• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKTIF PILLINGSHOT. P. G. Wodehouse

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETEKTIF PILLINGSHOT. P. G. Wodehouse"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DETEKTIF PILLINGSHOT

P. G. Wodehouse

(3)

Detektif Pillingshot

Diterjemahkan dari: Pillingshot, Detective karangan P. G. Wodehouse

terbit tahun 1910

(Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah : Ilunga d’Uzak Penyunting : Kalima Insani Penyelaras akhir : Bared Lukaku Penata sampul : Bait El Fatih

Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh:

RELIFT MEDIA

Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351

SMS : 0853 1179 4533

Surel : relift.media@gmail.com Situs : reliftmedia.com

Pertama kali dipublikasikan pada: Agustus 2017 Revisi terakhir:

-Copyright © 2017 CV. RELIFT

Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

(4)

Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati,

peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.

Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT:

Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan

(5)

ehidupan di St. Austin’s berubah hampa dan berat bagi Pillingshot karena fakta bahwa dia menjadi junior Scott. Bukan berarti Scott adalah Pemelonco Beralis Kusut. Tidak sama sekali. Dia menunjukkan perhatian ramah pada kesejah-teraan Pillingshot, dan kadang sampai membuat syair Latin untuknya. Tapi sifat-sifat paling mulia sekalipun mengandung cacat, dan Scott bukan pengecualian. Dia mencoba jadi humoris, dan Pillingshot, dengan pandangannya yang agak serius tentang hidup, bingung dan terganggu oleh hal ini.

K

Gara-gara cacat pada karakter Scott inilah Pillingshot pertama kali menjadi detektif.

Dia sedang memanggang muffin di perapian kamar kerja pada suatu malam, sementara Scott duduk di atas dua kursi dan lima bantal, sedang membaca “Sherlock Holmes”, ketika sang Ketua Kelas menaruh bukunya dan menatapnya serius.

“Kau tahu, Pillingshot,” ujarnya, “kau punya wajah yang cemerlang dan cerdas. Aku takkan keheranan andai kau tidak pintar. Kenapa kau sembunyikan kepandaianmu?”

Pillingshot menggerutu.

“Kita harus cari cara untuk mengiklankanmu. Kenapa tak ikut Beasiswa Junior?”

(6)

“Senior, kalau begitu?” “Terlalu muda.”

“Aku yakin dengan bergadang semalaman dan belajar keras —”

“Hei!” seru Pillingshot gusar.

“Kau tak berani mencoba,” kata Scott menyayangkan. “Apa itu? Muffin? Well, well, sebaiknya aku cicipi sedikit.”

Dia makan empat secara berturut-turut, dan melanjutkan penelitian wajah Pillingshot.

“Yang penting,” katanya, “adalah mencaritahu bidang kekhususanmu. Sampai saat itu, kita bekerja dalam gelap. Mungkin musik? Bernyanyi? Nyanyikan aku satu atau dua balok.”

Pillingshot menggeliat tak nyaman.

“Ketinggalan buku musikmu di rumah?” kata Scott. “Lupakan saja, kalau begitu. Mungkin ini yang terbaik. Apa itu? Masih muffin? Minta satu lagi. Bagaimanapun, orang harus jaga tenaga. Kau boleh memakannya kalau mau.”

Wajah Pillingshot jadi cerah. Dia jadi lebih ramah. Dia bercakap-cakap.

“Ada keributan di bawah,” katanya. “Di ruang siang junior.” “Selalu ada,” kata Scott. “Kalau sampai itu bertambah keras,

(7)

aku akan masuk ke tengah mereka dengan tongkat komando. Aku menganggap separuh keberhasilanku dalam melakukan pukulan memotong, bersumber dari praktek yang kujalankan di ruang siang junior. Itu membuat pergelangan tanganku tetap luwes.”

“Maksudku bukan keributan seperti itu. Ini soal Evans.” “Ada apa dengan Evans?”

“Dia kehilangan satu koin sovereign.” “Dasar pemuda tolol.”

Pillingshot diam-diam melahap satu muffin lagi. “Dia pikir seseorang mengambilnya,” katanya. “Apa! Mencurinya?”

Pillingshot mengangguk.

