• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEMAMPUAN PENALARAN FORMAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MEMPERHATIKAN TINGKAT PENDIDIKAN AYAH SISWA. Baso Intang Sappaile * )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KEMAMPUAN PENALARAN FORMAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MEMPERHATIKAN TINGKAT PENDIDIKAN AYAH SISWA. Baso Intang Sappaile * )"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

A. PENDAHULUAN

Matematika sebagai salah satu mata pel-ajaran pada setiap jenjang pendidikan formal dipandang memegang peranan yang sangat penting, sebab matematika merupakan suatu sarana berpikir logis, analitis, dan sistematis. Dalam GBPP Matematika Sekolah Menengah Umum (1993: 1-2) dinyatakan bahwa tujuan umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan menengah memberi tekanan pada penataan nalar, dasar dan pembentukan sikap siswa serta juga memberi tekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika.

Soedjadi (1989: 3) menyatakan bahwa berbicara tentang matematika, tidaklah tepat bila dilepaskan dari perkembangan ilmu dan teknologi yang ada dewasa ini. Hal ini terutama disebabkan oleh kedudukan matema-tika sebagai "ilmu dasar" atau "pengetahuan dasar" yang menopang perkembangan teknologi serta berkembang seiring dengannya. Oleh karena itu tidak dapat disangkal lagi bahwa untuk menunjang keberhasilan pembangunan

ilmu pengetahuan dan teknologi peran mate-matika sangat penting.

Mengingat pentingnya matematika, maka sangat diharapkan siswa sekolah mene-ngah termasuk SMU untuk menguasai pelajar-an matematika SMU. Nurkpelajar-ancpelajar-ana (1992: 92) menyatakan bahwa siswa menguasai bahan pelajaran apabila siswa memperoleh skor 6,5 atau lebih (65% atau lebih dari skor maksimal). Mempelajari matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan serta operasi-operasinya, melainkan matematika juga berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungannya yang diatur secara logik sehingga matematika itu berkaitan dengan konsep-konsep yang abstrak.

Sebagai suatu struktur dan hubungan-hubungan, maka matematika memerlukan simbol-simbol untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang ditetapkan. Simbolisasi berfungsi sebagai komunikasi yang dapat diberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru. Konsep tersebut dapat PENGARUH KEMAMPUAN PENALARAN FORMAL TERHADAP PRESTASI

BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MEMPERHATIKAN TINGKAT PENDIDIKAN AYAH SISWA

Baso Intang Sappaile*) ABSTRACT

The objective of the study is to know the effect of logical thinking toward students’ outcome in mathematics. The population was all grade one students of SMU Negeri Makassar. Cluster random sampling technique was applied to obtain 237 first graders to be the sample. Used by instrument is achievement test in mathematics, test of logical thinking and observation sheet. Obtained to be data to be analysed by descriptive analysis and regression analysis. It was found out that: (1) students’ outcome in mathematics very low category, (2) students’ outcome in logical thinking in general not yet is formal, and (3) logical thinking have relation which is significant with achievement in mathematics, with determination coefficient is 31%.

Kata Kunci: Kemampuan penalaran formal, Prestasi belajar matematika, Tingkat pendidikan ayah siswa.

(2)

sebelumnya. Misalnya seorang peserta didik mempelajari konsep B yang berdasar pada konsep A, maka peserta didik tersebut terlebih dahulu harus memahami konsep A, sebab tanpa memahami konsep A maka peserta didik itu tidak mungkin memahami konsep B. Ini berarti bahwa mempelajari konsep-konsep dalam matematika haruslah bertahap dan ber-urutan serta berdasarkan pada pengalaman belajar yang lalu.

Matematika yang berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol itu tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif, sehingga belajar matematika meru-pakan kegiatan mental yang tinggi. Karena matematika merupakan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol, maka sebelum kita memahami simbol-simbol itu terlebih dahulu kita harus memahami ide-ide yang terkandung di dalamnya. Sinbol-simbol tersebut pada umumnya kosong dari arti, artinya simbol-simbol tersebut dapat diberikan arti tertentu sesuai dengan semestanya. Sebagai contoh, dalam aljabar atau aritmetika sering kita jumpai simbol (x,y). Pasangan simbol x dan y ini masih kosong dari arti. Apabila simbol itu dipakai di dalam lingkup ilmu ukur analitika, biasa kita beri arti koordinat suatu titik. Bila dipakai dalam geometri vektor, simbol itu berarti vektor posisi dapat berarti (2,3); (4,6) dan sebagainya. Tetapi bila dipakai di dalam aritmetika lanjut simbol (x,y) dapat diberi arti pecahan, misalnya 2/3; 4/6 dan sebaginya. Sedangkan di dalam aljabar dapat juga diberi arti bilangan kompleks x + iy yang mungkin berarti 2 + 3i; 4 + 6i dan sebagainya (Soedjadi, 1985: 15). Hal ini menunjukkan bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dari struktur-struktur, hubungan-hubungan, dan simbol-simbol, kemudian menerapkan konsep-konsep yang dihasilkan ke situasi yang nyata sehingga menyebabkan suatu perubahan tingkah laku.

