• Tidak ada hasil yang ditemukan

BADAN USAHA BERBADAN HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BADAN USAHA BERBADAN HUKUM"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pembelajaran sebelumnya telah menguraikan bentuk-bentuk badan usaha non badan hukum sesuai kitab undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdiri dari: Perseroan Perdata, Firma dan Komanditer. Badan usaha ini dianggap tidak berbadan hukum dalam artian belum memiliki kewenangan sebagai subyek hukum, setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum (Asshiddiqie, 2017).

Suatu badan hukum akan mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Apabila mendapat keuntungan, keuntungan itu menjadi kekayaan milik badan hukum itu. Sebaliknya, apabila menderita kerugian, kerugian itu ditanggung sendiri oleh badan hukum dari kekayaan yang dimilikinya.

BADAN USAHA BERBADAN HUKUM

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong

(2007) membedakan badan hukum menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:

1. Badan Hukum Publik (Public Rechts Persoon)

Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Dengan demikian, badan hukum ini merupakan badan-badan negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (pemerintah) atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti negara Republik

Indonesia, pemerintah daerah, Bank Indonesia, dan perusahaan negara.

2. Badan Hukum Privat (Privat Rect Persoon)

Badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu. Dengan demikian, badan hukum itu merupakan badan swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu, yakni mencari keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lainnya menurut hukum yang berlaku secara sah, misalnya perseroan terbatas, koperasi, yayasan, dan badan amal.

(2)

Badan hukum meskipun pemilik hak yang dapat melakukan perbuatan hukum sebagai manusia, seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, tetapi tidak “berjiwa” seperti manusia sebenarnya. Dia dapat bertindak melalui perantara pengurus atau pengelolanya yang merupakan manusia sebagai natural person.

Dengan demikian, secara umum suatu badan hukum memiliki karakteristik, menurut Abdulkadir Muhammad (2010), sebagai berikut:

1. Memiliki kekayaan sendiri

Badan hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban, sama seperti manusia pribadi. Sebagai pendukung hak dan kewajiban, dia dapat mengadakan hubungan bisnis dengan pihak lain. Untuk itu dia memiliki kekayaan sendiri, yang terpisah dari kekayaan pengurus atau pendirinya. Segala kewajiban hukumnya dipenuhi dari kekayaan yang dimilikinya. Apabila kekayaannya tidak mencukupi untuk menutupi kewajibannya, itu pun tidak akan dipenuhi dari kekayaan pengurus atau pendirinya guna menghindarkan dari kebangkrutan atau likuidasi. Kendatipun mendapat pinjaman dana dari pengurus atau pendirinya atau jika Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendapat suntikan dana dari negara, pinjaman atau suntikan dana itu tetap dihitung sebagai utang badan hukum itu.

2. Anggaran Dasar disahkan oleh Pemerintah

Akta pendirian yang memuat anggaran dasar setiap badan hukum harus dimuat di notaris. Akta notaris ini kemudian harus mendapat pengesahan secara resmi dari pemerintah, dalam hal ini melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Status badan hukum diperoleh

sejak tanggal keputusan pengesahan oleh menteri. Pengesahan ini merupakan pembenaran bahwa anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan tidak dilarang undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Disamping itu, pengesahan juga menentukan bahwa sejak badan usaha memperoleh status sebagai badan hukum maka harta kekayaannya menjadi terpisah dari harta kekayaan pribadi, pengurus atau pendirinya.

3. Diwakili oleh Pengurus

Badan hukum merupakan subyek hukum buatan manusia berdasarkan hukum yang berlaku. Agar dapat berbuat menurut hukum, maka badan hukum diurus oleh pengurus yang ditetapkan dalam anggaran dasarnya, sebagai yang berwenang mewakili badan hukum. Artinya, perbuatan pengurus merupakan perbuatan badan hukum. Perbuatan pengurus tersebut selalu mengatasnamakan badan hukum, bukan

atas nama pribadi pengurus. Segala kewajiban yang timbul dari perbuatan pengurus adalah kewajiban badan hukum, yang dibebankan pada harta kekayaan badan hukum. Sebaliknya pula, segala hak yang diperoleh dari perbuatan pengurus adalah hak badan hukum yang menjadi kekayaan badan hukum.

