• Tidak ada hasil yang ditemukan

pada anak dan remaja saat ini (Guldberg-Kjär & Johansson, 2015; Saputro, 2004).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "pada anak dan remaja saat ini (Guldberg-Kjär & Johansson, 2015; Saputro, 2004)."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

2 PENDAHULUAN

Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan perilaku yang umum terjadi pada anak usia sekolah dan menjadi masalah utama pada anak dan remaja saat ini (Guldberg-Kjär & Johansson, 2015; Saputro, 2004). Namun begitu, ganggunan perilaku ini kurang dikenal oleh orangtua, guru, dan masyarakat luas karena anak yang mengalami gangguan ini sering dianggap sebagai anak yang memiliki sikap melawan, nakal, malas, atau kurang konsentrasi (Saputro, 2004). Saat memasuki usia sekolah atau mulai terlibat dalam seting akademik, anak membutuhkan kemampuan konsentrasi dan rasa keingintahuan yang besar untuk dapat memahami mata pelajaran tertentu. Kemampuan untuk dapat berkonsentrasi pada tugas sekolah seringkali dibatasi oleh hiperaktifitas dan inatensi yang menghalangi mereka untuk tetap fokus pada tugas yang sedang dikerjakan (Kerig & Wenar, 2006).

Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan gangguan ini, diantaranya adalah Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) (American Psychiatric Association, 2013), Hyperkinetic Disorder (ICD-10; (World Health Organization, 1993) atau gangguan hiperkinetik (PPDGJIII), dan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas (GPPH) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Adapun istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD). Istilah ADHD memang baru digunakan, namun kondisi ini pertama kali dikemukakan oleh George Still pada tahun 1902 yang mengemukakan bahwa kondisi ini muncul karena rendahnya inhibitory volition dan defective moral control (Mash & Wolfe, 2010; Sharkey & Fitzgerald, 2007). Still juga mendeskripsikan simptom agresi, defiance, melawan

(2)

3 peraturan, dan ketidakjujuran yang saat ini didiagnosis sebagai Oppositional Defiant Disorder (ODD) atau Conduct Disorder (CD) yang merupakan gejala yang membersamai (komorbid) ADHD (Sharkey & Fitzgerald, 2007).

ADHD merupakan pola inatensi, hiperaktivitas, dan impulsifitas yang menetap dan menganggu fungsi perkembangan seseorang (American Psychiatric Association, 2013). Karakteristik utama dari ADHD adalah inatensi atau kesulitan memusatkan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsif. Berdasarkan tipe perilakunya, ADHD dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tipe dominan inatensi, tipe dominan hiperaktif, dan tipe kombinasi antara inatensi dan hiperaktif. Anak dengan tipe dominan inatensi pada umumnya mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas, tidak mendengarkan orang lain, sulit mengikuti instruksi yang diberikan, dan sering menghilangkan sesuatu. Anak dengan tipe dominan hiperaktivitas mengalami kesulitan dalam mengontrol dorongan motorik. Mereka mengalami kesulitan untuk duduk diam selama pelajaran berlangsung, gelisah, memanjat, berlari mengelilingi kelas dan memegang apa saja yang dilihatnya, membuat kegaduhan dengan mengetukkan pensil ke meja, dan tidak kesulitan menunggu antrian. Sedangkan anak dengan impulsifitas terlihat tidak mampu untuk menahan reaksinya yang tiba-tiba dan tidak berpikir sebelum bertindak. Mereka mengalami kesulitan untuk menghentikan perilakunya saat ini dan berprilaku sesuai dengan situasi atau tuntutan orang lain (American Psychiatric Association, 2013; Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2012; Kerig & Wenar, 2006; Mash & Wolfe, 2010).

(3)

4 Dalam Survei yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health (NIMH) terhadap anak-anak di Amerika, ADHD menempati urutan pertama dari daftar gangguan mental yang dialami oleh anak-anak di Amerika yaitu sebanyak 8.6% dari populasi (National Institute of Mental Health, 2009). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Polanczyk, dkk. (2007), ditemukan bahwa prevalensi ADHD di dunia sekitar 5.29% dengan rincian prevalensi 6% di Amerika Utara, 5% di Eropa, 12% di Amerika Selatan, 4 % di Asia, 3% di Oceania, 3% di Timur Tengah, dan 8% Afrika. Roberts, Milich, dan Barkley (2014) menyimpulkan bahwa prevalensi ADHD saat ini sekitar 5-7%. Sedangkan menurut American Psychiatric Association (2013) prevalensi ADHD pada anak-anak saat ini adalah 5% dan 2,5% pada orang dewasa.

