• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN. Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN. Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN.

2.1

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya

mengenai permasalahan serupa dengan yang sedang dikaji dalam penelitian ini.

Penelitian memerlukan adanya tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka digunakan sebagai

petunjuk, pembanding, serta penunjang dalam penelitian ini. Penelitian ini

menggunakan beberapa tinjauan pustaka sebagai acuan bahan sekunder. Berdasarkan

beberapa tinjauan pustaka tersebut, peneliti dapat memperoleh data, konsepsi, dan teori

yang berkaitan dengan permasalahan ini. Adapun beberapa pustaka yang digunakan

sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Geertz (1980) yang dimuat dalam bukunya yang berjudul “Negara The Theatre

State In Nineteenth Century Bali”.

Geertz mengkaji dan menginterpetasikan

kebudayaan masyarakat Bali berdasarkan konsep fenomena budayanya. Pada

penelitian ini juga disinggung mengenai tradisi sabung ayam pada masyarakat Bali.

Geertz mengungkapkan bahwa melalui tajen diharapkan dapat mengupas karakter

masyarakat Bali. Ketertarikannya dalam meneliti tajen juga didasari pada anggapannya

bahwa

tajen sebagai kegiatan yang popular di masyarakat belum diteliti secara

mendalam.

Di awal abad ke-19, sabung ayam diselenggarakan oleh raja ketika hari pasah.

Para penguasa ini memungut pajak dari perselenggaraan sabung ayam. Hasil penelitian

Geertz ini mengungkapkan bahwa tradisi tabuh rah seringkali disalahgunakan untuk

 

(2)

menutupi perjudian. Tajen yang sebenarnya dilaksanakan dengan tujuan judi ditutupi dengan mengatakan bahwa tajen yang diadakan tersebut merupakan tabuh rah. Pada buku ini Geertz membagi tajen menjadi dua, yakni pertarungan yang sifatnya biasa (flaches spiel) serta pertarungan yang melibatkan harga diri, serta kehormatan (tiefesbspiel deep play). Dalam flaches spiel yang dipentingkan adalah uang, sedangkan apa yang membuat pertarungan ayam menjadi deep play adalah adanya pengaliran status hierarkis si pemilik ayam ke dalam pertarungan. Geertz menambahkan, orang-orang Bali dapat mengaktifkan dan mewujudkan rivalitas dan permusuhan antar pedesaan atau kerabat melalui sebuah bentuk permainan yang menarik yaitu adu ayam. Berdasarkan beberapa pendapat dan pandangan Geertz dapatlah diketahui bahwa sabung ayam dalam masyarakat Bali memiliki makna, simbol, dan fungsi tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat pada masa tersebut. Hasil penelitian Geertz juga mengungkapkan bahwa penyelenggaraan sabung ayam awal abad ke-19 digelar pada suatu tempat yang bernama wantilan.

Berdasarkan buku tersebut dapat diketahui bahwa tabuh rah seringkali disalahgunakan untuk menutupi penyelenggaraan tajen, sehingga proses tersebut berkembang hingga kini. Hasil penelitian Geertz ini penulis jadikan sebagai sumber data dan data pembanding tradisi sabung ayam masa Bali abad ke-19, sehingga dapat membantu dalam mengungkap beberapa fungsi dan perkembangan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.

Sudina (Tanpa tahun) dalam buku yang berjudul “Tajen ilmu dan Doanya” memaparkan tentang tajen secara umum di Bali. Beberapa istilah serta doa-doa yang biasanya digunakan secara umum di Bali. Beberapa istilah serta doa-doa yang biasanya digunakan untuk memantrai ayam sebelum bertarung di arena sabung

(3)

ayam dibahas dalam buku ini. Buku ini juga menjelaskan perkembangan sabung ayam yang pada mulanya bernama tabuh rah menjadi tajen. Buku ini memaparkan fungsi sabung ayam pada abad ke-20 dan perkembangannya masa sekarang ini. Buku ini juga menjelaskan fungsi sabung ayam diawal abad ke-20 yang berfungsi sebagai tabuh rah, kemudian mengalami pergeseran makna dan nilai menjadi tajen. Istilah-istilah terkait sabung ayam juga dijelaskan dalam buku ini, seperti wulang, taji, sapih, dan kemong. Terkait pemaparan diatas dapat disimpulkan tentang istilah-istilah yang ada dalam tajen guna menggali lebih jauh tentang tajen. Istilah tersebut tentunya berhubungan erat dengan fungsi yang berbeda pada tajen dan tabuh rah.

