• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUDA-HUDA/ TOPING-TOPING: SUATU TARIAN DALAM UPACARA KEMATIAN USIA LANJUT PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUDA-HUDA/ TOPING-TOPING: SUATU TARIAN DALAM UPACARA KEMATIAN USIA LANJUT PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

HUDA-HUDA/ TOPING-TOPING

:

SUATU TARIAN DALAM UPACARA KEMATIAN USIA LANJUT

PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

Setia Dermawan Purba

Namatei Sayurmatua adalah upacara ritual kematian orang Simalungun yang telah lanjut  usia. Pesta besar diadakan dalam rangka ritual ini. Salah satu elemen penting dalam ritual  sayurmatua  adalah  toping‐toping,  sebuah  bentuk  Tari  Topeng  untuk  menyambut  para  pelayat dan menghibur keluarga yang ditinggalkan. Artikel ini membahas deskripsi, fungsi,  dan peranan toping‐toping dalam konteks upacara sayurmatua. 

Pendahuluan

Pada masyarakat Simalungun, terdapat suatu upacara kematian usia lanjut. Dalam bahasa Simalungun disebut namatei sayurmatua. Upacara ini dilaksanakan bagi seseorang yang meninggal dunia pada usia lanjut dan telah meninggalkan anak dan cucu. Upacara ini dilakukan untuk menghormati arwah orang yang meninggal melalui pesta besar dan penabuhan musik tradisi serta tari-tarian. Mengingat upacara ini mempunyai arti yang sangat penting bagi orang Simalungun, maka kematian usia lanjut merupakan pengharapan setiap insannya. Kematian pada usia lanjut berarti telah mendapatkan berkat, karena itu kematian untuk jenis ini tidak perlu lagi berduka. Mereka (keluarga yang ditinggalkan) melakukan pesta besar dan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang diberikan kepada orang tuanya.

Upacara kematian ini terdiri dari dua bagian yang disebut mandiguri, yaitu suatu acara yang dilakukan pada malam hari dengan memberikan penghormatan melalui penabuhan musik dan tari yang disuguhkan para keluarga yang ditinggalkan dengan cara menari mengelilingi jenazah. Sebagai musik pengiringnya adalah gonrang sipitu-pitu (seperangkat alat musik tradisi Simalungun yang terdiri dari tujuh buah gendang). Acara yang kedua adalah mangiliki, yaitu suatu upacara pada siang hari untuk menyambut para pelayat dengan menampilkan tarian topeng yang disebut huda-huda/ toping-toping. Tarian ini bertujuan untuk menghibur keluarga yang berduka dan sebagai hiburan bagi para pelayat. Sebagai musik pengiringnya adalah gonrang sidua-dua (seperangkat alat musik tradisi Simalungun yang terdiri dari dua buah gendang).

Manusia memiliki bebagai kebutuhan yang bersifat universal. Salah satu dari kebutuhan tersebut adalah kebutuhan integratif, yaitu kebutuhan yang muncul dan terpancar dari hakikat manusia sebagai mahluk pemikir dan bermoral (yang berbeda dari mahluk lainnya). Fungsinya adalah mengintegrasikan berbagai kebutuhan dan kebudayaan menjadi satu sistem yang bulat dan menyeluruh serta masuk akal bagi para pendukung kebudayaan tersebut, yang mencakup kebutuhan- kebutuhan:

a. Adanya perasaan benar-salah, adil-tidak adil, dan lain-lain.

b. Mengungkapkan perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen kolektif/ kebersamaan. c. Perasaan keyakinan diri (confidence) dari keberadaannya (existence).

d. Ungkapan-ungkapan estetika dan keindahan. e. Rekreasi dan hiburan (Parsudi Suparlan,1988:5).

Upacara yang dilakukan oleh masyarakat Simalungun, berupa acara penabuhan gendang dan penyajian tari pada upacara kematian usia lanjut, adalah suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan integratif melalui pengungkapan perasaan, keindahan, dan hiburan. Pengungkapan integratif ini dapat melalui kesenian yang merupakan salah satu dari unsur-unsur kebudayaan.

Sebagaimana diungkapkan Parsudi Suparlan (1987), kesenian merupakan unsur integratif yang mengikat dan mempersatukan pedoman-pedoman bertindak yang berbeda-beda menjadi suatu desain yang bulat, menyeluruh, dan operasional serta dapat diterima sebagai hal yang bernilai. Ia menjadi pengintegrasi yang merefleksi konfigurasi dari desain itu. Selanjutnya, Umar Kayam (1982:52) menyebutkan bahwa kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreatif dari kebudayaan itu sendiri.

(2)

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penyajian musik dan tari yang ditampilkan pada upacara kematian usia uzur itu tidak terlepas dari pemenuhan kebutuhan yang bersifat spiritual maupun material, dan merupakan ungkapan kreatif. Namun sayang, sekarang ini penampilan Tari Topeng pada upacara kematian usia lanjut sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Simalungun. Padahal tari ini merupakan ungkapan kreatif yang berfungsi untuk menghibur orang yang sedang berduka. Dan, menurut hemat saya, merupakan tarian yang memiliki nilai estetis yang tinggi.