Arifin (1991: 3) mengartikan kata "prestasi" sebagai "hasil usaha". Jadi prestasi adalah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk suatu keberhasilan yang dica-pai seseorang setelah melakukan suatu usaha. Bila dikaitkan dengan belajar berarti prestasi menunjuk suatu keberhasilan yang dicapai oleh seseorang yang belajar dalam selang waktu tertentu. Dalam proses belajar mengajar, penyajian materi pelajaran yang diberikan oleh guru di dalam kelas kepada siswa dengan maksud siswa dapat menguasai materi pelajaran yang diberikan. Bila dikaitkan dengan matematika, maka prestasi belajar matematika merupakan hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar dalam waktu selang tertentu. Bilama-na siswa telah menguasai materi pelajaran matematika maka akan terjadi perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku inilah yang merupakan tujuan pengajaran matematika dalam arti siswa telah memiliki pengetahuan tentang matematika. Prestasi belajar matematika ini dapat diukur dengan tes prestasi belajar.

Sudjana (1991: 35) mengemukakan bahwa tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran. Berdasarkan uraian tersebut, maka yang dimaksud dengan prestasi belajar matematika dalam tulisan ini adalah hasil belajar siswa kelas I SMU Negeri di Kota Makassar dalam bidang studi matematika dengan materi berdasarkan GBPP 1993 yang diperoleh dengan menggunakan tes prestasi belajar matematika. Tes tersebut mengandung aspek kognitif yang diarahkan kepada unsur pengetahuan atau ingatan, unsur pemahaman dan unsur aplikasi atau penerapan.

Dalam filsafat ilmu (1983: 2-3), dijelas-kan bahwa penalaran merupadijelas-kan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakekatnya

(3)

merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakannya bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir.

Manusia mampu menalar artinya berpi-kir secara logis dan analitik. Karena kemam-puan menalarnya dan karena mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikannya hasil pikirannya yang abstrak, maka manusia bukan saja mem-punyai pengetahuan melainkan juga mampu mengembangkannya. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai ciri-ciri tertentu dalam menemukan kebenaran (Filsafat Ilmu, 1983: 3). Selanjutnya disebutkan bahwa ciri-ciri penalaran adalah (1) adanya suatu pola berpikir yang secara luas disebut logika, dan (2) proses berpikirnya bersifat analitik. (Filsafat Ilmu, 1983: 3).

Nur (1991: 5) mengemukakan bahwa ada lima operasi penalaran, yaitu: (1) penalaran proporsional, (2) pengontrolan variabel, (3) penalaran probabilistik, (4) penalaran korelasi-onal dan (5) penalaran kombinatorial.

Piaget (dalam Nur, 1991: 5) mendefini-sikan penalaran proporsional sebagai suatu struktur kualitatif yang memungkinkan pema-haman sistem-sistem fisik kompleks yang mengandung banyak faktor. Sebagai contoh pemahaman sistem fisik kompleks adalah pema-haman yang berkaitan dengan proporsi dan ratio.

Nickerson,dkk (dalam Nur, 1991: 5) mengemukakan anak yang mampu menalar proporsional dapat mengembangkan hubungan proporsional antara berat dan volume, men-transfer penalaran proporsional dari dua dimensi ke tiga dimensi, menggunakan penalar-an proporsional untuk menaksir ukurpenalar-an suatu populasi yang tidak diketahui.

Berdasarkan pendapat di atas, maka siswa yang telah tergolong tahap operasi formal akan dapat memahami dan menjawab dengan benar soal-soal yang berkaitan dengan masalah proposisi dan rasio, yang meskipun mereka belum pernah diajar tentang hal itu. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa siswa yang telah memasuki operasi formal akan mempunyai kemampuan penalaran propor-sional.

Perkembangan kemampuan pengon-trolan variabel merupakan indeks perkembangan intelektual. Menurut Inhelder dan Piaget (dalam Nur, 1991: 6) pemikir formal dapat menetapkan dan mengontrol variabel-variabel tertentu dari satu masalah. Kemampuan mengontrol variabel merupakan salah satu ciri penalaran formal. Para pemikir formal menyadari bahwa pada saat melakukan eksperimen harus dapat mengontrol seluruh faktor yang dapat mempe-ngaruhi variabel responden hanya mengubah satu variabel pada suatu saat sebagai variabel manipulasi untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel manipulasi itu terhadap variabel respon.

Nur (1991: 6) mengemukakan penalaran probabilistik terjadi pada saat seorang menggu-nakan informasi untuk memutuskan apakah suatu kesimpulan berkemungkinan benar atau berkemungkinan tidak benar. Perkembangan penalaran ini dimulai dari perkembangan ide peluang.

Menurut Piaget dan Inhelder (dalam Nur, 1991: 6), ide peluang berkembang kira-kira pada usia 7 sampai 10 tahun. Pada usia tersebut anak dapat membedakan hal-hal yang pasti dan hal-hal yang mungkin. Kemudian pengertian tentang banyak kemungkinan itu menumbuhkan ide tentang peluang atau probabilitas, anak itu belajar bahwa operasi intelektual yang baru diketahui itu tidak selalu benar. Ia mulai dapat membedakan hal-hal yang pasti terjadi dan yang memiliki kemungkinan terjadi dari perhi-tungan peluang. Konsep probabilitas sepenuh-nya dikuasai anak pada tahap operasi formal.

