1
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sudah sejak lama memanfaatkan berbagai macam ramuan tumbuh-tumbuhan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Ramu-ramuan itu kemudian diturunkan ke generasi-generasi berikutnya hingga saat ini. Dewasa ini, obat herbal sedang diminati oleh masyarakat di Indonesia dan banyak produsen obat yang berlomba-lomba dalam mengembangkan bahan alam sebagai obat. Hal ini menyebabkan semakin gencarnya dilakukan penelitian dan pengembangan di bidang obat herbal.
Salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan oleh masyarakat Indonesia adalah jahe. Jahe memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak digunakan sebagai bumbu makanan, kosmetik, atau pun obat. Khasiat jahe yang telah diketahui secara luas adalah untuk pengobatan rheumatik, radang tenggorokan, sakit gigi, konstipasi, asthma, stroke, dan diabetes (Lantz et al., 2007).
Kandungan jahe sangat beragam yang dipengaruhi oleh tempat tumbuh, kondisi penyimpanan, dan berbagai faktor lainnya (Nicoll dan Henein, 2009). Namun secara garis besar, jahe mengandung komponen minyak atsiri yang bertanggung jawab terhadap aroma khas yang dimiliki dan juga komponen zat pedas. Minyak atsiri yang terkandung dalam jahe terdiri dari dua kelompok besar yakni monoterpenoid (β-felandren, (+)-kamfen, sineol, geraniol, kurkumen, citral,
terpineol, borneol) dan sesquiterpenoid (α-zingiberen (30-70%), β-seskuifelandren (15-20%), β-bisabolon (10-15%), (E-E)-α-farnesen, ar-kurkumen, zingiberol). Zat pedas jahe terdiri dari gingerol yang merupakan komponen utama jahe dan 6-shogaol yang merupakan hasil dehidrasi dari 6-gingerol (Zhou et al., 2003).
Banyaknya aksi farmakologis yang dimiliki oleh jahe menyebabkan banyak industri obat yang berusaha menghasilkan produk obat herbal dengan bahan baku jahe. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui lebih rinci tentang efek dari ekstrak jahe. Beberapa diantaranya adalah penelitian oleh Ali et al. (2007) yang menyatakan bahwa pemberian ekstrak metanol jahe dapat menekan peningkatan lemak dan berat badan serta mengontrol kadar glukosa darah. Selain itu pemberian intravena 6-shogaol dapat menekan kontraksi lambung lebih baik dibandingkan dengan 6-gingerol (Chrubasik et.al., 2005).
Penelitian oleh Abdulrazaq et al. (2011) menyatakan bahwa ekstrak jahe tidak memberikan efek toksik pada tikus dan mampu mengontrol kadar glikogen jaringan pada tikus diabetes dengan cara meningkatkan penggunaan glukosa darah dan memperbaiki ketidakseimbangan glikolisis pada hati dan ginjal serta membatasi terjadinya glukoneogenesis sama seperti fungsi insulin.
Tsui et al. (2001) menyatakan bahwa penggunaan obat-obat herbal pada ibu hamil untuk mengatasi morning sickness sudah dilakukan sejak lama dan jahe merupakan salah satu tanaman yang digunakan pada pengobatan herbal di Cina untuk mengatasi morning sickness pada ibu hamil. Penelitian lainnya juga menyatakan bahwa jahe dapat menekan efek mual muntah saat awal kehamilan ketika diberikan pada ibu hamil dengan dosis 1 g per hari selama 4 hari yang
diberikan dalam bentuk kapsul (Thomson et al., 2014). Efektivitas jahe dalam mengatasi mual muntah juga disampaikan oleh Saberi et al. (2013) dimana pemberian jahe pada ibu hamil dengan usia kehamilan sampai minggu ke-16 dengan kondisi mual muntah ringan hingga sedang memberikan hasil yang lebih baik dibanding pengobatan akupuntur.