Beberapa kendala yang dihadapi adalah Tari Topeng ini hanya dipertunjukkan saat ada orang yang meninggal dunia pada usia lanjut. Jadi intensitasnya sedikit sekali. Dengan jarangnya tari ini dipertunjukkan, maka generasi muda sudah banyak yang tidak mengenalnya lagi. Di samping itu, sudah jarang pula yang dapat memainkan Tari Topeng ini. Karena tari ini hanya dipertunjukkan pada upacara kematian usia lanjut, masyarakat Simalungun enggan menampilkannya pada kegiatan lain karena pemunculan Tari Topeng hanya berhubungan dengan upacara kematian. Jika kondisi ini tetap dipertahankan, maka kemungkinan besar Tari Topeng ini tidak dikenal lagi oleh masyarakat Simalungun. Maka, melalui Festival Topeng yang diadakan Masyarakat Musikologi Indonesia pada bulan November 1990 di Bandung, penulis memberanikan diri mengangkat Tari Topeng ini menjadi suatu seni pertunjukan yang ditampilkan di atas pentas. Tujuannya adalah untuk melestarikan Tari Topeng ke dalam bentuk seni pertunjukan, agar jangan hilang begitu saja. Sedangkan Tari Topeng yang sebenarnya tetap dipertahankan untuk mengisi acara pada upacara kematian usia lanjut.

Perkembangan Tari Topeng tersebut menyebabkan penggunaan dan fungsinya berubah. Semula hanya boleh digunakan oleh pihak keluarga kerajaan, kemudian berkembang dan dapat digunakan oleh masyarakat Simalungun dari lapisan mana pun, untuk menghibur keluarga yang berduka dan para pelayat. Sekarang sudah berubah pula dari segi fungsinya yang tidak saja sebagai hiburan bagi orang yang sedang berduka, tapi merupakan suatu seni pertunjukan untuk menghibur para penonton.

Melalui tulisan ini, penulis mendeskripsikan secara umum mengenai huda-huda/toping-toping dan melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada pengunaan dan fungsinya. Sebagai pelestariannya, perlu adanya suatu upaya menjadikannya sebagai seni pertunjukan yang mengacu kepada pertunjukan-pertunjukan seni yang dilakukan oleh orang Bali, guna memenuhi permintaan wisatawan. Demikian pula seni kemasan yang dilakukan oleh kalangan seniman-seniman di Yogyakarta.

Pengertian Huda-Huda/Toping-Toping

Pada masyarakat Simalungun dikenal suatu jenis Tari Topeng yang dipertunjukkan pada upacara kematian usia lanjut, yang disebut huda-huda/toping-toping. Masyarakat Simalungun mengenal kedua nama tersebut. Oleh karena itu, penulis menggunakan kedua nama tersebut sebagai nama dari Tari Topeng Simalungun yang dipertunjukkan pada upacara kematian usia lanjut (namatei sayurmatua).

Mereka menyebutnya huda-huda didasari oleh beberapa hal, antara lain:

1. Salah seorang dari pemainnya mempunyai bentuk dan ekor yang panjang, mirip seekor kuda (dalam bahasa Simalungun disebut huda).

2. Musik (gual) sebagai pengiring huda-huda disebut gual huda-huda, yaitu suatu jenis repertoar lagu yang ditabuh menggunakan seperangkat alat musik tradisional yang disebut gonrang sidua-dua.

3. Langkah atau gerakan kaki disebut lakkah huda-huda. Gerak badan penari pun mirip gerak seekor kuda. Oleh karena langkah dan gerak penari mirip gerak seekor kuda, maka tari ini disebut tari huda-huda..

4. Jika ada seseorang yang meninggal dunia usia lanjut, maka orang cenderung menyebut: “Sonaha...i huda-hudai do namatei sayurmatua ai?” (Artinya: apakah dimainkan huda-huda terhadap yang meninggal dunia usia lanjut tersebut?) Mereka tidak pernah menyebutnya: Sonaha...i toping do namatei sayurmatua ai?” (Artinya: apakah dimainkan toping-toping terhadap yang meninggal dunia usia lanjut tersebut?)

Jadi, mereka menyebutnya huda-huda karena huda-huda memainkan peranan yang penting. Berdasarkan hal-hal di atas, maka masyarakat Simalungun menyebut Tari Topeng huda-huda.

