• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN PEREMPUAN KORBAN PERDAGANGA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERLINDUNGAN PEREMPUAN KORBAN PERDAGANGA (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan Perempuan Korban Perdagangan Orang

(Sebuah Studi Sosio Legal Kasus Perdagangan Orang di Kabupaten Malang) Oleh:

Wahyu Krisnanto

Fak. Hukum - Universitas Katolik Darma Cendika Telp. 081554123603; email: wahyu.krisnanto@ukdc.ac.id

ABSTRAK

Era globalisasi menjadikan interaksi sosial dan ekonomi tidak lagi tersekat oleh batas negara, membuka terjadinya lalu lintas barang, jasa bahkan tenaga kerja antar negara. Globalisasi berdampak berkembangnya Multi National Corporate (MNC) dan Trans National Corporate (TNC) yang bersifat kapitalistik. Namun sifat kapitalistik perusahaan telah mendorong upaya operasionalisasi perusahaan tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dengan mempekerjakan tenaga kerja dari wilayah miskin dan diberikan upah minim. Kondisi ini tidak jarang menimbulkan tindakan perdagangan orang. Sebagai komitmen pemerintah menanggulangi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) telah diterbitkan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Untuk mengefektifkan implementasi Undang-undang tersebut diamanatkan pembentukan Gugus Tugas Pemberantasan Tidak Pidana Perdagangan Orang, di tingkat Nasional hingga Kabupaten/Kota. Walaupun telah ada perangkat hukum, namun hingga saat ini Indonesia masih masuk dalam kategori Tier 2. Terjadinya kesenjangan kondisi ideal dan kondisi faktual di lapangan, memotivasi dilakukannya penelitian. Permasalahan yang diteliti adalah faktor apa yang menyebabkan tidak efektifnya upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Penelitian dilakukan di Kec. Donomulyo - Kabupaten Malang yang menjadi sending area perdagangan orang di Provinsi Jawa Timur. Dari hasil penelitian diketahui tidak saja faktor yuridis penyebab lemahnya upaya pemberantasan TPPO, namun juga faktor sosio kultural masyarakat yang berperan dalam memperlemah upaya pemberantasannya.

Kata Kunci: Perlindungan, Perempuan, Trafficking

Pendahuluan

Setelah terjadinya Perang Dunia II yang telah menistakan harkat dan martabat

manusia di dunia, pada tahun 1948 beberapa negara telah mendeklarasikan penentangan

terhadap perdagangan orang. Deklarasi penentangan perdagangan orang tersebut termuat

dalam Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dengan dimasukkannya

dalam DUHAM, maka perdagangan orang dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk

pelanggaran berat Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2000, telah dibuat instrumen hukum

internasional yang dipergunakan dalam merespon masalah perdagangan orang yang

dituangkan dalam bentuk The Protocol to Prevent, Surpress and Punish Trafficking in

Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention

against Transnational Organized Crime atau yang lebih dikenal dengan Protokol Palermo1

(Sagala, Jurnal Perempuan No. 68). Sebagai respon terhadap Protokol Palermo tersebut,

pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi protokol tersebut dengan

1

(2)

diterbitkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang (TPPO).

Permasalahan perdagangan orang sebenarnya bukanlah kejahatan bentuk baru di

dunia, bahkan di Indonesia. Orientasi pembangunan industri, menjadikan banyaknya

wilayah yang semula berbasis pertanian dikonversikan menjadi kawasan industri. Kondisi ini

menjadikan hilangnya sumber mata pencaharian petani yang tidak diikuti dengan perubahan

ketrampilan berusaha. Hilangnya sumber mata pencaharian tersebut, menjadikan para

petani melakukan migrasi ke wilayah-wilayah kota yang lebih menjanjikan untuk

mendapakan pekerjaan. Tidak dimilikinya ketrampilan kerja, hilangnya sumberdaya ekonomi

dan ditambah rendahnya pendidikan masyarakat menjadi faktor penyebab terjadinya

perdagangan orang. Pada awalnya perdagangan orang hanya terjadi dalam lingkup antar

wilayah dalam negara.

Seiring dengan maraknya era globalisasi, menjadikan interaksi sosial dan ekonomi

tidak lagi tersekat oleh batas negara. Kondisi ini membuka terjadinya lalu lintas barang, jasa

bahkan tenaga kerja antar negara. Pada era ini, perkembangan Multi National Corporate

(MNC) dan Trans National Corporate (TNC) sangat berkembang pesat. Perkembangan

MNC dan TNC tersebut diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan menambah

pertumbuhan perolehan devisa. Namun sifat kapitalistik perusahaan yang bertujuan untuk

memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan pengeluaran biaya produksi sebagaimana

prinsip ekonomi telah mendorong adanya upaya operasionalisasi perusahaan tanpa

memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satunya adalah dengan mempekerjakan

tenaga kerja dari wilayah miskin yang mau dibayar dengan upah yang sangat rendah

dengan memanfaatkan jasa calo tenaga kerja. Perpindahan tenaga kerja dari wilayah

negara miskin ke wilayah negara lain dimana perusahaan multinasional dan transnasional

itu berada, dijanjikan mendapatkan gaji yang cukup besar. Janji tersebut biasanya tidak

ditepati, namun mereka dipekerjakan secara paksa pada perusahaan dengan upah yang

tidak cukup2.