(4)

Dengan demikian konsep probabilitas harus sepenuhnya dikuasai oleh siswa yang telah berada pada tahap operasional, yang ditandai dengan dapatnya membedakan hal-hal yang pasti terjadi dan hal-hal-hal-hal yang memiliki kemungkinan terjadi dari perhitungan peluang.

Lawson (dalam Nur, 1991: 7) menya-takan bahwa penalaran korelasional didefini-sikan sebagai pola berpikir yang digunakan seorang anak untuk menentukan kuatnya hubu-ngan timbal balik atau hubuhubu-ngan terbalik antara variabel.

Dengan demikian seseorang yang tergolong dalam operasi formal akan dapat mengidentifikasikan apakah terdapat hubung-an hubung-antara variabel yhubung-ang ditinjau denghubung-an variabel lainnya. Penalaran korelasional melibatkan pengidentifi-kasian dan pengverifikasian hubu-ngan antara variabel.

Menurut Vantipa Roadrangka (dalam Nur, 1991: 7) menyatakan bahwa penalaran kombinatorial adalah kemampuan untuk mem-pertimbangkan seluruh alternatif yang mungkin pada suatu situasi tertentu. Individu operasi formal pada saat memecahkan suatu masalah akan menggunakan seluruh kombinasi atau faktor yang mungkin yang ada kaitannya dengan masalah tersebut.

Selanjutnya Inhelder dan Piaget (dalam Nur, 1991:7) menyatakan bahwa pemikir formal dapat memperhitungkan seluruh faktor yang mungkin dalam perhitungan sistematika dalam situasi pemecahan masalah banyak-faktor.

Pada tahap operasi formal anak juga mampu berpikir kombinatorial. Bila seorang anak dihadapkan kepada suatu masalah, ia dapat mengisolasi faktor-faktor tersendiri atau mengkombinasikan faktor-faktor itu untuk sampai kepada penyelesaian masalah tersebut (Hudoyo, 1979: 90). Dengan demikian siswa yang tergolong dalam operasi formal bila dihadapkan pada suatu masalah maka akan mampu menyusun seluruh kemungkinan yang

mungkin terjadi dari semua variabel yang disediakan.

Hasil studi Kreangsak Prowsri dan Propon Jearakul (dalam Hudoyo, 1988: 192) di Sekolah Menengah Thailand dalam tahun 1986 melaporkan bahwa kemampuan berpikir logik, minat terhadap matematika, dan sikap terhadap matematika berkorelasi secara signifikan dengan hasil belajar matematika. Selanjutnya dikemu-kakan pula bahwa kemampuan berpikir logik dan minat terhadap matematika dapat dikombi-nasikan sebagai prediktor hasil belajar matema-tika dengan R = 0,54.

Penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (1988: 73) terhadap siswa-siswa SMP di Malang disimpulkan bahwa pendidikan orang tua memberikan sumbangan cukup berarti adalah pendidikan ayah, sedang pendidikan ibu tidak.

Penelitian yang dilakukan oleh Rery (1990: 115) menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif yang sangat signifikan antara kemampuan penalaran formal dan prestasi kimia siswa kelas II A1, II A2 SMA Negeri Kodya Surabaya. Dengan koefisien korelasi r = 0,63395, atau 40,2 % variasi prestasi Stoikiometri siswa dapat dijelaskan oleh kemampuan penalaran formal.

Penelitian yang dilakukan oleh Sogog (1994: 86-87) kepada siswa kelas I SMA di Kota Singaraja menyimpulkan bahwa secara simultan terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara NEM Matematika SMP dan kemampuan berpikir formal dengan prestasi belajar matematika siswa kelas I SMA di kota Singaraja. Dengan koefisien korelasi ganda R = 0,8141 berarti 66,28 % variasi prestasi belajar matematika dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh NEM MAT SMP dan kemampuan berpikir formal. Selanjutnya disebutkan pula bahwa terdapat korelasi yang murni dan signifikan antara kemampuan berpikir formal dengan prestasi belajar matematika. Dengan koefisien korelasi murni sebesar 0,5407 berarti sumbangan murni kemampuan berpikir formal

(5)

terhadap prestasi belajar matematika adalah 29,24%.

Pidgeon (dalam Moegiadi, 1979: 99) menemukan bahwa ada hubungan yang erat antara prestasi belajar dalam matematika dengan tingkat aspirasi pendidikan orang tua murid, pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan ayah. Semakin tinggi status pada variabel ini semakin tinggi pula prestasi belajar murid.

Pendekatan dalam penelitian ini adalah ex-post facto dan dirumuskan masalah, yaitu (1) Bagaimanakah (a) kemampuan penalaran formal, dan (b) prestasi belajar matematika siswa SMU Negeri di Kota Makassar?, (2) Apakah kemampuan penalaran formal, dan tingkat pendidikan ayah siswa mempunyai hubungan dengan prestasi belajar matematika?, (3) Apakah ada perbedaan yang signifikan skor rata-rata prestasi belajar matematika antara siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP dengan siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA?, dan (4) Apakah ada perbedaan yang signifikan skor rata-rata prestasi belajar mate-matika antara siswa yang ayahnya berpendi-dikan SMTA dengan siswa yang ayahnya berpendidikan tinggi?

