• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Penyebaran dan Perluasan Infeksi Odontogen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pola Penyebaran dan Perluasan Infeksi Odontogen"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

4 2.1 Infeksi Periapikal

Karies berawal dari sisa makanan yang bercampur dengan hasil metabolisme bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus mutans, Lactobacillus, dll yang berupa asam akan mengakibatkan proses demineralisasi pada email sehingga terbentuk karies. Proses karies ini mengakibatkan radang pada pulpa yang dikenal sebagai Pulpitis Reversibel dan akan berlanjut menjadi Pulpitis Irreversibel. Bila infeksi dibiarkan jaringan pulpa akan menjadi nekrosis sehingga infeksinya dapat masuk ke pembuluh darah menuju jaringan periapikal melalui apeks. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah memfagosit bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini maka jaringan sekitarnya akan terdorong dan menjadi dinding pembatas abses. Hal ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah maka infeksi bisa menyebar tergantung kepada lokasi abses. Sehingga Abses Periapikal dapat didefinisikan sebagai suatu proses supuratif disekitar ujung akar gigi yang terjadi karena hancurnya jaringan dan merupakan respon inflamasi berlanjut dari jaringan periapikal terhadap iritasi pulpa (Michael TB et al, 2006)

Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar (Marvin G, 2006).

Infeksi periapikal dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam yang pada dasarnya dipengaruhi oleh : jumlah dan

(2)

virulensi kuman, resistensi dari host, dan struktur anatomi daerah yang terlibat (Michael TB et al, 2006).

Pus pada jaringan periapikal menyebar melalui tulang cancelous menuju ke permukaan tulang dan setelah menembus lapisan korteks pus masuk ke jaringan lunak di sekitarnya yang biasanya didahului dengan keradangan pada periosteum tulang alveolar di daerah tersebut yang disebut dengan periostitis (Maestra-Vera JR, 2004).

Arah penyebaran infeksi periapikal menuju ke jaringan lunak dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu (Maestra – Vera JR, 2004) :

1. Ketebalan tulang yang meliputi apeks gigi

2. Hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada maksila dan mandibula

Bila apeks gigi yang terinfeksi lebih dekat dengan labial plate maka akan menyebabkan vestibular abscess. Sebaliknya jika akar gigi lebih dekat dengan permukaan palatal maka yang terjadi adalah palatal abscess.

Setelah pus menembus permukaan tulang dan masuk ke dalam jaringan lunak arah penyebaran selanjutnya ditentukan oleh tempat perlekatan otot-otot pada tulang rahang, utamanya yaitu m. Buccinator pada maksila dan mandibula, dan Mylohyoid pada mandibula. Pada gigi-gigi posterior rahang atas apabila pus keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m.buccinator pada maksila dan mandibula, dan m mylohyoid pada mandibula. Pada gigi posterior rahang atas apabila pus keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m. Buccinator maka akan terjadi vestibular abscess. Apabila pus terletak di atas perlekatan m. Buccinator maka yang terjadi adalah buccal space abscess ((Michael TB et al, 2006).

Infeksi periapikal pada gigi-gigi rahang atas pada umunya menjalar ke arah labial atau bukal. Beberapa gigi seperti insisif lateral yang inklinasinya ekstrem, akar palatal gigi premolar pertama dan molar rahang atas dapat menyebabkan abses di sebelah palatal. Penjalaran infeksi ke labial atau bukal dapat menjadi vestibular abscess atau fascial space infection ditentukan oleh hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada

(3)

tulang maksila yaitu m. buccinator dan m. Levator anguli oris (Lynnus Peng, MD, 2006).

Penyebaran infeksi Molar bawah yang ke arah bukal juga ditentukan oleh perlekatan m. Buccinator. Apabila pus keluar diatas perlekatan m. buccinator maka yang tejadi adalah vestibular abscess, bila pus keluar dibawah perlekatan otot tersebut maka yang terjadi adalah buccal space infection atau perimandibular

infection. Penyebaran infeksi M RB yg kearah lingual ditentukan oleh relasi

antara letak apeks akar gigi M dan tempat perlekatan m. Mylohyoid. Bila pus keluar dari dinding lingual di atas perlekatan m. Mylohyoid maka akan terjadi

sublingual space abscess, sebaliknya bila pus keluar dibawah perlekatan otot tsb

akan timbul submandibular space abscess (Green, 2001).

2.1.1 PeriapikalAbses

Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi akut. Mungkin terjadi segera setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode laten yang tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam. Mikroba penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal sistemik (bakteremia). (Fragiskos, 2007)

2.1.1.1 Periapikal Abses Akut

Abses apikalis akut adalah proses inflamasi pada jaringan periapikal gigi, yang disertai pembentukan eksudat. Abses apikalis akut disebabkan masuknya bakteri, serta produknya dari saluran akar gigi yang terinfeksi. Abses apikalis akut ditandai dengan nyeri yang spontan, adanya pembentukan nanah, dan pembengkakan. Pembengkakan biasanya terletak di vestibulum bukal, lingual atau palatal tergantung lokasi apeks gigi yang tekena. Abses apikalis akut juga terkadang disertai dengan manifestasi sistemik seperti meningkatnya suhu tubuh, dan malaise. Tes perkusi abses apikalis akut akan mengahasilkan respon yang sangat sensitif, tes palpasi akan merespon sensitif. Sedangkan tes vitalitas tidak memberikan respon.

(4)

Secara histologi abses apikalis akut menunjukkan adanya lesi destruktif dari nekrosis yang mengandung banyak leukosit PMN yang rusak, debris, dan sel serta eksudat purulen. Gambaran radiografis abses apikalis akut, terlihat penebalan pada ligamen periodontal dengan lesi pada jaringan periapikal. (Fragiskos, 2007) (Ingle, 2008) (Sutasmi, 2012).

2.1.1.2 Periapikal Abses Kronis

Abses apikalis kronis merupakan keadaan yang timbul akibat lesi yang berjalan lama yang kemudian mengadakan drainase ke permukaan. Abses apikalis kronis disebabkan oleh nekrosis pulpa yang meluas ke jaringan periapikal, dapat juga disebabkan oleh abses akut yang sebelumnya terjadi. Abses adalah kumpulan pus yang terbentuk dalam jaringan. Pus ini merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi atau benda asing dan racun yang dihasilkan oleh orgnisme dan sel darah. Abses apikalis kronis merupakan reaksi pertahanan yang bertujuan untuk mencegah infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya.

Abses apikalis kronis berkembang dan membesar tanpa gejala yang subjektif, hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiografis atau dengan adanya fistula didaerah sekitar gigi yang terkena. Fistula merupakan ciri khas dari abses apikalis kronis. Fistula merupakan saluran abnormal yang terbentuk akibat drainase abses.

