yang terdaftar selama tahun 2001

*** Migran Indonesia sebagian besar adalah PRT, Sedangkan migran Bangladesh (dan India) sebagian besar adalah buruh konstruksi

4

Irwan M. Hidayana, Migrasi Lintas Batas dan Seksualitas di Asia Tenggara, Jurnal Perempuan 36, hal. 58.

(4)

Dari data Migration News tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia merupakan eksportir terbesar tenaga kerja ke luar negeri dalam kawasan Asia Tenggara dibandingkan negara Asia lainnya. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi angka perdagangan orang untuk Indonesia, karena semakin besarnya jumlah buruh migran keluar negeri maka menunjukkan semakin besarnya kemungkinan terjadinya perdagangan orang bagi Indonesia mengingat buruh migran lah yang paling sering menjadi korban perdagangan orang.

Secara spesifik, kasus perdagangan orang di Indonesia sendiri meliputi jumlah yang besar dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan data yang diperoleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada tahun 2000 tercatat 1.683 kasus perdagangan perempuan berhasil diungkap dan ditangani polisi, sedangkan dari kasus-kasus tersebut yang diajukan ke pengadilan sebanyak 1.094 kasus.5

Pada perkembangan selanjutnya, menurut data International Organization for Migration (IOM) mengenai perdagangan orang di tahun 2006, hingga Bulan April saja jumlah kasus untuk Indonesia telah mencapai 1.022 kasus, dengan perincian 88,6 persen korbannya adalah perempuan, dimana 52 persen dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa melacur.6

5

Komnas Perempuan merupakan lembaga independen yang merupakan mekanisme nasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181/1998 pada tanggal 15 Oktober 1998.

6

Perdagangan Pelacur Tanpa Ujung, dalam www.kompas.com diakses pada tanggal 10 Januari 2009.

Data IOM tersebut menjelaskan bahwa tidak hanya perempuan saja yang dapat menjadi korban atas tindak kejahatan perdagangan manusia, namun kejahatan ini pun dapat berlaku bagi kaum laki-laki. Walaupun berdasarkan data statistik,

(5)

jumlah korban perempuan memang selalu berada jauh lebih besar dibandingkan jumlah korban laki-laki.

Berikut merupakan grafik yang menunjukkan perbandingan antara korban perdagangan perempuan dengan laki-laki berdasarkan data IOM tahun 2006.

Grafik 1.1.1. Perbandingan Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Jenis Kelamin

Dalam berbagai studi dan laporan dari sejumlah LSM, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah sumber perdagangan orang, di samping juga sebagai transit dan penerima perdagangan manusia. Menurut data The United Nation’s Children’s Fund (UNICEF) tahun 1998, perdagangan orang tersebar di 75.106 tempat di seluruh Indonesia.7

7

Jurnal, Situasi Trafficking Perempuan dan Anak di Indonesia dalam Jurnal Perempuan 29, hal. 49.

International Catholic Migration Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS) mengungkapkan bahwa sedikitnya diidentifikasi sepuluh provinsi di Indonesia

(6)

dijadikan sebagai sumber korban perdagangan orang, 16 provinsi dijadikan sebagai tempat transit, dan sedikitnya 12 provinsi sebagai penerima.8

Upaya untuk mengantisipasi permasalahan perdagangan orang ini pada dasarnya telah dilakukan sejak tahun 1998 dengan ditandatanganinya Bangkok

Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in Women, yang merupakan

sebuah konsensus bagi negara-negara di wilayah regional Asia Pasifik dalam memerangi perdagangan perempuan di kawasan ini. Namun, karena kesibukan bangsa ini untuk keluar dari krisis multidimensi yang melanda saat itu, maka kegiatan penghapusan perdagangan manusia di Indonesia menjadi tidak terinformasikan dengan baik.

Di Indonesia perdagangan orang yang menonjol terdapat di daerah perbatasan dengan negara tetangga, khususnya daerah yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia, seperti Riau (Batam dan sekitarnya), Medan, dan Kalimantan Barat. Besarnya angka korban perdagangan orang di wilayah perbatasan ini, dipengaruhi oleh besarnya permintaan buruh migran dari Singapura dan Malaysia, sementara seperti telah dijelaskan tadi bahwa buruh migran lah yang ringkih menjadi korban perdagangan orang. Besarnya tingkat perdagangan orang di wilayah perbatasan menunjukkan adanya tindak kejahatan yang dilakukan secara lintas regional dan negara.

9

Setelah itu, upaya serius dalam hal mengatasi perdagangan orang terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafiking)

8

ACILS, ICMC, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta: 2003, dalam R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak: Penelitian

Advokasi Feminis tentang Trafiking di Jawa Barat, Op Cit., hal. 5-6.