Penelitian ini bertujuan untuk memper-oleh jawaban terhadap masalah-masalah terse-but. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kemampuan pena-laran formal, dan tingkat pendidikan ayah siswa secara bersama-sama dengan prestasi belajar matematika siswa SMU Negeri di Kota Makassar, serta hubungan kemampuan penalar-an formal dengpenalar-an prestasi belajar matematika, untuk tiap tingkat pendidikan ayah siswa.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian ex-post facto yang bertujuan untuk memperoleh jawaban terhadap masalah-masalah tersebut. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan kemampuan penalaran formal, dan tingkat pendidikan ayah siswa secara bersama-sama dengan prestasi belajar matematika siswa SMU Negeri di Kota Makassar, serta hubungan kemampuan pena-laran formal dengan prestasi belajar matematika, untuk tiap tingkat pendidikan ayah siswa. Populasi penelitian adalah semua siswa SMU Negeri di Kota Makassar. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified cluster random sampling.

Untuk memperoleh skor variabel peneli-tian, digunakan tiga jenis instrumen, yaitu (1) tes prestasi belajar matematika, (2) tes kemampuan penalaran formal, dan (3) lembar observasi. Tes prestasi belajar matematika disu-sun berdasarkan kurikulum SMU 1994 yang memuat 37 butir soal dalam bentuk pilihan jawaban yang berganda. Untuk mengukur kemampuan penalaran formal siswa digunakan tes kemampuan penalaran formal yang diadap-tasi dari TOLT (Test of Logical Thinking) yang memuat 10 butir soal yang telah dikembangkan oleh Kenneth Tobin dan Willian Capie. Sedang lembar observasi digunakan untuk data tingkat pendidikan ayah siswa yang dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: SMTP ke bawah, SMTA, dan Pendidikan Tinggi.

Data yang diperoleh dari sampel peneli-tian berupa skor kemampuan penalaran formal, dan skor prestasi belajar matematika, diana-lisis dengan memakai teknik anadiana-lisis statistika. C. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Hasil analisis statistik deskriptif yang dikemukakan adalah rata-rata dan standar devi-asi dari variabel kemampuan penalaran formal (X), dan variabel prestasi belajar matematika (Y) ditunjukkan pada tabel 1 dan tabel 2 berikut.

(6)

Tabel 1

Kemampuan Penalaran Formal Menurut Tingkat Pendidikan Ayah Siswa Variabel Tingkat Pendidikan Mean Standar Deviasi Minimum Maksimum N X SMTP ke bawah 5,2059 1,1933 3 8 136 SMTA 4,9474 1,2723 3 7 38 PT 4,6190 1,6007 2 8 63 Gabungan 5,0100 1,3400 2 8 237

X = Kemampuan penalaran formal

Berdasarkan tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan penalaran formal, skor tertinggi yang mungkin dicapai oleh siswa adalah 10. Bila dikelompokkan kemampuan penalaran formal menjadi empat tingkatan, yaitu kongkrit, transisi, awal formal, dan formal,

maka dapat dinyatakan bahwa secara deskriptif kemampuan penalaran formal siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP ke bawah, SMTA, pendidikan tinggi dikategorikan ber-turut-turut awal formal, transisi, transisi.

Tabel 2

Prestasi Belajar Matematika Menurut Tingkat Pendidikan Ayah Siswa Variabel Tingkat

Pendidikan Mean

Standar

Deviasi Minimum Maksimum N Y

SMTP ke bawah 21,1765 6,3781 15 34 136

SMTA 17,6842 1,6621 15 20 38

PT 17,6825 2,6569 13 20 63

Gabungan 19,6900 5,3400 13 34 237

Y = Prestasi belajar matematika

Berdasarkan tes yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar matematika skor tertinggi yang mungkin dicapai oleh siswa adalah 37. Bila dikelompokkan prestasi belajar matematika menjadi lima kategori, yaitu: sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi, maka dapat dinyatakan bahwa secara deskriptif prestasi belajar matematika siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP ke bawah, SMTA, pendidikan tinggi dikategorikan berturut-turut rendah, sangat rendah, sangat rendah.

Hasil analisis statistik inferensial dilakukan dengan analisis regresi. Data yang digunakan adalah skor variabel kemampuan penalaran formal (X), dan skor prestasi belajar matematika (Y) merurut tingkat pendidikan ayah siswa (T). Analisis regresi dilakukan

dengan memakai X, T sebagai variabel bebas dan Y sebagai variabel tak bebas.

Dengan memakai memakai X (numerik), T (kategorik) sebagai variabel bebas dan Y sebagai variabel tak bebas yang numerik, maka maka persamaan model regresinya adalah: Y = o + 1*X + 2*T1 + 3*T2 + . Dengan Y = skor prestasi belajar matematika

X = skor kemampuan penalaran formal

    lainnya 0, SMT A 1, T1     lainnya 0, P.T inggi 1, T2 i = parameter, i = 1, 2.