(3)

Pada pihak lain, mereka menyebutnya toping-toping. Adapun alasan mereka karena dua dari tiga orang pemainnya menggunakan topeng sebagai penutup mukanya, yang terdiri dari topeng berparas laki-laki dan berparas perempuan. Kedua penari topeng ini membawakan peran yang lucu sesuai dengan paras topengnya. Jika tarian ini dipertunjukkan, maka pemain topeng merupakan idola penonton yang mampu membuat orang tertawa. Karena para pemain menggunakan topeng (bahasa Simalungun: toping) sebagai penutup mukanya, maka masyarakat Simalungun menyebutnya toping-toping. Hal ini sejalan dengan pendapat Bandem (1976:1), bahwa topeng merupakan suatu benda penutup muka. Di sini maksud “tutup” yang dipakai adalah untuk menutupi muka manusia.

Pemain topeng tersebut tidak sekadar menutup mukanya, tetapi juga disertai dengan gerak, dan gerak tersebut harus pula seirama dengan musik pengiringnya. Dengan ungkapan melalui gerak ini, maka disebut tari, yaitu ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah (Soedarsono, 1978:3). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tari yang menggunakan topeng sebagai penutup mukanya dan disertai dengan berbagai bentuk gerak yang diiringi musik dan dipertunjukkan, maka tari seperti ini disebut Tari Topeng.

Kedua nama tersebut merupakan nama yang umum dikenal oleh masyarakat Simalungun. Oleh karena itu dalam penyebutan namanya, saya tidak memisahkan atau membedakan kedua nama tersebut, tapi menggunakan keduanya yang ditulis sekaligus, dan memberikan garis miring untuk menyatakan bahwa kedua nama itu dikenal oleh masyarakat Simalungun.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa huda-huda/toping-toping adalah salah satu jenis tarian Simalungun yang menggunakan topeng atau sejenisnya, dan penutup badan lainnya yang dipergunakan pada upacara kematian usia lanjut.

Asal-Usul Huda-Huda/Toping-Toping

Jika ditanyakan asal-usul huda-huda/toping-toping kepada masyarakat Simalungun, maka mereka menceritakan dengan versi yang berbeda-beda tetapi berasal dari suatu kisah kematian seorang putra raja.

Di bawah ini dikemukakan kisah terjadinya huda-huda/toping-toping sebagai berikut: Mulanya, terjadi musibah yang menimpa suatu keluarga kerajaan. Satu-satunya anak raja meninggal dunia dan permaisuri pun merasa sedih. Permaisuri tidak merelakan anaknya dikebumikan. Setelah beberapa hari ditunggu-tunggu, permaisuri tetap tidak mau melepaskan anaknya dari pangkuannya. Mendengar pengumuman raja, maka parpongkalan nabolon (sekelompok orang yang berkumpul pada suatu tempat pertemuan, biasanya barbincang-bincang), memikirkan suatu cara untuk membujuk sang permaisuri sekaligus menghibur hati yang duka. Maka mereka menciptakan gerakan-gerakan yang lucu dan menutup mukanya dengan paruh burung enggang, dan yang lainnya membuat topeng seperti monyet. Teman-teman yang lain membuat suara/bunyi-bunyian untuk mengiringi gerak-gerak yang lucu. Raja pun turun ke bawah melihat gerak tari yang ditampilkan. Ia merasa tertarik dan turut terhibur.

Melihat dan mendengar kejadian yang ada di halaman istana, permaisuri merasa tertarik dan ia pun turun ke bawah melihat dari dekat pertunjukan tadi. Melihat pertunjukan ini, sang permaisuri terlena dan lupa terhadap anaknya yang meninggal dunia tadi. Pada kesempatan inilah sang raja memerintahkan supaya putranya yang meninggal dunia dikebumikan dengan segera.

Sejak itu jika ada keluarga kerajaan yang meninggal dunia, maka parpongkalan nabolon membuat suatu pertunjukan yang lucu untuk menghibur keluarga yang berduka (diceritakan oleh Sadin Purba, desa Simbolon, Kecamatan Panei, Kab. Simalungun).

Dari kisah yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa awal diciptakannya huda-huda/toping-toping adalah untuk menghibur keluarga kerajaan yang sedang berduka karena seorang putranya meninggal dunia. Dalam proses penciptaan ini, rakyatlah yang ambil bagian dan mereka pulalah yang menghibur keluarga kerajaan.

Perkembangan Huda-Huda/Toping-Toping

Pada mulanya, huda-huda/toping-toping ditampilkan jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Batas umur tidak menjadi permasalahan. Jadi, jika ada keluarga kerajaan yang meninggal dunia, masih anak-anak, dewasa maupun telah lanjut usia, diadakanlah upacara

(4)

kematian dengan menampilkan huda-huda/toping-toping untuk menghibur keluarga kerajaan yang sedang berduka.

Pada masa jaya kerajaan Simalungun terjadi pembatasan penggunaannya, yaitu khusus digunakan pada upacara kematian sayurmatua. Dan merupakan suatu kebanggaan bagi keluarga kerajaan jika memiliki seperangkat pemain huda-huda/toping-toping.