Penggunaan jahe pada ibu hamil sampai saat ini masih mengalami pro dan kontra karena ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa jahe tidak aman dikonsumsi oleh ibu hamil, namun ada juga penelitian yang menyatakan bahwa jahe masih tergolong aman bagi ibu hamil (Costa et al., 2012). Wilkinson (2000) menyebutkan bahwa pemberian infusa jahe dengan dosis 2g/hari selama masa kebuntingan pada tikus Sprague Dawley dapat menyebabkan kelainan embrionik. Penelitian lainnya menyatakan bahwa ekstrak etanolik jahe yang diberikan pada tikus bunting galur Wistar selama masa kebuntingan tidak menimbulkan efek berbahaya bagi induk maupun janinnya (Weidner dan Sigwart, 2000). Dissabandara dan Chandrakesara (2007) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian jahe pada hari ke-5 sampai ke-15 kebuntingan pada tikus Sprague Dawley mempengaruhi berat badan induk dan meningkatkan angka kejadian aborsi. Penelitian lebih lanjut oleh Putri (2014) menyatakan bahwa ekstrak etanolik jahe yang mengandung 1,01% 6-gingerol dan 0,64% 6-shogaol memiliki efek teratogenik ketika diberikan pada tikus bunting selama masa kebuntingan ditinjau dari segi biometrika janin.
Maka dari itu, dirasa perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait keamanan konsumsi jahe bagi ibu hamil. Penelitian ini akan dilakukan untuk
mengetahui efek keteratogenikan dari pemberian fraksi zat pedas jahe yang diperoleh dari maserasi sisa destilasi jahe pada tikus bunting Sprague Dawley (SD) ditinjau dari segi biometrika janin.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1. Apakah pemberian fraksi zat pedas jahe menimbulkan efek toksik bila ditinjau dari biometrika janin?
2. Bagaimanakah wujud efek toksik pada pemberian fraksi zat pedas jahe yang diberikan per oral pada tikus bunting galur SD selama masa organogenesis terhadap biometrika janin?
3. Bagaimanakah hubungan dosis dan efek toksik pemberian fraksi zat pedas jahe per oral pada tikus bunting galur SD terhadap biometrika janin?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui :
1. Efek toksik yang ditimbulkan pada pemberian fraksi zat pedas jahe secara oral pada tikus bunting galur SD selama masa organogenesis.
2. Wujud efek toksik yang muncul pada pemberian fraksi zat pedas jahe yang diberikan per oral pada tikus bunting galur SD selama masa organogenesis terhadap biometrika janin.
3. Hubungan dosis dan efek toksik dari pemberian fraksi zat pedas jahe per oral pada tikus bunting galur SD terhadap biometrika janin.
D. Tinjauan Pustaka
1. Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
Jahe, rimpang dari tanaman Zingiber officinale merupakan salah satu tanaman yang paling banyak digunakan sebagai bumbu di bidang makanan dari famili Zingiberaceae. Rimpang jahe merupakan herba semusim yang berbentuk tegak dengan tinggi 40-50 cm. Daunnya tunggal berwarna hijau dengan bentuk lanset, tepi rata, ujung runcing, dan pangkal tumpul. Bunga tanaman jahe merupakan bunga majemuk berbentuk bulir sempit dengan ujung runcing yang memiliki panjang 3-5 cm dan lebar 1,5-2 cm. Mahkota bunganya berwarna ungu, berbentuk corong dengan panjang 2-2,5 cm dan memiliki kelopak bentuk tabung warna hijau merah bergigi tiga. Tanaman ini memiliki buah berbentuk bulat panjang dengan warna coklat dan berbiji bulat hitam. Sedangkan akarnya merupakan akar serabut berwarna putih kotor. Rimpang jahe (Zingiber officinale
Rosc. dapat dilihat pada Gambar 1. Adapun klasifikasi dari tanaman jahe yakni: Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Zingiberaceae
Jenis : Zingiber officinale Rosc.
(Anonim, 2001a)
Gambar 1. Rimpang jahe (Zingiber officinale Rosc.) (Suprapti, 2007)
Secara umum, jahe terbagi dalam 3 macam yakni jahe merah, jahe emprit, dan jahe gajah. Jahe merah memiliki warna rimpang hijau kemerahan, berukuran agak kecil dengan ruas-ruas yang rata dan sedikit menggembung. Sedangkan jahe emprit berwarna lebih putih, berukuran kecil, memiliki bentuk yang agak pipih, berserat lembut, dan memiliki aroma yang kurang tajam dibandingkan jahe merah. Jahe gajah memiliki warna putih kekuningan, berukuran jauh lebih besar dan lebih gemuk dibandingkan jahe merah dan jahe emprit dengan ruas-ruas yang lebih menggelembung dibandingkan jenis jahe lainnya. Dari segi penggunaannya, jahe merah lebih banyak digunakan untuk pembuatan minyak jahe karena kandungan minyak atsirinya yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan jenis yang lainnya yakni sekitar 2,58 – 2,72 %. Jahe emprit banyak digunakan sebagai bahan
pembuatan jamu segar maupun kering, sedangkan jahe gajah lebih banyak dimanfaatkan sebagai rempah-rempah serta olahan makanan dan minuman (Lim, 2016).
