• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Budaya Organisasi

2.1.1 Pengertian Budaya Organisasi

Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut para ahli:

1) Menurut Schein (2009:27), budaya organisasi adalah pola asumsi bersama yang dipelajari oleh suatu kelompok dalam memecahkan masalah melalui adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja cukup baik untuk dipertimbangkan kebenarannya, oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk melihat, berpikir, dan merasakan kaitannya dengan masalah-masalah yang ada.

2) Menurut Munandar (2006:262), budaya organisasi terdiri dari asumsi-asumsi dasar yang dipelajari baik sebagai hasil memecahkan masalah yang timbul dalam proses penyesuaian dengan lingkungannya, maupun sebagai hasil memecahkan masalah yang timbul dari dalam organisasi. 3) Menurut Robbins (2003:525), budaya organisasi “A system of shared

meaning held by members that distinguishes the organization from other organization”. Budaya organisasi merupakan suatu sistem dari makna atau arti bersama yang dianut para anggotanya yang membedakan organisasi dari organisasi lainnya.

(2)

4) Menurut Umar (2010:207), Budaya organisasi adalah suatu sistem nilai dan keyakinan bersama yang diambil dari pola kebiasaan dan falsafah dasar pendirinya yang kemudian berinteraksi menjadi norma-norma, dimana norma tersebut dipakai sebagai pedoman cara berpikir dan bertindak dalam upaya mencapai tujuan bersama.

5) Menurut Kotler (2005:77), budaya organisasi adalah pengalaman, cerita, keyakinan, dan norma bersama yang menjadi ciri organisasi. Namun, bila memasuki perusahaan apa saja, hal pertama yang anda hadapi adalah budaya cara mereka berpakaian, cara mereka berinteraksi satu sama lain, dan juga cara mereka menyambut pelanggan.

Dengan mendasarkan berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan satu unsur terpenting dalam perusahaan yang hakikatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada didalamnya. Menurut Schein (2009:28), hal yang dapat kita sadari bahwa budaya itu bersifat stabil dan sulit untuk berubah karena budaya mencerminkan akumulasi pembelajaran dari sebuah kelompok (cara mereka berpikir, merasakan, dan meyakinkan dunia bahwa budaya dapat menciptakan kesuksesan suatu organisasi). Selanjutnya Schein (2009) mengungkapkan bahwa kita akan mulai menyadari bahwa tidak ada budaya yang benar atau salah, tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk, kecuali dalam hubungannya bagaimana cara suatu organisasi bertindak dan lingkungan apa yang mendukung jalannya suatu operasi organisasi. Dengan demikian, setiap individu

(3)

yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.

2.1.2 Dimensi Budaya Organisasi

Jika suatu organisasi menerapkan budaya kuat maka itu akan mendorong terjadinya peningkatan keefektifan pada organisasi tersebut, menurut Robbins (2003:527), budaya yang kuat dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama-sama secara luas.

Dibawah ini akan dijelaskan mengenai karateristik yang merupakan nilai inti dari organisasi yang dapat membantu terciptanya budaya yang kuat. Dimana karateristik tersebutlah yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Menurut Robbins, dalam Umar (2010:208), untuk menilai kualitas budaya suatu organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor utama, yaitu sebagai berikut:

1) Inisiatif individu, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi yang dipunyai individu.

2) Toleransi terhadap tindakan beresiko, yaitu sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil resiko

3) Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai organisasi.

(4)

4) Integrasi, yaitu tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.

5) Dukungan manajemen, yaitu tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka.

6) Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai. 7) Indentitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota teridentifikasi

dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian professional. 8) Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan

gaji, promosi) didasarkan atas criteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, pilih kasih, dan sebagainya.

9) Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh mana para pegawai diberikan kebebasan untuk mengemukakan masalah yang ada dan memberikan kritik secara terbuka.

10) Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.

Menjelaskan salah satu faktor dari dimensi diatas yaitu integrasi, Menurut Schein (2009:27), budaya organisasi adalah pola asumsi bersama yang dipelajari oleh suatu kelompok dalam memecahkan masalah melalui adaptasi eksternal dan integrasi internal. Integrasi internal meliputi visi, misi, teknologi, dan struktur organisasi. Dimana dalam hal ini para karyawan mengembangkan identitas

(5)

kolektif dan tahu bagaimana bekerja sama secara efektif. Inilah budaya yang menuntun hubungan kerja sehari-hari dan menentukan bagaimana karyawan didorong untuk bekerja dengan cara yang terstruktur dalam hal penyampaian informasi dari bawahan ke atasan, maupun dari atasan ke bawahan.

