• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Berdyaev dan Macquarrie (dalam Peterson & Seligman, 2004)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Berdyaev dan Macquarrie (dalam Peterson & Seligman, 2004)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SPIRITUALITAS 1. Definisi Spiritualitas

Menurut Berdyaev dan Macquarrie (dalam Peterson & Seligman, 2004) spiritualitas berasal dari kata latin spiritus, yang berarti nafas kehidupan, di berbagai momen sejarah, dan dalam konteks budaya yang berbeda, kata spiritus memiliki sinonim kebijaksanaan, kecerdasan, kapasitas untuk berpikir, dan jiwa atau kekuatan hidup nonfisik.

Spiritualitas dalam artian mengacu pada kepercayaan dan praktik yang didasarkan pada keyakinan bahwa ada dimensi nonfisik (transcendent) dalam kehidupan. Spiritualitas menggambarkan hubungan antara manusia dan tuhan dan berbagai kebajikan yang dihasilkan dari hubungan tersebut. Kebajikan tersebut diyakini secara nyata dalam mencapai prinsip dalam kehidupan dan kebaikan dalam kehidupan (Peterson & Seligman, 2004).

Schreurs (2002) yang memberikan pengertian spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih. Fernando (2006) yang mengatakan bahwa spiritualitas juga bisa tentang perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain.

(2)

Defenisi yang digunakan dalam penelitian ini, spiritualitas merupakan suatu kepercayaan yang mengacu pada adaanya dimensi nonfisik (transcendent) yang berhubungan dengan perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain.

2. Dimensi Spiritualitas

Sembilan dimensi spiritualitas (Elkin dkk, 1988), yaitu: a. Dimensi transenden (Transcendent dimension)

Percaya dengan adanya dimensi transenden dalam kehidupan. Inti dari keyakinan ini berupa kepercayaan terhadap Tuhan atau apapun yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden ataupun sesuatu yang lebih besar dari diri seorang individu. Ada hal yang lebih daripada yang terlihat, di mana yang tidak terlihat itu bermanfaat bagi seorang individu. Individu dengan spiritual tinggi juga memiliki pengalaman dengan dimensi transenden, di mana Maslow menyebutnya dengan pengalaman tertinggi (peak experiences). Dalam hal ini sejalan dengan keyakinan orang Jawa yang memiliki pandangan bahwa dimensi transenden dalam kehidupannya adalah Tuhan (Santosa, 2011).

b. Makna dan tujuan dalam hidup (Meaning and purpose in life)

Memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup yang memunculkan hidup yang lebih bermakna dan mencapai tujuan. Dari proses pencarian ini, individu memiliki makna dan tujuan hidup yang berbeda-beda, namun secara umum individu ingin mencapai eksistensi dengan hidup yang bermakna dan memiliki tujuan. Orang Jawa memiliki tujuan hidup yang besar

(3)

dan harus dipersiapkan sedini mungkin, yaitu kehidupan langgeng (abadi) diakhirat nanti (Santosa, 2011)

c. Misi hidup (Mission in life)

Adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan, panggilan untuk menjawab, menyelesaikan misi, atau dibeberapa kasus dalam memenuhi takdir. Individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dan memenuhi misi tersebut. Semua orang Jawa memiliki misi hidup untuk menjaga kehidupannya dan keluarganya agar tetap aman, damai, tenang, sejahtera, dan bahagia lahir batin (Santosa, 2011). d. Kesakralan hidup (Sacredness of life)

Hidup harus diresapi dengan kesakralan dan pengalaman tentang rasa kagum, rasa hormat, bahkan dalam setting di luar agama. Pandangan akan hidup tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler, suci dan duniawi, namun percaya bahwa semua aspek kehidupan sifatnya suci dan kesakralan ada di dalamnya. Orang Jawa memandang kekuatan yang sakral melalui menggabungkan kekuatan lahir dan batin dalam mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang diharapkan (Santosa, 2011).

e. Nilai-nilai material (Material values)

Menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang memiliki spiritual tinggi menghargai materi seperti uang namun tidak mencari kepuasaan akhir dari material tersebut. Kepuasaan dalam hidup datang bukan dari seberapa banyak kekayaan yang dimiliki, namun dari hal spiritual.