Pengaturan badan hukum di Indonesia tersebar dalam beberapa peraturan yang terpisah, baik dalam KUH Perdata, KUH Dagang, maupun dalam beberapa penetapan pemerintah dan atau keputusan menteri. Pada dasarnya eksistensi badan hukum di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pertama oleh karena dilahirkan melalui sebuah peraturan perundang-undangan, dan kedua adalah melalui sebuat penetapan pemerintah setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Pendirian suatu badan

(3)

hukum diawali dengan pembuatan Anggaran Dasar dan, jika diperlukan, dilengkapi dengan Anggaran Rumah Tangga, yang dibuat dalam suatu akta otentik dihadapan notaris selaku pejabat umum yang berwenang. (Ibrahim, 2011)

Badan hukum yang dilahirkan oleh peraturan perundang-undangan antara lain:

1. Koperasi

UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

2. Yayasan

UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 3. Wakaf

UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf 4. Perseroan Terbatas

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

5. Partai Politik

UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah setelah memenuhi persyaratan tertentu, diantaranya:

1. Perkumpulan

KUH Perdata Pasal 1654 s.d. 1665 2. Rederej atau Perusahaan Perkapalan

KUH Dagang Pasal 323 3. Perusahaan Asuransi

KUH Dagang Pasal 246 s.d. 308

Dalam tulisan ini akan diungkap lebih mendalam badan hukum yayasan dan perseroan terbatas sebagai pengetahuan awal yang terkait dengan badan usaha yang dapat bergerak di bidang ekonomi sehingga tujuan penciptaan pengusaha muda dari kalangan mahasiswa dapat diwujudkan melalui pengetahuan dan pemahaman tentang badan hukum ini.

YAYASAN

Yayasan merupakan suatu badan kegiatan

sosial yang terdiri dari pribadi-pribadi, masyarakat umum maupaun masyarakat adat yang merupakan kumulasi dari rasa saling peduli terhadap sesama. Ini diperkirakan muncul dari kesadaran masyarakat kalangan mampu yang memisahkan kekayaannya untuk membantu masyarakat yang mengalami kesusahan. Dipilihnya yayasan sebagai wadah untuk beraktivitas sosial tentu bukan tanpa alasan. Dibanding dengan bentuk hukum lain yang hanya terkonsentrasi pada bidang ekonomi dan usaha, yayasan dinilai lebih memiliki ruang gerak untuk menyelenggarakan kegiatan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, serta keagamaan yang pada umumnya belum ditangani oleh badan-badan hukum lain.

Yayasan bukanlah sebuah perusahaan karena dalam perusahaan kegiatannya melakukan

suatu usaha dengan tujuan mencari keuntungan. Akan tetapi pada kenyataannya yayasan sendiri tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi serta kebutuhan lain yang memerlukan biaya guna kelangsungan aktivitas yayasan tersebut. (Haris, 2012)

Yayasan yang di masa lalu dikenal sebagai stichting, konkordansi dari Belanda, yang pada masa lalu mengacu pada hukum kebiasaan yang lahir di masyarakat seturut dengan kebutuhannya, dan yurisprudensi, seperti halnya yurisprudensi tahun 1884 dan Putusan Mahkamah Agung No. 124 K/Sip/1973. (Prananingrum, 2010)

Sebelum disahkan UU Yayasan, di Indonesia tidak ada peraturan perundang-undangan khusus mengatur tentang yayasan. Kata yayasan memang terdapat dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata (Pasal 365, 899,

(4)

900, dan 1680) dan Reglement op de Rechtsvordering (RV)1 (Pasal 6 ayat 3, dan

236). (hukumonline.com, 2017)

