• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIRIAN KLINIK PERINEUM UNTUK PENANGANAN MASALAH POSTPARTUM. dr. A A N Anantasika, SpOG (K)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIRIAN KLINIK PERINEUM UNTUK PENANGANAN MASALAH POSTPARTUM. dr. A A N Anantasika, SpOG (K)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENDIRIAN KLINIK PERINEUM

UNTUK PENANGANAN MASALAH POSTPARTUM

dr. A A N Anantasika, SpOG (K)

BAGIAN /SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

(2)

1 BAB I PENDAHULUAN

Secara global dalam dua dekade terakhir terjadi penurunan kejadian mortalitas maternal, terutama di negara-negara berkembang. Namun tidak terlalu banyak laporan mengenai morbiditas wanita postpartum. Wanita yang memiliki harapan tinggi terhadap kehamilan berikutnya, tentunya akan merasa kecewa jika terjadi komplikasi pada masa postpartumnya. Sekitar 87% ibu hamil memiliki satu masalah pada periode 8 minggu pertama postpartum dan menurun hingga 76% pada periode 8 minggu hingga 18 bulan postpartum.1

MacArthur dan kawan-kawan menemukan bahwa mayoritas dari keluhan yang tetap selama lebih dari 1 tahun, akan tetap menetap selama 1-8 tahun kemudian. Dengan demikian, masalah yang muncul setelah melahirkan akan memiliki konsekuensi pada kesehatan wanita tersebut. Namun hampir sebagian besar wanita tidak akan berkonsultasi pada dokter yang berkompeten, sampai dengan mereka tidak dapat menahan berbagai keluhan tersebut. Kondisi ini lebih sering terjadi pada primipara dan lebih sering terjadi pada proses persalinan dengan menggunakan bantuan tindakan bedah pervaginam dibandingkan persalinan normal atau operasi seksio sesarea. 1

Cedera perineum merupakan hal yang biasa terjadi pada wanita yang menjalani persalinan normal dan hampir sebagian besar dialami pada wanita yang menjalani proses persalinan dengan tindakan. Terdapat hubungan antara cedera perineum dan penatalaksanaan yang dikerjakan dengan morbiditas yang terjadi postpartum, seperti: perdarahan, infeksi, nyeri, inkontinensia urin dan fekal, serta disfungsi seksual.1 Permasalahan yang dianggap sebagai hal yang biasa ini, mengakibatkan para petugas kesehatan jarang mendiskusikannya lebih lanjut. Pasien sering menemukan pelayanan yang tidak sesuai terhadap keluhan yang dialami. Belum terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai siapa yang sebenarnya berhak untuk melakukan tata laksana pada trauma yang serius, dengan menggunakan metode atau material apa, dan mengenai pelayanan pasca penanganan. 2

(3)

2

Sebuah tulisan yang menjelaskan tentang klinik perineum pada Rumah Sakit Bersalin di Dublin, secara jelas menyebutkan tentang morbiditas yang sangat besar pada beberapa pasien postpartum, sebagai hasil dari cedera perineum yang dialaminya. Rumah sakit ini mengintegrasikan keahlian dan kerjasama multidisiplin ilmu untuk bekerja sama dalam menatalaksana masalah cedera dasar panggul ataupun cedera perineum yang terjadi. Juga dilakukan penanganan pada pasien yang mengalami cedera perineum derajat III atau IV selama proses persalinannya.2,3

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, tampak bahwa sesungguhnya banyak permasalahan yang mengikuti wanita postpartum. Namun acapkali hal-hal yang dikeluhkan wanita tersebut dianggap sebagai hal yang biasa dan akan dapat sembuh bersamaan dengan bertambahnya waktu. Di sisi lain, hanya sedikit pihak atau institusi yang mengerti mengenai keberadaan klinik perineum.3

Pelayanan yang diberikan kepada pasien postpartum di rumah sakit pendidikan di Indonesia, belum ada yang menerapkan klinik perineum ini secara utuh. Padahal di sisi lain, saat ini sudah terdapat banyak konsultan Uroginekologi yang tersebar di hampir semua pusat pendidikan spesialis Obstetri dan Ginekologi di Indonesia.4 Pelayanan kepada pasien postpartum di ruangan nifas dan di poliklinik Obstetri di Indonesia hanya terfokus pada pemeriksaan payudara, kondisi kontraksi uterus, perdarahan pervaginam, konseling mengenai pemberian ASI eksklusif, dan konseling keluarga berencana. Belum ada yang menerapkan hal-hal yang menjadi fokus dalam klinik perineum. Tampak bahwa pelayanan postpartum yang diberikan belum optimal, sebagai suatu pelayanan yang komprehensif kepada setiap wanita, dari sejak awal hamil hingga periode postpartumnya.5

Dampak dari permasalahan pada perineum pada periode postpartum ini tidak dapat dipandang ringan. Pada sebuah penelitian yang dikerjakan di Royal Women’s Hospital, Victoria, Australia terhadap 215 pasien postpartum pada rumah sakit kelas tiga, didapatkan 37% dengan nyeri perineum derajat sedang dan berat, terutama saat berjalan dan duduk, dan sekitar 45% terasa saat pasien tidur. Berbagai permasalahan tersebut akan memberikan dampak lanjutan, di mana

(4)

3

terdapat penggunaan obat-obat antibiotika dan analgesia, serta menurunkan efektivitas kerja. Sehingga akan memberikan dampak pengeluaran yang lebih besar.6 Dilaporkan besarnya pengeluaran akibat permasalahan perineum postpartum mencapai 194 Dollar US per satu kali kunjungan per pasien. Dan hal ini tergantung juga dari diagnosis permasalahan perineum tersebut.7

Melalui sari pustaka ini akan dipaparkan mengenai permasalahan yang sering dijumpai post partum dan menjelaskan tentang penerapan klinik perineum. Dengan suatu harapan bahwa setiap rumah sakit yang salah satu pelayanannya juga fokus pada bidang kebidanan dan kandungan, dapat menerapkan klinik perineum ini. Atau minimal dapat menerapkan klinik post partum terintegrasi yang melibatkan konsultan Uroginekologi dan perawat khusus fisoterapi perineum di dalamnya. Keberadaan klinik perineum ini nantinya akan disesuaikan dengan kondisi sumber daya di rumah sakit masing-masing. Sehingga pelayanan komprehensif dalam arti yang sesungguhnya kepada semua ibu hamil dapat terlaksana.

(5)

4 BAB II

MASALAH POSTPARTUM

2.1 Anatomi Perineum

Perineum merupakan bagian luar panggul berbentuk wajik (diamond). Di anterior, perineum berbatasan dengan arkus pubis, di bagian posterior dengan koksigeus dan di lateral dengan ramus ikhiopubis, tuberositas iskhii, dan ligamentum sakrotuberosum. Batas dalam perineum adalah permukaan inferior diafragma panggul dan batas superfisial adalah kulit, yang berhubungan dengan aspek permukaan medial dari paha dan abdomen bawah. Perineum dapat dibagi dalam dua bagian segitiga oleh garis transversal di antara dua tuberositas iskhii. Segitiga bagian anterior, mengandung organ urogenital, disebut sebagai segitiga urogenitalis dan segitiga bagian posterior, yang mengandung ujung kanalis anal, disebut segitiga anal.8

Segitiga urogenitalis berbatasan di anterior dan lateral dengan simfisis pubis dan rami iskhipobik. Segitiga urogenitalis dibagi menjadi dua kompartemen, daerah perineum superfisial dan dalam, dipisahkan oleh membran perineum, yang mengisi ruang antara ramus iskhiopubis. Walaupun demikian, beberapa penelitian terakhir, menggambarkan membran perineum sebagai struktur komplek dengan banyak bagian. Bagian ini terbentuk dari dua daerah, satu dorsal dan satu ventral. Bagian dorsal terdiri dari lapisan fibrosa transversal bilateral yang melekat pada dinding lateral vagina dan badan perineum ke ramus iskhiopubis. Bagian ventral adalah massa jaringan tiga dimensi yang padat dengan berbagai struktur yang tertanam. Bagian ini terdiri dari otot kompresor uretra dan otot sfingter uretrovaginal dan jaringan ikat di sekelilingnya. Tepi ventral dari massa ini bersambungan dengan insersi arkus tendineus fasia pelvis ke tulang pubis. Otot levator ani menempel pada permukaan kranial membran perineum. Bulbus vestibularis dan krus klitoris terletak pada permukaan kaudal membran dan bergabung dengannya. Oleh karena itu, struktur membran perineal bukan merupakan lapisan trilaminar dengan viscera yang melaluinya, tetapi struktur tiga