(4)

Orang Jawa memiliki kepercayaan bahwa bersama orang lainlah setiap manusia menjalani kehidupan di dunia, serta dari orang lain pula ia mendapatakn rezeki. Realitasnya, setiap rezeki bukan jatuh dari langit, melainan ada pihak-pihak yang menjadi lantaran (saluran), oleh sebab itu, dia harus dapat mengamalkan semangat hidup tolong menolong, bahu-membahu, membalas budi baik, karena banyak hal di dunia tidak dapat dikerjakan (diselesaikan) sendiri sehingga memerlukan bantuan orang lain. Sejalan dengan ungkapan orang Jawa mung saderma anggadhuh peparinge Gusti Kang Akarya Jagad, yang memiliki arti “semuanya hanya anugerah, atau titipan” (Santosa, 2011).

f. Altruisme (Altruism)

Adanya tanggung jawab bersama dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesama (brother’s keepers), baik dari rasa sakit dan penderitaan. Tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta pada sesama. Berbuat baik dan benar di dunia menjadi orientasi penting dalam kehidupan orang Jawa, karena amal baik itulah yang akan menjadi bekal ke akhirat dalam memperoleh surga (Santosa, 2011).

g. Idealisme (Idealism)

Memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bahwa apa saja yang mereka sukai akan menjadi kenyataan. Orang yang spiritual

(5)

berkomitmen terhadap sikap ideal yang tinggi dan mengaktualisasinya melalui potensi positif dalam semua aspek kehidupannya. Masyarakat Jawa memiliki cita-cita hidup yang ideal, baik dalam konteks pribadi, sosial, maupun spiritualitas, sehingga berupaya untuk selalu menyeimbangkan idealismenya di setiap aspek kehidupan (Santosa, 2011).

h. Kesadaran akan peristiwa tragis (Awareness of the tragic)

Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa tragedi terjadi dalam eksistensi manusia. Peduli terhadap rasa sakit, penderitaan atau kematian. Kesadaran ini memberikan pengalaman spiritual yang mendalam dan memaknai hidup dengan lebih serius. Kesadaran akan peristiwa tragis juga meningkatkan kesenangan spiritualitas seseorang, pengetahuan, dan makna kehidupan. Dalam kehidupan suku Jawa, tragedi dianggap sebagai pengingat untuk selalu dekat dengan Sang Pencipta (Mulyana, 2006).

i. Manfaat (Beneficial manifestations (fruit) of spirituality)

Individu menilai spiritualitas merupakan buah dari kehidupan. Spiritualitas yang nyata terlihat dari efek spiritualitasnya, dan biasanya dikaitkan dengan hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai aspek transenden. Berbagai ritual yang dijalankan masyarakat Jawa mendatangkan keberkahan bagi hidup mereka (Mulyana, 2006).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang (Taylor dkk, 1997), yaitu:

(6)

a. Tahapan Perkembangan

Setiap individu berbeda dalam pemenuhan spiritualitas sesuai dengan usia, jenis kelamin, agama, dan kepribadian individu. Spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dan berhubungan dengan proses perubahan dan perkembangan pada manusia.

b. Budaya

Setiap budaya berbeda dalam bentuk pemenuhan spiritualitas. Budaya dan spiritualitas menjadi dasar sesorang dalam melakukan sesuatu dan menjalani cobaan atau masalah dalam hidup dengan seimbang.

c. Keluarga

Keluarga sangat berperan dalam perkembangan spiritualitas individu. Keluarga adalah tempat pertama kali individu mendapatkan pengalaman dan pandangan hidup. Melalui keluarga, individu belajar tentang Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri. Keluarga memiliki peran yang penting dalam memenuhi kebutuhan spiritualitas, dikarenakan keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dengan individu.

d. Agama

Agama sangat mempengaruhi spiritualitas individu. Agama merupakan suatu sistem keyakinan dan ibadah yang dipraktikkan individu dalam pemenuhan spiritualitas individu. Agama merupakan cara pemeliharaan hidup terhadap segala aspek kehidupan.

(7)

e. Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup mempengaruhi seseorang dalam mengartikan secara spiritual terhadap kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang menyenangkan dapat menyebabkan seseorang bersyukur atau tidak bersyukur.

f. Krisis dan Perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan spiritualitas pada seseorang. Krisis sering dialami seseorang ketika menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dialami seseorang merupakan pengalaman spiritualitas yang bersifat emosional.