9

Parjoko, Sri Moertiningsih Adidetomo dan Maesuroh, Berbagai Upaya Memerangi

(7)

Perempuan dan Anak yang menjadi acuan disusunnya RAN Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak yang dapat menjadi arahan, pedoman, dan rujukan dalam penanganan masalah perdagangan orang. Hal ini juga melahirkan berbagai penyesuaian di tingkat daerah dengan dilahirkannya berbagai Peraturan Daerah dan Rencana Aksi Daerah tentang pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia.10

Lahirnya Peraturan Daerah tersebut merupakan sebuah keberhasilan yang penting bagi Sumatera Utara, khususnya dalam hal perlindungan perempuan dan anak yang memang menjadi korban mayoritas dalam tindak kejahatan tersebut. Lahirnya Peraturan Daerah ini juga tidak bisa dilepaskan dari otonomi daerah. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang disusul dengan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adalah merupakan koreksi total atas UU No. 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara, Gubernur T. Rizal Nurdin mensahkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak No. 6 tahun 2004.

11

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia sangat menarik untuk diamati, dikarenakan konsep otonomi daerah selalu berkembang dan terus mengalami

11

B. N. Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 2006, hal. 133.

(8)

penyempurnaan. Heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, membuat desentralisasi atau distribusi kekuasaan atau kewenangan, dari pemerintah pusat perlu dialirkan kepada daerah otonom.

Berikut kronologis perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah12

12

DR. J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta), 2007, hal. 2. : UU No. 1 Tahun 1945 UU No. 22 Tahun 1948 UU No. 1 Tahun 1957 UU No. 6 Tahun 1959 UU No. 18 Tahun 1965 UU No. 5 Tahun 1974 UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 2004

(9)

Ditandatanganinya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah oleh Presiden B. J. Habibie pada tanggal 4 Mei 1999 menandai berputarnya kembali roda otonomi daerah. Setelah 25 tahun terpinggirkan oleh pemerintah Orde Baru. Sejak saat itu, daerah-daerah mulai memperoleh kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya baik bidang politik, administrasi, keuangan, dan sosial budaya sesuai dengan prinsip desentralisasi.

Meskipun Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, khususnya melalui DPRD, dalam praktiknya tidak sedikit perilaku menyimpang yang dilakukan oleh beberapa anggota DPRD, misalnya dalam proses pemilihan Kepala Daerah, pembahasan, dan pembentukan peraturan daerah, dan pembahasan laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah.13

Sesuai isi pasal 42, UU Nomor 32 Tahun 2004 tugas dan wewenang DPRD, diantaranya adalah membentuk peraturan daerah (Perda) yang dibahas dengan gubernur untuk mendapat persetujuan bersama, dan juga melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah

Banyaknya kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 22 Tahun 1999 membuat Undang-undang ini perlu untuk disempurnakan, sehingga lahirlah UU No. 32 Tahun 2004. Lahirnya UU yang baru ini diharap membawa perubahan yang baik, khususnya pada perubahan konfigurasi desentralisasi (hubungan pusat-daerah-desa) dan demokrasi lokal (hubungan pemerintah daerah, DPRD, dan rakyat).

13

(10)

dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

Saat ini kebijakan yang berhubungan dengan penyelesaian masalah human

trafficking (perdagangan orang) di Indonesia, merupakan wewenang yang dimiliki

oleh anggota legislatif perempuan, dimana penyelesaian tersebut dilakukan, sesuai dengan yang telah dirumuskan bersama dalam peraturan daerah (perda). Anggota legislatif perempuan telah di berikan wewenang untuk merekomendasikan kebjakan-kebijakan yang mampu memberikan perubahan positif bagi masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat sesuai dengan bidang keahlian yang ditekunin anggota legislatif perempuan tersebut.

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor, birokrasi pelaksana atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, yang saling berinteraksi satu sama lain.

Dalam pandangan George C. Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel, yakni14

1. Komunikasi, apabila tujuan dan sasaran kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

:

14

AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hal. 92.

(11)

2. Sumberdaya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakannya maka implementasi tidak akan berjalan efektif.

3. Disposisi, yakni watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

4. Struktur organisasi, terlalu panjangnya struktur organisasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.

Komunikasi

Sumberdaya

Implementasi Disposisi

Struktur Birokrasi

Melihat gambaran secara umum mengenai kasus sosial (dalam hal ini membahas mengenai peraturan daerah no.6 tahun 2004, tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak), yang biasa dihadapi oleh anggota legislatif perempuan dan bagaimana pemerintah menanggapi peranan anggota legislatif

(12)

perempuan tersebut, timbullah pertanyaan: Apakah anggota legislatif perempuan telah melaksanakan peranannya dengan baik di dalam jajaran anggota legislatif? Apakah implementasi peraturan daerah (perda) no.6 tahun 2004 telah diawasi dan dijalankan dengan baik oleh anggota legislatif perempuan?

