• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.3.4 Rasa dan Makna Gerak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1.3.4 Rasa dan Makna Gerak"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 — TARI TONTONAN 1.3.2 Waktu

Suatu gerakan akan memakan waktu, berapapun singkatnya. Untuk menggeliat, kalian butuh waktu sekitar 5 detik. Dalam menari, aspek waktu ini amat penting, dan inilah pula yang diatur. Suatu gerakan yang sama jika dilakukan dalam waktu yang berbeda, akan berbeda pula efek dan rasanya, baik bagi pelakunya, maupun bagi yang melihatnya. Walau tidak selalu, aspek waktu dalam tari sering terkait dengan musik pengiringnya, yang memang secara bersama­sama menjalani waktu tersebut. Istilah yang banyak dipakai yang berkaitan dengan waktu adalah irama. Jadi, gerakan tari adalah gerakan yang berirama, yang diatur waktunya. Irama pada dasarnya adalah suatu pengorganisasian atau penyusunan waktu.

Akan tetapi, gerak bekerja atau gerak sehari­hari pun banyak yang terorganisasi waktunya. Ketika kalian berjalan, bersepeda, menulis, dan lain­lain, sesungguhnya juga berirama. Pengaturan waktunya, cepat lambatnya diatur sesuai dengan kebutuhan atau keadaannya. Kecepatan kalian bersepeda, akan

berbeda ketika lapar, ada yang diburu, bersantai­ santai bersama teman, atau berlomba. Dengan demikian, waktu bergerak yang teratur atau yang berirama itu pun belum tentu merupakan tari. Jadi, seperti halnya aspek ruang, waktu atau irama dalam menari diatur. Jika dalam menari kalian melakukan gerakan yang lambat, bukanlah karena santai atau lapar atau sebaliknya ketika ber­ gerak cepat bukan karena tergesa­gesa melainkan karena itulah waktu yang cocok untuk melakukan tariannya.

Gbr. 1-22: Tari pemimpin adat dari Batak Toba, membawa tongkat pusaka (tunggal panaluan). Dalam gambar ini kita mendapatkan imaji waktu, bukan hanya ruang.

(2)

PENDAHULUAN — 1

1.3.3 Energi

Ada satu aspek lagi yang penting di dalam tari, yakni energi atau tenaga. Untuk bergerak kalian perlu energi. Besar kecilnya energi yang dikeluarkan akan tergantung dari kebutuhannya. Dalam tari pun, energi diatur, diorganisasi keras­lemahnya, besar­kecilnya, sesuai dengan yang diperlukan. Pengaturan energi inilah yang kemudian di dalam tari disebut dinamika. Energi besar melahirkan dinamika gerakan yang kuat, dan energi kecil melahirkan dinamika yang lembut. Lihat gambar eisa dari Jepang di atas, loncat seperti itu pasti membutuhkan tenaga yang kuat pula.

Dengan demikian, kita sekarang melihat adanya 3 aspek utama dalam tari yakni ruang, waktu, dan energi. Akan tetapi, ketiga aspek ini barulah yang berkenaan dengan aspek fisik atau teknik tari. Selain itu, ada juga aspek rasa atau jiwa yang terkait dengan wujud gerak. Jika menggeliat, berjalan, lari, naik sepeda dan lain­lain, mempunyai tujuan, gerak dalam tari juga memiliki tujuan atau makna. Tujuan inilah yang juga menentukan suatu gerakan termasuk gerak tari atau tidak. Jika dalam berjalan kita mempunyai suatu tempat yang dituju, tujuan bergerak (dalam ruang waktu dengan energi) dalam tari bukan untuk mencapai sasaran Gbr. 1-23: Eisa adalah tarian pemuda/i berkelompok sambil main genderang dari Okinawa, Jepang. Gerakan loncat ke atas

(3)

1 — TARI TONTONAN

seperti halnya dari rumah ke sekolah, melainkan untuk menyalurkan suatu perasaan melalui gerak itu sendiri.

Uraian di atas baru menjelaskan bahwa tari memiliki aspek ruang, waktu, dan energi, tetapi belum secara jelas menyampaikan apa perbedaan antara gerak tari dan yang bukan tari; kecuali bahwa tujuan suatu gerakan adalah untuk menari. Kita masih perlu melihat aspek lain yang terkait dengan tari. Hal ini penting sebab tidak semua gerakan yang berirama (dan pasti bertenaga) bisa langsung disebut tari. Uraian selanjutnya diharapkan bisa menambah pemahaman tentang apa tari itu.

Gbr. 1-25: Ulo alu dari Buton, Sulawesi Tenggara, yang merupakan perpaduan tari dan permainan, menjelaskan bagaimana ruang, waktu, dan energi, harus terkoordinasi dengan tepat.

Gbr. 1-24: Bambangan-Cakil dari tari Jawa Surakarta, menampakkan kontras antara karakter lembut (bambangan) dan karakter cakil yang kasar.

(4)

PENDAHULUAN — 1

1.3.4 Rasa dan Makna Gerak

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa gerak adalah indikator yang membedakan antara tari dan yang bukan. Berarti, gerak tari memiliki makna atau arti yang khas. Jadi, pertanyaan kita berikutnya adalah makna apakah yang terdapat dalam gerak tari? Apakah gerakan tari harus menggambarkan sesuatu? Apakah tari harus mengandung cerita? Jika “ya,” jelas salah karena kebanyakan tari tidak bercerita, bahkan banyak tari yang tidak bernama. Jika “tidak,” di mana letak maknanya?

