• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengobatan herbal oleh masyarakat saat ini berkembang seiring dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengobatan herbal oleh masyarakat saat ini berkembang seiring dengan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Pengobatan herbal oleh masyarakat saat ini berkembang seiring dengan kecenderungan terjadinya pergeseran pola penyakit di Indonesia, dari pola infeksi menjadi pola penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif merupakan penyakit kronik menahun yang banyak mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas seseorang. Penyakit degeneratif kronik diantaranya adalah penyakit kardiovaskuler, diabetes, dan kegemukan. Kontributor utama terjadinya penyakit kronik degeneratif adalah pola hidup yang tidak sehat antara lain kebiasaan merokok, minum alkohol, pola makan, obesitas, aktivitas fisik yang kurang, stres, dan pencemaran lingkungan (Handajani et al., 2009).

Salah satu penyakit degeneratif yang terus mengalami peningkatan jumlah penderita adalah diabetes. Berdasarkan definisi World Health Organization

(WHO) diabetes adalah suatu penyakit gangguan metabolik yang terjadi jika organ pankreas tidak mampu menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup atau ketika tubuh tidak mampu menggunakan insulin yang dihasilkan sehingga berimbas pada terjadinya kenaikan kadar glukosa dalam darah (WHO, 1999). Berdasarkan data statistik terakhir dari International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 7.551.000 orang dan akan mengalami peningkatan hingga mencapai 21.257.000 orang pada tahun 2030. Hal tersebut menempatkan peringkat Indonesia

(2)

menjadi salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan jumlah kasus diabetes terbanyak (Anonim, 2012b).

Beberapa industri farmasi di Indonesia kini mulai banyak mengembangkan formulasi obat antidiabetes, baik obat-obat kimia maupun bahan alam. DLBS3233 merupakan salah satu antidiabetes dari bahan alam berupa ekstrak herbal kombinasi yang diproduksi oleh PT. Dexa Medica Indonesia. DLBS3233 ini mengandung kombinasi dari ekstrak daun bungur dan batang kayu manis. Kombinasi tersebut akan memiliki efek antidiabetes yang saling menguatkan karena dapat meningkatkan sensitivitas insulin terhadap reseptornya secara biokimia melalui aktivasi terhadap ekspresi gen Glut-4, PPARɣ, dan beberapa protein lain (Tjandrawinata et al., 2011).

Masyarakat Filipina telah lama menggunakan bungur sebagai pengobatan tradisional untuk mengatasi diabetes dan gangguan ginjal (Klein et al., 2007). Selain antidiabetes, ekstrak daun bungur memiliki khasiat sebagai antiobesitas dan antioksidan (Vijaykumar et al., 2006). Komponen senyawa aktif yang telah teridentifikasi pada ekstrak daun bungur meliputi asam korosolat, ellagitanin, dan lagerstroemin (Hayashi et al., 2002). Klein et al. (2007) menyimpulkan bahwa aktivitas antidiabetes yang lebih poten dimiliki oleh gallotanin. Molekul tanin tersebut beraksi langsung seperti insulin (insulin like) yang bertanggung jawab dalam proses stimulasi aktivitas perpindahan glukosa dari darah ke jaringan pada penderita diabetes tipe 2.

Ekstrak batang kayu manis juga memiliki potensi sebagai antidiabetes serta mengandung beberapa senyawa aktif seperti sinamaldehida, eugenol, asam

(3)

sinamat, dan minyak atsiri. Batang kayu manis mengandung 65 hingga 80% sinamaldehida dan 5 hingga 10% eugenol (Vangalapati et al., 2012). Ekstrak kayu manis memiliki aktivitas sebagai terapi prediabetes dan diabetes tipe 2 karena memiliki kemampuan tinggi dalam meningkatkan jumlah protein yang terlibat dalam aktivasi insulin secara seluler, transpor glukosa ke dalam sel, dan respon antiinflamasi atau antiangiogenesis (Cao et al., 2008).