“Apa yang membuatnya berpikir begitu?” “Dia tak tahu bagaimana lagi itu bisa hilang.” “Oh, aku tidak—astaga!”

Scott duduk tegak dengan penuh gairah.

“Aku mengerti,” tukasnya. “Aku tahu kita pasti menemu-kannya cepat atau lambat. Inilah ladang untuk kejeniusanmu. Kau akan jadi detektif. Pillingshot, kuserahkan kasus ini padamu. Aku mempekerjakanmu.”

(8)

“Aku merasa yakin itulah bidangmu. Aku sudah sering memperhatikanmu berjalan ke sekolah, persis seperti anjing pelacak. Mulai bekerja. Sebagai permulaan, lebih baik kau jemput Evans kemari dan interogasi dia.”

“Tapi, dengar—”

“Cepat, bung, cepat. Tidakkah kau tahu setiap detik berharga?”

Evans, pemuda mungil begap, tidak cenderung pendiam. Intisari pernyataan melanturnya adalah sebagai berikut. Paman kaya. Keponakan miskin. Kunjungan keponakan ke rumah paman. Uang tip lumayan, satu koin sovereign. Keponakan miskin mengantongi sovereign, dan koin itu hilang.

“Dan kusebut itu omong-kosong,” tutup Evans dengan tangkas. “Dan kalau aku bisa temukan keparat yang mencopet-nya, aku akan sangat—”

“Tidak sejauh itu,” kata Scott. “Nah, sekarang, Pillingshot, akan kuawali, hanya untuk menggerakkanmu. Apa yang membuatmu berpikir satu pound itu dicuri, Evans?”

“Karena aku sangat tahu itu dicuri.”

“Apa yang sangat kau tahu bukanlah bukti. Kita harus tebah ini. Pertama-tama, di mana kau melihatnya terakhir kali?”

(9)

“Bagus. Catat itu, Pillingshot. Mana buku catatanmu? Belum punya? Kalau begitu ini. Kau bisa robek beberapa halaman pertama, yang ada tulisanku. Siap? Lanjutkan, Evans. Kapan?”

“Kapan apanya?”

“Kapan kau memasukkannya ke dalam saku?” “Kemarin sore.”

“Jam berapa?” “Sekitar jam lima.”

“Dua kantong yang kau kenakan sekarang?”

“Bukan, kantong kriket. Aku sedang main jaring saat paman menghampiri.”

“Ah! Kantong kriket? Tuliskan, Pillingshot. Itu petunjuk. Olah itu. Di mana kantongnya?”

“Sudah masuk cucian.”

“Memang hampir waktunya. Kuamati itu. Bagaimana kau tahu satu pound itu ikut masuk cucian?”

“Aku menarik bagian dalam kedua saku.” “Ada lubang di dalam saku?”

“Tidak?”

“Well, kapan kau melepas kantong itu? Apa kau tidur dengan memakainya?”

(10)

di atas kursi di samping tempat tidur. Baru besok paginya aku ingat di dalamnya ada satu pound—”

“Tapi nyatanya tidak,” tolak Scott. “Kupikir ya. Harusnya ya.”

“Dia pikir ya. Itu petunjuk, dik Pillingshot. Olah itu. Terus?” “Terus, waktu aku pergi untuk mengambil koin dari kantong kriket, ternyata tak ada di sana.”

“Jam berapa itu?”

Setengah delapan pagi ini.” “Jam berapa kau pergi tidur?” “Sepuluh.”

“Berarti pencurian terjadi antara jam sepuluh malam dan setengah delapan pagi. Ingat, aku sedang memberimu bantuan, dik Pillingshot. Tapi karena ini kasus pertamamu, aku tak keberatan. Sudah cukup, Evans. Pergi sana.”

Evans menghilang. Scott berpaling kepada sang detektif. “Well, dik Pillingshot,” katanya, “apa pendapatmu?” “Entahlah.”

“Langkah apa yang kau usulkan?” “Entahlah.”

“Kau banyak berguna, bukan? Sebagai permulaan, lebih baik kau periksa TKP perampokan, boleh disebut begitu.”

(11)

Dengan enggan Pillingshot meninggalkan ruangan. “Well?” kata Scott saat dia kembali. “Ada petunjuk?” “Tidak.”

“Kau periksa TKP dengan cermat?” “Aku meninjau kolong tempat tidur.”