(6)

5

dimensi kompleks dengan dua bagian dorsal dan ventral. Di bawah kulit perineum, di anterior terletak fascia perineal superficial (fascia colles). Seperti diuraikan di atas, jaringan erektil bergabung dengan permukaan kaudal kompleks membran perineum. Jaringan erektil dilapisi oleh otot bulbokavernosus dan iskhiokavernosus. Otot perineum transversus superfisial menempel pada badan perineum ke tuberositas iskhii secara bilateral. Seluruh otot perineum diinervasi oleh cabang nervus pudendus, yang merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. 8

Otot perineum transversus superfisialis adalah otot kecil yang terjepit, berasal dari bagian dalam dan depan tuberositas iskii dan berinsersi ke bagian tendon sentral badan perineum. Otot dari sisi berlawanan, sfingter ani eksterna (External Anal Sphincter/EAS) dari bagian belakang, dan bulbospongiosus dari bagian depan, seluruhnya menempel pada tendon sentral badan perineum. 8

Otot bulbospongiosus melintas dari bagian samping orifisium vagina, menutupi aspek lateral dari bulbus vestibular anterior dan kelenjar Bartholin di posterior. Beberapa serat bergabung di posterior dengan otot perineum transversa superfisial dan sfingter ani eksterna (EAS) di sentral pada perineal body. Di anterior, serat-serat melewati sisi lain dari vagina dan masuk ke korpus kavernosus klitoridis, sebuah fasikulus yang menyeberangi badan dari organ sehingga dapat menekan vena profunda dorsal. Otot-otot ini mengecilkan orifisium vagina dan ikut berperan dalam ereksi klitoris. 8

Otot iskhiokavernosis memanjang. Lebih meluas ke tengah daripada ke tepi, dan berada di sisi batas lateral dari perineum. Otot ini muncul dengan serat yang kuat dan berotot dari permukaan dalam tuberositas iskhium, di belakang krus klitoridis, dari permukaan krus dan bagian depan dari ramus iskhium. Iskhiokavernosus menekan krus klitoridis, sehingga menghalangi aliran darah vena, sekaligus mempertahankan ereksi klitoris. 8

Segitiga anus dibentuk oleh saluran anus dan sfingter ani. Rektum berakhir pada saluran anus. Secara embriologi saluran anus meluas dari katup anus ke tepi anus dan panjangnya 2 cm. Saluran anus dikelilingi oleh lapisan epitel, pembuluh darah subepitel, sfingter ani interna (internal anal sphincter/IAS), sfingter ani

(7)

6

eksternal, dan jaringan penyokong fibromuskular. Batas saluran anus bervariasi berkaitan dengan perkembangan embriogenik. Saluran anus proksimal dibatasi oleh mukosa rektum (epitel kolumner) dan tersusun pada lipatan mukosa vertikal yang disebut dengan Morgagni. Setiap kolom mengandung arteri dan vena rektalis radiks terminal. Pembuluh darah yang terbesar terdapat di lateral kiri, posterior kanan, dan kuadran kanan atas dinding saluran anus di mana jaringan subepitel meluas ke tiga bantalan anus. Bantalan ini terfiksir di saluran anus dan membantu mengatur pengendalian flatus dan cairan feses. Kolom ini bersatu kembali pada batas bawah oleh lipatan yang disebut katup anus. Lebih kurang 2 cm dari batas anus, katup anus membuat perbatasan yang disebut linea dentata. Satu sampai satu setengah sentimeter dari saluran anal distal di bawah linea dentata tersusun dari saluran epitel skuamous modifikasi yang kurang jaringan adneksa kulit seperti folikel dan kelenjar, tetapi mengandung beberapa ujung saraf somatik. Karena epitel pada saluran bawah disuplai baik oleh ujung saraf sensorik, distensi akut atau terapi invasif hemoroid pada daerah ini menyebabkan rasa tidak nyaman, di mana terapi ini dapat dilakukan dengan gejala yang sedikit pada saluran atas yang dibatasi oleh epitel kolumner. Akibat dari kontraksi sirkumferensial sfingter, lapisan kulit akan tersusun dalam lipatan radial di sekitar anus yang disebut batas anus. Lipatan ini terlihat datar atau rata jika lapisan di bawah sfingter rusak. 8

Kompleks sfingter anal terdiri dari EAS dan IAS yang dipisahkan oleh badan “conjoint longitudinal”. Meskipun mereka membentuk unit yang tunggal, tetapi mereka berbeda dalam struktur dan fungsinya. Secara struktural, sfingter ani eksternal (EAS) terbagi dalam 3 bagian: subkutaneus, superfisial, dan profunda. Walaupun demikian, pembagian ini tidak mudah didemonstrasikan saat melakukan diseksi anatomi atau operasi, tapi dapat berhubungan dengan pencitraan. Pada perempuan, EAS lebih pendek pada bagian anteriornya. Bagian profunda berhubungan erat dengan otot puborektalis dan tidak memiliki perlekatan pada bagian posteriornya. Bagian superficial menempel pada bagian posterior ligament anokoksigeal, yang tertanam pada ujung dari koksigeus. Bagian subkutaneus melingkar tetapi memiliki perlekatan pada badan perineum di anterior dan ligament anokoksigeum pada bagian posterior. Pada perempuan,

(8)

7

bulbospongiosus dan perineii transversa menyatu dengan EAS pada bagian bawah dari perineum. 8

Sfingter ani interna (IAS) adalah penebalan otot polos usus besar dan berakhir dengan pinggir yang bulat sebesar 6-8 mm di atas batas anal pada sambungan bagian superficial dengan subkutaneus dari EAS. Berlawanan dengan EAS, IAS memiliki penampilan yang pucat pada penglihatan mata telanjang. 8

Lapisan longitudinal berada diantara EAS dan IAS, terdiri dari lapisan fibromuskuler, selubung longitudinal yang meliputinya dan ruang intersfingter dengan jaringan penyambungnya. Lapisan longitudinal memiliki komponen muscular dan fibroelastik. Komponen muscular terbentuk dengan fusi dari benang otot dari puboanalis bagian terdalam dari puborektalis dan otot polos dari otot longitudinal rectum. Ditelusuri ke bawah ini memisahkan bagian batas bawah dari IAS dan septa fibrosa untuk melewati EAS dan secara langsung menempel pada kulit bagian kanal anal bawah dan daerah perianal. Otot puborektalis memiliki dua fungsi: sebagai bagian dari mekanisme sfingter dan dasar dari pelvis. Ambin (sling) yang berbentuk huruf-U dari otot lurik puborektalis akan menarik sambungan anorektal ke arah anterior di depan aspek posterior pubis yang menyebabkan adanya sudut antara rectum dan saluran anal yang disebut sudut anorektal. Terdapat pertentangan akan kepentingan sudut ini terhadap pemeliharaan berkemih atau mengejan. Otot puborektalis yang bersatu kanan kiri di belakang rectum tadi akan membentuk hiatus levator, di mana rektum, vagina dan uretra melewatinya. Pada wanita, serabut-serabut anterior dari levator ani menurun pada sisi vagina, serabut ini disebut otot puboperineum dan nampak mengalami regangan terbesar selama persalinan pervaginam. Otot-otot ini akan mengalami kerusakan selama proses persalinan sehingga otot ini rusak atau melemah, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk berkemih atau mengejan dan mungkin timbul prolaps organ pelvis setelah melahirkan.8

Nervus pudenda berasal dari cabang ventral nervus sakral kedua, ketiga, dan keempat dan meninggalkan panggul melalui bagian bawah dari foramen skiatik mayor. Kemudian melewati tulang belakang iskhium dan memasuki kembali pelvis melalui foramen skiatik minor. Juga menyertai pembuluh darah pudendus

(9)

8

interna ke atas dan ke bawah sepanjang dinding lateral dari fossa iskhioanal, yang terkandung dalam selubung dari fascia obturator yang dinamakan kanal Alcock. Diasumsikan bahwa selama tahap kedua proses melahirkan yang semakin lama, nervus pudendal rentan terhadap cedera akibat dari imobilitasnya relatif pada tempatnya. Bagian inferior nervus hemoroidal (rektal) kemudian bercabang secara posterior dari nervus pudenda untuk menginervasi EAS. Nervus pudenda ini kemudian terbagi menjadi dua cabang terminal: nervus perineum dan nervus dorsal dari klitoris. Nervus perineum, bagian inferior lebih besar dari kedua cabang terminal dari pudenda, terletak di bawah arteri pudenda interna. Ia terbagi menjadi cabang labial posterior dan otot. Cabang labial posterior menyuplai labium mayora. Cabang muscular terdistribusi ke otot transversus perineum superficial, bulbospongiosus, iskhiokavernosus dan otot-otot uretra. Cabang-cabang dari divisi perineum juga sering menginervasi anterior EAS. Nervis dorsal dari klitoris, yang menyuplai klitoris merupakan divisi terdalam dari nervus pudenda. 8

