• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORI"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Pola Makan

2.1.1 Pengertian Pola Makan

Pola makan atau pola mengkonsumsi pangan dalam setiap saat adalah merupakan susunan jenis makanan dan jumlah pangan yang dikonsumsi dimana seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu mengkonsumsinya, (Yayuk Farida Baliwati. dkk, 2009). (Santosa dan Ranti, 2009), mengungkapkan dimana bahwa pola makan merupakan berbagai informasi yang penting sehingga memberi gambaran mengenai macam-macam jenis makanan dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari, oleh seseorang atau sekelompok orang.

Pendapat lain juga menurut dua pakar yang berbeda-beda dapat diartikan secara umum bahwa pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor yang meliputi faktor antara lain yaitu : sosial, budaya dimana mereka hidup. Pola makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif dan negatif, (Santosa dan Ranti, 2009). Sikap positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai affective, yang berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial dan ekonomi), dimana manusia atau kelompok manusia itu tumbuh, demikian juga halnya dengan kepercayaan terhadap makanan yang berkaitan dengan nilai-nilai cognitive yaitu: kualitas baik atau buruk, dimana menarik atau tidak menarik, pemilihan adalah proses psychomotor diamana untuk memilih makanan

(2)

sesuai dengan sikap dan perilaku serta kepercayaannya, (Khumaidi, 2009), berdasarkan data-data maka pakar-pakar juga memutuskan pola makan bagi remaja dipengaruhi oleh dua hal yang mendasar yaitu :

1. Pola makan keluarga

Lingkungan keluarga juga sangat besar pengaruhnya terhadap anak, hal ini karena di dalam keluargalah anak memperoleh pengalaman pertama dalam kehidupannya, dalam hal ini orang tua mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk kesukaan makan anak-anaknya, karena orang tua adalah model pertama yang dilihat oleh anak, hubungan sosial yang dekat yang berlangsung lama dimana antara anggota keluarga memungkinkan bagi anggotanya mengenal jenis makanan yang sama dengan keluarga, (Karyadi, 2009).

Menurut (Khumaidi, 2010), setiap sikap anak terhadap makanan dipengaruhi oleh pelajaran dan pengalaman yang diperoleh sejak masa kanak-kanak tentang apa dan bagaimana makan, terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu adalah merupakan hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat mereka makan untuk memenuhi rasa laparnya serta dari hubungan emosional antara anak-anak dengan yang memberi mereka makan.

2. Pola makan remaja

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh, Frank Gc yang dikutip oleh, (Moehyi, 2012), mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan makan remaja dengan ukuran tubuhnya. Makan siang dan makan malam menyediakan 60% dari intake kalori, sementara makanan jajanan menyediakan kalori 25%. Anak obesitas ternyata akan sedikit makan pada waktu pagi dan lebih banyak makan pada waktu siang dibandingkan dengan anak kurus pada umur yang sama. Anak

(3)

sekolah terutama pada masa remaja tergolong pada masa pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental serta peka terhadap rangsangan dari luar. Konsumsi makanan merupakan salah satu faktor penting yang untuk menentukan potensi pertumbuhan remaja. Jumlah atau porsi makanan sesuai dengan anjuran makanan bagi remaja menurut (Sediaoetama, 2012) yang disajikan pada tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Jumlah porsi makanan yang dianjurkan pada usia remaja

Makan pagi Jam 06.00-07.00 WIB Makan siang 13.00-14.00 WIB Makan malam 20.00 WIB Nasi 1 porsi 100 gr beras Nasi 1 porsi 100 gr beras

Nasi 1 porsi 100 gr beras Telur 1 butir 50 gr Daging 1 porsi 50 gr Daging 1 porsi 50 gr Susu sapi 200 gr Tempe 1 porsi 50 gr Tahu 1 porsi 100 gr

Sayur 1 porsi 100 gr Sayur 1 porsi 100 gr Buah 1 porsi 75 gr Buah 1 porsi 100 gr

Susu skim 1 porsi 20 gr

2.1.2 Metode Pengukuran Pola Makan

(Data Riskesdas, 2010) Metode pengukuran pola makan untuk individu, antara lain:

1. Metode Food Recall 24 Jam

Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukur rumah tangga URT (sendok, gelas, piring dan lain-lain), beberapa penelitian menunjukkan bahwa

(4)

minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu.

2. Estimated Food Records

Pada metode ini responden diminta untuk mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali sebelum makan dalam ukuran rumah tangga URT atau menimbang dalam ukuran berat (gram), dalam periode tertentu 2 sampai 4 hari berturut-turut, termasuk cara persiapan dan pengolahan makanan tersebut.

3. Penimbangan Makanan (Food Weighing)

Pada metode penimbangan pola makanan yaitu, responden atau petugas menimbang dan mencatat hasil seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama 1 hari, penimbangan makanan ini biasanya berlangsung beberapa hari tergantung dari tujuan, dana penelitian dan tenaga yang tersedia, dimana perlu diperhatikan, bila terdapat sisa makanan setelah makan maka perlu juga ditimbang sisa tersebut untuk mengetahui jumlah sesungguhnya makanan yang dikonsumsi.

