• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERBASIS TRADISI LISAN (PBSI-BETIS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERBASIS TRADISI LISAN (PBSI-BETIS)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

INDONESIA BERBASIS TRADISI LISAN (PBSI-BETIS)

Sarmadan

(sarmadan_88@yahoo.co.id)

FKIP Universitas Sembilanbelas November Kolaka

ABSTRACT

In Indonesian language and literary learning in school, oral tradition content relatively lack of attention. In the middle of globalization, oral tradition should become Indonesian language and literary learning. The aim of this study are (1) describe forms of oral tradition which contain lofty values, and (2) how the implementation strategy of oral tradition in Indonesian language and literary. This study use qualitative method by using structural approach and culture anthropology approach. Based on data analysis result, it can be concluded that oral tradition pogau toba in custom ceremony katoba contain religious tenet (Islam) and custom tenet which contain lofty values. It is need an effort to integrate lofty values of this oral tradition in Indonesian language and literary learning. As for strategy which can be used in Indonesian Language and Literary Learning Based on Oral Tradition, namely:1) identification of culture elements, 2) identification of culture problem, 3) culture exploration, 4) interpretation and analysis of culture form and value, 5) evaluation, and 6) culture recreation.

Keywords:Strategy, Indonesian Language and Literary Learning, Oral Tradition.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi sekarang ini sudah mengarah pada krisis multidimensi. Permasalahan yang terjadi tidak saja menyentuh lingkungan fisik semata, tetapi juga berkaitan dengan perubahan dan pergeseran budaya dan tata perilaku sosial masyarakat. Perubahan pada hakikatnya mengarah kepada dua

arah, yakni ke arah positif dan ke arah yang negatif. Adakalanya perubahan cenderung menimbulkan masalah. Salah satu masalah yang sedang dialami oleh bangsa ini adalah masalah moral. Beberapa kalangan beranggapan bahwa merosot dan rendahnya moral generasi muda disebabkan lunturnya apresiasi dan kecintaan terhadap nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.

(2)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka Tradisi lisan merupakan

wujud budaya dan kearifan lokalsuatu masyarakat tertentu, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang luhur. Begitupun dengan globalisasi juga merupakan wujud budaya, yakni budaya masyarakat modern. Akan tetapi, perubahan pola kehidupan masyarakat oleh karena tawaran globalisasi semestinya tidak membuat kita terkejut. Mengedepankan sikap fleksibel menerima modernitas tanpa melepas kekuatan lokal akan membawa masyarakat ke dalam konteks kehidupan yang lebih maju. Pada prinsipnya, harus ada upaya mensinergikan antara lokal dan global agar kebutuhan masyarakat di tengah zaman yang terus bergulir terakomodasi.Bangsa Indonesia sepatutnya memandang dan menyikapi, serta memilah antara budaya bangsa dan globalisasi secara cerdas dengan melihat nilai-nilai substansi setiap fenomena sosial-budaya yang patut dicontohi dan dilaksanakan.

Dunia pendidikan dapat menjadi media untuk menanamkan dan membelajarkan nilai-nilai luhur

budaya kepada peserta didik. Di pihak lain, pendidikan kita sekarang ini kurang memiliki kekuatan untukdapat menyokong tujuan pendidikan nasionaltersebut.Lebih ekstrim dikatakan tidak berdaya memfasilitasi kebutuhan esensi pendidikan. Kurikulum pendidikan di Indonesia belum mandiri untuk mengakomodasi tuntutan zaman. Akibatnya arah tujuan pendidikan nasional belum dipahami dan dijabarkan sebagai suatu usaha untuk memanusiakan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh karena itu, kiranya penting pendidikan nasional dirancang dengan menerapkan kurikulum, strategi, dan model pembelajaran, serta komponen belajar lainnya yang berbasis pada nilai-nilai tradisi lisan.

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis tradisi lisan akan menjadi titik tolak dari wacana yang dihembuskan di atas. Perlu usaha pelestarian, pemertahanan, dan revitalisasi kebudayaan bangsa dengan berbagai bentuk kegiatan, termasuk dalam konteks pendidikan. Diharapkan implementasi kebijakan

(3)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka pendidikanberbasis tradisi lisan akan

membawa pembelajaranbahasadan sastra Indonesia menjadi pembelajaran yang bermakna. Dalam aplikasinya, basis tradisi lisanakan disesuaikan dengan konteks budaya di tiap-tiap daerah. Hal ini dapat dioperasionalkan dalam Kurikulum 2013.

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini pernah dilakukan oleh La Niampe (2008) yang dipresentasikan dalam Seminar Internasional Lisan VI Wakatobi dengan judul “Tuturan Tentang Katoba dalam Tradisi Lisan Muna: Deskripsi Nilai dan Fungsi”. Sarmadan (2011) dalam skripsi dengan judul “Makna Tuturan dalam Upacara Adat Katoba pada Masyarakat Muna.” Kemudian La Tanampe (2012) dalam tesis dengan judul “Katoba Kajian Nilai-Nilai Budaya dan Pembentukan Karakter Anak pada Suku Muna”. Masing-masing penelitian tersebut lebih menitikberatkan dan fokus pada makna, fungsi dan nilai-nilai pendidikan dalam Tuturan Katoba. Dalam artian bahwa kajiannya belum

signifikan menyentuh aspek implikasi dalam pendidikan pada tataran teoretis maupun praktis. Selain itu, dari aspek pendekatan analisis penelitian masing-masing juga berbeda. Dalam penelitian iniuntuk analisis teks peneliti menggunakan pendekatan struktural yang dikemukakan oleh van Dijk (Sibarani, 2012).