Dalam hal ini penulis hanya menggunakan 6 karateristik yang akan dijadikan indikator yaitu, toleransi terhadap tindakan beresiko, arah, integrasi, dukungan manajemen, toleransi terhadap konflik, dan pola-pola komunikasi. Dimana keenam indikator ini digunakan karena menyesuaikan dengan keadaan organisasi yang akan diteliti.

2.2 Motivasi Kerja 2.2.1 Pengertian Motivasi

Motivasi itu sendiri didefinisikan oleh para ahli sebagai berikut:

1) Menurut Robbins (2003:156), motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan usaha terus menerus seorang individu untuk mencapai tujuannya.

2) Menurut Mathis dan Jackson (2006:114), motivasi adalah keinginan dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak. 3) Menurut Koesmono (2005) dalam jurnal Manajemen dan

Kewirausahaan, motivasi adalah suatu perilaku yang dilakukan seseorang atas dorongan dalam tujuan untuk memenuhi kebutuhannya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya.

(6)

2.2.2 Pengertian Motivasi Kerja

Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian motivasi kerja menurut para ahli:

1) Menurut George dan Jones (2005:175), motivasi kerja adalah suatu kebutuhan psikologis didalam diri seseorang yang menentukan arah perilaku seseorang didalam organisasi yang menyebabkan pergerakan, arahan, usaha, dan kegigihan dalam menghadapi rintangan untuk mencapai suatu tujuan.

2) Menurut Munandar (2006:323), motivasi kerja adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Tujuan yang jika berhasil dicapai, akan memuaskan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

3) Menurut Robbins (2003:208), motivasi kerja adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual.

4) Menurut Wagner dan Hollenbeck (2009:81), seseorang yang termotivasi untuk bekerja akan terus ingin belajar mengetahui hal-hal baru untuk meningkatkan performa kerjanya.

Dari kumpulan definisi diatas mengenai motivasi, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu keadaan atau kondisi yang mendorong,

(7)

merangsang, atau menggerakkan seseorang untuk melakukan seuatu kegiatan untuk mencapai tujuan.

2.2.3 Teori – Teori Motivasi

1. Teori Kebutuhan Hierarki (Maslow Theory)

Menurut Abraham Maslow, dalam Munandar (2006:326), mengemukakan bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi mengejar yang berkesinambung. Jika satu kebutuhan dipenuhi, langsung kebutuhan tersebut diganti oleh kebutuhan lain. Tingkat kebutuhan tersebut ditunjukkan dalam 5 tingkatan, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks, yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting.

Dimana Teori tersebut ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 2.3 Teori Hirarki Maslow Sumber: wikipedia.com

(8)

Kebutuhan manusia dibagi menjadi lima tingkatan hirarki piramid, yaitu:

1) Physiological (kebutuhan psikologikal), yaitu kebutuhan yang

timbul berdasarkan kondisi psikologikal badan kita, seperti kebutuhan untuk makanan dan minuman, kebutuhan udara segar.

2) Safety (kebutuhan rasa aman), yaitu kebutuhan keamanan jiwa,

raga, dan harta benda milik. Jika dikaitkan dengan kerja maka kebutuhan akan keamanan sewaktu bekerja, perasaan aman yang menyangkut masa depan karyawan.

3) Social needs (kebutuhan sosial), yaitu kebutuhan untuk memiliki

keluarga dan sanak saudara, rasa dihormati, status sosial, harga diri, dan kebutuhan pendidikan agama.

4) Self esteem (kebutuhan harga diri), yaitu keinginan untuk dipuji dan

keinginan untuk diakui prestasi kerjanya. Keinginan untuk didengar dan dihargai pandangannya.

5) Self actualization (kebutuhan aktualisasi diri), yaitu kebutuhan

untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk menjadi kreatif, kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensinya secara penuh. 2. Teori Dua Faktor Frederick Herzberg

Menurut Herzberg, dalam Munandar (2006:331) mengasumsikan bahwa, sekelompok faktor, motivator, menyebabkan tingkat kepuasan dan motivasi kerja yang tinggi, akan tetapi, faktor-faktor hygiene dapat

(9)

menimbulkan ketidakpuasan kerja. Teori ini meneliti tentang dua kondisi yang mempengaruhi seseorang dalam pekerjaannya, yaitu:

1) Kondisi pertama adalah faktor Motivation yang berkaitan dengan isi pekerjaan, yang memiliki faktor intrinsik dari pekerjaan tersebut. Dimana sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobinya, antara lain:

a) Keberhasilan pekerjaan (Achievement): besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi. b) Pengakuan (Recognition): Besar kecilnya pengakuan yang

diberikan kepada tenaga kerja atas kinerjanya.

c) Pekerjaan itu sendiri (the work it self): berhubungan dengan bagaimana kondisi pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan oleh karyawan dari pekerjaannya. d) Tanggung jawab (Responsibility): besar kecilnya tanggung

jawab yang dirasakan dan diberikan kepada seorang karyawan. e) Pengembangan (Advancement): berhubungan dengan keinginan

yang ingin dicapai untuk kedepannya.