Setelah Indonesia merdeka, bekas kerajaan-kerajaan yang ada di Simalungun dijadikan satu wilayah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang bupati, dan sekarang yang termasuk bekas wilayah kerajaan Simalungun tersebut dijadikan Kabupaten Simalungun.

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, pada masyarakat Simalungun tidak ada lagi perbedaan antara kaum bangsawan dan rakyat biasa. Oleh karena itu, huda-huda/toping-toping sudah menjadi milik rakyat. Siapa saja orang Simalungun yang meninggal dunia usia lanjut boleh mempertunjukkan huda-huda/toping-toping. Memang pada masa jayanya kerajaan Simalungun

dulu, huda-huda/toping-toping dipergunakan oleh keluarga perwakilan raja yang disebut

partuanon dan parbapaan.

Pada saat ini, huda-huda/toping-toping sudah dapat digunakan oleh masyarakat Simalungun terhadap orang yang meninggal dunia usia lanjut dari lapisan mana saja. Dan yang penting, keluarga yang ditinggalkan mampu membiayai upacara tersebut. Yang menjadi kendala sekarang, tidak banyak lagi ditemui pemain huda-huda/toping-toping, dan sudah jarang sekali huda-huda/toping-toping dipertunjukkan pada upacara kematian usia lanjut oleh masyarakat Simalungun.

Penggunaan dan Fungsi Huda-Huda/Toping-Toping

Melihat perkembangannya, huda-huda/toping-toping digunakan untuk menghibur keluarga kerajaan karena seorang anggota keluarga meninggal dunia. Kemudian penggunaan huda-huda/toping-toping berkembang dan mengalami perubahan. Mulanya tidak ada pembatasan umur kematian seseorang, dan hanya boleh digunakan pada jenis kematian yang telah usia lanjut.

Pada masa jaya kerajaan di Simalungun, huda-huda/toping-toping digunakan pada saat:

1. Mangiliki, yaitu suatu acara dalam upacara kematian seseorang usia lanjut untuk menyambut

para pelayat. Huda-huda/toping-toping menghibur keluarga yang berduka dan menghibur para pelayat.

2. Mangongkal holi-holi, yaitu suatu upacara pemindahan tulang belulang seseorang yang telah

meninggal dunia usia lanjut.

3. Manurun, yaitu suatu acara untuk menguburkan seseorang yang meninggal dunia, namun

upacara penguburan lama berselang sesudah orang tersebut meninggal dunia. Biasanya dilakukan terhadap orang yang meninggal dunia usia lanjut.

Setelah kemerdekaan Indonesia, penggunaan huda-huda/toping-toping mengalami perubahan dan dibatasi berdasarkan jenis kematian seseorang. Jenis-jenis kematian usia lanjut yang dikenal pada masyarakat Simalungun ada tiga:

1. namatei sayurmatuah, yaitu seseorang yang meninggal dunia dalam usia lanjut, mempunyai

anak laki-laki dan anak perempuan. Telah pula mempunyai cucu dari anak laki-laki dan dari anak perempuan, serta tidak ada lagi anaknya yang belum berkeluarga.

2. namatei sayurmatua, yaitu seseorang yang meninggal dunia dalam usia lanjut, mempunyai

anak laki-laki dan anak perempuan, namum masih ada yang belum berumah tangga.

3. namatei matua, yaitu seseorang yang meninggal dunia dalam usia lanjut, telah mempunyai

cucu, namun masih ada anaknya yang belum berumah tangga.

Dari ketiga jenis kematian usia lanjut tersebut, yang diperbolehkan mengadakan acara mandingguri/mangiliki adalah jenis kematian namatei sayurmatuah. Pada sayurmatuah, dapat disebut bahwa seseorang itu telah mendapat berkat yang cukup. Biasanya, sebelum meninggal dunia ia telah memesan tempat di mana ia akan dikebumikan.

(5)

Pada masa sekarang, penggunaan huda-huda/toping-toping tidak hanya untuk kematian sayurmatuah, tetapi juga untuk jenis kematian sayurmatua. Memang pada saat sekarang ada masyarakat Simalungun yang tidak perlu membedakan jenis kematian tersebut, yang penting seseorang yang meninggal dunia itu telah berusia lanjut dan telah pula mempunyai cucu. Sehingga untuk jenis kematian sayurmatuah dan kematian sayurmatua cukup disebut namatei sayurmatua.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan huda-huda/toping-toping pada saat sekarang adalah sebagai berikut:

1. pada upacara kematian namatei sayurmatuah 2. pada upacara kematian namatei sayurmatua 3. pada upacara mengongkal holi-holi

Ada P. Merriam (1964:219-226) menyebutkan, sedikitnya ada 10 macam fungsi musik, antara lain:

- fungsi pengungkapan emosional

- fungsi penghayatan estetis

- fungsi hiburan

- fungsi komunikasi

- fungsi perlambang

- fungsi reaksi jasmani

- fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial

- fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama

- fungsi kesinambungan kebudayaan

- fungsi pengintegrasian masyarakat

Walau tulisan ini membahas Tari Topeng Simalungun, namun dalam mengkaji fungsinya saya bertitik tolak dari fungsi musik yang dikemukakan oleh Merriam. Huda-huda/toping-toping tidak pernah dimainkan berdiri sendiri tanpa diiringi musik. Karena itu, tari dan musik pengiring huda-huda/toping-toping merupakan dwi tunggal yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, dalam pembahasan fungsi, keduanya berkaitan erat dan dijadikan satu dalam pembahasannya.