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat berkontribusi untuk memperkuat dan mengembangkan beragam model pembelajaran, media, sumber belajar, dan/atau perangkat pembelajaran berbasiskan budaya dan kearifan lokal dalam konstruksi kultur ipteks – yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.

Argumen yang dikemukakan di atas memungkinkan bahwa saat ini diperlukan penelitian dan kajian terhadap tradisi lisan yang kelak dapat digunakan untuk membuka wawasan kebangsaan, mendongkrak identitas kebudayaan, kesadaran berbangsa, dan pendidikan karakter, serta perekat bangsa. Oleh karena itu, peneliti memformulasikan judul “Strategi Pembelajaran Bahasa dan

(4)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka Sastra Indonesia BerbasisTradisi

Lisan (PBSI-Betis)”.

2. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Bagaimanakah hakikat, proses, dan tuturan pogau toba dalam pelaksanaan upacara adat katoba pada masyarakat Muna?

2) Bagaimanakah nilai-nilai luhur tuturanpogau toba dalam upacara adat katoba pada masyarakat Muna?

3) Bagaimanakah strategi implementasi tradisi lisan (ungkapan tradisional poga toba)dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan hakikat, proses, dan tuturan pogau toba dalam pelaksanaan upacara adat katoba pada masyarakat Muna?

2) Mendeskripsikan nilai-nilai luhur tuturanpogau toba dalam upacara adat katoba pada masyarakat Muna?

3) Mendeskripsikan strategi implementasi tradisi lisan (ungkapan tradisional poga toba)dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi khalayak pembaca. Secara lebih spesifik manfaat tersebut adalah sebagai berikut.

1) Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut.

a. Merefleksikan jejak-jejak budaya yang pernah diukir oleh nenek moyang tentang pola hidup dan eksistensi mereka dalam kehidupan di zamannya.

b. Memberikan wawasan kepada semua pihak, khususnya penggiat ilmu budaya atau

(5)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka tradisi lisan tentang khazanah

budaya dan tradisi lisan Nusantara.

c. Mengenalkan kepada khalayak pembaca bahwa tradisi lisan „upacara adat katoba‟ sarat dengan nilai-nilai kultural sehingga perlu dilestarikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat pendukungnya.

d. Mengembangkan dan

mempublikasikan nilai-nilai positif, kebenaran moral, nilai edukatif, sikap sosial, kearifan lokal kepada generasi kini dan generasi masa depan.

2) Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut.

a. Bagi masyarakat hasil penelitian ini dapat menumbuhkan motivasi dan sikap kepemilikan budaya, serta memberikan identitas kultural masyarakat pendukungnya.

b. Bagi pendidikan formal hasil penelitian ini dapat menjadi

inspirasi model pembelajaran di sekolah. Dalam perkataan lain, hasil penelitian ini akan diimplementasikan dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis tradisi lisan, khususnya apresiasi sastra lama.

c. Bagi masa depan budaya hasil penelitian ini dapat menjadi usaha revitalisasi dalam mencegah item-item budaya yang terancam punah di tengah kehidupan zaman yang terus bergulir.

d. Bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan referensi untuk meneliti objek-objek yang relevan dengan penelitian ini.

B.KAJIAN TEORI

Anthony Giddens

mengemukakan bahwa globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial world-wide, yang saling menghubungkan lokalitas yang jauh. Akibatnya, sesuatu yang bersifat lokal selalu dipengaruhi apa yang terjadi di

(6)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka dunia luar. Sementara Wallerstein

menyebut globalisasi sebagai “proses integrasi tiada akhir”.Bahkan diyakini proses ini telah bergerak bebas menjangkau batas fisik dan imajiner negara-bangsa. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Benedict Anderson tentang nationalism and imagined community (Giddens, 1990: 64-65). Globalisasi menciptakan suatu kondisi budaya baru yang dianggap sebagai budaya modern dengan berbagai standar yang telah dikonstruksi dan dicitrakanseolah-olah menjadi kebutuhan dasar masyarakat.

Globalisasi beserta dampaknya merupakan tantangan bagi dunia pendidikan dan menciptakan peluang baru lahirnya inovasi-inovasi pendidikan. Kesadaran dan pemahaman terhadap globalisasi dengan segala aspeknya merupakan langkah strategis untuk memperbaiki aspek pendidikan. Sebaliknya pendidikan juga memiliki peran penting dalam menciptakan pemahaman seseorang. Gardner (2004: 252-258) menyatakan bahwa tantangan globalisasi terhadap

pendidikan adalah ditandai adanya ketegangan antara laju perubahan kelembagaan pendidikan dan organisasi sosial, ekonomi dengan transformasi budaya yang cenderung cepat.

Pendidikan mengalami perubahan karena adanya pergeseran nilai-nilai dan temuan ilmiah, sehingga berimplikasi terhadap pemahaman kerangka pikir manusia. Sebagaimana dijelaskan Harvey (1996: 250-251) bahwa salah satu wacana dominan era globalisasi adalah hipotesis tentang “homogenitas budaya”. Prediksi ini didasarkan asumsi bahwa proses perubahan global yang didukung perkembangan pengetahuan dan media teknologi akan melahirkan budaya dunia yang homogen. Pada akhirnya, perubahan tersebut akan mengakibatkan hilangnya pengalaman, pemahaman, dan kepercayaan generasi muda terhadap keragaman budaya.