Makna gerak dalam tari jelaslah tidak seperti bahasa, di mana hampir seluruh kata bisa dijelaskan artinya secara harafiah, seperti yang terdapat di dalam kamus. Memang, sebagian gerakan tari memiliki makna seperti itu. Seni gerak yang hampir seluruhnya bisa ditangkap arti harafiahnya adalah pantomim, yakni seni akting yang pengungkapannya melalui isyarat­isyarat atau gerak (sikap, gesture) yang bisa dirujuk pada perilaku sehari­hari dan tidak menggunakan kata­kata. Meski gerakan pantomim seperti tari (dengan mengolah ruang, waktu, dan energi) namun secara umum gerakannya bisa dimaknai atau diterangkan harafiah, seperti misalnya sedang berjalan, berlari, mengambil gelas, meminum air, bercermin, dan sebagainya.

Dalam tari, makna geraknya tidaklah seperti itu. Karena itu, kita tidak bisa menentukan gerakan “sedang apa?” Ketika penari memutar tangannya, mengibaskan selendangnya, mengangkat kakinya, tidak berarti sedang menggambarkan suatu kegiatan atau perilaku yang realistis. Malahan, ketika penarinya berjalan ataupun berlari, belum tentu gerakannya sedang menggambarkan orang berjalan atau berlari. Gerak berjalan dan berlari adalah bagian desain gerak yang membentuk tarian. Perhatikan misalnya tarian­tarian yang banyak memakai langkah­langkah kaki seperti dalam tari Melayu, umpamanya tari Serampang Duabelas, atau tarian Perkolong­kolong dari Karo (Sumatera Utara) yang terdapat dalam video yang menyertai buku ini. Kalau gerak berjalan di situ diartikan “ia sedang berjalan”, kita akan bingung. Kita tidak bisa menjawab pertanyaan “berjalan ke mana?” atau “untuk mencari apa?” Lihatlah pula ketika penari berjalan mundur­maju. Tidaklah logis dalam realitas kehidupan ada orang yang berjalan mundur­maju.

Makna gerak dalam tari adalah dalam penjiwaannya, yakni suatu daya yang membuat gerakan itu “hidup.” Penjiwaan itu tidak harus seperti gambaran cerita, melainkan hanya dalam rasa geraknya, yaitu penyaluran rasa melalui gerak itu sendiri. Agar perasaan yang tepat tersalur, gerak tersebut diatur dalam ruang (bentuk dan volume geraknya), waktu (cepat­lambat dan iramanya) beserta energi atau tenaga yang

(5)

1 — TARI TONTONAN

digunakannya. Dengan demikian, jika pengaturan itu tepat, gerakan tarian tersebut akan dirasakan “enak” atau “pas,” baik oleh penarinya, maupun oleh penontonnya. Ayunan tangan, angkatan kaki, putaran tubuh, umpamanya saja, bisa terasa terjiwai dan dengan itu gerakan menjadi bermakna walaupun tidak ada alasan cerita atau gambaran realistis yang diungkapkannya. Yang tidak realistis, dalam tari disebut gerak abstrak, sedangkan yang realistis disebut gerak maknawi. Namun, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa baik gerakan representatif maupun abstrak sama­sama memiliki makna dan gerakan tari pada umumnya adalah abstrak.

Namun demikian, banyak juga tarian­tarian yang mengandung penggambaran realistis, atau semi­(setengah) realistis. Misalnya, tarian yang menggambarkan burung terbang, tarian yang menggambarkan suatu pekerjaan seperti bertani, menangkap ikan, menenun kain, dan lain­lain tarian seperti ini akan dibicarakan dalam Bab 3. Akan tetapi, dalam menarikan gerakan tersebut rasa geraknya berbeda dengan ketika melakukan pekerjaan yang sebenarnya. Pada tahun 50­an sampai awal 60­an, tarian representatif ini sangat populer. Dalam dekade itulah pula banyak diciptakan tarian­tarian yang penggambarannya lebih realistis. Hal ini sejalan pula dengan semangat revolusi Orde Lama, di mana waktu itu banyak didengungkan motto: “Seni untuk seni, no!” dan “Seni untuk revolusi, yes!”

Dalam beberapa tari tradisi, terdapat bagian gerakan yang memiliki nama yang seolah representatif, walau tarian itu dasarnya abstrak. Namun demikian, ada tari yang secara abstrak menggambarkan sesuatu. Hal ini akan dibicarakan lagi dalam Bab 2, namun yang utama dikatakan di sini adalah makna gerak tari bukan terutama pada apa yang digambarkannya (realistis atau abstrak), melainkan pada bagaimana rasa gerak itu muncul atau terungkapkan. Cobalah kalian perhatikan pengungkapaan atau penyaluran rasa gerak, baik ketika kalian menonton ataupun ketika kalian sendiri yang menarikannya: makin mantap geraknya, makin kuat pula maknanya. Kepuasan yang diraih pada saat atau setelah menarikannya, pun akan tergantung pada ketercapaian pengungkapan rasanya. Dengan demikian, mungkin saja seseorang menari dengan baik tanpa menarikan suatu cerita (tertentu). Ia bisa menarikan tari “entah” dengan penyaluran rasa gerak yang memuaskan.