2.2 Masalah Pada Perineum 2.2.1 Nyeri perineum

Nyeri pada perineum merupakan masalah yang sering dikeluhkan setelah persalinan pervaginam, terlebih jika terjadi trauma perineum. Nyeri perineum terjadi pada 42% wanita langsung setelah persalinan, namun berkurang menjadi 22% dan 10% pada minggu ke-8 dan minggu ke-12 postpartum. Dibandingkan dengan persalinan normal, nyeri perineum lebih sering terjadi dalam jangka panjang pada persalinan dengan tindakan, seperti vakum ekstraksi, forsep ekstraksi, dan persalinan sungsang. 1

Faktor risiko nyeri perineum adalah jaringan parut pada perineum (bukan hanya yang disebabkan episiotomi), primiparitas, tindakan pervaginam berbantu, dan penggunaan etonox untuk analgesia. Nyeri perineum dapat terjadi karena trauma pada jaringan lunak, baik dengan atau tanpa penjahitan. Nyeri akan bertambah berat jika terdapat proses inflamasi, di mana dapat berupa inflamasi

(10)

9

ringan, selulitis, dan terbukanya luka dengan pembentukan abses. Faktor-faktor yang dapat mempercepat adalah tidak melakukan tindakan asepsis, teknik pembedahan yang buruk, yang dapat menghasilkan aposisi jaringan yang buruk, dan atau pembentukan jaringan granulasi, serta jahitan yang menembus mukosa rektal.1

2.2.2 Hematoma perineum

Hematoma dapat berlokasi infralevator (vulva, perineum, vagina) atau supralevator (pada ligamen atau area paravaginal). Biasanya kondisi ini terjadi 1 : 500 dan 1 : 900 pada persalinan pervaginam. Seringkali hematoma perineum berkaitan dengan episiotomi, di mana penjahitannya yang buruk atau terdapatnya “dead space”. Sekitar 20% kasus terjadi karena perineum yang tidak baik penjahitannya sehingga masih terdapat pembuluh darah yang terbuka.1

Hematoma supralevator terjadi pada ligamen dan dapat terjadi karena cedera pada serviks, forniks vagina, atau uterus. Hematoma perineum terjadi pada saat pembuluh darah yang terkumpul di bawah jaringan mengalami peregangan dan ada yang terbuka pada saat proses lahirnya bayi. Menyebabkan terjadinya pembengkakan pada daerah perineum. Hematoma perineum ini seringkali disebabkan oleh tekanan saat keluarnya bayi atau perasat yang kurang baik dikerjakan sehingga kulit tidak seluruhnya menutup dengan baik. Perdarahan yang terjadi di bawah kulit tersebut biasanya akan berhenti dengan sendirinya. Darah yang terkumpul tersebut dapat menjadi pencetus terjadinya infeksi dan memperpanjang waktu penyembuhan.9

Jika hematoma bertambah luas, akan dapat meluas ke daerah kontralateral uterus, kemudian menonjol ke daerah vagina bagian atas. Pada kasus hematoma infralevator dan supralevator, pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada daerah perineum segera setelah proses persalinan atau pada periode postpartum. Pada hematoma supralevator, syok dapat terjadi tanpa adanya pembengkakan. Manifestasi klinik yang biasanya muncul adalah nyeri, kesulitan saat berkemih, dan tenesmus pada rektum dalam beberapa jam setelah melahirkan.1

(11)

10 2.2.3 Infeksi Luka Perineum

Lambatnya penyembuhan luka perineum yang disebabkan infeksi dapat memberikan rasa tidak nyaman, sehingga memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Lebih jauh lagi, telah dilaporkan komplikasi yang serius, seperti: sepsis puerpuralis dan fasciitis necrotizing setelah luka perineum mengalami infeksi.1

Pada survei terhadap 707 wanita yang menjalani partus spontan pervaginam atau tindakan persalinan pervaginam berbantu, Glazener mendapatkan data 5,5% mengalami luka perineum yang terbuka. Goldaber yang melakukan review kasus secara retrospektif terhadap 390 kasus ruptur perineum derajat empat pada sebuah rumah sakit di Texas, USA, didapatkan data 5,4% memiliki morbiditas perineum (1,8% mengalami dehisensi luka, 2,8% mengalami infeksi dan dehisensi luka, dan 0,8% mengalami infeksi). Wanita yang menderita morbiditas tersebut, biasanya mengalami kondisi distosia bahu, endometritis, dan demam postpartum.1

Infeksi luka perineum ini tidak bisa terlepas dari terjadinya Obstetric Anal Sphincter Injury (OASI). Obstetric Anal Sphincter Injury adalah cedera pada sfingter ani eksterna maupun interna yang disebabkan oleh proses persalinan. Berdasarkan klasifikasi cedera perineum menurut Royal College Obstetric and Gynecology (RCOG), OASI identik dengan cedera perineum derajat tiga dan empat. 10 Beberapa faktor risiko tidak dapat dihindari untuk terjadinya OASI. Salah satunya adalah primiparitas, yang selalu menjadi variabel bebas. Faktor risiko lain yang juga berhubungan terhadap terjadinya OASI adalah persalinan pervaginam dengan bantuan alat. Pada tabel di bawah dapat dilihat faktor-faktor risiko apa saja yang memperbesar kemungkinan terjadinya OASI.11

(12)

11

Tabel 2.1 Faktor Risiko terjadinya Obstetric Anal Sphincter Injury11

Kompleks sfingter dapat mengalami cedera selama persalinan melalui 3 mekanisme, yaitu: 11

1. Cedera mekanis langsung, dimana cedera mengenai otot (miopati). Cedera otot sfingter ani interna dan eksterna dapat terjadi, dimana secara klinis tampak laserasi perineum derajat tiga dan empat atau tampak dengan menggunakan endoanal ultrasonografi.

2. Cedera neurologis, dimana cedera mengenai saraf (neuropati). Neuropati nervus pudendal dapat terjadi sebagai akibat dari penggunaan forsep atau kompresi kepala bayi terhadap saraf yang cukup lama. Neuropati traksi dapat juga terjadi pada bayi makrosomia dan pada tindakan meneran yang lama pada persalinan kala 2, atau pada peregangan saraf yang lama oleh karena kecilnya tonus dasar panggul postpartum dalam waktu yang lama. Cedera saraf sering terjadi demielinasi tetapi biasanya akan pulih dalam waktu tertentu.

(13)

12

3. Kombinasi cedera mekanis dan neurologis. Cedera saraf saja, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sangat jarang terjadi. Neuropati lebih sering bersamaan dengan kerusakan mekanis.

Gejala klinis infeksi perineum adalah nyeri, eritema, terdapat eksudat, odor, oedema, dan demam dengan atau tanpa terbukanya luka. Harus dikerjakan swab terhadap cairan yang keluar dari luka untuk dilakukannya kultur dan tes sensitivitas antibiotika.1

2.3 Masalah Pada Saluran Cerna 2.3.1 Fissura anal

Fissura anal merupakan ulkus pada epitel skuamous anus yang berlokasi pada daerah distal dari sambungan mukokutaneus, yang biasanya terjadi pada daerah midline posterior. Mukosa pada daerah ini sensitif terhadap nyeri karena persarafan somatik yang dimiliki sehingga bisa sangat nyeri. Fissura anal disebabkan karena trauma pada mukosa anal, biasanya defekasi dengan feses yang keras dan padat. Konstipasi merupakan faktor predisposisi tersering, walaupun diare juga dapat mencetuskan terjadinya fissura anal.1

Fissura anal atipikal (besar, irregular, multipel, dan non-midline) dapat disebabkan oleh inflammatory bowel disease, keganasan sistemik atau lokal, infeksi kelamin, trauma, tuberkulosis atau kemoterapi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abramowitz, et al., didapatkan data 15% kejadian fissura anal dalam 2 bulan pertama postpartum. Penelitian lainnya mendapatkan angka insiden 9% dalam follow up 6 minggu pada wanita primipara.1

Faktor risiko fissura anal adalah diskezia (nyeri saat defekasi), bayi besar, kala II lama, inkontinensia anal setelah melahirkan, primiparitas, tindakan forsep ekstraksi, dan kerusakan perineum. Operasi seksio sesarea bukan merupakan faktor protektif untuk terjadinya fissura anal.1