Surasmi (2007) dalam buku yang berjudul “Jejak-jejak Tantrayana di Bali”. Pada buku ini dijelaskan mengenai pemahaman terkait tantrayana. Pemahaman tersebut disini dipaparkan mulai dari kemunculan tantrayana, perkembangan diberbagai belahan dunia, kemunculannya di Indonesia, serta jenis-jenis pemujaan dan karya sastra yang bersumber pada aliran ini. Pada buku ini menjelaskan bagaimna seorang spiritual melaksanakan kebaktiannya berdasarkan pada aliran tantrisme. Kebaktian atau cara pemujaan tantra dalam buku ini dikatakan dapat melalui banyak cara diantaranya mabuk, bercinta sepuasnya, dan makan sepuasnya. Aliran ini juga menekankan penggunaan darah sebagai salah satu bentuk sarana pemujaan bagi spiritual yang beraliran tantrisme untuk mencapai jalan kebatiannya. Buku ini penulis gunakan untuk membandingkan makna dan fungsi tabuh rah dan tajen itu sendiri. Berasarkan pengertian mendasar dari tabuh rah itu sendiri yang berarti darah. Penulis akan mencoba menggali makna tabuh rah itu pada buku ini.

(4)

Manteb (2013) dalam buku yang berjudul “Mitologi Tanaman-Binatang dan Makhluk Halus”. Pada buku ini menyinggung masalah sabung ayam dalam bentuk tabuh rah dan tajen. Dijelaskan juga mengenai asal istilah kata ayam dan beberapa istilah yang digunakan dalam tajen. Seperti misalnya istilah sapih yang disebutkan pada salah satu prasasti, dan istilah tersebut diartikan sebagaiistilah untuk menyebutkan hasil seri dalam tajen. Pada buku sebelumnya juga menjelaskan mengenai istilah-istilah dalamm tradisi sabung ayam, tetapi buku ini membahas lebih banyak mengenai istilah daripada buku sebelumnya. Terkait hal tersebut penulis menjadikan buku ini sebagai pembanding dan pelengkap dalam penelitian ini, yang membahas permasalahan mengenai aspek fungsi dan perkembangan tradisi sabung ayam di masa Bali kuno.

Hidayat (2011) dalam penelitian skripsinya dengan judul “Sabung ayam Tabuh rah dan Tajen diBali”. Penelitian Hidayat ini meneliti tentang sabung ayam dalam persfektif hukum islam dan hukum positif. Pada penelitian ini Hidayat menjelaskan pemaparan bagaimana tradisi sabung ayam masa sekarang yang melanggar hukum. Dijelaskan juga kajian dan pandangan para ahli terkait tradisi sabung ayam, baik ahli dari cendekiawan hukum maupun kalangan budayawan. Hidayat juga mengkaji tentang sejarah tradisi sabung ayam berdasarkan beberapa prasasti. Namun sudut pandang penelitian ini berbeda meskipun objek yang diteliti sama. Penelitian Hidayat mengkaji tentang bagaimana perspektif hukum islam dan hukum positif dalam mengkaji sabung ayam di Bali, sedangkan penelitian ini akan mengkaji proses profanisasi pemanfaatan pura sebagai tempat tajen, selain itu perbedaan juga akan terlihat dikarenakan penelitian ini akan membahas juga bagaimana hukum adat mengatur penyelenggaraan tajen.