 = suku kesalahan random yang diasumsikan berdistribusi normal dengan mean nol dan varians 2 .

(7)

Fungsi penaksir model regresi linear tersebut di atas adalah

^

Y = B0 + B1*X + B2*T1 + B3*T2 yang hasilnya ditunjukkan pada tabel 3 dan tabel 4 berikut.

Tabel 3

Hasil Anavar Regresi Model Linear

Sumber Variansi db JK RJK F p Model Kesalahan 3 233 2108,3 4630,6 702,8 19,9 35,36 - 0,000 - Total 237 6738,9 - - - Tabel 4

Hasil Statistik Uji-t Estimator Parameter bi

Variabel Bi ti p Konstanta X T1 T2 11,565 1,846 -3,015 -2,410 9,582 8,396 -3,677 -3,486 0,000 0,000 0,000 0,001 Berdasarkan tabel 3, diperoleh fungsi regresi

Y

^

= 11,565 + 1,846 X – 3,015 T1 – 2,410 T2. Fungsi regresi untuk siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP ke bawah (T1=0, T2=0) adalah Y^ = 11,565 + 1,846 X. Fungsi regresi

untuk siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA (T1=1, T2=0) adalah Y^ = 9,155 + 1,846

X. Fungsi regresi untuk siswa yang ayahnya berpendidikan tinggi (T1=0, T2=1) adalah Y^

= 8,550 + 1,846 X.

Ketiga fungsi regresi tersebut di atas, dapat dilihat grafik yang ditunjukkan pada Gambar-1 berikut.

(0,0)

Gambar 1. Grafik fungsi regresi ketiga tingkat pendidikan ayah siswa Y

YSMP = 11,6 + 1,8 X

YSMA = 9,2 + 1,8 X YPT = 8,6 + 1,8 X

(8)

Selanjutnya, hipotesis yang diperhatikan tentang keberartian model. Untuk itu diuji kebenaran hipotesis:

H0: 1 = 2 = 3 = 0

H1: salah satu dari tiga  0

Berdasarkan tabel 3 dan menetapkan taraf signifikansi 0,05 maka hasil statistik Uji-F, Fh = 35,361 (nilai-p = 0,000) menunjukkan H0 ditolak atau H1 diterima. Ini berarti bahwa variabel bebas X, T1, T2 secara bersama-sama mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel tak-bebas Y. Dengan kata lain, variabel kemampuan penalaran formal dan tingkat pendidikan ayah siswa mempunyai hubungan dengan variabel prestasi belajar matematika. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,313 yang berarti sekitar 31% variasi skor prestasi belajar matematika dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel kemampuan penalaran formal dan tingkat pendidikan ayah siswa. Hipotesis tentang keberartian parameter yang berkaitan dengan variabel X, dalam hal ini akan diuji kebenaran hipotesis sepihak:

H0: 1  0 lawan H1: 1 > 0

Dengan ditetapkan taraf signifikansi 0,05, dan hasil statistik uji-t pada tabel 4 dengan th = 8,396 (nilai-p = 0,000) maka H0 diterima atau H1 ditolak. Ini berarti bahwa variabel bebas X mempunyai pengaruh terhadap variabel tak bebas Y. Dengan kata lain variabel kemampuan penalaran formal mempunyai hubungan positif dengan variabel prestasi belajar matematika, setelah memperhitungkan tingkat pendidikan ayah siswa. Hipotesis tentang keberartian parameter yang berkaitan dengan variabel T1, dalam hal ini, akan diuji kebenaran hipotesis sebagai berikut:

H0 : 2 = 0 lawan H1 : 2  0

Dengan ditetapkan taraf signifikansi 0,05, dan hasil statistik uji-t pada tabel 4 dengan th = -3,677 (nilai-p = 0,000) maka H0 ditolak atau H1 diterima. Ini berarti bahwa variabel bebas T1 mempunyai hubungan yang signifikan dengan

variabel tak bebas Y. Dengan kata lain, ada perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang ayahnya berpendidikan tinggi dengan ayahnya tidak berpendidikan tinggi. Hipotesis tentang keberartian parameter yang berkaitan dengan variabel T2, dalam hal ini, akan diuji kebenaran hipotesis sebagai berikut: H0 : 3 = 0 lawan H1 : 3  0

Dengan ditetapkan taraf signifikansi 0,05, dan hasil statistik uji-t pada tabel 4 dengan th = -3,486 (nilai-p = 0,001) maka H0 ditolak atau H1 diterima. Ini berarti bahwa variabel bebas T2 mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel tak bebas Y. Dengan kata lain, ada perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA dengan ayahnya tidak berpendidikan SMTA. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis deskritif dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan mean (skor rata-rata) dan standar deviasi skor kemampuan penalaran formal dari 136 siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP ke bawah, 38 siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA, dan 63 siswa yang ayahnya berpendidikan tinggi sebagai sampel penelitian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mulyati (1988: 73) terhadap siswa-siswa SMP di Malang, disimpulkan bahwa pendidikan orang tua memberikan sumbangan cukup berarti adalah pendidikan ayah.

