• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

o 2.1 Wisata dan Belanja o 2.1.1 Wisata

o 2.1.1.1 Definisi Wisata

Pengertian wisata menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan, didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Sedangkan menurut World Tourism Organization (WTO) wisata berarti kegiatan orang-orang yang bepergian ke tempat-tempat di luar lingkungan mereka biasanya tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk rekreasi, bisnis dan keperluan lainnya tidak terkait dengan pelaksanaan kegiatan ekonomik tempat yang dikunjungi. Jadi wisata mengandung unsur sementara untuk menikmati obyek wisata dan bukan kegiatan ekonomik.

Pariwisata bukan hanya sekedar bepergian dan berwisata saja, melainkan juga timbulnya keterkaitan lain yang berhubungan dengan destinasi wisata tersebut. Para ahli menjabarkan tujuan pariwisata sebagai optimalisasi pemanfaatan dan pengembangan sumber-sumber daya pariwisata (Nurhidayati 2011), sehingga dapat disimpulkan bahwa pariwisata adalah sebuah lembaga yang berhubungan dengan banyak sekali interaksi dengan pihak lain.

2.1.1.2 Wisatawan

Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata (UNDANG-UNDANG 1990). Wisatawan domestik perannya sangat besar dalam menumbuhkan dan mengembangkan obyek-obyek wisata (Santosa 2009). Obyek-obyek wisata yang sering dan padat dikunjungi oleh wisatawan memperoleh                

(2)

Pacific Area Travel Association memberi batasan bahwa wisatawan

sebagai orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan dalam jangka waktu 24 jam dan maksimal 3 bulan di dalam suatu negeri yang bukan negeri di mana biasanya ia tinggal (Santosa 2009). Istilah kunjungan wisata merujuk untuk tinggal di tempat yang dikunjungi selama wisata perjalanan. Memasuki wilayah geografis yang tanpa berhenti disana tidak memenuhi syarat sebagai kunjungan ke daerah itu (UN 2010). Spillane (1987) membagi katagori wisatawan menjadi wisatawan dan pelancong. Wisatawan ialah pengunjung sementara yang tinggal sekurang-kurangnya 24 jam sedangkan pelancong ialah yang tinggal kurang dari 24 jam. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa wisatawan melakukan kunjungan di destinasi wisata dimana dalam perjalanan tersebut sekurang-kurangnya adalah 24 jam dan maksimal 3 bulan.

2.1.1.3 Motivasi Berwisata

Seorang individu mengadakan perjalanan wisata karena didorong oleh berbagai motif yang tercermin dalam berbagai macam jenis pariwisata (Rosenbaum and Spears 2009). Perjalanan ini dilakukan oleh pengunjung yang memenuhi syarat dimana perjalanannya disebut sebagai perjalanan wisata. Pariwisata mengacu pada aktivitas pengunjung (UN 2010). Khusus untuk jumlah wisatawan dalam negeri masing-masing negara jumlahnya lebih besar dan kelompok ini merupakan penggerak utama perekonomian nasional (Santosa 2009) Fondness (1994) dalam Rosenbaum&Spears (2009) mengelompokkan motivasi berwisata dalam lima faktor: Ego enhancement, merepresentasikan motivasi internal seorang wisatawan untuk memberitahu orang lain tentang dirinya atau perjalanannya. Knowledge function, merepresentasikan sesuatu yang memotivasi wisatawan untuk belajar tentang suatu kultur dan jalan hidup yang berbeda. Punishment-minimization, merepresentasikan ketertarikan wisatawan untuk bersantai dalam sebuah obyek wisata dan meninggalkan beban aktivitas sehari-hari di rumah dan di tempat kerja. Self-esteem, Mengukur keinginan                

(3)

seorang wisatawan untuk dimanjakan saat berlibur dengan baik mengenai makanan dan akomodasi yang nyaman. Reward-maximization, merepresentasikan keinginan seorang wisatawan untuk mendapatkan variasi dalam hidupnya melalui perjalanan. Rosenbaum&Spears (2009) menambahkan shopping motivation sebagai variable ke-enam yang menjadi motif manusia melakukan wisata.

Gambar 2.1 Model struktural motivasi wisatawan (Rosenbaum and Spears 2009)                

(4)

2.1.2 Belanja

2.1.2.1 Definisi Belanja

Kegiatan belanja merupakan salah satu kegiatan dasar manusia, dikatakan dasar karena manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik tanpa adanya kegiatan tersebut. Belanja merupakan kegiatan pemerolehan barang atau jasa dari penjual dengan tujuan pembeli pada waktu itu (Wikipedia). Kegiatan berbelanja meliputi dua aktivitas, yaitu aktivitas memperoleh informasi tentang ketersediaan pilihan, karakteristik, dan detail transaksi di sebuah toko ritel dan aktivitas memperoleh barang dan jasa (Fathonah 2009).