2) Kondisi kedua adalah Hygiene. Faktor-faktor Hygiene yang justru menimbulkan rasa tidak puas kepada para pekerja dimana elemen elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut

(10)

menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi, berkaitan dengan konteks pekerjaan, berupa faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan, yaitu:

a) Kebijakan dan administrasi perusahaan (Company policy and administration), derajat kesesuaian yang dirasakan karyawan dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam organisasi.

b) Kualitas Supervisi (Quality supervisor), derajat kewajaran penyelesaian yang dirasakan dan diterima oleh karyawan. c) Hubungan antar pribadi (Interpersonal relation), derajat

kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan karyawan lain.

d) Kondisi kerja (Working condition), derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya.

e) Gaji (Wages or salaries), derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan kinerjanya

Definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa orang bisa saja terdorong oleh motivasi ekstrinsik atau motivasi intrinsik. Tetapi jika seorang karyawan lebih terdorong oleh motivasi ekstrinsik, perusahaan harus bisa membuat hubungan yang jelas antara apa yang perusahaan ingin karyawan lakukan dengan reward atau penghargaan yang ingin didapatkan oleh karyawan.

(11)

Teori Herzberg memprediksi, bahwa manajer dapat memotivasi individu dengan “memasukkan” motivator-motivatornya kedalam pekerjaan individu, yaitu proses yang dinamakan perkayaan pekerjaan (job enrichment).

3. Teori X dan Y dari McGregor

Menurut Douglas McGregor, dalam Robbins (2003:210), mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia yang pada dasarnya negatif, disebut Teori X atau pada dasarnya manusia itu positif, disebut Teori Y. Dan dalam tingkat dimana sifat manusia itu tetap atau dapat diubah. McGregor juga mengungkapkan bahwa asumsi tersebut menentukan strategi manajerial yang nantinya akan digunakan oleh manajer.

Menurut Teori X, empat asumsi yang dimiliki oleh manajer adalah:

1) Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin, berusaha untuk menghindarinya.

2) Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan.

3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah formal bila mungkin.

4) Sebagian karyawan menempatkan kemanan diatas semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.

(12)

Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat-sifat manusia dalam Teori X, McGregor menyebutkan empat asumsi positif yang disebutnya sebagai Teori Y:

1) Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain.

2) Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi unutk mencapai berbagai tujuan.

3) Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahkan mencari, dan bertanggung jawab.

4) Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.

Jika seorang manajer tidak mempercayai karyawannya, manajer akan menggunakan jam kerja, memonitor karyawan berkali-kali, dan di sisi lain manajer akan mengkomunikasikan kurangnya kepercayaan tersebut. Karena perlakuan tersebut akhirnya karyawan akan menjadi lebih pasif, mendapatkan respon seperti itu, manajer semakin yakin dengan asumsi buruknya terhadap karyawan.

Di sisi lain jika manajer percaya dengan apa yang dikerjakan karyawan, dan percaya bahwa karyawan akan menghubungkan tujuan mereka sendiri untuk orang-orang yang ada di organisasi dan akan mendelegasikan lebih banyak, manajer akan berfungsi sebagai guru dan pelatih, dan membantu karyawan mengembangkan insentif dan

(13)

mengkontorol dimana manajer dapat memonitor secara langsung. Manajer dengan Teori Y akan lebih efektif, karena ia bisa membawa lebih banyak motivasi dan kreativitas pada karyawan.

2.2.4 Hubungan Motivasi Dengan Kinerja

Menurut Munandar (2006:324), Kinerja (Performances) adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (Abilities), dan peluang (opportunities).

1) Bila motivasi kerja rendah, maka kinerjanya akan rendah pula meskipun kemampuannya ada dan baik, serta peluangnya pun tersedia. 2) Sebaliknya, jika motivasi kerjanya tinggi, namun peluang untuk

menggunakan kemampuan-kemampuannya tidak ada atau tidak diberikan, kinerjanya juga akan rendah.