(5)

Herdani (2014) dalam skripsinya dengan judul “Tradisi Aci Keburan Sebagai Legitimasi Adat terhadap Sabung Ayam di Desa pakraman Kelusa, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar” menjelaskan bahwa aci keburan merupakan suatu tradisi yang harus dilaksanakan karena ada keyakinan apabila tidak dilaksanakan maka Desa pakraman kelusa akan terserang wabah penyakit (grubug), adapun nilai yang terkandung dalam tradisi aci keburan pada masyarakat desa pakramankelusa berbeda dengan tabuh rah karena tradisi keburan lebih menekankan pada nilai religius dan nilai sosial.

Kairavani (2013) dalam jurnal ilmiahnya dengan judul “Judi Versus Sarana Pemasukan Bagi Desa pakraman & Masyarakat Di Kabupaten Tabanan” menyebutkan bahwa penyelenggaraan tajen yang dilakukan di lokasi yang sejatinya adalah milik dari suatu Desa pakraman digunakan alat atau sarana pemasukan bagi Desa pakraman dan masyarakat. Desa pakraman akan mendapatkan pemasukan dari sewa tempat, parkir, karcis masuk dll kemudian masyarakat akan mendapatkan pemasukan dari berjualan serta menawarkan jasanya di sekitar areal tajen.

Winarta (2014) dengan judul “ Tabuh rah Pada Masyarakat Hindu Bali Dalam Implikasinya Pada Kehidupan Masyarakat Hindu (Studi Kasus Di Dusun Gubug Bali, Kecamatan Lembar, Lombok Barat)”. Dalam Jurnal yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram, dia menjelaskan bahwa masyarakat Bali mempunyai corak yang spesifik dan erat pertaliannya dengan hukum adat, dalam jurnal ini lebih banyak memuat bagaimana hukum adat mengatur tabuh rah dan juga bagaimana undang-undang mengatur tabuh rah yang mengarah ke perjudian.

Sabung ayam yang sering dilaksanakan di dusun Gubug merupakan suatu tindak pidana karena dibarengi dengan judi serta dalam pelaksanaannya tidak

(6)

memperoleh izin dari pemerintah atau pejabat yang berwenang. Sabung ayam yang dilaksanakan disana diselenggarakan oleh pihak perorangan sehingga dapat dikatan itu telah melanggar hukum. Selain itu dalam jurnal ini juga disebutkan upaya yang telah dilakukan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana perjudian sabung ayam ada dalam dua macam yaitu upaya preventif dan upaya represif.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh penulis akan lebih membahas bagaimana proses kenapa tabuh rah bisa menjadi tajen padahal esensi tabuh rah adalah upakara, yang mengakibatkan opini masyarakat mengarah pada opini tajen adalah profanisasi tabuh rah sehingga pemikiran tersebut dapat mengancam kesakralan dari sebuah upacara yadnya, dimana hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah sama dengan mereka menodai kepercayaan mereka sendiri sehingga penting untuk menjelaskan arti atau makna yang sesungguhnya dari pelaksanaan tabuh rah tersebut, selain itu dikarenakan aktifitas tajen di Desa Pakraman Subagan tergolong kronis dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya maka penelitian ini lebih menarik untuk diteliti dengan melihat bagaimana pola interaksi yang tercipta antar peserta tajen. Selain itu Peneliti juga akan membahas dampak-dampak tajen pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Pakraman Subagan, Karangasem, sehingga peneliti dapat menawarkan solusi dalam upaya menanggulangi tajen di Desa Pakraman Subagan.

(7)

2.1 KONSEP

Konsep adalah suatu istilah yang mengacu pada suatu fenomena tertentu yang bias bersifat individual dan juga dapat bersifat kompleks. Maksud suatu konsep adalah untuk menyederhanakan pemikiran dengan jalan memasukan sejumlah kejadian dalam suatu nama yang umum. Agar mempermudah pemahaman dan pembahasan dalam penelitian ini, maka diperlukan beberapa konsep atau pengertian dasar yang terkait dengan judul penelitian ini. Adapun konsep-konsep yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut.