Kuatnya arus globalisasi yang dapat melemahkan nilai-nilai dan tradisi masyarakat lokal, mendorong manusia untuk berkreasi dan berkarya

(7)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka secara kreatif dengan berlandaskan

pada moral dan nilai yang diyakini kebenarannya, serta keterujiannya. Upaya menggali, menemukan, membangun, mengembangkan, dan mentranforisikan moral dan nilai berasal dari keunggulan lokal karena kearifannya menjadi suatu kebutuhan (Maryani, 2011: 45). Nilai-nilai budaya lokal yang unggul harus dipandang sebagai warisan sosial. Manakala budaya tersebut diyakini memiliki nilai yang berharga bagi kebanggaan dan kebesaran martabat bangsa, maka transmisi nilai budaya kepada generasi penerus merupakan suatu keniscayaan. Namun pada kenyataan saat ini budaya lokal yang lebih sesuai dengan karakter bangsa semakin sulit diwujudkan, sementara itu budaya global lebih mudah merusak kehidupan masyarakat (Judistira, 2008: 35-37).

Freire (2002: 82) mengemukakan bahwa konsep pendidikan harus terbuka pada pengenalan realitas diri, atau praktik pendidikan harus mengimplikasikan konsep tentang manusia dan dunianya, agar manusia menjadi

subyek bagi dirinya sendiri. Perlu adanya model pendidikan dan pembelajaran yang tepat, agar siswa tidak terasing dari akar budayanya. Upaya mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam proses pembelajaran untuk menumbuhkan apresiasi budaya sejak dini melalui pendidikan telah menjadi keinginan semua pihak. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kusmahidaya (2010: 12) bahwa budaya dan seni perlu dijadikan bagian penting dalam proses pendidikan di sekolah. Namun demikian dalam mengelola nilai-nilai tradisi lokal perlu daya kreatifitas sehingga nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan secara efektif.

Nilai-nilai tradisi lokal tersirat dalam berbagai tradisi lisan. Tradisi lisan menurut rumusan UNESCO (Hutomo, 1991: 11) bahwa yang dinamakan tradisi lisan itu adalah ”those traditions which have been transmitted in time and space by the word and act”, yang artinya kurang lebih bahwa tradisi yang ditransmisi dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan tindakan.

(8)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka Dalam kerangka besar korpus

tradisi lisan terdapat filsafat, sejarah, nilai-nilai moral, etika, religius, hukum adat, struktur dan organisasi sosial, sastra, dan estetika (Djuweng, 2008: 169). Tradisi lisan secara langsung maupun tidak langsung dapat menghubungkan generasi masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Tradisi lisan tertentu menjadi pedoman berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam konteks kehidupan kolektif masyarakat pemiliknya. Jika hal itu dilakukan sebagai sesuatu yang positif, maka fungsi tradisi lisan sudah menjadi konkrit sebagai suatu kearifan lokal.

C.METODOLOGI PENELITIAN Ada beberapa hal yang sepertinya menjadi spesifikasi dari ranah kajian tradisi lisan bahwa kajian ini merupakan kajian yang cukup kompleks. Kekompleksan kajian tradisi lisan dapat disebabkan oleh nuansa tuturan verbal, simbol tertentu, gerakan, dan makna yang terintegrasi dalam sebuahbentuk kegiatan sakral. Dapat dikatakan jika penelitian tradisi lisan merupakan

perpaduan antara kajian sastra dan kajianantropologi. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan strukturaldan pendekatanantropologi

budaya.Pendekatan struktural adalah kajian tentang teks sastra untuk menggali makna teks dan keseluruhan komponen yang membangun sistem (bentuk dan isi), baik yang tersurat maupun yang tersirat, sedangkan pendekatan antropologi budaya sebagaimana pada umumnya adalah kajian tentang manusia ditinjau dari sudut sejarah kebudayaannya (konteks budaya masyarakat) untuk menggali makna estetik dan filosofis suatu kebudayaan masyarakat tertentu.

Penelitian ini berada di wilayah Kota Kendari di mana peneliti menetapkan simpul-simpul komunitas orang Muna. Adapun data terdiri atas dua macam, yakni data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah data-data uraian mengenai unsur-unsur tradisi lisan (upacara adat katoba). Adapunpemerolehan

(9)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka datanyadilakukan melalui observasi

partisipan, dokumentasi dan wawancara dengan para informan (data lisan). Data sekunder adalah berasal dari referensi buku, makalah, jurnal, atau bahan bacaan lainnya (data tertulis) yang relevan dengan penelitian. Setelah seluruh data dari bentuk tradisi lisan dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah tahap analisis data. Pada tahap ini dilakukan beberapa kegiatan yakni: (1) pemilihan data, baik data lisan maupun data tertulis, (2) reduksi data, (3) interpretasi data, (4) pendeskripsian data, dan (5) penulisan hasil penelitian dan pembahasan. Setelah penulisan hasilpenelitian dan pembahasan, akan dilanjutkan dengan uraian implikasinya terhadap dunia pendidikan. Implikasi tersebut akan dirancang sedemikian rupa untuk dimanfaatkan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam kurikulum 2013.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hakikat, Proses, dan Tuturan

Pogau Toba dalam Pelaksanaan

Upacara Adat Katobapada Masyarakat Muna

Dalam tradisi masyarakat suku Muna, katoba merupakan bagian dari prosesi pengislaman bagi anak-anak (laki-laki maupun perempuan) yang baru beranjak usia dewasa (7 – 10 tahun). Menurut riwayatnya, tradisi ini telah dimulai sejak zaman pemerintahan raja Muna ke-16 bernama La Ode Abdul Rahman gelar Sangia Latugho (1671 – 1718). Diperkirakan La Ode Abdul Rahman menerima tradisi ini dari salah seorang sufi keturunan Arab bernama Syarif Muhammad yang biasa dikenal pula dengan nama Saidhi Raba (La Niampe, 2008: 1).