(14)

13 2.3.2 Hemoroid

Hemoroid merupakan pembengkakan pembuluh darah vena di daerah dekat anus. Selama proses defekasi, hemoroid mengalami kompresi, memfasilitasi pengosongan rektum. Hemoroid dapat menjadi simtomatis jika terjadi kerusakan struktur dan penurunan fungsi. Faktor-faktor yang terkait adalah mengedan saat defekasi, konstipasi, pelebaran pembuluh darah karena peningkatan tekanan intrabdomen, dan keturunan. Beberapa perubahan fisiologis selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya hemoroid. 1

Konstipasi terkait dengan inhibisi aktivitas otot polos oleh progesteron atau secara mekanik oleh uterus yang membesar. Pembesaran dan pelebaran aliran darah vena selama kehamilan meningkat 25-40%. Perubahan hormonal menyebabkan kelemahan jaringan penunjang, terutama pada daerah pelvis. Pada periode postpartum, hemoroid merupakan konsekuensi dari proses mengedan saat kala II.1

Faktor risiko hemoroid adalah persalinan dengan menggunakan alat bantu, kala II lama, dan persalinan dengan bayi besar. Hemoroid ini dapat internal atau eksternal. Hemoroid internal berasal dari pleksus hemoroid internal di atas gyrus dan hemoroid eksternal berasal dari eksternal pleksus di bawah garis gyrus.1

Klasifikasi Hemoroid adalah sebagai berikut:1

1. Derajat satu: terjadi perdarahan tetapi tidak terjadi prolaps

2. Derajat dua: terjadi prolaps saat mengedan, tetapi dapat kembali secara spontan 3. Derajat tiga: terjadi prolaps saat mengedan, dan membutuhkan reposisi manual 4. Derajat empat: terjadi prolaps dan tidak dapat kembali dengan reposisi manual

(inkarserata)

Pada studi observasional terhadap 11.701 wanita oleh MacArthur, ditemukan 8% hemoroid pada waktu lebih dari 6 minggu pertama postpartum dan tambahan 10% kasus sebagai kasus yang kambuh. Dua pertiganya dilaporkan mengalami hemoroid setelah 1-9 tahun postpartum. Glazener menemukan 17% wanita postpartum menderita hemoroid, di mana 22% terjadi hingga 8 minggu postpartum dan 15% setelah 2 bulan. 1

(15)

14

Keluhan yang sering dialami pasien adalah rasa panas, gatal, perdarahan dari anus, keluarnya mukus dari anus, masalah higiene perianal, rasa tidak nyaman, dan nyeri. Karena nyeri ini, akan dapat menurunkan kualitas hidup pasien, berdampak pada aktivitas seperti berjalan, duduk, defekasi, tidur, maupun ketika merawat bayi dan keluarganya.1

2.3.3 Inkontinensia Fekal

Inkontinensia fekal merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol keluarnya gas, cairan, atau feses yang padat melalui anus. Inkontinensia fekal sendiri jarang menyebabkan kematian. Akan tetapi, kasus ini dapat menyebabkan distress yang besar pada pasien, keluarga, higiene personal, terisolasi dari lingkungan, dan kehilangan harga diri. Pasien merasa sangat malu untuk mengatakan bahwa ia menderita inkontinensia fekal, sehingga angka prevalensi inkontinensia fekal cukup rendah, yaitu: 0,3% - 2,2%. Hal ini tentu tidak baik, karena kasus inkontinensia fekal banyak yang dapat diobati dengan baik sehingga kualitas hidup pasien akan dapat ditingkatkan.12

Inkontinensia fekal mungkin terjadi bila ada sesuatu bagian dari kompleks mekanis kontinensia yang dipengaruhi bermacam-macam hal yang dapat menyebabkan inkontinensia fekal. Etiologi tersering adalah: 12

1. Kelainan atau penyakit saraf (lesi neurologik)

2. Kelainan bawaan kolorektal, misalnya anus imperforata, agenesis rektal, hirschsprungs disease.

3. Kerusakan sfingter ani dan dasar panggul akibat trauma sfingter ani dan saraf pudendus, robekan perineum akibat episiotomi dan forseps ekstraksi

4. Prolaps rekti 2.2.4 Konstipasi

Prevalensi konstipasi dalam kehamilan dilaporkan antara 11-38%. Patogenesisnya tidaklah terlalu dimengerti, namun diperkirakan terkait dengan efek progesteron pada motilitas traktus gastrointestinal, di mana terjadi

(16)

15

pemanjangan waktu pengosongan pada trimester kedua dan ketiga dibandingkan dengan trimester pertama dan periode postpartum. 1

2.4 Masalah Pada Saluran Kemih 2.4.1 Retensio urin

Retensio urin adalah ketidakmampuan mengosongkan kandung kencing. Banyak penyebab retensio urin, sebagian dapat pulih, tetapi ada juga yang sulit pulih. Kondisi ini memerlukan evaluasi dan pengobatan yang baik karena dapat menyebabkan masalah pada saluran kemih atau kerusakan ginjal. Retensio urin sering dijumpai pada wanita postpartum dan pada pasca bedah, baik bedah obstetri maupun ginekologi. Retensio urin dapat terjadi secara akut maupun kronis. 13

Beberapa penyebab yang paling sering mendasari terjadinya retensio urin adalah: 13

1. Partus per vaginam

Disebabkan oleh persalinan yang lama. Lamanya penekanan dari kepala bayi pada jaringan lunak pelvis mempengaruhi pleksus saraf pelvis dan mengakibatkan disfungsi berkemih. Retensio urin terjadi bila wanita yang tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam postpartum dan bila urin residu lebih dari 200 ml.

2. Retensio urin pada masa nifas

Disebabkan oleh trauma intra partum, di mana terjadi perlukaan pada uretra dan vesika urinaria. Hal ini terjadi karena adanya penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap uretra dan vesika urinaria tersebut oleh kepala bayi yang memasuki panggul terhadap tulang panggul ibu, sehingga terjadi perlukaan jaringan.

Retensio urin pada masa nifas juga dapat disebabkan kejang (kram) sfingter uretra dan hipotoni otot selama hamil dan nifas.

(17)

16 3. Retensio urin pasca seksio sesarea

Disebabkan oleh anestesia umum maupun regional. Dapat pula disebabkan oleh rasa nyeri pada luka insisi dinding abdomen yang secara reflek menginduksi spasme otot levator yang menyebabkan kontraksi spastik pada sfingter uretra dan rasa nyeri ini yang menyebabkan pasien enggan untuk mengkontraksikan otot-otot dinding perut guna memulai pengeluaran urin. 4. Retensio urin pasca bedah ginekologi

Disebabkan oleh anestesia, rasa nyeri, edema, dan spasme otot-otot pubokoksigeus.

2.4.2 Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan masalah kesehatan yang nyata. Diperkirakan hampir 50% wanita pernah mengalami minimal satu episode ISK dalam kehidupannya. Rata-rata kunjungan ke dokter untuk pengobatan penyakit ini mendekati 7 juta dalam setahun. Biaya pengobatan atau serangan sistitis diperkirakan sebesar $140, dan biaya tahunan untuk mengatasi ISK pada wanita mencapai 1,5 juta dolar.14

Prevalensi ISK meningkat dengan bertambahnya usia. Antara usia 15-24 tahun, prevalensi bakteriuri kurang lebih 2-3% dan meningkat sampai dengan 15% pada umur 60 tahun. Aktivitas seksual dan kehamilan merupakan faktor risiko utama pada kelompok umur muda. 14

Saluran kemih wanita relatif tahan terhadap infeksi. Namun terdapat beberapa factor risiko yang dapat memungkinkan terjadinya ISK pada wanita. Sebagian besar kasus ISK bersifat asendens, di mana awalnya flora feses membentuk koloni pada introitus vagina, lalu ke jaringan periuretra dan akhirnya sampai pada vesika. Terjadinya ISK merupakan interaksi antara suseptibilitas host dan faktor-faktor virulensi pathogen.14

Gejala dan tanda ISK meliputi gejala iritatif seperti sistitis, disuria, frekuensi, urgensi, nokturia, dan ketidaknyamanan suprapubik. Kadang terdapat inkontinensia ringan dan hematuria. Gejala sistemik biasanya tidak ada. Infeksi

(18)

17

saluran kemih atas biasanya memberikan gejala demam, menggigil, malaise, dan kadang-kadang mual dan muntah.14