4. Metode Riwayat Makan (Dietary History Method)

Menurut (Siagian, 2010), metode riwayat makan ini dimaksudkan untuk memperkirakan kebiasaan asupan pangan individu pada periode waktu yang lama. Metode ini adalah metode wawancara yang terdiri atas tiga komponen yang terdiri dari:

a. Komponen pertama adalah:

Wawancara, (termasuk recall 24 jam), yang mengumpulkan data tentang apa saja yang dimakan dan dikonsumsi responden selama kurun waktu 24 jam terakhir.

b. Komponen kedua adalah:

Tentang frekuensi penggunaan dari sejumlah bahan makanan dengan memberikan daftar (checklist) yang sudah disiapkan, untuk mengecek kebenaran dari recall 24 jam terakhir.

(5)

Pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang, hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengumpulan data adalah keadaan musim-musim tertentu dan hari-hari istimewa seperti awal bulan, hari-hari raya dan sebagainya.

5. Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu, bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden.

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan Pada Remaja

Sebagaimana kita ketahui bahwa pola makan merupakan perilaku yang ditempuh oleh seseorang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makanan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup. Perilaku sangat mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku. Menurut Green dalam (Notoadmodjo, 2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu: 1. Faktor Predisposisi (Faktor Predisposing)

Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu dan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langsung dari

(6)

pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, (Notoatmodjo, 2009). Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif terbagi atas enam tingkatan yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real sebenarnya. Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

(7)

organisasi, dan masih ada kaitannyan satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengetahuan gizi diartikan sebagai semua yang diketahui tentang makanan, faedah makanan bagi kesehatan, (Moehyi, 2009). Suhardjo (2010) mengatakan bahwa pengetahuan gizi membicarakan tentang makanan beserta unsur gizinya dalam hubungannya dengan kesehatan, pertumbuhan, bekerjanya jaringan dan anggota tubuh secara normal serta produktivitas kerja. Menurut (Almatsir, 2012), pengetahuan gizi adalah sesuatu yang diketahui tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan optimal.

Dalam penelitian Asmini, (2009) tingkat pengetahuan gizi siswa-siswi di Madrasah Tsanawiyah Negeri Langgudu Kabupaten Bima sebagian besar dalam kategori baik sebanyak 45 (54,2%) orang dari 83 siswa dan yang mempunyai status gizi baik sebanyak 48 siswa (57,8%). Dalam penelitian Muniroh, (2011),

(8)

menunjukkan tingkat pengetahuan gizi remaja di Jombang adalah baik sebesar 81,5% tetapi masih terdapat remaja yang berstatus gizi kurang sebesar 20% walaupun pengetahuan gizinya baik. Pengetahuan siswi tentang gizi dan pola makan yang sehat akan membentuk sikap siswi terhadap pola makan sehari-harinya dan selanjutnya akan mendorong para siswi untuk tidak melakukan pola makan berlebihan.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap pola makan berlebih adalah sikap remaja. Sikap (attitude), menurut (Sarwono, 2009) adalah kesiapan ataosisi bagi seseorang untuk berperilaku. Menurut (Green, 2012). Struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan faktor yang mana saling menunjang yaitu: komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective) dan komponen konatif (conative).

Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap mengenai apa yang berlaku atau yang benar bagi objek sikap. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Komponen konatif merupakan aspek kecendrungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang mana dimiliki seseorang. Interaksi dimana antara ketiga komponen adalah selaras dan konsisten, dikarenakan dan apabila dihadapkan dengan suatu objek sikap yang sama maka ketiga komponen itu harus mempolakan arah sikap yang seragam. Apabila salah satu diantara ketiga komponen sikap tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidak selarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap sedemikian rupa sehingga konsistensi itu tercapai kembali (Azwar, 2007).

(9)

Menurut penelitian Setyaningrum dalam (Sahri, 2008) saat ini masyarakat cenderung lebih menyukai makanan cepat saji yang tinggi lemak, protein, karbohidrat dan garam yang berdampak meningkatnya kelebihan berat badan. Sikap merupakan pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek, jumlah sikap senantiasa terarah terhadap suatu objek (Purwanto, 2010).

Menurut (Notoatmodjo, 2011) sikap positif adalah sikap sesuai dengan yang diharapkan berupa menerima, bersahabat ingin membantu, penuh inisiatif dan ingin bertindak sesuai dengan yang diharapkan hal ini sesuai dengan teori dimana sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas tetapi merupakan pencetus suatu tindakan atau perilaku, Menurut (Allport, 2010) dalam, menjelaskan sikap itu mempunyai 3 komponen yaitu kepercayaan, evaluasi, emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak. Komponen ini secara bersama membentuk sikap yang utuh, dalam penentuan sikap ini pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting, pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.