3) Jika motivasi kerjanya tinggi, peluang ada, namun karena keahliannya tidak pernah ditingkatkan lagi, kinerjanya juga tidak akan tinggi.

2.2.5 Indikasi Rendahnya Motivasi Kerja

Indikasi turunnya motivasi kerja penting diketahui oleh setiap perusahaan, karena dengan pengetahuan tentang indikasi ini akan dapat diketahui sebab turunnya motivasi kerja. Dengan demikian perusahaan dapat mengambil tindakan-tindakan pencegahan atau pemecahan masalah sedini mungkin. Indikasi-indikasi turunnya motivasi kerja antara lain sebagai berikut:

(14)

1) Turunnya produktivitas kerja

Turunnya produktivitas kerja ini dapat diukur atau dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat terjadi karena permasalahan, penundaan pekerjaan dan sebagainya. Untuk dapat mengetahui tinggi atau rendahnya produktivitas kerja, maka perusahaan harus membuat standar kerja.

2) Tingkat absensi yang tinggi

Pada umumnya apabila semangat kerja turun, maka karyawan akan malas untuk datang bekerja. Untuk melihat apakah naiknya tingkat absensi tersebut merupakan indikasi turunnya semangat kerja, maka perusahaan tidak boleh melihat tingkat absensi ini secara perorangan tetapi harus melihat secara merata.

3) Tingkat perpindahan karyawan yang tinggi

Apabila dalam perusahaan terjadi tingkat keluar masuknya karyawan naik daripada sebelumnya, maka hal ini merupakan indikasi turunnya semangat kerja. Keluar masuknya karyawan yang meningkat tersebut terutama disebabkan ketidaksenangan karyawan untuk bekerja pada perusahaan tersebut, sehingga karyawan berusaha mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih sesuai. Tingkat keluar masuknya karyawan yang tinggi selain dapat menurunkan produktivitas kerja, juga dapat menggangu kelangsungan jalannya perusahaan.

(15)

4) Kegelisahan dimana-mana

Kegelisahan akan terjadi apabila semangat kerja menurun. Seorang pemimpin harus dapat mengetahui adanya kegelisahan-kegelisahan yang timbul. Kegelisahan-kegelisahan itu dapat terwujud dalam bentuk ketidaktenangan kerja, keluh kesah serta hal-hal lain.

2.3 Kepuasan Kerja Karyawan 2.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja

1) Menurut Robbins (2003:78), kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima.

2) Menurut Mathis dan Jackson (2006:121), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang.

3) Menurut Luthans (2006:243), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting.

4) Menurut Wagner dan Hollenbeck (2009:106), kepuasan kerja (Job Satisfaction) memiliki 3 komponen, yaitu:

a) Value: Dimana seseorang secara sengaja atau tidak sengaja,

menginginkan untuk memperoleh nilai atau manfaat dari pekerjaan itu sendiri.

(16)

b) Importance of Value: Manusia dibedakan tidak hanya dari nilai-nilai yang ia yakini, tapi juga dari beban atau usaha yang diberikan untuk memenuhi nilai-nilai tersebut. Perbedaan inilah yang mempengaruhi tingkat dari kepuasan seseorang.

c) Perception: Kepuasan mencerminkan persepsi kita terhadap situasi

saat ini dan nilai-nilai yang kita yakini.

Dari kumpulan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja karyawan merupakan hasil keadaan emosional yang dirasakan seorang karyawan atas apa yang dilakukan terhadap pekerjaan mereka.

2.3.2 Teori Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja menurut Wibowo (2012:502), mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Di antara teori kepuasan kerja adalah Two-Factor Theory dan Value Theory:

1) Two – Factor Theory

Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan) merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu motivation dan hygiene factors.

Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di sekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan, kemanan, kualitas

(17)

pengawasan, dan hubungan dengan orang lain), dan bukannya dengan pekerjaan itu sendiri. Karena faktor ini mencegah reaksi negatif, dinamakan sebagai hygiene atau maintenance factors.

Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri dan pengakuan. Karena faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi, dinamakan motivators.

2) Value Theory

Menurut konsep teori ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti yang diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil, akan semakin puas. Semakin sedikit mereka menerima hasil, akan kurang puas. Value theory memfokuskan pada hasil manapun yang menilai orang tanpa memperhatikan siapa mereka. Kunci menuju kepuasan dalam pendekatan ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan seseorang.