Dari uraian di atas, kini kita makin bisa melihat adanya dua aspek yang membedakan suatu gerak termasuk tari atau bukan. Pertama, adalah wujud geraknya, di mana aspek ruang, waktu, dan energinya diorganisasi. Yang kedua, dari sisi tujuan atau maknanya. Gerak dalam tari bukan untuk melakukan sesuatu pekerjaan fungsional (berjalan, mengejar layang­layang

(6)

PENDAHULUAN — 1

putus, meloncat pagar, dan sebagainya), melainkan untuk pengungkapan rasa.

Mengenai macam­macam gerak, yang boleh dikatakan tak terhingga banyaknya, akan ditemukan lebih jauh dalam bab­bab berikutnya, melalui uraian jenis­jenis tari dari berbagai budaya yang terdapat di Nusantara. Satu hal lagi yang perlu dikemukakan di sini, adalah gerak­gerak tari ini, terutama dalam tari tontonan, umumnya tersusun menjadi suatu kesatuan sehingga berwujud suatu tari. Dalam suatu tarian terdapat bermacam gerak, berganti atau berulang, suatu bagian gerakan berhubungan dengan bagian lainnya, atau seseorang penari berhubungan dengan penari lainnya. Susunan inilah yang secara umum dalam dunia tari disebut komposisi atau koreografi.

Gbr. 1-26: Gerak-gerak dalam pantomim lebih mimetis, mengekspresi-kan sesuatu yang nyata, seperti akting tanpa kata. (Charlie Chaplin dan Marcell Marceau dua tokoh pantomim dunia amat terkenal).

Gbr. 1-27: Tari kreasi baru, karya Jacko di Jakar-ta, yang menampilkan banyak gerak mimetis atau representatif.

(7)

0 — TARI TONTONAN

Gbr. 1-28: Gerakan memanah dalam tarian dari Nabire, Papua, merupakan salah satu gerak mimetis.

Gbr. 1-29: Tari Tani: menampilkan banyak gerak mimetis.

Gbr. 1-30: Gerakan maju dalam tari Jawa Surakarta yang disebut lumaksono (“berjalan”): mimetis tapi makna atau nilai gerak bukan pada penggambaran jalan tapi pada rasa gerak yang mengalir.

Gbr. 1-31: Gerak atau sikap seperti ini dalam tari Jawa Yogyakarta disebut ulap-ulap (“melihat jauh”), gerak mimetis tapi tidak menggambarkan “sedang melihat apa.”

(8)

PENDAHULUAN — 1

1.4 Tari, Kesenian, dan Keindahan

Sudah sangat umum bahwa tari dirangkaikan dengan kata seni, yaitu “Seni Tari”. Artinya, tari merupakan salah satu bidang kesenian. Jika bicara “kesenian,” pengertian yang pasti melekat dengannya adalah keindahan. Jika di atas dikatakan bahwa tari dasarnya adalah gerak, dengan sendirinya pengertiannya menjadi “gerak yang indah.”

Seperti apakah gerakan yang indah? Mungkin kalian sudah memiliki jawaban atau bayangan masing­masing terhadap apa itu “indah,” karena keindahan menjadi salah satu yang diminati oleh semua orang. Akan tetapi, untuk menjawab dengan tegas “apa itu indah?” hampir semua orang akan memiliki keraguan. Keraguan ini sesungguhnya tidak mengherankan, karena keindahan merupakan sesuatu yang relatif. Artinya, semua orang memiliki ukuran atau sikap budaya yang berbeda­beda. Apalagi kini kita berhadapan dengan pelajaran mengenai kenusantaraan, sehingga relativitas itu bukan saja berhubungan dengan selera individu, melainkan juga dengan berbagai nilai budaya yang terdapat di berbagai kelompok sosial. Dalam buku ini, kita pun bukan untuk menetapkan suatu kriteria keindahan, melainkan lebih memperjelas hal­hal yang berhubungan dengan nilai atau ukuran keindahan itu.

Dalam bahasa­bahasa daerah kita, hampir tidak ada kata yang sama artinya dengan “seni.” Tapi, hampir semua bahasa memiliki kata yang berarti “indah.” Walaupun tidak persis, kata­kata yang berdekatan dengan makna kata “indah” itu misalnya: “bagus,” “elok,” “manis,” “halus,” “enak,” “cantik,” “menyenangkan,” “serasi,” “bergaya,” “menarik,” “me­ ngagumkan,” dan sebagainya. Cobalah kalian cari kata­kata bahasa daerah yang berhubungan dengan kata­kata tersebut, dan pelajari maknanya yang lebih khas. Hal itu akan menambah wawasan kita terhadap makna “keindahan” atau “kesenian” dalam budaya masing­masing, karena nilai budaya suatu masyarakat banyak terkandung dalam bahasanya.

Jika kata untuk “seni” jarang terdapat dalam bahasa daerah, tapi banyak budaya yang memiliki kata untuk “tari.” Kebanyakan kata yang digunakan untuk “tari”mempunyai makna bersenang­senang atau bermain­main. Joged (atau joge’), misalnya, yang dipakai dalam beberapa bahasa (umpamanya Melayu, Bugis, Sunda, Jawa, Bali), mempunyai arti seperti itu, kecuali di Jawa yang berarti tarian lebih “serius” (igel untuk yang lebih “main­main”) yang dilakukan oleh seniman tari. Serupa dengan itu, pakkarena di Bugis berarti “bermain­main.”