Gambar 2. Struktur komponen non-volatil jahe (Shukla dan Singh, 2006)
Kandungan kimia pada jahe di antaranya berupa minyak atsiri yang bertanggung jawab pada aroma khas jahe, komponen non-volatil sebagai zat pedas jahe, dan komponen lainnya seperti amilum, lemak, vitamin, mineral, dan enzim proteolitik zingibain. Minyak atsiri pada jahe terkandung sebanyak 1-3%
yang secara garis besar terdiri dari senyawa-senyawa hidrokarbon seskuiterpen seperti zingeberen (35%), kurkumen (18%), farnesen (10%), serta bisabolen dan β-seskuifelandren dengan jumlah yang kecil. Selain itu juga terdapat senyawa hidrokarbon monoterpen dengan presentase yang lebih kecil. Senyawa hidrokarbon monoterpen yang terkandung antara lain 1-8-sineol, linalool, borneol, neral, dan geraniol (Govindarajan, 1982).Sedangkan komponen non-volatil jahe seperti gingerol, shogaol, paradols, dan zingerone memberikan rasa pedas pada jahe. Gingerol merupakan komponen kimia jahe yang memiliki rantai karbon alifatik dan merupakan komponen aktif utama pada rimpang segar. Shogaol, homolog gingerol juga merupakan komponen utama pemberi rasa pedas pada jahe kering (Connell dan Sutherland, 1969). Paradol mirip seperti gingerol dan terbentuk dari reaksi hidrogenasi shogaol. Struktur komponen non-volatil dari jahe dapat dilihat pada Gambar 2.
Berbagai kandungan pada jahe bertanggung jawab pada efek farmakologis yang dimiliki. Beberapa khasiat dari jahe di antaranya sebagai pelega perut, obat demam, obat batuk, obat rematik, dan penawar racun (Bensky dan Gambel, 1993). Hasil penelitian farmakologi menyatakan bahwa senyawa antioksidan alami dalam jahe cukup tinggi dan sangat efisien dalam menghambat radikal bebas superoksida dan hidroksil yang dihasilkan oleh sel-sel kanker, dan bersifat sebagai antikarsinogenik, non-toksik, dan non-mutagenik pada konsentrasi tinggi (Manju dan Nalini, 2005). Penelitian tentang jahe yang sekarang ini cukup berkembang khususnya di Indonesia adalah sebagai anti mual-muntah pada ibu hamil. Viljoen
selama kehamilan karena jahe dapat meningkatkan kontraktilitas lambung dan mempercepat waktu pengosongan lambung yang dapat mengurangi kejadian mual. Penelitian lainnya dilakukan oleh Lete dan Allue (2016) yang menggunakan kapsul jahe dengan kandungan gingerol sebanyak 5 % yang setara dengan 15 mg zat aktif tiap 300 mg ekstrak jahe yang telah banyak digunakan dalam uji klinis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian kapsul jahe dapat mengurangi angka kejadian mual-muntah saat kehamilan bila dibandingkan dengan kelompok yang diberi placebo (kontrol).
2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan zat yang dapat larut dalam pelarut cair sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak, mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain (Anonim, 1986). Faktor yang mempengaruhi kecepatan ekstraksi adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut. Kecepatan melintasi lapisan batas dipengaruhi oleh derajat perbedaan konsentrasi, tebal lapisan batas, serta koefisien difusi (Anonim, 1986).