Pengakuan terhadap kedudukan yayasan dalam suatu perundang-undangan baru tahun 2001, yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Dalam perkembangannya, UU ini ternyata belum dapat menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Masih terdapat berbagai penafsiran tentang yayasan sehingga menimbulkan ketidakpastian dan ketidaktertiban hukum yang akhirnya memberi peluang bagi pendiri yayasan untuk tidak mematuhi ketentuan tersebut. Oleh karena itu dilakukan perubahan dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. (Haris, 2012)

Pengertian yayasan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 UU No. 16 Tahun 2001, yang berbunyi:

Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

Terkait dengan badan usaha, yayasan diperkenankan untuk mendirikan atau ikut serta dalam suatu badan usaha, sebagaimana pada Pasal 3 Ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 menyatakan:

Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.

Ini kemudian ditegaskan di Pasal 7 UU No. 16 Tahun 2001 terkait badan usaha, yang berbunyi:

(1) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang

kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.

1 merupakan hukum acara perdata yang berlaku bagi

orang Eropa dan Timur Asing yang berada di Indonesia

(2) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam

berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan.

(3) Anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas

Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

Meskipun demikian, harus dipahami bahwa aturan undang-undang telah memberikan pemisahan antara peran yayasan dan peran suatu badan usaha yang didirikan, dalam hal ini yayasan sebagai pemegang saham dalam suatu badan usaha tersebut karena adanya penyertaan modal maksimal 25% dari kekayaan yayasan, terlebih bila terjadi masalah yang timbul jika ada larangan terhadap organ yayasan. Dengan kata lain, yayasan tidak dapat langsung melakukan kegiatan usaha, tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana yayasan mengikutsertakan kekayaannya. Ini semata-mata agar badan usaha yang didirikan oleh yayasan dapat mendukung tujuan utamanya dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sehingga tidak tergantung selamanya pada bantuan atau sumbangan dari pihak lain. (Haris, 2012)

Yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaannya, sebagai kekayaan awal yayasan. Pendirian ini harus dilakukan dengan akta notaris. Pasal 9 UU No. 16 Tahun 2001 menguraikan:

(1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih

dengan memisahkan sebagian hasil kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.

(2) Pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.

(3) Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat.

(4) Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(5)

(5) Dalam hal yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan tata cara pendirian yayasan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Nilai kekayaan awal yayasan yang didirikan oleh orang Indonesia paling sedikit Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Ini diuraikan dalam Pasal 6 Ayat (1) PP No. 63 Tahun 2008 yang berbunyi:

Jumlah kekayaan awal yayasan yang didirikan oleh orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)

Yang harus diperhatikan terkait status sebagai badan hukum, yayasan harus memperoleh pengesahan dari Menteri, yang dalam hal ini diwakili oleh Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM setempat. Ini dijelaskan dalam Pasal 11 UU No. 28 Tahun 2004 sebagai berikut:

(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah

akta pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan dari Menteri.

(2) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan kepada Menteri melalui notaris yang membuat akta pendirian yayasan tersebut.

(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib

menyampaikan permohonan pengesahan kepada menteri dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian yayasan ditandatangani.

(4) Dalam memberikan pengesahan akta pendirian

yayasan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

(5) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat

(4), wajib menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima.

(6) Permohonan pengesahan akta pendirian yayasan

dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Terkait dengan penamaan yayasan, yayasan tidak boleh memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan lain. Ini ditegaskan dalam Pasal 15 UU No. 16 Tahun 2001 yang berbunyi:

(1) Yayasan tidak boleh memakai nama yang:

a. telah dipakai secara sah oleh yayasan lain; atau

b. bertentangan dengan ketertiban umum

dan/atau kesusilaan.

(2) Nama yayasan harus didahului dengan kata

“Yayasan”.

(3) Dalam hal kekayaan yayasan yang berasal dari

wakaf, kata “wakaf” dapat ditambahkan setelah kata “Yayasan”.