2.5 Masalah Seksual

Penelitian terbaru mengenai kehidupan seksual wanita pasca melahirkan menunjukkan masih banyak terdapat masalah seksual. Dalam sebuah penelitian oleh Barrett terhadap 796 wanita primipara setelah 6 bulan postpartum ditemukan 32% melakukan hubungan seksual setelah 6 minggu pasca melahirkan dan mayoritas responden (89%) melakukan hubungan seksual setelah 6 bulan. Dispareunia yang terjadi dalam 3 bulan pertama setelah melahirkan berkaitan signifikan dengan proses persalinan pervaginam dan pengalaman dispareunia sebelumnya. Bagaimanapun juga, pengalaman dispareunia sebelumnya berkaitan dengan dispareunia saat ini. Hal ini menyebabkan wanita dengan dispareunia membutuhkan kebutuhan khusus bagi persalinan berikutnya yang terlihat pada kunjungan antenatalnya. Tanggapan yang diberikan responden pada penelitian ini sebesar 61%, sehingga prevalensi sesungguhnya tidak didapatkan. Pada penelitian serupa oleh Morof, didapatkan data, yakni wanita dengan depresi akan kembali melakukan hubungan seksual setelah 6 bulan postpartum dan dilaporkan akan mengalami permasalahan seksual dibandingkan wanita yang tidak depresi. 1

Permasalahan seksual yang muncul setelah persalinan merupakan hal yang biasa timbul, baik pada wanita yang depresi maupun yang tidak depresi. Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa morbiditas seksual postpartum hanya dialami oleh wanita yang mengalami gangguan mental. Penelitian lain yang dikerjakan oleh Glazener, mendapatkan data 53% wanita mengalami masalah seksual dalam 8 minggu postpartum dan 49% pada tahun postpartum berikutnya. Walaupun masalah seksual ini sering dialami setelah melahirkan, proporsi wanita yang berkonsultasi sangatlah rendah. Dokter yang profesional dan berkompetan di bidangnya haruslah ada dalam memberikan tata laksana yang tepat. Hal ini sebagai bentuk pelayanan komprehensif terhadap wanita-wanita, mulai dari kehamilannya, proses persalinan, dan kondisi pasca partumnya. 1

(19)

18

Dispareunia merupakan nyeri genital menetap atau berulang yang berhubungan dengan aktivitas seksual. Tedapat tiga jenis nyeri, yaitu: nyeri superfisial, nyeri vaginal, dan nyeri pelvik. Nyeri superfisial terjadi ketika penetrasi akibat kondisi anatomis atau iritatif, atau vaginismus. Nyeri vaginal biasanya berhubungan dengan friksi, masalah lubrikasi. Sedangkan nyeri pelvik berhubungan dengan penyakit pelvik atau relaksasi. Etiologi dispareunia dapat berasal dari faktor biologis, seperti: anatami, patologi, iatrogenik, dan hormonal. Di samping itu dapat pula berasal dari faktor psikososial.15

Penatalaksanaan dispareunia ini secara umum apabila tidak dijumpai etiologi adalah memberikan informasi dan edukasi tentang anatomi, fungsi seksual, perubahan karena kehamilan. Dapat diberikan medikamentosa atau operatif sesuai etiologi, terapi estrogen pengganti, pemberian lubrikan, psikoterapi, dilatasi vagina dan relaksasi otot. Jika perlu, bila dengan terapi tersebut tidak menolong karena adanya sikatrik atau vagina yang sangat sempit, maka perlu dilakukan tindakan operasi seperti episiotomi atau pengangkatan jaringan sikatrik. 15

2.6 Prolaps Organ Panggul

Cedera pada dasar pelvis selama proses persalinan memberikan kontribusi bagi terjadinya prolaps organ panggul. Faktor risiko lainnya adalah jaringan kolagen yang tidak baik, ras, usia tua, histerektomi, beberapa penyakit tertentu, dan peningkatan tekanan intrabdominal yang kronis. Pada suatu penelitian yang dikerjakan di Amerika Serikat, Swift menemukan hubungan antara graviditas, paritas, jumlah persalinan pervaginam sebelumnya, riwayat melahirkan bayi besar dengan peningkatan kuantifikasi prolaps organ panggul (POPQ/Pelvic Organ Prolapse Quantification).16

Pada sebuah studi prospektif tentang hubungan antara prolaps organ panggul dengan kehamilan, O’Boyle menemukan derajat POPQ lebih tinggi pada trimester ketiga dibandingkan trimester pertama. Disimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh perubahan fisiologis normal pada dasar panggul selama kehamilan. Efek persalinan terhadap prolaps organ panggul telah diteliti oleh Sze, didapatkan data

(20)

19

prolaps organ panggul pada 46% wanita (26% diantaranya dengan POPQ derajat II) pada usia kehamilan 36 minggu dan 83% wanita menderita prolaps organ panggul pada waktu 6 minggu postpartum, di mana 52% diantaranya dengan prolaps derajat II. 1,16

Etiologi pasti prolaps organ panggul masih diteliti dan beberapa peneliti menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara prolaps uteri dengan kejadian fisiologis dan traumatis. Cedera saat melahirkan merupakan salah satu peristiwa yang dapat memberikan risiko bagi terjadinya prolaps organ panggul. Wanita yang mempunyai banyak anak atau melahirkan bayi besar memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya prolaps organ panggul. Menurut beberapa penelitian, cedera saat melahirkan pervaginam akan meningkatkan risiko terjadinya prolaps uteri bila wanita tersebut telah melahirkan tiga anak atau lebih. Proses pematangan dan dilatasi serviks pada saat melahirkan terjadi melalui aktivasi beberapa kolagen dan elastase sehingga mengurangi matriks jaringan ikat serviks.16

Keluhan dari prolaps organ panggul adalah merasa ada massa di dalam vagina, yang dapat disertai ataupun tidak disertai keluhan berkemih. Tidak terdapat bukti ilmiah yang cukup untuk memutuskan metode persalinan yang paling tepat bagi wanita hamil dengan prolaps. Sze dalam suatu penelitian dalam lingkup kecil, menggambarkan bahwa operasi seksio sesarea elektif hanya merupakan langkah parsial dalam mencegah prolaps organ panggul. Pasien selanjutnya dapat memiliki untuk melakukan perawatan konservatif atau berencana untuk melakukan tindakan operasi. 1,16

Penatalaksanaan prolaps uteri adalah untuk menguatkan dan menjaga organ panggul tetap pada posisinya. Penatalaksanaan ini mencakup penatalaksanaan konservatif dan bedah. Terapi ini dipilih berdasarkan beratnya kondisi penyakit, kondisi kesehatan penderita, usia, dan keinginan mempunyai anak. Terapi konservatif yang dilakukan adalah dengan pelatihan otot dasar panggul. Pelatihan otot dasar panggul telah dianjurkan untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan panggul sejak tahun 1861. Meskipun demikian, adalah Arnold Kegel yang menemukan pendekatan olahraga dasar panggul terstandardisasi. Caranya adalah

(21)

20

dengan mengencangkan otot panggul selama beberapa detik lalu merelaksasikannya. Hal ini diulang 10 kali dan dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun. Kegel menggunakan perineometer balon sederhana sebagai alat biofeedback untuk meningkatkan usaha pasiennya dalam melatih otot-otot dasar panggul. Setelah beberapa tahun, Kegel melaporkan bahwa angka kesembuhan total adalah 84% pada lebih dari 500 pasien.16 Senam Kegel postpartum dapat mulai dikerjakan segera setelah postpartum, tanpa harus menunggu periode setelah 6 minggu postpartum.17

Terapi konservatif lainnya adalah dengan pemasangan pesarium, alat yang terbuat dari silicon yang berbentuk donat, dipasang di sekeliling atau di bawah serviks, dan dapat disterilisasi ulang. Alat ini membantu menaikkan uterus dan menjaganya tetap pada posisinya. Sedangkan terapi bedah yang dikerjakan bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala defek penyokong dasar panggul dan untuk memaksimalkan fungsi kandung kencing, saluran cerna, dan alat genital. Jenis reparasi operatif untuk prolaps organ panggul adalah:16

1. Reparasi obliteratif (penutupan) yang diindikasikan pada:  Indikasi medis untuk operasi singkat

 Indikasi medis untuk penggunaan anestesi lokal/regional  Tidak menginginkan fungsi seksual

2. Reparasi restorasi (anatomis) yang dapat dilakukan apabila:  Fasia-fasia panggul masih adekuat

 Otot – otot dasar panggul masih adekuat  Masih menginginkan fungsi seksual

3. Reparasi kompensatori yang diindikasikan pada:  Prolaps organ panggul berulang

 Otot – otot dasar panggul lemah

(22)

