• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Perangkap untuk Para Koruptor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Teknik Perangkap untuk Para Koruptor"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

www.indonesiajentera.org redaksi.jentera@pshk.or.id www.pshk.or.id

1

Jurnal Hukum JENTERA

Jurnal Hukum JENTERA Edisi Juni 2005 – Korupsi

Teknik Perangkap untuk Para Koruptor

Arsil

Pengantar

Seperti diketahui bersama korupsi merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh negara ini. Korupsi tersebut tidak hanya terjadi di tingkat elit namun hampir dapat dipastikan masalah ini terdapat hampir di seluruh lapisan institusi negara ini. Tingkatan korupsi di masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya kecil-kecilan, seperti korupsi dalam pembuatan SIM, KTP, dan perizinan-perizinan, hingga korupsi besar-besaran yang jumlahnya bisa mencapai angka trilyunan rupiah. Bentuk tindak pidana ini juga cukup beragam, mulai dari mark-up pembelian-pembelian barang, penyuapan, kolusi, pemalsuan bukti pembayaran dan lain sebagainya.

Banyak upaya yang telah dilakukan untuk melakukan pemberantasan korupsi, mulai dari upaya-upaya pembenahan sistem-sistem administrasi yang rentan praktek-praktek haram tersebut, pembenahan peraturan perundang-undangan, pembentukan tim-tim khusus maupun institusi khusus yang ditugaskan untuk melakukan pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) yang baru saja dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan kini kita mempunyai pengadilan khusus yang khusus hanya menangani perkara korupsi.1

Upaya-upaya tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam hal pembenahan peraturan perundang-undangan upaya ini telah dilakukan setidaknya sejak tahun 1970-an, yaitu dengan dikeluarkannya UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2002. Selain itu pada tahun 1980 juga dikeluarkan sebuah undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana suap yaitu UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, serta masih banyak lagi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi.

Begitu juga dalam hal pembentukan tim-tim khusus maupun institusi khusus macam KPK maupun Tim Tastipikor. Sejak awal Orde Baru tim-tim serupa sebenarnya sudah pernah ada, bahkan mungkin hampir setiap dasawarsa dibentuk satu tim atau institusi khusus yang ditugaskan khusus untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, satu persatu tim-tim tersebut ternyata tidak dapat bertahan lama dan korupsi terus saja terjadi bahkan makin merajalela.

1Walaupun perkara korupsi yang ditangani hanya sebatas perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan

oleh KPK, sementara untuk perkara korupsi lainnya yang penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan tetap disidangkan di pengadilan biasa.

(2)

www.indonesiajentera.org redaksi.jentera@pshk.or.id www.pshk.or.id

2

Jurnal Hukum JENTERA

Untuk saat ini tentunya kita belum dapat menilai bagaimana kinerja KPK maupun Tim Tastipikor, apakah akan mengikuti sejarah yang telah gagal tersebut atau mampu mengubah sejarah pemberantasan korupsi. Tentunya masih diperlukan sejumlah rentang waktu beberapa tahun untuk menjawabnya. Sementara itu yang dapat dilakukan publik adalah terus mengawasi kinerja kedua lembaga tersebut sekaligus memikirkan alternatif-alternatif upaya pemberantasan korupsi. Tulisan ini ditujukan sebagai bahan masukan atas pemikiran tersebut.

Belajar dari Kasus Mulyana W. Kusumah

Berita tertangkap tangannya Mulyana W. Kusumah (MWK), salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika sedang menyuap salah seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membuka peluang bagi munculnya satu wacana baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Wacana tersebut adalah pemerangkapan (entrapment) sebagai suatu teknik dalam upaya penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan korupsi.

