• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rhesus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rhesus"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Masih banyak perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi antigeniknya. 1

Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada ABO sistem dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu eksposure apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Dengan pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-), sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABO nya sama.1

Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap (sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis.

Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun antibodi ( anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit janin. 1,2,3,4,5,14

Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis.

(2)

Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan bahwa eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan profilaksis maternal yang efektif. 1,2,3,8

III. INSIDEN

Insidens pasien yang mengalami Inkompatibilitas Rhesus ( yaitu rhesus negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada bangsa asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif. 2,3,7,8,10

Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan, terutama trimester ketiga. 7,10

IV. GENETIK

Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d. Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi. Gen c, e, dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi yantg dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif disebut anti-D (anti-rhesus D).

Seorang wanita Rhesus (D) positif tak akan memproduksi antibodi, karena darah yang positif tak akan memproduksi anti-d, tak ada anti Rhesus d.

Seseorang mempunyai Rhesus (D) negatif, jika diwariskan gen d dari tiap orang tua. Mungkin saja anak Rhesus (D) negatif, jika ibu Rhesus (D) negatif dan bapak Rhesus (D) positif. Bapak dapat mempunyai gen D atau d, sehingga bayi dapt

(3)

mewarisi gen d dari bapaknya. Sebaliknya, wanita Rhesus (D) negatif dengan pasangan Rhesus (D) negatif, dan tak akan timbul inkompatibilitas Rhesus, walaupun ibu telah membawa anatibodi Rhesus (D) dari kehamilan sebelumnya. 2,

V. PATOFISIOLOGI

Pada saat ibu hamil eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu, yang dinamakan Feto maternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin, sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis. Hemolisis terjadi dalam kandungan dan akibatnya adalah pembentukan eritrosit oleh tubuh secara berlebihan, sehingga akan didapatkan eritrosit berinti banyak, yaitu eritroblast. 1,8,9,11,12,13

Antibodies

Gambar 1. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.3

Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen

(4)

eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin. 4,9,11,12,14

Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif, atau pada kehamilan kedua dan berikutnya. 2,3,7,9

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini jarang terjadi : 4

1. variasi kadar antigen eritrosit sebagai penyebab terbentuknya antibodi 2. variasi daya antigenisitasnya

3. lintasan antigen dari janin ke ibu kurang mencukupi 4. variasi respon maternal terhadap antigen tersebut 5. perlindungan isoimun lewat inkompatibilitas ABO 6. kurangnya jumlah antibodi ibu ke sirkulasi darah janin

VI. GEJALA KLINIS A. Hidrops fetalis

Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh, asites dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yangg terjadi bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi kedalam kavum serosa ( hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sum-sum tulang, hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar. Juga terjadi pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin. 1,3,6,7,9

Patofisologi hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakup

4,10,14

keadaan:

1. gagal jantung akibat anemia.

(5)

3. hipertensi vena portal dan umbilikus akibat disrupsia parenkim hati oleh proses hematopoesis ekstrameduler.

4. menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang disebabkan oleh disfungsi hepar

Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie dan menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.

B. Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yandg muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.

Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan eritropoesis dapat bertahan selama berminggu – minggu hingga berbulan-bulan.1,3,7

VII.DIAGNOSIS

Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.

Untuk melakukan tes, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit

(6)

dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan, dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik.

Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi. 11

VIII. PENATALAKSANAAN 1,3,5,7,11

Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, yang umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif , sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.

A. Transfusi tukar :

tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :

1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah 2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells)

dengan eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis) 3. mengurangi kadar serum bilirubin

4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :

a. berikan darah donor yang masa simpannya ≤ 3 hari untukmenghindari kelebihan kalium

b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-)

(7)

Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. 1

GOLONGAN DARAH IBU

O A B AB O O O O - A O A O A B O O B B GOLONGAN DAR AH BAYI AB - A B AB

c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells

d. bila keadaan sangat mendesak (emergency), sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia, maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh.positif) untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.

e. Pada anemia berat sebaiknya diberikan Packed red cells

f. Darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama pemberian transfusi ≥ 90 menit

g. Lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak memnungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.

h. Sebelum ditransfusikan hangatkan darah tersebut pada suhu 37°C

i. Pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan.