Dalam proses ekstraksi, pemilihan pelarut adalah hal yang penting dan harus mempertimbangkan banyak faktor. Pelarut atau cairan penyari yang akan digunakan untuk ekstraksi adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa berkhasiat yang diinginkan, sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan antara bahan dan kandungan lain yang tidak diinginkan (Anonim, 2000). Pelarut yang baik harus memenuhi kriteria berikut:
1. Murah dan mudah diperoleh 2. Stabil secara fisika dan kimia 3. Bereaksi netral atau inert
4. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
5. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki 6. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat
7. Diperbolehkan oleh peraturan
Ekstraksi pada perusahaan obat tradisional masih terbatas pada penggunaan cairan pelarut berupa air, etanol, atau etanol-air (Anonim, 1986). Pelarut akuades digunakan karena murah dan mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak beracun, dan alami. Namun, kekurangan akuades sebagai cairan penyari yaitu tidak selektif; sari dapat ditumbuhi kapang atau kuman sehingga cepat rusak, dan diperlukan waktu yang lama untuk menguapkannya (Anonim, 1986). Sedangkan pelarut etanol digunakan sebagai cairan penyari dengan pertimbangan dapat melarutkan berbagai senyawa, merupakan pelarut universal, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan untuk menguapkan pelarut dibutuhkan waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan air. Kerugian dari penggunaan pelarut etonol adalah harganya yang lebih mahal dibandingkan dengan air atau akuades (Anonim, 1986). Perlu diketahui jenis-jenis pelarut dan jenis senyawa yang terlarut, agar penyarian yang dilakukan dapat optimal. Jenis cairan penyari dan jenis senyawa yang terlarut didalamnya dapat dilihat pada Tabel I.
Secara umum, jenis ekstraksi ada beberapa macam, yaitu: infundasi, maserasi, dan perkolasi. Masing-masing metode ekstraksi ini memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri. Pemilihan metode ekstraksi ditentukan berdasarkan hasil ekstraksi yang ingin diperoleh dan senyawa yang ingin diekstraksi. Tidak jarang, pemilihan metode ekstraksi menggunakan campuran dari dua metode ekstraksi dengan tujuan untuk memperoleh hasil ekstraksi yang maksimal.
Tabel I. Jenis pelarut dan jenis senyawa terlarut
(Pramono, 2013) Maserasi adalah suatu proses pengekstraksian simplisia dalam suatu wadah yang diberi pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Campuran simplisia dan pelarut kemudian dipisahkan, ampasnya akan mengendap dan maserat didapatkan dengan penyaringan sehingga tidak ada sisa simplisia yang terbawa. Maserasi kinetik berarti adanya pengadukan yang berulang (terus-menerus). Remaserasi berarti
No. Jenis Pelarut Jenis Senyawa Terlarut
1. N-heksan,
petroleum eter
Lemak, terpenoid atau minyak atsiri, steroid atau aglikon triterpen, aglikon antrakuinon, flavonoid polimetil, resin, klorofil.
2. Toluen, kloroform,
diklorometan
Semua senyawa di atas, isoflavon, alkaloid bebas (bukan garam), kurkumin, fenil propan, fenol sederhana.
3. Dietil eter Semua senyawa di atas, flavonoid polihidroksi,
asam fenolat.
4. Etil asetat Semua senyawa di atas, flavonoid
monoglikosida, antrakuinon glikosida, steroid glikosida,kumarin glikosida.
5. Etanol, metanol Semua senyawa di atas, flavonoid glikosida,
tanin, saponin.
6. Air panas Semua senyawa yang larut dalam penyari dietil
eter sampai etanol, alkaloid garam, karbohidrat, protein, asam amino.
dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan pertama dan seterusnya.
Gambar 3. Alat maserasi dengan pengaduk mekanik (Anonim, 1986)
Keterangan : A. Bejana berisi simplisia dan cairan penyari B. Tutup bejana
C. Pengaduk mekanik
Keuntungan ekstraksi secara maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana serta mudah dilakukan. Kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna. Ekstraksi secara maserasi diperlukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan pelarut akan tetap terjaga. Hasil penyarian atau maserat perlu dibiarkan selama waktu tertentu agar zat-zat yang tidak diperlukan mengendap (Anonim, 1986). Alat maserasi sangat sederhana, hanya terdiri atas bejana berisi bahan dan cairan penyari (A) dan penutupnya (B). Pengadukan dapat dilakukan secara manual dengan beberapa kali pengadukan tiap waktu yang ditentukan, namun ada juga alat maserasi yang sudah dilengkapi dengan pengaduk mekanik (C), seperti yang terlihat pada Gambar 3.
3. Uji Toksikologi
Menurut Lu (1995), toksikologi didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Toksikologi juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek toksik sehubungan dengan terpaparnya makhluk hidup oleh berbagai bahan. Selain itu, penelitian mendalam tentang efek toksikan dan mekanismenya sangat berperan dalam penemuan penawar khusus dan upaya penanggulangan lainnya. Penelitian tersebut dituangkan dalam suatu uji yang disebut uji toksikologi (Lu, 1995).