Di Indonesia sendiri, penelitian tentang prevalensi ADHD sudah cukup banyak dilakukan, namun belum ditemukan prevalensi ADHD untuk Indonesia secara umum. Penelitian yang dilakukan masih bersifat sporadis dan terbatas pada kota atau provisi tertentu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Saputro (2004) ditemukan bahwa prevalensi ADHD pada anak usia sekolah di Kota Jakarta adalah 26,2%. Penelitian yang dilakukan di Kota Yogyakarta menemukan bahwa prevalensi ADHD pada siswa sekolah dasar di Kota Yogyakarta adalah 5,47% (Hayati, 2014), di Kecamatan Cangkringan, Sleman 7.48% (Christina, 2012), dan di Banguntapan, Bantul 3,5% (Dewi, 2011). Dalam penelitian terbaru, ditemukan prevalensi anak ADHD di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman adalah sekitar 8.09% (Wimbarti, Dewi, & Khoirot, 2016) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prevalensi ADHD pada anak-anak adalah sekitar 3 sampai 26,2%.

(4)

5 Besarnya angka prevalensi ADHD mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan peraturan Menteri Kesehatan terkait gangguan ini pada tahun 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) harus mendapatkan penanganan yang sesuai untuk menurunkan prevalensinya. Penanganan yang sesuai perlu dilakukan karena penelitian longitudinal menunjukkan bahwa masalah atensi pada masa anak-anak dan remaja dapat berlanjut hingga dewasa (Barkley, 2001). Barbaresi, Weaver, Voigt, dkk. (2015) mengestimasikan dari beberapa penelitian sebelumnya bahwa 6-60% anak dengan ADHD berlanjut sampai dewasa. Kessler, Adler, Barkley, dkk. (2006) menyatakan bahwa prevalensi orang dewasa dengan ADHD sekitar 4,4% dari populasi dengan kelompok yang paling rentan adalah laki-laki, sudah menikah, tidak bekerja, dan berasal dari golongan non-hispanic. Perempuan lebih sering terindikasi pada tipe dominan inatensi, sedangkan laki-laki lebih banyak mengelami tipe dominan hiperaktif dan impulsif. Adapun perbandingan jumlah kasus ADHD pada anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1, dan 1,6:1 pada dewasa (American Psychiatric Association, 2013; Roberts dkk., 2014).

ADHD merupakan sebuah ganggguan neurodevelopmental yang mulai muncul pada masa kanak-kanak. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, edisi ke-5 (DSM-5) simptom ADHD muncul dan menunjukkan gangguan sebelum berusia 12 tahun (American Psychiatric Association, 2013). Namun pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, edisi IV Text Revision (DSM-IVTR) disebutkan bahwa gejala ADHD

(5)

6 sudah dapat diketahui sebelum anak berusia 7 tahun (American Psychiatric Association, 2000). Adanya perbedaan batasan umur diagnosa ADHD pada kedua DSM dikarenakan adanya pertimbangan perkembangan simptom ADHD yang semakin menurun dengan semakin bertambahnya usia terutama untuk simptom hiperaktifitas dan impulsifitas (Roberts dkk., 2014). Perubahan batasan usia ini juga disebabkan karena ditemukannya simptom ADHD pada orang dewasa yang tidak memiliki sejarah ADHD pada masa anak-anak.

Selain berlanjut hingga dewasa, ADHD juga dapat menyebabkan masalah perilaku dan akademik. Diantara gangguan perilaku yang dapat muncul dari ADHD adalah CD, ODD, dan perilaku antisosial. Loeber, dkk. (2000) dalam penelitiannya tentang CD dan ODD menemukan bahwa ADHD pada masa anak-anak dapat mempercepat dan memperburuk kemungkinan munculnya CD pada masa remaja, terutama jika ADHD disertai dengan ODD. Mcardle (2007) menyatakan bahwa CD merupakan gangguan perilaku yang muncul pada usia remaja dimana simptom seringkali overlap dengan ADHD. Seseorang yang pada masa anak-anak didiagnosa ADHD seringkali didiagnosa CD saat remaja.