Jika melihat pertunjukan huda-huda/toping-toping dan memperhatikan asal-usul pencipataannya, maka fungsi utamanya adalah sebagai hiburan.

Menurut pandangan masyarakat Simalungun, kematian usia lanjut (namatei sayurmatuah) adalah suatu kematian yang orang-orang tidak lagi perlu berduka. Kematian seperti ini dapat dikatakan suatu kematian yang telah mendapat berkat dan sampai kepada cita-cita. Oleh karena itu, setiap orang menginginkan agar seseorang itu sayurmatuah, artinya hidup lama dan keturunannya mendapat hidup yang baik. Pada jenis kematian inilah biasanya diadakan acara mandingguri dan mangiliki, ditandai penabuhan musik tradisonal Simalungun.

Acara mandingguri ditandai dengan menabuh seperangkat gonrang sipitu-pitu. Para

keluarga yang berduka menari bersama-sama di hadapan jenazah dan acara ini dilakukan pada malam hari.

Acara mangiliki ditandai dengan menabuh seperangkat gonrang sidua-dua dan dilaksanakan pada siang hari. Pada saat inilah dimainkan huda-huda/toping-toping untuk menghibur keluarga yang berduka, sekaligus menghibur para pelayat. Para pemain topeng melakonkan gerak-gerak yang lucu, sehingga para pelayat tertawa, walaupun pada saat itu ada orang yang meninggal dunia.

Pertunjukan huda-huda/toping-toping memiliki kemampuan untuk membangkitkan

emosi para pelayat, sehingga mereka dengan spontan memberikan sejumlah uang kepada penari topeng. Di sinilah terlihat bahwa huda-huda/toping-toping dapat berfungsi sebagai pengungkapan emosional para penonton.

Pada bagian lain, pemain huda-huda/toping-toping datang menjenguk keluarga yang berduka. Melalui gerak dan isyarat yang dipertunjukkannya, ia berkomunikasi dengan keluarga yang berduka agar tidak perlu menangisi dan tidak usah lagi berduka.

Para pemain topeng dengan sengaja pula berjalan-jalan di sekitar kampung tempat acara itu berlangsung. Mereka berjalan-jalan dan kadang kala mereka meminta sesuatu kepada penduduk kampung. Dengan munculnya topeng di tengah-tengah kampung, maka mereka

(6)

memiliki fungsi komunikasi untuk menyampaikan berita bahwa di kampung itu ada acara mangiliki.

Fungsi estetis dapat terlihat pada saat huda-huda/toping-toping menyambut para pelayat yang datang. Mereka menampilkan gerak-gerak yang indah yang memiliki nilai estetis. Jika para pelayat juga membawa serombongan huda-huda/toping-toping, maka mereka bertanding menyuguhkan kebolehannya yang dapat dirasakan keindahannya oleh para pelayat.

Musik Pengiring Huda-Huda/Toping-Toping

Musik pengiring huda-huda/toping-toping ini adalah seperangkat gonrang sidua-dua yang terdiri dari: satu buah sarunai bolon (serunai, aerofon), dua buah gonrang (gendang, membranofon), dua buah mongmongan (sejenis gong ukuran kecil, idiofon) dan dua buah ogung (gong ukuran besar, idiofon).

Pemain seperangkat gonrang sidua-dua terdiri dari lima orang, yaitu: satu sebagai peniup sarunei bolon, dua orang sebagai penabuh gendang, satu orang penabuh mongmongan, dan satu orang penabuh ogung.

Gual (repertoar) yang ditampilkan dalam mengiringi huda-huda/toping-toping adalah sebagai berikut:

1. Gual khusus untuk mengiringi huda-huda/toping-toping , yaitu gual huda-huda.

2. Gual tambahan untuk mengiringi huda-huda/toping-toping antara lain: gual parahot, gual

rambing-rambing, gual imbo manibung, gual sombuh atei ni hudan, dll. Bentuk dan Pakaian Huda-Huda/Toping-Toping

Parhuda-huda-huda/toping-toping (pemain huda-huda) menutup badannya dengan kain. Bagian tengah berbentuk bulat yang terbuat dari rotan. Penutup badan huda-huda berwarna putih pada bagian atas, merah pada bagian tengah, dan hitam pada bagian bawah. Sebagai paruhnya terbuat dari paruh burung enggang, biasanya burung enggang jantan. Hal ini dapat diketahui apabila paruhnya berukuran besar. Sebaliknya, jika berparuh kecil maka burung itu adalah betina.