B. SUKU JAWA 1. Definisi Suku Jawa

Dari sudut antropologi yang disebut suku Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa, bertempat tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari daerah-daerah tersebut (Gauthama dan Alkadri, 2003).

Menurut Santosa (2011) dari sudut budaya, suku Jawa adalah orang yang lahir dari etnis Jawa atau merupakan keturunan orang Jawa dari generasi terdahulu, memiliki identitas Jawa, dan mengamalkan nilai-nilai adat kebudayaan warisan leluhur dengan kesadaran dan kemauannya sendiri.

(8)

Defenisi yang digunakan dalam penelitian ini, suku Jawa merupakan orang-orang yang merupakan keturunan Jawa dari generasi sebelumnya.

2. Hakekat Pokok Suku Jawa

Gauthama dan Alkadri (2003) menyatakan masyarakat suku Jawa memiliki sistem orientasi nilai budaya yang terdiri dari lima hakekat pokok, yaitu:

a. Hakekat hidup

Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu dan konsep-konsep religius yang bernuansa mistis. Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa.

b. Hakekat kerja

Masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha, mereka hanya tahu bahwa mereka harus terus berikhtiar dan bekerja. Bagi mereka, bekerja itu memang sudah merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Sedangkan bagi masyarakat kelas menengah dan kelas atas memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga segala usaha yang dijalankannya selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan.

c. Hakekat waktu

Hakekat waktu pada masyarakat Jawa tradisional tercermin dalam kemampuan mereka menghitung waktu yang cocok untuk melaksanakan berbagai

(9)

kegiatan, atau lebih dikenal dengan sebutan petungan, selain itu hakekat waktu juga berhubungan dengan kemampuan meramalkan berbagai hal yang berkaitan dengan siklus kehidupan maupun watak seseorang yang disebut dengan pasaran. d. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya

Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tangga (masyarakat). Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat.

e. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya

Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak terlepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang mengharuskan manusia mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isisnya agar tetap terpelihara dan harmonis.

3. Karakter Orang Jawa

Santosa (2011) orang Jawa memiliki 10 karakter, yaitu sebagai berikut: a. Orang Jawa suka menyatakan segala sesuatu dengan tidak langsung. Orang

Jawa cenderung bersikap semu atau terselubung, penuh simbol, suka menyampaikan kata-kata tersamar. Setiap orang yang datang (tamu) selalu diterima dengan muka manis.

b. Tutur kata dan perbuatannya cenderung halus, menggunakan unggah-unggah (tatakrama), dilandasi semangat persaudaraan dan tenggang rasa tinggi.

(10)

c. Terbuka dan mudah melakukan hubungan, komunikasi, pergaulan dengan siapapun. Hidupnya rukun, semangat kebersamaannya (gotong royong) tinggi, dan sedapat mungkin berusaha menghindari perselisihan (konflik).

d. Suka prihatin dan menjalani laku olah batin. Orang Jawa memiliki semangat besar untuk bertapa (menjalani asketisme) atau laku prihatin.

e. Memiliki sifat rela

f. Memiliki kesetiaan tinggi dalam mengabdi atau melakukan kerjasama.

g. Berbudi luhur, mengutamakan pertimbangan baik buruk, serta kepantasan dalam berbuat maupun di dalam menilai berbagai realitas yang ditemui

h. Memiliki religiusitas tinggi sesuai dengan kepercayaan batin yang dianutnya i. Tindak perbuatannya cenderung hati-hati

j. Memiliki perhatian dan kepercayaan tinggi hubungannya dengan alam gaib (metafisika). Terbukti dengan masih maraknya praktik perdukunan, paranormal, ramalan, ziarah ke makam leluhur, yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Jawa

C. DINAMIKA SPIRITUALITAS PADA SUKU JAWA

Konten spiritulitas setiap budaya berbeda, namun memiliki konsep akhir yang sama (Peterson & Seligman, 2004). Suku Jawa memiliki konten tersendiri dan berbeda dengan suku lainnya, seperti, mempertahankan spiritualitas merupakan salah satu identitas budaya Jawa. Mempertahankan spiritualitas dilakukan melalui menjalankan tradisi budaya (Santosa, 2011).