“Kolong tempat tidur? Apa gunanya? Apa kau teliti setiap inchi karpet menuju kursi dengan kaca pembesar?”

“Aku tak punya kaca pembesar.”

“Kalau begitu lebih baik kau segera punya, kalau kau mau jadi detektif. Kau pikir Sherlock Holmes pernah bergerak satu langkah pun tanpa kaca pembesarnya? Tidak sama sekali. Well, sudahlah. Apa kau menemukan jejak kaki atau abu rokok?”

“Ada banyak sekali debu bertebaran.” “Kau simpan sampelnya?”

“Tidak.”

“Astaga, kau harus belajar banyak. Nah, menimbang bukti itu, adakah sesuatu yang membuatmu terkesan?”

“Tidak.”

“Kau detektif cerdas, bukan! Rasanya aku sedang melakukan semua pekerjaan dalam kasus ini. Aku harus memberimu bantuan lain. Mempertimbangkan waktu hilangnya koin itu, aku harus bilang seseorang di asrama pasti mengambilnya.

(12)

Berapa banyak anggota di asrama Evans?” “Entahlah.”

“Cepat caritahu.”

Dengan enggan sang detektif berjalan susah-payah sekali lagi.

“Well?” kata Scott saat dia kembali.

“Tujuh,” balas Pillingshot. “Evans ikut dihitung.”

“Kita tak usah hitung Evans. Jika dia cukup dungu untuk mencuri koinnya sendiri, maka dia pantas kehilangannya. Siapa saja yang enam itu?”

“Ada Trent. Dia ketua kelas.”

“Sang Napoleon Kejahatan. Awasi setiap gerak-geriknya. Terus?”

“Simms.”

“Orang berbahaya. Jahat sampai ke tulang sumsum.” “Terus Green, Berkeley, Hanson, dan Daubeny.”

“Masing-masing mereka dikenal oleh polisi. Ah, tempat itu Dapur Pencuri yang sempurna. Dengar, kita harus bertindak cepat, dik Pillingshot. Ini urusan gelap. Kita akan ambil mereka secara alfabet. Pergilah jemput Berkeley.”

Berkeley, dipotong di tengah permainan Halma, datang dengan emoh.

(13)

“Nah, Pillingshot, ajukan pertanyaanmu,” kata Scott. “Ini urusan gelap, Berkeley. Evans kehilangan satu koin sovereign—”

“Kalau kau pikir aku mengambil koinnya—!” kata Berkeley hangat.

“Catat, saat diinterogasi, Berkeley menampakkan emosi mencurigakan. Ayo. Tuliskan itu.”

Dengan segan Pillingshot mencantumkan pernyataan tersebut di bawah sorot geram Berkeley.

“Nah, teruskan.”

“Kau tahu, ini semua omong-kosong,” protes Pillingshot. “Aku tak pernah bilang Berkeley ada kaitan dengan ini.”

“Tak apa. Tanyakan pergerakannya di malam—kemarin?—di malam 16 Juli.”

Pillingshot mengajukan pertanyaan ini dengan gugup. “Aku di tempat tidur, tentu saja, dasar bodoh.”

“Kau tidur?” selidik Scott. “Tentu saja.”

“Kalau begitu bagaimana kau tahu apa yang sedang kau kerjakan? Pillingshot, catat fakta bahwa pernyataan Berkeley simpang-siur dan bertentangan. Itu petunjuk. Olah itu. Siapa berikutnya? Daubeny. Berkeley, panggil Daubeny kemari.”

(14)

Berkeley saat pergi.

Daubeny, ketika diperiksa, menampakkan emosi mencuriga-kan yang sama dengan Berkeley. Hanson, Simms, dan Green bertingkah sama persis.

“Ini,” kata Scott, “agak memperumit kasus. Kita harus dapatkan petunjuk lebih lanjut. Sebaiknya kau pergi sana, Pillingshot. Ada Prosa Latin yang harus kukerjakan. Bawakan laporan perkembanganmu setiap hari, dan jangan abaikan hal-hal sepele. Dalam ‘Silver Blaze’, korek api hanguslah yang pertama membimbing penciuman Holmes.”