Pemilihan warna pakaian disesuaikan dengan warna yang terdapat pada masyarakat Simalungun yang terdiri dari tiga warna, yaitu putih, merah, hitam.

Pemain topeng yang berparas laki-laki menampilkan pakaian polang-polang, yaitu suatu pakaian khusus berwarna putih, merah dan hitam. Topengnya dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip seperti paras seorang laki-laki. Rambutnya terbuat dari ijuk dan bahan topeng terbuat dari kayu ingul kayu kemiri.

Pemain topeng yang berparas wanita dilakonkan oleh seorang laki-laki, bukan dilakonkan wanita. Oleh karena itu, pemainnya dirias seperti layaknya seorang wanita, dan pakaiannya juga pakaian wanita. Gerak tari yang ditampilkan juga gerak tari wanita (terdapat perbedaan gerak tari laki-laki dan gerak tari wanita).

Jalannya Pertunjukan Huda-Huda/Toping-Toping

Pertunjukan huda-huda/toping-toping dilaksanakan pada acara mangiliki yang

merupakan bagian dari upacara kematian usia lanjut.

Sebelum pertunjukan dimulai, pihak yang berduka memberikan sirih kepada panggual (pemain musik). Kemudian dilanjutkan kepada pemain huda-huda/toping-toping. Tujuan pemberian sirih ini, agar para penabuh dengan rela dan ikhlas menabuh gendang, dan para penari topeng dapat menampilkan pertunjukan dengan baik serta jauh dari marabahaya.

Kemudian para pemain memakai huda-huda dan topengnya pada suatu tempat yang

disebut parsalinan, yaitu suatu tempat khusus bagi pemain untuk memasang dan mengganti

topeng.

Sebelum pemain huda-huda/toping-toping memegang topengnya, mereka terlebih dahulu memberikan ucapan pamit kepada huda-huda dan topengnya. Tujuannya agar para pemain mendapat restu dan jauh dari marabahaya.

Pemain huda-huda/toping-toping mulai menunjukkan kebolehannya. Pada saat inilah pemain huda-huda dan pemain topeng menjenguk keluarga yang berduka untuk dihibur dengan gerak isyarat yang bermakna tidak perlu berduka.

(7)

Sebelum acara mangiliki dimulai, pemain huda-huda/toping-toping memberikan hiburan kepada pelayat yang diadakan di halaman rumah. Mereka menampilkan gerak-gerak yang lucu. Para pemain topeng bebas membuat gerak dan tingkah laku, sehingga para penonton tergugah untuk memberikan sesuatu untuk pemain topeng. Dan terkadang pemain topeng keluar dari tempat rumah duka, berjalan-jalan mengelilingi kampung dan mengambil telur ayam untuk dimakannya sendiri. Pemilik telur tidak memarahinya dan tidak menuduh pemain topeng sebagai pencuri.

Setelah sampai kepada acara mangiliki, huda-huda/toping-toping menyambut kedatangan tamu yang hendak melayat. Jika tamu tersebut membawa serombongan huda-huda/toping-toping, maka dari kejauhan para tamu menampilkan huda-hudanya pula dan langsung disambut oleh pihak keluarga yang berduka dengan huda-huda pula.

Setelah acara mangiliki selesai, dilanjutkan dengan acara penguburan. Pemain huda-huda/toping-toping turut mengantarkan jenazah ke perkuburan, berikut menampilkan gerak-gerak sesuai dengan gerak-geraknya masing-masing. Setelah jenazah dikebumikan, maka pemain huda-huda/toping-toping meninggalkan peralatan huda-huda-huda/toping-toping tersebut di perkuburan. Mereka melarikan diri dan pergi ke sungai untuk mandi. Setelah mandi, mereka pulang ke kampung untuk mendapatkan nitak (makanan yang terbuat dari beras yang dicampur gula, tanpa dimasak). Dan pihak keluarga yang berduka membawa peralatan huda-huda/toping-toping tadi ke rumah, begitu juga alat-alat musik lainnya.

Membahas Perubahan Penggunaan dan Fungsi Huda-Huda/Toping-Toping

Jika ditelusuri dari awal terciptanya huda-huda/toping-toping, maka sudah terjadi perubahan penggunaan, yang semula tidak membatasi umur kematian seseorang, kemudian berubah dengan adanya penggunaan huda-huda/toping-toping yang terbatas pada jenis kematian namatei sayurmatuah.

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, terjadi perubahan sosial yaitu tidak adanya lagi kekuasaan raja-raja di Simalungun untuk memerintah rakyatnya. Seluruh bekas kerajaan-kerajaan di Simalungun masuk ke dalam suatu pemerintahan yang berdaulat penuh, yaitu negara Republik Indonesia. Perubahan sosial ini meliputi perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk (Parsudi Suparlan, 1986:106).