Adapun masalah akademik yang biasanya dialami oleh anak ADHD di antaranya adalah anak dengan ADHD memiliki kemampuan yang rendah dalam menyelesaikan pekerjaan rumah (Langberg dkk., 2010), prestasi belajar yang rendah (Barry, Lyman, & Klinger, 2002; Bussing dkk., 2012; Molina dkk., 2009), dan angka tinggal kelas (grade retention) yang tinggi (Molina dkk., 2009) dari pada anak pada umumnya (non-ADHD). Selain itu, Antonini dkk. (2016) menyatakan bahwa kemampuan kemampuan matematika siswa dengan ADHD

(6)

7 lebih rendah daripada siswa non-ADHD. Saputro dalam studinya menyatakan bahwa apabila gangguan ini tidak mendapatkan intervensi sejak dini maka akan mengakibatkan masalah psikososial yang lebih buruk, seperti kesulitan belajar, prestasi belajar buruk, gagal sekolah, penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat aditif lainnya, gangguan tingkah laku (kenakalan, perbuatan kriminal), kesulitan penyesuaikan diri di rumah ataupun sekolah dan konflik dalam keluarga (Saputro, 2004). Gangguan ini bila berlanjut sampai usia dewasa akan mengakibatkan kesulitan menyesuaikan diri di tempat kerja dan dalam keluarga .

American Psychiatric Association (2013) dalam DSM-5 menyatakan bahwa ADHD merupakan gangguan neurodevelopmental yang disebabkan karena faktor genetik dan neurologi yang berinteraksi dengan lingkungan. Terutama hal-hal berpengaruh secara biologis, seperti racun dan infeksi yang menjadi kontributor terbesar yang menyebabkan munculnya gangguan ini (Barkley, 2014). ADHD tidak dapat muncul hanya karena faktor sosial seperti cara orang tua membesarkan anak, konflik dalam keluarga, insecure attachment, terpapar siaran televisi atau video game, dan atau interaksi dengan teman sebaya. Faktor sosial hanya dapat menjadi faktor yang berisiko memunculkan ADHD hanya jika berinteraksi dengan anak yang secara genetik dan neurologis berisiko mengalami ADHD (Barkley, 2014a). Barkley (1997) menyatakan bahwa gangguan ini merupakan gangguan biologis pada fungsi otak yang bersifat kronis, dan mengakibatkan perkembangan fungsi eksekutif tidak sesuai dengan perkembangan usia anak.

(7)

8 Fungsi eksekutif didefinisikan sebagai sebuah kemampuan untuk mempertahankan serangkaian penyelesaian masalah yang sesuai untuk mencapai tujuan tertentu (Luria dalam Pennington & Ozonoff, 1996). Rangkaian penyelesaian masalah tersebut dapat terdiri dari: (a) intensi untuk menghalangi sebuah respon atau menundanya untuk waktu/stimulus yang lebih sesuai, (b) perencanaan urutan dari tindakan-tindakan yang akan dilakukan, dan (c) representasi mental terhadap suatu tugas, meliputi merekam informasi tentang stimulus yang relevan dan tujuan yang ingin dicapai (Pennington & Ozonoff, 1996). Pennington dan Ozonoff (1996) juga menyatakan bahwa domain fungsi eksekutif berbeda dengan domain kognitif seperti sensasi, persepsi, dan aspek dari bahasa dan memori. Fungsi eksekutif meliputi set-shifting, set maintenance, interference control, inhibisi, integrasi antara ruang dan waktu, perencanaan, dan working memory.

Bagian otak yang mengalami gangguan dan menyebabkan menurunnya fungsi eksekutif adalah area prefrontal cortex/PFC (Assef, Capovilla, & Capovilla, 2007; Thompson-schill, Ramscar, & Chrysikou, 2009). Perkembangan PFC yang terlambat dapat menyebabkan konsekuensi negatif pada perilaku anak-anak. Hal ini juga menyebabkan kontrol kognitif yang membantu anak untuk belajar berkembang kurang optimal. Untuk mengoptimalkan perkembangannya, fungsi PFC sebagai filter yang dinamis secara selektif mempertahankan informasi yang relevan dengan tugas yang dikerjakan dan membuang informasi yang tidak sesuai dengan tugas yang sedang dilakukan (Shimamura, dalam Thompson-schill dkk., 2009). Anak dengan ADHD menunjukkan adanya keterlambatan dalam

(8)

9 kematangan kortikal yang paling penting dalam PFC. Bagian ini merupakan bagian prefrontal yang penting untuk melakukan kontrol terhadap proses kognitif termasuk atensi dan perencanaan motorik (Shaw dkk., 2007).