(4) Ketentuan mengenai pemakaian nama yayasan

diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bila yayasan belum memiliki status badan hukum, maka pengurus yayasan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas setiap perbuatan hukum yang dilakukannya. Ini dijelaskan dalam Pasal 13A UU No. 28 Tahun 2004 sebagai berikut:

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan sebelum yayasan memperoleh status hukum menjadi tanggung jawab pengurus secara tanggung renteng.

Suatu yayasan dapat bubar karena jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya berakhir, tujuan yayasan telah tercapai atau tidak tercapai, dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 62 UU No. 16 Tahun 2001 yang berbunyi:

Yayasan bubar karena:

a. jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran

Dasar berakhir;

b. tujuan yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran

Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;

c. putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:

(1) yayasan melanggar ketertiban umum dan

kesusilaan;

(2) tidak mampu membayar utangnya setelah

dinyatakan pailit; atau

(3) harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk

melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.

(6)

PERSEROAN TERBATAS (P.T.)

- BAGIAN PERTAMA -

Perseroan Terbatas (PT) pada awalnya diatur dalam KUH Dagang Pasal 36 s.d 56. Namun, KUH Dagang yang sudah berumur ratusan tahun ini dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman. Pada 7 Maret 1995 diterbitkan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang mencabut segala ketentuan tentang perseroan terbatas di KUH Dagang, beserta segala perubahan terakhirnya.

Zaman terus berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi komunikasi yang mengubah banyak hal terkait dengan dunia ekonomi. UU tersebut kemudian kembali menjadi ketinggalan sehingga perlu diganti. Tepat 16 Agustus 2007 diterbitkanlah UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai landasan terbaru. UU ini mencabut segala ketentuan sebelumnya. (Muhammad, 2010)

Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Modal dasar terdiri atas seluruh nilai nominal saham paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), sebagaimana diuraikan dalam Pasal 32 UU No. 40 Tahun 2007. Namun, nilai modal ini dalam pelaksanaannya dianggap menyulitkan dunia usaha, khususnya bagi pengusaha pemula. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan PP No. 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas untuk memberikan kemudahan berusaha bagi para

pengusaha dalam mendirikan badan usaha perseroan terbatas. Saat ini, modal dasar pendirian perseroan terbatas ditentukan berdasarkan kesepakatan para persero pendirinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 PP No. 29 Tahun 2016:

(1) Perseroan Terbatas wajib memiliki modal dasar

perseroan.

(2) Modal dasar Perseroan Terbatas harus dituangkan

dalam anggaran dasar yang dimuat dalam akta pendirian Perseroan Terbatas.

(3) Besaran modal dasar Perseroan Terbatas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kesepakatan para pendiri Perseroan Terbatas.

Modal dasar tersebut kemudian harus ditempatkan dan disetor penuh dalam rekening atas nama persero paling sedikit 25% (dua puluh lima persen). Ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 yang menyatakan:

Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.

Untuk mendirikan perseroan terbatas cukup oleh 2 (dua) orang atau lebih yang diwujudkan dalam bentuk akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Orang disini dapat orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing, atau badan hukum Indonesia atau asing. Hal ini diatur dalam Pasal 7 UU No. 40 Tahun 2007 yang berbunyi:

(1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih

dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

(2) Setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian

saham pada saat perseroan didirikan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak berlaku dalam rangka peleburan.

(4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada

tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri, mengenai pengesahan badan hukum perseroan.

(5) Setelah perseroan memperoleh status badan

(7)

2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.

(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud

dalam pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan perseroan tersebut.

(7) Ketentuan yang mewajibkan perseroan didirikan

oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi:

a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh

negara; atau

b. Perseroan yang mengelola bursa efek,

lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Pasar Modal.