Aktivitas berbelanja terjadi ketika adanya kebutuhan konsumen akan barang-barang tertentu, cukup waktu dan uang yang dialokasikan untuk bepergian ke sebuah toko atau pergi berbelanja, atau ketika seorang konsumen membutuhkan perhatian, ingin bersama sahabat-sahabat, keinginan untuk bertemu orang-orang yang mempunyai minat serupa, merasakan kebutuhan untuk berlatih atau mempunyai waktu luang (Japarianto 2010). Dalam penerapannya, secara sekilas belanja terlihat sederhana namun pada kenyataannya terdapat hal-hal tertentu yang harus diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan karakteristik barang yang dibutuhkan dan faktor-faktor eksternal di sekitar.

2.1.2.2 Motivasi Berbelanja

Penelitian tentang shopping pada awalnya menitik beratkan pada tujuan ekonomi berbelanja. Sehingga pendekatan ini tidak bisa memahami hal-hal yang bersifat emosi dan hal lain yang tidak terukur yang muncul ketika orang berbelanja (Holbrook, 1986; Babin et al., 1994; Fun Jansen, 2006 dalam Yasin 2012). Bettman (1979) mengemukakan bahwa dalam melakukan pembelanjaan, konsumen cenderung melakukan pembelanjaan secara logis, dimana pembelanjaan dilakukan berdasarkan kebutuhan dan konsumen melakukan penelaahan informasi produk berdasarkan kebutuhan. Namun hal lain dikemukakan oleh Holbrook dan Hirschman (1982) dimana konsumen melakukan                

(5)

pembelanjaan berdasarkan pengalaman emosional saat berbelanja (Abednego 2011). Soundström, Lundberg et al. (2011) menyebutkan, dalam riset pemasaran, motivasi belanja konsumen sering dikategorikan dalam tipologi belanja konsumen (Wagner 2007). Dalam bentuk yang paling dasar, tipologi konsumen dibagi menjadi rasional (utilitarian) dan hedonistik (Bellenger and Korgaonkar 1980), sehingga memberikan dasar teoritis untuk memahami mendasari pengalaman sosial pembelanja, dan kebutuhan utilitarian (Wagner 2007).

2.1.3 Belanja Wisatawan

Penelitian terhadap wisatawan saat ini telah mengidentifikasi dua jenis wisatawan berdasarkan teori motivasi, dan telah digunakan istilah yang pada awalnya tampak membingungkan satu sama lain untuk menggambarkan mereka :

shopping tourists and tourism shoppers (Soundström, Lundberg et al. 2011).

Perbedaan ini sangat penting untuk kompilasi data pada arus wisatawan dan pengunjung dan kredibilitas Statistik Pariwisata (UN 2010).

1. Shopping Tourists

Soundström, Lundberg et al. (2011) mendefinisikan shopping tourists sebagai wisatawan dengan belanja sebagai alasan utama mereka untuk bepergian. Sedangkan menurut Arnold dan Reynolds (2003) dalam Japarianto (2010) pengertian tourist shopper atau wisatawan pembelanja adalah orang yang melakukan aktivitas berbelanja sambil berwisata. Jadi, shopping tourist atau wisatawan pembelanja adalah orang yang melakukan aktivitas belanja sebagai tujuan utama dalam melakukan perjalanan wisata.

2. Tourism Shoppers

Soundström, Lundberg et al. (2011) mendefinisikan tourism shoppers sebagai wisatawan yang memiliki kebutuhan primer lainnya sebagai alasan untuk bepergian, tapi yang melibatkan belanja sebagai sebuah kegiatan insidental selama perjalanannya. Jadi pengertian dari tourism shoppers adalah orang yang berwisata                

(6)

dan dalam kegiatan tersebut mereka melakukan aktivitas belanja. Sehingga untuk menarik wisatawan dengan kategori ini maka haruslah tersedia stimulus yang efektif agar terjadi kegiatan pembelanjaan di destinasi belanja wisatawan.

o 2.2 Motivasi Belanja Wisatawan o 2.2.1 Pengalaman Belanja Wisatawan

Belanja wisatawan dapat dikategorikan berdasarkan faktor yang mempengaruhi perilaku mereka (Soundström, Lundberg et al. 2011). Belanja sebagai komponen penting dalam berwisata merupakan campuran dari persepsi produk, layanan dan tempat (Tosun, Temizkan et al. 2007). Wisatawan yang datang ke suatu destinasi dalam jangka tertentu akan membelanjakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidup selama berada di destinasi wisata (Nurhidayati 2011). Pengeluaran dan konsumsi wisatawan, khususnya wisatawan pembelanja telah menarik minat banyak sarjana dan praktisi karena dampak signifikan kontribusi belanja pada perekonomian nasional, industri pariwisata dan sektor ritel (Kattiyapornpong and Miller 2012).