Dalam perkara di atas, MWK, menurut versi KPK, terlebih dulu menghubungi salah seorang auditor BPK yang bertugas melaksanakan audit investigasi laporan keuangan KPU untuk melakukan pertemuan di sebuah hotel. Dalam pertemuan tersebut MWK membawa sejumlah uang untuk diserahkan kepada auditor tersebut sebagai bentuk penyuapan agar auditor tersebut tidak mempermasalahkan laporan keuangan KPU atau setidaknya untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum. Namun tanpa sepengetahuan MWK ternyata auditor tersebut sebelumnya telah bekerja sama dengan KPK yang saat itu memang sedang melakukan penyelidikan atas dugaan korupsi di tubuh KPU. Auditor tersebut kemudian berpura-pura akan menerima uang suap yang diberikan oleh MWK, dan KPK ternyata telah menyiapkan peralatan audio visual untuk merekam proses penyuapan. Pada saat MWK selesai menyerahkan uang suap kepada auditor BPK tersebut, penyidik KPK yang pada saat itu memang telah berada di hotel, langsung menangkap MWK. Dengan cara seperti ini akhirnya KPK berhasil mendapatkan bukti-bukti yang sangat kuat dan sulit untuk dibantah bahwa MWK setidaknya melakukan upaya penyuapan.

Apa yang menarik dari kasus tersebut?

Saya mengistilahkan teknik yang digunakan oleh KPK dalam kasus di atas sebagai Teknik Perangkap. Bayangkan jika apa yang dilakukan oleh KPK dalam kasus MWK di atas secara serius digunakan sebagai salah satu teknik dalam pemberantasan korupsi. Katakanlah misalnya KPK atau Tim Tastipikor memiliki tim khusus untuk melakukan teknik perangkap macam ini dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi.

Cara kerja tim ini sangat sederhana. Tim dibagi dua kelompok, dengan kelompok pertama berfungsi mencari informasi mengenai institusi-institusi negara apa saja yang selama ini rentan terjadi praktek-praktek KKN serta mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk melakukan pemerangkapan. Kelompok kedua terdiri dari sejumlah orang yang identitasnya dirahasiakan yang berfungsi sebagai agent provocateur (agen provokator) yang memiliki tugas melakukan penyamaran.

Untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan memanfaatkan tim khusus ini, KPK, misalnya, perlu menetapkan tahapan-tahapan prosedurnya. Dalam tahap pertama misalnya, target yang ingin dicapai adalah melakukan pemberantasan praktek-praktek suap yang ada di

(3)

www.indonesiajentera.org redaksi.jentera@pshk.or.id www.pshk.or.id

3

Jurnal Hukum JENTERA

institusi-institusi birokrasi yang mempunyai kewenangan mengeluarkan berbagai macam perizinan. Institusi-institusi ini biasanya sangat rentan terhadap praktek-praktek KKN. Selain itu, insitusi macam ini biasanya berhubungan langsung dengan masyarakat seperti misalnya kantor pajak, kantor pertanahan, imigrasi, kepolisian dan lainnya. Terhadap institusi-institusi yang telah ditetapkan sebagai target operasi ini kemudian diturunkan para agen provokator untuk melakukan perangkapan-perangkapan.

Agen yang menyamar tersebut kemudian berpura-pura menawarkan sejumlah uang kepada aparat yang dicurigai sering menerima suap untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Untuk membuat agar perangkap ini lebih sempurna, sebelumnya uang tersebut telah diberi tanda khusus atau telah dicatat nomor serinya. Agen tersebut harus dilengkapi dengan alat perekam. Kemudian jika aparat tersebut mau menerima tawaran dari agen yang menyamar tersebut setelah uang berpindah tangan pada saat itu juga dilakukan penangkapan. Seperti dalam kasus MWK, tim ini akan memiliki bukti yang sangat kuat untuk menjerat petugas tersebut.

Apa manfaat dari teknik perangkapan ini bagi pemberantasan korupsi?

Terdapat setidaknya dua manfaat dari teknik semacam ini. Pertama, cara ini dapat secara efektif „membersihkan‟ institusi-institusi yang selama ini rentan dengan praktek-praktek KKN. Satu permasalahan akut yang dihadapi oleh birokrasi di negeri ini adalah cukup banyaknya oknum-oknum yang bermasalah. Selama oknum-oknum tersebut masih terdapat dalam institusi-institusi publik maka upaya-upaya pembenahan sistemik akan sulit dilakukan. Resistensi terhadap upaya pembenahan akan cukup tinggi karena hal tersebut akan menghilangkan sumber ekonomi mereka. „Pembersihan‟ dari oknum-oknum semacam ini selama ini sulit untuk dilakukan. Negara tentunya tidak bisa dengan serta merta tanpa alasan yang jelas memberhentikan oknum-oknum tersebut, kecuali jika mereka terbukti melakukan suatu tindak pidana atau melakukan pelanggaran disiplin yang tergolong berat. Dalam hal yang terakhir ini salah satu kendala yang dihadapi biasanya terkait dengan masalah pembuktian. Namun jika teknik perangkap ini diterapkan terhadap oknum-oknum tersebut, maka tentunya masalah pembuktian tidak lagi menjadi isu yang berarti.