Permohonan untuk memperoleh status badan hukum melalui keputusan menteri diajukan paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditandatangani, yang dilengkapi dengan beberapa dokumen pendukung lainnya. Dokumen pendukung terkait pendirian perseroan diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasa dan Perubahan Data Perseroan Terbatas Pasal 13 ayat (4) yang berbunyi:

Dokumen untuk pendirian perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan notaris, yang meliputi:

a. minuta akta pendirian perseroan atau minuta akta

perubahan pendirian perseroan;

b. minuta akta peleburan dalam hal pendirian

perseroan dilakukan dalam rangka peleburan;

c. bukti setor modal perseroan, berupa:

1. fotokopi slip setoran dan fotokopi surat

keterangan bank atas nama perseroan atau rekening bersama atas nama para pendiri atau asli surat pernyataan telah menyetor modal perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota dewan komisaris perseroan, jika setoran modal dalam bentuk uang;

2. asli surat keterangan penilaian dari ahli yang

tidak terafiliasi atau bukti pembelian barang jika setoran modal dalam bentuk lain selain uang yang disertai pengumuman dalam surat kabar, jika setoran dalam bentuk benda tidak bergerak;

3. fotokopi peraturan pemerintah dan/atau

keputusan menteri keuangan bagi perseroan persero atau peraturan daerah dalam hal pendiri adalah perusahaan daerah atau pemerintah daerah/provinsi/kabupaten/kota; atau

4. fotokopi neraca dari perseroan yang

meleburkan diri atau neraca dari perusahaan bukan badan hukum yang dimasukkan sebagai setoran modal.

d. surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk

memperoleh keputusan, persetujuan, atau rekomendasi dari instansi teknis untuk perseroan bidang usaha tertentu atau fotokopi keputusan, persetujuan, dan rekomendasi dari instansi teknis terkait untuk perseroan bidang usaha tertentu;

e. surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk

memperoleh kartu nomor pokok wajib pajak dan laporan penerimaan surat pemberitahuan pajak; dan

f. fotokopi surat keterangan mengenai alamat

lengkap perseroan dari pengelola gedung atau instansi yang berwenang atau asli surat pernyataan mengenai alamat lengkap perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota dewan komisaris perseroan.

Terkait dengan penamaan perseroan terbatas, ini harus diajukan kepada Menteri dengan suatu permohonan guna mendapat persetujuan. Permohonan persetujuan dapat diajukan bersamaan atau lebih dahulu secara terpisah dari permohonan pengesahan akta pendirian atau permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar. Yang perlu dipahami, nama perseroan tidak boleh sama atau mirip dengan nama perseroan yang lain, sama atau mirip dengan merek terkenal,

(8)

memberi kesan adanya kaitan dengan lembaga pemerintah, lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, atau lembaga internasional, dan alasan lain yang diuraikan dalam Pasal 5 PP No. 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas yang berbunyi:

(1) Permohonan persetujuan pemakaian nama kepada

Menteri ditolak apabila nama tersebut:

a. telah dipakai secara sah oleh perseroan lain

atau mirip dengan nama perseroan lain;

b. bertentangan dengan ketertiban umum dan

atau kesusilaan.

(2) Disamping alasan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) permohonan persetujuan pemakaian nama perseroan yang diajukan kepada Menteri juga ditolak, apabila nama tersebut:

a. sama atau mirip dengan nama perseroan yang

permohonan persetujuan pemakaiannya telah diterima lebih dahulu;

b. sama atau mirip dengan merek terkenal

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek berikut perubahannya, kecuali ada izin dari pemilik merek terkenal tersebut;

c. dapat memberikan kesan adanya kaitan antara

perseroan dengan suatu lembaga pemerintah, lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, atau lembaga internasional, kecuali ada izin dari yang bersangkutan;

d. hanya terdiri dari angka atau rangkaian angka;

e. hanya terdiri dari huruf atau rangkaian huruf

yang tidak membentuk kata;

f. menunjukkan maksud dan tujuan perseroan,

kecuali ada tambahan lain; atau

g. tidak sesuai dengan maksud dan tujuan serta

kegiatan usaha perseroan;

h. hanya merupakan nama suatu tempat;

i. ditambah kata dan atau singkatan kata yang

mempunyai arti sebagai perseroan terbatas, badan hukum atau persekutuan perdata.