Selain “main­main,” juga ada yang mempunyai konotasi “gemulai,” “meliuk­liuk,” “berlaga” atau “bergaya­gaya,” “berulah,” “melonjak­ lonjak,” dan sebagainya. Artinya, gerakan yang dilakukannya adalah yang

(9)

 — TARI TONTONAN

“tidak biasa” dilakukan dalam sehari­hari. Tapi sebaliknya, dalam bahasa Minangkabau, tidak terdapat kata “tari” yang memiliki makna tersendiri, melainkan menyatu sebagai kata kerja: bailao artinya “menarikan ilao”

baindang artinya “menarikan indang”.

Dalam beberapa bahasa daerah ada juga yang menegaskan arti kata “tari” kepada kekhususan kesenimanan, seperti halnya joged (bahasa “kasar,” ngoko) atau baksa (bahasa “halus,” krama) di Jawa, igel atau solah (Bali), dan ibing (Sunda). ini berarti, seniman tari adalah orang­orang tertentu yang secara khusus atau serius memperdalamnya, sehingga mereka pun diakui sebagai penari yang memiliki kemampuan khusus pula (profesional). Namun demikian, profesionalisme yang dimaksudkan dalam budaya Jawa dan Bali tidak selalu berarti “komersial.” Malahan, mereka yang profesional sebagai seniman tari ini banyak yang menjadi tokoh sosial di masyarakatnya, pemimpin, bahkan di masa lalu sebagai kaum bangsawan. Prinsip­prinsip menari yang mendalam itu sering berkaitan dengan ajaran moral­spiritual sehingga menari untuk tujuan komersial malah dipandang kurang terhormat.

Jadi profesionalisme sebagai mata pencaharian (bayaran), dan sebagai keahlian merupakan dua hal yang berbeda. Para penari profesional seperti ronggeng atau seniman keliling umpamanya, belum tentu sebagai pertanda ketinggian kemampuan seninya. Dalam banyak hal, seperti dikatakan di atas, penari profesional secara sosial tidak berada dalam status yang tinggi. Karena itu, terutama pada masa lalu, kalangan masyarakat atas umumnya tidak berkenan jika ada keluarganya yang menjadi penari profesional, dalam arti seniman bayaran.

Kembali pada hubungan seni dengan keindahan, dan pada pertanyaan mengenai gerak seperti apa yang disebut “indah,” jawabannya cukup rumit. Pertama, gerakan yang indah itu dalam arti bagus, elok, cantik atau manis. Kedua, indah dalam arti menyenangkan atau memuaskan. Yang ketiga, indah dalam arti menakjubkan atau mempesona, yang artinya tarian itu bisa menumbuhkan suatu daya yang luar biasa.

Kerumitan dalam mendefinisikan gerak “indah,” adalah bahwa gerak yang lembut, luwes, cantik atau manis itu ternyata tidak memuaskan semua orang. Ada orang atau kelompok masyarakat yang justru sebaliknya, lebih suka pada kekuatan atau daya ungkapnya, sehingga gerakan yang kasar itu justru yang dianggap bagus. Atas dasar perbedaan itulah, setiap budaya juga memiliki kualitas gerak tari yang berbeda­beda. Kerumitan berikutnya, setiap masyarakat dan setiap peristiwa tari, memiliki tujuan yang berbeda­beda, sehingga yang dianggap “bagus” adalah yang sesuai dengan tujuannya. Suatu pertunjukan tari dari sepasang pengantin yang

(10)

PENDAHULUAN — 

dipestakan, umpamanya seperti yang terdapat dalam adat Mandailing di Sumatera Utara, indah­tidaknya gerakan bukanlah sesuatu yang disyaratkan. Andaikata gerakan penarinya ada yang tidak indah, mereka tetap disebut menari, dan semua hadirin tetap memperhatikannya.

Demikian juga dalam tortor di Batak Toba, menari yang tujuannya untuk adat sosial­kekeluargaan, termasuk dalam upacara kematian, tidak ada orang yang dicemooh karena menarinya tidak bagus, atau ada orang yang disambut meriah karena gerakannya mempesona. Yang penting di situ, semua orang turut menari sesuai dengan kedudukan kekeluargaan atau kemargaan mereka. Dengan demikian, tarian yang bagus adalah yang sesuai dengan tujuannya, sehingga memuaskan orang yang terlibat di dalamnya. Jika itu menyenangkan semua orang, di situ juga terdapat nilai “keindahan” karena mengandung “keserasian” hubungan sosial.

Gbr. 1-33: Tari Keurseus Sunda (menak), keindahan menjadi ukuran kepuasan jiwa, bukan mata pencaharian.

Gbr. 1-34: Duduk jengkeng, suatu posisi pada gambar ini yang menunjukkan bahwa seluruh bagian tubuh penari terkontrol dengan baik.

Gbr. 1-32: Tortor Batak bersifat kekeluargaan, bukan profesional, keindahannya bukan pada bentuk melainkan pada fungsi sosial.

Gbr. 1-35: Tari tunggal (topeng Pamindo Cirebon), keindahannya terletak pada pengungkapan rasa.