Prosesi katoba didahului dengan tahap penyunatan atau pengkhitanan. Menurut pandangan adat Muna, penyunatan yang dirangkaikan dengan katoba adalah wajib bagi setiap anak yang menjelang dewasa. Setelah melalui prosesi ini barulah dinyatakan sah memeluk agama Islam terutama belajar membaca kitab suci Al-Qur‟an dan belajar melaksanakan sholat wajib, serta belajar adat terutama

(10)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka diawali dengan mendengarkan nasihat

atau ajaran dari kedua orang tua (La Niampe, 2008: 1).

Upacara katoba dapat dilaksanakan secara perseorangan dan dapat pula dilaksanakan secara berkelompok (antarkeluarga dalam satu rumpun), tergantung hasil kesepakatan dan kemampuan ekonomi orang tua atau rumpun keluarga tersebut. Upacara katoba dapat dilaksanakan semeriah mungkin, namun dapat pula dilaksanakan sesederhana mungkin. Terpenting adalah hadirnya empat unsur pokok; tokoh agama merangkap tokoh adat (penutur katoba), anak yang ditoba (objek tuturan), kerabat terdekat yang memangku sang anak pada waktu ditoba, dan keluarga terdekat yang bertindak sebagai saksi pelaksanaan prosesi katoba (La Niampe, 2008: 1).

Katoba pada masyarakat suku Muna merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan kehidupan dari para warga masyarakat Muna yang bersumber dari warisan kebudayaan suku bangsa itu. Dalam pelaksanaannya, katobamenggunakan

media bahasa lisan/tuturan yang pokok ajarannya adalah pesan kemanusiaan untuk memahami dan mengimplementasikan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut ajaran agama (Islam) dan ajaran adat yang diakui secara kolektif.

Tradisi katoba adalah persiapan mental seorang anak yang akan memasuki usia menjelang dewasa. Kepadanya diberikan bekal

pengetahuan bagaimana

memperlakukan orang tua, saudara-saudaranya, serta perilaku dalam lingkungannya sebagai manifestasi dari pengamalan ajaran agama. Di samping itu, juga diberikan petuah-petuah bagaimana menjauhi hal-hal terlarang menurut adat dan agama. Semua itu dilakukan dalam upaya menjadikan anak menjadi manusia yang berguna, dan tidak menjadi manusia yang sia-sia (Magara, 2010: 16-17).

Upacara adat katoba sebagai bagian dari budaya masyarakat Muna memiliki muatan ajaran agama dan nasihat karakter atau ajaran moral. Semua prosesi dan tuturan dari

(11)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka upacara adat ini merupakan suatu

konvensi yang dipegang teguh oleh masyarakat pendukungnya yang diharapkan memberikan rahmat dan petunjuk hidup bagi yang melaksanakannya.Seperti pada upacara-upacara adat lainnya, upacara adat katoba masyarakat suku Muna dalam pelaksanaannya bersifat tradisional. Dalam hal ini, segala bentuk properti upacara dan tata cara

pelaksanaannya masih

mempertahankan nuansa tradisional. Tentunya, karena adanya pengaruh Islam, jadi segala sesuatu yang ada di dalamnya dibungkus oleh syariat Islam. Istilah katoba pada masyarakat suku Muna juga populer disebut dengan istilah ”pengislaman” Dengan demikian, upacara adat katoba pada masyarakat Muna merupakan upacara yang bernuansa Islam dan bersifat tradisional yang pelaksanaannya diyakini memiliki nilai kesakralan, berisi pesan kemanusiaan, mengandung nilai-nilai luhur, dan dianggap penting sebagai landasan seseorang dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Adapun isi tuturan pogau toba dalam upacara adatkatoba adalah sebagai berikut.

a. Kata Pembuka

Pada bagian ini, imam menyampaikan kepada hadirin (orang tua atau wali anak yang ditoba, kerabat dekat dan pemangku anak) perihal menyampaikan kata-kata tobat kepada anak yang akan ditoba. Adapun isi tuturannya debagai berikut:

Imam: Datumobadamo anahi ini (kolektif)

„Akan ditoba anak-anak ini‟ Hadirin : Umbe (serentak)

‟ya‟

Imam : atumobaemo anahi ini (tunggal)

„Akan ditoba anak-anak ini‟ Hadirin : Umbe (serentak)

‟ya‟

Imam : Atumobakoomo ini (kolektif)

„Akan saya toba kalian ini‟ Anak-anak : Umbe (serentak)

‟ya‟

Imam : atumobakomo ini (tunggal)

„Akan saya toba kalian ini‟ Anak-anak : Umbe (tunggal)

‟ya‟

b. Mengucapkan Kalimat

Istigfar

Setelah mengucapkan kata-kata pembukaan, baik yang ditujukan

(12)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka kepada hadirin maupun kepada anak

yang akan ditoba, kemudian mengucapkan kalimat istighfar yang ditujukan kepada anak-anak yang ditoba. Kalimat ini disampaikan sampai tiga kali, setiap kali diulangi atau ditirukan oleh anak-anak yang ditoba. Adapun isi tuturannya sebagi berikut:

Imam : astagfirullahul Adzim Anak : astagfirullahul Adzim Imam : astagfirullahul Adzim Anak : astagfirullahul Adzim Imam : astagfirullahul Adzim Anak : astagfirullahul Adzim

c. Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat

Pengucapan lafal dua kalimat syahadat oleh imam sama dengan pengucapkan pada lafal kalimat istighfar, yaitu diucapkan selama tiga kali, kemudian setiap kali diulangi atau ditirukan oleh anak-anak yang ditoba. perbedaannya adalah kalimat istighfar diucapkan satu kesatuan sedangkan pengucapnya dua kalimat syahadat tidak dilakukan dalam satu kesatuan, akan tetapi terdapat satu kali penghentian seperti berikut ini:

Imam : Asyhadu Allah ilaha Ilallah Anak : Asyhadu Allah ilaha Ilallah Imam : wa ashadu anna

Muhammadar Rasulullah Anak : wa ashadu anna Muhammadar Rasulullah

Imam : Asyhadu Allah ilaha Ilallah Anak : Asyhadu Allah ilaha Ilallah Imam : wa ashadu anna

Muhammadar Rasulullah Anak : wa ashadu anna Muhammadar Rasulullah

Imam : Asyhadu Allah ilaha Ilallah Anak : Asyhadu Allah ilaha Ilallah Imam : wa ashadu anna

Muhammadar Rasulullah Anak : wa ashadu anna Muhammadar Rasulullah

d. Mengucapkan Arti Kalimat dalam Bahasa Muna

Setelah mengucapkan dua kalimat syahadatdalam bahasa Arab kemudian imam mengucapkan artinya dalam bahasa Muna. pengucapan ini tidak lagi ditirukan atau diulangi oleh anak-anak yang ditoba sebagaimana pengucapkan pada kalimat istighfar dan dua kalimat syahadat seperti tersebut di atas, akan tetapi anak-anak menjawab dengan jawaban ”umbe”atau ”ya”. Adapun isi tuturan adalah sebagai berikut:

Imam : Asumakusiimo, sakotu-kotughuno mina bhe ompu soni somba sapaeno ompu Allah Taala

‟Aku bersaksi sebenar-benarnya tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah Taala‟

(13)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka ‟ya‟

Imam : Maka asumakusiigho tora, sakotu-kotughuno mina bhe omputo anabi Muhammadi kantudu-ntuduno Allah Taala soni.

‟Kemudian aku bersaksi pula, sebenar-benarnya Nabi Muhammad adalah suruh-suruhan Allah Taala‟ Anak : Umbe

‟ya‟

e. Menyampaikan Nasihat

tentang Ajaran Adat dan Agama Secara Terintegrasi

Nasihat ini disampaikan oleh imam kepada anak yang ditoba, anak menjawab ”Umbe” sebagai pertanda pengakuan atau keyakinan. adapun isi tuturannya adalah sebagai berikut:

Imam : Motehie amamu, kapae amamu itu lansaringino kabolosino ompu Allah Taala.

‟Takutilah ayahmu, karena ayahmu itu ibarat penggati Allah Taala‟

Anak : Umbe ‟ya‟

Imam : Motehie inamu, kapae inamu itu lansaringino kabolosino anabi Muhammadi.

‟Takutilah ibumu, karena ibumu itu ibarat penggati Nabi Muhammad‟

Anak : Umbe ‟ya‟

Imam : Motehie isamu, kapae isamu itu lansaringino kabolosino malaekati

‟Takutilah kakakmu, karena kakakmu itu ibarat penggati malaikat‟

Anak : Umbe ‟ya‟

Imam : Moasiane aimu, kapae aimu itu lansaringino kabolosino muumini

‟Sayangilah adikmu, karena adikmu itu ibarat penggati mukminin‟ Anak : Umbe

‟ya‟

Kemudian imam melanjutkan dengan penjelasannya secara singkat seperti tuturan berikut:

Imam : Omoghondohi Ompu Allah Taala omaiane nehamai; amamu itu kabolosino Ompu Allah Taala mentaleano. Nikondando ama maitu suano kaawu amamuoomu sakotu-kotughuno, taaka lahae-lahae membalino kamokula moghane amamuo itu tabeano dotehie itu.

‟Mencari Tuhan Allah Taala akan didapat di mana, ayahmu itu perumpamaan penggantinya yang nyata, yang disebut ayah itu bukan saja ayah yang sesungguhnya, akan tetapi siapa saja laki-laki yang sudah tua, melainkan ditakuti itu‟

Anak : Umbe ‟ya‟

Imam : Omoghondohi omputo anabi Muhammadi omaiane nehamai; inamuo itu kabolosino Omputo anabi mentaleano. Nikonando inandomo itu suano kaawu ina mentobusaangko ne dunia ini, taaka lahae-lahae membalino kamokula

(14)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka robhine, inamuo dua itu, tabeano

dotehie itu.

‟Mencari nabi Muhammad, dimana akan didapat, ibumu itulah penganti nabi Muhammad yang nyata. yang disebut oerang tua perempuan itu bukan hanya ibu yang melahirkan kita di dunia ini, akan tetapi siapa-siapa perempuan yang telah tua, ibumu juga itu, melainkan ditakuti juga.‟

Anak : Umbe ‟ya‟

Imam : Omoghondohi malaikati omaiane nehamai; isamuo itu kabolosino malaikati mentaleano. Nikonando isando itu suano kaawu kapokakutahando ghule, taaka lahae-lahae foliuno umuru isamuo dua itu, tabeano dotehie itu.

‟Mencari malaikat akan didapat di mana, kakakmu itulah penggati malaikat yang nyata. yang disebut kakak itu, bukan saja kakak saudara kandung kita, akan tetapi siapa saja yang melebihi umurmu kakakmu juga itu, melainkan ditkuti juga.‟

Anak : Umbe ‟ya‟

Imam : Okoasigho o ne ai maitu bea dapotooane be kaasigho ne mie bhari. Nikonando ai maitu suano kaawu ai kapokakutaha ghule, taaka lahae-lahae niliumu umuru, aimuo itu, tabeano doasiane itu.

‟Kasihsayang kepada adik-adik itu disamakan dengan kasih sayang dengan orang banyak. Yang disebut adik itu, bukan saja adik

kandungmu, akan tetapi siapa saja di bawah umurmu, sudah adikmu itu, melainkan disayangi itu.