21 BAB III

KLINIK PERINEUM

Pada survei terhadap 1.249 wanita postpartum, Glazener menemukan bahwa sekitar 85% wanita yang memiliki sedikitnya satu masalah di rumah sakit menerima pertolongan atau pengobatan untuk keluhannya tersebut. Sebaliknya, ketika masalah muncul setelah pulang dari rumah sakit (87%), hanya sedikit yang diobati (69%) dan dari 75% wanita yang memiliki masalah dalam 2 bulan pertama, hanya setengahnya yang menemui dokter untuk berkonsultasi dan mendapatkan pengobatan. Alasan sedikitnya wanita yang menemui dokter atas keluhan mereka adalah tidak terdapatnya tempat yang cocok untuk mengutarakan keluhan mereka atau tidak tersedianya tenaga profesional yang sesuai, merasa tidak nyaman, dan tidak efektif. Di samping itu pasien beranggapan bahwa dokter hanya mengobati pasien dengan masalah yang berat atau beranggapan bahwa dokter tidak akan mampu mengobati kondisi mereka dan pasien dapat mengatasi sendiri keluhannya. 1,18

Penyebab dari berkurangnya upaya mendapatkan pertolongan atas keluhan pasien disebabkan oleh menurunnya derajat sakit yang dirasakan pasien bersama dengan bertambahnya waktu nifas, juga oleh karena sedikitnya perhatian dokter pada morbiditas yang dikeluhkan pasien, dan sikap pasien itu sendiri yang mengabaikan keluhannya.1

Berkaitan dengan masalah yang muncul pada periode postpartum, seharusnya wanita tersebut berkonsultasi pada klinik yang sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi. Keberadaan klinik yang khusus menangani permasalahan wanita postpartum haruslah didasarkan pada bukti ilmiah, dan dikelola oleh tenaga yang profesional. Klinik perineum yang menjawab permasalahan ini menyediakan kesempatan kepada wanita tersebut untuk mendapatkan penjelasan mengapa terjadi cedera pada perineum dan memberikan konseling bagi metode persalinan berikutnya. Berdasarkan pada pengalaman, penjelasan dan konseling yang diberikan pada klinik postpartum ataupun klinik ginekologi seringkali tidak optimal. 1,2,3

(23)

22

Klinik perineum dewasa ini sudah mulai banyak kemunculannya. Pada tahun 2002, Fitzpatrick dan kawan-kawan mempublikasikan pengalamannya mendirikan klinik perineum pada Rumah Sakit Bersalin di Dublin. Klinik ini beranggotakan ahli obstetri dan ginekologi, perawat khusus yang mengerti masalah inkontinensia, dan teknisi untuk alat-alat yang khusus ditempatkan pada klinik tersebut. Klinik ini juga disupervisi oleh konsultan uroginekologi dan ahli bedah digestif. Ultrasonografi endoanal dan pemeriksaan neurofisiologi dikerjakan oleh ahli radiologi dan ahli neurofisiologi. 1,3

Berikut ini akan dijelaskan mengenai bagaimana sebuah klinik perineum dibangun dan dikelola, serta bagaimana penerapannya dalam pelayanan postpartum.

3.1 Sejarah Klinik Perineum dan Klinik Perineum di Rumah Sakit Mayday Klinik perineum yang pertama berdiri di Republik Irlandia pada tahun 1995. Pada waktu itu di Inggris Raya terdapat banyak bentuk pelayanan yang diberikan pada wanita postpartum yang mengalami cedera perineum. Namun hanya sedikit yang memberikan laporan tertulis mengenai pelayanan yang mereka berikan. Alasan pemberian pelayanan khusus postpartum ini adalah sebagai jawaban atas keluhan pasien yang mengalami cedera perineum dan berlanjut setelah 6 minggu postpartum. 3

Pada sebuah laporan oleh klinik perineum yang berdiri di Dublin ini disebutkan bahwa sistem rujukan yang ditujukan pada klinik ini masih belum optimal. Dengan demikian beberapa wanita akan tetap menanggung beban akibat inkontinensia yang dialami dan juga dispareunia yang seharusnya dapat diobati. 3

Cedera perineum dan semua konsekuensi ikutannya merupakan sumber kecemasan pada wanita yang menjalani proses persalinan dan hal ini menjadi suatu sumber ketakutan yang secara tidak langsung meningkatkan kejadian operasi seksio sesarea di Inggris. Walaupun dalam praktiknya, tindakan episiotomi dapat menurunkan risiko terjadinya cedera perineum yang serius, beberapa wanita akan tetap mengalami cedera perineum selama proses persalinan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap wanita yang menjalani proses persalinan

(24)

23

pervaginam berhak untuk menerima pelayanan yang sesuai, konsisten, dan berdasarkan bukti ilmiah terkini. Tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak trauma dan meningkatkan kesempatan untuk kembali kepada fungsi kesehatannya seperti sebelum hamil. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, Royal College of Obstetrician and Gynaecology (RCOG) di London telah mengeluarkan suatu panduan tata laksana ruptur perineum derajat tiga dan empat pada tahun 2001.3

Klinik perineum di Rumah Sakit Universitas Mayday, Croydon, Inggris, berdiri pada tahun 1997. Klinik ini dikelola oleh konsultan Uroginekologi (yang telah mendapatkan pelatihan manometri anal dan ultrasonografi endonal) dan perawat/bidan yang telah mendapatkan pelatihan khusus di bidang uroginekologi. Klinik ini memiliki akses khusus kepada fisioterapis, perawat khusus masalah inkontinensia, ahli bedah digestif, dan kenselor psikoseksual. Integrasi dari tim multidisiplin ilmu ini memberikan pendekatan yang lebih baik pada masalah dasar panggul dan masalah perineum.1

Klinik perineum di Rumah Sakit Mayday ini dapat langsung menerima rujukan dari perorangan dan memiliki akses langsung ke dokter umum dan juga bidan praktek swasta. Klinik perineum ini hanya melayani masalah yang terkait dengan proses persalinan, termasuk di dalamnya: dispareunia, nyeri perineum, terbukanya luka perineum, infeksi, prolaps, dan inkontinensia urin yang terjadi selama proses kehamilan hingga 16 minggu setelah melahirkan. Wanita dengan Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASI) dipantau dalam waktu 3 bulan postpartum. Pada wanita dengan riwayat OASI, juga dievaluasi dan dikonsulkan mengenai metode persalinan pada kehamilan berikutnya. 1,18,19

Klinik ini dilengkapi oleh fasilitas seperti ultrasonografi endoanal dan monometri anal guna memfasilitasi pemeriksaan yang lengkap. Pada klinik perineum di Rumah Sakit Mayday ini menerima 423 rujukan baru selama periode Juli 2002 hingga Juli 2005. 1 Berikut disampaikan karakteristik pasien yang terdapat pada klinik perineum ini.

(25)

24

Tabel 3.1 Keluhan Utama Pada Rujukan Postnatal 1

Tabel 3.2 Keluhan Utama Pada Rujukan Antenatal 1

Tim uroginekologi Rumah Sakit Mayday dipimpin oleh dua orang konsultan: Abdul H. Sultan, MD FRCOG dan Ranee Thakar, MD MRCOG. Dengan dibantu oleh 3 orang perawat khusus di bidang uroginekologi, yaitu: Wendy Ness, Anne Philimore, dan Dahlia Lewis. Abdul H. Sultan merupakan Konsultan Obstetri dan Ginekologi, dengan subspesialistik Uroginekologi dan merupakan pengajar pada St George's Hospital Medical School (SGHMS), London. Abdul H. Sultan telah dikenal luas di dunia internasional sebagai pelopor tata laksana cedera sfingter ani selama proses persalinan dengan komplikasinya berupa inkontinensia fekal. Pimpinan yang kedua adalah Ranee Thakar yang juga merupakan pengajar pada SGHMS.21

(26)

25

Rumah Sakit Mayday merupakan rumah sakit umum di negara bagian yang kemudian diakui sebagai tempat pendidikan subspesialis uroginekologi. Abdul dan Ranee telah melakukan banyak penelitian dan menulis banyak buku tentang cedera perineum. Anne Phillimore dan Dahlia Lewis adalah perawat khusus urodinamik yang sehari-hari menjalankan triage klinik perineum dan secara aktif terlibat dalam pelatihan penguatan otot dasar panggul dan bladder retraining. Sedangkan Wendy Ness adalah perawat khusus colorectal yang mengkoordinir klinik perineum dan melakukan kegiatan pemeriksaan fisiologi anorektal. Klinik perineum ini menerima rujukan dari pusat pelayanan kesehatan tersier dan mengadopsi pelayanan kesehatan holistik dalam membantu menangani permasalahan pada dasar panggul. 1,21