2.1.1 Pura

Tempat suci Agama Hindu di sebut dengan pura. Kata pura berasl dari Bahasa Sansekerta yang memiliki arti kota atau benteng yang berasal dari urat kata “Pur”. Kata “Pur” artinya kubu atau benteng. Sandiarsa (1985:9) menyebutkan bahwa kata pura atau Puri mengalami pergeseran arti menjadi tempat suci yang terdiri dari beberapa buah pelinggih yang dikelilingi dengan tembok penyengker. Menurut Titib (2001) pura berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kota atau benteng, setelah beberapa lama diubah artinya yang sekarang arti pura menjadi tempat Ida Sang Hyang Widi Wasa. Dari pendapat diatas pura dapat diartikan sebagai tempat suci untuk mengadakan upacara persembahyangan untuk memuja kebesaran Tuhan. Konsep bangunan pura di Bali mengacu pada pemahaman umat Hindu Bali terhadap alam dan ajaran agama Hindu. Konsep pembuatan arsitektur pura yang didalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang dikaitkan dengan kepercayaan umat Hindu, seperti keterlibatan Dewa-dewa yang terdapat pada setiap penjuru mata angina. Selain itu, bangunan pura juga memiliki satuan ukuran bangunan yang mengacu pada ukuran anatomi manusia tersebut. Hal tersebut

(8)

mengacu pada logika manusia sebagai pengguna bangunan. Pada umumnya. Pura secara umum di Bali di bangun berdasarkan yang disebut dengan Tri Mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura (Nista mandala), jaba tengah (Madya mandala), dan jeroan (utama mandala).

Dalam kaitannya dengan fungsi pura sebagai tempat atau ruang suci, hal ini berdasarkan pada falsafah ruang dari ajaran Tat Twam Asi dalam Agama Hindu, Tat Twam Asi memiliki pengertian “itu adalah aku”. Inti dari ajaran Tat Twam Asi adalah menjaga keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan tuhan, termasuk dunia ini. Ajaran Tat Twam Asi mengandung makna konsep ruang dalam keseimbangan kosmos, dalam hal ini Bhuwana agung senantiasa harus seimbang dengan Bhuwana alit. Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secra vertical yang dianalogikan sebagai tiga dunia (Tri Bhuwana). Struktur ruang Tri Bhuwana atau Tri Loka ini terdiri dari; Bumi dan alam lingkungannya sebagai alam yang paling bawah disebut “Bhur Loka”, kedua adalah alam roh-roh suci yang disebut dengan “Bhuwah Loka” dan yang utama adalah alam para Dewa disebut dengan “Swah Loka”.

2.1.2 Tajen

Tajen merupakan sabung ayam yang disertai dengan judi atau bertaruh dengan menggunakan uang (Mertha, 2010:13). Istilah tajen berasal dari kata “taji” yang berarti susuk pada kaki ayam. Pengertian taji ada hubungannya dengan pengertian tajam dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam bahasa Bali “tajip” bermakna sesuatu yang runcing. Pengertian tajen mungkin ditekankan pada taji atau senjata yang digunakan ayam dalam beradu, sebab dalam tajen hanya ayam yang akan diadu sajalah yang menggunakan taji. Tajen merupakan suatu ajang yang

(9)

mempertontonkan tarung ayam jago. Ayam-ayam tersebut akan dijadikan bahan taruhan yang berupa uang.

Sebenarnya jika berpatokan pada ajaran agama Hindu tajen merupakan sesuatu yang dilarang, karena mengandung unsur judi di dalamnya. Dalam sebuah permainan tajen ada 2 peran utama yang berperan didalamnya, pertama adalah cukong dan yang kedua adalah para babotoh.

Cukong kepada seseorang yang memiliki daya tawar yang kuat sehingga dapat mengendalikan permainan, guna menlancarkan bisnis yang mereka kerjakan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia cukong adalah orang yang mempunyai uang banyak dan yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain. Dalam permainan tajen terdapat perputaran uang yang sangat besar, sehingga pantaslah seseorang yang mengadakan tajen disebut cukong karena dia memiliki daya tawar yang kuat untuk mencari perizinan dan juga menyediakan dana yang besar untuk permainannya.