Sinamaldehida merupakan komponen senyawa aktif dari batang kayu manis yang bertanggung jawab pada efek antihiperglikemia (Babu et al., 2007). Sinamaldehida yang masuk ke dalam tubuh akan dioksidasi membentuk asam sinamat dan akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk metabolit polarnya, antara lain asam sinamat, sinamoilglisin, dan asam benzoat (Friedman & Mai, 1931). Hal tersebut menuntut perlunya dilakukan uji toksisitas subkronis pada kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis ini, khususnya berkaitan dengan kajian fungsi ginjal. Uji toksisitas subkronis ini dilakukan mengingat penggunaan obat antidiabetes umumnya memerlukan waktu yang relatif lama, bahkan mungkin seumur hidup penderita. Selain itu, uji toksisitas subkronis ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi lebih jauh paparan toksikan dari berbagai macam komponen senyawa aktif bahan uji terutama pada ginjal sebagai organ ekskresi utama.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini:

(4)

1. Bagaimanakah gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis secara berulang selama 90 hari pada tikus jantan dan betina galur Wistar?

2. Bagaimanakah pengaruh pemejanan kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis secara berulang terhadap fungsi ginjal selama masa perlakuan (hari ke-90) dan reversibilitas (hari ke-104) dilihat dari histopatologis ginjal, urinalisis, dan kimia darah?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis secara berulang selama 90 hari pada tikus jantan dan betina galur Wistar.

2. Mengetahui pengaruh pemejanan kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis secara berulang terhadap fungsi ginjal selama masa perlakuan (hari ke-90) dan reversibilitas (hari ke-104) dilihat dari histopatologis ginjal, urinalisis, dan kimia darah.

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kefarmasian khususnya pada bidang uji praklinik, ilmu kedokteran, dan pengetahuan tentang uji ketoksikan subkronis.

2. Sebagai sarana pemberian informasi bagi dinas kesehatan, BPOM, perusahaan industri obat, dan bagi konsumen pengguna obat untuk mengetahui batas

(5)

keamanan kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis pada penggunaannya untuk manusia.

3. Sebagai bahan informasi dan tambahan masukan untuk percobaan selanjutnya dalam meneliti masalah toksisitas subkronis dari kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis ini.

E. Tinjauan Pustaka

1. Toksikologi

a. Definisi Toksikologi

Toksikologi merupakan cabang ilmu yang memiliki takrif bermacam-macam dan berkembang seiring waktu. Pada masa awal perkembangannya, toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun. Racun sendiri menurut Hodgson (2004) memiliki arti semua senyawa yang menimbulkan efek berbahaya jika diberikan pada makhluk hidup, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Perkembangan toksikologi sendiri berawal ketika Paracelcus (1493-1541) menyatakan bahwa semua senyawa adalah racun; tidak ada satu pun yang bukan racun. Takaran (dosis) tepatlah yang membedakan antara racun dan obat (Doull & Bruce, 1986). Pernyataan ini mengarah pada perkembangan toksikologi modern yaitu toksikologi berkembang menjadi ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem biologi, yang pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia itu (Donatus, 2001).

(6)

Toksikologi pada abad ini, yaitu pada tahun 1900-an hingga sekarang telah banyak mengalami perluasan pengetahuan seiring dengan perkembangan cabang ilmu lain yang terkait seperti biologi, kimia, matematika, dan fisika. Toksikologi pada tahun 1975 hingga kini lebih banyak diaplikasikan untuk evaluasi batas keamanan dan risiko keberbahayaan suatu senyawa (Gallo, 2008).

b. Asas Umum Toksikologi

Berdasarkan atas alur peristiwa timbulnya efek toksik, maka ada empat asas utama yang perlu dipahami dalam mempelajari toksikologi. Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun. Empat asas itulah yang merupakan makna langsung yang tersirat dalam takrif toksikologi (Donatus, 2001).