Selanjutnya, terdapat perbedaan mean (skor rata-rata) dan standar deviasi skor prestasi belajar matematika dari 136 siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP ke bawah, 38 siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA, dan 63 siswa yang ayahnya berpendidikan tinggi sebagai sampel penelitian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pidgeon (dalam Moegiadi, 1979: 99) menemukan bahwa ada hubungan yang erat antara prestasi belajar dalam matematika dengan tingkat aspirasi pendidikan orang tua murid,

(9)

pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan ayah.

Dengan memperhatikan tingkat pendi-dikan ayah siswa dan nilai minimum dan nilai maksimum yang diperolehnya terlihat bahwa skor minimum dan skor maksimum siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP dan SMTA lebih tinggi daripada skor minimum dan skor maksi-mum siswa yang ayahnya berpendidikan tinggi. Dengan kenyataan ini peneliti menduga bahwa perhatian ayah siswa yang berpendidikan SMTP dan SMTA lebih memperhatikan pendidikan anaknya daripada ayah siswa yang berpendi-dikan tinggi. Mungkin ini terjadi karena ayah siswa yang berpendidikan tinggi lebih banyak kesibukan sehari-harinya daripada ayah siswa lainnya.

Apabila ditinjau berdasarkan tingkat pendidikan ayah siswa, maka penguasaan siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP ke bawah, SMTA, dan pendidikan tinggi masing-masing sekitar 57%, 48%, dan 48%. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tingkat penguasaan siswa dari tiap-tiap tingkat pendi-dikan ayah siswa masih berada dalam kate-gori rendah.

Prestasi belajar matematika baik mem-perhatikan maupun tanpa memmem-perhatikan tingkat pendidikan ayah siswa secara umum masih tergolong sangat rendah. Tanpa memperhatikan tingkat pendidikan ayah siswa, tingkat penguasaan siswa hanya berkisar 53%. Dengan memperhatikan tingkat pendidikan ayah siswa, yaitu tingkat pendidikan ayah siswa SMTP ke bawah, SMTA, dan pendidikan tinggi, tingkat penguasaan siswa berturut-turut 57%, 48%, dan 48%.

Kemampuan penalaran formal siswa SMU Negeri Kota Makassar pada umumnya belum formal, artinya siswa belum dapat mengontrol seluruh faktor yang dapat mempe-ngaruhi variabel responden hanya mengubah satu variabel pada suatu saat sebagai variabel manipulasi untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel manipulasi itu terhadap variabel respon. Sebagai bahan pembanding,

Hudoyo (1979: 91) memberikan contoh tentang siswa yang telah memasuki kemampuan penalaran formal sebagai berikut: Anak-anak diberi suatu pendulum dan diberitahukan bagaimana memperpanjang talinya, bagaimana membuat beban lebih berat, bagaimana mele-paskan beban dari bermacam-macam ketinggian dan bagaimana mendorongnya dengan berbagai gaya. Anak diminta untuk menentukan yang mana dari empat faktor, tersendiri atau dengan kombinasi, mempengaruhi kecepatan meng-ayunnya pendulum tersebut. Pada anak usia 6 tahun (A), percobaan yang dilakukan tidak menentu. Sulit untuk dianalisis. Sedangkan B yang berusia 10 tahun mengatakan:"Lebih pendek talinya, berayun lebih cepat." Kemudian ia mencoba membuat yang berbeda dengan panjang tali yang sama. Kemudian B itu mengatakan: "Pemberat yang terbesar berayun lebih cepat; pemberat yang lebih kecil berayun lebih lambat." Adapun C yang usianya 15 tahun sebelum ia mengerjakan tugasnya, ia berpi-kir sebentar. Ia mengayun pemberat dengan panjang tali tertentu (p) dan kemudian panjang tali diperpendek (p). Kemudian pemberat lain dengan panjang tali p dan kemudian panjang tali diperpendek (p). Akhirnya C menyim-pulkan: "Panjang tali merupakan faktornya. Tali itulah yang membuat ayunan cepat atau lambat." A melakukan percobaan tanpa pola khusus dan tentu saja tidak bisa mengambil kesimpulan apa-apa. Sedang B menunjukkan teknik yang lebih baik tetapi cara pende-katannya kurang tepat. Karena itu percobaannya tidak tersusun secara sistematis sehingga kesimpulan yang diperoleh kurang memuaskan. Adapun C sebelum melaksanakan percobaan, ia merencanakan suatu cara yang meliputi segala kemungkinan kombinasi faktor-faktor yang menunjukkan bahwa kemungkinan-kemung-kinan tersebut sudah diduga sebelumnya.

Secara inferensial, dan pada Gambar-1 dapat dinyatakan bahwa (1) skor rata-rata prestasi belajar matematika siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP ke bawah lebih tinggi daripada skor rata-rata prestasi belajar

(10)

matema-tika siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA, dan (2) skor rata-rata prestasi belajar matematika siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA lebih tinggi daripada skor rata-rata prestasi belajar matematika siswa yang ayahnya berpendidikan tinggi.