Masuk ke ruang siang junior dengan perasaan cemas, sang detektif mendapati sekumpulan tersangka yang naik darah sedang menunggu untuk menanyainya.

Satu sentimen menjiwai pertemuan itu. Mereka berlima ingin tahu apa maksud Pillingshot.

“Ada ribut apa ini?” tanya para penonton yang tertarik, mengerumuni.

“Pillingshot brengsek ini menuduh kami mengantongi koin milik Evans.”

“Apa kaitan Scott dengan ini?” selidik salah satu penonton. Pillingshot menjelaskan posisinya.

(15)

dalamnya.”

“Apa boleh buat. Dia mendesakku.” “Dasar Scott keterlaluan,” aku Green.

Pillingshot menyambut pertanda bahwa fokus kemarahan massa sedang bergeser.

“Menerobos masuk ke dalam urusan orang lain,” gerutu Pillingshot.

“Mencoba melucu,” simpul Berkeley. “Payah dalam kriket pula.”

“Tak bisa main lemparan yorker sama sekali.”

“Lihat dia melewatkan tangkapan yang mudah Sabtu kemarin?”

Jadi, aman. Sepanjang menyangkut ruang siang junior, Pillingshot merasa bersih.

Tapi majikannya kurang mudah puas. Pillingshot berharap besok dia sudah melupakan persoalan ini. Tapi saat dia masuk ke kamar kerja untuk menyiapkan teh, itu muncul lagi.

“Masih belum ada petunjuk, Pillingshot?” Pillingshot harus mengakuinya.

“Halo, ini tidak cukup. Kau harus bergegas. Kau harus mengendus jejak. Sudah periksa silang Trent? Well, nah, kan. Cepat lakukan sekarang.”

(16)

“Tapi, Scott! Dia ketua kelas!”

“Dalam kamus kejahatan,” kata Scott singkat padat, “tak ada istilah ketua kelas. Semua sama. Pergi catat pernyataan Trent.”

Mendakwa seorang ketua kelas dengan tuduhan mencuri satu koin sovereign adalah tugas yang menyentak imajinasi Pillingshot. Dia pergi ke kamar kerja Trent dalam semacam mimpi.

Raungan serak menjawab ketukannya yang pelan. Tak salah lagi Trent ada di dalam. Inspeksi mengungkap fakta bahwa si ketua kelas sedang bekerja dan jelas-jelas tidak dalam kondisi pas untuk bercakap-cakap. Dia memasang raut cekung, dan matanya, sebagaimana ditangkap oleh si kolektor pernyataan, berbahaya.

“Well?” kata Trent, cemberut kejam. Kaki Pillingshot serasa tak bertulang. “Well?” kata Trent.

Pillingshot merengek. “Well?”

Raungannya menggoyahkan jendela, dan ketenangan Pillingshot lenyap sama sekali.

“Apa kau mengantongi satu koin sovereign?” tanyanya. Hening mengerikan. Pada saat itulah sang detektif, setelah

(17)

tungkainya mendadak aktif lagi, membanting pintu dan melesat di lorong.

Dia masuk lagi ke kamar kerja Scott dengan terburu-buru. “Well?” kata Scott. “Apa katanya?”

“Tak ada.”

“Keluarkan buku catatanmu, dan tuliskan, di bawah judul ‘Trent’: ‘Keheningan mencurigakan’. Nasib yang sangat buruk, Trent. Terus mata-matai dia. Itu petunjuk. Olah itu.”

Pillingshot mencatat keheningan itu, tapi kemudian, saat dia dan si ketua kelas bertemu di asrama, dia merasa ingin menghapusnya. Sebab keheningan adalah julukan paling buncit yang mungkin orang terapkan pada Trent dalam peristiwa itu. Sambil merangkak kepayahan ke tempar tidur, Pillingshot kian yakin bahwa jalan detektif amatir adalah jalan berduri.

Keyakinan ini semakin dalam keesokan harinya.

Bantuan Scott mungkin bermaksud baik, tapi itu sudah pasti tak mengenakkan. Teori-teorinya tergolong brilian dan keren, dan Pillingshot tak pernah bisa yakin siapa dan berpangkat apa calon tersangka berikutnya. Dia menghabiskan sore itu dengan membayangi Peminyak (gabungan tukang semir dan kepala pelayan yang melakukan pekerjaan aneh terhadap gedung sekolah), dan malamnya hampir memasuki lingkaran tertinggi.