Ditinjau aspek kerugian yang dialami oleh korban, menunjukkan banyaknya faktor

yang melingkupi permasalahan perdagangan orang ini. Korban perdagangan orang, tidak

saja kehilangan hak dasarnya sebagai seorang manusia, dimana harkat dan martabatnya

sebagai manusia dilecehkan dengan diperdagangkannya mereka seperti barang. Dalam

kasus perdagangan orang, biasanya korban sebelum dan sesudah diperdagangkan sebagai

tenaga kerja, mereka disekap di sebuah tempat untuk menampung mereka. Penyekapan

(3)

terhadap para korban perdagangan orang tersebut, tidak jarang menjadikan korban

mengalami keterasingan dengan lingkungan sosialnya. Para korban perdagangan orang

tersebut biasanya adalah perempuan, dimana di Indonesia kelompok perempuan

merupakan kelompok yang tidak memiliki sumberdaya baik sosial, politik maupun ekonomi.

Dilaporkan dalam Annual Trafficking in Person Report (2016) yang diterbitkan oleh

Pemerintah Amerika Serikat. Dalam laporan tersebut diuraikan bahwa di Indonesia, banyak

pekerja perempuan yang dieksploitasi untuk kerja paksa di sektor penangkapan ikan,

pengolahan ikan dan konstruksi di perkebunan. Dan banyak juga perempuan yang

dieksploitasi di sektor domestik dan perdagangan seks.

Dalam mencegah dan menangani masalah perdagangan orang, diperlukan

pendekatan yang bersifat multi dan interdisipliner. Tidak saja dilakukan dengan pendekatan

hukum, namun juga di luar hukum. Oleh karena itu, dalam melakukan pencegahan dan

penanganan masalah perdagangan orang dengan pendekatan hukum ini, diperlukan

sebuah kesiapan perangkat hukum yang meliputi ketersediaan peraturan

perundang-undangan, kemampuan aparat hukum, prosedur yuridis dan praktek hukum. Sedangkan

pendekatan di luar hukum adalah pendekatan pencegahan dan penanganan korban

perdagangan orang yang meliputi aspek medis, psikologis, psikologis, advokasi,

pendampingan hingga riset sosial ekonomi dan budaya3.

Sebagai wujud komitmen dalam melakukan tindakan pencegahan, penanganan dan

penindakan terhadap kasus perdagangan orang ini, Pemerintah Indonesia pada tahun 2007

telah menerbitkan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Memperhatikan pada permasalahan perdagangan

orang yang sangat kompleks dan memerlukan penanganan yang multidisipliner, maka

dalam undang-undang tersebut diamanatkan pula dibentuknya sebuah gugus tugas yang

terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) yang bertugas untuk

mengkoordinasikan dan melakukan upaya-upaya pencegahan, penindakan, pendampingan

dan advokasi bagi korban perdagangan orang. Gugus tugas ini selanjutnya dikenal sebagai

Gugus Tugas TPPO. Adapun tugas, pokok dan fungsi dari gugus tugas ini telah diatur dalam

Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan

Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Harapannya dengan telah diundangkannya pemberantasan tindak pidana

perdagangan orang dan telah dibentuknya Gugus Tugas Pemberantasan TPPO adalah

berkurangnya kasus perdagangan orang. Dalam kenyataannya telah diundangkannya

3

(4)

pemberantasan tindak pidana perdagangan orang serta telah dibentuknya gugus tugas,

belum mampu meningkatkan pencapaian standar minimum perlindungan korban

perdagangan orang. Kondisi ini terlihat dari hasil studi yang dilakukan oleh Pemerintah

Amerika Serikut yang termuat dalam Annual Trafficking in Person Report4. Dalam laporan hasil studi menyebutkan bahwa negara Indonesia termasuk dalam kategori sebagai negara

yang telah memiliki perundang-undangan yang pro pemberantasan perdagangan orang

namun belum cukup memenuhi ketentuan standar minimun perlindungan korban

perdagangan orang (Trafficking Victim Protection Act’s/TVPA). Dengan kondisi ini, negara

Indonesia masih dimasukkan dalam kategori Tier 2. Dalam Annual Report Trafficking in

Person Repot 2016 juga disebutkan bahwa Indonesia ditengarai tidak saja menjadi tujuan

dan transit perdagangan orang, tetapi juga sebagai negara yang menjadi sumber pensuplai

kegiatan perdagangan orang. Dalam laporan tersebut juga diuraikan bahwa dari 34 Provinsi

yang ada di Indonesia, Provinsi Jawa Timur menjadi salah satu wilayah yang menjadi asal

(sending area) perdagangan orang terbesar.