Sedangkan babotoh merupakan istilah orang Bali kepada seseorang yang melakukan aktivitas tajen setiap harinya, babotoh di dalam bahasa Bali berasal dari dari kata memotoh yang memiliki makna momo kone tohin dimana kata tersebut jika ditermahkan kedalam bahasa Indonesia akan bermakna kita bertaruh untuk kebiasan jelek dan sikap egois kita. Dalam kamus besar bahasa indonesia babotoh memiliki arti sebagai bajingan, penjahat dan penjudi. Pengertian babotoh terdengar sangat negatif dalam kamus besar bahasa indonesia memang tidak salah karena babotoh dalam pandangan masyarakat adalah orang yang mempertaruhkan segalanya didalam arena tajen.

(10)

Pertarungan dimulai dari dua pakembar (Petugas yang melepaskan ayam) terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan kedua ayam yang akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan pantas diunggulkan ataupun tidak. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai petarung unggulan maka pakembar yang meneriakan cok berarti memegang ayam yang menjadi unggulan yang berarti sistem taruhannya adalah tiga lawan empat dalam artian jika ayam unggulan menang berarti ayam yang kalah akan membayar tiga akan tetapi jika ayam unggulan kalah berarti ayam yang tidak diunggulkan akan mendapatkan bayaran empat. Terkadang pakembar juga akan berteriak pade (sama) hal tersebut diartikan ayam yang akan diadukan memiliki kekuatan yang sebanding sehingga taruhannya harus dalam jumlah yang sama. Teriakan lain yang juga dilakukan oleh pakembar adalah gasal (sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat), telude ( taruhan tiga berbanding dua ), apit (taruhannya satu berbanding dua), kedapang (taruhannya sembilan banding sepuluh).

Di setiap tajen ada empat saye (juri) yang bertugas yakni sayekemong, ketek, garis dan lap. Saye kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong, Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan, saye ketek adalah juri yang bertugas untuk memberikan hitungan kepada ayam yang sudah terkapar layaknya sebuah dalam pertandingan tinju, saye garis adalah saye yang bertugas untuk menjaga garis batas permainan, bila ayam dilihat lari keluar garis batas maka ayam tersebut akan dinyatakan kalah, dan saye lap adalah juri yang bertugas untuk mengumpulkan uang taruhan serta membagikannya kepada bebotoh yang menang.

(11)

2.1.3 Desakralisasi

Desakralisasi memiliki pengertian bahwa hilangnya nilai-nilai sakral pada sebuah budaya maupun ritual keagamaan. Menurut Durkheim sulit untuk membedakan mana yang murni agama dengan mana yang merupakan hasil interpretasi agama (Nurdinah.2013:268). Hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah akibat tajen sangat sulit untuk dikemukakan, pemikiran masyarakat hanya terarah pada satu pandangan yaitu tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabung ayam, padahal dalam makna filosofinya keduanya memiliki fungsi serta cara yang berbeda dalam pelaksanaannya. Pada konsep desakralisasi ini yang ditemukan oleh penulis adalah dimana ketika suatu pura yang secara umum memiliki fungsi untuk menjalankan ritual keagamaan tapi pelataran pura juga digunakan oleh masyarakat untuk melakukan tajen, sehingga pura mengalami desakralisasi akibat tajen

Pandangan tentang makna kesucian pura sebagai tempat suci yang sakral bermakna sebagai tempat suci yang memiliki unsur-unsur kesucian serta dapat menggetarkan kesucian Sang Hyang Atman yang bersemayam didalam jiwa setiap individu. Kesucian pura tidak hanya perlu dijaga pada saat adanya upacara-upacara keagamaan saja, melainkan setiap hari

Indikator yang kedua adalah ketika desa pakraman tidak menjalakan fungsinya secara utuh, desa pakraman memiliki fungsi serta kewajiban untuk melakukan tiga kerangka dasar kehidupan Agama Hindu yang terdiri dari ajaran tatwa (Filsafat), susila (Etika), dan upakara (Ritual). Jika salah satu dari ketiga kerangka tersebut tidak dijalankan oleh desa pakraman maka disanalah terdapat

(12)

celah untuk masyarakat untuk melakukan kegiatan yang akan menghilangkan nilai-nilai sakral pada sebuah pura.