2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Beberapa faktor penentu kepuasan kerja menurut Luthans (2005:212), adalah sebagai berikut:

(18)

1) The work it self (Pekerjaan itu Sendiri)

Pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama dari kepuasan kerja. Ada beberapa unsur yang paling penting dari kepuasan kerja yang menyimpulkan bahwa pekerjaan yang menarik dan menantang, serta perkembangan karir merupakan hal penting untuk setiap karyawan. Menurut Munandar (2006:357), Berdasarkan survey diagnostik pekerjaan diperoleh hasil tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja, yaitu:

a) Keragaman keterampilan. Banyak ragam keterampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam keterampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan.

b) Jati diri tugas (task identity). Sejauh mana tugas merupakan suatu kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa tidak puas.

c) Tugas yang penting (task significance). Rasa pentingnya tugas bagi seseorang. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh karyawan, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja.

d) Otonomi. Pekerjaan memberikan kebebasan, ketidakgantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja.

(19)

e) Adanya timbal balik (feedback) pada pekerjaaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan kerja.

2) Pay (Gaji)

Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji di persepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja.

3) Promotion Opportunity (Kesempatan Promosi)

Kesempatan untuk dipromosikan nampaknya memiliki dampak dalam kepuasan kerja. Hal ini disebabkan karena promosi mengambil beberapa bentuk yang berbeda dan memiliki keanekaragaman dari yang menyertai kompensasi. Contohnya, apabila seorang karyawan naik jabatan, gaji karyawan tersebut juga naik sesuai dengan jabatannya dan kepuasan kerja karyawan tersebut juga meningkat. Menurut Hasibuan (2005:108), mengemukakan promosi berasaskan keadilan terhadap penilaian kejujuran, kemampuan dan kecakapan karyawan. Penilaian harus jujur dan objektif, tidak pilih kasih. Karyawan yang mempunyai peringkat terbaik hendaknya mendapatkan kesempatan pertama untuk dipromosikan tanpa melihat suku, golongan, dan keturunannya.

(20)

4) Supervisor (Atasan)

Hubungan antara atasan dan bawahan bisa disebut dengan hubungan fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu bawahan, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi karyawan, misalnya dengan memberikan pekerjaan yang menantang. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antarpribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa.

5) Co-Worker (Rekan Kerja)

Hubungan yang ada antar pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak, yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul karena mereka, dalam jumlah tertentu, berada dalam satu ruangan, sehingga mereka dapat saling berinteraksi, dalam artian kebutuhan sosialnya terpenuhi. Rekan kerja memberikan sumber-sumber semangat, kenyamanan, nasihat, dan bantuan kepada karyawan individu. Kelompok kerja yang baik dapat membuat pekerjaan menjadi menyenangkan.

6) Working Condition (Kondisi Kerja)

Keadaan atau suasana di tempat kerja merupakan faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja. Bila kondisi kerjanya baik, bersih, atraktif, dan nyaman, maka karyawan akan merasa mudah dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja.

(21)

2.3.4 Dampak Ketidakpuasan Kerja

Robbins (2003:82), mengemukakan bahwa ada konsekuensi ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Gambar dibawah ini menunjukan empat respons yang berbeda dari satu sama lain bersama dengan dua dimensi:

Gambar 2.4 Respon-Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja

Respons-respon tersebut didefinisikan seperti berikut:

1) Keluar (Exit): Perilaku ketidakpuasan yang ditujukan untuk meninggalkan organisasi termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.

2) Aspirasi (Voice): Secara aktif dan konstruksif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja.

3) Kesetiaan (Loyalty): Secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan hal yang benar”.

(22)

4) Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus-menerus, kurangnya usaha, dan meningkatnya angka kesalahan.

2.4 Kinerja karyawan 2.4.1 Pengertian Kinerja

Kinerja karyawan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai berikut:

1) Menurut Mathis dan Jackson (2006:378), mengemukakan bahwa kinerja karyawan adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan.

2) Menurut Susilaningsih (2008), dalam Jurnal Excellent, kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output kuantitaif maupun kualitatif, kreativitas, fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi.

3) Menurut Kreitner dan Kinicki (2008:36), kinerja adalah nilai dari sekelompok perilaku karyawan yang berkontribusi, baik positif atau negatif, terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja tidak berdiri sendiri tapi berhubungan dengan kepuasan kerja dan dipengaruhi oleh keterampilan,kemampuan dan sifat – sifat individu. Dengan kata lain kinerja ditentukan oleh kemampuan, keinginan dan lingkungan. Oleh karena itu agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai keinginan yang

(23)

tinggi untuk mengerjakan dan mengetahui pekerjaannya serta dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan.

2.4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja yang dicapai karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjamin kelangsungan hidup organisasi. Dalam mencapai kinerja yang tinggi beberapa faktor yang mempengaruhi, menjadi pemicu apakah kinerja pegawai tinggi atau rendah. Menurut Mangkunegara (2006:16) Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja yang baik faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi, yaitu:

1) Faktor Individu

Secara psikologis, individu yang normal yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka inidividu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. Dimana jika diuraikan, faktor individu dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

a) Pengetahuan (Knowledge)

Yaitu kemampuan yang dimilki karyawan yang lebih berorientasi pada intelegensi dan daya pikir serta penguasaan ilmu yang luas

(24)

yang dimiliki karyawan.Pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, media dan informasi yang diterima. b) Keterampilan (Skill)

Kemampuan dan penguasaan teknis operasional dibidang tertentu yang dimiliki karyawan. Seperti keterampilan konseptual (Conseptual Skill), keterampilan manusia (Human Skill), dan keterampilan teknik (Technical Skill)

c) Faktor motivasi (Motivation)

Motivasi diartikan sebagai suatu sikap pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja dilingkungan perusahaannya. Mereka yang bersikap positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja yang tinggi, sebaliknya jika mereka bersifat negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pemimpin, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.

2) Faktor Lingkungan Organisasi

Faktor lingkungan organisasi yang mempengaruhi prestasi kerja individu yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, 42 iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai.

(25)

2.4.3 Elemen-Elemen Untuk Mengukur Kinerja Karyawan

Menurut Mathis dan Jackson (2006:378), kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut:

1) Kuantitas dari hasil

Jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan. 2) Kualitas dari hasil

Mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran “tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran. 3) Ketepatan waktu dari hasil

Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan secara optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan kerugian.

4) Kehadiran atau absensi

Tingkat kehadiran merupakan sesuatu yang menjadi tolak ukur sebuah perusahaan dalam mengetahui tingkat partisipasi karyawan pada perusahaan.

(26)

5) Kemampuan bekerja sama

Kemampuan bekerja sama dapat menciptakan kekompakan sehingga dapat meningkatkan rasa kerja sama antar karyawan.

2.4.4 Penilaian Kinerja

Menurut Mathis dan Jackson (2006:377), penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi seberapa baik karyawan melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat standar, dan kemudian mengkomunikasikan informasi tersebut kepada karyawan. Penilaian kinerja juga disebut pemeringkatan karyawan, evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja, dan penilaian hasil.

Penilaian kinerja digunakan secara luas untuk mengelola upah dan gaji, memberikan umpan balik kinerja, dan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan karyawan secara individual. Penilaian kinerja yang dilakukan dengan buruk akan membawa hasil yang mengecewakan untuk semua pihak yang terkait. Tetapi tanpa penilaian kinerja formal akan membatasi pilihan pemberi kerja yang berkaitan dengan pendisiplinan dan pemecatan. Penilaian kinerja dapat menjawab pertanyaan mengenai apakah pemberi kerja telah bertindak adil atau bagaimana pemberi kerja mengetahui bahwa kinerja karyawan tersebut tidak memenuhi standar.

Perusahaan biasanya menggunakan penilaian kinerja dalam dua peran yang memiliki potensi konflik, yaitu:

(27)

1) Penggunaan administratif, untuk mengukur kinerja dalam memberikan imbalan kerja atau keputusan administratif lainnya mengenai karyawan. Promosi atau pemecatan dapat tergantung pada peran ini, dimana sering kali menciptakan tekanan bagi para manajer untuk melakukan penilaian.

2) Penggunaan pengembangan individu, dalam hal ini manajer berperan lebih sebgai seorang penasihat dibandingkan seorang hakim, yang akan mengubah atmosfer hubungan. Peran ini menekankan dalam mengidentifikasikan potensi dan merencanakan kesempatan pertumbuhan dan arah karyawan.

2.5 Peneliti Terdahulu

2.5.1 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Menurut penelitian yang dilakukan oleh Brahmasari dan Suprayetno (2008) yang berjudul “Pengaruh Motivasi kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja karyawan Serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan”, dalam jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, dimana didapat kesimpulan bahwa budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan, hasil penelitian ini mengemukakan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja yang ditunjukan oleh koefisien jalur = 2.078 dan p (0.000) ≤ α (0.05) artinya budaya organisasi secara positif dan searah berpengaruh terhadap kepuasan kerja, artinya budaya organisasi merupakan suatu konsep yang dapat dijadikan sarana untuk mengukur kesesuaian

(28)

dari tujuan organisasi, strategi dan organisasi tugas, serta dampak yang dihasilkan, karena tanpa ukuran yang valid dan reliable dari aspek kritis budaya organisasi maka pernyataan tentang dampak budaya pada kepuasan kerja karyawan akan terus berdasarkan spekulasi.

2.5.2 Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mamik, Siti Surasri, dan Sunarti (2008) yang berjudul “Pengaruh kedisiplinan, Motivasi Kerja, dan Komitmen Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan”, dalam jurnal Administrasi, dimana didapat kesimpulan bahwa hasil analisis regresi linier berganda maupun uji hipotesis (uji F dan uji t) pada penelitian ini menunjukkan bahwa baik secara simultan maupun parsial, variabel kedisiplinan, motivasi kerja dan komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Kontribusi variabel bebas secara bersama-sama memiliki pengaruh terhadap perubahan kepuasan kerja karyawan sebesar 51,8% sedangkan sisanya sebesar 48,2% dipengaruhi variabel lain di luar variabel bebas yang diteliti.

Hasil perhitungan regresi linier berganda menunjukkan nilai koefisien regresi variabel motivasi kerja (X₂) adalah sebesar 0,351 artinya jika motivasi kerja berubah 1 satuan, maka kepuasan kerja karyawan akan berubah sebesar 0,351 dengan asumsi variabel bebas yang lain tetap. Tanda koefisien regresi X₂ yang positif menandakan hubungan yang searah, artinya jika variabel motivasi kerja meningkat ke arah yang lebih positif 1 tingkatan maka kepuasan kerja karyawan pada industri kertas di Jawa Timur juga akan meningkat sebesar 0,351.

(29)

2.5.3 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sartika, Swasto, dan Susilo (2008), yang berjudul “Pengaruh Budaya Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Dinas Pekerjaan Umun di Sumatera Selatan”, dimana berdasarkan analisis statistik inferensial memakai analisis jalur dan anlisis regresi linear berganda yang distandarisasi hipotesis kedua yang menyatakan ada pengaruh yang signifikan antara variabel budaya organisasi terhadap variabel kinerja karyawan, terbukti dan hipotesis diterima. Hal tersebut ditunjukkan dengan pengaruh variabel budaya terhadap variabel kinerja karyawan senilai 0,324. Budaya yang telah ada pada organisasi pemerintah dapat dikatakan sudah baik, tetapi hal tersebut perlu ditingkatkan, mengingat budaya yang ada dapat memberikan dampak yang sangat positif terhadap kinerja karyawan.

2.5.4 Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susilaningsih (2008) yang berjudul, “Pengaruh Kepemimpinan, Disiplin, Motivasi, Pengawasan, dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai”, dimana didapat kesimpulan bahwa variabel motivasi kerja secara parsial/individual berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai, hal ini dapat ditunjukkan melalui hasil pengujian nilai t hitung = 4,138 > t tabel = 2.000, dan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,025. Artinya Ho ditolak.

(30)

2.5.5 Pengaruh Kepuasan Kerja Karyawan Terhadap Kinerja Karyawan Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kesuma (2007), dengan judul, “ Pengaruh Lingkungan Kerja, Motivasi dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Serta Dampaknya Terhadap Kinerja Pegawai”, dimana didapat kesimpulan dari hasil pengujian pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai sebesar -16,5% menandakan pengaruh langsung yang negatif. Dari hasil hipotesis menjelaskan bahwa Standarized regression weight antara kepuasan kerja dengan kinerja pegawai adalah -0,198 dengan nilai probabilitas sebesar 0,248. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh tersebut tidak signifikan. Hasil ini tidak memberikan dukungan atas hipotesis “terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai”. Artinya kepuasan kerja tidak mempengaruhi kinerja pegawai.

2.5.6 Pengaruh Budaya Organisasi, Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja Karyawan Secara Simultan Terhadap Kinerja Karyawan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih, Sumarni, dan Ratnawati (2009) dengan judul “Pengaruh Budaya organisasi, Kepuasan kerja, dan Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jambi”, pada jurnal Manajemen Bisnis dan Publik. Hasil penelitian dalam pengaruhnya secara simultan menunjukkan F hitung sebesar 25,647 dan F tabel sebesar 2,8663 dengan tingkat kepercayaan 95%. Jadi F hitung lebih besar dari F tabel yang artinya bahwa secara bersama-sama variabel bebas yang terdiri dari variabel budaya organisasi, kepuasan kerja,

(31)

dan motivasi berpengaruh signifikan terhadap variabel kinerja. Dengan demikian apabila budaya organisasi lebih diperbaiki, kepuasan kerja dan motivasi ditingkatkan secara bersama-sama maka akan berdampak pada peningkatan kinerja karyawan begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian dapat diketahui nilai koefisien determinasi (Adjusted R.Square) yaitu 0,6812 atau 68,12%. Artinya bahwa kinerja pegawai dipengaruhi sebesar 68,12% oleh budaya organisasi, kepuasan kerja, dan motivasi.