Alur pelayanan di klinik perineum ini mencakup: 1. Penilaian Klinis:

Setelah seorang pasien dianamnesis dan dilakukan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan pada daerah pelvis dan pemeriksaan rektal, keluhan seperti misalnya: inkontinensia fekal, dinilai dengan suatu sistem skor, yaitu Cleveland Clinic System. Kemudian setiap wanita yang mengalami ruptur perineum derajat tiga dan empat, menjalani pemeriksaan manometri anal dan ultrasonografi endoanal, serta pemeriksaan neurofisiologi saraf pudendus jika dicurigai adanya neuropati. 3,21

(27)

26 2. Pemeriksaan Manometri Anal

Pemeriksaan manometri anal digunakan untuk mengukur tekanan pada saat istirahat dan saat mengedan yang menggambarkan kondisi otot sfingter ani dan penilaian simetrisitas lumen rektum, dengan menggunakan perhitungan indeks simetrisitas vektor, sehingga dapat digambarkan profil dari lumen rektum dan lokasi defek yang terjadi. Durasi pemeriksaan yang dikerjakan adalah ± 5 menit dan biasanya pasien dapat mentoleransinya dengan baik. 3

Gambar 3.1 Manometri Anal 22

3. Ultrasonografi Endoanal

Endosonografi anal dilakukan dengan posisi pasien pronasi menggunakan scanner ultrasonografi 360°, dengan endoprobe 10 MHz yang dapat dirotasi. Pemeriksaan ini dikerjakan ± 2 menit dan juga dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. Pemeriksaan ini biasanya dikerjakan oleh dokter spesialis radiologi dan hanya terbatas pada bagian distal lumen rektum. 3,23

4. Pemeriksaan Neurofisiologi

Pemeriksaan neurofisiologi diindikasikan pada wanita yang mengeluhkan inkontinensia fekal yang kronis maupun yang memburuk seara tiba-tiba, sesuai dengan gambaran neuropati pudendal yang terjadi postpartum.

(28)

27

Pemeriksaan yang dikerjakan menggunakan jarum elektromiografi pada sfingter ani eksterna, dikombinasikan dengan pemeriksaan konduksi saraf pudendus distal, dengan memeriksa reflek anal klitoris untuk mendapatkan lokasi dan prognosis dari cedera saraf yang terjadi. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu sekitar 5-10 menit dan biasanya pasien akan merasa kurang nyaman. 3

3.2 Bagaimana Mendirikan Sebuah Klinik Perineum 3.2.1 Lokasi

Idealnya ruang konsultasi dan ruang pemeriksaan anorektal haruslah berada pada daerah yang sama. Kebanyakan wanita akan datang bersama bayi mereka, sehingga harus tersedia ruangan untuk menyusui dan berganti pakaian. 24

3.2.2 Staf dan pelatihan

Minimal harus terdapat seorang konsultan Uroginekologi, yang memiliki pengetahuan dan kompetensi untuk menangani masalah cedera pada daerah anus dan perineum. Peran para konsultan uroginekologi ini adalah untuk menjelaskan dan memberikan konseling kepada para wanita tentang keluhan yang dialami, menyusun dan menginterpretasikan pemeriksaan yang diperlukan, serta mengopnamekan pasien jika memang diperlukan. Juga tidak kalah pentingnya adalah memberikan konseling tentang metode persalinan berikutnya. 24

Petugas yang ahli dalam bidang ultrasonografi endoanal dan pemeriksaan fisiologi anorektal juga harus tersedia untuk mendukung pelayanan yang diberikan. Sehingga dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik akan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik. Diperlukan juga petugas administrasi yang tetap bisa menjaga kerahasiaan rekam medis pasien. 24

(29)

28 3.2.3 Sumber daya

Dalam prakteknya diperlukan brosur-brosur yang dapat membantu menjelaskan anatomi dan fisiologi dasar panggul dan konsekuensi dari terjadinya cedera pada daerah anal dan sfingternya. Dapat pula disediakan model manekin yang dapat memudahkan penjelasan kepada pasien. 24 3.2.4 Biaya

Peralatan khusus yang diperlukan adalah ultrasonografi endoanal dan manometri endoanal. Hal ini memberikan implikasi bagi tingginya biaya, yakni sekitar 120.000 Poundsterling atau Rp. 1.813.560.000,00. 24

3.3 Penerapan Model Klinik Perineum Di Negara Berkembang

Biran Affandi dalam orasi ilmiahnya pada Pertemuan Ilmiah Tahunan XVIII Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, menyebutkan bahwa Indonesia, India, Bangladesh, Myanmar berada pada level yang sama pada Maternal Mortality Rate (MMR). Baik Maternal Mortality Rate (MMR) dan Maternal Mortality Ratio menjadi tolok ukur pelayanan kesehatan di suatu negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa standar pelayanan kesehatan di Indonesia, India, Bangladesh, dan Myanmar hampir sama. 25

Berdasarkan penelitian yang dikerjakan di daerah Rajasthan, India, didapatkan data morbiditas postpartum sebagai berikut: 26

(30)

29

(31)

30

Mengacu tabel di atas tampak walaupun nyeri pada daerah perineum dan vulva merupakan suatu hal yang penting, penelitian yang berkaitan dengan permasalahan ini masih sangat sedikit. Serupa dengan penelitian di atas, di Mesir dilaporkan 2,1% wanita postpartum mengalami dispareunia. Beberapa penelitian yang dikerjakan di rumah sakit menunjukkan insiden nyeri perineum postpartum yang tinggi. Hal yang serupa tergambarkan pada penelitian yang dikerjakan di Nigeria, di mana 28% dan 69% wanita dengan perineum utuh dan wanita dengan episiotomi menderita nyeri pada perineumnya 3 hari pasca melahirkan. 26

Insiden fistula pada tabel di atas masih menunjukkan hasil yang nihil. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa terjadinya fistula berkaitan dengan variasi geografis, terutama lebih banyak terdapat pada daerah Afrika Sub Sahara. Banyak penelitian tentang fistula berdasarkan pada laporan rumah sakit atau berdasarkan laporan dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi atau dokter Spesialis Bedah yang menangani kasus ini. Ketika para ahli dapat menangani kasus fistula, jarang yang melaporkan kasus tersebut. Sebuah laporan dari Nigeria menyebutkan 1 dari 1000 persalinan memberikan komplikasi berupa fistula obstetri. Tidak terdapat data yang menggambarkan dengan baik kejadian fistula obstetri di Asia Tenggara. 26

Pada Panduan Etika dan Profesi Obstetri dan Ginekologi di Indonesia yang dikeluarkan oleh Dewan Pertimbangan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia tahun 2012, belum disebutkan tentang pelayanan postpartum yang mencakup pelayanan seperti yang diberikan pada sebuah klinik perineum. Dalam panduan tersebut hanya disebutkan bahwa pelayanan postpartum yang diberikan adalah pelayanan kontrasepsi postpartum. 27

Seharusnya pelayanan yang efektif dan tepat diberikan kepada wanita yang mengalami OASI. Pelayanan yang diberikan ini haruslah berdasarkan kepada pemeriksaan yang berkualitas dan berdasarkan bukti ilmiah dari penelitian yang baik. Melalui kerjasama multidisiplin ilmu, pelayanan obstetri yang berkualitas dan komprehensif dapat diberikan kepada setiap wanita hamil. Pelayanan ini tidak hanya ketika antepartum dan intrapartum, namun juga diberikan postpartum. 2,3

(32)

31

Rumah Sakit Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit pusat rujukan untuk seluruh Indonesia juga belum memiliki sebuah klinik perineum sebagai suatu bagian dari pelayanan obstetri dan ginekologi. Walaupun sebagai rumah sakit pusat pendidikan subspesialis Uroginekologi, RSCM belum mewujudkan pelayanan klinik perineum. 28

(33)

32 BAB IV RINGKASAN

Masalah yang muncul pada periode postpartum merupakan bagian yang tak terpisahkan pada perawatan wanita pasca melahirkan. Idealnya, sebuah tim dengan pengalaman dan pengetahuan yang baik memberikan pelayanan kepada para wanita postpartum ini melalui sebuah klinik yang khusus menangani masalah tersebut.

Klinik perineum merupakan suatu bentuk tata laksana ideal guna menambah pengetahuan para dokter ahli obstetri, mengembangkan kemampuan, dan menyediakan pelayanan yang komprehensif. Telah dijelaskan model klinik perineum, beserta manfaat dan kekurangannya. Nilai dari keberadaan klinik perineum ini sangatlah baik dan tidak perlu diragukan manfaatnya. Namun bentuk dan pengelolaannya di setiap rumah sakit disesuaikan dengan kemampuan di setiap rumah sakit tersebut dan sangat tergantung pada sumber daya yang ada.