Kondisi pemejanan adalah semua faktor yang menentukan keberadaan racun di tempat aksi tertentu dan akan mempengaruhi jumlah serta lama tinggal racun tersebut di dalam tubuh, diantaranya adalah jenis pemejanan (akut, subkronis atau kronis), jalur pemejanan (intravena, inhalasi, intraperitoneal, subkutan, transdermal, dan oral), saat pemejanan (blastogenesis, organogenesis atau pematangan), dan takaran pemejanan (normal atau tak normal). Sedangkan kondisi makhluk hidup akan mempengaruhi keefektivan antaraksi zat beracun dengan sel sasaran. Kondisi tersebut meliputi kondisi fisiologis yaitu bobot badan, umur, jenis kelamin, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran

(7)

darah, genetika, dan lain-lain serta kondisi patologis seperti penyakit saluran cerna, penyakit kardiovaskuler, penyakit hati, ginjal, dan lain-lain.

Mekanisme aksi zat toksik di dalam tubuh dibagi menjadi mekanisme luka intrasel atau langsung yang berkaitan dengan membran, DNA, dan produksi energi serta mekanisme luka ekstrasel atau tak langsung yang berkaitan dengan gangguan metabolisme basal dan pengaturan aktivitas sel. Berkaitan dengan wujudnya, maka efek toksik didasarkan pada perubahan struktural, fungsional, dan biokimia. Berdasarkan sifatnya, efek toksik terbagi atas terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible).

Pemahaman tentang kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup akan mempermudah dalam menghayati aneka ragam faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan suatu senyawa. Pemahaman tentang mekanisme aksi akan mempermudah dalam menghayati penyebab timbulnya efek toksik. Pemahaman tentang wujud dan sifat efek toksik mempermudah dalam menghayati respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa dan tolok ukur kualitatifnya. Tolok ukur kuantitatif ketoksikan suatu senyawa dapat dengan mudah dihayati dengan memahami kekerabatan (hubungan erat) antara kondisi pemejanan dan wujud efek toksik (Donatus,2001). c. Uji Toksikologi

Uji toksikologi merupakan salah satu bagian dari uji praklinik yang dapat diterapkan baik pada senyawa biologi maupun senyawa obat. Uji ini harus dilakukan sebelum senyawa obat dipasarkan dan digunakan pada manusia. Uji toksikologi dapat dilakukan menggunakan beberapa hewan uji

(8)

seperti tikus, marmot, mencit, atau hewan mamalia lain yang lebih besar. Pemilihan hewan uji didasarkan pada metode percobaan dan protokol terkait, seperti target organ spesifik yang akan diamati. Hasil uji toksikologi pada hewan percobaan akan menggambarkan potensi ketoksikan senyawa uji terhadap hewan tersebut yang dapat dijadikan prediksi ketoksikan yang mungkin terjadi jika senyawa uji diaplikasikan pada manusia (Barile, 2007).

Uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua, yakni uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi untuk mengevaluasi secara keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan tak khas ini adalah uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Uji ketoksikan khas adalah uji toksikologi untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu senyawa atas fungsi organ atau kelenjar tertentu pada aneka ragam hewan uji. Termasuk uji ketoksikan khas ini adalah uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, reproduksi (uji kesuburan, uji keteratogenikan, uji prenatal dan paska natal), uji kulit dan mata, dan uji perilaku (Loomis, 1978).

2. Uji Ketoksikan Subkronis

Uji ketoksikan subkronis termasuk golongan uji ketoksikan tak khas yaitu uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji (Loomis, 1978).

Uji toksisitas subkronis atau bisa juga disebut subakut adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu,

(9)

selama kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik yang terjadi serta untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2001).

Uji ketoksikan subkronis dilakukan dengan pemejanan senyawa uji secara subkronis, yaitu dengan durasi antara pemejanan akut dan kronis. Pada dasarnya pemejanan ini dapat dilakukan secara berulang selama 1 hingga 3 bulan (Barile, 2007). Uji ketoksikan subkronis dapat dilakukan dengan durasi bervariasi, namun pada umumnya uji ketoksikan ini dilakukan selama 90 hari (Eaton & Gilbert, 2008).