Para peneliti setuju belanja sebagai kegiatan pariwisata telah mengalami peningkatan secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, oleh karena itu pusat belanja atau tempat-tempat perbelanjaan menjadi lebih penting untuk pariwisata sehari-hari (Yimsrisai and Khemarangsan 2012). Belanja wisatawan tersebut akan membawa dampak ekonomi pada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung (Nurhidayati 2011).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memotivasi Wisatawan untuk Berbelanja

Meskipun wisata belanja adalah fenomena yang dikenal oleh hampir semua orang, namun membangun sebuah kerangka kerja ilmiah dan definisi wisata belanja agak rumit (Tömöri 2010). Alasan dikembangkannya Shopping

Motivation adalah bahwa dalam aktivitas belanja seseorang termotivasi oleh

berbagai kebutuhan psikologis disamping juga faktor dari nilai guna suatu produk                

(7)

(Japarianto 2010). Alasan murni menjadi faktor penentu dalam berbelanja, dimana seseorang menggunakan uang untuk membeli sesuatu yang diinginkan, tetapi seringkali mereka tidak bertujuan untuk membeli melainkan hanya melihat-lihat berbagai macam jenis barang yang ditawarkan.

Dalam bentuk yang paling dasar, Musriha (2011) yang mengutip dari Hirschman and Holbrook (1982) memaparkan, orientasi belanja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: orientasi utilitarian dan orientasi hedonic.

Utilitarian didasarkan alasan functional atau tangible, sedangkan hedonic lebih

bersifat pleasurable atau intangible (Solomon 2007; dalam Musriha 2011). Orientasi belanja utilitarian bertumpu pada perolehan barang, kegiatan berbelanja bukan sesuatu hal yang menyenangkan tetapi sesuatu hal yang bermanfaat (Musriha 2011) sedangkan nilai hedonic dipercaya dapat berpotensi memberikan hiburan dalam berbelanja (Fathonah 2009).

1. Motivasi Hedonistic

Motivasi hedonistic dalam pembelian berkaitan dengan perasaan, kesenangan yang dapat ditangkap oleh panca indra (Fathonah 2009). Soundström, Lundberg et al. (2011) menyebutkan konsumsi hedonistic didasarkan pada keinginan dan alasan yang disebut sebagai bentuk kegiatan dari perilaku konsumen yang berhubungan dengan multi-sensory, imajinatif, dan emosi aspek dari satu pengalaman dengan produk-produk.

Hedonistic Shopping merupakan suatu keinginan seseorang untuk

mendapatkan suatu kesenangan bagi dirinya sendiri yang dapat dipenuhi dengan cara menghabiskan waktu untuk mengunjungi pusat perbelanjaan, menikmati suasana atau atmosfer yang ada di pusat perbelanjaan itu meskipun mereka tidak membeli apapun atau hanya melihat-lihat saja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi belanja hedonistic adalah motivasi belanja yang cenderung pada pemuasan kebutuhan secara emosional sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan strategi dalam menarik wisatawan.

               

(8)

Motif belanja hedonistic dikembangkan oleh Arnold&Reynolds (2003) dalam Subagio (2011) dengan beberapa indikator yang meliputi, pertama adalah

adventure shopping. Belanja adalah tantangan, sensasi, menggembirakan, masuk

lingkungan universal yang menyenangkan. Kedua adalah Social shopping. Sosi-alisasi adalah tujuan utama dari pembelanja ketika mereka pergi belanja. Ketiga adalah Gratification shopping. Kehidupan yang kompleks saat ini dan tingkat stres meningkat di masyarakat. Beberapa orang belanja untuk menghilangkan stress. Keempat adalah Idea Shopping. Berbelanja memberikan pengetahuan baru perkembangan trend baru dan model baru. Kelima adalah Role shopping. Peranan belanja direfleksikan dalam kenikmatan, dipengaruhi oleh perasaan dan keadaan hati. Keenam adalah Value shopping. Orang belanja untuk menemukan barang yang baik dan bernilai bagi dirinya.