Kedua, teknik ini dapat secara bertahap mengubah budaya kerja yang birokratis. Bukan

rahasia lagi kalau saat ini budaya kerja birokrasi kita masih cukup korup. Salah satu faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya praktek tersebut karena selama ini cukup mudah untuk melakukan korupsi. Aparat birokrasi dengan kewenangannya dapat membuat kondisi yang memaksa masyarakat untuk menyuap jika tidak ingin proses administrasi yang sedang dilaluinya dipersulit. Jika dalam institusi tersebut terdapat beberapa contoh kasus sejumlah oknum yang berhasil dijerat dengan menggunakan teknik perangkap ini, tentu ada kemungkinan dapat berefek kepada aparat-aparat lainnya, khususnya bagi aparat-aparat yang potensial berlaku korup.

Teknik ini memang tidak dapat mengubah budaya kerja birokrasi secara mendasar, jika hanya dilakukan satu atau dua kali. Namun jika teknik ini dilakukan berulang kali, maka saya yakin cara ini dapat menimbulkan rasa „ketidakpastian‟ bagi para aparat yang ingin menerima suap. Ia akan berfikir dua kali ketika akan menerima suap, karena bisa jadi orang yang akan memberi atau menerima suap tersebut adalah agen yang menyamar. Jika rasa „ketidakpastian‟ tersebut telah melembaga, maka secara perlahan diharapkan budaya KKN dapat berkurang.

(4)

www.indonesiajentera.org redaksi.jentera@pshk.or.id www.pshk.or.id

4

Jurnal Hukum JENTERA

Pengaturan Teknik Perangkap di Indonesia

Secara yuridis, teknik perangkap ini baru dikenal di bidang pemberantasan tindak pidana narkotika maupun psikotropika. Kita bisa melihatnya dalam Pasal 56 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Pasal 68 UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam kedua undang-undang tersebut, dikenal istilah “Teknik Penyidikan Penyerahan yang Diawasi” dan “Teknik Pembelian Terselubung”. Memang dalam kedua undang-undang tersebut tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan kedua teknik tersebut. Namun jika dilihat dari penerapannya selama ini, hakikat kedua teknik ini merupakan teknik perangkap yang sudah saya jelaskan panjang lebar di atas.

Kini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana teknik perangkap khusus korupsi diatur dalam hukum di Indonesia. Apakah ada suatu ketentuan mengenai hal ini dalam peraturan perundang-undangan korupsi kita? Jika melihat UU Nomor 30 Tahun 2002 ternyata memang belum ada satu ketentuan dalam UU KPK itu yang secara tegas menyatakan penyidik maupun penuntut umum boleh melakukan teknik perangkap macam ini. Begitu juga dalam KUHAP. Dalam pasal 7 ayat (1) huruf j hanya disebutkan penyidik memiliki kewenangan untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Namun apakah ketentuan ini boleh digunakan sebagai dasar untuk menerapkan teknik perangkap di bidang korupsi, tentunya masih debatable.

Mengingat belum adanya ketentuan tegas mengenai teknik perangkap khusus di bidang korupsi, terdapat sejumlah kemungkinan yang muncul jika teknik ini diterapkan. Kemungkinan yang pertama adalah agen provokator yang melakukan penyamaran tersebut dapat ikut dikenakan ancaman pidana. Misalnya saja agen provokator tersebut berpura-pura melakukan suap terhadap seorang pejabat negara atau aparat birokrasi tertentu. Mengingat dalam hukum pidana aturan mengenai suap tidak hanya dapat menjerat penerima, melainkan juga dapat disangkakan pada penyuap, maka hal ini sangat tidak menguntungkan bagi agen provokator tersebut. Tanpa ada dasar hukum yang cukup kuat yang dapat melegalkan teknik perangkap ini, khususnya dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi, tentunya perlindungan hukum bagi para agen provokator atau penyamar tersebut sangat lemah.