Perubahan pada struktur sosial tersebut jelas terlihat dari tidak adanya lagi perbedaan status antara raja dengan rakyat biasa, yaitu sama-sama meleburkan diri menjadi warga negara Republik Indonesia yang telah merdeka.

Mengamati perubahan sosial pada masyarakat Simalungun tersebut, rupanya juga diikuti dengan perubahan dalam kebudayaannya. Sebagaimana dikemukakan Parsudi Suparlan (1986:106), perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, yang antara lain mencakup aturan-aturan atau norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan warga masyarakat, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian, dan bahasa.

Perubahan kebudayaan yang tampak di sini adalah perubahan yang terjadi pada aturan penggunaan huda-huda/toping-toping. Jika semula hanya dipergunakan pada kematian kalangan kerajaan, sekarang sudah dibolehkan kepada masyarakat Simalungun lainnya.

Selain itu, huda-huda/toping-toping dipertunjukkan pada jenis kematian namatei sayurmatuah saja. Namun sekarang sudah dipergunakan pada jenis kematian namatei sayurmatua. Ini menunjukkan telah terjadi perubahan pada sistem nilai yang terdapat pada masyarakat Simalungun itu sendiri.

Jika diamati perubahan dari segi fungsinya, maka fungsi utama dari huda-huda/toping-toping adalah untuk menghibur keluarga yang berduka, yang sifatnya sakral. Setelah masuknya agama Islam dan Kristen ke Simalungun, maka terjadi perubahan fungsi utama yang semata-mata sebagai hiburan saja.

Jika huda-huda/toping-toping diangkat menjadi seni pertunjukan yang dipertunjukkan di atas pentas (terlepas dalam konteks upacara), maka sudah pasti terjadi perubahan fungsinya sebagai hiburan untuk keluarga yang berduka menjadi hiburan bagi orang yang bukan berduka.

Jika diamati perubahan yang terjadi pada penggunaan dan fungsi huda-huda/toping-toping tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa walaupun dalam bentuk yang kecil, terlihat adanya perubahan dalam kebudayaan masyarakat Simalungun. Hal ini didasari oleh adanya

(8)

perubahan pada ide dan disetujui oleh masyarakat Simalungun itu sendiri. Sebagaimana dikemukakan Parsudi Suparlan (1988:9), pada dasarnya perubahan kebudayaan itu berupa suatu modifikasi yang terjadi dalam perangkat-perangkat ide dan yang disetujui secara sosial oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Perubahan kebudayaan dapat terjadi pada isi, stuktur, ataupun pada konfigurasi dari cara-cara hidup tertentu. Perubahan kebudayaan tersebut dapat juga terjadi pada bentuk, fungsi atau nilai-nilai dari unsur-unsur terkecil (trait), unsur-unsur yang lebih besar (complex) atau juga pada pranata-pranatanya (institutions).

Mengangkat Huda-Huda/Toping-Toping Menjadi Suatu Seni Pertunjukan bagi Wisatawan

Untuk menjaga kelestarian huda-huda/toping-toping pada masyarakat Simalungun, maka penulis mengusulkan agar Tari Topeng yang terdapat pada masyarakat Simalungun ini perlu diangkat menjadi suatu seni pertunjukan.

Suatu kendala mungkin dapat dihadapi mengingat penggunaannya hanya pada upacara kematian dan fungsinya menghibur orang yang berduka. Mungkin bagi masyarakat Simalungun ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Namun hal yang menggugah penulis adalah masyarakat Bali yang kuat dengan tradisi dan keagamaannya telah berbuat jauh ke depan untuk kepentingan pengembangan keseniannya dan konsumsi para turis. Di samping itu tetap perlu mempertahankan tradisi pertunjukan topeng pada upacara kematian uzur.

Sebagaimana dikemukakan Parsudi Suparlan (1991:6), kesenian tradisional yang dipertunjukkan di Bali adalah suatu bentuk kesenian yang telah diubah melalui penciptaan suatu tradisi, sehingga pertunjukan yang dilihat itu merupakan pertunjukan yang asli, walaupun dalam kenyataannya para turis hanya membeli atau melihat pertunjukan yang merupakan tradisi-tradisi yang diciptakan atau suatu keaslian yang samar.

Selanjutnya, I Made Bandem dan Fredrik Eugene deBoer memaparkan bahwa di Bali telah digarap bentuk-bentuk seni pertunjukan yang disesuaikan dengan selera wisatawan atau pasar wisatawan. Ada beberapa tari wali (sakral) dan yang profane dipertunjukkan di desa-desa untuk para wisatawan hampir setiap hari tanpa mengingat hari perayaan keagamaan. Antara lain yang sangat laris adalah Cak (Kecak), Barong, serta Rangda. Pertunjukan Cak ini semula berjumlah sepuluh orang, kemudian dikembangkan menjadi seratus orang atau lebih. Bahkan ada adegan kesurupan pada pertunjukan yang hanya pura-pura saja (Bandem dalam Soedarsono, 1989:41-42).