Uji toksikologi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni a. Uji ketoksikan tak khas. Yang dimaksud dengan uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi yang dirancang pada aneka macam hewan uji untuk mengetahui keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa. Uji ketoksikan tak khas terdiri dari uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis.
b. Uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan khas merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek khas yang dimiliki oleh suatu senyawa pada beragam jenis hewan uji. Yang termasuk dalam uji ketoksikan khas antara lain uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, reproduksi, kulit dan mata, perilaku, dan keteratogenikan (Loomis, 1996)
4. Teratogenesis
Menurut Loomis (1996), teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan yang diketahui merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir. Cacat bawaan yang terjadi merupakan akibat dari adanya gangguan
perkembangan embrionik atau janin dalam uterin. Salah satu penyebab terjadinya cacat bawaan pada janin adalah adanya konsumsi xenobiotika oleh ibu hamil selama masa organogenesis atau embriogenesis.
Beberapa jenis xenobiotika telah terbukti bersifat teratogen pada hewan uji dengan berbagai macam mekanisme di dalam tubuh. Adapun mekanisme teratogen di dalam tubuh terdiri dari :
a. Gangguan terhadap asam nukleat. Banyak zat kimia mempengaruhi replikasi dan transkripsi asam nukleat atau translasi RNA, misalnya zat pengalkil, antimetabolit, dan intercalating agents. Beberapa zat kimia ini memang sudah aktif, sedangkan yang lainnya, misalnya aflatoksin dan talidomid membutuhkan bioaktivasi. Meskipun beberapa zat kimia seperti karbon tetraklorida dan nitrosamin menghasilkan metabolit yang reaktif, bentuknya sangat tidak stabil sehingga tidak dapat mencapai embrio dan tidak menimbulkan efek toksik bagi janin (Loomis, 1996).
b. Kekurangan pasokan energi dan osmolaritas. Teratogen tertentu dapat mempengaruhi pasokan energi yang dipakai untuk metabolisme dengan cara langsung mengurangi persediaan substrat atau bertindak sebagai analog atau antagonis vitamin, asam amino esensial, dan lainnya. Selain itu, hipoksia dan zat penyebab hipoksia (CO dan CO2) dapat bersifat teratogen dengan mengurangi oksigen dalam proses metabolisme yang membutuhkan oksigen dan juga dengan menyebabkan ketidakseimbangan osmolaritas. Hal ini dapat menyebabkan edema dan hematoma, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kelainan bentuk dan iskemia jaringan (Loomis, 1996).
c. Penghambatan enzim. Penghambat enzim seperti 5-fluorourasil dapat menyebabkan cacat karena mengganggu diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui penghambatan timidilat sintetase. Contoh lainnya, 6-aminokotinamid menghambat glukosa-6-fosfat dehidrogenase (Loomis, 1996).
d. Lainnya. Hipervitamin A dapat menyebabkan kerusakan ultrastruktural pada membran sel embrio hewan pengerat, suatu mekanisme yang dapat menerangkan teratogenisitas vitamin A. Faktor fisika yang dapat menyebabkan cacat meliputi radiasi, hipotermia dan hipertemia, serta trauma mekanik (Loomis, 1996).
5. Uji Keteratogenikan
Salah satu uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya efek toksik yang dimiliki suatu zat kimia atau bahan obat terhadap janin dapat dilakukan dengan uji keteratogenikan yang merupakan salah satu jenis uji toksisitas khas. Uji keteratogenikan ini dilakukan dengan cara memejani hewan uji bunting dengan suatu senyawa yang diduga merupakan teratogen selama masa kebuntingan dan dilihat pengaruhnya pada janin. Pada uji ini setidaknya digunakan dua jenis hewan uji, roden dan nirroden dengan memperhatikan umur, berat badan, keteraturan daur estrus, dan kerentanan hewan uji terhadap teratogen. Beberapa panduan yang dapat digunakan untuk uji keteratogenikan menurut Fitzgerald (2012) yakni :
a) OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) khususnya OECD 414, 416, 426, dan 443
b) EU Chemical Test Guidelines yakni EU guidelines B.31, B.34, dan B.35
c) US EPA Office of Chemical Safety and Pollution Prevention (OCSPP)
Harmonized Test Guidelines nomor 870.3550, 870.3650, 870.3700, 870.3800, dan 870.6300
d) VICH (International Cooperation on Harmonisation of Technical Requirements for Registration of Veterinary Products) Safety Guidelines GL32 dan GL22
e) ICH (International Conference on Harmonisation of Technical Requirements for Registration of Pharmaceuticals for Human Use)
Safety Guidelines S5(R2) dan S6(R1).