Pembatasan Teknik Perangkapan

Seperti halnya teknik-teknik penyidikan lainnya, teknik perangkap pada dasarnya juga rentan terhadap penyalahgunaan. Salah satu bentuk penyalahgunaan yang sangat mungkin terjadi adalah agen provokator mengondisikan sedemikian rupa sehingga orang yang tadinya tidak memiliki niat untuk melakukan tindak pidana—dalam hal ini korupsi—menjadi terpaksa harus melakukan tindakan tersebut.

Untuk menghindarinya, saya kira, harus dibuat suatu batasan yang cukup ketat mengenai kapan teknik perangkap ini dianggap sah dilakukan, kapan teknik ini dianggap tidak sah. Dalam sistem hukum Amerika Serikat, tindakan penegak hukum dalam menggunakan teknik perangkap macam ini, cukup dibatasi. Jika teknik perangkap dinilai melampaui batas kewenangan penegak hukum, tersangka yang terjerat perangkap tersebut dapat menggunakan alasan entrapment sebagai dasar untuk melepaskan diri dari tuntutan hukum. Untuk mengetahui sah atau tidaknya suatu

(5)

www.indonesiajentera.org redaksi.jentera@pshk.or.id www.pshk.or.id

5

Jurnal Hukum JENTERA

tindakan perangkap dari penegak hukum terdapat dua pendekatan yang berkembang, yaitu pendekatan subyektif atau Subjective Test dan pendekatan obyektif atau Objective Test.2

Pada pendekatan subyektif, teknik perangkap dapat diperbolehkan jika perangkap dilakukan terhadap unwary criminal. Sementara jika pemerangkapan dilakukan terhadap unwary

innocent, maka pemerangkapan tersebut jadi tidak sah dan tuntutan hukum karenanya dapat

dibatalkan.3 Untuk menilai apakah suatu perangkap tersebut dilakukan terhadap unwary criminal

atau unwary innocent, maka yang harus dibuktikan adalah apakah sebelumnya pelaku telah memiliki

track record atau rekam jejak atas suatu kejahatan atau belum. Selain itu harus terdapat kesesuaian

antara track record dengan pelanggaran pidana yang dilakukan pelaku karena setting pemerangkapan penyidik. Misalnya, jika seorang residivis kasus narkotika yang tidak memiliki track record dalam hal korupsi, maka ia dianggap sebagai innocent dalam hal korupsi. Sehingga perangkapan korupsi tidak dapat dilakukan terhadapnya.

Sebagai ilustrasi, dalam kasus United States versus Russell,4 terdakwa merupakan pembuat

ampetamin secara illegal. Kemudian seorang agen yang menyamar mencoba menawarkannya bahan-bahan untuk memproduksi satu jenis narkotika yang sulit didapat. Terdakwa kemudian menyetujui tawaran agen tersebut. Dalam persidangan terdakwa mengajukan pembelaan bahwa ia dijebak oleh agen tersebut. Pengadilan akhirnya memutuskan menolak pembelaan tersebut karena melihat bahwa terdakwa memang memiliki track record sebagai pelaku kejahatan di bidang narkotika, atau dengan kata lain terdakwa termasuk dalam kategori unwary criminal.

Dalam kasus lain di mana pemerangkapan dianggap tidak sah karena dilakukan terhadap

unwary innocent terjadi dalam kasus Sorells versus United States.5 Dalam kasus ini pelaku didakwa

karena menjual setengah galon whisky kepada seorang agen yang menyamar sebagai turis. Penjualan tersebut dilakukan karena sang agen yang saat itu bertamu ke rumahnya menanyakan kepada terdakwa apakah ia bisa menolongnya untuk membelikan sejumlah whisky. Pada saat itu terdakwa menolak permintaan agen tersebut. Kemudian agen tersebut kembali mencoba memintanya lagi namun terdakwa masih tetap juga menolak. Pada permintaan ketiga akhirnya terdakwa memenuhi permintaan sang agen. Dalam kasus ini Supreme Court atau Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya membatalkan perkara tersebut karena dianggap terdakwa tidak terbukti sebelumnya memiliki track record dalam hal penjualan minuman keras serta perbuatan tersebut dilakukan karena permintaan yang berulang-ulang dari agen yang menyamar tersebut.