Menurut (Notoatmodjo, 2009) Sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu, walaupun sikap belum merupakan suatu tindakan aktivitas tetapi merupakan pencetus suatu tindakan atau perilaku, sikap ini dapat bersifat positif, dan dapat pula bersifat negatif, sikap positif ditunjukkan dengan cara menghindari konsumsi makanan cepat saji yang berlebihan sedangkan sikap negatif ditunjukkan dengan seringnya siswa mengkonsumsi makanan yang cepat saji, terkait dengan teori diatas peneliti

(10)

berpendapat bahwa pengaruh sikap yang baik terhadap efek dari makanan cepat saji akan mempengaruhi kesehatan siswa-siswi.

2. Faktor Pendukung (Faktor Enabling) a. Uang Saku

Menurut (Endromono, 2011) menyatakan bahwa pemberian uang saku terhadap remaja juga bisa menjadi pemicu mereka untuk membeli makanan cepat saji, karena semakin besar uang saku yang mereka peroleh maka semakin besar kemungkinan mereka untuk membeli atau mengonsumsi makanan cepat saji, karena harga makanan cepat saji dipasaran cenderung tinggi. Sebenarnya tanpa disadari, orang tua juga ikut adil dengan kebiasaan seorang siswa dalam mengkonsumsi makanan cepat saji tersebut, dengan jalan memberikan uang saku dan membiarkan anaknya jajan akibatnya anak menjadi lebih sering dan terbiasa mengkonsumsi makanan cepat saji.

Besarnya uang saku yang diberikan kepada siswa dan kurangnya kontrol dari orang tua mengakibatkan siswa sering mengkonsumsi makanan cepat saji yang dapat berdampak tidak baik terhadap kesehatan mereka pada masa yang akan datang. Dari hasil peneliti diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar uang saku yang diperoleh siswa maka akan semakin besar pula peluang mereka untuk membeli makanan cepat saji, karena mereka akan berpikir jika mereka membeli makanan cepat saji akan lebih simpel dari pada mereka membawa makanan dari rumah atau masak sendiri, (Endromono, 2011)

Hasil peneltian Novasari (2009) terhadap 87 orang siswa Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional, (LBPP-LIA) di Palembang untuk mengetahui hubungan uang saku dengan perilaku mengonsumsi makanan cepat saji. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara uang saku dengan perilaku mengonsumsi makanan cepat saji siswa LBPP-LIA.

(11)

Aktivitas merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan gerakan dan mengeluarkan energi. Dalam penelitian ini aktivitas yang diteliti adalah klasifikasi aktivitas fisik yaitu aktivitas fisik ringan, sedang dan berat. Beberapa pakar mempunyai pengertian tentang aktivitas fisik, antara lain mengatakan bahwa aktivitas fisik dapat didefinisikan sebagai gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. (Almatsier, 2009),

Sedangkan, (Fathonah, 2011), menyatakan bahwa aktivitas dibagi menjadi dua yaitu aktivitas fisik internal dan eksternal. Aktivitas fisik internal yaitu suatu aktivitas dimana proses bekerjanya organ-organ dalam tubuh saat istirahat, sedangkan aktivitas eksternal yaitu aktivitas yang dilakukan oleh pergerakan anggota tubuh yang dilakukan seseorang selama 24 jam serta banyak mengeluarkan energi.

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan aktivitas fisik merupakan suatu kondisi yang memerlukan tingkatan gerakan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan energi yang dikeluarkan, sehingga kalori per jam akan berkurang tergantung tingkat aktivitasnya, aktivitas remaja sebagian besar banyak dilakukan di sekolah selama 8 jam meliputi kegiatan belajar dan bermain saat istirahat, aktivitas berada dirumah kurang lebih 5-6 jam meliputi mengerjakan pekerjaan rumah, dan juga membantu orang tua dan bermain di lingkungan dengan teman sebayanya, dan aktivitas fisik remaja membutuhkan asupan pangan mengandung zat gizi yang cukup sehingga kondisi tubuh remaja akan tetap baik, hidup terasa santai dan biasa karena segalanya sudah tersedia sehingga dapat berakibat menghambat gerak atau aktivitas yang pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan dimana antara asupan pangan dan pengeluaran energi, dampak penumpukan lemak akan juga menyebabkan penumpukan lemak yang berlebihan yang disebut dengan kegemukan atau obesitas, (Almatsier, 2009). 3. Faktor Pendorong (Faktor Reinforcing)

a. Teman

Teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat besar pada remaja dalam hal memilih jenis makanan, ketidakpatuhan terhadap teman dikhawatirkan dapat

(12)

menyebabkan dirinya terkucil dan akan merusak kepercayaan dirinya, (Arisman, 2009).

b. Promosi Makanan Cepat Saji

Remaja usia sekolah juga merupakan suatu kelompok masyarakat yang relatif rentan terhadap iklan terutama iklan makanan cepat saji di televisi. Adanya iklan-iklan produk makanan cepat saji di televisi dapat meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya, pada umumnya fungsi dari iklan adalah untuk memberi informasi dan melakukan persuasi, tujuan dimana pemberian informasi adalah untuk memperkenalkan produk-produk baru atau perubahan produk lama, (Arisman, 2009).