Kim (2006) meneliti dan membandingkan motivasi hedonistic dan

utilitarian terhadap pengunjung pusat kota dan pinggiran kota. Dan menemukan

bahwa konsumen dalam kota memiliki motivasi yang berbeda yang mungkin lebih dari sekedar hiburan, konsumen dalam kota menggunakan belanja sebagai aktivitas. Bagi sebagian kalangan belanja bukan hanya sekedar alat pemenuhan kebutuhan melainkan objek rekreasi.

2. Motivasi Utilitarian

Menurut Kim (2006) aspek perilaku utilitarian konsumen diarahkan kepada pemuasan kebutuhan fungsional atau ekonomi, dan belanja diarahkan pada tugas dan nilainya ketimbang pada keberhasilan atau penyelesaian. Motif

utilitarian untuk berbelanja yang dievaluasi pada dasar dari rasional keputusan

dan pembelian tersebut kebutuhan fungsional pelanggan (Soundström, Lundberg et al. 2011). Motif utilitarian menekankan pada nilai belanja yang bermanfaat, sebagai sesuatu yang terkait dengan tugas, masuk akal, berhati-hati, dan efisiensi aktifitas (Subagio 2011). Utilitarian need, merupakan atribut produk fungsional yang objektif (Japarianto 2010).

               

(9)

Orientasi belanja utilitarian bertumpu pada perolehan barang, kegiatan berbelanja bukan sesuatu hal yang menyenangkan tetapi sesuatu hal yang bermanfaat (Musriha 2011). Mengadaptasi item dari skala yang dikembangkan oleh Babin et al. (1994), Kim (2006) ditemukan dua dimensi motivasi utilitarian, yaitu, efficiency dan achievement. Efficiency mengacu pada kebutuhan konsumen untuk menghemat waktu dan sumber daya sementara achievement lebih mengacu pada tujuan terkait orientasi belanja dimana keberhasilan dalam menemukan produk tertentu yang direncanakan di awal. Kesimpulannya adalah motivasi utilitarian adalah motivasi belanja berdasar rasional wisatawan dalam berbelanja.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada Matahari Departemen Store, Musriha (2011) menemukan bahwa perilaku pembelian utilitarian berpengaruh tidak signifikan terhadap store loyalty konsumen Matahari Departemen store di Surabaya dengan nilai probabilitas sebesar 0,064 artinya perilaku pembelian

utilitarian yang mengutamakan tercapainya tujuan dalam berbelanja, kurang dapat

meningkatkan loyalitas pelanggan terhadap tempat perbelanjaan. o 2.3 Kepuasan Berbelanja

o 2.3.1 Definisi Kepuasan

Kepuasan konsumen merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara kinerja produk yang ia rasakan dengan harapannya (Kotler 2000). Kepuasan pelanggan (dalam hal ini wisatawan) akan tercapai bila pelanggan merasa bahwa harapan terhadap suatu produk atau jasa telah terpenuhi (Andriani 2011). Kepuasan adalah konsep yang jauh lebih luas dari hanya sekedar penilaian kualitas pelayanan, namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (Zeithaml and Bitner 2002).

Semakin meningkatnya tingkat persaingan dalam dunia bisnis menuntut pelaku bisnis lebih memperhatikan konsumen (dalam hal ini wisatawan) sehingga konsumen yang merasa puas bisa memberikan keuntungan yakni berupa loyalitas. Selanjutnya, loyalitas konsumen juga sangat penting untuk efisiensi biaya, karena                

(10)

untuk menarik pelanggan baru diperlukan biaya lima kali lipat dari pada yang diperlukan untuk mempertahankan dan memuaskan pelanggan yang sudah ada (Kotler&Armstrong 2001 dalam (Hidayat, Lestari et al. 2012).

2.3.2 Kepuasan dalam Berbelanja

Menurut Fatonah (2009) nilai berbelanja hedonic merupakan nilai yang subyektif dan personal. Nilai hedonic dipercaya dapat berpotensi memberikan hiburan dalam berbelanja. Tidak dapat dipungkiri bahwa perasaan terhibur wisatawan dalam berbelanja berpotensi menimbulkan kepuasan bagi wisatawan.

Kepuasan wisatawan dalam berbelanja sangat penting bahkan menjadi hal terpenting, hal ini disebabkan karena dengan adanya kepuasan dari wisatawan dalam melaksanakan kegiatan belanja maka dimungkinkan dengan adanya pembelian ulang yang dilakukan oleh wisatawan tersebut jika kembali datang ke destinasi wisata yang dia kunjungi sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kepuasan tersebut bisa menimbulkan sesuatu yang nyaman secara rohani bukan hanya nyaman karena dibayangkan atau diharapkan. Jadi, puas atau tidak puas bukan hanya merupakan emosi melainkan suatu hasil evaluasi dari emosi.