Jika pada pendekatan subyektif penekanan untuk membuktikan terletak pada kondisi jiwa pelaku, maka pada pendekatan obyektif penekanan pembuktian terletak pada tindakan dari agen yang menyamar dalam melakukan upaya pemerangkapan. Tindakan pemerangkapan dianggap tidak sah jika tindakan tersebut dilakukan berdasarkan common sense jauh di bawah standar kewenangan yang dapat diperbolehkan. Untuk mengujinya maka pertanyaannya adalah apakah tindakan agen tersebut secara hipotetis dapat mendorong seseorang yang jika ia tidak didorong

2 Joshua Dressler, Understanding Criminal Procedure, Second Edition. (New York: Lexis Publishing, Mathew

Bender & Co., 1996), hlm. 497.

3Ibid. hlm. 498. 4Ibid. hlm. 497.

5 Frank R. Prasel, Criminal Law, Justice and Society, (California: Goodyear Publishing Company, 1937), hlm.

(6)

www.indonesiajentera.org redaksi.jentera@pshk.or.id www.pshk.or.id

6

Jurnal Hukum JENTERA

oleh agen tersebut tidak akan melakukan tindakan tersebut atau tidak. Jika iya, maka pemerangkapan tersebut jadi tidak sah.

Jika dilihat dari sistem di Amerika Serikat tersebut memang terdapat perbedaan tradisi antara sistem hukum yang dianut oleh Indonesia dengan Amerika. Dalam tradisi sistem hukum Amerika Serikat, pengaturan pembatasan tersebut berkembang dalam yurisprudensi-yurisprudensi, sementara dalam tradisi hukum Indonesia, tentunya, pengaturan-pengaturan macam ini akan lebih tepat jika dimasukkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Jika teknik perangkap ini akan diterapkan dalam pemberantasan korupsi maka pengaturan mengenai teknik ini dapat dibentuk khusus atau dimasukkan dalam perubahan undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, seperti misalnya UU KPK.

Mengenai materi pengaturannya sendiri kita dapat belajar dari pengalaman di Amerika Serikat tersebut. Misalnya, perangkap hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang sebelumnya telah dicurigai akan melakukan tindakan yang akan dikenakan perangkapan. Tentunya sulit jika pemerangkapan hanya dapat dilakukan terhadap residivis, apalagi dalam perkara korupsi, mengingat saat ini walaupun disinyalir jumlah koruptor di Indonesia sangat banyak, namun pada kenyataannya hanya sedikit yang secara hukum telah terbukti. Oleh karena dalam konteks Indonesia tampaknya hal ini perlu sedikit diperlunak. Selain itu, sebagaimana halnya penggunaan teknik perangkap dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika, perangkap dalam bidang tindak pidana korupsi juga harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan lembaga penegak hukum dimaksud.

Rambu-rambu lainnya yang dapat diatur, misalnya, agen provokator tidak boleh melakukan pemaksaan terhadap tersangka yang dijadikan target pemerangkapan dan lain sebagainya.

Referensi

Dokumen terkait

Tuliskan persamaan reaksi t  t  -butil alkohol dengan logam -butil alkohol dengan

[r]

Dalam penulisan ilmiah ini penulis akan menjelaskan tentang pembuatan sebuah animasi tiga dimensi yang mengangkat sebuah materi yaitu mengenai planet bumi. Animasi

Pengembangan aplikasi ini dilakukan melalui beberapa tahap, tahap pertama yakni pengumpulan data, dilanjutkan dengan tahap perancangan aplikasi, pembuatan program serta

Interpretasi dari hasil geolistrik adalah lapisan Pasir pantai Basah dengan nilai resistivitas 1.06 - 6.61 Ωm, lapisan Pasir Pantai Kering dengan nilai resistivitas 16.5 - 41.2

Sehingga dihasilkan asam amino dalam bentuk bebas.Hidrolisa ikatan peptida dengan cara ini merupakan langkah penting untuk menentukan komposisi asam amino dalam sebuah protein

Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu guru mengumpulkan informasi

Pokok masalah penelitian ini adalah strategi bimbingan penyuluhan Islam (BPI) dalam menangani masalah sosial di Desa Doridungga Kecamatan Donggo Kabupaten Bima. Pokok