Miyake dan Friedman (2012) menyatakan bahwa fungsi eksekutif adalah serangkaian mekanisme kontrol yang biasanya berhubungan dengan prefrontal cortex pada otak dan berfungsi mengatur dinamika kognisi dan tindakan manusia. Fungsi eksekutif merupakan komponen utama dari kemampuan kontrol diri dan regulasi diri seseorang yang berpengaruh besar terhadap kehidupan sehari-hari (Mischel dkk., 2011). Fungsi eksekutif dianggap sebagai faktor yang paling mempengaruhi munculnya simptom ADHD pada anak (Lambek dkk., 2011; Mullane, Corkum, Klein, McLaughlin, & Lawrence, 2011; Sergeant, Geurts, & Oosterlaan, 2002). Dalam analisis paralel terhadap fungsi eksekutif, Miyake dkk. (2000) mengidentifikasi tiga fungsi utama dari fungsi eksekutif, yaitu shifting, updating, dan inhibition.

Shifting adalah proses pergantian antar serangkaian tugas atau operasi mental. Shifting juga sering disebut sebagai attention switching atau task switching. Kemampuan untuk berganti tugas atau operasi mental merupakan aspek yang penting dalam fungsi eksekutif. Updating adalah proses memperbarui dan mengawasi kerja dari working memory. Proses ini berhubungan dengan PFC terutama pada bagian dorsolateral (Smith & Jonides, dalam Miyake dkk., 2000). Fungsi updating ini meliputi mengawasi dan melakukan coding terhadap informasi baru yang relevan dengan tugas yang sedang dikerjakan lalu melakukan revisi terhadap aitem-aitem yang terdapat di working memory dengan mengganti

(9)

10 informasi yang lama dan tidak relevan dengan informasi baru yang lebih relevan. Inhibition adalah proses menghalangi atau mencegah respon yang lebih besar, otomatis, dan dominan saat dibutuhkan. Dalam proses inhibisi, terdapat usaha untuk menghalangi atau menyingkirkan kecenderungan untuk melakukan respon yang lebih dominan atau lebih otomatis. Fungsi inhibisi berkorelasi dengan sempurna dengan fungsi eksekutif secara umum (Miyake & Friedman, 2012). Menurut Miyake dkk. (2000), ketiga fungsi eksekutif ini befungsi secara terpisah dan dapat dipisahkan. Di antara ketiga fungsi eksekutif diatas, fungsi yang paling berkontribusi terhadap munculnya ADHD adalah fungsi inhibisi (Barkley, 1997; Geurts, Verté, Oosterlaan, Roeyers, & Sergeant, 2004, 2005; Nigg, 2001; Richardson, 2008; Scheres dkk., 2004; Skillings, 2013).

Nigg (2000) menyatakan bahwa inhibisi merupakan suatu jajaran mekanisme yang memungkinkan seseorang menekan pikiran dan tindakan yang tidak sesuai yang pikiran atau tindakan yang telah aktif sebelumnya dan berusaha untuk bertahan terhadap gangguan dari stimulus yang tidak relevan. Hal yang utama pada kontrol inhibisi adalah kemampuan untuk menekan proses atau ekskresi dari informasi yang akan mengganggu penyelesaian tujuan utama (Dempster dalam Richardson, 2008). Kunci dari fungsi eksekutif ini memungkinkan dilakukan kontrol terhadap kognisi dan perilaku yang kompleks dan penting untuk interaksi yang efektif dengan lingkungan. Kontrol inhibisi penting dalam atensi, memory, inteligensi, serta berhubungan dengan kompetensi sosial dan regulasi emosi (Kochanska dalam Richardson, 2008). Kontrol inhibisi

(10)

11 juga berhubungan dengan kerusakan dalam beberapa gangguan neuropsikiatri dan mengakibatkan pola yang berbeda untuk setiap populasi klinis.