Pada penelitian ini panduan yang digunakan adalah OECD 414 tentang uji teratogenik dengan modifikasi pada jumlah hewan uji karena keterbatasan jumlah hewan uji yang tersedia (Anonim, 2001b).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam uji ini adalah peringkat dosis, frekuensi dan saat pemberian senyawa uji, dan pengamatannya. Dalam uji ini sekurang-kurangnya digunakan tiga peringkat dosis yang berkisar antara dosis letal terhadap induk atau semua janin dan dosis yang tak memiliki efek teratogenik. Pemberian senyawa uji dilakukan sekali sehari selama masa organogenesis hewan uji. Masa organogenesis ini sangat beragam, bergantung hewan uji yang digunakan. Untuk mencit dan tikus pada hari ke 6-15, hamster pada hari ke 6-14, dan kelinci pada hari ke 6-18 masa bunting. Masa bunting ditentukan dari hari pertama ditemukannya sperma dalam vagina induk (hari ke-0
masa bunting) dengan pemeriksaan apus vagina. Pengamatan dilakukan pada akhir masa bunting yakni 12-14 jam sebelum waktu kelahiran normal melalui
sectio caesarea. Keteratogenikan senyawa uji ditegaskan mengikuti teknik morfologi yang meliputi biometrika janin, gross morfologis, histopatologis, dan kelainan skeletal (Anonim, 2014).
Beberapa uji teratogenik jahe yang pernah dilakukan diantaranya adalah penelitian oleh Dissabandara dan Chandrasekara (2007) yang melihat efek pemberian jahe pada hari ke-5 sampai ke-15 kebuntingan pada tikus SD terhadap kelahiran dan perkembangan janin menunjukkan adanya penurunan berat badan induk dan meningkatnya angka kejadian aborsi tapi tidak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin yang lahir. Penelitian lainnya dilakukan oleh Wilkinson (2000) dimana pada penelitian ini digunakan teh jahe sebagai sampelnya yang diberikan ke tikus bunting galur SD melalui air minumnya dengan dosis 20g/L dan 50g/L selama hari ke-6 hingga hari ke-15 masa kebuntingan. Hasilnya, pemberian teh jahe tidak menunjukkan efek toksik ke induk namun meningkatkan kejadian aborsi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kecacatan pada janin berupa kelainan gross morfologi juga tidak terlihat, hanya saja terjadi peningkatan bobot janin dan perkembangan penulangan yang lebih cepat dibandingkan dengan janin kelompok kontrol. Weidner dan Sigwart (2000) melakukan uji teratogenik pada tikus bunting galur Wistar dengan sampel berupa sediaan EV.EXT 33 yang merupakan ekstrak jahe. Uji dilakukan dengan 3 peringkat dosis yakni dosis 100mg/kgBB, 333mg/kgBB, dan 1000mg/kgBB yang
diberikan selama masa organogenesis. Uji ini menunjukkan pemberian sampel uji tidak menimbulkan efek berbahaya baik kepada induk maupun janin.
6. Siklus Estrus Tikus Betina
Siklus reproduksi untuk non primata dinamakan siklus estrus. Estrus atau birahi adalah suatu periode secara psikologis maupun fisiologis yang bersedia menerima pejantan untuk berkopulasi. Periode atau masa dari permulaan periode birahi ke periode birahi berikutnya disebut dengan siklus estrus. Siklus estrus merupakan cerminan dari berbagai aktivitas yang saling berkaitan antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium. Selama siklus estrus terjadi berbagai perubahan baik pada organ reproduksi maupun pada perubahan tingkah laku seksual (Akbar, 2010).