Walaupun iklan adalah suatu informasi yang diperlukan oleh konsumen namun dalam hal ini pengaruh iklan adalah hal yang kurang baik, karena jika siswa terpengaruh iklan dalam mengkonsumsi makanan cepat saji maka mereka justru akan mengurangi pola makan yang seharusnya pola makan sehat remaja belum mempunyai kematangan cara berpikir dan bertindak. Ia berada pada tahap sosialisasi dengan melakukan pencarian informasi di sekitarnya, dimana dalam rangka membentuk identitas diri dan kepribadiannya. Sumber informasi utama bagi anak adalah dari keluarga, setelah itu, ia mengumpulkan informasi lainnya dari teman sebaya, sekolah, masyarakat dan media massa, (Arisman, 2009).

Kenyataan ini perlu dicermati secara kritis karena iklan bisa membentuk pola makan yang buruk pada masa remaja, padahal makanan yang dikonsumsi pada masa remaja akan menjadi dasar bagi kondisi kesehatan di masa dewasa dan tua nanti, gencarnya iklan produk makanan di media massa, terutama televisi, karena jiwanya masih labil, maka remaja usia sekolah mudah sekali menjadi korban iklan, terutama jika yang diiklankan adalah produk makanan baru, mereka tertarik untuk mencobanya, (Almatsier, 2009).

(13)

Menurut (Almatsier, Soetardjo & Soekatri, 2011) Makan tidak teratur: melewatkan waktu makan (pagi, siang, malam) yang seharusnya di lakukan, pada umumnya remaja wanita melewatkan makan pagi atau makan malam dibandingkan remaja laki-laki, karena ingin tampil lebih kurus. Pola makan khusus, seperti contoh diet: vegetarian pada umumnya remaja ketika memutuskan untuk berdiet banyak diantaranya memutuskan untuk mengurangi konsumsi daging merah hingga semua produk makanan hewani dan mengkonsumsi produk makanan dari tumbuh-tumbuhan.

Karies gigi dan penyakit gigi dan mulut: kecenderungan remaja, mengkonsumsi snack yang kaya kabohidrat murni dapat menyebabkan karang gigi bila bertumpuk menyebabkan karies gigi atau infeksi gusi pada mulut dikemudian hari. Peran orang tua, orang tua memberi didikan kepada anak untuk lebih bertanggung jawab dan memberi kebebasan untuk memilih makanan yang bergizi selama masa pertumbuhannya. Penyalahgunaan bahan berbahaya: masalah kesehatan remaja perlu mendapat perhatian dan pengawasan orang tua seperti kelompok sebaya yang mudah menggunakan obat-obat terlarang seperti sabu-sabu, ganja, kokain, tembakau (rokok), dan alkohol atau orang tuanya juga seorang pengguna, (Almatsier, Soetardjo & Soekatri, 2011)

2.2 Konsep Status Gizi 2.2.1 Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah keadaan dimana diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan makanan atau asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan, (requirement) oleh tubuh untuk itu berbagai fungsi-fugsi secara biologis, (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya) (Suyanto, 2009). Status gizi dapat pula diartikan sebagai gambaran suatu kondisi fisik bagi seseorang sebagai refleksi dari keseimbangan energi yang masuk dan yang dikeluarkan oleh tubuh, (Marmi, 2013).

(14)

2.2.2 Klasifikasi Status Gizi

Menurut (Supariasa, 2014) Status gizi adalah merupakan hasil dari keseimbangan atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu atau keseimbangan antara asupan gizi dan kebutuhan zat gizi menentukan seseorang tergolong dalam kriteria status gizi tertentu, dan merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam rentang waktu yang cukup lama dan status gizi juga diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Gizi Seimbang (Balanced Nutrition)

Gizi seimbang merupakan susunan makanan sehari-hari yang mengadung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan ideal. Prinsip Gizi Seimbang (PGS) divisualisasikan sesuai dengan budaya dan pola makan setempat.

Bentuk tumpeng dengan nampannya di Indonesia disebut sebagai Tumpeng Gizi Seimbang (TGS) yang dirancang untuk membantu memilih makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat, sesuai dengan berbagai kebutuhan menurut usia (bayi, balita, remaja, dewasa dan usia lanjut) dan sesuai keadaan kesehatan (hamil, menyusui, aktivitas fisik, sakit), (Irianto, 2014). Gizi seimbang dapat ditentukan dengan menggunakan IMT Indeks Massa Tubuh, gizi seimbang apabila dimana terdapat skor berada di angka 18,5– 25. (Depkes, 2014).

2. Gizi Kurang (Under nutrition)

Menurut Guthrie (2009), dimana gizi kurang adalah disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan energi (energy intake) dengan kebutuhan gizi.

(15)

Dalam hal ini tentu akan terjadi ketidakseimbangan negatif, yaitu asupan lebih sedikit dari kebutuhan. Secara umum, kekurangan gizi menyebabkan beberapa gangguan dalam proses pertumbuhan, mengurangi produktivitas kerja dan kemampuan berkonsentrasi, struktur dan fungsi otak, pertahanan tubuh, serta perilaku (Almatsier, 2009). Gizi kurang dapat ditentukan dengan menggunakan IMT (Indeks Massa Tubuh), gizi kurang di angka 17 – 18,5 dan kurang dari 17 (Depkes, 2014).