(11)

 — TARI TONTONAN

Gbr. 1-36: Dalam tari berpasangan, interaksi antar penari

menjadi penting. Gbr. 1-37: Dalam tari kelompok dan tari massal, kebersamaan menjadi pokok.

1.5 Forum Pertunjukan Tari

Uraian di atas telah menjelaskan bahwa fungsi atau kedudukan tari berbeda­beda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Karena itu, peristiwa pertunjukan tari pun berbeda­beda pula cara penyelenggaraannya, baik dari sisi tempatnya, waktunya, senimannya, maupun penontonnya. Ada yang diadakan di lapangan, di halaman, di dalam rumah, di balai pertemuan desa, di gedung pertunjukan khusus, dan lain­lain; ada yang diadakan mulai pagi hari, sore, atau tengah malam; ada yang hanya beberapa menit saja, ada yang sampai beberapa hari; ada yang hanya untuk beberapa orang anggota keluarga, untuk puluhan, ratusan, sampai ada yang untuk puluhan ribu orang. Ada yang tertutup untuk orang­orang tertentu, ada yang hanya untuk kaum perempuan, yang khusus laki­laki; untuk remaja dan untuk orang tua; ada yang terbuka bagi siapa saja; dan ada pula yang harus bayar karcis. Semua itu diadakan berdasarkan keadaan dan kepentingan masyarakatnya masing­masing.

Pihak dan proses penyelenggaraannya pun berbeda­beda: ada yang senimannya mengadakan sendiri, seperti yang dilakukan penari keliling di jalan atau di halaman; ada yang diatur oleh suatu keluarga untuk kepentingan perayaan pernikahan; ada yang diatur oleh seluruh warga desa seperti untuk pesta panen, atau pesta nelayan; ada yang diadakan oleh siswa atau sekolah untuk acara kenaikan kelas; ada yang

(12)

PENDAHULUAN — 

diadakan oleh pemerintah seperti untuk menyambut tamu negara; ada yang diadakan oleh beberapa negara untuk suatu festival internasional; dan sebagainya. Singkatnya, seribu­satu cara yang mungkin dilakukan itu akan menyesuaikan dengan tujuannya, termasuk dengan kemampuan atau situasi penyelenggaranya. Dengan demikian, ukuran baik­buruk atau tepat­tidaknya suatu penyelenggaraan tari harus dilihat dari kebutuhannya masing­masing.

Cara penyelenggaraan ini, berhubungan dengan nilai “keindahan” atau “kebaikan” dari tari itu sendiri seperti telah disinggung di atas. Jadi, jika tarian baik tapi penyeleng­

garaannya tidak tepat, mungkin saja tarian itu menjadi tidak baik, karena tidak sesuai dengan situasi dan penontonnya. Suatu tarian tunggal, dengan gerakan­gerakannya yang kecil, umpamanya, akan tidak tepat untuk penonton yang jumlahnya ribuan orang, tanpa bantuan teknologi lain seperti lighting (tata cahaya), kamera dan proyektor. Demikian pula, tarian yang dilakukan puluhan orang tidak tepat untuk dipertontonkan dalam ruang yang kecil. Dengan demikian, nilai “keindahan” tari bukan hanya dilihat dari sisi tarian­ nya saja, melainkan berkaitan pula dengan keserasian atau ketepatan

penyelenggaraannya. Gbr. 1-38: Seblang dari Banyuwangi, tarian yang berkaitan dengan ritus adat desa, bukan hanya pertimbangan estetika.

Gbr. 1-40: Menari di sepanjang jalan dalam arak-arakan terdapat di berbagai daerah di Indonesia.

Gbr. 1-39: Bunga dari penari Seblang menjadi rebutan ketika dibagikan karena dianggap membawa berkah.

(13)

 — TARI TONTONAN

1.6 Tontonan dan Pelakunya

Bayangkanlah, suatu pertunjukan tari terjadi di dalam gedung pertunjukan formal dan penonton datang dengan membeli tiket yang tempat duduk­ nya pun telah dinomori. Pertunjukkan telah disiapkan dan penonton hanya tinggal menyaksikan. Interaksi yang mungkin terjadi umumnya hanya sebatas penonton memberi tepuk tangan atau tertawa andai mereka menyenanginya, dan pemain pun menjadi lebih bersemangat dengan respons penonton yang demikian. Tapi, hubungan mereka tidak akan sampai mengubah isi materi yang dipertunjukkan, karena materinya memang telah disiapkan secara rinci, yang mungkin merupakan hasil latihan berbulan­bulan.

Bandingkan sekarang dengan acara tontonan yang diadakan untuk suatu perayaan keluarga, pernikahan umpamanya, yang diadakan di depan halaman si empunya hajat. Pada saat itu si empunya hajat mengundang kelompok tari tradisi, yang dipertunjukkan di atas panggung. Namun di sekeliling pinggir panggung itu penonton anak­anak duduk, sedangkan para penonton orang tua duduk di kursi yang berderet di muka panggung. Para penarinya tidak melulu menari, melainkan kadang mereka bernyanyi, bercerita, dan melawak. Ketika melawak, dua pemain itu berselisih, karena pemain A merasa kehilangan uangnya, dan menuduh pemain B yang mengambilnya. Pemain B menyangkal, dan bertanya pada penonton

Gbr. 1-41: Tari Topeng Cirebon di panggung hajatan: sebagai hiburan dan sekaligus penyampai nilai-nilai budaya yang tidak verbal.