Abses apikalis kronis pada tes palpasi dan perkusi tidak memberikan respon non-sensitif. Sedangakan tes vitalitas tidak memberikan respon. (Fragiskos, 2007) (Ingle, 2008) (Sutasmi, 2012)

2.1.2 Serous Periositis

Serous periostitis adalah keradangan akut pada periosteum tulang rahang

karena infeksi periapikal telah menembus korteks tulang. Keradangan yang terjadi berupa cairan serous diantara korteks dan periosteum, belum terbentuk nanah. Gejala subjektifnya berupa rasa sakit selama 1-3 hari disertai pembengkakan, suhu badan meningkat. Ekstraoral tampak pembengkakan merata, warna agak kemerahan, palpasi peningkatan suhu dan sakit. Intraoral tampak peninggian

(5)

buccal fold tapi tidak ada fluktuasi, terdapat gigi dengan karies profunda dan non

vital (Gangren pulpa) (Ariji Y et al, 2002)

Pencabutan merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan penyebaran infeksi yang berbahaya. Perawatan ditujukan pada tindakan yang dapat meredakan infeksi akut : open bur disertai dengann ekstirpasi saluran akar, pemberian antibiotik dan analgesik. Pencabutan dilakukan bila tanda radang sudah reda (Lynnus Peng, MD, 2006).

Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan tidak mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya adalah di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, pus sudah berhasil “menembus” korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karena itu nama abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih

serous (Michael TB et al, 2006). Subperiosteal abscess merupakan kelanjutan dari serous periostitis dimana pus sudah terbentuk dan terkumpul di bawah

periosteum. Periosteum adalah jaringan ikat yang tipis dan tegang, maka dengan terkumpulnya pus dibawahnya akan timbul rasa sakit yang sangat dan biasanya periosteum akan pecah dalam waktu singkat. Oleh karena itu secara klinis

periosteal abscess jarang dijumpai. Keadaan ini dapat berlanjut menjadi vestibular abscess atau fascial space abscess (Maestra-Vera JR, 2004).

2.2 Infeksi Odontogen

Infeksi odontogen merupakan salah satu diantara beberapa infeksi yang paling sering kita jumpai pada manusia. Pada kebanyakan pasien infeksi ini bersifat minor atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai dengan drainase spontan di sepanjang jaringan gingiva pada gigi yang mengalami gangguan)( Al Hutami,2012).

(6)

Infeksi odontogenik merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan. Infeksi odontogenik juga lebih sering disebabkan oleh beberapa jenis bakteri seperti

streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat menyebar secara cepat ke sisi

wajah lain)( Al Hutami,2012).

Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat menyebabkan abses, abses ini dibagi dua yaitu penjalaran tidak berat (yang memberikan prognosis baik) dan penjalaran berat (yang memberikan prognosis buruk). Adapun yang termasuk penjalaran tidak berat adalah serous periostitis, abses sub periosteal, abses sub mukosa, abses sub gingiva, dan abses sub palatal, sedangkan yang termasuk penjalaran yang berat antara lain abses perimandibular, osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut.

Infeksi odontogen merupakan suatu proses infeksi yang primer atau sekunder yang terjadi pada jaringan periodontal, perikoronal, karena traumatik atau infeksi pasca bedah. Tipikal infeksi odontogenik adalah berasal dari karies gigi yang merupakan suatu proses dekalsifikasi email. Sekali email larut, infeksi karies dapat langsung melewati bagian dentin yang mikroporus dan langsung masuk ke dalam pulpa. Di dalam pulpa, infeksi dapat berkembang melalui suatu saluran langsung menuju apeks gigi dan dapat menggali menuju ruang medulla pada maksila atau mandibula. Infeksi tersebut kemudian dapat melubangi lapisan tulang kortikal dan merusak jaringan superficial dari rongga mulut atau membuat saluran yang sangat dalam pada daerah fasial.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyebaran dan kegawatan infeksi odontogenik adalah:

 Jenis dan virulensi kuman penyebab.

 Daya tahan tubuh penderita.

 Jenis dan posisi gigi sumber infeksi.

 Panjang akar gigi sumber infeksi terhadap perlekatan otot-otot.

Adanya tissue space dan potential space.

Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang mencapai ruang pulpa, kemudian berlanjut menjadi pulpitis dan

(7)

akhirnya terjadi nekrosis pulpa. Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai ke apikal gigi. Foramen apikalis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut.

2.2.1 Penyebaran Per Kontinuatum

Perluasan infeksi odontogenik atau infeksi yang mengenai struktur gigi (pulpa dan periodontal) ke daerah periapikal, selanjutnya menuju kavitas oral dengan menembus lapisan kortikal vestibular dan periosteum dari tulang rahang. Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar gigi penyebab infeksi, tetapi infeksi primer dapat meluas ke regio yang lebih jauh, karena adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada tulang rahang. Dalam hal ini, infeksi odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasial, dan subkutaneus servikal kemudian berkembangan menjadi selulitis fasial, yang akan mengakibatkan kematian jika tidak segera diberikan perawatan yang adekuat (Berini, et al, 1999).

2.2.1.1 Vestibular Space

Vestibular space adalah space yang berpotensi antara mukosa vestibular

dan dekat pada muskulus fasial. Jangkauan dentoalveolar abses menjelaskan mengenai infeksi antara alveolar prosesus dan alveolar mukosa pada dinding fasial pada prosesus alveolar. Karena struktur anatomi membatasi penyebaran abses dentoalveolar atau selulitis menjadi vestibula oral dan perlekatannya dekat dengan muskulus fasial pada apikal dari infeksi tersebut, abses dentoalveolar mengambil porsi dari space vestibular. Secara posterior dari muskulus fasial adalah buccinator, bagian depan dari muskulus intrinsik dan bibir, termasuk orbicularis oris, quadratus labii superioris, mentalis, atau risorius, membatasi space vestibular. Space vestibular adalah pengisi dengan submukosa dan jaringan ikat alveolar yang berada pada persilangan buccal dan nervus mentalis. Dapat dikatakan bahwa ada jarak pada muskulis fasial dengan bukal dan space

(8)

subcutaneous. Pembengkakan vestibular dapat merubah struktur fascial, distorsi pandang. Drainase secara spontan dapat terjadi pada mukosa rongga mulut (Richard G, et al, 2002).

Abses vestibular biasanya terletak pada daerah premolar dan molar rahang atas. Secara pemeriksaan klinis tampak pembengkakan, padat, disertai nyeri pada daerah buccal vestibular dekat dengan gigi yang bermasalah (Sailer HF, Pajarola GF. 1999).

2.2.1.2 Buccal Space

Lokasi dimana abses ini berkembang adalah terletak diantara m. buccinator dan otot masseter. Letak dari abses ini berada di superior pretygopalatine space yang mana berada di inferior dari pterygomandibular space. Penyebaran pus pada buccal space tergantung pada posisi apeks gigi yang memeiliki peranan penting terhadap perlekatan dengan otot buccinator. Abses pada buccal ini mungkin berasal dari saluran akar gigi posterior yang terinfeksi pada rahang atas maupun rahang bawah.

Abses buccal space secara klinis ditandai dengan adanya pembengkakan dari pipi yang memanjang dari lengkung zygomatic sejauh batas inferior mandibula, dan dari perbatasan anterior ramus ke sudut mulut. Kulit tampak kencang dan merah, dengan atau tanpa fluktuasi abses, yang jika diabaikan, dapat mengakibatkan drainase spontan (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.1 Ilustrasi gambar penyebaran dari lateral abses ke daerah otot buccinator. b. Tampakan klinis

(9)

2.2.1.3 Submandibular Space

Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna.

Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.2 Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah submandibular di bawah muskulus mylohyoid b. Tampakan klinis

2.2.1.4 Submentale

Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental. Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.

Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada npemeriksaan intra oral tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah spasium yang terdekat terutama kearah belakang (Fragiskos, 2007).

(10)

Gambar 2.3 a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental b. Tampakan klinis

2.2.2 Penyebaran Per Limfogen

Sistem limfatik (lymphatic system) atau sistem getah bening membawa cairan dan protein yang hilang kembali ke darah .Cairan memasuki sistem ini dengan cara berdifusi ke dalam kapiler limfa kecil yang terjalin di antara kapiler-kapiler sistem kardiovaskuler. Apabila suda berada dalam sistem limfatik, cairan itu disebut limfa (lymph) atau getah bening, komposisinya kira-kira sama dengan komposisi cairan interstisial. Sistem limfatik mengalirkan isinya ke dalam sistem sirkulasi di dekat persambungan vena cava dengan atrium kanan.

Limfe mirip dengan plasma tetapi dengan kadar protein yang lebih kecil. Kelenjar-kelenjar limfe menambahkan limfosit pada limfe sehingga jumlah sel itu sangat besar di dalam saluran limfe.Di dalam limfe tidak terdapat sel lain. Limfe dalam salurannya digerakkan oleh kontraksi otot disekitarnya dan dalam beberapa saluran limfe yang gerakannya besar itu dibantu oleh katup.

Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah menjalar ke kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang bawah (Sandler NA, 2009).

Tabel 2.1 Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut:

Sumber infeksi KGB regional

(11)

Jaringan subkutan bibir bawah Submaksila, submental, servikal profunda

Jaringan submukosa bibir atas dan bawah

Submaksila

Gingiva dan palatum atas Servikal profunda

Pipi bagian anterior Parotis

Pipi bagian posterior Submaksila, fasial

Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau leher atau melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya (Sandler NA, 2009).

Weinmann mengatakan bahwa inflamasi gingiva yang menyebar sepanjang sisi krista alveolar dan sepanjang jalur pembuluh darah ke sumsum tulang. Ia juga menyatakan bahwa inflamasi jarang mengenai membran periodontal. Kapiler berjalan beriringan dengan pembuluh limfe sehingga memungkinkan absorbsi dan penetrasi toksin ke pembuluh limfe dari pembuluh darah (Sandler NA, 2009).

Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras tergantung derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan di sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan daerah indikasi terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi menembus sistem pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan dan memerlukan insisi dan drainase dinamakan limfadenopati.

2.2.2.1 Vaskuler Limfe

Pembuluh limfe, merupakan saluran tipis yang dibatasi endotel berperan dalam pengumpulan cairan dari ruang-ruang jaringan dan mengembalikannya ke

(12)

darah. Cairan ini dinamakan cairan limfe. Limfe hanya beredar dalam satu arah, yaitu ke arah jantung.

Kapiler limfe berasal dari berbagai jaringan sebagai pembuluh tipis dengan ujung buntu. Mereka terdiri atas satu lapisan endotel. Pembuluh yang tipis ini bergabung dan berakhir sebagai 2 batang besar, yaitu ductus thorasicus dan ductus limphaticus dexter, yang mengosongkan limfe ke dalam peralihan vena jugularis interna dengan vena jugularis interna dexter. Di antara pembuluh-pembuluh limfe terdapat kelenjar-kelenjar limfe. Dengan pengecualian sistem syaraf dan sumsum tulang, sistem limfe ditemukan pada hampir semua organ.

Pembuluh limfe mempunyai struktur yang mirip dengan vena kecuali mereka mempunyai dinding yang lebih tipis dan tidak mempunyai batas yang nyata antara ketiga lapisan (intima, media, dan adventitia). Seperti vena, mereka mempunyai banyak katup-katup interna. Akan tetapi, katup-katup ini lebih banyak pada pembuluh limfe. Antara katup-katup pembuluh limfe melebar dan mempunyai bentuk noduler.

Seperti vena, sirkulasi cairan limfe dibantu oleh kerja gaya eksterna (misalnya kontraksi otot-otot sekitarnya) pada dindingnya. Gaya-gaya ini bekerja secara tidak kontinu dan aliran limfe terutama terjadi sebagai akibat adanya banyak katup dalam pembuluh ini dan irama kontraksi otot-otot polos yang terdapat dalam dindingnya.

Duktus limfaticus ukuran besar mempunyai struktur yang mirip dengan vena dengan penguatan otot polos pada lapisan media. Pada lapisan ini, berkas-berkas otot tersusun longitudinal dan sirkuler, dengan serabut-serabut longitudinal lebih banyak. Tunika Adventitia relatif kurang berkembang.

2.2.2.2 Fungsi Limfe

1. Mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi darah.

2. Mengangkut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah.

3. Untuk membawa lemak yang sudah dibuat emulsi dari usus ke sirkulasi darah. Saluran limfe yangmelaksanakan fungsi ini ialah saluran lakteal.

(13)

4. Kelenjar limfe menyaring dan menghancurkan mikroorganisme untuk menghindarkan penyebaranorganism itu dari tempat masuknya ke dalam jaringan, ke bagian lain tubuh.

5. Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat anti (antibodi) untuk melindungi tubuh terhadap kelanjutan infeksi.

2.2.2.3 Limfadenopati

Pembesaran KGB dapat dibedakan menjadi pembesaran KGB lokal (limfadenopati lokalisata) dan pembesaran KGB umum (limfadenopati generalisata). Limfadenopati lokalisata didefinisikan sebagai pembesaran KGB hanya pada satu daerah saja, sedangkan limfadenopati generalisata apabila pembesaran KGB pada dua atau lebih daerah yang berjauhan dan simetris.