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu akan sangat bermakna jika judul-judul peneltian yang digunakan sebagai bahan pertimbangan bersinggungan dengan penelitian yang dilakukan. Tujuan dicantumkannya penelitian terdahulu adalah untuk mengetahui bangunan keilmuan yang sudah diletakkan oleh orang lain, sehingga penelitian yang akan dilakukan benar-benar baru dan belum diteliti oleh orang lain. Untuk mendukung penelitian ini, maka penulis memaparkan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian yang penulis angkat.

               

(11)

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Variable Hasil Penelitian

1. Sundström,

M., C.

Lundberg, et al. (2011).

Tourist shopping motivation: go with the flow or follow the plan

- Hedonistic - Utilitarian - Others

Shopping tourist, terencana

- Motivasi belanja mereka adalah utilitarian dan hedonistic yaitu harga rendah. - Perasaan mereka selama berada di destinasi senang

- Mereka tidak suka store layout di destinasi

- Mereka tidak mempertimbangkan kerapian dan kebersihan untuk pengalaman belanja mereka.

Tourism shoppers mengikuti stimulus

- Motivasi belanja mereka adalah rasional yaitu harga rendah. - Hubungan dengan destinasi adalah kesenangan berbelanja. - Perasaan mereka saat kunjungan relatif senang.

- Store layout tidak mempengaruhi perasaan negative 2. Abednego, F.

(2011) Analisis Pengaruh Atmosfir Gerai terhadap Penciptaan Emosi (Arousal dan

Pleasure), Perilaku Belanja

(Motivasi Belanja Hedonik dan Motivasi Belanja

Utilitarian), dan terhadap

Pendekatan Perilaku - Perception - Arousal - Pleasure - Hedonic Motivation - Utilitarian Motivation - Approach Behavior

- Persepsi pengunjung gerai tentang lingkungan dan atmosfir gerai terbukti mempengaruhi arousal konsumen.

- Arousal yang dialami pengunjung mempengaruhi dan mampu menimbulkan pleasure.

- Pleasure pengunjung gerai terbukti mempengaruhi perilaku belanja konsumen dengan tipe belanja

hedonik. Sementara pleasure memiliki hubungan terbalik dengan perilaku belanja utilitarian

konsumen.

- Perilaku belanja hedonik terbukti berpengaruh pada pendekatan perilaku. Sementara perilaku belanja

utilitarian memiliki hubungan terbalik dengan pendekatan perilaku.

3. Tömöri, M.

(2010) Investigating Tourism along the Borders Shopping of Hungary – A Theoretical Perspective

- Merchandise - Destination - Prices

- Proporsi belanja wisatawan Rumania dalam jumlah wisatawan perbelanjaan adalah 59 persen di 2006 dan 77.7 persen di 2007. Dengan kata lain, turis dari Rumania secara menyeluruh dalam belanja sebagian besar wisatawan tiba di Debrecen.

- Wisata belanja di Debrecen sangat dipengaruhi oleh faktor, lintas-batas sejak sekitar 60 persen datang dari negara tetangga bihor county pada saat pengamatan.

             

Gambar

Gambar 2.1 Model struktural motivasi wisatawan (Rosenbaum and Spears 2009)         
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

kondisi lahan, topografi, kesuburan dan ketersedian saluran irigasi yang dimiliki. Semakin luas dan semakin strategis lokasi lahan, maka pajak akan lebih

Rasio KPMM dan BOPO tidak berpengaruh terhadap tingkat predikat BPR yang berarti sejalan dengan Widiharto (2008) yang menyatakan bahwa rasio KPMM dan BOPO tidak memiliki

bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bangka Nomor 2 Tahun 1980 tentang Retribusi Pembuangan Sampah Dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Bangka

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daya dukung pondasi tiang pancang kelompok pada proyek Tol Kayu Agung Palembang Betung STA 36+619 di

Sesuai dengan uraian diatas, maka penelitian ini telah dilakukan dengan memanfaatkan tepung pisang kepok sebagai bahan subtitusi untuk tepung terigu untuk

 Suatu organisasi yang menyediakan barang atau jasa yang bertujuan untuk.

mempengaruhi bagaimana mereka mempersepsikan mengenai model pembelajaran blended learning yang mereka jalankan, yang mana persepsi didefinisikan oleh Atkinson (2000)

Korelasi antara ke- duanya memperlihatkan pola kuadratik, artinya produktivitas primer di perairan Teluk Banten sangat bergantung pada keberadaan intensitas