3. Gizi Lebih (Overnutrition)

Ketidak seimbangan gizi dimana antara asupan energi, (energy intake), dengan kebutuhan gizi mempengaruhi status gizi seseorang. Ketidakseimbangan positif terjadi apabila asupan energi lebih besar dari pada kebutuhan sehingga mengakibatkan kelebihan berat badan atau gizi lebih, (Guthrie, Helen A, 2011). Makanan dengan kepadatan energi yang tinggi, (banyak mengandung lemak atau gula yang ditambahkan dan kurang mengandung serat). Turut menyebabkan sebagian besar keseimbangan energi yang positif.

Selanjutnya penurunan pengeluaran energi akan meningkatkan keseimbangan energi yang positif, faktor penyebabnya adalah aktivitas fisik golongan masyarakat rendah, efek toksis yang membahayakan, kelebihan energi, kemajuan ekonomi, kurang gerak, kurang pengetahuan akan gizi seimbang, dan tekanan hidup (stress). Akibat dari kelebihan gizi diantaranya obesitas (energi disimpan dalam bentuk lemak), penyakit degenerative seperti hiperensi, diabetes, jantung koroner, hepatitis, dan penyakit empedu, serta usia harapan hidup semakin menurun. Gizi lebih dapat ditentukan dengan menggunakan IMT (Indeks Massa Tubuh), gizi lebih di angka 25-27 dan lebih dari 25-27 dikatakan obesitas (Depkes, 2014).

(16)

1. Faktor eksternal

Menurut (Marmi, 2013) Faktor external atau faktor dari luar yang mempengaruhi status gizi antara lain:

a. Pendapatan

Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf ekonomi keluarga, yang hubungannya dengan daya beli keluarga tersebut.

b. Pendidikan

Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua atau masyarakat tentang status gizi yang baik.

c. Pekerjaan

Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh orang tua ayah dan ibu sehingga menunjang kehidupan keluarganya.

d. Budaya

Budaya adalah suatu ciri khas, untuk seseorang atau sekelompok orang yang mana mempengaruhi tingkah laku sehingga memilih menu makanan yang baik setiap harinya.

2. Faktor internal

Menurut (Marmi, 2013) Faktor internal yang mempengaruhi status gizi antara lain:

(17)

Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi pada anak dan remaja.

b. Kondisi fisik

Seseorang yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status kesehatan mereka yang buruk. Anak dan remaja pada periode hidup ini kebutuhan zat gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat.

c. Infeksi

Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan.

2.2.4 Kebutuhan Gizi Remaja

Kebutuhan gizi remaja relatif besar, karena remaja masih mengalami masa pertumbuhan, remaja umumnya melakukan aktivitas fisik lebih tinggi dibandingkan dengan usia lainnya, sehingga diperlukan zat gizi yang lebih banyak, secara biologis kebutuhan zat gizi remaja selaras dengan aktivitas, remaja membutuhkan lebih banyak protein, vitamin, dan mineral. secara sosial dan psikologis, remaja sendiri menyakini bahwa mereka tidak terlalu memperhentikan faktor kesehatan dalam menjatuhkan pilihan makanannya, melainkan lebih memperhatikan faktor lain seperti orang dewasa, lingkungan sosial, dan faktor lain yang sangat mempengaruhinya (Marmi, 2013).

1. Energi

Energi merupakan kebutuhan yang terutama apabila tidak tercapai, diet protein, vitamin, dan mineral tidak dapat dipergunakan secara efektif dalam berbagai fungsi

(18)

metabolik. Energi dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan, aktifitas otot, fungsi metaboliknya (menjaga suhu tubuh, menyimpan lemak tubuh).

Sumber energi berasal dari karbohidrat, protein, lemak menghasilkan kalori masing-masing, sebagai berikut: karbohidrat 4 kkal/g, protein 4 kkal/g dan lemak 9 kkal/g, kebutuhan energi bervariasi tergantung aktifitas fisik, remaja yang kurang aktif dapat menjadi kelebihan berat badan (BB) atau mungkin obesitas, asupan energi yang rendah menyebabkan retardasi pertumbuhan, berat badan (BB) rendah, dan starvasi (Soetjiningsih, 2012). Starvasi adalah suatu keadaan dimana terjadinya kekurangan asupan energi dan unsur-unsur nutrisi essensial yang diperlukan tubuh dalam beberapa hari sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan dalam proses metabolisme di dalam tubuh (Syahputra, 2009).