Pertanyaan ini menjadi suatu dorongan dan semangat bagi penulis untuk mengetahui peranan anggota legislatif perempuan, serta kinerja mereka dalam menghadapi kebijakan yang telah direkomendasikan. Hal inilah yang ingin saya ketahui dalam penelitian saya.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

“Bagaimana anggota legislatif perempuan dalam pengawasan implementasi Perda No. 6 Tahun 2004 tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak”.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ialah pernyataan mengenai apa yang hendak kita capai.15

a) Bersifat formal akademis yakni untuk menambah wawasan mahasiswa dalam bidang politik.

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah:

15

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 29.

(13)

b) bersifat ilmiah, dimana hal yang ingin penulis ketahui yakni: melihat bagaimana anggota legislatif perempuan menjalankan fungsi pengawasan terhadap implementasi Perda No.6 Tahun 2004 di Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Peenelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan ilmu politik dan mengembangkan kemampuan dalam menulis karya ilmiah khususnya di bidang Politik.

.

1.4.2. Manfaat Praktis

• Sebagai masukan bagi penulis dalam usaha mengetahui produk kegiatan politik.

• Sebagai masukan baru dan sumbangan untuk pemerintah pusat dan daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), institusi lainnya yang berkaitan secara langsung ataupun tidak dengan pengembangan studi tentang trafiking di Indonesia dan Sumatera Utara khususnya.

1.4.3. Manfaat Akademis

• Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa ilmu politik, khususnya bagi mereka yang tertarik dalam konteks pengimplementasian kebijakan Perda No. 6 Tahun 2004.

(14)

• Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Ilmu Politik.

1.5. Kerangka Dasar Pemikiran

Dalam suatu penelitian ilmiah, masalah yang akan diteliti biasanya bertolak dari teori-teori yang sudah ada, kemudian penelitian sebaiknya dilakukan tahap demi tahap secara ilmiah agar menghasilkan suatu kesimpulan yang ilmiah (scientific research).

Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam observasi adalah menyusun kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih16. Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, kontruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.17 Pemikiran lain, Teori merupakan seperangkat proposisi yang dinyatakan secara sistematis dan juga logis, yang didasarkan pada data empiris (Johnson,1986).18

16

Hadari, Nawawi, MetodologiPenelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1987,hal.40

17

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37. 18

Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternative Pendekatan, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 136.

Kerangka teori yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(15)

1.5.1. Gender di Dalam Teori Keterwakilan Politik

Nilai-nilai kebebasan manusia, keadilan, dan nasib individu diakui dan dipraktikkan pertama kali di Yunani kuno. Di Yunani kuno pula lah problem-problem perenial manusia dan negara pertama kali diangkat ke permukaan. Pemikiran sosial dan politik bangsa Yunani klasik secara umum diakui sebagai kekuatan vital dalam sumbangan pemikiran barat. Demokrasi Yunani mencapai tingkat perkembangannya yang tertinggi di Athena selama abad ke-5 SM, suatu periode yang dikenal dengan “Masa keemasan Pericles“. Unit pemerintahan yang baku saat itu adalah polis atau negara-kota. Bentuk organisasi politik ini, yang asing bagi zaman kekuasaan-kekuasaan besar dan negara-negara bangsa, tidak ada padanannya di dunia modern.

Terdapat beratus-ratus negara-kota Yunani dengan berbagai ukuran dan bentuk pemerintahan, dan jenjang peradaban yang beragam. Yang paling berpengaruh dari semua ini bagi perkembangan pemikiran politik Barat adalah Athena. Di sinilah kehidupan intelektual Yunani mencapai tingkat ekspresi tertingginya dan bidang pengajaran mulai memiliki kekuatan sosial dan politik.

Karena seluruh warga negara memainkan peran yang langsung dan komprehensif dalam pemerintahan persemakmuran yang mikrokosmik ini, setiap individu memiliki rasa memiliki kota tersebut, dan menjadi mitra bukan subyek baginya.

Kota Athena memiliki jumlah populasi yang diperkirakan antara 300.000 hingga 400.000 orang. Penduduk kota Athena terbagi menjadi tiga kelas sosial

(16)

besar, masing-masing memiliki status legal dan politik yang berlainan : warga negara, warga asing dan budak.

Orang-orang yang berusia di atas 18 tahun yang berasal dari Athena dikelompokkan pada kelas warga negara. Kewarganegaraan hanya bisa diperoleh melalui kelahiran, bukan dengan proses naturalisasi. Keuntungan pokok kewarganegaraan terletak pada keistimewaan politis yang diberikan kepada penduduk, yakni hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan kotanya dan pengaturan urusan publik. Tidak ada keistimewaan sosial khusus yang mengiringi status warga negara. Kelas ini terbuka untuk untuk semua rakyat Athena, kaum ningrat maupun kalangan awam. Kelas ini meliputi baik mereka yang berasal dari kalangan ekonomi bawah, orang kaya, buruh maupun orang-orang professional dan pengusaha.