Fungsi regresi untuk siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP ke bawah adalah Y^ =

11,565 + 1,846 X dan skor minimum dan maksimum kemampuan penalaran formal berturut-turut 3 dan 8, maka estimasi minimum skor rata-rata prestasi belajar matematika adalah 17,10 dan estimasi mksimum 26,33. Fungsi regresi untuk siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA adalah Y^

= 9,155 + 1,846 X dan skor minimum dan maksimum kemampuan penalaran formal berturut-turut 3 dan 7, maka estimasi minimum skor rata-rata prestasi belajar matema-tika adalah 14,69 dan estimasi maksimum 22,07. Fungsi regresi untuk siswa yang ayahnya berpendidikan tinggi adalah Y^

= 8,550 + 1,846 X dan skor minimum dan maksimum kemam-puan penalaran formal berturut-turut 2 dan 8, maka estimasi minimum skor rata-rata prestasi belajar matematika adalah 12,24 dan estimasi maksimum 23,32.

Hasil analisis regresi menunjukkan kemampuan penalaran formal dan indikator tingkat pendidikan ayah siswa secara bersama-sama mempunyai hubungan yang berarti dengan prestasi belajar matematika, dengan koefisien determinasi R = 0,313. Ini berarti bahwa sekitar 31,3% variasi total dari skor prestasi belajar matematika dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh kemampuan penalaran formal dan indikator tingkat pendidikan ayah siswa. Hubungan ini menunjukkan bahwa individu yang tingkat intelektualnya berada pada tingkat simbolik, simbol-simbol matematika (obyek matematika) yang abstrak dapat diterima dalam pikirannya, karena adanya kesesuaian antara kematangan individu dengan kedudukan obyek matematika.

Bruner (dalam Sutawidjaja, 1991: 3) menekankan bahwa setiap individu pada waktu

mengalami (mengenal) peristiwa (benda) di dalam lingkungannya, menemukan cara untuk menyatukan kembali peristiwa (benda) tersebut di dalam pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa (benda) yang dialaminya (dikenalnya). Selanjutnya dikemukakan bahwa hal tersebut dilakukan menurut urutan, yaitu (1) tingkat enactive (kegiatan), individu mempunyai benda atau mengalami peristiwa di dunia sekitarnya, (2) tingkat Ikonic (gambar, bayangan), individu mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk bayangan mental dengan kata lain individu dapat membayangkan kembali (dalam pikiran-nya) peristiwa (benda) yang telah dialami (dikenalnya) walaupun peristiwa itu tidak lagi berada di hadapannya, dan (3) tingkat symbolic (simbolik), individu kemudian dapat mengutara-kan bayangan mental tersebut dalam bentuk simbol dan bahasa; apabila menjumpai simbol tersebut, bayangan mental yang ditandai oleh simbol itu dapat dikenalinya kembali.

Tingkatan-tingkatan tersebut menggam-barkan tingkat perkembangan intelektual individu yang berlangsung yang pada akhirnya individu mengalami ketiganya. Pada tingkat ketiga atau tingkat simbolik, individu mampu memikirkan sesuatu yang bastrak. Dengan kemampuan yang abstrak ini individu dapat menyusun hipotesis dan dapat meramalkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Kemampuan ini disebabkan karena manusia mampu berpikir rasional dan analitis, dalam arti manusia mampu melakukan penalaran.

Juga hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kemampuan penalaran formal mempu-nyai hubungan positif dengan prestasi belajar matematika setelah memperhatikan indikator tingkat pendidikan ayah siswa. Berdasarkan analisis ini, dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi skor kemampuan penalaran formal siswa cenderung semakin tinggi pula skor prestasi belajar matematika. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sogog (1994: 85) terhadap siswa kelas I SMA di Kota Singaraja

(11)

yang menyatakan bahwa kemampuan penalaran formal mempunyai hubungan dengan prestasi belajar matematika dengan koefisien korelasi 0,76797. Begitu pula Dantes (dalam Sogog, 1994: 33) menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran formal siswa SMA Negeri kelas I memberi pengaruh langsung dengan prestasi belajar matematika.

Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa manusia mampu menalar artinya berpikir secara logis dan analitik. Karena kemampuan menalarnya dan karena mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan-nya hasil pikiranmengkomunikasikan-nya yang abstrak, maka manusia bukan saja mempunyai pengetahuan melainkan juga mampu mengembangkannya. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan (Filsafat Ilmu, 1983: 3). D. SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis statistik, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Tingkat prestasi belajar matematika siswa SMU Negeri Kota Makassar, termasuk dalam kategori sangat rendah dan kemampuan penalaran formal siswa SMU Negeri Kota Makassar pada umumnya belum formal, (2) Kemampuan penalaran formal mempunyai hubungan positif dengan prestasi belajar mate-matika, untuk setiap tingkat pendidikan ayah siswa, (3) Skor rata-rata prestasi belajar matematika antara siswa yang ayahnya berpendidikan SMTP ke bawah dan siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA mempunyai perbedaan yang signifikan, setelah memper-hatikan keterlibatan variabel kemampuan penalaran formal, dan (4) Skor rata-rata prestasi belajar matematika antara siswa yang ayahnya berpendidikan SMTA dan siswa yang ayahnya berpendidikan tinggi mempunyai perbedaan yang signifikan, setelah memperhatikan keterli-batan variabel kemampuan penalaran formal. Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut: (1) Disarankan kepada para guru matematika agar dalam usaha meningkatkan prestasi belajar matematika, khususnya di SMU Negeri dapat membantu mengembangkan kemampuan berpi-kir siswa dengan cara melatih mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan aspek-aspek kemampuan penalaran formal, (2) Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna memperluas hasil-hasil penelitian ini. Peneli-tian lain mengenai topik seperti ini terhadap populasi lain dengan mata pelajaran dan tingkat sekolah yang sama, atau terhadap mata pel-ajaran yang sama dengan tingkat sekolah yang berbeda, dan (3) Disarankan melakukan peneli-tian dengan memperhatikan lebih banyak variabel, baik yang bersumber dari dalam diri siswa maupun yang bersumber dari luar diri siswa untuk mempelajari bagaimana hubungan-nya dengan prestasi belajar matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal, 1991. Evaluasi Instruksiona Ban-dung: PT. Remaja Rosdakarya.

Anon, 1993. Kurikulum Sekolah Menengah Umum Garis-Garis Besar Program Pengajaran

1993. Jakarta: Depdikbud.

Anon, 1983/1984, Filsafat Ilmu, Materi Dasar

Pendidikan Program Akta Mengajar V.

Jakarta: Depdikbud.

Hudoyo, Herman, 1988. Mengajar Belajar

Mate-matika. Jakarta: P2LPTK.

---,1979. Pengembangan Kurikulum Matema-tika & Pelaksanaannya di Depan Kelas.

Surabaya:Usaha Nasional

Moegiadi, 1979. Penilaian Kualitas Pendidikan Dasar Di Berbagai Lingkungan Pendidik-an Serta HubungPendidik-annya DengPendidik-an Sejumlah

Variabel Pendidikan (Disertasi S3).

(12)

Mulyati, Sri, 1988. Hubungan Pendidikan Orang Tua, Suasana Rumah dan Sikap Siswa Terhadap Matematika Dengan Hasil

Belajar Matematika. (Tesis S2). Malang:

IKIP Malang.

Nurkancana, Wayan dan PPN.Sunartana, 1992.

Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha

Nasional.

Nur, Mohamad, 1991. Pengadaptasian Test of Logical Thinking (TOLT) Dalam Seting

Indonesia (Laporan Hasil Penelitian).

Surabaya: IKIP Surabaya.

Rery, Radjawaly Usman, 1990. Srtudi Kontribusi Kemampuan Penalaran Formal terhadap Prestasi Belajar Kimia Siswa-Siswa Kelas II A1 Dan II A2 SMA Negeri Kodya Surabaya Tahun Ajaran 1987-1988, (Tesis S2). Malang: IKIP Malang. Sudjana, Nana, 1991. Penilaian Hasil Proses

Belajar Mengaja. Bandung:

Remajaros-dakarya.

---,1991. Teori-Teori Belajar Untuk Pengajar-an. Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Soedjadi, 1989. Matematika Untuk Pendidikan

Dasar 9 Tahun (Suatu Analisis Global

Menyongsong Era Tinggal Landas Dies. Suarabaya: IKIP Surabaya.

---, 1985. Mencari Strategi Pengelolaan Pendidikan Matematika Menyongsong Tinggal Landas Pembangunan Indonesia

(Pidato Pengukuhan). Surabaya: IKIP Surabaya.

Sogog, Wayan, 1994. Konstribusi NEM Matema-tika SMP dan Kemampuan Berpikir For-mal Terhadap Prestasi Belajar Siswa

Kelas I SMA di Kota Singaraja, (Tesis

Referensi

Dokumen terkait

mengumumkan sebagai penyedia barang dengan pengadaan langsung untuk paket.. pekerjaan Pengadaan dan Instalasi Peralatan Internet Akper dan Dinkes

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil jadi gorden dengan sumber ide desain alami, dekoratif, dan geometris ditinjau dari aspek irama, kesatuan, penekanan,

Bekerja sebagai sales produk keuangan, jika ingin mendapat penghasilan tetap setiap bulannya maka mereka harus mencapai level manajer selama 3 tahun

Hal ini disimpulkan bahwa algoritma apriori dapat digunakan untuk perancangan program aplikasi data warehouse dan data mining untuk memprediksi pola pembelian produk dan

Hasil spektra FTIR pada Gambar 2 menunjukkan terbentuknya produk senyawa kalkon yang ditandai dengan pergeseran serapan gugus karbonil (C=O) dari keton

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan 5% tepung daun Katuk, Marigold dan Senduduk dalam ransum menunjukkan konsumsi ransum, persentase

para bawahan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Dalam kaitannya untuk melihat intensitas koordinasi kepala sekolah dan pengawas dalam

Sedangkan jenis analisis data yang digunakan adalah kuanlitatif dengan teknik prosentase.Untuk mengukur Sikap Keberagamaan Mahasiwa Fakultas Agama Islam Setelah Mengikuti