2.1.4 Desa pakraman

Di Bali dikenal ada dua bentuk pemerintahan Desa yang masing-masing memiliki fungsi dan struktur organisasi yang berbeda yaitu Desa dinas atau kelurahan dan Desa pakraman. Desa dinas adalah organisasi pemerintahan di Desa yang menyelenggarakan fungsi administrative, seperti mengurus kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), dan lain-lain yang menyangkut persoalan pemerintahan. Sedangkan untuk Desa pakraman dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa pakraman menentukan sebagai berikut : Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 No urut 4).

Desa pakraman memiliki tugas untuk membuat awig-awig, mengatur krama Desa, mengatur pengelolaan harta kekayaan Desa, mengayomi krama Desa, melakukan pembangunan bersama-sama dengan pemerintah, membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah berdasarkan “paras-paros”, sagilik-sagu-luk, salunglung-sabayantaka (musyawarah-mufakat).

Dalam Pasal 6 Perda Provinsi Bali No 3 Th 2001 menyebutkan bahwa Desa pakraman atau Desa pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut :

(13)

A. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam llingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama Desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat. B. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan

pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana.

C. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar Desa pakraman. 2.2 DESKRIPSI TEORI

Deskripsi teori sangat diperlukan dalam sebuah penelitian, yaitu sebagai alat analisis dan dasar pembahasan masalah. Teori berdasarkan pengertiannya, merupakan suatu rumusan masalah yang berisikan prinsip umum terorganisir secara sistematis yang digunakan dalam menganalisis, membuat asumsi, dan menjelaskan suatu gejala, suatu masalah, sebagian atau keseluruhan telah terbukti kebenarannya. Pada penelitian ini teori yang akan digunakan adalah sebagai berikut.

2.2.1 TEORI SAKRAL DAN PROFAN (Durkheim)

Dalam penelitian “Tajen dan Desakralisasi Pura di Desa Pakraman Subagan, Kecamatan Karangasem, Bali”, peneliti menggunakan teori Emile Durkheim sebagai kerangka teori, dengan tujuan menjelaskan bagaimana masyarakat di Desa Pakraman Subagan seharusnya tidak melakukan aktivitas tajen di dalam lingkungan pura.

Menurut Durkheim seluruh keyakinan keagamaan manapun memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memperlihatkan antara yang sakraldan yang Profan. Durkheim mengatakan hal-hal yang bersifat sakral selalu diartikan yang berada

(14)

dalam kondisi normal, sedangkan hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa saja (Kamirudin.2011:164).

Durkheim mengatakan konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral karena memiliki pengaruh yang luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakatnya, sedangkan yang profan tidak memiliki pengaruh yang besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Dikotomi tentang yang sakral dan yang profan hendaknya tidak diartikan sebagai konsep pembagian moral, artinya kita seharusnya tidak menganggap yang sakral sebagai Kebaikan dan yang profansebagai “Keburukan”.

Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang sakral dan yang profan, akan tetapi yang sakral tidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan, begitupun sebaliknya yang profan tidak dapat berubah menjadi yang sakral. Pada konteks kehidupan sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi dari agama.

Sesuatu yang murni adalah agama, berasal dari tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas, sedangkan interpretasi dari agama, berarti berasal dari manusia dalam menerjemahkan agamanya, bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Sesuatu yang sakraltidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan dan yang profantidak dapat berubah menjadi sesuatu yang bersifat sakral. Namun jika dilihat melalui sudut pandang Agama Hindu, melalui konsep ruwa bineda melihat selalu adanya dua hal yang bertentangan tetapi saling memiliki pengaruh, misalkan baik-buruk,besar-kecil,bersih-kotor dan juga sakral-profan. Sesuatu yang bersifat sakral dapat mengalami perubahan nilai akibat mendapatkan pengaruh dari sesuatu

(15)

yang bersifat profan, misalkan pura yang mengandung nilai magis dan makna spiritual dapat mengalami perubahan nilai diakibatkan ketika tajen yang merupakan suatu budaya yang bersifat profan. SehinggaTeori sakral dan profan Durkheim dalam penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana proses terjadinya desakralisasipada sebuah pura.