(14)

PENDAHULUAN — 

anak­anak yang di panggung, apakah mereka melihat dia mengambilnya. Anak­anak bilang “Tidak.” Pemain A menuduh anak­anak bersekongkol. Anak­anak menyangkal beramai­ramai sambil tertawa riang. Pemain A pun menangis, seraya mengatakan ia tidak memiliki uang untuk naik ojek untuk pulang ke rumahnya.

Salah seorang penonton datang ke panggung dan memberi uang padanya. Pemain A pun berhenti menangis dan kemudian menari­nari. Pemain B memberhentikannya, dan kemudian ia menangis, karena iri. Pemain A diberi uang oleh penonton, sedangkan dia tidak. Datang lagi penonton yang lain dan memberi uang. B berhenti menangis, dan kemu­ dian menari. A sekali lagi menggerutu, memberhentikan pemusik yang mengiringi tari B. Ia bertanya, mengapa si B diberi uang lebih banyak darinya... dan seterusnya.

Yang ingin disampaikan di sini adalah, hubungan antara penonton dan yang ditonton dalam banyak jenis kesenian tradisional itu tidak secara jelas terpisah seperti halnya di gedung pertunjukan. Anak­anak yang menonton di situ, suatu saat seolah­olah menjadi pemain juga. Demikian pula penonton lain yang datang memberikan uang. Pemberian uang dari penonton yang pertama kemudian menjadi adegan dagelan berikutnya. Artinya, penonton itu pun turut menjadi pemain.

Ada beberapa hal yang penting kita catat dari kejadian itu: pertama, penonton yang memberi uang itu memahami suatu “norma” ketika ada pelawak yang “menangis” di panggung, kemudian ia merasa “terundang” untuk merespons. Inilah yang menjadi bagian dari nilai atau norma suatu tradisi, yang belum tentu bisa dipahami oleh tradisi lain. Jadi, jika pertunjukan tersebut umpamanya saja dipentaskan di gedung pertunjukan seperti tadi, kemungkinan besar tidak akan ada penonton yang datang ke panggung memberi uang, karena penonton tidak mengetahui normanya, serta karena konteks atau situasinya sangat berbeda. Ini berarti bahwa ketika suatu pertunjukan yang sama dimainkan dalam konteks yang berbeda, yang akan berbeda bukan hanya situasinya saja, melainkan juga materinya, yakni adegan­adegannya.

Kedua, jarak atau perbedaan antara penonton dan yang ditonton itu tidak begitu tegas. Walaupun dalam pertunjukan itu kita tahu mana yang seniman dan mana yang bukan, tapi dalam interaksinya makin lama batasan itu bisa saling tukar­menukar. Kita tidak akan mengatakan bahwa penonton yang memberi uang adalah seniman, walaupun mereka turut main. Tapi pada saat yang sama, penonton itu sesungguhnya menjadi bagian dari yang ditonton, yang membuat suasana tontonan menjadi “hidup.”

(15)

 — TARI TONTONAN

Andaikata pada pertunjukan dalam suatu hajatan ada penonton atau keluarga si empunya hajat mengadakan kaul dengan menampilkan suatu tarian, maka kita akan melihat secara lebih jelas lagi bahwa pihak penonton suatu saat bisa menjadi tontonan. Kasus serupa ini paling banyak terjadi dalam pertunjukan tarian­tarian pergaulan, seperti Ronggeng Melayu, Jaipongan (Sunda), Tayub (Jawa), Gandrung (Banyuwangi), Janger (Lombok), dangdut, dan sebagainya. Singkatnya, peran penonton dan yang ditonton bisa berubah dari saat ke saat.

Gbr. 1-42: Dalam upacara desa, pemain dan penonton membentuk ruang pentas sehingga tampak sebagai bagian dari pertunjukkannya.

Gbr. 1-43: Penonton ikut menari pada sebuah pentas tari yang berasal dari pementasan di Plaza Senayan Jakarta.

(16)

PENDAHULUAN — 

Gbr 1.44: Tari Gandrung Banyuwangi melibatkan penonton untuk menari bersama.

(17)

0 — TARI TONTONAN

1.7 Peristiwa dan Konteks

Suatu peristiwa (event) pertunjukan tidak mungkin terjadi tanpa ada yang menyelenggarakan. Artinya, ada suatu pihak yang mengatur agar pertunjukan bisa terselenggara. Untuk acara hajatan, pasti ada orang­ orang yang mengundang seniman, yang mendirikan panggung, yang masak untuk jamuan makan, ada yang mengundang penonton, dan juga ada aspek ekonomi seperti misalnya jual­beli dan bayaran. Hal itu semua, terjadi, diadakan, karena ada maksud dan maknanya. Pihak pertama yang mempunyai maksud atau gagasan adalah yang memiliki hajat, yang kemudian berunding, mengundang tetangga dan sanak saudaranya untuk mengatur agar peristiwa itu terjadi sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Kemudian orang­orang itu membagi tugas masing­masing, siapa dan akan melakukan apa. Dalam komunitas tradisional, biasa diadakan musyawarah, bahkan di beberapa wilayah musyawarah merupakan suatu keharusan yang juga bagian dari adatnya. Setelah itu, berjalanlah kegiatan untuk masing­masing bagian, yang secara gotong royong diatur oleh pimpinan masing­masing.