Dimasukkannya Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu wilayah yang menjadi asal

perdagangan orang cukup beralasan jika memperhatikan data yang dimiliki oleh Badan

Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Provinsi Jawa Timur. Dari

data tersebut, pada tahun 2014 lalu tidak kurang terjadi 39 kasus perdagangan orang yang

terjadi di wilayah Provinsi Jawa Timur5.

Masih beradanya negara Indonesia di peringkat Tier 2 pada kasus perdagangan orang

walaupun telah dimilikinya perangkat hukum, menjadi alasan penulis untuk meneliti

faktor-faktor sosiologis dan yuridis apa saja yang menyebabkan perangkat hukum tersebut tidak

mampu berfungsi secara efektif dalam melakukan perlindungan bagi para korban

perdagangan orang dari kelompok Perempuan. Pemahaman terhadap faktor sosiologis,

diharapkan dapat dipergunakan untuk memberikan masukan untuk melakukan pencegahan

tindak pidana perdagangan orang, penanganan dan advokasi korban perdagangan orang.

Sedangkan pemahaman terhadap faktor yuridis normatif, diharapkan penelitian mampu

memberikan masukan dalam pembaruan pengaturan hukum pemberantasan perdagangan

orang. Adapun pemilihan kelompok perempuan sebagai kelompok sasaran penelitian tidak

terlepas dari banyaknya kasus perdagangan perempuan yang dialami oleh kelompok

perempuan tersebut.

(5)

Kajian Pustaka

Pengertian tindak pidana perdagangan orang ataupun trafficking belum memiliki

pengertian yang sama di setiap Negara. Menurut Global Alliance against Trafficking in

Woman (GAATW) tahun 2007 mendefinisikan trafficking sebagai seluruh aktivitas, termasuk

di dalamnya adalah perekrutan dan transportasi, terhadap seseorang atau lebih, baik dalam

batas Negara maupun antar batas Negara, untuk bekerja atau melayani dengan maksud

memberikan jasa melalui kekerasan, penipuan, untuk membayar hutang, dan bentuk-bentuk

lain yang merugikan (Mulyanto et al, 2004: 6).

Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk selanjutnya disebut dengan TPPO

merupakan tindak pidana khusus dimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dianggap tidak cukup mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang ada

sehingga dibuat Undang-Undang khusus mengenai TPPO. Melalui Undang-Undang No. 21

tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada pasal 1 ayat 1

menyebutkan tentang definisi tindak perdagangan orang. Dalam undang-undang tersebut

yang dimaksudkan dengan Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,

penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman

kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran

atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memperoleh kendali atas

orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara maupun antar Negara, untuk tujuan

eksploitasi atau mengakibatan orang tereksploitasi.

Dalam kasus perdagangan orang, posisi korban sering hanya menjadi obyek penderita

semata. Setelah terdakwa di proses secara hukum, pembelaan terhadap korban seolah

berhenti begitu saja. Padahal justru korban harus mendapatkan perlindungan hukum dan

penanganan lebih lanjut terkait dengan haknya sebagai korban. Hamzah (2006: 33)

menyebutkan bahwa dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan

dengan hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan

dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban. Menurut

Undang-Undang TPPO pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa korban adalah seseorang yang

mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang

diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Terkait dengan konsepsi korban, Gosita

(1993: 6) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang

menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari

pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan

(6)

Metode Penelitian

Dalam penelitian tentang perlindungan bagi korban perempuan ini, penulis melakukan

penelitiannya di wilayah Kabupaten Malang. Pemilihan kabupaten Malang sebagai lokasi

penelitian dengan pertimbangan bahwa wilayah Kabupaten ini merupakan sending area

terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Dari data BPKB Prov. Jawa Timur, sejak 2012

– 2015 terdapat 67 kasus perdagangan orang, dimana 25 kasus terjadi di wilayah Kabupaten Malang, tepatnya pada wilayah-wilayah kecamatan di wilayah Kab. Malang

sebelah selatan. Dari sekian banyak wilayah Kecamatan di Malang Selatan, peneliti memilih

wilayah penelitiannya di Kecamatan Donomulyo. Pemilihan wilayah Kecamatan Donomulyo

ini dengan pertimbangan bahwa wilayah kecamatan ini adalah salah satu wilayah

kecamatan di Malang Selatan yang banyak mengirim tenaga migran. Selain daripada itu di

wilayah Kecamatan Donomulyo pada tahun 2014 pernah dilaporkan adanya kasus

perdagangan orang.