(8)

Procedure

Gambar 3. Transfusi tukar pada Rh incompatibilitas. 3

B. Transfusi intra uterin :

Pada tahun 1963 Liley memperkenalkan transfusi intra uterin. Sel eritrosit donor ditransfusikan ke peritoneal cavity janin, yang nantinya akan diabsorbsi dan masuk kedalam sirkulasi darah janin (intraperitoneal transfusion). Bila paru janin masih belum matur, transfusi intrauterin adalah pilihan yang terbaik. Darah bayi Rhesus ( D) negatif tak akan mengganggu antigen D dan karena itu tak akan merangsang sistem imun ibu memproduksi antibodi. Tiap antibodi yang sudah ada pada darah ibu tak dapat mengganggu darah bayi. Resiko transfusi intra uterin sangat besar , sehingga mortalitas sangat tinggi. Untuk itu para ahli lebih memilih intravasal transfusi, yaitu dengan melakukan cordocentesis (pungsi tali pusat perkutan). Transfusi dilakukan beberapa kali pada kehamilan minggu ke 26 – 34 dengan menggunakan Packed Red Cells golongan darah O Rh negatif sebanyak 50 – 100 ml. Induksi partus dilakukan pada minggu ke 32 dan kemudian bayi dibantu dengan transfusi tukar 1x setelah partus. Induksi pada kehamilan 32 minggu dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak 60%.

(9)

C. transfusi albumin

pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko terjadinya overloading sangat besar, maka pemberian albumin banyak ditinggalkan

D. Foto terapi:

Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal

Procedure

Gambar 4. Foto terapi pada bayi dengan Rh Incompatibilitas. 3

IX. PROGNOSIS 4,14

Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu

(10)

yang sudah mengalami sensitisasi, dalam kehamilan berikutnya, dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif.

Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.

A. Mortalitas

Angka mortalitas dapat diturunkan jika :

1. ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini

2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang diarahkan secara USG

3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal didalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel darah merah Rhesus negatif pemberian Ig D kepada ibu Rhesus negatif selama atau segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi D.

B. Perkembangan anak selanjutnya.

Menurut Bowman (1978) kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami tranfusi janin, akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia 18 bulan atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal, dan 11 anak mengalami gangguan tumbuh kembang. 1

X. PENCEGAHAN 1,3,4,7,14

Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat isoimunisasi Rhesus, adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin. 1,2,4,6,14

Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk

(11)

membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya.

Tabel 2. Kategori obat sebagai pencegahan Inkompatibilitas Rhesus. 7

Drug Name

Human anti-D immune globulin (RhoGAM) -- Suppresses immune response of nonsensitized Rh O (D) negative mothers exposed to Rh O (D) positive blood from the fetus as a result of a fetomaternal hemorrhage, abdominal trauma, amniocentesis, abortion, full-term delivery, or transfusion accident. Should be administered if the patient is Rh-negative, unless the father also is Rh-negative.

Adult Dose <13 wk gestation: 50 mcg IM >13 wk gestation: 300 mcg IM Pediatric Dose Administer as in adults

Contraindications Documented hypersensitivity; patients who have received Rho(D)-positive blood within the last 3 mo Interactions None reported

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been

established.

Precautions

Caution in thrombocytopenia, bleeding disorders, or IGA deficiency; when administered close to delivery, may interfere with Rh typing of the newborn

Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan, ternyata sangat protektif. Ibu dengan kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, atau perdarahan pervaginam harus ditangani karena akan mengalami isoimunisasi tanpa preparat imunoglobulin. Ibu rhesus negatif yang memperoleh darah ataupun fraksi darah berupa trombosit atau plasmaferesis berisiko untuk mengalami sensitisasi. 1,4,6 Kalau terdapat keraguan untuk memberikan preparat Ig anti G, maka preparat tersebut harus diberikan, termasuk kepada ibu yang tampaknya belum mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam setelah melahirkan. Kebijaksanaan ini dapat menurunkan resiko isoimunisasi. Antibodi dengan dosis 300 mikrogram diberikan kepada ibu rhesus negatif yang belum mengalami sensitisasi pada kehamilan 28 minggu dan kehamilan 34 minggu atau pada saat dilakukan amniosintesis atau pada

(12)

saat terjadi perdarahan uterus. Dosis ketiga diberikan kepada ibu sesudah melahirkan.