(34)

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Sultan, A., Thakar, R., 2007. Post Partum Problems and Role of Perineal Clinic. In : Sultan, A.H., Thakar, R., Dee, F., editors. Perineal and Anal Spinchter Trauma. 1st Ed. London : Springer. p. 65-79.

2. McCandlish, R. 2001. The role of a perineal clinic in a maternity hospital. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. (serial online), [cited 2012 August. 10]. Available from: URL: http://elsevier.com/locate/ejogrb.

3. Fitzpatrick, M., Cassidy, M., O’Connell, P., O’Herlihy, C. 2001. Experience with an obstetric perineal clinic. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. (serial online), [cited 2012 August. 10]. Available from: URL: http://elsevier.com/locate/ejogrb.

4. Hadijono, R., 2009. Asuhan Nifas Normal. Dalam : Saifudin, B., Rachimhadhi, T., Wiknjosastro, G., editor. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 356-365.

5. Junizaf. 2008. Laporan Pendidikan Bidang Konsultan Uroginekologi. Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (serial online), [cited 2012, October 3].

Available from: URL:

http://staff.ui.ac.id/internal/130280953/material/LAPORANPENDIDIKANK ONSULTAN.pdf

6. East, C., Sherburn, N., Nagle, C., Said, J., Forster, D. 2012. Perineal Pain following childbirth: prevalence, effects on postnatal recovery and analgesia usage. Department Obstetric and Gynaecology University of Melbourne. (serial online), [cited 2012 October. 1]. Available from: URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21236531

7. Roberts, J., Sword, W., Watt, S., Gafni, A., Krueger, P., Sheehan, D. 2001. Cost of postpartum care: examining associations from the Ontario Mother and infant survey. Department of Clinical Epidemiology and Biostatistic McMaster University. (serial online), [cited 2012 October. 8]. Available from: URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11928152

8. Junizaf. 2011. Anatomi Perineum dan Sfingter Ani. Dalam : Junizaf, Santoso, B.I., editor. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia. Hal. 17-22.

9. Francis, M. 2007. Hematoma. The New York Times Company. (serial online), [cited 2012 September. 30]. Available from: URL:

(35)

34

http://www.netplaces.com/postpartum-care/postpartum-complications-and-health-concerns/hematoma.htm

10.Abbott, D., Robert, N., Williams, A., Ntim, E., Chappel, L. 2010. Obstetric anal sphinter injury. British Medical Journal. (serial online), July., [cited 2012 October 4]. Available from: http://www.bmj.com/content/341/bmj.c3414 11.Power, D., Fitzpatrick, M., O’Herlihy, C. 2006. Obstetric anal sphincter injury

: How to avoid, how to repair : A literature review. The Journal of Family Practice. (serial online), Mar., [cited 2012 October 4]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16510052

12.Junizaf. 2011. Inkontinensia Fekal. Dalam : Junizaf, Santoso, B.I., editor. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia. Hal. 193-196.

13.Lotisa, D. 2011. Retensio Urin. Dalam : Junizaf, Santoso, B.I., editor. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia. Hal. 133-144.

14.Megadhana, W. 2011. Infeksi Saluran Kemih Bagian Bawah. Dalam : Junizaf, Santoso, B.I., editor. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia. Hal. 145-156.

15.Suskhan. 2011. Disfungsi Seksual Pada Wanita. Dalam : Junizaf, Santoso, B.I., editor. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia. Hal. 211-222.

16.Rizkar, M. 2011. Prolaps Uteri. Dalam : Junizaf, Santoso, B.I., editor. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia. Hal. 29-38.

17.Dugan. 2010. When to start with kegel exercise. Video Answers. (serial online), [cited 2012 October. 1]. Available from: URL: http://video.answers.com/when-to-start-with-kegel-exercises-325892611 18.Schonfeld, A. 2011. Postpartum Perineal Clinic: When Pelvic Floor

Complaints Just Can’t Wait. Annual Meeting of The American Urogynecologic Society. Providence December.

19.The Royal Women’s Hospital. 2011. Caring for your perineum and pelvic floor after a 3rd or 4th degree tear. The Royal Women’s Hospital Victoria Australia Fact Sheet. (serial online), April, [cited 2012 August. 10]. Available from: URL: http:// www.thewomens.org.au

(36)

35

20. Croydon Health Service. 2011. 3rd or 4th Degree Tears after vaginal delivery: A guide for patients and cerers. Croydon University Hospital. (serial online), August, [cited 2012 August. 10]. Available from: URL: http:// www.perineum.net/downloads/document-mayday-z0Nc.pdf

21. St. George’s Healthcare. 2004. Department of Pelvic Floor Reconstruction and Urogynaecology. GP News. (serial online), [cited 2012 August. 10]. Available from: URL : http://www.stgeorges.nhs.uk/docs/media/gp/backissues/ GPNews51.pdf

22.Mediwatch. 2007. The Duet Encompass System. [cited 2012 August 11]. Available from: URL: http://www.mediwatch.com/Encompass.php

23.Roos, A., Abdool, Z., Sultan, A., Thakar, R. 2010. The Diagnostic Accuracy of endovaginal and transperineal ultrasound for detecting anal sphincter defects: The PREDICT study. Journal of Royal College of Radiologist. (serial online), August, [cited 2012 August. 10]. Available from: URL: http://elsevierhealth/journals/crad

24.Fowler, G., Williams, A., Murphy, G., Taylor, K., Wood, C., Adams, E. 2009. How to set up a perineal clinic. Journal of Royal Collegeof Obstetricians and Gynaecologists. (serial online), [cited 2012 August. 10]. Available from: URL: http:// onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1576/toag.11.2.129.27487/pdf 25.Affandi, B. 2010. Kesehatan Reproduksi dan Upaya Kesehatan Maternal di

Indonesia, Quo Vadis?. Pertemuan Ilmiah Tahunan XVIII Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Jakarta 7-9 Juli.

26. Lyengar, K. 2012. Early postpartum maternal morbidity among rural women of Rajasthan, India: a Community Based Study. Journal Health Popul NUTR. (serial online), June, [cited 2012 August. 10]. Available from: URL: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22838163

27.Dewan Pertimbangan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2012. Panduan Etika dan Profesi Obstetri dan Ginekologi di Indonesia. (serial online), [cited 2012, August 10]. Available from: URL:

http://www.pogi.or.id/pogi/upload/downloadfile/761cf58b4e77c3649b5ac27a0 9b732cd_panduanetikapbpogietikabukufinal.pdf

28.RSCM. 2011. Pelayanan Kebidanan Rawat Jalan RSCM. [cited 2012 August

11]. Available from: URL:

http://www.rscm.co.id/index.php?bhs=in&id=OUR1000003&head=Rawat%2 0Jalan

Gambar

Tabel 2.1 Faktor Risiko terjadinya Obstetric Anal Sphincter Injury 11
Tabel 3.1 Keluhan Utama Pada Rujukan Postnatal  1
Tabel 3.3 Sistem Skoring Inkontinensia Fekal  3
Gambar 3.1 Manometri Anal  22
+2

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melaksanakan kegiatan penelitian yang merupakan proses dari kegiatan pembelajaran menulis teks eksplanasi dengan menggunakan media filmstrips di kelas XI

(3) Pihak yang mempunyai kuasa menyelesaikan kasus- kasus adat antaranya, Keuchik, Imuem Mukim dan Panglima Laut”. 2; Taqwaddin, Budaya hukum Aceh dalam

kejahatan. c) Orang yang menyuruh melakukan kejahatan. d) Orang yang membujuk orang lain untuk melakukan kejahatan. e) Orang yang membantu untuk melakukan kejahatan.

a. Kendala dan solusi berkaitan dengan banyaknya runtutan kegiatan pembelajaran yang dirumuskan. Berkaitan dengan kendala ini, guru berpendapat bahwa adanya runtutan

2.4 Tinjauan Aspek Keekonomian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Mengingat pengembangan potensi panas bumi memerlukan initial investment yang cukup besar, serta

Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2004 telah menerbitkan “Perluasan dan penyesuaian notasi DDC” untuk wilayah Indonesia dimana perluasannya sudah pada tingkat

Kedua , orang tua di Desa Morella Kabupaten Maluku Tengah memandang bahwa pendidikan Islam dalam rumah tangga sangat penting bagi anak, namun pengetahuan tentang

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Good Corporate Governance