Menurut Eaton & Gilbert (2008), tujuan utama dari aplikasi uji ketoksikan subkronik adalah mengestimasi kisaran dosis yang tidak menimbulkan efek toksik atau sering disebut NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) dan mengidentifikasi lebih jauh target organ spesifik yang mungkin terkena efek toksik akibat pemejanan berulang. Tujuan lain dari uji toksisitas subkronis ini adalah mengungkap spektrum efek toksik senyawa uji, mengevaluasi hubungan dosis pemejanan dengan respon toksik, dan memungkinkan terliputnya mekanisme serta efek toksik yang munculnya lambat dan tidak terliput pada uji ketoksikan akut (Barile, 2007).

Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya serta perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut, kekerabatan antara senyawa dalam darah dan jaringan terhadap perkembangan luka toksik, dan keterbalikan (reversibilitas) efek toksik.

(10)

Selanjutnya, hasil uji ketoksikan subkronis ini dapat digunakan untuk merancang uji ketoksikan kronis (Loomis, 1978).

3. Uji Ketoksikan Subkronis Metode OECD 408

OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development)

adalah sebuah lembaga multinasional yang bekerjasama di bidang ekonomi dan pembangunan internasional. OECD secara bertahap dan melalui proses revisi secara periodik telah menghasilkan guideline OECD untuk prosedur penelitian.

Guideline OECD ditujukan untuk terbentuknya sebuah standar operasional prosedur dalam sebuah penelitian. Dengan adanya guideline yang terstandar maka hasil-hasil penelitian dari berbagai negara dapat dikumpulkan dan dibahas dalam kongres internasional OECD sehingga data-data yang didapat dari penelitian dapat digunakan untuk mendapatkan informasi baru ataupun tambahan untuk revisi data sebelumnya. OECD menjadi banyak dikenal karena berbagai publikasi dan statistiknya (Anonim, 2008).

Guideline OECD 408 menjelaskan secara spesifik mengenai tatalaksana prosedur uji ketoksikan subkronis pemberian dosis 90 hari secara berulang pada tikus yang dapat dipakai sebagai acuan metode penelitian uji ketoksikan, termasuk sebagai acuan peneliti dalam melaksanakan penelitian ini. Guideline OECD 408 ini dilakukan revisi terbaru pada 21 September 1998 dan memuat informasi yang lebih spesifik berkaitan dengan hewan uji yang digunakan dalam penelitian ketoksikan subkronis dibandingkan metode uji ketoksikan sebelumnya (Anonim, 2012a).

(11)

4. Histopatologis Ginjal

Ginjal merupakan salah satu organ penting yang berperan dalam menjaga homeostasis tubuh. Ginjal memiliki kemampuan utama untuk mengeluarkan sampah metabolit dari dalam tubuh bersama urin yang melibatkan tiga proses penting, yaitu filtrasi, absorbsi, dan sekresi. Perannya dalam menjaga homeostasis tubuh juga didasarkan pada kemampuannya mengatur volume cairan ekstrasel, komposisi elektrolit, dan keseimbangan asam basa tubuh. Selain itu, ginjal berperan dalam produksi renin, suatu hormon yang membantu pengaturan tekanan darah, serta eritropoetin yaitu hormon yang membantu pembentukan eritrosit atau sel darah merah. Ginjal juga berperan dalam aktivasi vitamin D yang berguna sebagai growth factor (Junqueira & Carneiro, 2005).

Ginjal tikus secara langsung berhubungan dengan ureter atau saluran urin dan terdiri dari satu papila (unipapillate) dengan hanya satu calyx. Berat ginjal kiri tikus sekitar 0,7-2,0 gram per 200-300 gram bobot badan. Bentuk tubulus proksimal dari berbagai macam hewan pengerat berbeda-beda. Ureter tikus membentang melalui sinus renal membentuk renal pelvis (rongga ginjal). Tubulus kolektivus (saluran pengumpul) melalui pelvis lalu ke ureter akan membawa sampah metabolit dalam urin untuk disimpan dalam kandung kemih sebelum akhirnya dibuang ke luar tubuh melalui uretra (Suckow et al., 2005).