Pada tikus betina dewasa, siklus estrus mereka mulai terjadi saat usia 25-40 hari. Lamanya siklus estrus berkisar 4-5 hari dimana masa estrus sendiri berlangsung sekitar 12 jam dan terjadi di malam hari (Akbar, 2010). Fase-fase pada siklus estrus ada 4, yakni fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Untuk mengetahui fase-fase yang sedang terjadi pada masa estrus tikus, dapat dilakukan dengan teknik papsmear ( apus vagina). Teknik apus vagina dilakukan dengan cara melihat sel-sel epitel vagina di bawah mikroskop, dimana setiap fasenya memiliki ciri khas masing-masing dan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Sel-sel epitel vagina daur estrus (Kustritz, 2010)
Keterangan :
A. Fase proestrus ditandai dengan adanya beberapa sel epitel berinti (1) dan sel epitel bertanduk (2) dengan bentuk tak beraturan
B. Fase estrus ditandai dengan adanya sel epitel bertanduk (2) yang tak beraturan dan berukuran besar
C. Fase metestrus ditandai dengan adanya sel epitel berinti (1) dan leukosit (3). 1a. menunjukkan adanya sel epitel berinti banyak
1b. menunjukkan sel epitel dengan vakuola berlemak
D. Fase diestrus ditandai dengan adanya banyak leukosit (3) yang tersebar homogen.
Menurut Akbar (2010), ciri dari masing-masing siklus estrus pada tikus dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Fase Proestrus
Fase ini merupakan fase pertumbuhan folikel ovarium menjadi folikel de Graaf yang dipengaruhi oleh FSH (follicle stimulating hormone) dimana fase ini berlangsung selama 12 jam. Setiap folikel mengalami pertumbuhan yang cepat selama 2-3 hari sebelum estrus sistem reproduksi
B A C D 1 2 2 1 1b 1a 3 3
memulai persiapan-persiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Akibatnya sekresi estrogen dalam darah semakin meningkat sehingga akan menimbulkan perubahan-perubahan fisiologis dan saraf, disertai kelakuan birahi pada hewan-hewan betina peliharaan. Perubahan fisiologis tersebut meliputi pertumbuhan folikel, meningkatnya pertumbuhan endometrium, uteri dan serviks serta peningkatan vaskularisasi dan keratinisasi epitel vagina pada beberapa spesies. Preparat apus vagina pada fase proestrus ditandai akan tampak jumlah sel epitel berinti dan sel darah putih berkurang, digantikan dengan sel epitel bertanduk, dan terdapat lendir yang banyak.
b. Fase Estrus
Fase ini merupakan suatu fase dimana tikus betina telah siap dalam menerima pejantan untuk melakukan pembuahan. Fase ini juga berlangsung selama 12 jam. Folikel de Graaf membesar dan menjadi matang serta ovum mengalami perubahan-perubahan ke arah pematangan. Pada fase ini pengaruh kadar estrogen meningkat sehingga aktivitas hewan menjadi tinggi, telinganya selalu bergerak-gerak dan punggung lordosis. Ovulasi hanya terjadi pada fase ini dan terjadi menjelang akhir siklus estrus. Pada preparat apus vagina ditandai dengan menghilangnya leukosit dan epitel berinti, yang ada hanya epitel bertanduk dengan bentuk tidak beraturan dan berukuran besar.
c. Fase Metestrus
Fase metestrus merupakan suatu fase yang berlangsung selama 21 jam, dimana korpus luteum bertumbuh cepat dari sel granulose folikel yang telah pecah di bawah pengaruh LH (Luitinizing Hormone) dan adenohypophysa. Metestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohypophysa sehingga menghambat pembentukan folikel de Graaf yang lain dan mencegah terjadinya estrus. Selama metestrus uterus mengadakan 12 persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan pada embrio. Menjelang pertengahan sampai akhir metestrus, uterus menjadi agak lunak karena pengendoran otot uterus. Pada preparat apus vagina ciri yang tampak yaitu epitel berinti dan leukosit terlihat lagi dan jumlah epitel menanduk makin lama makin sedikit.
d. Fase Diestrus
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama siklus birahi pada ternak-ternak dan mamalia. Fase ini berlangsung selama 48 jam yang ditandai dengan pematangan korpus luteum dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada fase ini, endometrium lebih menebal dan kelenjar-kelenjar berhipertrofi. Serviks menutup dan lendir vagina mulai kabur dan lengket. Selaput mukosa vagina pucat dan otot uterus mengendor. Pada akhir periode ini korpus luteum memperlihatkan perubahan-perubahan retrogresif dan vakualisasi secara
gradual. Endometrium dan kelenjar-kelenjarnya beratrofi atau beregresi ke ukuran semula. Mulai terjadi perkembangan folikel-folikel primer dan sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus. Pada preparat apus vagina dijumpai banyak sel darah putih yang letaknya tersebar dan homogen.