Penelitian ini adalah sebuah penelitian hukum dengan pendekatan ilmu sosial atau

yang lebih dikenal dengan penelitian sosio legal. Menurut Wignjosoebroto (2008: 17)

penelitian sosio legal merupakan penelitian dengan pendekatan interdisipliner, yang

menggunakan konsep dan teori dari berbagai ilmu yang dikombinasikan dan digabungkan

untuk mengkaji sebuah fenomena hukum. Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan

pendekatan kualitatif, dimana data diperoleh melalui wawancara secara kualitatif dengan

key informan dan studi pustaka. Beberapa responden yang dijadikan key responden adalah

para korban trafficking yang berasal dari kelompok perempuan, tenaga pendamping korban

perdagangan orang, aparat desa dan polisi sebagai aparat penegak hukum.

Hasil dan Pembahasan

a. Motivasi Bekerja Sebagai Buruh Migran

Sebelum membahas tentang faktor-faktor penyebab tidak cukup efektifnya

perlindungan perempuan terhadap perdagangan orang, ada baiknya mengetahui terlebih

dahulu kondisi geografis wilayah penelitian serta motivasi sebagian besar masyarakat di

lokasi penelitian untuk menjadi buruh migran. Pemahaman tentang kondisi geografis wilayah

penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran tentang motivasi masyarakat di wilayah

kecamatan tersebut untuk bekerja menjadi buruh migran. Kecamatan Donomulyo adalah

sebuah wilayah Kecamatan yang terletak di sebelah selatan kota Malang. Dari wilayah kota

Malang berjarak sekitar 48 Km ke arah Selatan. Secara geografis wilayah Kecamatan

Donomulyo adalah wilayah yang berbukti, dimana di sisi selatan wilayah Kecamatan ini

adalah laut selatan. Perbukitan yang ada di wilayah Kecamatan Donomulyo termasuk

sebagai perbukitan kapur (padas). Dengan kondisi geografisnya tersebut, menjadikan

(7)

ataupun perkebunan. Sebagian besar sawah yang ada di wilayah ini mengandalkan pada air

hujan.

Memperhatikan pada kondisi geografis yang kurang mampu menjanjikan sumberdaya

ekonomi keluarga menjadi salah satu faktor pemicu warga di Kecamatan Donomulyo

memilih menjadi pekerja migran. Kondisi ini memperoleh relevansinya dengan Teori Pull and

Push Factors. Walaupun teori ini banyak memperoleh kritik karena analisanya yang

menyederhanakan motif seseorang untuk menjadi buruh migran, namun teori ini cukup

memiliki relevansi untuk menjelaskan motif sebagian masyarakat Kecamatan Donomulyo

untuk menjadi buruh migran. Karena keterbatasan sumber daya ekonomi yang dimiliki

tersebut, menjadikan pilihan sebagai buruh migran sebagai solusi favorit untuk mengatasi

permasalahan ekonomi keluarga masyarakat Kecamatan Donomulyo. Menurut Irianto et al

(2011; 30) bahwa motif seorang memilih menjadi buruh migran adalah harapan memperoleh

keuntungan besar di negara tujuan dibanding dengan di negara sendiri. Kondisi ini bisa

terlihat dari banyaknya warga di Kecamatan Donomulyo yang memilih menjadi TKI sebagai

alternatif mengatasi permasalahan ekonomi keluarganya. Karena keterbatasan ekonomi,

mereka biasanya memilih menyelesaikan sekolah hingga SLTA untuk selanjutnya bekerja

sebagai buruh migran. Namun tidak jarang pula mereka juga memilih hanya menyelesaikan

sekolah hingga SLTP saja. Biasanya para buruh migran perempuan ini memilih bekerja di

luar negeri seperti di negara Arab Saudi, Taiwan dan Hongkong. Sedangkan di dalam

negeri, biasanya mereka memilih Kota Surabaya, Jakarta dan beberapa kota di pulau

Kalimantan. Alasan mereka memilih negara-negara tersebut, karena beranggapan di

negara/kota tersebut banyak saudara atau kawan mereka yang mendahuluinya bekerja

sebagai buruh migran. Mereka yang mencari kerja di luar negeri, tidak saja melalui jasa

perusahaan pengerah tenaga kerja (PJTKI) yang terdaftar resmi di Dinas Tenaga Kerja,

namun mereka juga melalui jasa calo tenaga kerja ilegal. Sedangkan untuk pencari kerja di

dalam negeri, mereka memanfaatkan jasa calo tenaga kerja yang biasanya adalah teman

atau kerabat mereka.

Rendahnya tingkat pendidikan para perempuan calon buruh migran ini menjadi

sasaran empuk penipuan yang dilakukan oleh para calo tenaga kerja. Modus penipuan yang

biasa dilakukan oleh para calo tenaga kerja adalah dengan memberikan iming-iming jenis

pekerjaan dengan imbalan gaji cukup besar. Namun dalam kenyataannya mereka tidak

dipekerjaan seperti yang telah dijanjikan. Tidak jarang para perempuan buruh migran

tersebut dipekerjakan pada majikan yang melakukan tindakan kekerasan pada mereka.