Melalui pengamatan gross patologi, manusia dan mamalia memiliki sepasang ginjal yang masing-masing tersusun atas tiga bagian utama, yaitu korteks (kulit ginjal), medula, dan papila. Aliran darah yang menuju ginjal akan masuk ke bagian korteks ginjal sekitar 90%. Hal ini menyebabkan tingginya

(12)

peluang pada bagian korteks untuk berikatan dengan senyawa racun atau toksikan yang mungkin terbawa bersama aliran darah tersebut (Schnellmann, 2008).

Selain liver, renal merupakan organ penting lain yang sering menjadi imbas terpaparnya suatu xenobiotik. Toksikan ini biasanya akan mengenai renal papila, medula, korteks, dan glomerulus serta menyebabkan beberapa perubahan pada fungsi ginjal. Pada tikus, ginjal merupakan suatu organ yang berfungsi lebih dulu sejak lahir, khususnya ketika tikus diberi asupan makan dan minum secukupnya (Keenan et al., 1997).

Kerusakan ginjal akibat paparan zat toksik terdiri atas tiga patofisiologi penting, yaitu terjadinya gagal ginjal akut, kegagalan adaptasi ginjal terhadap adanya toksikan, dan gagal ginjal kronik. Pemeriksaan histopatologis ginjal berguna untuk melihat ada tidaknya kerusakan organ pada tingkat seluler yang tidak terlihat bila hanya diamati secara makroskopik. Hasil pemeriksaan ini selanjutnya digunakan untuk menentukan spektrum efek toksik pada ginjal hewan percobaan setelah pemejanan senyawa uji (Schnellmann, 2008).

5. Parameter Urin

Parameter urin dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan fisik sederhana dan pemeriksaan kimia urin. Parameter makroskopik urin yang diamati adalah warna, pH, dan endapan atau bercak darah, sedangkan kimia urin yang dianalisis adalah ada tidaknya glukosa dan bilirubin dalam urin. Semakin tinggi konsentrasinya, umumnya warna urin akan semakin pekat. Pada umumnya urin yang pucat memiliki berat jenis rendah, sedangkan urin yang gelap memiliki berat

(13)

jenis yang tinggi. Urin yang berwarna bisa timbul pada penyakit tertentu atau pada gangguan metabolisme, juga setelah pemakaian obat-obatan tertentu (Baron, 1982).

Pada kondisi normal, urin akan bersifat asam dengan kisaran pH sekitar 5,5-8,0. Diet sayuran dan tumbuhan menyebabkan kecenderungan urin bersifat alkali. pH urin pada penyakit tertentu dapat mencerminkan kondisi asam basa plasma dan fungsi tubulus ginjal (Baron, 1982). Adanya infeksi bakteri pada saluran urin akan menyebabkan urin bersifat sangat alkali. Urin yang normal tidak mengandung endapan. Endapan yang terdapat di urin biasanya berupa endapan protein, glukosa (pada kondisi diabetes), kristal batu ginjal, atau darah. Pada analisis kimia, urin yang normal umumnya tidak mengandung glukosa atau protein tertentu. Urin yang mengandung glukosa dan bilirubin dapat menjadi penanda adanya gangguan pada tubulus proksimal sehingga umumnya diperlukan monitoring khusus (Suckow et al., 2005).

Pemeriksaan kimia urin ini menjadi salah satu uji yang dilakukan untuk menilai fungsi ginjal. Pengamatan parameter urin berguna untuk menilai apakah senyawa uji yang dipejankan memiliki efek toksik pada saluran ekskresi urin yang salah satunya ditandai dengan perubahan urin pada pengamatan makroskopik maupun pemeriksaan kimianya (Schnellmann, 2008).

