• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU DI TAPAKTUAN. geografis terletak dengan luas wilayah 4.005,10 KM 2. Kabupaten ini berbatasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU DI TAPAKTUAN. geografis terletak dengan luas wilayah 4.005,10 KM 2. Kabupaten ini berbatasan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU DI TAPAKTUAN

A. Gambaran Umum Masyarakat Tapaktuan 1. Gambaran Umum Geografis Tapaktuan

Kabupaten Aceh Selatan dengan ibu kota Kabupaten Tapaktuan, secara geografis terletak dengan luas wilayah 4.005,10 KM2. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara yang di sebelah utara, Kota Subulussalam disebelah timur, Samudera Indonesia di sebelah selatan dan Kabupaten Aceh Barat Daya di sebelah barat. Kabupaten Aceh Selatan terdiri dari 16 kecamatan, 43 mukim, dan 248 desa. Jumlah penduduk kabupaten Aceh Selatan pada tahun 2009 berjumlah sebanyak 211.564 jiwa yang merupakan angka yang didasarkan pada hasil registrasi penduduk. Dengan Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 103.789 jiwa dan perempuan sebanyak 107.775 jiwa.52

Dari 16 kecamatan tersebut yang memiliki wilayah paling luas adalah kecamatan Trumon Timur yaitu 684,88 KM2 atau 17,10% dari seluruh wilayah kabupaten Aceh Selatan. Sedangkan kecamatan dengan wilayah paling kecil adalah kecamatan Labuhan Haji yaitu 43,74 KM2 atau sekitar 1,09% dari luas seluruh kabupaten Aceh Selatan.

Kecamatan Tapaktuan sendiri yang merupakan ibukota kabupaten Aceh Selatan memiliki luas 92, 68 KM2atau 2,31% dengan jumlah desa sebanyak 15 desa

(2)

yang terbagi atas 2 mukim, yaitu Hilir dan Hulu. Pada mukim Hilir terdapat desa : Lhok Keutapang, Hilir, Padang, Hulu, Jambo Apha, Gg Kerambil, Air Berudang. Dan pada mukim Hulu terdapat desa : Pasar Tapakuan, Lhok Bengkuang, Panton luas, Batu Itam, Panjupian, Lhok Rukam, Air Pinang.53 Tapaktuan memilki jumlah penduduk sebanyak 22.343 jiwa, dengan perbandingan 10.819 jiwa adalah penduduk laki-laki dan 11.524 jiwa penduduk perempuan.54

Tabel 1: Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Selatan Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah

1 2 3 4 1. Trumon 2. Trumon Timur 3. Bakongan 4. Bakongan Timur 5. Kluet Selatan 6. Kluet Timur 7. Kluet Utara 8. Pasie Raja 9. Kluet Tengah 10. Tapaktuan 11. Samadua 12. Sawang 13. Meukek 14. Labuhan Haji 15. Labuhan Haji Timur 16. Labuhan Haji Barat

2.952 4.779 5.746 2.658 6.305 4.253 11.743 7.126 3.310 10.819 7.658 6.513 9.421 6.037 4.920 8.428 2.986 5.148 6.179 2.583 6.265 5089 12.357 7.641 3.255 11.524 8.152 6.648 9.801 6.491 5.060 8.368 5.938 9.927 11.925 5.241 12.570 9.342 24.100 14.767 6.565 22.343 15.810 13.161 19.222 12.528 9.980 16.796 Sumber : BPS Kabupaten Aceh Selatan

Tapaktuan yang juga di juluki Kota Naga merupakan pusat perdagangan, pendidikan dan tata administrasi pemerintahan Kabupaten. Pada zaman dahulu kota

53Katalog BPS, Aceh Selatan Dalam Angka, 2012, Hal. 19

(3)

ini sangat hidup oleh lalu lintas Samudera. Kapal-kapal KPM milik perusahaan Belanda pada zamannya menyinggahi Tapaktuan secara periodik. Membawa barang dagangan dan mengangkut penumpang. Kapal-kapal itu datang dari Bengkulu, Painan, Padang Pariaman, Sibolga dan kota-kota pantai sepanjang sisi barat Sumatera, setelah itu melanjutkan perjalanan ke Sabang, Pulau Weh dan seterusnya.55 Kecamatan Tapaktuan yang terdiri dari teluk membuat para remaja selalu berbondong datang ke dermaga di saat senja, disana mereka merentang pikiran dan bersantai sejenak menunggu magrib tiba. Sementara para nelayan menerjunkan jakung-jakung mereka ke tengah laut untuk menangkap ikan. Selain kawasan teluk, kawasan Tapaktuan juga memiliki bukit dan tanah datar yang subur ditumbuhi pala, cengkeh, kopi, kelapa, dan buah-buahan. Terdapat juga areal persawahan yang menghampar kehijauan. Daerah tanah datar di atas bukit itu adalah Pantan Luas yang memilki udara segar dan cuaca senantiasa cerah. Di bukit pantan luas inilah terdapat peristirahatan Belanda yang kini tinggal puingnya saja.56

Kabupaten Aceh Selatan bisa di identikkan dengan daerah pala. itulah tanaman ekonomi yang banyak menghasilkan uang. Tanaman pala menjanjikan kemakmuran bagi penduduk Aceh Selatan. namun pala juga yang pernah membuat daerah ini menderita. Tanaman tersebut telah mengundang Inggris dan Belanda singgah menjajah bumi tercinta. Setelah tiga setengah abad Belanda mempertaruhkan

55Sayed Mudhahar Ahmad, Ketika Pala Mulai Berbunga (Seraut Wajah Aceh Selatan),

Pemerintah Tingkat II Kabupaten Aceh Selatan, tanpa tahun, Hal. 62-63

(4)

kekuatan agar tetap dapat bercokol di Nusantara, demi pala.57 Wilayah ini memang wilayah potensial bagi tanaman pala. Kebun-kebun pala menghampar di kiri kanan sepanjang jalan raya. Lebih-lebih bila kita melintasi daerah perbukitan, tanaman pala menjadi bagian tak terpisahkan dari pemandangan alam yang menawan. Pala di Aceh Selatan merupakan tanaman yang sudah membudaya, tumbuh subur hampir di setiap halaman rumah. Tanpa pala, serasa kurang lengkaplah keberadaan suatu keluarga. Pantaslah Aceh Selatan merupakan salah satu daerah yang menopang Indonesia menjadi penghasil pala nomor satu di dunia.58

Sejarah kebudayaan Aceh, identik dengan kebudayaan Islam. dengan kata lain, sejarah kebudayaan Aceh ialah sejarah kebudayaan Islam di Indonesia bahkan di Asia tenggara. Maka tak pelak kerajaan Aceh merupakan salah satu dari lima besar kerajaan Islam di Dunia. Aceh sebagai suku bangsa yang terbuka, karena memiliki sub-sub suku yang tak lepas dari latar budayanya, senantiasa menerima apa saja yang datang dari luar, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 59

Asas dan landasan kebudayaan Islam di Aceh, sama dengan asas dan dasar kebudayaan Islam dimana saja. Hal ini disimpulkan dalam sebuah Hadih Maja yang merupakan jalan hidup orang Aceh semenjak berabad-abad lalu, yang berbunyi :

Adat Bak Po Teumereuhoom Hukoom Bak Syiahkuala Kanun Bak Putro Phang Reusam Bak Lakseumana Hukoom Ngon Adat

57Ibid, Hal. 80 58Ibid

(5)

Legee Zat Ngon Sifeut60

Jika dikaji dari segi politik tersebut merupakan pembagian kekuasan dalam Negara/Pemerintahan, yaitu :

a. Kekuasaan Politik atau Eksekutif dipegang oleh Sultan atau Kepala Negara, yang dipahamai dari Adat Bak Po Teumereuhoom.

b. Kekuasaan Hukum atau Yudikatif, dipeugang oleh Ulama atau Kadli Malikul Adil yang dipahami dari Hukoom Bak Syiahkuala

c. Kekuasaan Kanun atau Legislatif dipegang oleh Balai Majelis Mahkamah Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat) ini sesuai dengan bait ketiga dari Hadih Maja, Qanun Bak Putro Phang

d. Kekuasaan Keprotokolan atau Reusam dipegang oleh penguasa Angkatan Perang, yang diartikan dari Reusam Bak Lakseumana

e. Baris kelima dan keenam menegaskan bahwa dalam keadaan bagaimana pun ajaran dan Hukum Islam harus menyatu dengan kehidupan adat. Seperti yang di amanatkan dalam Hadih Maja yang berbunyi Hukoom Ngon Adat Lagee Zat Ngon Sifeut.61

2. Ciri masyarakat Tapaktuan dan Minangkabau 2.1 Ciri masyarakat Tapaktuan

Berbicara mengenai sistem kewarisan, tidaklah terlepas dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia. Apalagi masyarakat adat yang ada di Indonesia memeluk agama yang berbeda-beda, bersuku-suku, kepercayaan yang berbeda-berbeda-beda, mempunyai bentuk kekeluargaan maupun kekerabatan yang berbeda pula. Tetapi walaupun demikian, pada umumnya dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan yang ada dalam masyarakat adat di Indonesia dikenal ada 3 (tiga) jenis:

60Ibid 61

(6)

1. Sistem Patrilineal

Yaitu suatu masyarakat hukum, dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas, melalui garis bapak, bapak dari bapak, terus keatas, sehingga akhirnya dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya. Menurut sistem ini, garis keturunan ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan laki-laki lebih menonjol dari pada kedudukan perempuan di dalam pewarisan. Seorang anggota keluarga merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang laki-laki maka anggapan seketurunan semacam itulah yang menghubungkan pria sebagai garis pengikatnya.

2. Sistem Matrilineal

Yaitu sistem dimana anggota masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnnya. Akibat hukum yang timbul adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta mewaris dari keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk dalam keluarga ibu atau tidak masuk dalam keluarga istri. Dapat dikatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini, kedudukan wanita lebih menonjol dari pria di dalam pewarisan. 3. Sistem Parental atau Bilateral

Adalah masyarakat hukum, dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak dan ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang laki-laki dan perempuan sebagai moyangnnya. dalam sistem ini kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan, termasuk dalam hal kewarisan. Dengan

(7)

demikian, maka setiap anggota keluarga menarik garis keturunannya dan menghubungkan dirinya melalui bapak ibunya. Hal itu dilakukan oleh bapak ibunya, dimana kedua garis keturunan itu dinilai dan diberi derajat yang sama. Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya. Mengenai apa yang dimaksud semua anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama haknya atas harta warisan dibagi merata diantara semua waris, oleh karena harta warisan itu tidak merupakan satu kesatuan yang dapat dengan begitu saja dinilai harganya dengan uang. Begitu pula bagaimana pembagian itu kelak akan dilaksanakan tergantung pada keadaan harta dan warisnya, ada kemungkinan waris yang lemah ekonominya mendapat lebih banyak dari waris yang kuat ekonominya. Antara sistem keturunan yang satu dan yang lainnya, dikarenakan hubungan perkawinan, dapat berlaku bentuk campuran bentuk campuran antara sistem patrilineal dan sistem matrilineal di dalam perkembangannya sekarang ini, tampak pengaruh bapak ibu (parental atau bilateral) dan bertambah surutnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal menyangkut hak waris.62

Masyarakat Aceh menggunakan sistem kekerabatan parental atau bilateral yang ditarik melalui garis kedua orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan didalam pewarisan.

62

I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, Badan Penerbit: Universitas Diponegoro,

(8)

Hukum Islam mengakui adat sebagai salah satu sumber hukum, adat termasuk bagian ijtihad, yang merupakan sumber Hukum Islam disamping Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam usul fiqh, adat dikenal dengan istilah Urf’, yang di artikan sebagai sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka, baik berupa perkataan maupun perbuatan.63

Adat dapat diterima sebagai salah satu sember hukum Ijtihadiyah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Adat tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

b. Adat tersebut memang dapat diterima oleh masyarakat dan didukung oleh pertimbangan akal dan sejalan dengan tabiat manusia.

c. Adat terus berlaku umum di masyarakat dan dijalankan secara terus menerus.

d. Adat tersebut benar-benar nyata pada saat-saat hukum ijtihadiyah itu dibentuk dan ditetapkan.

e. Masyarakat terikat sebagai suatu keharusan untuk menaatinya.

f. Adat tersebut tidak mengandung syarat-syarat yang mengakibatkan perbuatan itu tidak diterapkan.64

Pada waktu agama Islam dikembangkan oleh Nabi Muhammad di tanah Arab, sudah terdapat norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat dalam bentuk hukum tidak tertulis yang disebut Urf’ (adat). Adat yang berkembang ditanah Arab tersebut mengandung prinsip-prinsip yang berdasarkan kepada pemikiran manusia yang telah berlangsung turun menurun dari generasi ke generasi. Suatu generasi mengikuti norma adat

63Muin Umar, Et.Al, Ushu Fiqh, Jilid I, Departemen Agama RI, Jakarta, 1985, Hal. 150 64Imam Muchlas, Waris Mewaris Dalam Islam. Garoeda Buana Indah, Pasuruan, 1996, Hal.

(9)

tersebut karena menganggap itulah yang baik dalam mengatur kehidupan masyarakat dan telah dilakukan nenek moyang mereka sebelumnya.65

Masyarakat Aceh Selatan pada umumnya dikenal sebagai penganut Islam yang taat dan setia. Pembauran antara ajaran Islam dengan tradisi setempat baik yang berasal dari masa sebelum Islam maupun sesudahnya, telah terjadi dalam bentuk penyesuaian yang luar biasa. Sehingga sukar untuk membedakan mana yang berasal dari syariat dan mana yang berasal dari adat istiadat. Pembauran yang sedemikian rupa telah mereka rumuskan dalam sebuah ungkapan “antara adat ngon syariat, lagee zat ngon sifeut” yang artinya antara adat dan syariat bagai zat (benda) dengan sifatnya.66

Adat dapat terbagi menjadi adat umum dan adat khusus jika dilihat dari segi pemakaiannya. Adat umum berlaku disemua tempat dan menempati kedudukan ijma’, bahkan lebih luas lagi dari pada itu, karena pada adat tersebut sudah terdapat pengakuan para pihak dan tidak terbatas pada kalangan mujtahid sebagaimana yang berlaku pada ijma’ yang biasa. Sedangkan adat khusus, yaitu yang terbatas berlakunya dalam lingkungan tertentu.67

Sehingga dapat digambarkan hubungan Hukum Islam dengan adat sebagai berikut :

65Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat

Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1984, Hal. 163 (Selanjutnya disebut buku I)

66Sayed Mudhahar Ahmad, Op. Cit, Hal. 139 67Muin Umar, Op. Cit, Hal. 152

(10)

a. Adat keseluruhan diterima oleh Hukum Islam dan untuk selanjutnya menjadi Hukum Islam.

b. Hukum Islam mengubah hukum adat seluruhnya dengan arti Hukum Islam menggantikan hukum adat dan hukum adat itu tidak berlaku lagi untuk selamanya.

c. Hukum Islam membiarkan hukum adat hidup tanpa usaha menyerapnya ke dalam Hukum Islam.68

Adat digali dari bumi Aceh sendiri oleh para cerdik pandai, sehingga selalu tumbuh dan berkembang. Sedangkan hukum adalah wahyu Ilahi (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul yang sifatnya tetap tidak bisa diolah sekehendak manusia, seperti yang tercantum dalam Hadih Maja sebagai berikut :

- Adat meukoh reubong, hukom meukoh purieh. Artinya, adat dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan atau bagaimana sebaiknya. Sedangkan hukum harus dijalankan secara lurus, sesuai yang telah di tetapkan (menurut Islam).

- Adat jeut baranggaho takhong, hukom hanjet baranggaho takieh. Artinya, adat boleh dipilih sesuai dengan yang enak dipegang, sedangkan hukum tidak boleh sembarangan dilaksanakan.69

Adat berkaitan erat dengan hukum, keduanya saling melengkapi seperti dua sisi mata uang. Itulah sebabnya adat dan Hukum Islam sederajat. Hanya saja Adat Aceh menjadi urusan dan tanggung jawab sultan/penguasa, sedangkan Hukum Islam merupakan wewenang dan tanggung jawab Syiah Kuala atau para ulama.70

2.2 Ciri masyarakat Minangkabau

Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identifikasi masyarakat Minangkabau. Adat dan budaya Minangkabau

68Imam Muchlas, Op. Cit, Hal. 23-24 69Sayed Mudhahar Ahmad, Op. Cit Hal. 142 70Ibid

(11)

menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan nama “sumande” (se-ibu). Sedangkan ayah disebut oleh masyarakat Minangkabau dengan nama “sumando” (ipar atau semenda) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.71

Prinsip kekerabatan masyarakat Minangkabau adalah matrilineal descen, yang mengatur hubungan kekerabatan melalui garis ibu. Dengan prinsip ini seorang anak akan mengambil suku ibunya. Garis turunan ini, juga mempunyai arti pada penerusan harta warisan, di mana seorang anak akan memperoleh warisan menurut garis ibu. Warisan yang dimaksud adalah berupa harta peninggalan, yang sudah turun-menurun.72

Sistem kekerabatan matrilineal, tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang, dan terus disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya, terutama dalam mekanisme penerapannya didalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemenakan sangatlah penting. Bahkan, peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu, dan sebagai indikator terhadap mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi, keberadaan sistem matrilineal ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya

71Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 126 72Ibid, Hal. 128

(12)

hubungan dan kaitan sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.73

Muhammad Rajab dalam bukunya “Sistem Kekerabatan di Minangkabau” menyebutkan ada delapan ciri sistem matrilineal di Minangkabau, yaitu :

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu. 2. Suku terbentuk menurut garis ibu.

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (eksogami) 4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku.

5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan.

6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.

7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya. 8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya, dari

saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.74

Selanjutnya Hamka dalam bukunya, juga memberikan kesimpulan mengenai susunan masyarakat Minangkabau yang tersusun sebagai berikut :

1. Tersusun atas dasar keibuan

2. Yang menjadi puncak di dalam ialah nenek yang perempuan. 3. Harta benda dicari dan di usahakan untuk memperbesar harta suku.

4. Hasil usaha dan pencaharian seorang laki-laki adalah untuk kemenakannya.

5. Suami tidak wajib memberi nafkah kepada istri.

6. Penghulu hanya berkuasa menjaga harta kaum saja dan memeriksa penggunaan dan pengurusannya dengan pihak luar.

7. Mamak-mamak, tungganai-tungganai, dan penghulu tidak berhak membawa hasil harta ke rumah istrinya.

8. Semenda tidak boleh ikut campur tangan di dalam rumah istri dan anaknya.

9. Bila anak akan di kawinkan oleh mamak atau oleh tungganai atau penghulu, si semenda (ayah si anak) hanya diberitahu saja.75

73

Ibid, Hal.129

74Muhammad Radjab, Sistem Kekerabatan Minangkabau, Padang, Center For Minangkabau

Studies Press, 1969, Hal. 17

75

(13)

Dari garis keturunan yang matrilineal dan perkawinan yang bersifat eksogami tersebut, maka dalam masyarakat Minangkabau akan terbentuk tali kekerabatan atau hubungan kekerabatan diantara pihak pihak yang terkait satu dengan yang lainnya tersebut.

B. Sistem Kewarisan Minangkabau Dan Perkembangannya 1. Asas-Asas Kewarisan

Hukum waris adat yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari angkatan manusia kepada turunannya.76 Soerojo Wignjodipoero, mengatakan : Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya.77Jadi, Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan demikian, hukum waris itu mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.78

76Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Universitas, 1966, Hal. 37 77Soerojo Wignyodipoero, Op. Cit, Hal. 161

78Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat, Bandung, Maju Mundur, 1992, Hal. 211

(14)

Hukum waris adat adalah hukum yang memuat ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum adat sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan.79

Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat terjadinya pewarisan adalah :

a. Meninggalnya seseorang (pewaris)

b. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki, pada waktu pewaris meninggal dunia.

c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah masing-masing.80 Jadi sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang warisan dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman Hadikusuma mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.81 Dalam hal ini terlihat adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan harta, baik material maupun

79Eman Supaman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Hal. 42 80Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Pers, Jakarta,

1995, Hal. 39-40

81Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Cipta Aditya Bakti, 1993, Hal. 7

(15)

non material dari suatu generasi kepada keturunannya. Selain itu pandangan hukum adat pada kenyataannya sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris sebelum pewaris wafat dalam bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.

Sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia menurut Djaren Saragih yaitu:

1. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan dapat dibagi-bagikan,

2. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan tidak dapat dibagi-bagikan.82 Sistem yang pertama pada umumnya terdapat pada masyarakat yang bilateral seperti di Pulau Jawa, sedangkan sistem yang kedua terdapat pada masyarakat unilateral. Sistem kedua dapat dibedakan lagi dalam bentuk sistem pewarisan kolektif dan sistem pewarisan mayorat. Dilihat dari orang yang mendapat warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu, sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan mayorat. Adapun sistem kewarisan adat yaitu:

1. Sistem Kewarisan Individual

Sistem kewarisan individual, yaitu sistem pewarisan dimana para ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan secara perorangan.83 Sistem kewarisan individual pada umumnya banyak terdapat pada masyarakat hukum adat yang bergaris keturunan atau

82

Djaren Saragih, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1980, Hal. 163

(16)

kekeluargaan secara parental, hal ini akibat dari tiap-tiap keluarga yang telah hidup berdiri sendiri dan bertanggung jawab kepada keluarganya yang utama. Sebagaimana di kalangan masyarakat adat Jawa atau juga di kalangan masyarakat adat lainnya seperti masyarakat Batak yang berlaku adat manjae, Jawa, mancar/ mentas atau juga di kalangan masyarakat adat yang kuat dipengaruhi Hukum Islam, seperti di kalangan masyarakat adat Lampung beradat peminggir, di pantai-pantai Selatan Lampung.84 Keluarga yang dimaksud di sini adalah terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Fungsi warisan di sini untuk pondasi dari keluarga dan untuk melangsungkan hidup serta berkembangnya keluarga tersebut. Adapun kebaikan sistem pewaris individual, waris dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan tanpa dapat dipengaruhi anggota keluarga yang lain. Kelemahannya, pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan serta timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri.

2. Sistem Kewarisan Kolektif

Sistem pewarisan kolektif, yaitu sistem kewarisan dimana para ahli waris dapat mewarisi secara bersama-sama terhadap harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris. Dalam sistem ini, harta peninggalan dilihat sebagai keseluruhan dan tidak terbagi-bagi dimiliki bersama-sama oleh para ahli waris, seperti pada masyarakat

84

Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1997, Hal. 24. (selanjutnya disebut buku IV)

(17)

Minangkabau dan Ambon. Harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-sama para ahli waris, misalnya harta pusaka tidak dimiliki atau dibagi-bagikan hanya dapat dipakai atau hak pakai. Sistem ini dipengaruhi oleh cara berpikir yang banyak dijumpai dalam masyarakat adat yang disebut cara berpikir yang komunal atau kebersamaan. Selanjutnya, kebaikan sistem pewarisan kolektif tampak apabila fungsi harta kekayaan digunakan untuk kelangsungan hidup keluarga besar itu pada masa sekarang dan masa seterusnya masih tetap berperan, tolong menolong antara yang satu dan yang lain di bawah pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung jawab masih tetap dapat dipelihara, dibina dan dikembangkan. Kelemahan sistem tersebut dapat menimbulkan cara berpikir yang terlalu sempit kurang terbuka bagi orang luar, sulit mencari kerabat yang kepemimpinannya bisa diandalkan, di samping rasa setia kawan dan rasa setia kerabat semakin bertambah luntur.

3. Sistem Kewarisan Mayorat

Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem dimana para ahli waris dalam penguasaan atas harta yang dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin atau kepala keluarga dan menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Dalam sistem ini, harta peninggalan secara keseluruhan tidak dibagi-bagi, tetapi jatuh ke tangan anak yang tertua. Mayorat ini ada dua macam yaitu:

a. Mayorat laki-laki, yaitu laki-laki tertua yang menjadi ahli waris tunggal dari si pewaris.

(18)

b. Mayorat perempuan, yaitu anak perempuan tertua yang menjadi ahli waris tunggal dari si pewaris.85

Sistem kewarisan mayorat ini dapat digambarkan bahwa yang mewarisi adalah satu anak saja yaitu anak tertua yang berarti hak pakai, hak mengelola dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya baik laki-laki maupun perempuan sampai mereka dapat berdiri sendiri. Sistem pewarisan mayorat sebenarnya merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya saja penerusan hak diberikan kepada anak tertua sebagai pemimpin keluarga, menggantikan ayah dan ibunya. Ia hanya berkedudukan sebagai pemegang mandat, dan bukan pemilik harta secara perseorangan.

Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tentang tata cara perkawinan. Dari kedua hal ini muncul ciri khas struktur kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas tersendiri pula dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan kehartabendaan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan.86 Dalam sistem kekerabatan matrilinieal tersebut, harta warisan diturunkan secara kolektif dalam garis keturunan ibu. Beberapa asas pokok dari hukum kewarisan Minangkabau adalah sebagai berikut :

1. Asas Unilateral 85

Ibid, Hal. 166 86

Iskandar Kamal, Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan Matrilineal ke Bilateral di

(19)

Maksudnya hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan, yaitu garis kekerabatan melalui ibu atau yang disebut juga dengan asas kewarisan unilateral matrilinial. Harta pusaka dari nenek moyang hanya diterima melalui garis ibu (perempuan) dan diteruskan ke bawah kepada anak cucu juga melalui garis keturunan perempuan. Sama sekali tidak ada yang melalui garis ayah (laki-laki), baik ke atas, ke bawah maupun ke samping.

2. Asas Kolektif

Maksudnya yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang perorangan, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan hal tersebut, maka harta warisannya tidak dibagi-bagikan dan disampaikan kepada kelompok penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi. Penerusan harta warisan secara kolektif ini didasarkan pada pokok pikiran sebagai berikut : a. Untuk menjaga kekompakan dalam keluarga. Karena bagaimanapun juga

pembagian warisan tidaklah selalu memuaskan semua pihak yang menerimanya, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada timbulnya perasaan iri dan dengki, yang dapat memecah kekompakan keluarga. b. Untuk menjaga keutuhan harta. Dengan sistem kewarisan kolektif, dapat

mempersulit pengalihan harta ke luar dari kaum, karena selama menjadi milik bersama, semua pihak dapat mengontrol penggunaannya.

Asas kewarisan kolektif ini tidak menghendaki adanya pembagian harta. Walaupun terjadi pembagian harta, maka yang dimaksud pembagian harta disini, adalah pembagian harta antara rumah dengan rumah, waktu terjadi pemisahan kesatuan kaum, yang biasanya di sebabkan karena makin bertambahnya anggota kaum, bukan pembagian antara orang dengan orang dalam rumah.

3. Asas Keutamaan

Pengertian yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa dalam penerimaan peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang

(20)

menyebabkan satu pihak lebih berhak dibanding yang lain, dan selama yang berhak itu masih ada, maka yang lain belum akan menerimanya. Adanya asas keutamaan ini disebabkan oleh bentuk-bentuk lapisan kekerabatan yang terdapat dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau.87

Sistem kewarisan Minangkabau dengan sistem kewarisan Islam, jika dilihat terdapat beberapa perbedaan didalamnya, baik mengenai asas-asasnya serta sistem kewarisan yang digunakan masing-masing. Dalam masalah hak kewarisan sebagaimana yang dinyatakan dalam surat An-Nisa’ ayat 7, bahwa anak laki-laki dan perempuan menerima bagian dari harta warisan yang ditinggalkan oleh ayah dan ibunya serta kerabat yang lain. Dari ketentuan ayat tersebut terlihat bahwa garis kewarisan dari dua arah, yaitu dari garis ayah dan garis ibu. Hal tersebut hanya berlaku dikalangan masyarakat yang mengandung sistem parental/bilateral.88

Hazairin dalam bukunya “Hukum kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadist juga menyatakan bahwa sistem kekeluargaan dalam Al-Qur’an adalah bilateral.89 Kesimpulan mana diperoleh beliau setelah mempelajari dengan seksama ketentuan Al-Qur’an mengenai larangan perkawinan yang di atur oleh surat An-Nisa’ Ayat 23 dan 24.

Kewarisan dalam Islam mempunyai 5 (lima) asas, yaitu : 87

Amir Syarifuddin, Buku I, Op. Cit, , Hal. 231

88Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padang,

1993, Hal. 161-162 ( selanjutnya disebut buku II)

89Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadist, Tintamas, Jakarta, 1967,

(21)

1. Asas Ijbari

Maksudnya adalah asas yang terkandung dalam kewarisan Islam itu menciptakan adanya proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Sehingga terlihat bahwa proses peralihan harta dalam hukum kewarisan Islam itu adalah merupakan suatu hal yang wajib, karenanya bagi si pewaris sebenarnya sebelum ia meninggal tidak perlu menentukan pembagian harta yang akan ditinggalkannya, begitupun bagi ahli waris setelah pewaris meninggal dunia tidak perlu mencari alternatif lain cara pembagian warisan, atau menolak pembagiannya, atau yang lainnya, ketentuan yang ada ini mesti diterima, tetapi apabila ada keinginan lain sesudahnya, maka terserah kepada masing-masing pemilik harta tersebut.

2. Asas Bilateral

Adalah asas yang berlaku secara timbal balik, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Maksdunya adalah seseorang menerima hak atau bahagian warisan dari kedua belah pihak, baik dari kerabat laki-laki maupun kerabat perempuan.

3. Asas Individual

Adalah asas yang menyatakan bahwa harta warisan yang akan di bagi-bagikan kepada ahli waris secara perorangan untuk dimiliki masing-masing ahli waris tersebut secara mutlak.

4. Asas Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang ini maksudnya adalah seseorang akan memperoleh hak dalam harta kewarisan seimbang dengan kepercayaannya.

5. Asas Kewarisan Terjadi Hanya Kalau Ada Yang Meninggal Dunia

Ketentuan kewarisan dalam KHI hanya akan terjadi kalau pewaris benar-benar telah meninggal dunia, dan ahli waris benar-benar hidup pada saat meninggalnya pewaris tersebut. Mengenai meninggalnya pewaris tersebut ada 2 (dua) macam, yaitu :

a. Meninggal secara hakiki, yaitu secara hakikat benar-benar disaksikan bahwa pewaris tersebut telah meninggal dunia.

b. Meninggal secara hukmi, yaitu sebenarnya pewaris yang dinyatakan meninggal itu tidak dapat disaksikan, tetapi karena dugaan kuat dia telah meninggal, maka supaya ahli waris tidak menanti-nanti dalam kesamaran hukum waris, mereka meminta pengadilan Agama untuk menetapkan matinya pewaris secara hukmi. Hal ini bisa terjadi karena lamanya pewaris tidak pulang, misalnya seorang nelayan yang biasanya pulang melaut pada setiap harinya, tetapi pada suatu ketika seseorang tidak pulang dan telah lama sekali, sehingga menurut dugaan orang kebanyakan dia telah karam dilaut.90

(22)

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan di antara asas-asas yang digunakan dalam kedua sistem kewarisan tersebut, yaitu hukum kewarisan Minangkabau dengan hukum kewarisan Islam. Dalam hukum kewarisan Minangkabau harta warisan diturunkan secara kolektif, yang kemudian menjadi milik bersama dari para ahli waris, sehingga harta warisan tersebut tidak dapat dibagi-bagikan di antara ahli waris, karena harta tersebut merupakan harta pusaka milik bersama anggota kaum. Peruntukan harta juga hanya diberikan kepada garis keturunan ibu. Sedangkan dalam hukum kewarisan Islam, sistem kewarisannya bersifat Individual, yang mana harta warisan menjadi milik pribadi masing-masing dari para ahli waris yang ditinggalkan sesuai dengan bagiannya masing-masing, dan berdasarkan sistem kekerabatannya yang bersifat parental/bilateral, peruntukan harta warisan dapat diberikan kepada ahli waris dari garis ayah maupun garis ibu.

Tabel 2 : Perbandingan Hukum Waris Adat No. Sistem Kekerabatan,

Sistem dan Asas Kewarisan

Minangkabau Aceh

1. Sistem Kekerabatan Matrilineal Parental/ Bilateral

2. Sistem Kewarisan Kolektif Individual

3. Asas Kewarisan 1.Asas Unilateral 2.Asas Kolektif 3.Asas Keutamaan 1. Asas Ijbari 2. Asas Bilateral 3. Asas Individual 4. Asas Keadilan Berimbang 5.Asas Kewarisan Terjadi Hanya Kalau ada yang meninggal Dunia

(23)

2. Hubungan Waris Mamak Kemenakan

Kedudukan laki-laki dan perempuan didalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian maupun pembagian harta pusaka. Perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluan anak beranak.91

Dalam hal demikian peran dan kedudukan laki-laki di Minangkabau juga mempunyai arti penting, baik didalam kaum maupun diluar kaumnya. Didalam kaum dia bertindak berdasarkan haknya sebagai mamak terhadap harta kemenakan, dan di luar kaum berdasarkan haknya sebagai seorang sumando (ayah) dari anaknya. Adapun dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Kedudukan laki-laki di dalam kaum a. Sebagai kemenakan

Di dalam kaumnya seorang laki-laki berawal dari seorang kemenakan atau dalam hubungan kekerabatan disebutkan : “ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak” (waktu kecil anak orang, sudah besar menjadi kemenakan kita). Sebagai kemenakan, dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum, sekaligus belajar mengetahui semua aset kaumnya, dan semua anggota keluarga kaumnya, serta tentang adat Minangkabau.

b. Sebagai mamak

Pada giliran berikutnya, setelah kemenakan dewasa, dia akan menjadi sebagai mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus di jalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak, sekaligus anak-anak dari saudara perempuannya itu adalah kemenakannya.

c. Sebagai penghulu.

Setelah menjadi mamak, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran di berikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur 91

(24)

pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.

2. Kedudukan laki-laki di luar kaum. a. Sumando ninik mamak

Artinya, sumando atau sumenda yang dapat ikut memberikan ketentraman pada kedua kaum, kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap suatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.

b. Sumando kacang miang.

Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah, karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai oleh masyarakat Minangkabau.

c. Sumando lapik buruk.

Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata, tanpa perduli dengan persoalan-persoalan lainnya.92

Mamak adalah sebutan saudara laki-laki dari ibu yang akan berfungsi sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap keberadaan keluarga matrilineal, dan menjaga serta menambah harta pusaka. Kedudukan laki-laki sebagai mamak atau paman merupakan suatu lembaga atau badan yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan keluarga matrilineal di Minangkabau. Ia adalah saudara laki-laki dari ibu, baik adik maupun kakak. Mamak juga bisa diartikan, sebagai lembaga kepemimpinan yang mengurus hal-hal yang berhubungan dengan adat Minangkabau di dalam kaumnya, dan bertanggung jawab memimpin kemenakannya, baik laki-laki maupun perempuan di pihak ibu, mulai dari lingkungan sosial yang terkecil, kaum, kampung, dan sampai lingkungan yang lebih besar seperti nagari.93 Apabila ibu mempunyai saudara laki-laki lebih dari satu orang, maka yang akan bertanggung jawab adalah yang tertua dibantu oleh yang lebih muda. Apabila ibu tidak

92Ibid, Hal. 134-137

(25)

mempunyai saudara laki-laki, namun mempunyai anak-anak laki-laki, maka yang akan berfungsi sebagai mamak adalah anak laki-laki tersebut.94

Menurut adat Minangkabau, seorang laki-laki yang paling dekat kepada mamak secara bertali darah dari garis ibu adalah kemenakan dekatnya atau kemenakan kandung. Menurut hukum adat harus mewarisi gelar, martabat, kekayaan dan apa saja yang dipunyai mamaknya. Sebaliknya, anaknya sendiri menurut adat bukan seorang anak yang sesuku dengannya, dan karena itu menurut hukum adat tidak pusaka-mempusakai.95

Adat Minangkabau mengajarkan, bahwa yang di maksud kemenakan ialah laki-laki atau perempuan dari pihak ibu yang dipertanggungjawabkan oleh mamaknya. Dan seorang mamak menurut keturunan dan fungsinya dapat dibedakan : (a). Apabila dia merupakan saudara kandung dari ibu, dinamakan mamak kandung; (b). Apabila dia menjadi tungganai dari sebuah rumah, dia dinamakan mamak rumah atau tungganai rumah; dan (c). Apabila merupakan dia laki-laki tertua dari kelompok keluarga dipihak ibu, meskipun rumah mereka telah terdiri 2 (dua), atau 3 (tiga) buah rumah, maka dia dinamakan mamak kepala waris.96

Kemenakan terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu:

1. Kemenakan bertali darah atau kemanakan kandung, yaitu anak-anak dari saudara-saudara perempuan mamak.

94 Sri Sudaryatmi, Sukirno, Dan T. H. Sri Kartini. Beberapa Aspek Hukum Adat, Badan

Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 2000, Hal. 14

95Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal 143

96 N. M. Rangkoto, Dt. Bandaro, Hubungan Mamak dengan Kemenakan Dahulu dan

(26)

2. Kemenakan bertali sutera, yaitu kemenakan jurai yang lain, tetapi masih berhubungan darah dengan jurai mamak.

3. Kemenakan bertali emas, yaitu kemenakan dibawah lutut, orang yang bekerja dibawah kita dengan diberi mas (uang) dan dengan persetujuan dijadikan kemenakan.

4. Kemenakan bertali budi, yaitu orang-orang yang pindah dari tempat asalnya ke tempat baru, dan ditempat baru ia mencari mamak baru.97 Pembentukan kepribadian setiap warga Minangkabau di titik beratkan atau bersandar sepenuhnya pada mamak dan ninikmamaknya. Sebagai akibatnya, tingkah laku sesesorang secara langsung dikaitkan dengan kemampuan atau ketidakmampuan mamaknya dalam mendidik atau membina kemenakannya. Mamak akan merasa malu atau sebaliknya bangga dengan kemenakannya. Pada zaman dahulu, lembaga pendidikan yang digunakan oleh seorang mamak untuk mendidik dan membina kemenakannya adalah “surau”. Karena itu seorang anak laki-laki yang telah berumur tujuh tahun mulai menjalani kehidupan surau sampai dia dewasa atau sampai berumah tangga. Ia akan menerima bimbingan dari mamak dan ninik mamaknya, menyangkut persoalan spiritual dan material. Pembinaan itu berlangsung pada malam hari, karena waktu siang hari digunakan untuk mencari nafkah sebagai bentuk pertanggungjawaban mamak sebagai seorang ayah.98

Kaitan erat antara mamak dan kemenakan tertuang dalam tugas dan tanggungjawab seorang mamak, dalam hal ini berfungsi sebagai pembina dan pembimbing anggota-anggota keluarga garis ibu yang terdekat. Menurut mansoer, tugas mamak adalah “mengapungkan” artinya memelihara, membina, memimpin

97Chairul Anwar, Op. Cit, 1997, Hal. 87 98Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 145

(27)

kehidupan dan kebahagiaan jasmaniah dan rohaniah kemenakan-kemenakannya dari seluruh keluarganya.99

Selain sebagai pemimpin, mamak juga merupakan tempat berlindung dan tempat mengadu bagi kaumnya. Segala perbuatan yang hendak dilakukan, yang akan membawa akibat-akibat tertentu, terlebih dahulu harus diberitahukan kepada mamak dan sekaligus minta izin dan restunya dan apabila telah selesai melakukan perbuatan tersebut diberitahukan pula hasilnya. Ada dua pengertian mamak, yaitu saudara laki-laki dari ibu dan seluruh laki-laki-laki-laki dalam suatu keluarga dipandang dari suatu generasi dibawahnya. Bahkan orang laki-laki dalam suatu persukuan merupakan mamak juga.100

Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai seorang mamak dari kemenakan-kemenakannya, dan sebagai seorang ayah dari anak-anaknya, seorang mamak harus dapat melaksanakannya secara seimbang, sesuai dengan pantun berikut: “Kaluah paku kacang balimbiang, Tempurung lenggang-lenggokkan. Anak dipangku keponakan dibimbiang. Urang kampuang dipatenggangkan.” (Keluk paku kacang belimbing. Tempurung lenggak-lenggokkan. Anak dipangku keponakan dibimbing. Orang kampung dipertenggangkan). Dengan demikian seorang mamak dapat menciptakan suatu keharmonisan antara anak dan kemenakannya, juga antara anak kemenakan dengan orang-orang kampungnya dalam berbagai aspek kehidupan.101

99

Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 144

100

Boestami, et al, Kedudukan Dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Suku Bangsa

Minangkabau, Penerbit Esa, Padang, 1992, Hal. 133

101Yahya Samin, et al, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan Dalam Kebudayaan

Minangkabau Masa Kini, Penerbit Bagian Proyek Pengajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

(28)

Mamak selain berfungsi mendidik dan membina kemenakannya, dalam adat Minangkabau mamak tertua juga berperan sebagai mamak kepala waris atau tungganai, yaitu nama jabatan dalam suatu kaum yang bertugas memimpin seluruh anggota kaum, mengurus, mengatur, mengawasi serta bertangungjawab atas harta pusaka kaum. Mamak kepala waris harus cerdas dan pintar, karena ia yang akan mengurus dan mengembangan harta pusaka kaum untuk kepentingan anak kemenakannya, yang kian hari kian berkembang, ia juga bertanggung jawab atas perbaikan, pemeliharaan dan keamanan rumah gadang serta keturunan berikutnya.102 Harta pusaka yang dikuasai oleh mamak kepala waris pada dasarnya tidak dapat dipindah tangankan, baik digadai apalagi sampai dijual. Adanya pelarangan ini pada hakikatnya adalah untuk menjaga agar jangan sampai harta pusaka itu berpindah keluar kekuasaaan kaum dan menjadi milik orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kaum tersebut. Namun dalam beberapa hal tertentu, mamak kepala waris dapat menggadaikan atau menjual harta pusaka, dengan syarat dilakukan dengan persetujuan atau paling tidak diketahui oleh anggota kaum. Sehingga dapat ditarik kesimpulan :

1. Mamak kepala waris dapat memindahkan hak atas harta pusaka tinggi kalau sudah dimusyawarahkan dengan anggota kaum dalam hal rumah gadang katirisan.

2. Mamak kepala waris tidak diperbolehkan (dilarang) untuk menjual/memindahtangankan harta pusaka kalau hanya sebagian anggota kaum yang mengetahui.

3. Mamak kepala waris dapat memindahtangankan harta pusaka tinggi kalau ia satu-satunya ahli waris yang bertali darah yang masih hidup, dengan terlebih dahulu memusyawarahkan dengan anggota kaum lainnya.103

102Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 147

103Firman Hasan, Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, Pusat Penelitian Universitas

(29)

C. Hukum Waris Adat Minangkabau Di Kecamatan Tapaktuan

Merantau tak bisa dipisahkan dari masyarakat Minangkabau, karena asal usul kata merantau itu sendiri berasal dari bahasa dan budaya Minangkabau, yaitu “rantau”. Yang pada awalnya bermakna : wilayah-wilayah yang berada diluar wilayah inti Minangkabau, diluar Luhak Nan Tigo (Luhak Tanah Data, Luhak Agam Dan Luhak Limopuluah), tempat awal mula peradaban Minangkabau. Aktivitas orang-orang dari wilayah inti tersebut ke wilayah luar disebut “merantau” atau pergi ke wilayah rantau.104

Tsuyishi Kato menemukan adanya suatu perubahan besar masyarakat Minangkabau dalam tradisi merantau sebelum 1950, dan setelah Perang Dunia ke-2. Mereka yang merantau sebelum 1950, yang berlangsung sampai puluhan tahun atau berabad ini, umumnya kampung bagi mereka tetap merupakan basis, sedang merantau berarti petualangan dalam mencari rejeki ke luar daerah. Pada waktu itu anak-anak muda pergi merantau, namun beberapa waktu kemudian kembali kekampung. Tetapi bagi perantau Minang setelah Perang Dunia ke-2, mereka merantau secara eksklusif, terkait dengan keluarga inti. Pola merantau mereka, meninggalkan daerah asalnya dengan mengajak keluarga. Atau seorang suami pergi merantau lebih dahulu, baru kemudian mendatangkan istri dan anak-anaknya. Para perantau Minangkabau ini, cenderung tinggal lebih lama, guna mendapatkan kehidupan lebih mapan. Namun demikian, kedua pola migrasi tersebut ada

104

(30)

persamaan, yaitu selalu sama-sama menggunakan kesempatan pulang kampung untuk memamerkan kekayaan, pengetahuan, dan prestise yang diperolehnya di rantau.105

Perantau Minangkabau sering disingkat dengan “perantau Minang”. Sama artinya dengan “orang Minangkabau yang mencari nafkah, penghidupan, ilmu, dan sebagainya di negeri lain atau di luar kampung halamannya. Dan Minang perantauan merupakan istilah untuk orang Minangkabau, yang hidup diluar kampung halamannya, atau di luar provinsi Sumatera Barat.106

Merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan bagi sebagaian besar masyarakat Minangkabau. Dengan merantau, tidak hanya harta kekayaan, ilmu pengetahuan yang mereka dapat, juga prestise dan kehormatan individu ditengah-tengah lingkungan adat. Disamping itu, banyak pula masyarakat Minangkabau merantau untuk mencari perubahan dalam kehidupan. Karena itu, walau semua perantau berasal dari keluarga petani di desa-desanya, namun tidak satupun di antara mereka yang memegang pekerjaan yang sama dengan sebelumnya di kampung halaman. Mereka dari masyarakat petani berubah menjadi pedagang, ilmuwan, pengusaha bahkan menjadi pejabat tinggi negara dan sebagainya. Dalam hal bidang usaha, para perantau Minang umumnya memilih kegiatan atau usaha yang dibutuhkan orang banyak, seperti rumah makan, tukang jahit, fotokopi, kelontong, toko buku, bidang jasa, atau kegiatan dakwah, sehingga memudahkan mereka untuk membaur dan menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya.107

105

Ibid.

106Ibid, Hal. 653

(31)

Seiring berjalannya waktu, pengertian merantau sekarang bukan lagi mengenai perluasan wilayah, tetapi berdagang dan mencari kehidupan baru diperantauan. Faktor lain yang mendorong orang Minangkabau untuk pergi merantau cukup banyak, di antaranya adalah karena faktor tradisi atau budaya, faktor ekonomi, pendidikan dan faktor peperangan. Adapun sebagai berikut:108

1. Faktor Budaya : ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan, sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumahnya hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan beserta suuaminya, dan anak-anak. Sedangkan kaum laki-laki, harus tidur bersama teman-teman sesama laki-laki di surau, hingga mendorong mereka untuk mencari tempat yang lebih baik, diantaranya dengan merantau.

2. Faktor Ekonomi : masyarakat Minangkabau telah mengembangkan keterampiannya di bidang pertanian, akan tetapi karena bertambahnya populasi penduduk, tanah yang tersedia tidak mencukupi lagi untuk memberi kehidupan layak bagi penduduk yang jumlahnya selalu bertambah, jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sebagai sumber utama tempat orang-orang Minangkabau hidup, dapat menghidupi keluarga. Berbeda dengan kondisi sekarang, hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka, kini tak cukup lagi memberi hasil untuk kebutuhan bersama. Sebab, hasil pertanian harus dibagi dengan beberapa keluarga. Hal inilah salah satunya, yang mendorong lelaki Minangkabau untuk pergi merantau.

3. Mendalami Ilmu : pada zaman dulu, tidak adanya sekolah dan pendidikan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi di Minangkabau, mengakibatkan banyak pelajar Minangkabau merantau, dengan tujuan mendalami ilmu. Merantau dengan tujuan mendalami ilmu, sering terbatas pada golongan/kelompok tertentu saja. Meskipun terbatas, faktor ini menjadi mampu merangsang pelajar Minang lainnya untuk merantau. Pelajar yang sukses di rantau membukakan jalan untuk pelajar berikutnya. Dan konsep asli dari merantau itu sendiri, memang untuk mencari ilmu dan pengalaman dalam rangka mempersiapkan diri lebih baik, agar dapat hidup berguna dikampung halaman nanti, sesudah kembali dari rantau.

108

(32)

4. Faktor Perang : orang Minangkabau merupakan masyarakat yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Mereka selalu merasa bangga dengan perlawanan terhadap kekuatan luar, baik dari Jawa maupun Eropa. Seperti muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam perang Belasting menentang belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926-1927. Karena itu, beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau, terutama dari daerah konflik, setelah Perang Padri. Berikutnya setelah kemerdekaan, muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.

Dengan didorong oleh faktor-faktor tersebut, dan didukung dengan daerah perantauan yang dapat menjanjikan ketenangan dan kesuksesan, menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat Minang perantauan, sehingga masyarakat Minangkabau menjadi jarang untuk mengunjungi kampung halaman dan memilih menetap di Kecamatan Tapaktuan. Hal itu disebab juga karena kecamatan Tapaktuan merupakan daerah yang ramah penduduknya, kaya akan hasil alamnya, memiliki pesona wisata yang indah, serta memiliki kenyamanan dan ketenangan untuk ditempati.109

Menetapnya masyarakat Minangkabau di kecamatan Tapaktuan, akan menyebabkan adanya perkembangan terhadap hukum adat kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan terjadinya pencampuran dua adat yang berbeda. Meskipun terdapat beberapa kesamaan dalam pengaturan hukum adatnya, namun jika dilihat dari sistem kekerabatannya sudah memperlihatkan adanya perbedaan dari masing-masing masyarakat adatnya, khususnya dalam hal kewarisan.

109 Wawancara dengan Bapak Ari Kurniawan, Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan,

(33)

Sebagaimana yang kita ketahui, pada masyarakat Tapaktuan yang menarik garis keturanan secara parental/ bilateral, sedangkan pada masyarakat Minangkabau menarik garis kekerabatan secara matrilinieal. sehingga terhadap hukum adat waris yang digunakan juga terdapat perbedaan, dimana Adat Aceh yang sepenuhnya di dasarkan kepada Hukum Islam, sedangkan adat Minangkabau membagi waris dengan 2 (dua) kelompok warisan, yaitu pusako tinggi untuk garis perempuan, dan pusako randah secara hukum fara’idh.

Hukum adat Minangkabau khususnya dalam hal waris yang digunakan terhadap pembagian harta pusako tinggi sudah tidak dapat dijalankan sepenuhnya oleh masyarakat Minangkabau yang berada diperantauan, mengingat pembagian harta pusaka disyaratkan harus tetap berada di daerah asal, Minangkabau. Syarat ini disebabkan pada mulanya harta pusaka diperoleh oleh nenek moyang, yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi menurut garis ibu. Sehingga penggunaan atau pengeloaan pusaka tersebut tidak berpindah dari tempat asalnya, dan tidak jatuh kepada orang lain diluar kaum.110

Ada dua bentuk harta yang menjadi milik suatu kaum, yaitu harta milik bersama kaum yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan yang merupakan harta yang diwarisi dari beberapa generasi sebelumnya.111Dan harta yang didapat dari hasil usaha sendiri dari anggota kaum, yang kemudian disebut harta pencaharian.112

110Wawancara Dengan Ibu Dasmayanti, Ketua IKAMI Tapaktuan, tanggal 28-Februari-2016

di Tapaktuan

111Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 189 112Amir Syarifuddin (Buku I), Op. Cit, Hal. 261

(34)

Terhadap harta pusako tinggi yang merupakan pusaka turun temurun yang berada di daerah asal Minangkabau, masyarakat Minangkabau yang menetap dan tinggal di daerah Tapaktuan pada saat sekarang ini hampir keseluruhan sudah tidak menggunakan sistem pembagian pusako tinggi tersebut. Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan sudah melakukan pembagian warisan dengan mengikuti hukum adat yang berlaku di Aceh, yang juga sesuai dengan hukum fara’idh.

Hukum adat yang berlaku di Minangkabau bukan suatu hukum yang salah, melainkan suatu bentuk hukum yang tepat, dikarenakan pemberian pusaka yang ditujukan pada garis keturunan perempuan akan membawa banyak manfaat bagi anggota kaum, dikarenakan anak perempuan dapat menjaga pusaka lebih baik, jika dibanding dengan anak laki-laki, walaupun dalam pelaksanaannya anak perempuan tetap berada dalam pengawasan seorang mamak. Namun, besarnya kepercayaan dan rasa sayang yang sama besarnya terhadap anak-anak menjadikan sebagian besar masyarakat Minangkabau di Tapaktuan memilih untuk membagi warisan secara hukum adat Aceh, yang memberikan warisan kepada seluruh anak, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga seluruh anak-anaknya dapat mewarisi harta peninggalan pewaris.113

Selain rasa percaya dan rasa kasih sayang yang sama besarnya terhadap anak-anak, masyarakat Minang perantauan melakukan pembagian waris secara hukum adat yang berlaku di Aceh ( hukum fara’idh) disebabkan karena adanya

113 Wawancara dengan Ibu Musnar, Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal l

(35)

pemahaman yang lebih dalam mengenai Hukum Islam khususnya dalam hal pewarisan, sehingga masyarakat Minang perantauan lebih memahami akan bagian warisan yang telah ditentukan oleh Hukum Islam. Sejalan dengan itu, masyarakat Minang perantauan sudah seharusnya mengikuti hukum adat ditempat yang menjadi daerah perantauannya.114

Meskipun hampir keseluruhan masyarakat Minangkabau dalam pelaksanaan pembagian warisan sudah menggunakan hukum adat Aceh, dan sangat memegang pepatah yang menyatakan Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjung, (dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung), masih juga terdapat masyarakat Minangkabau yang membagi warisan secara pusako tinggi yang ada di kampung asal mereka, Minangkabau. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya kerabat dari masyarakat Minang perantauan yang berada di Minangkabau. Pewarisan yang disyaratkan harus berada di kampung asal pusaka ini berada, dilakukan sama halnya dengan pembagian pusako tinggi pada umumnya, yaitu dengan cara memberikan warisan kepada ahli waris anak perempuan tertua yang ditinggalkan pewaris. Namun yang menjadi pembeda antara ahli waris pusako tinggi lainnya adalah dalam hal pengelolaannya. Pusako tinggi yang diberikan kepada anak perempuan seharusnya dikelola dan dimanfaatkan langsung dengan sebaik-baiknya oleh anak perempuan dengan dijaga dan diawasi oleh mamaknya, namun terhadap ahli waris pusako tinggi (anak perempuan) yang berada

114 Wawancara dengan Bapak Atiak, orang yang dituakan oleh masyarakat Minangkabau di

(36)

diperantauan, oleh ahli waris tersebut pengelolaannya diberikan kepada orang lain untuk menjaga pusaka tersebut selama ahli waris tersebut berada diperantauan, Bukan dikelola oleh ahli waris tersebut sendiri.115

Tabel 3 : Hasil Wawancara Responden

No. Nama Hukum Adat Yang

Digunakan Dalam Pewarisan Adat Aceh/ Hukum Islam Adat Minangkabau 1. AN √ 2. AR √ 3. AT √ 4. BR √ 5. BP √ 6. DY √ 7. ES √ 8. FA √ 9. FM √ 10. ID √ 11. JM √ 12. MA √ 13. MD √ 14. MI √ 15. MN √ 16. MZL √ 17. OR √ 18. OY √ 19 RA √ 20 RH √ 21 RM √ 22. SA 23. SC 24. SU

115 Wawancara dengan Bapak Andri, masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal

(37)

25. WA

26. WD

27. YD √

28. YL

No. Nama Hukum Adat Yang

Digunakan Dalam Pewarisan Adat Aceh/ Hukum Islam Adat Minangkabau 29 ZS 30. ZT Jumlah 26 4

Sumber : Data Primer

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa masih terdapat perbedaan dalam penerapan hukum waris adat pada masyarakat Minangkabau yang ada di kecamatan Tapaktuan. Tidak keseluruhan masyarakat Minangkabau memakai hukum adat Minangkabau, dan juga tidak keseluruhannya memakai hukum adat Aceh. Hampir sebagian besar masyarakat Minangkabau sudah memilih menggunakan hukum adat Aceh dalam pembagian warisan, namun juga ada beberapa keluarga yang masih menerapkan hukum waris adat Minangkabau di perantauan.

Tabel 4 : Penggunaan Hukum Waris Adat Masyarakat Minangkabau Di Tapaktuan

n = 30 No. Hukum Waris Adat Yang Digunakan Frekuensi Persentase 1.

2.

Waris Adat Aceh

Waris Adat Minangkabau

26 4

86,6 13,3

Jumlah 30 100

(38)

Berkurangnya jumlah masyarakat Minangkabau yang menggunakan hukum waris adat Minangkabau dalam pembagian waris disebabkan oleh sebagaian besar masyarakat Minangkabau yang telah mengerti dan memahami makna dari pepatah yang menyatakan dimana langik dipijak disitu bumi dijunjung, yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur budaya sendiri, sehingga bagi masyarakat Minangkabau hukum adat yang digunakan sekarang adalah hukum adat dimana tempat mereka tinggal dan menetap sekarang, yaitu hukum adat Aceh. Ditambah lagi hukum adat yang di gunakan di Aceh adalah sejalan dengan Hukum Islam, sehingga secara langsung masyarakat Minang perantauan juga lebih memahami mengenai pewarisan serta bagian-bagian yang ada dalam Hukum Islam. Harta pusako tinggi yang tidak dapat dibawa keluar dari kampung asal, juga menjadi hal yang dapat dimengerti oleh masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, sehingga pusako tinggi tersebut langsung diberikan kepada ahli waris yang lain yang berhak dan ada di Minangkabau.

Gambar

Tabel 1: Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Selatan Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 2 : Perbandingan Hukum Waris Adat No. Sistem Kekerabatan,
Tabel 3 : Hasil Wawancara Responden
Tabel 4 : Penggunaan Hukum Waris Adat Masyarakat Minangkabau Di Tapaktuan

Referensi

Dokumen terkait

Pegawai Pada Hotel Alamanda Klaten Dengan Menggunakan Metode Weighted Product (WP)”, Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer Amikom

hanya dalam rapat desa pendamping desa selalu berperan untuk menghadiri rapat.

Volume penjualan yang dapat dihasilkan oleh kapasitas. usaha pada saat

HETODE

[r]

Prosiding Seminar Nasional Perhepi Pengelolaan Agribisnis Pangan Pola Korporasi Pada Lahan Sub Optimal ISBN:

Penilaian keterampilan dilakukan guru dengan melihat kemampuan peserta didik dalam mengkomunikasikan hasil analisis sistem pemerintahan demokrasi berdasarkan

UUD itu rumusannya tertulis dan tidak berubah.Adapun pendapat L.C.S wade dalam bukunya contution law,UUD menurut sifat dan fungsinya adalah suatu naskah yang memafarkan kerangk