Namun demikian, ada yang tidak tercantum, yakni perempuan. Yunani klasik berpandangan bahwa tempat perempuan itu di rumah, bukan di muka umum, atau menjadi juri atau kantor publik. Karena Yunani tidak memahami warga negara dengan melepaskan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, maka secara logika mereka memisahkan perempuan dari kategori warga negara. Di Eropa, seorang ayah memiliki kekuasaan untuk memerintah sang anak perempuan menikah berdasarkan kehendak dan kesenangannya, tanpa pertimbangan sedikit pun dari yang bersangkutan. Setelah pernikahan, pria sejak dahulu, berkuasa atas hidup mati istrinya. Suami adalah satu-satunya tribunal dan huku m bagi istri.

(17)

Sekitar tahun 1700-an, di antara para penulis pertama yang menempuh apa yang sekarang ini kita sebut sebagai posisi feminis, Wollstonecraft berpendapat bahwa pria dan wanita memiliki kemampuan yang sama dalam bernalar.

Menurut narasi standar sejarah intelektualitas feminis, feminisme modern di dunia bahasa Inggris bermula dengan seruan-seruan Mary Wollstonecraft untuk penyertaan kaum wanita ke dalam kehidupan publik yang sangat didominasi kaum pria. Ia secara gigih menentang segala bentuk kewenangan semena-mena dan menindas. Argumen esensialnya adalah bahwa prinsip-prinsip reformasi yang egaliter dan liberal hendaknya diterapkan untuk memperbaiki kondisi wanita.

Meskipun mempercayai kekuatan pendidikan untuk mentransformasi sifat kehidupan wanita, Wollstonecraft paham terdapat faktor-faktor lain yang membentuk takdir wanita. Kapasitas wanita bagi tindakan rasional, bagi keluhuran sejati, telah dikurangi oleh beragam institusi sosial dan tuntutan-tuntutan budaya. Pembelaan Wollstonecraft adalah bahwa status legal dan sosialisasi mereka telah membatasi kesempatan-kesempatan yang dimiliki wanita untuk menggunakan kemampuan-kemampuan alami mereka bagi kebaikan masyarakat.

Hal-hal itu juga yang menjauhkan wanita untuk berkontribusi sepenuhnya pada kehidupan moral dan politik. Namun begitu, berdasarkan kesempatan-kesempatan yang disodorkan pendidikan, setara dengan yang diterima pria, wanita bisa mengklaim tempat mereka sebagai anggota-anggota masyarakat yang bisa memberi kontribusi. Semakin baik pendidikan mereka, semakin baik wanita dalam menjadi warga negara, istri dan ibu.

(18)

Wollstonecraft sangat mencermati relatif kurangnya kebebasan kaum wanita dibandingkan kaum pria. Pria memiliki kewenangan formal atas wanita dalam negara sebagai satu keutuhan dan dalam komponen institusi-institusi sosialnya. Hak-hak pria mungkin mengikuti properti dan posisinya, namun wanita bahkan tidak memiliki properti seandainya mereka menikah dan dihindarkan dari hampir seluruh posisi kewenangan.

Keadaan ini juga digambarkan dalam The Subjection of Women karya John Stuart Mill. Dalam karya ini, Mill menggambarkan kesulitan kaum wanita di dalam sebuah tatanan sosial yang tidak mereka kendalikan. Ia berpendapat bahwa kaum wanita harus diberi status yang setara dengan kaum pria di keluarga, di tempat kerja, dan di arena politik. Dalam karya nya ini, Mill menggambarkan bagaimana posisi wanita berdasarkan hukum-hukum kuno Inggris. Termasuk tidak adanya pengakuan terhadap wanita untuk mengisi seluruh fungsi dan kedudukan yang masih menjadi monopoli kaum pria.

Tahun 1960 merupakan masa puncak perjuangan panjang terhadap kajian gender. Program Studi Perempuan (Kajian Wanita) di Tingkat Perguruan Tinggi di Amerika Serikat pada masa itu merupakan bukti munculnya perhatian akademis terhadap studi gender.19 Banyak teori-teori yang membawa ide-ide gender yang berupaya menentang epistemologi-epistemologi konvensional dengan mengemukakan paradigma alternatif.20

19

Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari Postmodernisme Teori

Kritis Poskolonialisme hingga Cultural Studies (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006), hal. 77.

20

Ann Brooks, Posfeminisme & cultural studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (Yogjakarta: Jalasutra, 2004), hal. 47, diterjemahkan oleh S. Kunto Adi Wibowo Dengan judul buku asli Postfeminisme: Feminism, Cultural Theory and Cultural Forms diterbitkan oleh Routlegde, London pada tahun 1997.