(18)

Ini terjadi ketika Scott berkomentar dalam suara melamun, “Kau tahu, kudengar pak tua itu menghabiskan banyak uang belakangan ini...”

Inti tanggapan Pillingshot adalah dia mau berbuat apa saja asal masuk akal, tapi terkutuk kalau dia harus memeriksa silang kepala sekolah.

“Kelihatannya,” kata Scott sedih, “kau tak ingin menemukan koin sovereign itu. Kau tidak suka Evans, atau apa?”

Pagi berikutnya, usai sarapan, seorang pengamat teliti barangkali dapat merasakan perubahan pada tingkah laku sang detektif. Dia tak lagi terlihat seolah dibebani penderitaan tersembunyi. Sikapnya bahkan riang.

Scott menyadarinya.

“Ada apa?” selidiknya. “Dapat petunjuk?” Pillingshot mengangguk.

“Apa itu? Coba kita lihat.”

“Sh—h—h!” kata Pillingshot misterius.

Minat Scott bangkit. Pada saat juniornya membuat teh di sore hari, dia bertanya lagi.

“Katakan saja,” ujarnya. “Apa inti dari semua misteri kebungkaman ini?”

(19)

“Katakan saja.”

“Tembok mempunyai kuping,” kata Pillingshot.

“Kau juga,” timpal Scott garing, “dan akan kupukul dalam setengah detik.”

Pillingshot mendesah pasrah, lantas mengeluarkan sebuah amplop. Darinya dia menuangkan semacam lumpur kering.

“Ini, hati-hati dengan taplak mejaku,” tukas Scott. “Apa ini?” “Lumpur.”

“Kenapa dengan lumpur ini?” “Menurutmu dari mana?”

“Mana kutahu? Jalan raya, barangkali.” Pillingshot tersenyum tipis.

“Delapan belas jenis lumpur berbeda ada di sekitar sini,” pungkasnya menggurui. “Ini adalah lumpur petak bunga dari taman depan rumah.”

“Jadi? Kenapa dengan ini?”

“Sh—h—h!” kata Pillingshot, dan meluncur keluar ruangan.

“Jadi?” tanya Scott keesokan hari. “Petunjuk-petunjuk mengalir masuk tentunya?”

(20)

“Apa? Dapat yang lain?”

Pillingshot berjalan bisu menuju pintu dan membukanya. Dia mengamati lorong ke kanan dan ke kiri. Terus dia menutup pintu dan kembali ke meja. Di situ dia mengeluarkan sebatang korek api bekas dari saku rompinya.

Scott merenunginya penuh tanya. “Apa maksud ini?”

“Sebuah petunjuk,” kata Pillingshot. “Lihat sesuatu yang aneh? Lihat noda cokelat aneh itu?”

“Ya.”

“Darah!” dengus Pillingshot.

“Apa gunanya darah? Tak ada pembunuhan.” Pillingshot tampak serius.

“Aku tak pernah pikirkan itu.”

“Kau harus pikirkan segalanya. Kekeliruan terburuk yang dibuat detektif adalah beralih ke jalur lain selagi mengerjakan sebuah kasus. Korek api ini petunjuk ke sesuatu yang lain. Kau tak boleh mengolahnya.”

“Kurasa begitu.” kata Pillingshot.

“Jangan berkecil hati. Kau bekerja dengan baik.”

“Aku tahu,” kata Pillingshot. “Akan kutemukan koin itu tentu saja.”

(21)

“Tak ada pilihan selain bersiteguh.”

Pillingshot mengelak, lalu merujuk tata-tertib rapat.

“Aku sudah baca kisah-kisah Sherlock Holmes itu,” katanya, “dan dia selalu dapat bayaran jika berhasil meraih sesuatu. Menurutku harusnya aku juga dapat.”

“Dasar pemuda kasar mata duitan.” “Ini tugas yang menguras tenaga.”

“Kau memang bermanfaat. Dibekali dengan minat serius pada kehidupan. Well, kukira Evans akan memberimu sesuatu— kotak tembakau berhias permata atau semacamnya—kalau kau berhasil.”

“Aku tidak berhasil.”

“Well, dia akan mentraktirmu teh atau semacamnya.” “Tidak. Dia tidak akan menukarkan koin itu. Dia sedang menabung untuk beli kamera.”

“Jadi, apa yang akan kau lakukan?” Pillingshot menendang kaki meja.

“Kau yang mengarahkanku pada kasus ini,” katanya sambil lalu.

“Apa! Kalau kau pikir aku mau menghamburkan—”

“Kupikir harusnya kau membebaskanku dari kejunioran untuk sisa periode.”

(22)

Scott merenung.

“Itu ada benarnya. Baiklah.” “Terimakasih.”

“Jangan bilang begitu. Kau belum temukan koinnya.” “Aku tahu di mana.”

“Di mana?” “Ah!”

“Bodoh!” tukas Scott.

Usai sarapan keesokan harinya Scott sedang duduk di kamar kerja ketika Pillingshot masuk.

“Ini dia,” kata Pillingshot.

Dia membuka kepalan tangan kanannya dan menampakkan sebuah koin sovereign. Scott pun memeriksanya.

“Inikah?” tanyanya. “Ya,” kata Pillingshot. “Bagaimana kau tahu?”

“Memang itu. Aku sudah saring semua bukti.” “Siapa yang mengantonginya.”

“Aku tak mau sebut nama.”

(23)

masalah. Adanya pencuri berkeliaran di rumah ini bukanlah kerugian besar. Ngomong-ngomong, apa yang mengarahkanmu padanya? Bagaimana kau masuk ke jalur? Kau anak pintar, dik Pillingshot. Bagaimana kau mengerjakannya?”

“Aku punya metode,” kata Pillingshot penuh gengsi. “Cepat. Aku harus segera pergi sekolah.”

“Aku tak mau beritahu.”

“Beritahu aku! Cepat, aku yang mengarahkanmu pada kasus ini. Aku majikanmu.”

“Kau takkan merundungku lagi kalau kuberitahu?” “Aku akan kalau kau tidak.”

“Tapi tidak kalau aku ya?” “Tidak.”

“Lalu bagaimana soal bayaran?” “Itu tak masalah. Ayo.”

“Baiklah kalau begitu. Well, kupikirkan semuanya baik-baik, dan mulanya tak bisa menyimpulkan apa-apa, karena rasanya tak mungkin Trent atau rekan-rekan lain di asrama mengambil-nya. Lalu tiba-tiba Evans memberitahuku sesuatu kemarin lusa yang membuat semua ini jadi jelas.”

“Apa itu?”

(24)

yang ditemukan di lantai dekat tempat tidurnya oleh salah satu pengurus rumah. Itu jatuh dari sakunya di malam pertama.”

Scott memelototinya. Pillingshot malu-malu menghindari tatapannya.

“Cuma itu, kah?” kata Scott. Pillingshot mengangguk.

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu didalam kesempatan ini penulis dengan judul Pengaruh Kombinasi Jarak Tanam Dan Jenis Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Zukini

“Homesick sebagai ide dasar penciptaan karya seni grafis” adalah judul yang diambil dalam laporan tugas akhir ini. Untuk menghindari

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial hanya variabel DER yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap perubahan laba dan nilai CR, TATO dan NPM

>dapun bagian#bagian dari batang otak ini adalah 0 a.. 4erupakan bagian dari batang otak yang paling atas dan terletak diantara serebelum dan mesen"efalon. Pada bagian tengah

Kode wilayah izin dan non izin pada Dinas Penanaman Modal dan e"Ly"n"ti Terpadu Satu Pintu, UP PTSP Kota Administrasi, UP. PTSP Kabupaien Adminiskasi, UP

Buku Jurnal Khusus Belanja Langsung (SP2D-LS). Penyesuaian nilai aset tetap dilakukan dengan berbagai metode yang sistematis sesuai dangan masa manfaat aset. Nilai penyusutan

Sabda Nabi Muhamad S.A.W: Barangsiapa yang berselawat kepadaku sebanyak 100 kali pada hari jumaat, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan keadaan bercahaya - Abu Naim..

Perbedaan tersebut antara lain nilai divergensi dan vortisitas yang WRF yang jauh lebih tinggi dibandingkan SATAID dan pola pergerakan nilai divergensi dan vortisitas