(32)

2.6 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran Budaya Organisasi (X₁)

• Toleransi terhadap tindakan yang beresiko

Arah Integrasi Dukungan Manajemen • Toleransi terhadap konflik Pola-pola komunikasi Motivasi Kerja (X₂) • Faktor Motivasi • Faktor Hygiene

Kepuasan Kerja Karyawan (Y) Pekerjaan itu sendiri

Gaji

Kesempatan promosi

Atasan

Rekan Kerja

Kondisi kerja

PT.ASURANSI ASTRA BUANA

Kinerja Karyawan (Z) • Kuantitas dari hasil • Kualitas dari hasil

• Ketepatan waktu

• Kemampuan bekerja sama

• Kehadiran atau absensi Sumber: Penulis, 2012

(33)

2.7 Hipotesis

Menurut Sugiyono (2008:93), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.

Ho : tidak ada pengaruh antar variabel Ha : ada pengaruh antar variabel

Berdasarkan dari permasalahan yang diajukan dan tujuan penelitian serta tinjauan pustaka, maka kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

Untuk T – 1 1. Hipotesis 1

Ho : Variabel budaya organisasi dan motivasi kerja tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel

kepuasan kerja karyawan.

Ha : Variabel budaya organisasi dan motivasi kerja memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan.

2. Hipotesis 2

Ho : Variabel budaya organisasi tidak berkontribusi secara parsial dan

signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan.

Ha : Variabel budaya organisasi berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan.

(34)

3. Hipotesis 3

Ho : Variabel motivasi kerja tidak berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja.

Ha : Variabel motivasi kerja berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja.

Untuk T – 2 4. Hipotesis 4

Ho : Variabel budaya organisasi, motivasi kerja dan kepuasan kerja karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel kinerja karyawan.

Ha : Variabel budaya organisasi, motivasi kerja dan kepuasan kerja karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel kinerja karyawan.

5. Hipotesis 5

Ho : Variabel budaya organisasi tidak berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

Ha : Variabel budaya organisasi berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

6. Hipotesis 6

Ho : Variabel motivasi kerja tidak berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

Ha : Variabel motivasi kerja berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

(35)

7. Hipotesis 7

Ho : Variabel kepuasan kerja karyawan tidak berkontribusi secara

parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. Ha : Variabel kepuasan kerja karyawan berkontribusi secara parsial

Gambar

Gambar 2.4 Respon-Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja
Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran Budaya Organisasi (X₁)

Referensi

Dokumen terkait

PT Trisulapack Indah (TPI) merupakan salah satu plant dalam pabrik Maspion Unit III yang merupakan pabrik pembuat karton yang berbasis make to order dimana pengaturan jam kerja untuk

Orientasi merupakan tahapan yang dilakukan oleh penyaji untuk memfokuskan pada materi yang berkaitan dengan bentuk tari tradisi gaya Surakarta Putri jenis Srimpi, wireng

Adapun jenis kedua yaitu yang tidak berakhiran dengan tanwin insya Alloh akan kita bahas tatkala kita membicarakan tentang isim yang yang tidak menerima tanwin, baik

Dalam kaitan itu, kami berharap forum ini dapat menjadi momentum yang tepat untuk mengaitkan kembali benang merah diantara kita, merumuskan kembali kesamaan pandang dalam

1.1.5.4 revisi rencana, program kegiatan, pelaksanaan program berdasar hasil monitoring 1.2.1.1 SK kepala puskesmas tentang jenis-jenis pelayanan yang disediakan oleh

yang diperoleh dari hasil fraksinasi ekstrak senyawa antimikrob selanjutnya diuji aktivitasnya terhadap P. dengan metode bioautografi. Hasil uji inimenunjukkan ketiga

Hasil uji manova tentang pengaruh strategi pembelajaran, kemampuan akademik, dan interaksi antara strategi pembelajaran dan kemampuan akademik menunjukkan bahwa;

Hubungan kami yang sangat erat dengan sumber data seperti BPS, Bank Indonesia, BKPM, Asosiasi Industri, dll, sehingga kami dapat segera membantu pengguna jika