Termasuk juga dalam hal ini ide-ide yang terkait dengan teori-teori politik seperti teori keterwakilan politik.

(19)

Oleh kelompok feminis, negara seringkali diidentifikasi sebagai pemilik kekuasaan yang dapat membuat dan mengubah kebijakan yang selanjutnya dapat memiliki pengaruh terhadap perempuan dan hak perempuan. Namun demikian, negara juga diidentifikasi sebagai pendukung struktur sosial yang telah mapan di masyarakat, yang seringkali mengopresi perempuan. Yang dimaksudkan dalam hal ini, bahwa negara menjadi penyambung lidah bagi budaya patriarki melalui kebijakan-kebijakannya yang memang menyebabkan terjadinya beberapa tindak opresi terhadap perempuan.

Pada dasarnya, hal ini merupakan suatu pandangan baru atas teori negara. Jika Marxist dan sosial demokratis memfokuskan peran negara pada aspek kelas ekonomi, dimana kelas ekonomi atas (borjuis) menggunakan negara untuk mengopresi kelas ekonomi bawah (proletar), maka hal ini sesuai dengan pemikiran yang menggunakan aspek gender, dimana negara dijadikan juga sebagai alat opresi dari budaya patriarki terhadap perempuan.21

Oleh karena kondisi tersebut, maka terdapat dua gagasan untuk mengantisipasi masalah yang dapat ditimbulkan oleh terdominasinya negara oleh

Adanya kemampuan negara dalam pembuatan kebijakan, meletakkan negara sebagai alat yang penting dalam me-reproduksi nilai-nilai di masyarakat. Dalam hal ini, negara memiliki kemampuan yang penting dalam memperkuat nilai-nilai patriarki di dalam masyarakat. Hal ini kemudian berdampak pada semakin besarnya kemungkinan bagi perempuan untuk mendapatkan opresi, akibat budaya patriarki yang cenderung timpang dalam melihat kedudukan perempuan di masyarakat.

21

Nickie Charles, Feminism, The State and Social Policy (London: Macmillan Press Ltd, 2000), hal. 5.

(20)

budaya patriarki. Pertama, mengubahnya dengan meningkatkan keberadaan perempuan di dalam institusi politik formal, terutama parlemen sebagai pembuat kebijakan. Dan kedua adalah mengubahnya melalui partisipasi politik dari luar institusi politik formal.22

Meningkatkan peran perempuan di dalam parlemen merupakan suatau gagasan yang penting dan dianggap sebagai suatu pemecahan masalah yang efektif untuk mengubah sikap negara menjadi negara yang berkeadilan gender. Hal ini sesuai dengan apa yang diargumentasikan John Stuart Mill.23 Mill menekankan pada peranan penting perempuan dalam dunia politik. Menurutnya, perempuan harus memiliki hak pilih politik agar dapat menjadi setara dengan laki-laki, selain itu mereka juga harus mampu mengganti sistem, struktur dan sikap yang memberikan kontribusi terhadap opresi orang lain, atau opresi terhadap diri kita sendiri.24

Penjelasan tersebut telah mengambarkan bagaimana keterwakilan perempuan menjadi begitu penting dalam suatu negara, terutama untuk menghindarkan segala bentuk opresi terhadap perempuan. Hal ini menjadi relevan

Dalam hal ini dimaksudkan bahwa kaum perempuan memiliki dan dapat menggunakan hak politiknya untuk memperbaiki kondisi masyarakat melalui keterlibatan secara tidak langsung (dengan menggunakan hak pilih) atau secara langsung (sebagai anggota parlemen) dalam proses pembuatan undang-undang.

22

Judith Squires, Gender in Political Theory (Cambridge: Polity Pressm, 1999), hal. 195. 23

John Stuart Mill adalah seorang pemikir liberal dan demokrasi. Kemudian, Mill pun menjadi seorang feminis liberal. Ia memperjuangkan hak individu dan kebebasan yang lebih baik bagi wanita.

24

Angela Y. Davis, Women, Race and Class (New York: Random House, 1981), hal. 42 dalam Rosemarie Putnam Tong, Feminist Though: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus

Utama Pemikiran Feminis (Yogjakarta: Jalasutra, 2004), hal. 30. diterjemahkan oleh Aquarini

Priyatna Prabasmoro dengan judul buku asli Feminist Thought: A More Comprehensive

(21)

dengan apa yang menjadi permasalahan pokok di dalam penelitian skripsi ini. Dalam ruang publik, khususnya dunia politik, perempuan seringkali terpinggirkan dibandingkan oleh laki-laki. Hal ini terlihat jelas di Indonesia, dicontohkan salah satunya oleh keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Padahal seperti yang dikatakan oleh Mill, melalui hak politiknya, perempuan dapat berkontribusi untuk menghapuskan perbuatan opresi yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, perempuan diyakini mampu melakukan perubahan baik terhadap masyarakat dengan keterlibatannya di dalam ranah politik. Hal inilah yang kemudian dipertanyakan lebih kritis di dalam skripsi ini, dan juga akan dianalisa dengan teori yang lebih spesifik mengenai keterwakilan perempuan.

1.5.2. Keterwakilan Perempuan di dalam Parlemen

Ilmu politik merupakan lingkup studi yang luas, terutama setelah berkembangnya isu-isu baru di tahun 60-an isu gender menjadi salah satu isu yang dekat dengan kajian dan analisa ilmu politik. Oleh karena itu, dalam perkembangannya muncul penelitian-penelitian dan teori-teori politik yang fokus terhadap masalah-masalah gender. Masuknya isu gender ke dalam ilmu politik ini, menurut Sandra Harding dapat membentuk ilmu politik yang baru sebagai ilmu sosial yang kritis, lebih akurat dan tidak bias.25

Salah satu teori politik yang fokus terhadap masalah gender yakni terkait dengan masalah keterwakilan perempuan dalam parlemen. Hal ini sesuai dengan fokus utama yang dipermasalahkan dalam skripsi ini. Teori yang akan digunakan

25

Sandra Harding, Feminism and Methodology (Bloomington: Indiana University Press, 1987), hal. 188, dalam Judith Squires, Gender in Political Theory (Cambridge: Polity Press, 1999), hal. 106.

(22)

sebagai alat analisa dalam skripsi ini, yakni teori mengenai keterwakilan perempuan dalam politik yang dituliskan oleh oleh Azza Karam dan Joni Lovenduski dalam buku berjudul Women in Parliement: Beyond Number.

Karam dan Lovenduski beranggapan bahwa keterwakilan perempuan merupakan hal penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat. Azza Karam dan Joni Lovenduski tidak hanya sekedar melihat pentingnya jumlah perempuan di parlemen saja, sebaliknya mengalihkan ke titik apa yang sebenarnya dapat kaum perempuan lakukan di parlemen (bagaimana mereka dapat mempengaruhi), berapa pun jumlah mereka. Menurut keduanya, perempuan mempelajari aturan main, dan menggunakan pengetahuan dan pemahaman ini untuk mengangkat isu dan persoalan perempuan dari dalam di badan pembuat undang-undang (legislatur) dunia.26

Karam dan Lovenduski menekankan bahwa kendati hanya satu kehadiran perempuan pun di dalam parlemen, maka diyakini ia mampu membawa suatu perubahan. Namun tentunya untuk perubahan yang signifikan diperlukan juga keterwakilan perempuan dalam jumlah yang signifikan. Perubahan yang diusung oleh anggota parlemen perempuan ini dikarenakan mereka memiliki perbedaan dengan kaum laki-laki dalam hal isi dan prioritas pembuatan keputusan. Isi dan prioritas pembuatan keputusan antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh kepentingan, latar belakang dan pola kerja kedua jenis kelamin itu. Perempuan

26

Azza Karam dan Joni Lovenduski, Perempuan di Parlemen: Membuat Perubahan dalam Azza Karm dan Julie Ballington (ed-), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah,

Bukan Sekedar Hiasan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International Institute for

Democracy and Electoral Assistance, 1999), hal. 118. Diterjemahkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan, dengan judul asli Women In Parliement: Beyond Numbers diterbitkan oleh Stockholm,

(23)

cenderung memberikan prioritas pada masalah-masalah kemasyarakatan, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan masyarakat, isu anak-anak dan perempuan. Sedangkan laki-laki mendominasi arena politik: laki-laki memformulasikan aturan-aturan permainan politik.27

Menurut Karam dan Lovenduski anggota parlemen perempuan akan melalui tiga tahap untuk mewujudkannya. Langkah pertama yang dilakukan perempuan anggota parlemen adalah untuk memahami bagaimana bekerjanya legislator dalam rangka untuk dapat menggunakan pengetahuannya sehingga dapat bekerja secara lebih efektif. Tahap kedua, yakni dengan mempelajari bagaimana menggunakan aturan-aturan yang ada, sehingga perempuan dapat meraih peluang untuk ikut serta dalam posisi dan komite-komite kunci, membuat diri mereka didengar dalam pembahasan dan debat-debat, dan dapat menggunakan sepenuhnya keahlian dan kemampuan mereka. Hal terakhir yang akan dilakukan oleh para anggota parlemen perempuan adalah dengan mengawal perubahan aturan dan struktur yang ada, dan untuk membantu generasi baru politis perempuan.28

27

Karam dan Ballington (ed-), Ibid., hal. 120-121. 28

Karam dan Ballington (ed-), Ibid., hal. 124-136.

Setelah tiga tahapan tersebut dilewati, maka anggota parlemen yang perempuan tersebut akan melakukan perubahan di dalam empat bidang yakni meliputi institusional/prosedural, representasi, pengaruh terhadap output dan diskursus. Berikut merupakan tabel yang menggambarkan perubahan yang akan dibawa oleh anggota parlemen perempuan dalam empat bidang tersebut.

(24)

Tabel 1.5.2.1. Dampak Perubahan yang diusung oleh Anggota Parlemen Perempuan29

Institusional/Prosedural Membuat parlemen lebih “ramah perempuan” melalui peraturan-peraturan yang memajukan kepedulian gender lebih besar.

Representasi Menjamin keberlanjutan perempuan dan

meningkatkan akses ke parlemen, dengan mendorong kandidat-kandidat perempuan, mengubah undang-undang pemilihan dan kampanye, serta memajukan legislasi kesetaraan jenis kelamin.

Dampak/Pengaruh terhadap Produk kebijakan (output)

‘feminisasi” legislasi dengan memastikan sudah memperhitungkan pada isu dan peran perempuan

Diskursus Mengubah bahasa parlementer sehingga

perspektif perempuan menjadi suatu hal yang wajar dan mendorong perubahan sikap public terhadap perempuan

Melihat fungsi anggota parlemen terhadap perubahan tersebut, maka Karam dan Lovenduski menekankan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen semakin perlu ditingkatkan, karena ketika jumlah perempuan meningkat menandakan semakin banyaknya perubahan baik yang terjadi. Dari keempat

29

(25)

dampak positif itu, penulis akan memfokuskan kepada salah satunya saja yakni terhadap dampaknya terhadap keluaran kebijakan (output), khususnya isu mengenai perempuan. Karam dan Lovenduski secara tidak langsung mengartikan bahwa keterwakilan perempuan mampu secara signifikan memberikan perubahan terhadap output kebijakan yang dihasilkan. Hal ini secara menjadi relevan untuk menganalisa studi kasus yang diangkat di dalam penelitian skripsi ini.

1.6. Hipotesa

Adapun hipotesa yang ditarik oleh penulis ialah sebagai berikut;

a. Fungsi Pengawasan anggota legislatif perempuan dalam implementasi Peraturan darah no. 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak berjalan dengan baik.

b. Fungsi Pengawasan anggota legislatif perempuan dalam implementasi Peraturan darah no. 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak tidak berjalan dengan baik.

1.7. Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan pengembangan studi yang dilakukan dengan pendekatan Studi Kebijakan Publik dimana merupakan salah satu mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa Departemen Ilmu Politik-Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Sumatera Utara. Kebijakan Publik merupakan interaksi antar pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang berangkat dari permasalahan yang ada dalam masyarakat sebagai usaha untuk menjawab tuntutan

(26)

dan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dimana interaksi tersebut dapat berupa peraturan maupun perundang-undangan.

1.8. Metodologi Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memakai metode deskriptif analitis sebagai prosedur pemecah masalah yang diteliti, dengan menggunakan keadaan/objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tepat sebagaimana adanya.

Ciri-ciri pokok metode deskriptif antara lain:

1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi interprestasi yang rasional.30

Dalam pemecahan masalah berdasarkan deskriptif analisis ini, bentuk yang dipakai adalah studi hubungan (interelationship studies) dengan melalui

30

(27)

studi korelasi (correlation studies). Cara ini untuk melihat hubungan linier, berupa hubungan timbal balik antara variabel atau lebih yang disebut korelasi.

Penelitian dengan format deskriptif bertujuan menjelaskan, meringkas berbagai kondisi, situasi, atau variabel yang timbul dimasyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi.31

• Field Research Methods, yakni pengamatan baik dengan dialog atau terjun langsung ke lokasi dengan cara wawancara tentang masalah yang diteliti dengan responden yang memiliki pengetahuan tentang masalah penelitian. untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan informasi yang diinginkan serta berkaitan dengan variabel yang ada, maka dalam penelitian lapangan ini dipergunakan teknik komunikasi langsung dengan

Tujuan penelitian deskriptif untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta, sifat serta hubungan antar peristiwa yang diselidiki.

1.8.2. Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian berlokasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara.

1.8.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data baik informasi, keterangan atau fakta yang diperlukan, penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:

31

(28)

interview guide atau wawancara yang sifatnya terbuka sehingga peneliti

tidak terjebak untuk mencari data di luar permasalahan dan tujuan penelitian.

• Library Research Methods, yakni berdasarkan penelitian kepustakaan, penulis akan menemukan landasan teori yang berhubungan dengan variabel penulisan ini. Pada dasarnya suatu teori sudah jelas tujuannya, yakni secara generalisasi mempersoalkan pengetahuan yang bisa dipergunakan sebagai bahan untuk melakukan perbandingan serta untuk bisa memahami kenyataan di lapangan. Dalam penulisan ini penulis membaca dan mempelajari bahan-bahan yang bersumber dari arsip maupun berupa buku-buku, koran, majalah serta informasi tertulis (library

research) lainnya yang dirasa ada relevansinya dengan masalah yang

hendak diteliti. Segala sesuatu yang didapatkan apabila ternyata berhubungan dengan variabel penelitian ini akan dimuat sebagai kutipan dan juga diuraikan sepanjang hal itu memang berhubungan.

• Dokumentasi, yakni mencari data yang telah tersedia dilokasi penelitian baik berupa peraturan pemerintah, ringkasan riset atau hasil survey yang dilakukan berhubungan masalah penelitian.

1.8.4. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang diadopsi penulis dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan teknik analisa kualitatif yakni dengan menyajikan data yang diperoleh dari objek yang diteliti tentang data variabel penelitian. Data penafsiran

(29)

yang sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan yaitu dengan analisis pendekatan deskriptif dan analitis.

Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan arah tujuan memberikan gambaran mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data–data yang terkumpul, baik data yang berasal dari wawancara, kepustakaan maupun sumber lain akan dieksplorasi secara mendalam untuk melihat solusi atas masalah yang diteliti.

(30)

1.9. Sistematika Penulisan

BAB I Pada pendahuluan penulis menyajikan Latar Belakang yang berisikan alasan penulis dalam pemilihan judul penelitian;

Perumusan Masalah yang berisikan kalimat yang merupakan titik

tolak bagi perumusan hipotesis, dirumuskan dalam bentuk pertanyaan; Tujuan Penelitian, dalam bagian tujuan penelitian disebutkan secara tegas apa saja yang hendak dijawab atau diperoleh dar penelitian ini; Manfaat Penelitian, dalam manfaat penelitian diuraikan tentang kegunaan skripsi dan operasionalisasi hasilnya bagi pemerintah pusat dan daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Institusi lainnya yang berkaitan secara langsung ataupun tidak dengan pengembangan studi tentang Trafiking, khususnya di Kota Medan; Kerangka Dasar

Pemikiran, merupakan penjabaran dari pemikiran peneliti itu

sendiri dari sudut mana peneliti menggambarkan permasalahan dalam penelitian dengan berpedoman pada tinjauan pustaka;

Hipotesa, yang berisi pernyataan tegas dan memperjelas masalah

yang akan diteliti, memberikan arah dan tujuan pelaksanaan penelitian; Ruang Lingkup, mendefenisikan secara tegas konsep yang digunakan dalam penelitian agar tidak terjadi interpretasi ganda; Metodologi Penelitian, berisi tentang jenis penelitian yang digunakan peneliti yakni analisis pendekatan deskriptif dan kuantitatif; Lokasi Penelitian, yang bertempat di Dewan

(31)

Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan; Teknik Analisa Data, mengenai data penafsiran yang sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

BAB II Bab ini akan memberikan gambaran peranan perempuan di DPRD Kota Medan.

BAB III Bab ini berisi penyajian data dan analisa data yang diperoleh dari pengumpulan data. Dan berusaha menganalisa peranan anggota legislatif dalam pengimplementasian Perda No. 6 Tahun 2004.

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari seluruh hasil penelitian serta berisi saran membangun untuk perbaikan di masa mendatang yang berhubungan dengan penelitian ini.

Gambar

Tabel 1.1.1.    Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara  Asal dan Negara Tujuan Tahun 2001 4
Tabel 1.5.2.1. Dampak Perubahan yang diusung oleh Anggota Parlemen  Perempuan 29

Referensi

Dokumen terkait

• Limfa adalah transudate dari darah yang mengandung protein yang sama dengan plasma, tetapi lebih sedikit.. • Limfa terutama

Himpunan fuzzy memberikan nilai keanggotaan antara 0 dan 1 yang menggambarkan secara lebih alami sebuah kumpulan anggota dengan himpunan, Sebagai contoh, jika seorang berumur

ekstradisi yang dibuat berdasarkan perjanjian ini sesuai dengan prosedur yang ditetapkan hukum nasionalnya dan harus segera memberitahukan keputusannya kepada pihak peminta.

Guru sebagai tenaga pengajar di kelas hendaknya berusaha dengan optimal membangkitkan minat belajar matematika siswa dengan berbagai cara, misalnya dengan memperkenalkan kepada

Usaha atap daun nipah masih ada peluang pemasaran namun harus mempunyai strategi walaupun ada peluang tersebut pengrajin harus tetap mengutamakan manajemen dan

Masih kurangnya penanganan perbaikan matras untuk produk yang sedang berjalan sehingga menyebabkan output matras (cetakan produk) yang akan digunakan belum dapat

Berdasarkan pengalaman dan sikap selektif kepemimpinan politisi Partai Aceh di lembaga eksekutif dan legislatif dalam memimpin maka beberapa ketua organisasi di Kota