2.3 Kerangka Pemikiran

Keterangan : = Memiliki Hubungan Saling Mempengaruhi = Tidak Memiliki Hubungan Langsung = Memiliki Hubungan Langsung

TAJEN

TAJEN

SEBAGAI

PENYEBAB

DE

SAKRAL

ISASI

PURA

PURA

HASIL

DESA PAKRAMAN

PROSES DESAKRALISAS IPURA AKIBAT PEMANFAATA N PURA SEBAGAI TEMPAT TAJEN DAMPAK DAN MAKNA DESAKRALISASI PURA AKIBAT PEMANFAATAN PURA SEBAGAI TEMPAT TAJEN

(16)

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan bahwa adanya hubungan langsung antara tajen, desa pakraman, dan pura. Ketiganya memiliki suatu rantai yang saling ketergantungan, misalkan hubungan antara tajen dan desa pakraman. Tajen memerlukan Desa pakraman sebagai pemberi ijin untuk dapat melaksanakan tajen di daerah desa pakraman bersangkutan, begitu pula dengan Desa pakraman yang terkadang memerlukan tajen untuk pembangunan balai banjar, pura, dan lain-lain. Berikutnya adalah hubungan langsung antara pura dengan desa pakraman. pura yang didirikan didalam wilayah desa, adalah menjadi tugas dan kewajiban desa pakraman untuk menjaga dan melaksanakan upacaranya.

Hubungan langsung kedua yang tercipta adalah antara tajen dengan desakralisasi, Desa pakraman dengan desakralisasi, dan tajen dengan desakralisasi. Hubungan yang tercipta adalah bagaimana tajen, desa pakraman, dan pura dapat secara langsung mempengaruhi desakralisasi atau hilangnya nilai-nilai sakral yang terkandung dalam sebuah Pura sehingga akan memunculkan permasalahan yang menarik untuk diteliti yaitu: dari kegiatan tajen yang dilakukan didalam lingkungan pura akan menimbulkan permasalahann bagaimana proses terjadinya desakralisasi pada pura, serta menarik untuk mengetahui apa dampak serta makna yang ditimbulkan akibat terjadinya desakralisasi pada pura bagi masyarakat Desa Pakraman Subagan yang nantinya akan dijawab melalui hasil penelitian yang penulis lakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, Imam Malik menganggap bahwa perbuatan liwath adalah perbuatan jarimah (tindak pidana) karena ia sama seperti dengan perbuatan zina yang dikategorikan

Manakala untuk menyelesaikan masalah kita perlu berfikir sejenak dan men(ari jalan serta memeikirkan langkah#langkah tertentu yang mungkin tidak pernah di(uba sebelum itu,

Tesis berjudul “PENGARUH CUSTOMER EXPERIENCE, SERVICE QUALITY DAN PRODUCT QUALITY TERHADAP CUSTOMER LOYALTY MELALUI CUSTOMER SATISFACTION SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

Pada penelitian ini terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara sebelum dan setelah diberikan teknik Effleurage dan Abdominal Lifting pada 27 responden yang mengalami

Seorang anak perempuan usia 7 tahun diantar ibunya datang ke dokter praktek umum dengan keluhan utama : nyeri telan sejak 1 hari yang lalu disertai demam sejak 2 hari yang lalu..

transportasi yang canggih dan luas yang membentang dari perbatasan barat daya ke seluruh wilayah di AS. Dalam menjalankan bisnis ilegalnya, Kartel Narkoba memainkan

Upaya peningkatan kompetensi dan profesionalisme bagi sumberdaya manusia aparatur dan non aparatur pertanian, oleh Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP)

Distribusi pemasaran ayam broiler dengan pakan herbal di Kecamatan Mandalle Kabupaten Pangkep hanya ditemukan satu pedagang perantara yaitu pedagang pengecer