Perkembangan dalam bentuk pertunjukan sudah dilakukan di Yogyakarta. Menurut Soedarsono (1990:147), apabila pariwisata sudah menjadi sebuah industri mau tidak mau harus dipikirkan tentang pemasaran seni pertunjukannya sebaik-baiknya. Untuk ini di daerah Yogyakarta telah diciptakan suatu seni pertunjukan yang dikemas untuk wisatawan asing.

Sejalan dengan pemikiran di atas, maka sudah saatnya huda-huda/toping-toping diangkat menjadi suatu seni pertunjukan. Selain untuk melestarikan, juga menjadikannya sebagai suatu pertunjukan bagi para wisatawan, di mana di kabupaten Simalungun banyak terdapat objek pariwisata, seperti Parapat, yang merupakan pintu gerbang memasuki Danau Toba.

Hal ini sejalan dengan program pemerintah untuk meningkatkan kegiatan kepariwisataan melalui penyajian kesenian-kesenian tradisional dari masing-masing daerah.

Kesimpulan

Hal menarik yang dapat disimpulkan dalam mengamati Tari Topeng adalah tari ini khusus dipertunjukkan pada upacara kematian usia lanjut. Berbeda dengan Tari Topeng lain yang digunakan pada acara-acara kegembiraan atau pada upacara lain di luar upacara kematian, tari rakyat ini sudah mulai jarang dipertunjukkan. Hal ini dikarenakan para penari topeng pun sudah sedikit jumlahnya. Lagi pula tingkat intensitas pertunjukannya juga rendah, karena dipertunjukkan khusus pada upacara usia lanjut. Banyak kalangan muda Simalungun tidak pernah melihat pertunjukan Tari Topeng ini pada upacara kematian usia lanjut, dan ada yang sama sekali tidak mengenalnya lagi. Oleh karena itu, perlu adanya suatu upaya untuk menambah penggunaannya. Tidak terbatas hanya pada upacara kematian tapi juga menjadikannya sebagai seni pertunjukan di atas pentas. Upaya ini tentunya mendukung program pemerintah dalam meningkatkan arus wisatawan khususnya ke daerah Simalungun, Sumatera Utara.

(9)

KEPUSTAKAAN

Bandem, I Made dan I Nyoman Rembang. 1976. Perkembangan Topeng Bali Sebagai Seni Pertunjukan Bali. Proyek Penggalian, Pembinaan, Pengembangan Seni Klasik/Tradisional dan Kesenian Baru Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

Kayam, Umar. 1982. Kreativitas dalam Seni dan Masyarakat Suatu Dimensi dalam Proses Pembentukan Nilai Budaya dalam Masyarakat. Dalam Analisis Kebudayaan. Th. II No. 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Evaston III: Northwestern University. Soedarsono, R.M. 1977. Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.

---. 1989. Seni Pertunjukan Jawa Tradisional Dan Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suparlan, Parsudi. 1986. Perubahan Sosial. Dalam Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat. Ed. A.W. Widjaja. Jakarta: Akademi Pressindo.

---. 1987. Kebudayaan dan Pembangunan. MGMP Sosiologi dan Antropologi DKI Jakarta.

---. 1990. “Cultural Implications and Impacts of Rural Development in Indonesia: The Case of Tourism in Bali”. University Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini terdapat permasalahan dari manajemen perusahaan terhadap biaya yang harus di keluarkan untuk manajemen persediaan di gudang, dengan minimnya

Seperti yang telah diketahui sebuah kenderaan bersistemkan LPG menggunakan LPG sebagai bahan bakar/api menggantikan petrol atau diesel dengan melakukan pemasangan

Satuan lahan adalah kelompok lahan yang mempunyai sifat-sifat yang sama atau hampir sama yang penyebarannya digambarkan dalam peta satuan lahan, dimana peta ini

Dalam perjalanannya, Ganesha Operation tidak lagi hanya membatasi menggembleng siswa kelas 3 SMU untuk menghadapi UAN dan SNMPTN, tapi kini telah menerima siswa kelas 2

Selanjutnya dinyatakan bahwa keuntungan digunakan simulasi adalah dapat memecahkan banyak persamaan antara simultan dan dapat mengakomodasi sistem non linier dari suatu

Untuk memberdayakan pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam mengantisipasi munculnya ’ emerging dan re- emerging zoonoses ’, maka perlu ditetapkan sejumlah agenda untuk

 Konsultan properti Savills Indonesia mengatakan tingkat rata-rata penjualan apartemen di Jakarta turun ke posisi 67% lebih rendah dari tahun lalu yang sebesar 69%,

Karakteristik dari FGD, antara lain : (1) format diskusi; (2) jumlah peserta antara 6-12 orang; (3) panjang/lama diskusi antara 1,5-2 jam tiap sesi; (4) peserta diseleksi