Secara anatomi aliran getah bening aferen masuk ke dalam KGB melalui simpai (kapsul) dan membawa cairan getah bening dari jaringan sekitarnya dan aliran getah bening eferen keluar dari KGB melalui hilus. Cairan getah bening masuk kedalam kelenjar melalui lobang-lobang di simpai. Di dalam kelenjar, cairan getah bening mengalir dibawah simpai di dalam ruangan yang disebut sinus perifer yang dilapisi oleh sel endotel (Koss, 2006).

Jaringan ikat trabekula terentang melalui sinus-sinus yang menghubungkan simpai dengan kerangka retikuler dari bagian dalam kelenjar dan merupakan alur untuk pembuluh darah dan syaraf. 4,6-12 Dari bagian pinggir cairan getah bening menyusup kedalam sinus penetrating yang juga dilapisi sel endotel. Pada waktu cairan getah bening di dalam sinus penetrating melalui hilus, sinus ini menempati ruangan yang lebih luas dan disebut sinus meduleri. Dari hilus cairan ini selanjutnya menuju aliran getah bening eferen (Koss, 2006)

Lokasi pembesaran KGB pada dua sisi leher secara mendadak biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas. Pada infeksi oleh penyakit kawasaki umumnya pembesaran KGB hanya satu sisi saja. Apabila berlangsung lama (kronik) dapat disebabkan infeksi oleh Mikobakterium, Toksoplasma, Ebstein Barr Virus atau Citomegalovirus (Kanwar, 2009)

Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab infeksi saluran pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan penurunan berat

(14)

badan mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis atau keganasan. Demam yang tidak jelas penyebabnya, rasa lelah dan nyeri sendi meningkatkan kemungkinan oleh penyakit kolagen atau penyakit serum (serum sickness), ditambah adanya riwayat pemakaian obat-obatan atau produk darah. Pembesaran KGB leher yang disertai daerah lainnya juga sering disebabkan oleh infeksi virus. Keganasan, obat-obatan, penyakit kolagen umumnya dikaitkan degnan pembesaran KGB generalisata (Kanwar, 2009).

Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral lunak dan dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan keganasan tanda-tanda peradangan tidak ada, KGB keras dan tidak dapat digerakkan oleh karena terikat dengan jaringan di bawahnya (Kanwar, 2009).

Pada infeksi oleh mikobakterium, pembesaran kelenjar berjalan berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, walaupun dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah dan terbentuk jembatan-jembatan kulit di atasnya (Kanwar, 2009).

Pengobatan limfadenopati KGB leher didasarkan kepada penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan sendirinya dan tidak membutuhkan pengobatan apapun selain observasi. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsi KGB. Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan. KGB yang menetap atau bertambah besar walau dengan pengobatan yang adekuat mengindikasikan diagnosis yang belum tepat. Antibiotik perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis supuratif yang biasa disebabkan oleh Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus pyogenes (group A). Pemberian antibiotik dalam 10-14 hari dan organisme ini akan memberikan respon positif dalam 72 jam. Kegagalan terapi menuntut untuk dipertimbangkan kembali diagnosis dan penanganannya. Pembedahan mungkin diperlukan bila dijumpai

(15)

adanya abses dan evaluasi dengan menggunakan USG diperlukan untuk menangani pasien ini (Peters, 2008).

2.2.3 Penyebaran Per Hematogen

Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah (Lyx et all, 2000).

Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke pleksus vena pterigoid yang menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena faringeal dan vena maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah, memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut.

Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jugularis internal dan eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan (Sandler NA, 2014). Namun, saat berada di dalam darah, organisme yang mampu bertahan dapat menyerang organ manapun yang kurang resisten akibat faktor-faktor predisposisi tertentu. Contoh perluasan infeksi odontogen melalui aliran darah misalnya kearah jantung yaitu, sub bacterial endokarditis (SBE). Penyakit Infeksi yang Berhubungan dengan Pola Perluasan per Hematogen terdiri dari Subakut Bacterial Endokarditis (SBE).

2.2.3.1 Penyakit Infeksi yang Berhubungan dengan Pola Perluasan per Hematogen

1. Subakut Bacterial Endokarditis (SBE)

Endokarditis Bakterial adalah penyakit infeksi oleh organisme pada permukaan endokardial atau jaringan endothelial jantung, termasuk katup

(16)

jantung (baik yang alami atau prostetik), endokardium muralis, korda tendinae atau defek septum (Talib 2001, Keith 2000, Gerardo 2003). Nama lain dari endokarditis infektif adalah endokarditis bakterial (Soparman 1987, Mokhtar Moendiyah 1998) . Lesi yang khas pada endokarditis infektif adalah vegetasi yang terdiri dari trombosit, fibrin, mikroorganisme dan sel-sel radang (Mokhtar Moendiyah 1998). Endokarditis infektif biasanya terjadi pada jantung yang telah mengalami kerusakan. Penyakit jantung yang mendahului endokarditis, bisa berupa penyakit jantung bawaan maupun penyakit jantung yang didapat. Dahulu diduga infeksi pada endokard hanya disebabkan oleh bakteri, sehingga disebut endokarditis bakterial. Kemudian ternyata bahwa infeksi bukan saja disebabkan oleh bakteri tetapi dapat juga disebabkan oleh mikroorganisme lain, seperti jamur, virus dan lain-lain (Soparman 1987, Mokhtar moendyah 1998)).

Endokarditis juga bisa terjadi pada endokard dan katup yang sehat, misalnya endokarditis yang terjadi pada penyalahgunaan narkotik intravena dan penyakit yang kronik. Perjalanan penyakit bisa akut atau sub-akut bergantung pada virulensi mikroorganisme dan daya tahan pasien. Faktor predisposisi dan Faktor pencetus .Faktor predisposisi dapat dibagi dua, yaitu kelainan jantung organik dan tanpa kelainan jantung organik. Kelainan jantung organik dapat berupa penyakit jantung reumatik, penyakit jantung bawaan, katup jantung prostetik, penyakit jantung sklerotik, prolaps katup mitral, operasi jantung, kardiomiopati hipertrofi obstruktif (Soparman, 1987).

Endokarditis infektif sub-akut sering timbul pada penyakit jantung reumatik dengan fibrilasi dan gagal jantung. Infeksi sering mengenai katup aorta dan mitral. Penyakit jantung bawaan yang terkena endokarditis infektif adalah penyakit jantung bawaan tanpa sianosis dengan deformitas katup dan tetralogi fallot(Soparman 1987).

Bila tidak ada kelainan organik pada jantung, maka faktor predisposisi endokarditis infektif adalah akibat pemakaian obat imunosupresif atau sitostatik, hemodialisis atau dialysis peritoneal, sirosis hati, diabetes

(17)

mellitus, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit ginjal, lupus eritematosus, gout, penyalahgunaan narkotik intravena (Soparman, 1987).

Faktor pencetus endokarditis infektif adalah ekstraksi gigi atau tindakan lain pada mulut, tindakan pada traktus respiratorius (tonsilektomi dan adenoidektomi, bronkoskopi, tindakan bedah), tindakan pada traktus gastrointestinal (skleroterapi, operasi traktus biliaris, endoskopi), tindakan pada traktus genitourinarius (kateterisasi, operasi prostate, sitoskopi), atau tindakan obstetric-ginekologis(Gerardo 2003). Lima puluh persen pasien endokarditis sub-akut tidak diketahui faktor pencetusnya (Soparman, 1987). Sumber-sumber infeksi yang dapat menjadi fokal infeksi yang terdapat di mulut dan gigi sehingga dapat menginfeksi jantung dan menimbulkan endokarditis adalah sisa akar, pulpitis kronik, periodontal poket dan penyakit periodontal lainnya, penyakit periapikal kronis dan gigi nonvital yang tidak dirawat.

a. Sisa akar

Sisa akar sering kali tidak mendapat perhatian karena tidak mengakibatkan keluhan sakit, tetapi sisa akar ini dapat merupakan pengumpulan bakteri-bakteri dan menjadi fokal infeksi(mundiyah, dkk, 2003).

b. Pulpitis kronik

Pulpitis kronik adalah peradangan pulpa karena adanya karies dentis yang sudah dalam, atau dapat juga merupakan idiokatif pulpitis, dimana kuman tidak diketahui dari mana masuknya ; ada kemungkinan kuman masuk dari peredaran darah melalui foramen apikal, kuman yang terdapat pada pulpitis kronik adalah streptococcus viridans, staphylococcus albus,

basillus coli, basillus proteus, streptococcus aureus, streptococcus hemolyticus (Mokhtar mundiyah, dkk, 2003).

c. Poket periodental dan penyakit periodental lainnya d. Penyakit periapikal kronis

Endokarditis infektif sub-akut paling banyak disebabkan oleh Streptococcus viridans, yaitu suatu mikroorganisme yang biasa hidup pada saluran nafas bagian atas. Sebelum ditemukan antibiotik, 90-95%

(18)

endokarditis infektif sub-akut disebabkan oleh Streptococcus viridans dan sesudah ditemukan antibiotik hanya kira – kira 50%, yang merupakan sepertiga dari seluruh endokarditis infektif (Keith 2000, Gerardo 2003, Soparman 1987).

Penyebab endokarditis infektif akut adalah mikroorganisme yang relative lebih pathogen, yaitu Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus selain menyebabkan endokarditis akut, dapat juga menyebabkan endokardtis infektif sub-akut. Mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan endokarditis infektif ialah Streptococcus fecalis, Streptococcus dan Staphylococcus lain, bakteri gram negative aerob dan anaerob, jamur, virus, ragi dan kandida (Keith 2000, Gerardo 2003).

Sering pasien tidak mengetahui dengan jelas sejak kapan penyakitnya timbul. Pada beberapa pasien, manifestasi penyakit menjadi jelas sesudah pencabutan gigi, infeksi saluran nafas atau tindakan lain. Gejala umum yang sering ditemukan adalah demam yang berlangsung terus menerus, remitten ataupun intermitten, atau sama sekali tidak teratur. Umumnya puncak demam 38-40 oC dan terjadi pada sore atau malam hari. Sering diikuti menggigil dan kemudian berkeringat banyak. Dapat terjadi anemia yang bersifat progresif dan dapat pula ditemui pembesaran hati dan limpa. Gejala emboli dan vascular berupa ptekie biasanya timbul pada mukosa tenggorok, mata dan juga pada semua bagian kulit. Bagian tengah ptekie biasanya lebih pucat, dan bisa terjadi di retina yang disebut Roth’s spot. Emboli yang timbul sub-ungual jari tangan dan kaki yang berbentuk linier disebut Splinter hemorrhages. Lesi yang spesifik adalah Osler’s nodes yaitu penonjolan kulit berwarna merah jambu atau merah, yang terdapat di bagian dalam jari, otot tenar dan hipotenar, bersifat nyeri. Emboli yang besar dapat tersangkut di otak sehingga bisa menimbulkan hemiplegi, atau gangguan saraf sentral lain atau gangguan psikiatri. Bila tersangkut di arteri koroner dapat menyebabkan infark miokard akut, dan jika di paru – paru dapat terjadi abses paru. Tanda-tanda kelainan jantung penting untuk menentukan adanya kelainan katup atau kelainan bawaan karena sebagian besar endokarditis sub-akut didahului oleh penyakit jantung.

(19)

2.3 Vestibular Abses 2.3.1 Etiologi

Infeksi periapikal dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam yang pada dasarnya dipengaruhi oleh: virulensi kuman, resistensi dari host, dan struktur anatomi daerah yang terlibat. Pus pada jaringan periapikal menyebar melalui tulang kanselus menuju ke permukaan tulang dan setelah menembus lapisan korteks pus masuk ke jaringan lunak di sekitarnya yang biasanya didahului dengan keradangan pada periosteum tulang alveolar di daerah tersebut (periostitis)

Arah penyebaran infeksi periapikal menuju ke jaringan lunak dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu:

1. Ketebalan tulang yang meliputi apeks gigi

2. Hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada maksila dan mandibula

Abses vestibular biasanya berasal dari premolar dan molar rahang atas. Tanda klinis biasanya mukosa bengkak, keras, dan nyeri pada bagian bukal dari vestibulum gigi yang terinfeksi. Abses vestibular baik yang berasal dari maksila ataupun mandibula, dapat menyebar hingga ke mukosa pipi. Jika abses berkembang pada kranial, abses dapat menemui jaringan adipose pada pipi dan menyebar sepanjang anatomical plane ke arah fossa infra temporal atau fossa pterygopalatinus dan bahkan dapat menyebar ke bagian kranial dan dorsal (Sailer & Pajarola, 1999).

2.3.2 Patofisiologi

Bila apeks gigi yang terinfeksi lebih dekat dengan labial plate maka akan menyebabkan abses vestibular. Sebaliknya, jika akar gigi lebih dekat dengan permukaan palatal maka yang terjadi adalah abses palatal. Setelah pus menembus permukaan tulang dan masuk ke dalam jaringan lunak, arah penyebaran selanjutnya ditentukan oleh tempat perlekatan otot-otot pada tulang rahang, utamanya yaitu m.buccinator pada maksilla dan mandibula, dan m.mylohyoid pada mandibula. Pada gigi posterior rahang atas apabila pus keluar ke arah bukal dan di bawah perlekatan m. buccinators maka akan terjadi abses vestibular.

(20)

Infeksi periapikal pada gigi-gigi rahang atas pada umumnya menjalar ke arah labial atau bukal dan dapat menjadi abses vestibular atau fascial space infection ditentukan oleh hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada tulang maksila, yaitu m. buccinators dan m. levator anguli oris. Infeksi dari gigi kaninus juga dapat mengakibatkan terjadinya abses labial atau abses vestibular jika terjadi penetrasi pus pada perlekatan muskulus. Abses tersebut dapat terjadi bila penetrasi pus tersebut terjadi di atas muskulus levator pada bibir atas (Rajendran & Sivapathasundharam, 2009).

Di rahang bawah, infeksi periapikal dari gigi insisif, caninus, dan premolar pada umumnya akan merusak korteks di buccal plate sehingga menjadi abses vestibular. Penyebaran infeksi molar bawah yang ke arah bukal juga ditentukan oleh perlekatan m. buccinator. Apabila pus keluar di bawah perlekatan otot tersebut maka yang terjadi adalah abses vestibular, bila pus keluar di bawah perlekatan otot tersebut maka yang terjadi adalah buccal space infection atau perimandibular infection. penyebaran infeksi molar rahang bawah yang ke arah lingual ditentukan oleh relasi antara letak apeks akar gigi molar dan tempat perlekatan m. mylohyoid. Bila pus keluar dari dinding lingual di atas perlekatan m.mylohyoid maka akan terjadi sublingual space abscess, sebaliknya bila pus keluar di bawah perlekatan otot tersebut akan timbul submandibular space abscess.

Gambar 2.4. Abses Vestibular

2.4 Submandibular Abses

Abses submandibula merupakan bagian dari abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai

(21)

kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Pada abses submandibular, ruang potensial ini terdiri dari ruang sublingual dan submaksilayang dipisahkan oleh otot milohioid.

2.4.1 Etiologi

Infeksi leher dalam potensial terjadi pada ruang faring.Sumber infeksi dapat berasal dari gigi-geligi (odontogenic infection) faring, atau akibat traumapada saluran nafas dan organ cerna atas (upper aerodigetive trauma), dimana terjadi perforasi pada membrana mukosa pelindung mulut atau ruang faring. Selain itu, infeksi kelenjar liur, infeksi saluran napas atas,benda asing dan intervensi alat-alat medis (iatrogenic) dapat menjadi factor penyebab abses leher dalam. Namun masih terdapat sekitar 20% dari kasus yang terjadi, penyebabnya belum dapat diketahui. Kemudian penyalahgunaan pemakaian obat-obatan intravena dapat juga menyebabkan terjadinya kasus penyakit ini (Soepardi, 2007).

Pada abses submandibula, infeksi terjadi akibat perjalan dari infeksi gigi dan jaringan sekitarnya yaitu pada P1,P2,M2,M2 namun jarang terjadi pada M3. Beberapa jenis bakteri yang menjadi penyebab abses submandibula ini dibagi menjadi golongan bakteri Aerob dan Anaerob (Soepardi, 2007).

Untuk golongan aerob terdiri dari :

Alfa Streptokokus hemolitikus Stafilokokus

Bakteroides

Sedangkan yang termasuk kedalam golongan bakteri anaerob yaitu:

Peptostreptokokus Peptokoki

Fusobakterium nukleatum

2.4.2 Patofisiologi

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohiod. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior. Abses dapat terbentuk diruang

(22)

submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari dareah kepala dan leher.

Abses leher dalam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab melalui beberapa proses, diantaranya (Soepardi dkk, 2007):

1. Penyebaran abses leher dalam dapat timbul dari rongga mulut ,wajah atau infeksi leher csuperficial ke ruang leher dalam melalui system limfatik. 2. Limfadenopati dapat menyebabkan terjadi supurasi dan akhirnya menjadi

abses fokal.

3. Infeksi yang menyebar ke ruang leher dalam melalui celah antar ruang leher dalam

4. Infeksi langsung yang terjadi karena trauma tembus.

Karena kontinuitas dasar mulut dan regio submandibularis yaitu daerah sekeliling batas posterior muskulus mielohioideus dan dalamnya akar-akar gigi molar dibawah mielohioideus, maka infeksi supurativa pada mulut dan gigi geligi dapat timbul di trigonum submandibularis (Soepardi dkk, 2007).

2.4.3 Diagnosis

Diagnosis abses submandibula ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan penunjang seperti foto polos jaringan lunak leher atau tomografi computer (Soepardi dkk, 2007).

2.4.4 Anamnesis

Beberapa gejala berikut dapat ditemukan pada pasien dengan abses submandibula adalah (Soepardi dkk, 2007):

1. asimetris leher karena adanya massa atau limfadenopati pada sekitar 70%. 2. trismus karena proses inflamasi pada m.pterigoides

3. torticolis dan penyempitan ruang gerak leher karena proses inflamasi pada leher.

Riwayat penyakit dahulu sangat bermanfaat untuk melokalisasi etiologi dan

perjalanan abses pasien seharus ditanya :

(23)

2. riwayat trauma retrofaring contoh intubasi 3. dental caries dan abses.

2.5 Sinusitis

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008).

2.5.1 Anatomi Sinus Maksilaris

Batas-batas dinding Sinus Maksilaris:

a. Dinding anterior : permukaan fasial os maksila (fossa kanina) b. Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila

c. Dinding medial : dinding lateral rongga hidung d. Dinding superior : dasar orbita

e. Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum

Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semi lunaris melalui infundibulum etmoid. Sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus uncinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007)

(24)

diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Gambar 2.5 Anatomi Sinus Maksila (Netter, 2006)

2.5.2 Sinusitis Maksilaris Odontogen 2.5.2.1 Definisi

Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya, terutama pada daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen, nafas bau, post nasal drip. (Herawati dan Rukmini, 2003)

(25)

selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. (Soepardi et al., 2011)

2.5.2.2 Klasifikasi

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis yaitu akut dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu

infectious atau non-infectious (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).

Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.5.2.3 Insiden dan Epidemiologi

Menurut Wald (1990) insiden pada orang dewasa di Amerika antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi. Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak sepuluh persen, kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan sepuluh persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger (1994) dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen kasus rinosinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik

(26)

sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%).

2.5.2.4. Etiologi dan Faktor Predisposisi Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).

b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi (Saragih, 2007).

c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus (Prabhu, Padwa, Robsen, dan Rahbar, 2009).

d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila (Ross, 1999)

e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).

f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki, 2001). g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.5.2.5 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri, bersifat sebagai antimikroba serta mengandung zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme

(27)

pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger, 1997).

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu, Padwa, Robsen, dan Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997).

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

2.5.2.6 Manifestasi Klinis

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri

(28)

di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada (Sobol,2011).

Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001). Kriteria Saphiro dan Rachelefsky:

a. Gejala Mayor: 1) Rhinorea purulen 2) Drainase Post Nasal 3) Batuk

b. Gejala Minor: 1) Demam 2) Nyeri Kepala 3) Foeter ex oral

Dikatakan sinusitis maksilaris jika ditemukan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 atau lebih gejala minor. (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007)

2.5.2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer, 2001).

(29)

maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post

nasal drip (Ross, 1999).

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).

Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

(30)

2.5.2.8 Komplikasi

Komplikasi sinusitis maksilaris adalah selulitis orbita, osteomielitis dan fistula oroantral. (Balaji, 2007) Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. (Soepardi et al., 2011)

2.5.2.9 Oro Antral Fistula Pada Sinusitis Maksilaris

Fistula oroantral merupakan suatu saluran yang menghubungkan rongga dasar sinus maksilaris dengan rongga mulut. Fistula oroantral ini merupakan suatu komplikasi akibat tindakan pencabutan gigi molar 1, 2 atau premolar 2. Selain itu, dapat juga diakibatkan oleh trauma iatrogenik, infeksi, tumor ganas, osteomyelitis dan sifilis (Kamdjaja, 2008; Yilmaz et al, 2003; Khitab et al, 2010).

Dikutip dari Sokler K4, Guven pada tahun 1998 menemukan bahwa fistula oroantral banyak terjadi pada usia dekade ketiga. Dikutip dari Meirelles, Lin pada tahun 1991, melaporkan bahwa perkembangan rongga sinus pada wanita lebih besar dan dasar rongga sinus lebih tipis daripada pria sehingga fistula oroantral lebih banyak terjadi pada pria. Sinus maksilaris mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Bila terjadi infeksi atau kondisi patologis lainnya berupa kista radikuler atau granuloma periapikal pada ujung akar gigi dapat menyebabkan terjadinya penipisan tulang dasar sinus maksilaris. Setelah dilakukan ekstraksi gigi premolar dan molar atas dapat menyebabkan terjadinya fistula oroantral sehingga kuman dari rongga mulut dapat masuk ke dalam sinus yang menimbulkan terjadinya sinusitis maksilaris (Meirelles et al, 2008).

Pada dasar sinus maksilaris terdapat tiga jenis fistula yaitu fistula oronasal, oroantral dan oroantronasal5. Fistula oroantral dapat diklasifikasikan berdasarkan ukurannya, ukuran kecil (kurang dari 2 mm), ukuran sedang (3-5 mm) dan ukuran besar (lebih dari 5 mm). Pada ukuran kecil (kurang 2 mm) cenderung akan menutup dengan sendirinya, tetapi bila dalam waktu tiga minggu tidak terjadi penutupan perlu dilakukan tindakan operasi (Meirelles et al, 2008; Lore et al, 2005).

(31)

Gejala yang ditimbulkan berupa sekret purulen melewati fistula yang berasal dari rongga sinus maksilaris dan pada saat minum pasien terasa adanya cairan yang masuk ke dalam hidung melewati fistula (Sokler et al, 2001; Sulastra

et al, 2009). Pemeriksaan radiologi berupa foto polos panoramik berguna untuk

melihat keadaan akar gigi sehingga setelah tindakan ekstraksi gigi tidak terjadi fistula oroantral. Pada tomografi komputer ditemukandiskontinuitas dinding dasar sinus maksilaris, tampakadanya perselubungan opak di sinus maksilaris dan atrofifokal alveolar. Atrofi tulang alveolar terlihat di segmen yang berdekatan dengan fistula (Meirelles et al, 2008).

Berpedoman pada ukuran fistula oroantral dapat ditentukan teknik menutup fistula. Bila ukuran kurang dari 2 mm dilakukan observasi selama tiga minggu, bila tidak terjadi penutupan fistula oroantral secara spontan dapat dilakukan tindakan penjahitan mukosa atau teknik jabir alveolaris. Ukuran 3-4 mm dilakukan penutupan fistula oroantral dengan teknik buccal flap. Ukuran lebih dari 5 mm dilakukan penutupan fistula oroantral dengan teknik palatal flap (Lore et al, 2005).

2.6 Sub Bacteria Endocarditis

Salah satu penyakit gigi dan mulut dengan penyakit sistemik yang erat hubungannya dengan terjadinya Endikarditis Bakterial adalah fokalinfeksi. Adanya fokal infeksi pada mulut dapat menginfeksi jantung melalui aliran sistematis. Dimana gigi sendiri sebagai fokal infeksi terkadang tidak punya keluhan apa-apa tapi menyebarnya bakteri dan toksinnya secara bacterinial septikamia. Bakteri inilah yang sampai ke jantung dandapat masuk ke lapisan otot atau katup jantung. Endokarditis bakterial yang disebabkan oleh fokal infeksi adalah yang bersifat subakut. Kuman penyebab utamanya Alphahemolytis Streptocxocci, yang banyak terdapat di rongga mulut, disamping Stafiplococi, Bota hemolytic Streptococci gonococci dan lain-lain. Organisme dapat memasuki tubuh dalam banyak hal termasuk setelah pencabutan gigi dan pengobatan konservatif yang luas, termasuk scalling (Horskotte, 2000).

(32)

2.6.1 Definisi

Endokarditis Bakterial adalah penyakit infeksi oleh organisme pada permukaan endokardial atau jaringan endothelial jantung, termasuk katup jantung (baik yang alami atau prostetik), endokardium muralis, korda tendinae atau defek septum. Nama lain dari endokarditis infektif adalah endokarditis bakterial. Lesi yang khas pada endokarditis infektif adalah vegetasi yang terdiri daritrombosit, fibrin, mikroorganisme dan sel-sel radang. Endokarditis infektif biasanya terjadi pada jantung yang telah mengalami kerusakan. Penyakit jantung yangmendahului endokarditis, bisa berupa penyakit jantung bawaan maupun penyakit jantung yangdidapat. Dahulu diduga infeksi pada endokard hanya disebabkan oleh bakteri, sehingga disebut endokarditis bakterial. Kemudian ternyata bahwa infeksi bukan saja disebabkan oleh bakteri tetapi dapat juga disebabkan oleh mikroorganisme lain, seperti jamur, virus dan lain-lain. Endokarditis juga bisa terjadi pada endokard dan katup yang sehat, misalnya endokarditis yangterjadi pada penyalahgunaan narkotik intravena dan penyakit yang kronik. Perjalanan penyakit bisa akut atau sub-akut bergantung pada virulensi mikroorganisme dan daya tahan pasien (Li et al, 2000).

2.6.2 Epidemiologi

Terdapat perubahan epidemiologi endokarditis infektif pada saat sekarang yang disebabkan tingkat kesehatan umum yang baik, tingkat kesehatan gigi yang baik, pengobatan yang lebih dini dan penggunaan antibiotik. Insidens endokarditis 10-60 kasus per 1.000.000 penduduk per tahun diseluruh dunia dan cenderung meningkat pada usia lanjut. Faktor predisposisi dan faktor pencetus dapat dibagi dua, yaitu kelainan jantung organik dan tanpa kelainan jantung organik. Kelainan jantung organik dapat berupa penyakit jantung reumatik, penyakit jantung bawaan, katup jantung prostetik, penyakit jantung sklerotik, prolaps katup mitral, operasi jantung, kardiomiopati hipertrofi obstruktif. Endokarditis infektif sub-akut sering timbul pada penyakit jantung reumatik dengan fibrilasi dan gagal jantung. Infeksi sering mengenai katup aorta dan mitral. Penyakit jantung bawaan yang terkena endokarditis infektif adalah penyakit jantung bawaan tanpa sianosis dengan deformitas katup dan tetralogi fallot. Bila

(33)

tidak ada kelainan organik pada jantung, maka faktor predisposisi endokarditis infektif adalah akibat pemakaian obat imunosupresif atau sitostatik, hemodialisis atau dialysis peritoneal,sirosis hati, diabetes mellitus, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit ginjal, lupuseritematosus, gout, penyalahgunaan narkotik intravena. Faktor pencetus endokarditis infektif adalah ekstraksi gigi atau tindakan lain pada mulut,tindakan pada traktus respiratorius (tonsilektomi dan adenoidektomi, bronkoskopi, tindakan bedah), tindakan pada traktus gastrointestinal (skleroterapi, operasi traktus biliaris, endoskopi), tindakan pada traktus genitourinarius (kateterisasi, operasi prostate, sitoskopi), atau tindakanobstetric-ginekologis (Renzulli et al, 2001).

2.6.3 Etiologi

Sumber-sumber infeksi yang dapat menjadi fokal infeksi yang terdapat di mulut dan gigi sehingga dapat menginfeksi jantung dan menimbulkan endokarditis adalah sisa akar, pulpitis kronik, periodontal pocket dan penyakit periodontal lainnya, penyakit periapikal kronis dan giginonvital yang tidak dirawat (Piper et al, 2001)

Sering pasien tidak mengetahui dengan jelas sejak kapan penyakitnya timbul. Pada beberapa pasien, manifestasi penyakit menjadi jelas sesudah pencabutan gigi, infeksi saluran nafas atau tindakan lain. Gejala umum yang sering ditemukan adalah demam yang berlangsung terus menerus, remitten ataupun intermitten, atau sama sekali tidak teratur. Umumnya puncak demam 38-40oC dan terjadi pada sore atau malam hari. Sering diikuti menggigil dan kemudian berkeringat banyak. Dapat terjadi anemia yang bersifat progresif dan dapat pula ditemui pembesaran hati dan limpa. Gejala emboli dan vascular berupa ptekie biasanya timbul pada mukosa tenggorok, mata dan juga pada semua bagian kulit. Bagian tengah ptekie biasanya lebih pucat, dan bisa terjadi di retina yang disebut Roth’s spot. Emboli yang timbul sub-ungual jari tangan dan kaki yang berbentuk linier disebut Splinter hemorrhages. Lesi yang spesifik adalah Osler’s nodes yaitu penonjolan kulit berwarna merah jambu atau merah, yang terdapat di bagian dalam jari, otot tenar dan hipotenar, bersifat nyeri. Emboli yang besar dapat tersangkut di otak sehingga bisa menimbulkan hemiplegi, atau gangguan

(34)

saraf sentral lain atau gangguan psikiatri. Bila tersangkut di arteri koroner dapat menyebabkan infark miokard akut, dan jika di paru – paru dapat terjadi abses paru. Tanda-tanda kelainan jantung penting untuk menentukan adanya kelainan katup atau kelainan bawaan karena sebagian besar endokarditis sub-akut didahului oleh penyakit jantung (Renzulli et al, 2001)

2.6.4 Patogenesis

Port d’entrée kuman yang paling sering adalah saluran pernafasan bagian atas, selain itu juga melalui saluran kemih dan genital, saluran pencernaan, pembuluh darah vena dan kulit (Soeparman, 1987).

Endokard yang rusak dan tidak rata mudah terinfeksi oleh mikroorganisme, menimbulkan vegetasi yang terdiri dari trombosit dan fibrin. Vaskularisasi jaringan granular tersebut biasanya tidak baik, sehingga memudahkan mikroorganisme berkembang biak dan akibatnya akan menambah kerusakan katup dan endokard, kuman yang sangat pathogen dapat menyebabkan robeknya katup sehingga terjadi kebocoran. Infeksi dengan mudahnya meluas ke jaringan sekitarnya menimbulkan abses miokard atau aneurisma mikotik. Bila infeksi mengenai korda tendinae maka dapat terjadi rupture, mengakibatkan terjadinya kebocoran katup. Endokarditis akut, terutama yang disebabkan Staphylococcus aureus disertai abses pada lingkaran katup (Soeparman, 1987).

Pembentukan thrombus yang mengandung kuman dan kemudian lepas dari endokard merupakan gambaran yang khas pada endokarditis infektif. Besarnya emboli bermacam-macam. Emboli yang disebabkan oleh jamur biasanya lebih besar, menyangkut dan menyumbat pembuluh darah besar pula. Tromboemboli yang infeksius bisa tersangkut di otak, limpa, ginjal, saluran cerna, jantung, anggota gerak, kulit dan paru (Soeparman, 1987).

2.6.5 Manifestasi

Pada beberapa pasien, manifestasi penyakit menjadi jelas sesudah pencabutan gigi, infeksi saluran nafas atau tindakan lain. Gejala umum yang sering ditemukan adalah demam yang berlangsung terus menerus, remitten ataupun intermitten, atau sama sekali tidak teratur. Umumnya puncak demam

Gambar

Gambar 2.1 Ilustrasi gambar penyebaran dari lateral abses ke daerah otot buccinator. b
Gambar 2.2 Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah submandibular di bawah muskulus  mylohyoid b
Gambar 2.3 a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental b. Tampakan klinis
Gambar 2.4. Abses Vestibular
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dari seluruh penelitian yang telah dilakukan bisa disimpulkan bahwa padanan yang telah digunakan oleh penerjemah dalam menerjamahkan novel ini sebagian besar sudah merupakan

Pentingnya dilakukan penelitian ini karena peneliti ingin menganalisis beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan asli daerah, faktor-faktor tersebut meliputi pengeluaran

Lembaga Masyarakat dalam Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak pada Acara Peresmian Kelompok Bermain di Kelurahan Bondongan, Bogor.. Ceramah dan

Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini triangulasi dengan sumber, berupa: membandingkan hasil wawancara dengan informan dengan hasil observasi yang telah

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang- undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 tentang

Reaksi yang bersifat eksotermik tersebut menghasilkan peningkatan suhu, tetapi suhu bahan selama pengeringan berlangsung kurang lebih konstan karena energi panas yang dilepaskan

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum dengan abstraksi melalui proses deduksi dari norma hukum positif yang berupa