Suatu aspek dari suatu peristiwa ternyata berkaitan dengan hal­hal yang lain. Jika seseorang melakukan sesuatu karena ada maknanya, makna tersebut akan terkait dengan makna pihak lain. Jadi, di situ ada hubungan timbal­balik. Misalnya, penampilan seniman untuk penonton. Penonton menerima dan merespons. Jika ia bisa memuaskan penonton, ia pun akan puas. Ia pun tampil di situ karena diundang oleh penyelenggara (yang juga penonton), dan ia bersedia datang karena (mungkin) ia dibayar atau diberi makan.

Jadi dalam sistem tradisional pun ada sistem pengaturan, yang tidak berbeda dengan organisasi atau manajemen. Walaupun tidak disebut dengan kata “organisasi” atau “manajemen” (yang dua­duanya berasal dari kata asing), namun terdapat suatu sistem agar setiap yang terlibat bisa mengatur kegiatannya secara efektif, yang sesuai dengan peran dan kemampuan masing­masing. Terdapat norma atau aturan (sosial, moral, kultural) yang berkaitan dengan hak dan kewajiban seseorang dalam me­ lakukan tindakannya (tentang hal ini di bahas secara lengkap di Bab 5). Aturan dan sistem organisasi ini berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan semuanya itu akan tergantung dengan lingkungan dan adatnya masing­masing. Karena itu pula, yang khas dari suatu tradisi bukan hanya bentuk keseniannya saja, melainkan juga proses penyelenggaraan peristiwanya. Inilah yang disebut dengan pendekatan kontekstual, yakni pemahaman terhadap sesuatu (dalam hal ini tari tontonan) dengan memperhitungkan keterkaitannya dengan aspek­aspek

(18)

PENDAHULUAN — 1

Gbr. 1-47: Tari Makengket yang pengelolaannya dilakukan oleh komunitas Katolik di Sulawesi Utara.

lain. Aspek­aspek dan makna itu, ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Jika sese­ orang ingin memahami makna yang lebih dalam dari suatu pertunjukan, ia harus mengadakan penelitian atau pene­ lusuran, baik terhadap yang tampak, maupun yang tidak tampak. Ka­ rena itu, dapatlah di­ mengerti jika sekarang banyak penelitian kese­ nian yang bukan hanya mengenai hal­hal yang teknis, melainkan juga konteksnya.

Gbr. 1-46: Arak-arakan Barong di Banyuwangi, pengelolaan penyelenggaraannya berdasarkan inisiatif masyarakat secara gotong royong .

Gbr. 1-48: Tari Jaran Kepang (a) dan tari Belibis (b) gerakannya mimetis, menirukan perilaku kuda dan burung belibis.

(19)

 — TARI TONTONAN 1.8 Perubahan

Bayangkan kembali peristiwa pertunjukan hajatan. Pada acara itu terdapat berbagai acara: tarian, musik, lawakan, gelak­tawa, makan­minum, penerimaan­pemberian uang, pengemasan alat­alat, dan lain­lain. Jika kita bandingkan dengan acara yang terjadi di gedung pertunjukan, semua hal itu terjadi dengan cara yang sangat berbeda. Demikian juga, jika kita bandingkan dengan cara pelaksanaan 50 tahun yang lalu umpamanya, cara keduanya pun berbeda pula. Jadi perbedaan itu bukan hanya dari satu tempat ke tempat lain, melainkan juga dari waktu ke waktu. Perbedaan yang terjadi dalam proses waktu itulah yang disebut perubahan.

Pada masa lalu, rombongan kesenian untuk acara pertunjukan hajatan di desa dijemput. Peralatannya (jika berat) digotong oleh masyarakat yang mengundang. Mereka mungkin hanya dibayar dengan makanan, bukan uang. Panggungnya didirikan sementara dengan perlengkapan yang ada di desa itu. Untuk tempat tamu undangan, kursi dipinjam dari tetangga, demikian pula gelas­piring, karena tidak ada suatu keluarga yang memiliki peralatan dalam jumlah ratusan set. Lampunya berupa obor atau petromak. Pertunjukannya diadakan sehari­semalam, karena acara hajatan biasanya diadakan setelah masa panen di mana masyarakat pun memiliki lebih banyak waktu luang sebelum sampai pada musim tanam berikutnya.

Sekarang, untuk di desa yang sama, grup kesenian yang didatangkan dari desa lain mungkin telah memiliki atau menyewa alat transportasi sendiri, panggungnya didirikan oleh perusahaan sewaan. Penerangan dengan listrik yang terang­benderang, dan dengan pengeras suara. Juru masak didatangkan khusus dari perusahaan katering. Pakaian pengantinnya pun disewakan. Karena di wilayah pemukiman atau kompleks baru tidak ada halaman luas untuk pertunjukan, mungkin pertunjukan itu diadakan di suatu lapangan, atau bahkan menyewa gedung khusus. Pertunjukannya hanya diadakan beberapa jam saja, karena masyarakat makin sibuk, banyak bekerja di perkantoran atau di pabrik­pabrik, dan lain sebagainya.