Apabila perseroan terbatas belum memperoleh status badan hukum maka semua persero, baik pendiri, direksi serta komisaris, secara bersama-sama bertanggung jawab secara tanggung renteng atas suatu perbuatan hukum. Pasal 14 UU No. 40 Tahun 2007 lebih jelas menguraikan sebagai berikut:

(1) Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum

memperoleh status badan hukum, hanya boleh

dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.

(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan.

(3) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), karena hukum menjadi tanggung jawab Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum.

(4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) hanya mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui oleh semua pemegang saham dalam RUPS yang dihadiri oleh semua pemegang saham Perseroan.

(5) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah

RUPS pertama yang harus diselenggarakan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status badan hukum.

Yang membedakan dengan perseroan sebelumnya adanya pemegang saham. Pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ini diuraikan di awal aturan pada Pasal 3 UU No. 40 Tahun 2007 yang berbunyi:

(1) Pemegang saham perseroan tidak bertanggung

jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak berlaku apabila:

a. persyaratan perseroan sebagai badan hukum

belum atau tidak terpenuhi;

b. pemegang saham yang bersangkutan baik

langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;

c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat

dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

d. pemegang saham yang bersangkutan baik

langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan

(9)

perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.

Saham adalah bukti telah dilakukannya penyetoran penuh modal yang diambil bagian oleh para pemegang saham perseroan terbatas. Saham diterbitkan segera setelah perseroan terbatas memperoleh status sebagai badan hukum. Setiap lembar saham memiliki nilai nominal, yang besarnya ditentukan dalam anggaran dasar perseroan terbatas. Jumlah seluruh saham yang diambil bagian oleh pemegang saham dikalikan dengan nilai nominal saham harus sama dengan modal yang ditempatkan atau disetor penuh perseroan terbatas. Misalnya, ditetapkan dalam anggaran dasar nilai nominal satu lembar saham sebesar Rp 10.000,-. Modal dasar pendirian yang disepakati sebesar Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Dengan demikian saham yang diterbitkan terdiri atas 2.000 lembar. Bila misalnya terdapat dua pendiri, maka masing-masing pendiri dapat memiliki 1.000 lembar atau dapat juga dibagi dalam persentase. Cobalah hitung berapa porsi kepemilikan saham jika pembagiannya 55:45, 60:40 atau 65:35!

Saham boleh memiliki klasifikasi yang berbeda-beda yang ditetapkan dalam

anggaran dasar perseroan. Setiap klasifikasi ini dapat mempunyai nilai nominal yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ini diatur dalam Pasal 53 UU No. 40 Tahun 2007 yang menyatakan:

(1) Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi

saham atau lebih.

(2) Setiap saham dalam klasifikasi yang sama

memberikan kepada pemegangnya hak yang sama.

(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi

saham, anggaran dasar menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa.

(4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat

(3), antara lain:

a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;

b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan

anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;

c. saham yang setelah jangka waktu tertentu

ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain;

d. saham yang memberikan hak kepada

pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;

e. saham yang memberikan hak kepada

pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.

DAFTAR BACAAN

Asshiddiqie, Jimly. Badan Hukum. www.jimly.com <http://www.jimly.com/pemikiran/view/14> diakses 11 Maret 2017, 10:35 WITA

Haris, Freddy (2012) Penelitian Hukum tentang Efektifitas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dalam Mewujudkan Fungsi Sosial. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Ibrahim Johny. Eksistensi Badan Hukum di Indonesia sebagai Wadah dalam Menunjang Kehidupan Manusia. Jurnal Law Review Volume XI No. 1 Juli 2011. Fakultas Hukum Universitas Pelita Nusantara hal. 105-121

Muhammad, Abdulkadir (2010) Hukum Perusahaan Indonesia. Cetakan Keempat Revisi. Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti ISBN 978-979-414-798-6

(10)

Prananingrum, Dyah Hapsari. Ambiguitas Pengaturan Badan Hukum Yayasan. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, No. 2, Mei 2010. Direktorat Hukum Bank Indonesia hal. 11-18

Sari, Elsi Kartika dan Simangunsong, Advendi (2007). Hukum dalam Ekonomi. Jakarta: Penerbit Grasindo ISBN 978-979-759-796-2

www.hukumonline.com. Pendirian Yayasan. <http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl587/ pendirian-yayasan> diakses 23 Maret 2017, 22:15 WITA

BELAJAR LEBIH DALAM

MENGINTREPRETASI NASKAH HUKUM ATAU UNDANG-UNDANG

Abdul Fickar Hadjar

Menginterpretasikan suatu naskah hukum dalam hal ini undang-undang merupakan suatu yang niscaya, karena gagasan dan semangat yang terkandung dalam suatu undang-undang selalu terkait dengan ruang dan waktu dalam arti sangat erat kaitannya dengan situasi dimana dan ketika undang-undang dirumuskan dan ditetapkan. Dalam konteks waktu, situasi seringkali mengalami perubahan karena tuntutan perkembangan masyarakat,dan karena itu sering dikatakan bahwa hukum ic undang-undang kerap mengalami ketertinggalan dimakan oleh waktu.

Dalam studi ilmu hukum, memahami teks hukum atau undang-undang melalui sejarah terjadinya teks undang-undang tersebut merupakan salah satu cara penafsiran saja, karena masih ada beberapa teori tentang penafsiran (interpretasi) hukum lengkapnya, sebagai berikut:

1. Teori penafsiran “letterlijk” (what does the word mean)

Penafsiran ini menitik beratkan pada maksud dari teks-teks yang tertulis dari sebuah naskah hukum atau undang-undang;

2. Teori penafsiran gramatikal (what does it linguistically mean?)

Ketentuan atau kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa sebagai narasumber.

3. Teori penafsiran historis (what is historical background of the formulation of the text)

Untuk mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan sering pula dilakukan dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ada 2 (dua) jenis interpretasi historis yaitu

a. Interpretasi menurut sejarah hukum (rechts historische-interpretatie)

b. Interpretasi menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet historische-interpretatie)

(11)

4. Teori penafsiran komparatif

Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan metode ini terbatas.

5. Teori penafsiran Futuristis

Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, Contohnya pada saat undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang pada saat itu sedang dibahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang disidik berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.

6. Teori penafsiran Restrictif & Ekstensif

Penafsiran restriktif: Cara penafsiran yang mempersempit arti suatu istilah atau pengertian dalam (pasal) undang-undang; Penafsiran ekstensif: Menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah atau pengertian dalam (pasal) undang-undang.

7. Teori penafsiran Teleologis

Penafsiran undang-undang dengan menyelidiki maksud pembuatan dan tujuan dibuatkannya undang-undang tersebut. Dengan interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku (tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi) diterapkan

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian Suadnya (2010) indikator yang digunakan dalam menilai partisipasi masyarakat sama dengan penelitian Salman (2008) yaitu; aspek anggaran, tingkat kepentingan dan

Sebetulnya talent untuk animator di Indonesia amat sangat banyak dan maju, hanya saja tidak didukung oleh manjement yang kuat dan rapi, namanya juga seniman

In the fra m ework of im proving s upervis ion conducted by the Board of Com m is s ioners , bes ides evaluating the reports of the Boa rd of Directors a nd SKAI, the Boa rd of Com

[r]

Lakukan uji temubalik sebelum melakukan analisa contoh uji (on going Recovery) dengan frekuensi 5 % - 10 % dari jumlah contoh uji per batch atau 1 kali untuk jumlah contoh uji

Penyesuaian diri yang dilakukan oleh ketiga subjek menurut hasil penelitian ini lebih menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman para subjek untuk menyeimbangkan

Khusus untuk peubah jumlah anakan produktif, rerata galur-galur Pup1 lebih banyak pada kondisi ku- rang P di Lampung dibanding dengan kondisi cukup P di Sukabumi, namun

kualitas produk dan loyalitas konsumen di Toko Locked Target dalam. perspektif