(11)

Setiap manusia memiliki kebutuhan untuk menyalurkan dan memenuhi spiritualitasnya (Berman dan Snyder, 2012), termasuk orang Jawa. Dalam memenuhi kebutuhan spiritualitasnya, orang Jawa harus memenuhi dimensi spiritulitas yang disesuaikan dengan pandangan spiritualitas dari budaya Jawa, sejumlah kepercayaan animisme-dinamisme masih tampak mewarnai adat tradisi Jawa hingga kini, seperti ritual selamatan, kepercayaan terhadap benda-benda bertuah, pemberian sesaji, kerjasama dengan roh-roh dari alam gaib, adanya primbon yang memuat ramalan mengenai bermacam aspek kehidupan manusia, lahirnya permainan (dan kesenian) yang melibatkan roh-roh dari alam gaib, dan munculnya bermacam mitos dalam adat tradisi Jawa. Nilai-nilai kepercayaan tersebut tampak masih sangat sederhana karena hanya bersumber dari naluri, intuisi, pengetahuan, pengalaman hidup, serta interaksinya dengan masyarakat dan alam lingkungan (Santosa, 2012).

Berdasarkan preeliminary research, didapatkan data bahwa beberapa kalangan masih melaksanakan tradisi spiritualitas Jawa, seperti kalangan keraton dan para tetua suku Jawa, namun untuk kalangan yang lebih muda, hanya beberapa tradisi spiritualitas saja yang dijalankan, seperti ritual-ritual saat selamatan. Akan tetapi, ada yang tidak menjalankan tradisi spiritualitas sama sekali. Mereka menganggap tradisi spiritulitas Jawa sudah kuno dan beberapa tidak masuk akal, sehingga mereka menjalankan spiritualitas melalui ajaran agama yang mereka anut saja.

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Menurut Taylor dkk (1997) ada enam faktor yang mempengaruhi spiritualitas

(12)

seseorang, antara lain: tahapan perkembangan, budaya, keluarga, agama, pengalaman hidup, serta krisis dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Tidak hanya satu faktor yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang, namun keenam faktor tersebut dapat saling melengkapi. Beberapa faktor juga umumnya terlihat dominan daripada faktor yang lain.

(13)

D. KERANGKA BERPIKIR

Spiritualitas Suku Jawa

Kegiatan spiritualitas Jawa = Budaya + Agama Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas 1. Perkembangan 2. Budaya 3. Keluarga 4. Agama 5. Pengalaman Hidup 6. Krisis dan Perubahan

Dimensi Spiritualitas

1. Dimensi transenden (Transcendent dimension)

2. Makna dan tujuan dalam hidup (Meaning and purpose in life) 3. Misi hidup (Mission in life)

4. Kesakralan hidup (Sacredness of life) 5. Nilai-nilai material (Material values) 6. Altruisme (Altruism)

7. Idealisme (Idealism)

8. Kesadaran akan peristiwa tragis (Awareness of the tragic) 9. Manfaat (Beneficial manifestations (fruit) of spirituality)

Referensi

Dokumen terkait

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

ANALISIS PENILAIAN KINERJA KEUANGAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN ECONOMIC VALUE ADDED (EVA) DAN FINANCIAL VALUE ADDED (FVA) (Studi Kasus PT... ANALISIS PENILAIAN KINERJA

Pemda Kabupaten Kulonprogo dalam hal ini Disnakertrans sendiri tidak mengu- sulkan untuk diberikan suatu hak atas tanah yang kuat/hak milik kepada para transmigran dengan

Kemampuan ice breaking tidak sekedar menjalankan permainan-permainan, namun juga penting untuk memilih kata-kata yang menarik dan tepat untuk menciptakan peserta yang

Setelah makan siang check out dari hotel untuk kemudian menuju Abyar Ali terlebih dahulu (untuk miqat umrah) dan melanjutkan perjalanan menuju kota Makkah Al

Data di atas menunjukkan mahasiswa Fakultas ilmu Sosial dan Politik telah memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai sampah.. Tinggi tingkat pengetahuan

setiap instruksi dan paparan informasi bersifat membantu dan bersahabat dengan pembaca, termasuk kemudahan pembaca dalam merespon, mengakses sesuai keinginan. Peneliti berhasil