2. Protein

Protein diperlukan untuk sebagian besar proses metabolik, terutama pertumbuhan, dan maintenen atau merawat jaringan tubuh. Protein mensuplai sekitar 12%-14% asupan energi selama masa anak dan remaja. Kebutuhan sehari-hari yang direkomendasikan pada remaja berkisar antara 44-59 gram, tergantung jenis kelamin dan umur berdasarkan BB, remaja umur 11-14 tahun pada laki-laki atau perempuan memerlukan protein 1 g/kg berat badan (BB), dan pada umur 15-18 tahun berkurang menjadi 0,9 g/kg pada laki-laki dan 0,8 g/kg pada perempuan. Sumber diet protein yang baik adalah daging, unggas, ikan, telur, susu, dan keju (Soetjiningsih, 2010).

3. Lemak

Lemak berperan penting sebagai komponen struktural dan fungsional membran sel, yang meliputi berbagai segi dari metabolisme. Lemak juga sebagai sumber asam lemak esensial yang diperlukan oleh pertumbuhan, karena merupakan sumber suplai

(19)

energi yang berkadar tinggi dan pengangkut vitamin yang larut dalam lemak. Lemak esensial juga dibutuhkan oleh tubuh sekitar 3% dari total energi. Kebutuhan lemak dihitung sekitar 37% dari asupan energi total remaja, baik laki-laki maupun perempuan. Asupan lemak yang kurang adekuat, akan terjadi defisiensi asam lemak esensial dan nutrien yang larut dalam lemak,

Serta terjadinya pertumbuhan yang buruk, sebaliknya. Jika kelebihan asupan akan berisiko kelebihan berat badan (BB), obesitas, mungkin bisa meningkatkan penyakit kardiovaskuler nantinya. Sumber lemak yang dapat dikonsumsi adalah lemak jenuh (mentega), asam lemak tak jenuh tak tunggal (minyak olive), asam lemak tak jenuh ganda (minyak kacang kedelai), kolestrol (hati, ginjal, otak, kuning telur, daging, unggas, ikan, dan keju), (Soetjiningsih, 2009).

4. Karbohidrat

Sumber terbesar energi tubuh adalah karbohidrat yang menjadi bagian dari bermacam-macam struktur sel dan substan dan komponen primer diet serat. Karbohidrat disimpan sebagai glikogen atau diubah menjadi lemak tubuh. Sumber karbohidrat yang baik adalah karbohidrat simple atau (buah-buahan, sayur-sayuran, susu, gula, pemanis berkalori lainnya), dan karbohidrat kompleks (produk padi-padian dan sayur-sayuran). Asupan yang tidak adekuat menyebabkan ketosis. Ketosis adalah suatu keadaan tubuh, yang terjadi sebagai akibat dari kurangnya kadar karbohidrat dalam tubuh. Sebaliknya asupan yang berlebihan mengarah pada kelebihan kalori (Soetjiningsih, 2010).

5. Serat

Fungsi serat pada tubuh adalah untuk melancarkan proses pengeluaran dari tubuh. Sumber yang baik dari diet adalah, produk padi-padian, beberapa jenis buah dan sayur, kacang-kacangan kering, dan biji-bijian. Bila kekerungan asupan serat makan akan menyebabkan konstipasi, sebaliknya jika kelebihan mungkin menimbulkan absorbsi mineral berkurang, (Soetjiningsih, 2011).

(20)

Kebutuhan mineral seluruhnya meningkat pada masa kerja tumbuh remaja. Mineral berperan penting pada kesehatan, kalsium, zat besi, dan seng, khususnya penting pada masa pertumbuhan dan perkembangan, (Soetjiningsih, 2009).

7. Vitamin

Vitamin A merupakan nutrien yang larut dalam lemak, esensial untuk mata, tulang, pertumbuhan, pertumbuhan gigi, diferensial sel, reproduksi dan integritas sistem imun. Sumber vitamin A yang baik adalah, karoten (sayur daun hijau tua, buah dan sayur kuning dan orange), makanan yang diperkaya dengan vitamin A dan susu, vitamin C berfungsi dalam pembentukan kolagen tulang dan gigi, dan melindungi vitamin lain dan mineral dari oksidasi (antioksidan). Asupan perhari vitamin C yaitu, 50 mg/hari untuk remaja usia 11-14 tahun pada laki-laki, dan 60 mg/hari untuk usia 15-18 tahun pada perempuan. Sumber vitamin C yaitu, buah-buahan segar seperti jeruk, tomat, kentang, sayur hijau tua dan strawberi yang di jus merupakan sumber vitamin C yang sangat baik.Vitamin E fungsinya sebagai antioksidan. Sumber vitamin E yang baik dalam diet, minyak dan lemak sayur-sayuran, beberapa produk sereal, kacang-kacangan dan beberapa ikan laut, (Soetjiningsih, 2010).

2.2.5 Faktor Penyebab Masalah Gizi Remaja 1. Kebiasaan makan yang buruk

Kebiasaan makan yang buruk, berpangkal pada kebiasaan makan keluarga yang tidak baik sudah tertanam sejak kecil akan terus menerus terjadi pada usia remaja. Remaja makan seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan berbagai zat gizi dan dampak tidak dipenuhinya kebutuhan zat gizi tersebut terhadap kesehatan, (Adriani, dkk, 2014).