Adanya penipuan atau kekerasan, yang mereka alami selama bekerja sebagai buruh

(8)

hal tersebut sebagai resiko kerja mereka. Biasanya mereka enggan untuk melaporkan

kepada petugas. Mereka memilih untuk menyelesaikan kontrak kerja mereka tanpa

melaporkan kejadian tersebut kepada aparat Kepolisian dan atau Dinas Tenaga Kerja Kab.

Malang. Perlakuan negatif yang mereka alami selama menjadi buruh migran dianggap

sebagai sesuatu yang memalukan harga diri pribadi atau keluarga. Oleh karena itu

pengalaman itu mereka tutup rapat.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh seorang responden perempuan mantan buruh

migran :

“Kulo nggih nateh ngalami diapusi kalian konco sing nulung padhos pedamelan dateng luar negeri. Kulo diapusi teros e ajeng di sukani gaji 4 juta rupiah. Tibane kirang saking 4 juta. Tapi kulo nggih meneng mawon. Dilakoni mawon ngantos kontrak e mantun. Kulo mboten nglaporaken konco kulo niku. Lha wong niku resiko tiyang padhos damel. Lintune niku, tinimbang kulo nggih mangke kisinan kaliyan tonggo-tonggo.

Saya juga pernah mengalami ditipu oleh kawan yang membantu cari pekerjaan di luar negeri (calo tenaga kerja). Saya ditipu mau diberi gaji 4 juta rupiah, Ternyat kurang dari nilai 4 juta. Tapi saya diam saja. Dijalani saja sampai kontraknya habis. Saya tidak melaporkan kawan saya itu. Karena itu resiko orang mencari kerja. Selain daripada itu,

daripada saya malu dengan tetangga”6

.

Walaupun mereka telah mengalami penipuan dan atau kekerasan selama bekerja di

luar negeri, namun tidak menyurutkan sikap mereka untuk mencari kerja lagi di luar negeri.

Semua pengalaman mereka dianggap sebagai sebuah resiko kerja. Ketika ditanyakan

alasan mereka tidak jera untuk mencari kerja di luar negeri, tidak terlepas dari nilai

budayanya berkaitan dengan peran perempuan dalam ekonomi rumah tangga. Sebagai

seorang perempuan, sudah menjadi kewajibannya untuk ikut membantu suami atau anggota

keluarga lainnya untuk bekerja menopang ekonomi keluarga. Sedangkan bagi perempuan

yang telah berumah tangga, bahwa menjadi buruh migran sebagai wujud sikap berbakti

isteri pada suami dan isteri tidak boleh menjadi beban suami (Permanadeli, 2015: 275).

Terkait dengan fenomena ini, dalam UU PTPPO sebenarnya telah mewajibkan

penyediaan bentuk-bentuk perlindungan dan pelayanan yang berhak diterima tidak saja oleh

saksi, namun juga korban perdagangan orang. Baik saksi maupun korban tidak saja

diberikan jaminan perlindungan, namun juga didampingi, dipulihkan dan direhabilitasi

kondisinya serta diberikan ganti rugi/restitusi dari pelaku. Alih-alih mereka mendapatkan

perlindungan, karena menjaga kehormatan diri dan keluarga serta beranggapan sebagai

sebuah resiko kerja, biasanya korban tidak melaporkan kepada pihak kepolisian (Jurnal

Perempuan, 2010: 13).

6

(9)

b. Peran Birokrat dan Ulama Dalam Melegitimasi Tindak Pidana Perdagangan Orang

Untuk bekerja dan bepergian ke luar negeri, para perempuan buruh migran tidak serta

merta pergi sendiri tanpa melibatkan pihak pengerah jasa tenaga kerja baik yang legal

ataupun illegal. Pengerah tenaga kerja yang menjadi penyalur tenaga kerja biasanya

mencari langsung ke pelosok desa agar dapat merekrut secara langsung.

Penyalur tenaga kerja ilegal (biasa disebut calo), akan melakukan segala cara agar

mendapatkan calon tenaga kerja meskipun tidak memenuhi syarat. Pola yang dipakai oleh

penyalur tenaga kerja yang illegal adalah calo mencari target calon pekerja yang merupakan

lulusan SMP atau SMA dan sebagian besar yang dicari adalah tenaga kerja perempuan.

Kriteria calon tenaga kerja yang akan dipekerjakan di luar negeri tersebut, tidak terlepas dari

ketentuan undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan

Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

di Luar Negeri. Di kedua undang-undang tersebut, diatur tentang usia minimal tenaga kerja

yaitu sekurang-kurangnya 18 tahun.

Modus yang biasa dilakukan oleh para calo untuk mensiasati belum terpenuhinya

persyaratan usia para calon buruh migran biasanya dilakukan dengan cara seakan-akan

calon buruh migran pindah domisili di luar desa. Di tempat yang baru, calon buruh migran

dibuatkan Kartu Susunan Keluarga (KSK) baru atau dimasukkan dalam KSK milik salah

seorang warga. Di lokasi domisili baru tersebut, calon buruh migran akan direkayasa

usianya menjadi memenuhi persyaratan usia seorang tenaga kerja.

Modus rekayasa identifikasi kependudukan ini seperti yang diceritakan oleh seorang

pendamping korban trafficking dari sebuah LSM di Kabupaten Malang. Dalam wawancara,

pendamping tersebut mengatakan :

“biasanya calo itu merekayasa identitas calon buruh migran dengan cara memindahkan

domisili calon buruh tersebut ke desa atau kecamatan lain di luar domisili asal. Di sana (di tempat yang baru), biasanya akan dimasukkan ke KSK seorang warga dan

dipalsukan usianya menjadi sesuai persyaratan calon tenaga kerja”.7

Rekruitmen calon buruh migran tidak hanya melibatkan peran aparat birokrat di tingkat

Desa/Kecamatan, namun juga peran para pemuka agama. Keterlibatan para pemuka

agama dalam rekruitmen calon buruh tersebut terkait dengan pemberian legitimasi

keagamaan agar calon buruh migran dapat berangkat ke tempat kerja, bekerja dan pulang

ke kampung halamannya dengan selamat. Dalam pelibatan peran pemuka agama ini, calo

pengerah tenaga kerja biasanya memberikan uang kepada keluarga calon buruh untuk

menyelenggarakan kegiatan selamatan dengan mengundang pemuka agama tersebut.

Namun tidak jarang pula calo memberikan uang langsung kepada pemuka agama untuk

(10)

menyelenggarakan kegiatan doa bersama untuk memberangkatkan calon buruh migran.

Kegiatan doa bersama ini biasanya diadakan untuk memberangkatkan beberapa orang

calon buruh migran secara bersamaan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh seorang

pendamping buruh migran:

“agar tindakan rekruitmen yang dilakukan oleh para calo itu dianggap sah, biasanya

mereka juga melibatkan peran pemuka agama. Pemuka agama diminta untuk

mendoakan para calon buruh migran agar selamat sampai ditempat”8

Pelibatan birokrat pemerintahan Desa/Kecamatan dalam rekayasa identitas

kependudukan belum banyak tersentuh oleh hukum. Walaupun belum banyak kasus

perdagangan diproses sccara hukum dengan menggunakan UU PTPPO, saat ini hukum

hanya menyentuh hingga pelaku saja. Sedangkan pihak-pihak yang terlibat secara tidak

langsung terhadap proses perdagangan orang tidak diproses dengan menggunakan UU

PTPPO. Aparat kepolisian biasanya hanya mengenakan sangkaan terkait dengan

pemalsuan identitas administrasi kependudukan saja (UU No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan).

c. Kendala Yuridis Dalam Penanganan Kasus Perdagangan Orang

Kendala Yuridis yang dialam dalam penangana kasus perdagangan orang, tidak saja

terjadi pada aspek pengungkapan kasus namun juga terkait dengan pengaturan yang

tertuang dalam setiap pasal di UU PTPPO. Telah diuraikan di atas, aparat kepolisian

kesulitan untuk mengungkap kasus perdagangan orang yang disebabkan karena korban

menganggap peristiwa hukum yang mereka alami hanya sebagai sebuah resiko kerja yang

mereka hadapi. Jikapun melaporkan ke pihak kepolisian, korban beranggapan akan

membuat malu diri pribadi dan keluarga. Sikap malu ini lebih disebabkan karena ketika

mereka akan berangkat bekerja, telah dilakukan selamatan/doa bersama dengan

mengundang tetangga dan kerabatnya. Kejadian yang dialaminya, seperti halnya tdak

mendapat gaji selama bekerja, mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya, bekerja di

bidang yang berbeda dengan yang dijanjikan dan berbagai modus perdagangan orang,

dianggap sebagai peristiwa yang “sial” semata. Peristiwa yang sebenarnya merupakan

kegiatan terorganisir dari pelaku tindak pidana tersebut hanya dianggap korban sebagai

sedang tidak beruntung mendapat pengerah tenaga kerja dan majikan yang tidak tepat.

Tidak mempengaruhi keinginan untuk kembali menjadi buruh migran setelah sesaat pulang

di tempat asal, kecuali jika korban kembali dalam keadaan sakit, cacat atau bahkan

meninggal. Pengungkapan kasus yang mendasarkan pada saksi dan korban ini justru

menunjukkan adanya kelemahan pengaturan dalam UU PTPPO. Undang-undang ini hanya

(11)

dapat melindungi korban yang melaporkan kasusnya kepada polisi. Padahal tidak mudah

bagi korban untuk melapor, karena adanya faktor psikologis dan kultural yang menjadi

beban korban.

Kesulitan pihak kepolisian untuk mengungkap kasus perdagangan orang ini

diungkapkan oleh seorang responden seorang polisi yang bertugas di Unit Perlindungan

Perempuan dan Anak (PPA) Polres Malang.

“bagaimana kami mau mengungkap kasus itu (perdagangan orang), kalau korban tidak

pernah melaporkan kepada kami”9

Dari aspek pengaturannya, terdapat beberapa kendala yang dialami pihak kepolisian

dalam menangani kasus perdagangan orang yang dialami oleh kelompok perempuan.

Dalam memproses hukum dan menjerat pelaku perdagangan, kepolisian kesulitan untuk

memberi sangkaan sebagai pelaku perdagangan orang. Hal ini disebabkan karena

pemahaman aparat kepolisian terkait dengan perdagangan orang. Dalam Pasal 1 ayat (1)

yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah:

Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Dalam pemahamannya, aparat kepolisan beranggapan bahwa pelaku harus terlibat

dalam semua proses perdagangan meliputi: perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang. Perdagangan orang bukanlah

sebuah peristiwa hukum yang dikategorikan sebagai tindak pidana yang tidak hanya

melibatkan 1 (satu) pelaku, namun banyak pelaku. Setiap pelaku memiliki perannya

masing-masing mulai perekrutan, pengangkutan, pengiriman dan penerimaan. Dalam memproses

pelaku yang berperan melakukan rekrutmen, kepolisian kesulitan untuk memberikan

sangkaan sebagai pelaku perdagangan orang. Hal ini karena biasanya pelaku berdalih

hanya sebagai orang yang melakukan rekruitmen yang menjanjikan sebuah pekerjaan bagi

calon tenaga kerja. Dalam hal korban tidak dipekerjakan pada jenis pekerjaan yang

dijanjikan, itu diluar pengetahuan orang yang melakukan rekrutmen. Biasanya aparat

kepolisian akan memproses pelaku dengan sangkaan melakukan penipuan yang diatur di

dalam KUHP.

(12)

Perempuan sebagai korban perdagangan orang biasanya dipekerjakan pada

pekerjaan yang mengeksploitasi secara seksual. Mereka dipekerjakan sebagai seorang

pekerja seks pada tempat-tempat prostitusi. Pada tahap ini, terjadi bias dalam memahami

perempuan sebagai korban dan pelaku. Tidak diperoleh pemahaman yang sama dari aparat

kepolisian dan aparat pemerintah lainnya dalam menetapkan apakah perempuan ini sebagai

korban perdagangan orang ataukah pelaku tindak pidana ringan (tipiring) yang melanggar

norma-norma sosial.

Kasus ini juga pernah terjadi di wilayah Kecamatan Donomulyo dimana ada seorang

perempuan yang dipekerjakan di sebuah tempat prostitusi di Kalimantan. Korban ditipu oleh

seorang calo tenaga kerja dengan dijanjikan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga

di sebuah kota di pulau Kalimantan. Sesampainya di kota tersebut, ia dipekerjakan sebagai

pekerja seks. Ia menetap di lokalisasi itu selama beberapa bulan10. Ketika terjadi razia, ia mengaku sebagai korban perdagangan orang. Namun aparat pemerintah menganggap ia

sebagai seorang pelaku prostitusi dan bukan korban perdagangan orang. Hal ini karena

aparat tersebut seharusnya korban tersebut segera melaporkan diri ketika merasa dirinya

ditipu atau dijual kepada pihak tertentu. Aparat pemerintah ini tidak memperhitungkan faktor

psikologis korban atau kesulitan korban untuk melarikan diri dari lokalisasi tersebut. Seperti

diketahui kegiatan prostitusi biasanya melibatkan pihak-pihak tertentu untuk menjaga dan

mengamankan kegiatan prostitusinya. Sehingga tidak mudah bagi korban untuk melarikan

diri dan melaporkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang terhadap dirinya.

Dalam UU PTPPO telah diamanatkan bahwa pidana terhadap pelaku perdagangan

orang tidak saja berupa pidana penjara namun juga pidana denda. Hal ini seperti yang

termuat dalam Pasal 2 ayat (1),

Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pengenaan pidana denda ini jarang diberikan kepada pelaku perdagangan orang.

Hakim biasanya memberikan hukuman pidana penjara. Pemberian hukuman penjara dirasa

bukan merupakan hukuman yang membawa efek jera bagi pelaku. Hal ini karena pelaku

dalam menjalani masa hukumannya akan mendapatkan pengurangan masa hukuman

(13)

sebagai akibat pemberian remisi saat kalender nasional dan atau kalender keagamaan (jika

pelaku berkelakuan baik selama di penjara). Pengenaan pidana denda ini sebenarnya dapat

dipergunakan oleh korban selama menjalani masa rehabilitasinya.

Kesimpulan:

Dari hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa kurang efektifnya UU PTPPO

dalam melakukan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan, tidak saja disebabkan

karena lemahnya aspek pengaturan dalam pasal, namun juga pada aspek-aspek lain seperti

pemahaman aktor penegak hukum terkait definisi pelaku perdagangan orang. Pelaku

perdagangan orang dipahami sebagai pelaku keseluruhan dari rangkaian proses kegiatan

perdagangan orang ataukah dapat dipahami sebagai salah satu dari rangkaian proses yang

mengakibatkan terjadinya eksploitasi tenaga kerja yang diperdagangkan. Mengingat pelaku

perdagangan orang yang melibatkan banyak pelaku dengan peran masing-masing tanpa

terlibat dalam keseluruhan prosesnya. Diperlukan adanya kesamaan pemahaman dari para

aparat penegak hukum terkait dengan pelaku perdagangan orang.

Dalam pengungkapan kasus perdagangan orang perlu memperhatikan pada aspek

psikologis yang dialami korban untuk melaporkan peristiwa hukum yang dialaminya.

Penanganan kasus perdagangan orang bukan menyangkut sikap kesukarelaan atau sikap

permisif dari korban atas perlakuan perdagangan orang yang dialaminya. Perdagangan

orang harus dipahami sebagai delik biasa berupa tidak kriminal murni yang tidak perlu

menunggu laporan dari korban dalam penindakannya.

Kasus perdagangan orang pada kelompok perempuan memiliki perspektif gender.

Dimana karena keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan menyebabkan mereka

rentan menjadi korban perdagangan orang. Diperlukan adanya kesetaraan gender bidang

pendidikan bagi perempuan sebagai salah satu upaya pencegahan tindak pidana

perdagangan orang.

Terjadi bias definisi antara korban dan pelaku pada perdagangan orang. Perempuan

sebagai korban perdagangan orang biasanya dieksploitasi seksual dengan dipekerjakan di

tempat prostitusi. Korban perdagangan orang ditempat prostitusi banyak dianggap sebagai

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Gosita, Arif. 2007. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta; Akademik Pressindo.

Irianto, Soelistyowati & Sidharta. 2013. Penelitian Hukum – Konstelasi dan Refleksi, Sulistyowati Irianto & Sidharta, Jakarta; Yayasan Pustaka Obor.

Mulyanto. 2004. Melacur demi hidup, Fenomena perdagangan anak perempuan di

Palembang, Yogyakarta; Pusat studi kependudukan dan kebijakan UGM dan

Ford Foundation.

Mansur, M. Arief dan Didik, 2007. Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan

Realita, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.

Nuh, Muhammad. 2005. Jejaring anti trafficking, Strategi Penghapusan Perdagangan

Perempuan dan Anak, Yogyakarta; Ford Foundation bekerjasama dengan Pusat

Permanadeli, Risa. 2015. Dadi Wong Wadon – Representasi Sosial Perempuan Jawa Di Era

Modern, Yogyakarta; Pustaka Ifada

US Departement of State. 2016. Annual Trafficking in Person Report 2016.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2008. Hukum dalam Masyarakat, perkembangan dan masalah,

sebuah pengantar ke arah kajian sosiologi hukum, Malang; Bayumedia

Publishing.

JURNAL & LAPORAN :

Jurnal Perempuan, Nomor 68, 2010

Referensi

Dokumen terkait

bukMn dMlMm MrPi bMhwM yMng kuMP MkMn memMPikMn yMng lemMh, yMng kMyM MkMn memMPikMn. yMng miski n, PePMpi suMPu mMsyMrMkMP yMng memi nPM perkembMngMn yMng opPi mMl

mampu menerapkan matematika, sains alam, dan prinsip rekayasa ke dalam prosedur dan praktek teknikal ( technical practice ) untuk menyelesaikan masalah teknologi pada

Judul yang telah penulis ambil pada penelitian ini adalah “ Pengujian Viabilitas dan Vigor Beberapa Varietas Benih Pepaya Pada Wadah Simpan Yang Berbeda

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan financial leverage dengan Return On Equity (ROE) serta untuk mengetahui hubungan financial leverage dengan Earning Per

Pada tahun berikutnya (1909) berkembang Sarekat Dagang Islam (SDI), berbeda dengan Budi Utomo, pedukung gerakan adalah para pedagang batik, yang merasa diperlakukan

Program Studi D3 Sekretari dan Pendidikan Administrasi Perkantoran, yang saat ini masih mempertahankan stenografi sebagai salah satu mata kuliah kekhususan program

Trianto (dalam Safnil, 2010:14-15) lebih lanjut mengatakan bahwa Abstrak adalah pernyataan singkat mengenai cerita. Pada dasarnya penamaan abstrak di sini dimaksudkan

Untuk membuatnya menjadi vidio ppt maka kita klik > Menu File > Export > Create a Vidio > Creat Vidio > Pilih di mana kita akan menyimpannya