1,4

Kegagalan pemberian anti D terjadi bila : 1

1. Tidak diberikan suntikan RhIg pada ibu Rh negatif (D-) yang telah melahirkan bayi Rh positif

2. tidak diberikan suntikan Immunoglobulin anti-D setelah abortus atau setelah pemeriksaan amniocentesis

3. pemberian dosis RhIg tidak mencukupi ( karena feto maternal macrotransfusion jarang terjadi)

(13)

X. RUJUKAN

1. Sindu, E. Hemolytic disease of the newborn. Direktorat Laboratorium Kesehatan Dirjen. Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI

2. James DK, Steer PJ, et al. Fetal hemolytic disease. High Risk Pregnancy. 2nd ed. WB. Saunders, 1999: 343 - 361

3. Salem L. Rh incompatibility. www. Neonatology.org. 2001

4. Cunningham FG, MacDonald PC, et al. Williams Obstetrics. 18th edition 1995. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995: 706-721.

5. Markum AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian IKA FKUI, 1991: 332-334

6. Tudehope DI, Thearle MJ. A primer of neonatal medicine. Queensland: William Brooks Queensland, 1985: 144-149

7. Wagle S. Hemolytic disease of the newborn. www. Neonatology.org. 2002

8. Giroux AG, Moore TR. Erythroblastosis fetalis. In: Fanaroff AA, Martin RJ. Neonatal perinatal medicine diseases of the fetus and infant, I, 6th ed. St. Louis: Mosby Year Book, 1997: 300-311 9. Hasan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 3. Edisi IV. Jakarta: Bagian IKA FKUI,

1996 : 1095-1100

10. Berman S. Ph. Isoimmunization. In: Obgyn secrets, 2nd ed. Colorado; Book Promotion & Service Co. 1999: 241-245

11. Shaver DC. Isoimmunization. In; Shaver DC. Ed St. Louis: Mosby Year Book, 1997: 300-311 12. Prawirohardjo S, Winkjosastro H. ilmu kebidanan. Ed.II. Jakarta: Yayasan bina Pustaka. 1986:

426-444

13. Mochtar R. Sinopsis obstetri, 1.jakarta: EGC, 1995: 164-171

14. Fanaroff AA, Martin RJ Eds. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and infant. 5th ed. St. Louis; Mosby-Year Book, 1995: 235-237

15. Cunningham FG, MacDonald PC, et al. Williams Obstetrics. 20th ed. Philadelphia: Prentice Hall international, 1997: 706-721

Gambar

Gambar 1. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit. 3
Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas.  1
Gambar 3. Transfusi tukar pada Rh incompatibilitas.  3
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet  dapat menurunkan kadar bilirubin.

Referensi

Dokumen terkait

Media massa khususnya televise pada gilirannya akan diposisikan menjadi agen kebudayaan dari kelas dominant yang ada dalam kehidupan, kekuasaan pemodal.. Realitas yang disajikan

Mockler (1972) dalam Soeharto (1977) memberikan pengertian tentang pengendalian yaitu adalah usaha yang sistematis untuk menentukan standar yang sesuai dengan

Setiawati, Arini dan Nafrialdi, 2009, Obat Gagal Jantung, In: Gunawan, Sulistia, G., Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta : Departemen Farmakologi dan

Perusahaan besar akan membutuhkan dana yang besar pula, pemenuhan kebutuhan dana tersebut salah satu alternatif yang digunakan yaitu dengan menggunakan utang, oleh

Jika ada lipstick merek lain yang harganya lebih murah dari Wardah kosmetik, ada kemungkinan untuk mencoba beralih, namun dilihat dulu apakah. warnanya sesuai

Penelitian ini menganalisa jenis defect yang ada pada setiap mesin dan metode penanganan secara mengakar sehingga dapat di temukan penyebab awal yang menjadi sumber defect

Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2004, dengan gambar Emma menghiasi ilustrasi buku tersebut.. Buku ini direkomendasikan oleh NAPCAN, Asosiasi Perlindungan Kekerasan

Setelah peneliti tanyakan pada beberapa partisipan yang menjawab hal tersebut, peneliti menemukan bahwa partisipan yang mempunyai nilai relationship satisfaction rendah