2. Pemahaman gizi yang keliru

Tubuh yang langsing sering menjadi idaman bagi setiap para remaja terutama wanita remaja hal ini sering menjadi penyebab masalah, karena untuk memelihara kelangsingan tubuh mereka menerapkan pembatasan makanan secara keliru. Sehingga kebutuhan gizi mereka tidak terpenuhi. Hanya makan sekali sehari atau

(21)

makan-makanan seadanya, tidak makan nasi merupakan penerapan prinsip pemeliharaan gizi yang keliru dan mendorong terjadinya gangguan gizi, (Adriani, dkk, 2014).

3. Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu

Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu saja menyebabkan kebutuhan gizi tidak terpenuhi. Keadaan seperti ini biasanya terkait dengan “mode” yang tengah marak dikalangan remaja, (Adriani, dkk, 2014).

4. Promosi yang berlebihan melalui media massa

Usia remaja merupakan usia di mana mereka sangat mudah tertarik pada sesuatu yang baru. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pengusaha makanan dengan mempromosikan produk makanan mereka, dengan cara yang sangat mempengaruhi pada remaja. Apalagi film yang menjadi idola mereka, (Adriani, dkk 2014).

5. Masuknya produk-produk makanan baru

Produk makanan yang baru yang berasal dari negara-negara lain secara besar membawa pengaruh terhadap kebiasaan makan para remaja. Seperti jenis makanan siap saji (fast food) yang berasal dari Negara barat seperti hotdog, pizza, hamburger, fried chicken, dan french fries, berbagai makanan yang berupa kripik (junk food) sering dianggap lambang kehidupan modern oleh para remaja, (Adriani, dkk 2014).

2.2.6 Penilaian Status Gizi

Penilaian pada status gizi di lakukan dengan pengukuran langsung (BB) dengan: antropometri, biokimia, klinis, dan biofisik; dan pengukuran tidak langsung berupa survei konsumsi, statistik vital, dan faktor ekologi

1. Penilaian Langsung a. Antropometri

Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salah satu contoh dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau yang disebut dengan

(22)

Body Mass Index, IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi, orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. IMT hanya dapat digunakan untuk orang dewasa yang berumur di atas 18 tahun, (Gibson, 2009), dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh, terdiri dari :

1). Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang paling sering digunakan yang dapat mencerminkan jumlah dari beberapa zat gizi seperti protein, lemak, air dan mineral. Untuk mengukur Indeks Massa Tubuh, berat badan dihubungkan dengan tinggi badan, (Gibson, 2011).

2). Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan parameter yang di ukur panjang dan dapat merefleksikan pertumbuhan skeletal tulang, (Hartriyanti, Triyanti, 2009). Cara Mengukur Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter kuadrat, (Gibson, 2009).

Berat Badan (kg)

IMT=Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Kebutuhan gizi pada usia remaja berdasarkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk golongan usia 10-19 tahun di lihat pada tabel 2.2 di bawah ini

Golongan umur/tahun Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) Energi (kkl) Protein (g) Laki-laki 10-12 13-15 16-19 30 45 56 135 150 160 2000 2400 2500 45 64 66 Perempuan 10-12 13-15 16-19 35 46 50 140 153 154 1900 2100 2000 54 62 51

(23)

Sumber: Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi IV 2008.

Tabel 2.3 Kategori IMT berdasarkan Berdasarkan Pada Remaja WHO (2009)

Sumber

: WHO (2009)

dalam Gibson

(2011) b. Klinis

Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid), (Hartriyanti dan Triyanti, 2009).

c. Biokimia

Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium, pemeriksaan biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan yang paling sensitif, uji ini disebut uji biokimia statis, cara lain adalah dengan menggunakan uji gangguan fungsional yang berfungsi untuk mengukur besarnya konsekuensi fungsional dari suatu zat gizi yang spesifik. Untuk pemeriksaan biokimia sebaiknya digunakan perpaduan antara uji biokimia statis dan uji gangguan fungsional, (Baliwati, 2009).

d. Biofisik

Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta senja, (Supariasa, 2011) 2. Penilaian Tidak Langsung

a. Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu maupun keluarga,

Kategori IMT (kg/m2) Underweight < 18,5 Normal 18,5 – 24,99 Overweight ≥ 25,00 Preobese 25,00 – 29,99 Obesitas tingkat 1 30,00 – 34,99 Obesitas tingkat 2 35,00 – 39,9 Obesitas tingkat 3 ≥ 40,0

(24)

data yang didapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif, data kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi, (Baliwati, 2013).

b. Statistik Vital

Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data-data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan kekurangan gizi, (Hartriyanti dan Triyanti, 2011).

c. Faktor Ekologi

Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2009). 2.2.7 Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan

Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan suatu ukuran kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari untuk semua orang yang disesuaikan dengan golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dan mencegah terjadinya defisiensi zat gizi, (Depkes, 2012). Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah merupakan rata-rata tingkat konsumsi energi yang mana dengan pangan yang seimbang yang disesuaikan dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas fisik. Angka Kecukupan Protein (AKP) merupakan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein agar tercapai semua populasi orang sehat disesuaikan dengan kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas fisik. Kecukupan karbohidrat sesuai dengan pangan yang baik berkisar antara 50-65% total energi,

(25)

sedangkan kecukupan lemak berkisar antara 20-30% total energi, (Hardinsyah dan Tambunan, 2009).