6. Kimia Darah a. Elektrolit

Penilaian fungsi ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan kimia serum, di samping pemeriksaan kimia urin. Ginjal berfungsi mengatur

(14)

keseimbangan elektrolit dalam tubuh sehingga ketidaknormalan kadar elektrolit serum bisa mengindikasikan adanya gangguan ginjal. Elektrolit berupa mineral darah yang membawa muatan ion dalam tubuh. Pada umumnya, elektrolit tubuh terdiri atas kalsium, klorida, magnesium, fosfor, natrium, dan kalium. Elektrolit berperan dalam berbagai aktivitas penting tubuh, termasuk menandai jumlah cairan dalam tubuh, mengatur keasaman pH darah, dan mengatur kontraksi otot (Dugdalle, 2011).

Natrium dan kalium merupakan contoh elektrolit penting yang mencegah tubuh dari kondisi dehidrasi atau kekurangan cairan. Natrium akan tinggi konsentrasinya di cairan ekstrasel dan tulang. Kadar natrium pada serum diatur oleh hormon aldosteron yang turut terlibat pada penahanan Na+ oleh ginjal. Hal ini berfungsi sebagai pengatur tekanan darah dalam tubuh. Kalium atau potassium umumnya ditemukan pada cairan intraseluler dan dikeluarkan melalui ginjal di bawah kendali hormon aldosteron pula. Terjadinya translokasi atau kehilangan K+ dalam jumlah banyak (K+ loss) dapat menyebabkan terjadinya kondisi hipokalemia, seperti pada saat muntah, diare, atau poliuria (Sodikoff, 1995).

b. Urea

Urea merupakan hasil akhir dari proses katabolisme atau perombakan protein dan asam amino. Deaminasi asam amino selama proses katabolisme protein menghasilkan pembentukan amonia. Amonia inilah yang kemudian disintesis menjadi urea oleh sekumpulan enzim-enzim hepar melalui jalur biokimiawi. Urea diekskresi lewat urin dan menjadi salah satu cara untuk

(15)

membuang kelebihan nitrogen dari dalam tubuh. Pengukuran kadar urea dalam serum darah menjadi salah satu parameter penting untuk mengevaluasi fungsi ginjal, selain pengukuran kadar kreatinin serum (Clarkson et al., 2008).

Urea difiltrasi melalui glomerulus ginjal dan kadar urea dalam serum darah menjadi gambaran terhadap ada tidaknya gangguan pada GFR

(Glomerulus Filtration Rate). Jika jumlah urea yang direabsorbsi oleh nefron ginjal meningkat, maka kadar urea dalam serum juga akan meningkat, misalnya pada kasus gagal ginjal. Sebaliknya, jika kecepatan aliran reabsorbsi urea dalam nefron menurun, maka kadarnya dalam serum juga akan turun, seperti pada kondisi dehidrasi. Tetapi, faktor yang berasal dari luar ginjal (non-renal) juga dapat mempengaruhi kadar urea dalam serum, misalnya asupan tinggi protein (Bailey, 2010).

c. Kreatinin

Kreatinin merupakan senyawa endogen nonprotein hasil metabolisme keratin pospat di otot. Kreatinin dihasilkan dalam jumlah tetap tergantung dari massa otot. Kreatinin diekskresi melalui ginjal lewat urin dengan sedikit atau bahkan tanpa reabsorbsi tubuler. Laki-laki umumnya memiliki kadar kreatinin serum yang lebih tinggi daripada wanita karena perbedaan massa otot, dimana laki-laki memiliki massa otot yang lebih besar (Sodikoff, 1995).

Penilaian terhadap kadar urea dan kreatinin serum dapat menjadi penanda adanya gangguan terhadap laju filtrasi glomerulus yang mengarah

(16)

pada gagal ginjal. Peningkatan kadar kreatinin dan urea dalam darah yang diikuti dengan penurunan laju filtrasi glomerulus akan mengarahkan pada kondisi gangguan ginjal akut, namun peningkatan tersebut tidak selalu terkait dengan gangguan ginjal akut karena dapat pula menandai kondisi dehidrasi, hipovolemia, atau proses katabolisme protein. Penilaian kadar kreatinin dan urea darah serta pemeriksaan histopatologis ginjal yang terintegrasi dapat dilakukan untuk menilai toksisitas ginjal akibat paparan toksikan (Schnellmann, 2008).

F. Landasan Teori

Kombinasi ekstrak daun bungur (Lagerstroemia speciosa) dan batang kayu manis (Cinnamomum burmannii) dapat menjadi terobosan baru antidiabetes. Judy et al. (2003) menyimpulkan bahwa ekstrak daun bungur termasuk golongan antidiabetes yang tergantung dosis. Selain itu, sinamaldehida yang terkandung dalam ekstrak batang kayu manis juga merupakan golongan antidiabetes yang tergantung dosis (Babu et al., 2007).

Babu et al. (2007) menyimpulkan bahwa sinamaldehida tidak menimbulkan ketoksikan hewan uji pada hasil uji toksisitas akut dengan LD50 oral pada tikus sebesar 2,25 g/kg BB. Menurut EPA (Enviromental Protection Agency) (2000) sinamaldehida merupakan iritan dengan potensi sedang. Paparan cairan yang mengandung lebih dari 8% sinamaldehida dapat memicu terjadinya iritasi pada mata dan kulit. Beberapa gejala toksik yang dilaporkan muncul akibat konsumsi berlebih sinamaldehida berdasarkan Database Pusat Penanganan Bahan Kimia Internasional (2010) adalah reaksi inflamasi pada saluran cerna, iritasi pada

(17)

membran mukosa, respon alergi akibat paparan berlebih minyak atsiri, pusing, serta diare.

Berdasarkan data MSDS (Material and Safety Data Sheet) (2011) gallotanin yang terkandung dalam daun bungur tidak bersifat iritan dengan LD50 oral pada tikus adalah sekitar 2,36 g/kg BB. Meskipun diketahui relatif aman, konsumsi berlebih gallotanin dapat menimbulkan efek toksik pada saluran cerna, antara lain reaksi inflamasi pada usus dan esophagus. Selain itu, konsumsi gallotanin secara terus menerus dengan dosis tinggi bersifat hepatotoksik karena menimbulkan akumulasi metabolit dan memicu kerusakan hepar.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, maka uji toksisitas subkronis pada kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis perlu dikerjakan mengingat semakin tinggi dosis yang digunakan, diduga potensi ketoksikannya juga akan semakin besar. Selain itu, uji toksisitas subkronis ini dapat mengevaluasi efek toksik yang mungkin timbul pada pemberian kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis secara berulang dalam jangka waktu yang relatif lama. Uji ketoksikan subkronis ini didasarkan pada metode OECD 408.

G. Keterangan Empiris

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dimaksudkan untuk melihat efek toksik yang ditimbulkan oleh pemberian kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis pada tikus jantan dan betina galur Wistar secara berulang selama 90 hari.

Referensi

Dokumen terkait

Ketujuh,CV.. penulis menentukan jumlah yang dominan. Menurut penulis sampel yang bisa diambil terdiri dari: tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, tokoh

Selain itu, juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya yang dimilikinya, organisasi juga perlu mempertimbangkan pendidikan dan pengembangan Sumber Daya

Distribusi Frekuensi hasil kinerja karyawan bagian produksi PT. Patria Prima Jaya Tugu bagian produksi yang berjumlah 55 karyawan diperoleh hasil sebesar 45,5%

Masalah yang ada setelah terjadi perubahan adalah kekuatan balok dan kolom kondisi aktual dalam menerima beban gempa serta perlu ditinjaunya karakteristik perubahan

Walaupun hakikat dari investigasi kecelakaan pesawat adalah untuk mencegah kecelakaan dengan sebab yang sama di masa akan datang, tidak dapat dipungkiri keingintahuan publik

Bukalah Web Browser Anda, lalu ketikan //localhost/ maka akan tampil seperti pada gambar di bawah ini.. Gambar 1.13 Localhost

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “PERSEPSI DAN TINGKAT