7. Embriologi
Setelah pembuahan, sel telur mengalami proliferasi sel, diferensiasi sel, migrasi sel, dan organogenesis. Embrio kemudian melewati suatu metamorfosis dan periode perkembangan janin sebelum dilahirkan. Tahapan perkembangan embrio pada tikus dapat dilihat pada Gambar 5. Sedangkan tahap perkembangan embrio pada manusia dapat dilihat pada Gambar 6.
Menurut Lu (1995), ada tiga tahapan metamorfosis embrio, yakni : a. Tahap Pradiferensiasi
Selama tahap ini, embrio tidak rentan terhadap teratogen. Zat ini dapat menyebabkan kematian embrio akibat matinya sebagian besar sel embrio atau tidak menimbulkan efek yang nyata. Bahkan, bila terjadi efek yang agak berbahaya, sel yang masih hidup akan menggantikan kerusakan tersebut dan membentuk embrio normal. Lamanya tahap resisten ini berkisar antara 5 sampai 9 hari, tergantung dari jenis spesiesnya.
b. Tahap Embrio
Dalam periode ini sel secara intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi. Selama periode inilah sebagian besar organogenesis terjadi. Akibatnya, embrio sangat rentan terhadap efek teratogen. Periode ini biasanya berakhir setelah beberapa waktu, yaitu pada hari ke-10 sampai
hari ke-14 pada hewan pengerat dan pada minggu ke-14 pada manusia. Selain itu, tidak semua organ rentan pada saat yang sama dalam suatu kehamilan. Pada tikus, sebagian organ embrio tikus sangat rentan pada hari ke-8 sampai hari ke-12, tetapi palatum dan organ urogenital baru rentan pada tahap berikutnya.
c. Tahap Janin
Tahap ini ditandai dengan perkembangan dan pematangan fungsi. Dengan demikian, selama tahapan ini teratogen tidak mungkin menyebabkan cacat morfologik, tetapi dapat mengakibatkan kelainan fungsi. Cacat morfologik umumnya mudah dideteksi pada saat kelahiran atau sesaat sesudah kelahiran, tetapi kelainan fungsi seperti gangguan sistem saraf pusat, mungkin tidak dapat didiagnosis segera setelah kelahiran.
Gambar 6. Perkembangan embrio manusia (Marieb dan Hoehn, 2007)
8. Biometrika Janin
Biometrika janin merupakan salah satu data kuantitatif di dalam uji teratogenik. Data ini meliputi angka resorpsi, angka cacat, berat plasenta, berat janin, dan panjang janin. Untuk mendapat seluruh data biometrika janin, diperlukan data-data tambahan berupa jumlah korpus luteum pada kedua ovarium, jumlah seluruh janin dalam uterus, jumlah janin lahir hidup dan lahir mati, serta jumlah janin lahir cacat (Donatus, 2005).
Untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan pada janin berupa gigantisme ataupun kretinisme, dapat diketahui dengan melihat data panjang dan bobot janin. Bobot plasenta digunakan untuk melihat adanya penghambatan perkembangan janin serta mekanisme zat yang terjadi. Sedangkan data bobot janin dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada efek dari senyawa uji yang mempengaruhi pertumbuhan janin (Haschekk dan Rousseaux, 1991).
Data angka resorpsi merupakan jumlah dari angka resorpsi awal dan resorpsi akhir. Angka resorpsi awal dapat diperoleh dengan menghitung selisih antara jumlah korpus luteum dengan jumlah janin hidup. Resorpsi awal terjadi pada saat setelah terjadi fertilisasi, namun hasil fertilisasi tersebut tidak dapat mencapai uterus, sehingga janin tidak dapat terbentuk. Sedangkan yang dimaksud dengan resorpsi akhir adalah suatu peristiwa akibat gagalnya perkembangan janin di dalam uterus dan terjadi setelah janin terbentuk. Resorpsi akhir ditandai dengan adanya plasenta tanpa janin atau terjadinya sisa plasenta. Sisa janin yang terdapat dalam tempat implantasi juga menggambarkan terjadinya resorpsi akhir janin. Resorpsi akhir dapat juga dihitung dengan melihat selisih antara tempat implantasi dengan jumlah janin (Hood, 2016).
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang bersifat eksploratif dan dilakukan untuk mengetahui efek keteratogenikan dari pemberian fraksi zat pedas jahe yang berupa ekstrak etanolik sisa destilasi jahe secara oral pada tikus bunting galur Sprague Dawley selama masa organogenesis, ditinjau dari segi biometrika janin.