Perubahan­perubahan fasilitas (teknologi, ekonomi) itu mem­ pengaruhi perubahan keseniannya. Umpamanya saja, kostum saat ini pada umumnya lebih gemerlapan karena berkaitan dengan bahan dan warna tekstil yang ada di pasar, sejalan pula dengan perubahan sistem penerangannya. Suara penyanyi atau alat musik bisa terdengar keras dengan memakai sound system, sehingga bisa terdengar sampai ke desa­ desa tetangga. Imbalannya pun tidak memakai benda atau makanan seperti dulu melainkan semuanya dengan bentuk uang.

(20)

PENDAHULUAN — 

Perubahan yang terjadi di suatu tempat tidak sama dengan tempat lainnya. Ini tidak berarti bahwa suatu masyarakat yang telah berubah dengan cepat lebih baik atau lebih buruk daripada yang lebih lambat perubahannya. Perubahan, membuat sesuatu berbeda, tidak berarti sama dengan “perkembangan” (nilai meninggi) atau “kemunduran” (nilai merendah). Jadi, jika sekarang ada masyarakat yang mengadakan pertunjukan hampir sama dengan cara pada 50 tahun yang lalu itu, belum tentu berarti lebih maju atau lebih terbelakang daripada masyarakat yang telah berubah banyak.

Suatu perubahan kebudayaan umumnya sangat terkait dengan aspek pengaruh­mempengaruhi, pinjam­meminjam, campur­mencampur. Cepat lambatnya, besar kecilnya tergantung dari perkembangan teknologi komunikasi dan sistem pendidikan. Sistem perdagangan dan politik (dari zaman purbakala) telah mengubah khazanah budaya, dan bahkan agama kita. Agama Hindu masuk ke negeri ini dan membawa cerita yang kini seolah sudah menjadi milik sebagian masyarakat kebudayaan kita. Demikian pula, agama Islam masuk melalui aktivitas perdagangan, dan kita pun diwarisi beberapa cerita dari Timur­Tengah, alat­alat musik, sistem tulisan, dan lain­lain. Budaya Barat masuk melalui perdagangan dan kolonisasi, dan lain sebagainya.

(21)

 — TARI TONTONAN

Gbr. 1-50: Tari Belian, tari upacara yang bisa menjadi tari tontonan.

Demikian pula sistem pendidikan. Kini, banyak seniman Indonesia yang belajar ke luar negeri, dan banyak pula orang asing yang mempelajari kesenian kita. Salah satu akibatnya, banyak pendekatan kesenian Barat yang diadopsi untuk menggarap (mengubah) kesenian tradisi, demikian pula kesenian kita banyak yang dipertunjukkan dan digarap di negeri asing. Sekolah­sekolah pendidikan seni di negeri ini pun telah turut mempercepat atau memperbanyak terjadinya perubahan. Kreasi­kreasi baru bermunculan di mana­mana sebagai hasil karya dari para dosen dan mahasiswanya. Sebaliknya, kegiatan penelitian pun telah meningkatkan pengetahuan kesenian kita, termasuk mengenai kesenian yang ada di pedalaman yang jauh, yang tanpa itu kita tidak akan pernah mengetahuinya. Perubahan pengetahuan akan pula mengubah persepsi atau gagasan. Jika sistem pendidikan mempercepat perubahan pengetahuan, keterampilan, dan wawasan, akan menumbuhkan pula perubahan yang lebih cepat.

Pada satu sisi perubahan itu bernilai positif, tapi di sisi lain perubah­ an itu bisa bernilai sebaliknya. Karena itu, sistem­nilai masyarakat kota secara moral­kultural tidak bisa digunakan untuk menilai sistem yang ada di desa. Bahkan juga sistem­nilai yang ada di sekolah­sekolah (yang belum tentu lebih baik) tidak bisa diterapkan pada masyarakat di luar sekolah. Demikian pula sebaliknya. Perubahan pada suatu masyarakat beriring sejajar dengan sistem kehidupan setempat. Dalam buku ini, bab­bab berikutnya akan menyampaikan fenomena seni pertunjukan dari berbagai tempat, yang kondisi sosial dan adatnya berbeda­beda. Dengan demikian pengetahuan kita terhadap berbagai sistem yang ada pun menjadi lebih kaya. Akan tetapi, yang paling penting, bukan untuk mencari atau apalagi mengukuhkan nilai kesenian dari suatu masyarakat untuk dijadikan ukuran pada masyarakat lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral Karena itu kedua belah

Bisa jadi anak perempuan dengan ADHD tidak teridentifikasi atau tidak tertangkap gejalanya karena guru-guru gagal dalam mengenali dan mencatat perilaku kurang

Raden Patah menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak..Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik,

Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersihatau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi

1) Tepung biji nangka adalah tepung yang dibuat dari biji nangka yaitu dengan cara direbus, dikuliti, diiris kecil, dikeringkan, digiling/dihaluskan dan diayak. 2) Tepung

47l. Pada praktik di pemerintahan terdapat dana penelitian yang dimiliki oleh suatu instansi tertentu namun dana ini dapat digunakan untuk membiayai penelitian yang

Bahan ajar latih irama terdiri dari empat nomor dengan menggunakan berbagai nilai not yang sudah dipelajari di bab sebelumnya.. Bahan ajar latih nada terdiri dari dua

Kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten pulau morotai dilihat dari rasio kemandirian keuangan daearah pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap