• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kemudian hari. Apabila mampu mendidik, merawat dan menjaga dengan baik,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kemudian hari. Apabila mampu mendidik, merawat dan menjaga dengan baik,"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1   

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan generasi penerus yang akan menentukan arah bangsa di kemudian hari. Apabila mampu mendidik, merawat dan menjaga dengan baik, maka di masa mendatang anak-anak akan menjadi generasi penerus yang kuat dan tangguh. Bagaikan sebuah bibit bunga, apabila diberikan tempat berkembang, perawatan serta pemeliharaan yang baik, maka bibit itu akan tumbuh dan berkembang dengan baik hingga akhirnya nanti tiba masa berbunga yang akan memberikan keindahan luar biasa.

Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki kedudukan strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.1 Selain dijamin oleh negara, jaminan hak dan

perlindungan bagi anak dibebankan juga kepada setiap orang tua, hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Hal ini mengandung makna bahwa kedua orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan kehidupan serta pendidikan yang layak bagi seorang anak guna menjamin masa depannya.

Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya       

▸ Baca selengkapnya: apabila nic sudah terinsall dengan baik, maka dapat dilihat melalui

(2)

pelanggaran hak asasi manusia.2 Lebih lanjut penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah bagian yang tidak

terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental dan sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.

Perlindungan terhadap hak-hak anak diatur pula sebagai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat dalam setiap individu manusia, dimana hak tersebut muncul bersamaan dengan dimulainya kehidupan manusia, mulai dari seorang bayi dalam kandungan hingga manusia tersebut kembali ke Sang Penciptanya. HAM merupakan hak yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa dan berlaku secara universal. HAM tersebut merupakan hak yang harus dilindungi keberadaannya, karena merupakan hak yang paling hakiki dalam menjamin berjalannya suatu peradaban di dunia.

Mengingat pentingnya keberadaan HAM tersebut, berbagai negara di belahan dunia, berlomba-lomba membuat aturan hukum untuk menjamin bahwa HAM di negaranya telah terlindungi. Bahkan sebelum aturan-aturan mengenai HAM muncul di berbagai negara, aturan-aturan mengenai perlidungan hak asasi       

2 Bagian Menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(3)

telah disepakati secara internasional dan berlaku secara universal. Berdasarkan aturan internasional tersebut, berbagai negara memasukkan aturan internasional ke dalam peraturan perundang-undangan di negaranya.

Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Gultom3 menyatakan bahwa :

HAM merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum. Melindungi hak dapat terjamin apabila hak-hak itu merupakan bagian dari hukum, yang memuat prosedur hukum untuk melindungi hak-hak tersebut. Hukum pada dasarnya merupakan cerminan dari HAM, sehingga hukum itu mengandung keadilan atau tidak, ditentukan oleh HAM yang dikandung dan diatur atau dijamin oleh hukum itu. Hukum tidak lagi dilihat sebagai refleksi kekuasaan semata-mata, tetapi juga harus memancarkan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Perlindungan terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, dimana dalam pasal-pasal tersebut termuat mengenai perlindungan hak hidup hingga perlindungan hukum dan pembebasan anak dari segala bentuk diskriminasi. Pasal 52 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara, serta disampaikan pula bahwa hak       

3 Maidin Gultom, 2008 Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana

(4)

anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut, hak asasi terhadap anak mendapat perlindungan bahkan sejak anak tersebut masih dalam kandungan.

Terkait perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum ditegaskan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dimana diatur bahwa setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, tidak dikenai hukuman mati maupun seumur hidup, serta diupayakan bahwa pelaksanaan penangkapan, penahanan, atau pidana penjara merupakan upaya hukum terakhir sesuai hukum yang berlaku. Dalam hal anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali demi kepentingannya, serta berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif, berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Perkembangan kehidupan masyarakat yang selaras dengan perkembangan teknologi informasi serta komunikasi, secara tidak langsung membawa dampak perubahan bagi seorang anak. Sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa anak perlu mendapatkan perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup

(5)

sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Penyimpangan tingkah laku dan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.

Data anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa dampak perkembangan pembangunan serta kemajuan teknologi turut mengambil andil dalam mempengaruhi perkembangan anak, serta menjadi salah satu faktor penyimpangan tingkah laku dan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak.

Kasus anak yang berhadapan dengan hukum, baik anak sebagai korban, saksi maupun tersangka di Indonesia tergolong masih cukup tinggi. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, menyebutkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap anak 3,02%. Artinya, di antara 100 anak terdapat 3

anak yang mengalami kekerasan.4

Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) triwulan 4 tahun 2013 kepada Presiden RI menyebutkan pada tahun 2012 terdapat 1051 anak menjadi korban kekerasan, kekerasan seksual sebanyak 436 kasus (41, 48%). Tahun 2013, terdapat 15 anak per bulan sebagai pelaku kekerasan seksual yang berhadapan dengan hukum. Selain itu, dilaporkan juga terjadi peningkatan jumlah       

4 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014),

http://www.depkes.go.id/article/print/201408140003/tingkatkan-kerjasama-dan-kewaspadaan-kekerasan-pada-anak.html diakses pada Tanggal 3 April 2016

(6)

anak pelaku pencabulan dari 162 kasus (15,52%) tahun 2010 menjadi 237 kasus

(22, 77%) pada tahun 2013.5

Data yang diperoleh dari Bareskrim Polri menyebutkan bahwa perkara Anak di seluruh Indonesia yang ditangani Polri akhir tahun 2014 tercatat 603 perkara, sedangkan tahun 2015 menurun menjadi 500 kasus, dimana beberapa kasus telah dilimpahkan ke kejaksaan sedangkan sisanya masih dalam proses penyidikan oleh

Kepolisian.6 Tingginya kasus yang melibatkan anak, khususnya anak yang

berkonflik dengan hukum di Indonesia, mengharuskan aparat penegak hukum semakin profesional dalam menangani kasus anak, guna menjaga dan memenuhi hak-hak anak yang telah diatur dalam Konstitusi Indonesia dalam rangka tetap menjaga tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus bangsa.

Maraknya tindak pidana yang melibatkan anak baik sebagai korban, saksi maupun pelaku mendorong pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA), karena undang-undang terdahulu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.

Dalam Penjelasan UU SPPA dinyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan       

5   Ibid 

6 Andri Saubani (2016), “Polri Tangani 500 kasus Anak”

http://www.republika.co.id/berita/koran/hukum-koran/16/01/11/o0rv8711-polri-tangani-500-kasus-anak diakses pada Tanggal 3 Maret 2016

(7)

mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberikan kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Namun demikian, dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Disebutkan dalam penjelasan UU SPPA bahwa substansi yang paling mendasar dalam UU SPPA adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, dengan melibatkan semua pihak seperti korban dan orangtua/wali, tersangka dan

(8)

orang tua/wali, Pembimbing Kemasyarakatan, serta pekerja sosial professional guna menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan.

Adapun tujuan dilaksanakan diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak pelaku tindak pidana, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Dalam Pasal 9 ayat (2) UU SPPA dinyatakan bahwa kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan anak pelaku tindak pidana dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Dimunculkannya pasal di atas adalah untuk menjaga rasa keadilan bagi pihak korban dan keluarganya, karena dalam peristiwa tindak pidana yang terjadi, korban dan keluarganya adalah pihak yang menderita akibat perbuatan dari pelaku (Anak Pelaku).

Tanpa mengesampingkan rasa keadilan untuk korban maupun keluarganya, munculnya frase “harus” dalam Pasal 9 ayat (2) UU SPPA menyebabkan korban atau keluarga seolah-olah menjadi pemutus atau penentu keberhasilan sebuah diversi, karena kesepakatan baru terjadi ketika korban atau keluarga setuju. Hal ini membuka peluang terjadinya upaya-upaya pemerasan maupun aksi balas dendam pihak korban kepada pelaku (Anak Pelaku), padahal jelas diatur dalam UU SPPA bahwa semangat yang dikedepankan adalah keadilan restoratif dengan

(9)

mengedepankan penyelesaian dengan cara musyawarah oleh para pihak yang terlibat untuk menghindarkan anak yang berhadapan dengan hukum dari proses peradilan yang panjang, stigma negatif serta bukan upaya pembalasan.

Diversi sendiri diartikan dalam UU SPPA adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi merupakan bagian dari keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Tingginya tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku dan di sisi lain hak-hak anak harus tetap mendapatkan perlindungan demi kepentingan terbaik bagi anak, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengkhusus kepada proses penyelesaian masalah di luar pengadilan dengan melibatkan semua pihak yang terkait atau biasa disebut diversi sebagai implementasi pelaksanaan

restorative justice yang merupakan salah satu bentuk pemenuhan hak bagi anak.

Dalam penelitian ini, diteliti secara empiris mengenai implementasi diversi sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum serta kebijakan yang seharusnya ditempuh dalam pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan adalah suatu kondisi yang menunjukkan ketidakseimbangan antara sesuatu yang diharapkan atau yang seharusnya (das sollen) dengan kenyataan yang sedang berlangsung (das sein). Permasalahan juga bisa diartikan

(10)

sebagai suatu keadaan yang menantang untuk diperbaiki, disempurnakan, dan ditingkatkan, agar berdaya guna dan memberi manfaat yang lebih besar bagi

kehidupan manusia.7

Agar suatu penelitian itu jelas dan tidak meleset dari jalur yang ada, maka perlu diadakan suatu penuntun atau pedoman. Hal ini tak lain adalah merumuskan masalah secara benar dan jelas. Perumusan masalah diperlukan dengan maksud untuk mengungkapkan pokok-pokok pikiran secara jelas dan sistematis mengenai hakikat dari suatu masalah yang ada, sehingga lebih mudah memahaminya.

Bertolak dari latar belakang yang peneliti sampaikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah implementasi diversi sebagai salah satu bentuk

pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum pada tahap penyidikan?

2. Bagaimanakah kebijakan yang seharusnya ditempuh dalam

pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan?

C. Tujuan Penelitian

Tidak banyak perbedaan tujuan antara penelitian hukum dan penelitian

ilmu-ilmu sosial lainnya,8 pada umumnya bertujuan dari suatu penelitian hukum

adalah untuk :

      

7   Hadari Nawawi dan Mimi Martini, 1994, Penelitian Terapan, UGM Press, Yogyakarta, hlm. 36. 

8   Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hlm. 49. 

(11)

1. Mendapatkan pengetahuan tentang gejala hukum, agar dapat merumuskan masalah serta memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai suatu gejala hukum, sehingga dapat merumuskan hipotesa.

2. Untuk menggambarkan secara lengkap aspek-aspek hukum dari :

a. Suatu keadaan b. Perilaku pribadi

c. Perilaku kelompok tanpa didahului hipotesa.

3. Mendapatkan keterangan tentang frekuensi peristiwa hukum, serta

memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala hukum dengan gejala lain (yang biasanya berlandaskan hipotesa).

4. Menguji hipotesa yang berisikan hubungan-hubungan sebab-akibat (harus didasarkan pada hipotesa).

Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagaimana telah diulas dalam latar belakang maupun rumusan masalah di atas adalah :

1. Mengetahui implementasi diversi sebagai salah satu bentuk

pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum pada tahap penyidikan.

2. Mengkaji kebijakan yang seharusnya ditempuh dalam pelaksanaan

diversi pada tahap penyidikan.

D. Manfaat Penelitian

Ilmu pengetahuan berkembang dari tahun ke tahun dan mengharuskan manusia untuk terus melatih kemampuan diri agar tidak tertinggal dengan

(12)

perkembangannya. Ilmu hukum pun selalu mengalami perkembangan selaras dengan perkembangan masyarakatnya. Khusus kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai anak, baik terkait kesejahteraannya maupun perlindungan hukum untuk anak selalu mengalami perubahan ke arah yang lebih baik seiring dengan perkembangan kesadaran masyarakat. Melalui penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan (kegunaan akademis) maupun bagi masyarakat luas (kegunaan praktis).

1. Kegunaan Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, yang penulis khususkan lagi bagi anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku tindak pidana.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi hukum khususnya para pihak yang bersentuhan langsung dalam suatu penanganan perkara pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku. Adapun para pihak yang bersentuhan langsung antara lain :

a. Penyidik maupun Penyidik Pembantu

Penyidik maupun Penyidik Pembantu pada Satuan Reserse Kriminal, khususnya Unit Perempuan dan Anak (PPA) merupakan pihak yang pertama kali bersentuhan secara langsung dalam penanganan suatu perkara yang melibatkan anak maupun perempuan. Penelitian ini

(13)

diharapkan mampu memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai proses pelaksanaan diversi sebagai salah satu proses pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum sehingga dapat digunakan sebagai sarana evaluasi terhadap pelaksanaan tugas sebagai penyidik anak.

b. Orang Tua dari tersangka

Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 UU SPPA dijelaskan bahwa setiap anak dalam proses peradilan berhak untuk mendapat pendampingan oleh orang tua atau wali yang dipercaya oleh anak. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan membaca penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi kepada orang tua yang melakukan pendampingan terhadap anaknya agar memperoleh gambaran mengenai hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum khususnya dalam pelaksanaan diversi sehingga dapat menjadi sarana kontrol sosial dalam proses penyidikan.

c. Penasihat Hukum

Di dalam Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dijelaskan bahwa tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih, atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, maka pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan

(14)

wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Berdasarkan ketentuan tersebut, penasihat hukum atau pengacara berperan sangat penting dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak seorang tersangka yang didampingi. Peneliti berharap dengan membaca penelitian ini dapat memberikan referensi bagi penasihat hukum yang mendampingi anak yang berkonflik dengan hukum, sehingga dapat memberikan pendampingan hukum secara maksimal serta sekaligus sebagai sosial kontrol dalam pelaksanaan proses peradilan khususnya dalam tahap penyidikan.

d. Pembimbing Kemasyarakatan

Pembimbing Kemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. Peneliti mengharapkan dengan membaca penelitian ini dapat memberikan referensi mengenai proses pelaksanaan diversi sebagai salah satu pemenuhan hak anak dalam proses penyidikan, sehingga dapat menjadi bahan acuan dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak.

e. Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga sosial profesional maupun lembaga swadaya masyarakat merupakan lembaga yang biasanya melakukan pendampingan terhadap seorang anak demi menjamin terlaksananya hak-hak bagi anak. Penulis mengharapkan dengan membaca penelitian ini dapat memberikan

(15)

gambaran proses pelaksanaan diversi sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak anak dalam penyidikan serta menjadi salah satu acuan bagi lembaga sosial dalam memberikan pendampingan serta melakukan kontrol sosial dalam suatu proses penyidikan anak.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang penulis angkat merupakan hasil pemikiran penulis yang kebetulan didapat dari pelaksanaan tugas sehari-hari penulis selaku Penyidik Kepolisian pada satuan reserse kriminal. Kasus-kasus mengenai anak-anak yang berhadapan dengan hukum beraneka ragam mulai dari anak sebagai korban, saksi maupun anak sebagai pelaku tindak pidana. Dalam kesempatan ini penulis meneliti mengenai pelaksanaan diversi sebagai salah satu upaya pemenuhan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana dalam proses penyidikan sebagaimana diatur dalam UU SPPA.

Sebelum melaksanakan penelitian ini, penulis melakukan beberapa studi pustaka guna mencari beberapa penelitian sejenis guna menunjukkan sisi keaslian penelitian dari penulis. Adapun beberapa tulisan yang menurut penulis memiliki kemiripan dengan ide dasar dari penelitian yang dilakukan penulis antara lain :

1. Tesis oleh Tri Agustini (2015), Mahasiswa Magister Hukum Litigasi

Universitas Gadjah Mada, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap

Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pencabulan Di Kota Jambi”.9 Pokok

permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah bagaimana       

9   Tri Agustini, 2015, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pencabulan Di Kota Jambi”, Tesis, Magister Hukum Litigasi, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(16)

pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan di Kota Jambi dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun pengadilan.

Adapun kesimpulan yang disampaikan bahwa perlindungan anak korban tindak pidana pencabulan dalam tahap penyidikan, penuntutan serta pengadilan dilakukan dengan memberikan ruangan khusus serta teknik khusus dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap anak, dilakukan pendampingan khusus selama proses peradilan, pelaksanaan sidang secara tertutup dan larangan untuk peliputan oleh media selama proses peradilan berlangsung.

Perbedaan antara penelitian di atas dengan yang dilakukan penulis terletak pada subjek penelitian, dimana dalam penelitian di atas yang menjadi subjek adalah anak sebagai korban sedangkan dalam penelitian penulis yang menjadi subjek adalah anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku tindak pidana. Selain hal tersebut di atas, objek penelitian dalam tulisan ini adalah mengenai pelaksanaan diversi sebagai implementasi pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum sebagaimana diatur dalam UU SPPA, sedangkan dalam penelitian oleh Tri Agustini menitikberatkan pada perlindungan hukum secara umum.

2. Tesis oleh Ashari Kurniawan (2012), Mahasiswa Magister Hukum Litigasi

Universtias Gadjah Mada dengan judul “Pelaksanaan Penahanan Terhadap Anak Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Dikaitkan Dengan Pendekatan Sistem Keadilan Restoratif Di Wilayah Hukum Kabupaten dan

(17)

Kota Magelang”.10 Permasalahan yang diangkat dalam tulisan tersebut adalah mengenai dasar aparat penegak hukum menggunakan kewenangan melakukan penahanan terhadap Anak serta bagaimana cara melakukan penahanan dengan memperhatikan hak-hak dan kepentingan untuk tumbuh kembang Anak.

Adapun kesimpulan dalam penulisan tersebut adalah aparat penegak hukum melaksanakan penahanan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana mendasari kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sedangkan terkait tata cara pelaksanaan penahanan baru sebatas pemisahan tempat penahanan orang dewasa dan anak-anak, terkait perhatian pada hak-hal dan kepentingan Anak untuk tumbuh kembang bisa dikatakan belum ada.

Apabila disandingkan tulisan di atas dengan penelitian yang penulis lakukan terdapat persamaan yaitu mengenai pemenuhan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum (anak sebagai tersangka), tetapi dalam penulisan di atas penelitian hanya fokus pada pemberian hak-hak anak sebagai pelaku yang dikenakan penahanan, sedangkan dalam penelitian yang penulis lakukan adalah fokus pada pelaksanaan dibersi sebagai implementasi pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam semua proses penyidikan. Selain hal tersebut di atas, dasar hukum Undang-Undang       

10  Ashari Kurniawan, 2012, “Pelaksanaan Penahanan Terhadap Anak yang Diduga Melakukan Tindak Pidana dikaitkan dengan Pendekatan Sistem Keadilan Restoratif di Wilayah Hukum Kabupaten dan Kota Magelang”, Tesis, Magister Hukum Litigasi, Fakultas Hukum, Universtias Gadjah Mada, Yogyakarta.

(18)

Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menjadi dasar hukum penelitian di atas sudah tidak berlaku lagi semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

3. Tesis oleh Ferry Ferdiansyah (2012), Mahasiswa Magister ilmu Hukum

Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan Judul “Penerapan Konvensi Hak Anak Dalam Upaya Memberikan

Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Di Indonesia”.11

Permasalahan dalam tesis di atas meneliti apakah perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana di Indonesia telah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam Konvensi Hak Anak tahun 1989.

Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah penerapan perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang merupakan cerminan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tertuang dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak Resolusi PBB nomor 109 Tahun 1990 yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disusun dalam rangka mewujudkan tujuan restorative justice sebagai salah satu alternatif pemidanaan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Di dalamnya dinyatakan bahwa penangkapan, penahanan dan       

11   Ferry Ferdiansyah, 2012, “Penerapan Konvensi Hak Anak dalam Upaya Memberikan Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana di Indonesia”, Tesis, Magister ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 

(19)

penghukuman/pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum (ultimum remidium) dan untuk jangka waktu yang paling pendek/waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun demikian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 belum sepenuhnya mengacu kepada Konvensi Internasional khususnya

Beijing Rules, karena keputusan Diversi digantungkan kepada keputusan

korban.

Apabila diperbandingkan penelitian di atas dengan yang penulis lakukan, terdapat perbedaan mendasar di antara keduanya, yaitu penelitian di atas fokus meneliti apakah aturan mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sudah sesuai dengan Konvensi Internasional tentang anak, khususnya Beijing Rules, sedangkan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti secara empiris dan normatif mengenai pelaksanaan diversi di Indonesia sebagai salah satu upaya pemenuhan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Di tengan kontestasi politik Muslim Indonesia, reinterpretasi Islam Nurcholish Madjid berimplikasi dalam perkembangan intelektual berikutnya yang didapati perubahan orientasi

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kepada Allah sehingga dengan karunianya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Analisis

Optimasi proses densifikasi limbah biomassa pertanian jerami padi dilakukan mengunakan rancangan Box-Behnken tiga level dan tiga faktor, yang masing-masing variabel

Latar belakang penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penilaian prestasi kerja yang terdiri dari aspek-aspek yang dinilai, penilai, metode penilaian dan umpan

Rekapitulasi Nilai Perdagangan Saham Berdasarkan Tipe Investor

Uji yang dilakukan di labotatorium adalah uji Mekanika Tanah dengan mengambil sampel tanah di lokasi saluran, uji yang dilakukan adalah uji sifat fisik tanah dan uji kuat

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana upaya yang dilakukan oleh Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah terhadap penerapan hak cipta yang ada pada koleksi

Berdasarkan hasil dari penelitian dan analisis yang telah di lakukan oleh penulis tentang Pelaksanaan Manajemen Kemitraan PT Buana Wira Lestari Mas dengan Petani