2. Nilai-Nilai Luhur TuturanPogau Toba dalam Upacara Adat Katoba pada Masyarakat Muna

Tuturan katoba yang disampaikan secara lisan oleh imam (penutur) kepada anak-anak (objek tuturan) yang beranjak dewasa (7-10 tahun) pada hakikatnya merupakan bagian dari tradisi pengislaman di Muna yang telah berlangsung secara turun-temurun. Pertama-tama imam mengajarkan kalimat istighfar dengan menggunakan metode penyampaian secara lisan. Agar menjadi jelas, imam mengucapkan sampai tiga kali dan anak pun menirukan ucapan imam sampai tiga kali pula. Setelah itu imam mengajarkan dua kalimat syahadat dengan menggunakan metode penyampaian secara lisan pula, diucapkan sebanyak tiga kali dan anak pun menirukan ucapan imam sebanyak tiga kali pula. Setelah mengikrarkan dua kalimat syahadat ini, kemudian dilanjutkan dengan tuturan katoba yang mengandung ajaran budi pekerti yang bersifat

(15)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka Islami. Imam mengajarkan agar takut

kepada Tuhan, takut kepada nabi Muhammad, takut kepada malaikat dan menyayangi sesama umat manusia. Agar hal-hal tersebut menjadi lebih dekat dan nyata dalam kehidupan sang anak, imam menggunakan pendekatan tassawuf, filsafati, atau yang dalam dunia pengajaran modern dikenal dengan pendekatan kontekstual, yaitu hal-hal yang bersifat abstrak diwujudkan dalam bentuk yang konkret sehingga anak mudah memahaminya. Takut kepada Tuhan ditamsilkan takut kepada orang tua laki-laki, takut kepada nabi Muhammad ditamsilkan takut kepada orang tua perempuan, takut kepada malaikat ditamsilkan takut kepada yang lebih kakak dan menyayangi sesama manusia ditamsilkan menyayangi yang lebih muda usia.

Setelah melalui prosesi katoba, kemudian anak-anak itu diwajibkan belajar membersihkan tinja (alano oe), belajar membaca kitab suci Al-Qur‟an, belajar sholat yang wajib, serta wajib mendengarkan nasihat orang tua,

tokoh-tokoh agama serta orang-orang tua adat dalam kampung. Sebelum melalui prosesi katoba, dan memahami cara membersihkan tinja sebagaimana ajaran guru tinja (alano oe) maka anak-anak belum diwajibkan membaca Al-Qur‟an, melaksanakan sholat wajib serta mendengarkan nasihat tentang ajaran agama dan ajaran adat.

Menurut pandangan tokoh-tokoh adat di Muna, sejauh mana keberhasilan seorang anak memahami tuturan tentang katoba akan diketahui melalui tingkah laku, perbuatan, dan tutur kata keseharian anak itu setelah menunjukkan usia dewasa. Dalam usia yang sudah dewasa itu, ternyata ia memperlihatkan sopan-santun yang baik, perbuatan terpuji, bertutur kata yang baik yang berwujud pada sifat takut kepada orang yang memiliki kelebihan taat menjalankan ajaran agama Islam, maka tokoh-tokoh agama dan para tokoh adat akan mengatakan bahwa orang itulah yang memahami makna tuturan katobanya. Akan tetapi apabila anak itu memperlihatkan sifat yang tidak terpuji, tutur kata dan perbuatan yang

(16)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka tidak baik, seperti memperlihatkan

sifat tidak takut kepada orang yang lebih tua, tidak memelihara hati orang sesama usianya, tidak menyayangi orang yang lebih muda usianya, iri kepada orang yang memiliki kelebihan, apabila telah kawin sering menyakiti hati dan fisik istrinya, menceraikan istrinya, sering kawin cerai, dan lain-lain, maka para tokoh agama dan tokoh adat akan mengatakan bahwa orang itu tidak memahami lagi makna tuturan katobanya.

3. Strategi Implementasi Tradisi Lisan dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Pannen (2013)

mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis budaya merupakan salah satu pembelajaran yang saat ini sedang dikembangkan di berbagai negara. Pembelajaran berbasis budaya ini membawa budaya lokal ke dalam proses pembelajaran beragam mata pelajaran di sekolah secara terpadu. Ini berarti juga bahwa konten tradisi lisan (sastra) sulit dilepaskan dari pendidikan secara umum. Terjadinya proses internalisasi nilai-nilai luhur

tradisi lisan dalam diri peserta didikakan berdampak positif cukup luas, bahkan menyentuh segenap aspek kehidupan peserta didik. Rahmanto (1988: 16) bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan

pengetahuan budaya,

mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.

Dalam tradisi lisan banyak hal yang ditampilkan, seperti bahasa suatu komunitas, pola hidup, kebiasaan, sikap individual, sikap kelompok, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Pembelajaran tradisi lisan pada lembaga pendidikan seharusnya mampu menjadi guiding light yang berfungsi untuk menuntun manusia berbudi pekerti luhur (Khisbiyah, 2003). Rahmanto (1988: 16) bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan

(17)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka

pengetahuan budaya,

mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.

Dalam pembelajaran bahasa dan sastra berbasis tradisi lisan, kaitan dengan mempertajam kepekaan, minat, dan perhatiannya terhadap kehidupan faktual maka terdapat beberapa strategi dan langkah yang dapat dilakukan yaitu: (1) identifikasiunsur-unsur budaya; pada tahap ini peserta didik diarahkan untuk mengidentifikasi produk-produk budaya yang ada di dalam masyarakat.Budaya yang masih dilaksanakan ataupun yang sudah punah diidentifikasi. Seperti, cerita rakyat, mantra, dongeng, legenda, mite, upacara adat, nyanyian rakyat, makanan tradisional, arsitektur tradisional, dan lainnya; (2) identifikasi masalah budaya; pada tahap inipeserta didik ditantang untuk dapat memilih bentuk dan konten budaya yang seperti apa yang akan dipelajarinya. Dari sekian contoh yang dipaparkan pada poin (1) di atas, peserta didik dapat memilih salah satunya, serta mendiagnosis masalah apa yang terjadi dalam produk budaya

yang dipilihnya; (3) penjelajahan budaya; pada tahap ini guru harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyaksikan langsung (terjun ke lapangan), bahkan berpartisipasi langsung pada penyelenggaraan budaya; (4) interpretasi dan analisis; dari hasil penjelajahan yang telah mereka lakukan, peserta didik ditantang untuk melakukan interpretasi dan analisis budaya. Kemudian guru memberikan pertanyan-pertanyaan mengenai temuan dan kesan mereka terhadap budaya yang dipelajarinya; (5) evaluasi; pada tahap ini guru berdiskusi dengan peserta didik perihal temuan-temuan yang mereka dapatkan selama proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis tradisi lisan ini. Hasil diskusi diarahkan pada rekomendasi tentang usaha yang akan dilakukan untuk melestarikan atau merevitalisasi kebudayaan tersebut; dan (6) rekreasi budaya; guru mengajak peserta didik melakukan wisata budaya ke daerah tertentu untuk merasakan keunikan dan keanekaragaman budaya bangsa.

(18)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka Pembelajaran bahasa dan

sastra Indonesia berbasis tradisi lisan pada dasarnya berbicara tentang dua hal pokok, yakni bentuk dan isi dari tradisi lisan. Argumen ini dapat dirangkum pada bagan sebagai berikut.

Bagan: Objek kajian tradisi lisan (Sibarani, 2012: 244)

Belajar tentang bentuk tradisi lisan, peserta didikakan memahami teks, ko-teks, dan konteks budaya yang dipelajarinya. Sedangkan isi tradisi lisan, akan mempertinggi pengertian peserta didik tentang makna, fungsi, nilai, dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.

Sibarani (2012:244) menyatakan bahwa penelitian (termasuk pembelajaran) tradisi lisan harus mampu menjelaskan tiga komponen besar tradisi lisan, yakni bentuk, isi, dan model revitalisasi. Bentuk mencakup teks, ko-teks, dan konteks. Isi mencakup makna atau fungsi, nilai atau norma budaya, dan kearifan lokal. Model revitalisasi mencakup penghidupan/pengaktifan kembali, pengelolaan, dan proses pewarisan tradisi lisan, serta kearifan lokal kepada komunitas pendukungnya. Bagian dari model revitalisasi dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan.

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis tradisi lisan paling tidak harus menunjukan tiga landasan keilmuan yaitu: (1) landasan ilmu kebahasaan; artinya bahwa aspek-aspek kebahasaan dalam proses pembelajaran memberikan ruang bagi diskusi dan dialog aspek kebahasaan, seperti frasa, kata, klausa, kalimat, paragraf, wacana, dan lainnya; (2) landasan ilmu sastra; artinya bahwa aspek-aspek sastra dalam proses pembelajaran memfasilitasi keperluan TRADISI LISAN

BENTUK ISI

TEKS, KO-TEKS, DAN KONTEKS (STRUKTUR, ELEMEN, DAN KONDISI)

FORMULA

NILAI DAN NORMA (FUNGSI DAN

MAKNA) KEARIFAN LOKAL

REFITALISASI

PENGHIDUPAN KEMBALI, PENGELOLAAN, PEWARISAN

PEMBANGUNAN KARAKTER-IDENTITAS

KEDAMAIAN-KESEJAHTERAAN BANGSA

(19)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka peserta didik untuk belajar ilmu

sastra, yaitu teori sastra, kritik sastra, sejarah sastra, dan ekspresi sastra, dan (3) landasan ilmu budaya (tradisi lisan); artinya bahwa dalam pembelajaran mengintegrasikan karakter budaya dan kearifan lokal yang bernilai positif.

Suatu pembelajaran selayaknya dapat menunjang potensi dan bakat tertentu yang dimiliki peserta didik. Peserta didik didorong untuk menggunakan akalnya, berpikir kritis, inovatif dan kreatif, serta motivasinya. Strategi yang dibuat dapat menjadi media pengekspresian pengalaman, pemahaman, dan pengetahuan peserta didik tentang ihwal tradisi lisan. Perlu pula dicatat di sini, bahwa sebuah strategi diusahakan memuat karakteristik keilmuan pembelajaran bahasa dan sastra itu sendiri.

Dampak yang diharapkan dari upaya pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis tradisi lisan yaitu: (1) peserta didik lebih mengenali dan menghargai tradisi lisan sebagai karya sastra daerahnya yang mengandung nilai-nilai luhur. Hal ini merupakan

bagian penting dari apresiasi budaya, (2) peserta didik dapat memperoleh pengetahuan tambahan tentang puisi lama, (3) para guru bahasa dan sastra Indonesia dapat memanfaatkan tuturan pogau tobasebagai alternatif bahan ajar untuk pengajaran sastra lama atau muatan lokal di sekolah.

E. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa tuturan katoba mengandung makna yang luhur yang berisi tentang ajaran agama (Islam) serta ajaran adat yang menyertainya. Ajaran-ajaran ini sangat penting untuk diikuti sebagai

penyeimbang kehidupan

bermasyarakat sekaligus mencegah kemerosotan moral yang melanda bangsa Indonesia. Adapun empat aspek pokok yang saling berhubungan mengenai keseimbangan kehidupan bermasyarakat dalam konsep katoba pada masyarakat Muna adalah sebagai berikut:1) Pengakuan ucapan dua kalimat syahadat ‟Asyhadu Allah ilaha Ilallah wa ashadu anna Muhammadar Rasulullah’ yang berarti bahwa masyarakat Muna

(20)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka mengakui bahwa tidak ada Tuhan

yang disembah selain Allah dan mengakui pula bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah,2) Melaksanakan segala perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, 3) Pomoa moasigho (saling menyayangi), poangka-angkata (saling menghormati), poadha adhati (saling menghargai) dan pobini-binikuli (saling menjaga perasaan), serta 4) tidak mengambil hak milik orang lain.

Tradisi lisan pogau toba dalam upacara katoba mengandung ajaran agama (Islam) dan ajaran adat yang mengandung nilai-nilai luhur. Upaya mengintegrasikan nilai-nilai luhur tradisi lisan tersebut dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi penting. Adapun strategi yang dapat ditempuh dalam pembelajaran ini yaitu: 1) identifikasi unsur-unsur budaya, 2) identifikasi masalah budaya, 3)penjelajahan budaya, 4)interpretasi dan analisis bentuk dan nilai budaya, 5)evaluasi, dan 6) rekreasi budaya. Upaya ini diharapkan dapat: 1) menyelamatkan tradisi lisan dari ancaman kepunahan,

2) menumbuhkan sikap kepemilikan budaya dan tradisi daerah, 3) menumbuhkan pada diri peserta didik rasa bangga dan optimis terhadap budaya daerahnya sendiri, 4) mengakrabkan warisan budaya atau tradisi lisan kepada peserta didik, dan 5) sebagai media untuk mendidik dan mengajarkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik. Nilai-nilai luhur yang dipaparkan tersebut sangat sesuai untuk diterapkan dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia karena dapat memberikan pemahaman dan penghayatan kepada peserta didik tentang perilaku yang patut diteladani dan yang harus dijauhi.Dampak yang diharapkan dari upaya pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis tradisi lisan yaitu: (1) peserta didik lebih mengenali dan menghargai tradisi lisan yang digunakannya sebagai karya sastra daerahnya yang mengandung nilai-nilai luhur. Hal ini merupakan bagian dari apresiasi budaya, (2) peserta didik dapat memperoleh pengetahuan tambahan tentang puisi lama, (3) para guru bahasa dan sastra Indonesia dapat memanfaatkan tuturan pogau

(21)

Sarmadan

Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka tobasebagai alternatif bahan ajar

untuk pengajaran sastra lama atau

muatan lokal di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Freire, Paulo. 1973. Education for Critical Consciosness. New York: Continum Publishing Company.

Khisbiyah, Yayah. 2002. Pendidikan Apresiasi Seni untuk Multikulturalisme. Makalah disajikan dalam seminar Planning Meeting dalam rangka Mendesain Program PAS, STSI Surakarta, 13 Desember 2002.

Kusmahidaya, Y. 2010. Agama dalam Transformasi Budaya Nusantara. Bandung: Bintang Wali Atika.

Gardner. 2004. How Education Changes: Considerations of History, Science, and Values, (Edited). Marcelo M. Suarez-Orozco and Disiree Baolian Qin-Hilliar.

Giddens, Anthony. 1990. The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary.

Harvey, D. 1996. The Condition of Postmodernity, Cambridge. MA & London, UK: Blackwell.

La Niampe. 2008.Tuturan Tentang Katoba dalam Tradisi Lisan Muna: Deskripsi Nilai dan Fungsi.Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Lisan VIWakatobi – Sulawesi Tenggara, 1 – 3 Desember 2008.

Magara, Irma. 2010. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Tuturan Katoba pada Masyarakat Mawasangka. Skripsi tidak diterbitkan. Kendari: FKIP Universitas Haluoleo.

Maryani, Enok. 2011. Pengembangan Program Pembelajaran IPS Untuk Peningkatan Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta.

Pannen, Paulina. 2003. Pembelajaran Berbasis Budaya FKIP-UT. Makalah disajikan dalam Seminar di Yogyakarta, 12 – 13 Mei 2003.

Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Sarmadan. 2011. Makna Tuturan dalam Upacara Adat Katobapada Masyarakat Muna. Skripsi tidak diterbitkan. Kendari: FKIP Universitas Haluoleo. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi

Referensi

Dokumen terkait

Basis Data biasanya merupakan salah satu bagian dari suatu sistem informasi yang besar yang antara lain terdiri dari:.

kering (kadar air maks 1%). Filler yang digunakan pada penelitian ini adalah semen Portland. Fungsi filler dalam campuran adalah:.. 1) Untuk memodifikasi agregat halus

Telah memuat alur penelitian dengan diagram alir penelitian yang menggambarkan apa yang akan dikerjakan dan yang sudah dilaksanakan dalam bentuk diagram tulang

Contoh jenisnya antara lain meranti tembaga ( Shorea leprosula ), meranti layang (Shorea pinanga) yang memiliki pohon besar, tepi daun rata, corola merah muda, sayap buah tiga

Dengan mengasumsikan waktu tempuh kendaraan dari persimpangan Kantor Pos hingga Gandomana sekitar 40 detik dan dari Gondomanan hingga Bintaran sekitar 32 detik, maka total

Puji syukur Allah SWT penulis memanjatkan atas segala rahmat dan anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Studi Komparasi Daun Seledri

Pada saat membersihkan telinga, hindari membersihkan bagian dalam telinga bayi karena dapat mengakibatkan serumen (cairan lilin telinga) yang bercampur debu atau kotoran

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan model matematika hubungan antara parameter kualitas pengeringan minyak jarak pagar dengan waktu pengeringan, menentukan model