Tabel 2.4. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata

No Umur Berat badan(kg) Tinggi badan (cm) Kalori(kkal) Protein(gram)

1 10-12 tahun 37,0 145 2050 50 2 13-15 tahun 49,0 153 2350 57 3 16-18 tahun 50,0 154 2200 50 Sumber : Depkes, 2009 2.3 Remaja 2.3.1 Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan suatu periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, waktu kematangan fisik, kognitif, sosial dan emosional dimana yang cepat pada anak laki-laki untuk mempersiapkan diri menjadi laki-laki dewasa dan pada anak perempuan untuk mempersiapkan diri menjadi wanita dewasa, (Wong, 2009). Sedangkan menurut (Depkes, 2009), remaja merupakan masa peralihan dari masa anak menjadi dewasa dimana terjadi perubahan fisik, mental, emosional, yang sangat cepat.

2.3.2 Tahapan Remaja

Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati tahapan berikut:

1. Masa remaja awal/dini, (Early Adolescence) umur 11-14 tahun.

2. Masa remaja dalam pertengahan, (Middle Adolescence) umur 15-17 Tahapan ini mengikuti pola yang konsisten untuk masing-masing individu. Walaupun setiap tahap mempunyai ciri tersendiri tetapi tidak mempunyai batas yang jelas, karena proses tumbuh kembang berjalan secara berkesinambungan, (Hockenberry, 2017).

(26)

1. Perubahan fisik

Perubahan fisik terjadi dengan cepat pada masa remaja. Kematangan seksual terjadi seiring perkembangan karakteristik seksual primer dan sekunder. Menurut (Santrock, 2007), ada empat fokus utama perubahan fisik yaitu:

a. Peningkatan pertumbuhan tulang rangka, otot, dan organ dalam.

b. Perubahan yang spesifik untuk setiap jenis kelamin, seperti perubahan lebar bahu dan pinggul.

c. Perubahan distribusi otot dan lemak.

d. Perkembangan sistem reproduktif dan karakteristik seks sekunder. Anak perempuan umumnya lebih dulu mengalami perubahan fisik dibandingkan anak laki-laki, yaitu sekitar dua tahun lebih awal.

2. Perubahan Kognitif

Perubahan juga pada pola pikiran dan lingkungan sosial remaja akan menghasilkan tingkat perkembangan intelektual yang tertinggi para remaja memperoleh kemampuan memperkirakan suatu kemungkinan, mengurutkannya memecahkan masalah, dan mengambil keputusan melalui pemikiran logis, saat mengalami suatu masalah remaja akan mempertimbangkan dimana berbagai kemungkinan penyebab dan penyelesaiannya, selain itu peningkatan kemampuan kognitif membuat remaja lebih terbuka terhadap informasi beragam tentang seksualitas dan tingkah laku seksual, (Potter & Perry, 2009)

3. Perubahan Psikososial

Pencarian jati diri seorang remaja merupakan tugas utama remaja mereka dapat membentuk hubungan kelompok yang erat atau memilih untuk terisolasi, meninjau kebingungan identitas atau peran sebagai bahaya utama pada tingkat ini, (Erikson, 2011) dalam Potter & Perry, 2009). Remaja juga menyatakan bahwa penolakan kelompok terhadap perbedaan pada anggota remaja merupakan suatu mekanisme pertahanan terhadap kebingungan identitas tersebut (Erikson, 2011) dalam (Potter & Perry, 2009).

(27)

Gambar

Tabel 2.4. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini data hasil kuesioner dimana seseorang mempunyai dua alternatif pilihan rute menuju Kota Bandar Lampung – Pelabuhan Bakauheni yaitu melewati

Penelitian Pengelolaan Sungai Batanghari Kabupaten Dharmasraya Berdasarkan Daya Tampung Beban Pencemaran dengan Metode QUAL2Kw ini adalah menggunakan pendekatan

Berdasarkan hal tersebut menjadikan alasan pemilihan tema penelitian ini yang merupakan replikasi dari penelitian Kurnia dan Haryanto (2015) yang berjudul

Tujuan penelitian adalah mengkhaji distribusi dan area sel mukus di lapisan sel epitel usus tikus jantan Wistar (Rattus norvegicus). Sampel dibuat preparat

Hasil Penelitian adalah sebagai berikut ini, (1) ada perbedaan penggunaan e-learning berbantuan edmodo pada kelas eksperimen dengan pembelajaran konvensional pada

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

--- Bermula Pada hari Jumat tanggal 31 Oktober 2014 sekitar Pukul 07.00 Wib saat korban mengepel lantai rumah TEMAN TERDAKWA - II selaku majikan korban, ketika pukul

 Teknik Operasi P eknik Operasi Pengeboran Lepas P engeboran Lepas Pantai, Peralat antai, Peralatan, dan Instalasinya an, dan Instalasinya Page 1.