Brass, Rigoni, dan Haggard (2014) menyatakan bahwa terdapat dua hal yang membuat inhibisi sebagai kemampuan krusial yang harus dimiliki seseorang dalam melakukan kontrol kognitif dan motorik. Yang pertama adalah inhibisi penting untuk melakukan koordinasi dengan fungsi kognitif lain agar seseorang dapat sukses menghadapi dunia sosial yang kompleks yang membutuhkan regulasi terhadap impuls. Kedua, beberapa prepotent response dapat membahayakan seseorang, sehingga inhibisi menjadi penting bagi kesejahteraan seseorang agar terhindar dari hal-hal seperti penggunaan obat-obatan terlarang, dan makan yang terlalu banyak.

Fungsi inhibisi merupakan ciri utama yang harus dimiliki seseorang agar dapat hidup dalam lingkungan sosial yang beradab dan berbudaya. Inhibisi tidak hanya mampu mengendalikan dorongan antisosial, tetapi juga dapat memfasilitasi performa agar menjadi optimal seperti saat mengejakan tugas (Baumeister, 2014). Inhibisi merupakan salah satu bentuk regulasi diri. Dalam survey yang dilakukan oleh Baumeister, Heatherton, dan Tice (1994) pada beberapa penelitian ditemukan bahwa 80-90% regulasi diri dalam kehidupan sehari-hari terdiri dari upaya untuk menghentikan terjadinya respon yang meliputi menahan nafsu dan dorongan, menghentikan pikiran-pikiran negatif yang muncul, dan menahan emosi. Anak yang mengalami gangguan inhibisi mengalami kesulitan dalam memprioritaskan respon pada tugas yang berhubungan dengan stimulus (Hughes, Graham, & Grayson, 2004).

(11)

12 Inhibisi memiliki peran yang penting dalam kehidupan seorang anak. Dalam lingkungan sosial, anak yang memiliki kemampuan inhibisi yang rendah mengalami kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan sosial (Rubin, Coplan, & Bowker, 2009; Walker, Henderson, Degnan, Penela, & Fox, 2015), memiliki risiko yang besar untuk mengalami gangguan kecemasan sosial dan tidak mampu bersikap asertif (Clauss & Blackford, 2012). Dalam hal akademik, anak yang memiliki kemampuan inhibisi yang rendah, cenderung mengalami kesulitan untuk fokus belajar di rumah maupun di sekolah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bull dan Scerif (2001) ditemukan bahwa anak yang memiliki kemampuan inhibisi yang rendah dan didukung dengan tidak adekuatnya working memory memiliki kemampuan matematika yang lebih rendah daripada anak lain yang seusia dengannya. Selain itu, anak dengan kemampuan inhibisi yang rendah cenderung menarik diri dari lingkungannya dan hal tersebut berhubungan positif dengan rendahnya prestasi akademik (Chen, Rubin, & Li, 1997).

Seperti halnya fungsi eksekutif lainnya, inhibisi berkembang sesuai dengan perkembangan otak manusia. Bagian prefrontal yang berpengaruh terhadap kemampuan inhibisi mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya usia hingga mencapai fungsi optimalnya pada usia dewasa muda (Crone, dkk. dalam Crone, Bunge, Van Der Molen, & Richard Ridderinkhof, 2006). Namun menurut Cepeda, Kramer, dan Gonzalez de Sather (2001), performasi orang dewasa pada fungsi eksekutif telah dapat dicapai pada usia 12 tahun. Dengan semakin berkembangnya bagian prefrontal yang berfungsi untuk mengontrol berbagai macam tugas fungsi eksekutif ini, kapasitas kemampuan

(12)

13 inhibisi dan fleksibilitas mental seseorang juga akan mengalami peningkatan karena tugas yang dimiliki semakin beragam (Diamond, 2002).

Kemampuan inhibisi pada fungsi eksekutif terus berkembang dan matang selama masa remaja (Diamond, 2013). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Davidson, Amso, Anderson, dan Diamond (2006) tentang kemampuan inhibisi pada anak berusia 4-13 tahun, ditemukan bahwa kemampuan inhibisi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Dengan bertambahnya usia, kemampuan anak dalam melakukan tugas yang berhubungan dengan inhibisi semakin baik yang ditandai dengan semakin akurat dalam merespon dan impulsivitas mulai menurun. Anak yang lebih muda mengalami kesulitan dalam melakukan inhibisi pada level atensi, yaitu untuk untuk mengabaikan stimulus yang tidak berhubungan dengan tugas, dan pada level respon, yaitu mengesampingkan kecenderungan untuk melakukan prepotent response (Davidson dkk., 2006).

Davidson dkk. (2006) menyatakan bahwa mulai usia 6 tahun, anak mulai menerapkan inhibisi dan berpikir akan kebenaran respon atau jawaban yang diberikannya. Pada usia ini, anak membutuhkan waktu yang lebih lama daripada anak dengan usia yang lebih muda dalam memberikan respon untuk mengurangi kesalahan dalam merespon. Sedangkan mulai usia 10 tahun, kemampuan inhibisi mulai matang dan mencapai fungsi optimalnya. Namun pada usia ini, anak mulai terdistraksi banyaknya aturan dalam melakukan tugas sehingga memory demand, tuntutan untuk melakukan operasi mental dan menentukan respon yang benar, juga meningkat. Pada usia ini, anak dapat dengan mudah dalam melakukan fungsi inhibisi selama memory demand diminimalisir. Namun saat memory demand

(13)

14 meningkat, anak akan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam merespon untuk memastikan bahwa respon yang diberikannya sudah benar.

Kontrol inhibisi menjadi semakin dikenal sebagai karakteristik utama pada anak dengan ADHD yang menunjukkan ketidakmampuan yang menetap untuk mengontrol perilaku dalam berbagai area kehidupan (Durston, 2008). Barkley (1997) mengemukakan bahwa ketidakmampuan untuk menahan respon yang tidak sesuai menyebabkan semua defisit kognitif yang ditemukan pada anak ADHD seperti masalah pada working memory. Oleh karena itu, bagi Barkley, ADHD merupakan sebuah gangguan yang dimediasi oleh lemahnya kontrol inhibisi. Dalam seting sehari-hari, anak dengan ADHD menunjukkan banyak perilaku yang berhubungan dengan rendahnya kemampuan inhibisi seperti, bicara sendiri. Mereka juga mengalami kesulitan ketika diminta untuk menghentikan suatu perilaku dan kesulitan melawan godaan dan menunda kesenangan.

Inhibisi memiliki peran yang penting dalam fungsi eksekutif yang mengontrol dan mengatur pikiran dan tindakan. Adanya defisit dalam hal ini dapat mengakibatkan masalah yang berhubungan dengan gangguan perilaku seperti ADHD, CD dan ODD (Ikeda, Okuzumi, & Kokubun, 2013). Proses inhibisi ini mempengaruhi empat fungsi eksekutif yang bergantung pada inhibisi agar dapat berfungsi secara optimal, yaitu working memory, self-regulation of affect/motivational/arousal, internalization of speech, dan reconstitution. Gangguan pada keempat fungsi eksekutif ini membuat terjadinya gangguan pada perilaku kontrol motorik dan memunculkan ketidakmampuan mempertahankan atensi (sustained attention) pada ADHD (Barkley, 1997).

(14)

15 Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa adanya gangguan pada fungsi inhibisi menjadi komponen utama yang menyebabkan ADHD. Orang dengan ADHD menunjukkan hasil yang rendah pada tes yang mengukur kemampuan inhibisi, seperti Stop-Signal Task, Antisaccade Task (Friedman & Miyake, 2004), dan Colour Word Stroop Task (Assef dkk., 2007; Ikeda dkk., 2013; López-Villalobos dkk., 2010; Thursina dkk., 2015). Adams, Milich, dan Fillmore (2010) menemukan bahwa anak dengan ADHD memiliki respon inhibisi yang lebih lambat dibandingkan dengan anak lainnya dengan tingkat perkembangan yang tipikal. Selain itu, tidak ditemukan perbedaan kemampuan inhibisi pada anak dengan ADHD subtipe inatensi dengan ADHD subtipe kombinasi. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tye dkk. (2014) yang menemukan bahwa anak dengan ADHD menunjukkan defisit dalam orientasi atensi dan kontrol inhibisi.

Tabel 1. Pengukuran Fungsi Eksekutif Inhibisi

Pengukuran Inhibisi Dasar*

Stroop test E, T Go-NoGo E, T CPT AX E, T Stopping task T Negative priming T Anti-saccade Task T, E

Conflicting Motor Response T

Matching Familiar Figure Test (MFFT) T

*‖Dasar‖ berarti alasan tes tersebut dipertimbangkan sebagai test untuk mengukur fungsi eksekutif Inhibisi, T = teoretical, E = penelitian empiris mengenai luka/gangguan pada PFC. Jika T sebelum E, maka tes tersebut dikembangkan untuk menguji fungsi PFC lalu kemudian divalidasi secara empiris. Jika E sebekum T, maka tes tersebut ditemukan sebagai tes yang sensitif terhadap gangguan pada PFC baru kemudian dianalisis secara teoritis.

Sumber: Pennington dan Ozonoff (1996)

Pada penelitian ini, tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan inhibisi adalah Stroop Colour and Word Test/SCWT (Golden, Freshwater, &

(15)

16 Golden, 2003). Stroop test telah banyak digunakan secara luas dalam penelitian ADHD (Ikeda dkk., 2013; Malek, Hekmati, Amiri, Pirzadeh, & Gholizadeh, 2013; Schwartz & Verhaeghen, 2008; Thursina dkk., 2015) terutama untuk mengetahui fungsi eksekutif, inhibisi (Dimoska-Di Marco, McDonald, Kelly, Tate, & Johnstone, 2011), dan selective attention (Assef dkk., 2007).

Assef dkk. (2007) melakukan penelitian dengan menggunakan Computerized Stroop Test mengetahui adanya perbedaan waktu reaksi antara anak non-ADHD dan anak ADHD. Dari penelitian ini ditemukan bahwa anak dengan ADHD menunjukkan waktu reaksi yang lebih lama dibandingkan dengan anak tanpa ADHD. Hal ini menguatkan hipotesis bahwa anak dengan ADHD menunjukkan adanya penurunan dalam selective attention. López-Villalobos dkk. (2010) melakukan penelitian untuk menganalisis perbedaan efek stroop test pada anak ADHD dan non-ADHD, serta untuk mengetahui kemampuan stroop test dalam memprediksi simptom ADHD. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan skor interferensi antara anak non-ADHD dan ADHD dan Stroop Colour Word Test dapat digunakan dan valid sebagai kriteria tambahan dalam mendiagnosis ADHD.

Berbeda dengan dua penelitian sebelumnya, Thursina dkk. (2015) menggunakan Stroop Test mengevaluasi simptom ADHD pada anak berusia 6-13 tahun. Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara waktu pengerjakan Stroop Test pada anak non-ADHD dan ADHD kecuali pada subjek yang berusia 10-13 tahun. Penelitian ini menyarankan Stroop Test dapat digunakan sebagai alat skrining ADHD pada anak berusia 10-13 tahun. Dalam

(16)

17 penelitian yang dilakukan oleh Ikeda dkk. (2013) yang mengukur hubungan antara performa pada Stroop Test dengan skor pada ADHD rating scale. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor ADHD rating scale berhubungan dengan skor interferensi Stroop Test pada anak non-ADHD. Sedangkan pada anak dengan ADHD tidak ditemukan adanya hubungan antara skor ADHD rating scale dengan skor interferens Stroop Test. Hal ini menunjukkan bahwa skor interferensi pada Stroop Test dapat digunakan untuk melihat simptom ADHD pada anak non-ADHD.

Meskipun banyak penelitian yang mendukung bahwa inhibisi merupakan core-deficit pada anak ADHD, terdapat penelitian yang menyatakan bahwa inhibisi bukanlah core-deficit dan faktor pembeda antara anak ADHD dan non-ADHD. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Corbett dan Constantine (dalam Weyandt & Gudmundsdottir, 2014) ditemukan bahwa defisit dalam inhibisi tidak hanya ditemukan pada anak ADHD namun juga pada kelompok klinis lainnya. Namun begitu, anak ADHD pada penelitian ini memang memiliki kemampuan inhibisi yang buruk. Penelitian yang dilakukan oleh Skogli dkk. (dalam Weyandt & Gudmundsdottir, 2014) ditemukan bahwa meskipun terdapat perbedaan antara anak ADHD dan anak non-ADHD dalam fungsi eksekutif termasuk ADHD, hal tersebut tidak dapat membedakan antara ketiga subtipe ADHD.

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa terdapat banyak, namun tidak semua, penelitian menunjukkan bahwa anak ADHD memiliki defisit pada fungsi inhibisi dibandingkan dengan anak non-ADHD. Selain itu, Inhibisi merupakan hal yang kompleks dan tergantung pada beberapa proses kognitif

(17)

18 lainnya yang mungkin mengandalkan mekanisme saraf yang berbeda (Cepeda dkk., 2001). Oleh karena itu, mekanisme yang berbeda mungkin dapat mempengaruhi kemampuan inhibisi pada anak ADHD dan non-ADHD dalam usia yang berbeda. Untuk mendapatkan gambaran perkembangan inhibisi yang lebih akurat pada rentang usia 6-12 tahun pada anak ADHD dan anak non-ADHD, penulis membagi kelompok usia menjadi 2 bagian, yaitu kelompok usia 6-9 tahun dan 10-12 tahun.

Di Indonesia sendiri, penelitian tentang ADHD lebih banyak berfokus pada faktor risiko dan intervensi pada anak Anak ADHD. Dari hasil penelusuran penulis di portal jurnal dan naskah publikasi Universitas Gadjah Mada, belum ada penelitian ADHD di Indonesia pada umumnya, dan di Universitas Gadjah Mada pada khususnya yang mengukur kemampuan inhibisi dan pengaruhnya terhadap anak ADHD. Padahal dengan mengetahui kemampuan inhibisi pada anak ADHD, para praktisi dapat membuat rancangan pembelajaran yang lebih spesifik untuk setiap anak ADHD dengan subtipe yang berbeda.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa inhibisi merupakan faktor pembeda antara anak ADHD dengan anak non-ADHD, dan melihat perbedaan kemampuan inhibisi pada ketiga subtipe ADHD pada anak berusia 6 sampai 12 tahun dengan menggunakan Stroop Colour and Word Test. Adapun pertanyaan pada penelitian ini adalah:

1. Apakah kemampuan inhibisi pada anak ADHD lebih rendah daripada anak non-ADHD?

(18)

19 2. Apakah kemampuan inhibisi pada anak usia 6-9 tahun lebih rendah

daripada anak usia 10-12 tahun?

3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan inhibisi pada ADHD subtipe inatentif, hiperaktif/impulsif, dan kombinasi?

Secara teoretis, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangan positif pada perkembangan khasanah ilmu psikologi secara umum dan psikologi pendidikan serta psikologi perkembangan secara khusus.

Secara praktis, berikut manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini:

a. Untuk praktisi psikolog, penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber informasi dalam memahami fungsi eksekutif terutama kemampuan inhibisi dan hubungannya dengan ADHD, serta dapat membatu membuat rancangan intervensi yang sesuai dengan karakteristik fungsi eksekutif masing-masing anak.

b. Untuk peneliti lain yang berminat meneliti tentang ADHD, penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber referensi dalam hal fungsi eksekutif terutama kemampuan inhibisi pada anak ADHD. Penelitian ini juga dapat menjadi landasan penelitian lain mengenai kemampuan inhibisi pada anak dengan gangguan perilaku lain seperti CD, ODD, gangguan kecemasan dan gangguan mood. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya mengenai perkembangan fungsi eksekutif terutama inhibisi pada anak non-ADHD dan anak dengan gangguan perilaku.

Gambar

Tabel 1. Pengukuran  Fungsi Eksekutif Inhibisi

Referensi

Dokumen terkait

Satuan Ukuran Kuantitas Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp) Uraian Pekerjaan e. Kaca Polos

Penggunaan sistem ini bertujuan untuk  menanggulangi masalah limbah $air pada unit pengolahan limbah $air%  pengolahan limbah $air buangan pabrik kelapa sawit

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa secara statistik ada perbedaan nyata partisipasi migran dalam mengikuti kegiatan lingkungan sebelum migrasi dan pada awal

Budaya Masyarakat meliputi ( Anak Merupakan Tempat Bergantung di hari Tua, Anak Memiliki Nilai Ekonomis, Anak Menjadi Tenaga Kerja Untuk Membantu Ekonomi Keluarga,

Namun dalam mengalokasikan dana BOS di MTS Banin Banat sedikit berbeda dengan madrasah yang lain, di satuan pendidikan tersebut dana BOS yang turun ke madrasah sebagian

sense, feel , think, act, dan relate tidak mempunyai pengaruh yang signifikan secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya yaitu customer loyalty. Ha : Variabel-variabel

berikutnya merupakan inti dari pemikiran atau gagasan Hujair A.H Sanaky yaitu strategi pendidikan islam dalam proses perubahan menuju masyarakat madani Indonesia

Oleh Ni Made Sinta Wedarini (2013) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh kualitas produk terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan telkom flexi yang mengatakan bahwa