• Tidak ada hasil yang ditemukan

FOKLOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FOKLOR"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayahnya sehingga peneliti dapat menyusun dan menyelesaikan makalah penelitian tentang “ANALISIS UNSUR INSTRINSIK NOVEL “SRI RINJANI” KARYA “EVA NOURMA” dan tak lupa pula

penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan makalah ini, penyusun pun

menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangannya oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah di lain waktu, “karena tak ada gading yang tak

retak “, semoga dapat bermanpaat bagi para pembaca umumnya dan bagi penyusun khususnya

akhir kata penyusun mengucapkan banyak terimakasih, Wassallam... Mataram, Januari 2012 Penyusun

DAFTAR ISI

(2)

KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB I Hermeneutika Ricoer sebagai Alat Penafsir Karya Sastra

1. Hakikat Hermeneutika Ricoeur... 1 2. Definisi Hermeneutika Ricoeur... 2 3. Fungsi Hermeneutika Ricoeur... 2 4. Cara Kerja Hermeneutika... 5. Penegasan Istilah Teks dan Metafora dalam Hermeneutika Ricoeur...

a. Teks dan Metafora Sebagai Diskursus... b. Metafora menuju teks mmemerlukan penjelasaan... c. Interpretasi Dilakukan dari Teks ke Metafora... 6. Penegasan Istilah Simbol dalam Hermeneutika Riceour... 7. Penegasaan Istilah Bahasa Sastra dalam Hermeneutika Ricoeur... 8. Narativitas dan Historisitas dalam Hermeneutika Ricoeur... 9. Hermeneutika Kritis Ricoeur untuk Penjelasan Sejarah... BAB II Hermeneutika Dilthey sebagai Alat Penafsir Karya Sastra Bersifat

Historis

1. Hakikat Hermeneutika Dilthey... 3 2. Definisi Hermeneutika Dilthey ... 3 3. Fungsi Hermeneutika Dilthey... 5 4. Lingkaran Hermeneutika Dilthey... 5. Cara Kerja Hermeneutika Dilthey... a. Interpretasi data... b. Riset sejarah... 6. Penegasan Istilah Memahami atau Pemahaman dalam Hermeneutika Dilthey 7. Penegasan Istilah Historisitas dalam Hermeneutika Dilthey...

(3)

BAB III:METODE PENELITIAN

3.1:OBJEK... 6 3.2:METODE PENGUMPULAN DATA... 6 3.3:METODE ANALISIS... 7 BAB IV:PEMBAHASAN 4.1:SINOPSIS... 8 4.2:UNSUR INSTRINSIK... 13 BAB V:PENUTUP 5.1:SIMPULAN... 17 5.2:SARAN... 17 DAFTAR PUSTAKA……… 18 BAB I HERMENEUTIKA RICOEUR

SEBAGAI ALAT PENAFSIR KARYA SASTRA

1. Hakekat Hermeneutika Ricoeur

Menurut ricoeur (2006: 58-59), tempat pertama yang dilayani oleh hermeneutika adalah bahasa yang lebih khusus lagi bahasa tulis. Untuk memahami bahasa natural yang cukup menakjubkan sebuah ciri membutuhkan usaha interpretasi ppada tungkat pembicaraan paling dasar yaitu polisemi. Polisemi adalah sebuah ragam kata yang mempunyai makana lebih dari satu ketika dilihat dari luar penggunaannya dari sebuah konteks. Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melekukan dekontekstualisasi, baik dari sudut panddang sosiologis maupun psikologis serta untuk melakukan rekontekstualisasi secara berbeda didalam tindakan membaca(dekontekstualisasi adalah proses pembebasan diri dari konteks, rekontekstualisasi dalah proses masuk kembali kedalam konteks ). Otonomi teks ada tiga macam yaitu, (1) intensi atau maksud pengarang, (2) situasi kultural dan kondisi

(4)

sosial pengadaan teks, dan (3) untuk siapa teks itu dimaksudkan.

Teori Hermeneutika Ricoeur berusaaha mengintegrasika eksplanasi dan ppemahaman dengan suatu dialektika yang konstruktif. Yang terdapat didalam khazanah teks. Teks menururtnya adaalah sebuah wacana tulis. Oleh karena itu, dialektika interpretasi berhubungan erat dengan konsep memisahkan kejadian ucapan dengan dari makna.

2. Definisi Hermeneutika Ricoeur

Hermeneutika menurut ricoeur (2006: 57-58) adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Jadi, gagasan kuncinya adalah realisasi diskursus sebagai teks, sementara pendalaman tentang kategori-kategori teks kana menjadi objek pembahasan kajian selanjutnya. Secara ontologis, pemmahaman tidak lagi dipandang sekadar cara mengetahui tetapi hendaknya menjadi cara mengada (way of being) dan cara berhubungan dengan “segala yang ada” (the beings) dan dengan “ke-mengada-an” (the being).

3. Fungsi Hermeneutika Ricoeur

Fungsi hermeneutika riceoeur adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, mencari daya yang dimiliki kerja teksitu untuk memprroyeksikan diri ke luar dan memungkinkan halnya teks itu mucul ke permukaan. Namun satu hal yang perlu diperhatikan di sini sebagaimana dilansir Thompson (2007: 291) bahwa penjelasan dan pemahan merupakan dua fase interprestasi yang sekalipun uuntuk menghindari subjektivisme, sesungguhnya tidak lepas dari subjek.

4. Cara Kerja Hermeneutika Ricoeur.

Langkah pertama ialah langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Langkah ketiga adalah langkah yan benar-benar filosofis, yaitu berpikir menggunakan simbol sebagai tolak ukurnya. Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa, yaitu semantik, refrleksif, serta eksitensial atau ontologis.

Menurut Ricoeur, da tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbolke gagasan tentang berpikir dari simbol-simbol. Dengan kata lain tiga langkah yang ditawarkan Ricoeur dalam teori interprestasinya dalah prapemahaman(pre-under-standing), penjelasan(explanation), dan pemahaman (comprehension/full understanding). Tiga langkah metodologis ini, menurut Ricoeur, bisa dijelaskan melalui dialektika dalam dua arah, yaitu (1) dialektika yang bergerak

(5)

dari pemahaman menuju penjelasan, dan (2) dialektika yang bergerak dari penjelasan menuju pemahaman (Mukalam dan Hadi, 2006: 261-262).

5. Penegasan Istilah dan Metafora dalam Hermeneutika Ricoeur

a. Teks dan Metavora sebagai Diskursus

Sebuah teks sudah pasti dapat dikerucutkan menjadi kalimat saja, seperti dalam pribahasa, tetapi teks juga mempunyai panjang maksimal(dibuat sesuai keinginan). Teks dapat diperpanjang dari satu paragraf menjadi satu bab, satu buku, satu koleksi, “karya-karya terpilih” atau bahkan saatu korpus “keseluruhan karya” dari seorang pengarang. Teks adalah sebuah wacana tertulis dan karena itu adalah sebuah karya.

Menurut Ricoeur terdapat tiga prinsip dasar yang menjadi ciri khas suatu karya. Pertama, suatu karya adalah totalitas terstruktur yang tidak dapat reduksi menjadi tempat. Kedua, suatu karya dihasilkan sesuai dengan aturan-aturan atau kode-kode yang menegaskan arah aliran sastranya dan mengubah wacana menjadi novel, puisi, atau permainan. Ketiga, bila suatu karya dihasilkan sesuai dengan genrenya, karya tersebut hadir sebagai suatu konfigurasi unik yang membentuk gayanya sendiri (Thompson, 2007: 284).

b. Metavora Menuju Teks Memerlukan Penjelasan

Penjelasaan pada “arti” sebagai pola yang lazim dari sebuah karya, menurut Ricoeur (2006: 232) dapat dikelompokkan menjadi interprestasi sebagai penyelidikan yang berkenaan dengan “kekuatan sebuah karya” untuk memproyeksikan dunianya sendiri dan mengedepankan lingkaran hermeneutis yan spiralnya mencakup pemahaman terhadap dunia yang diproyeksikan maupun peningkatan pemahaman diri dalam kehadiran “dunia” baru tersebut. Hal ini mendorong kita untuk berpindah dari metafora kepada teks pada level “arti” dan penjelasan atas “arti”. Kemudin dari teks kepada metafora pada level rujukan karya ke dunia dan ke diri sendiri, yaitu pada level interpretasi.

Teori Black memberikan kemungkinan bahwa metafora bisa didukung oleh sistem inferensi yang dibentuk secara khusus juga oleh kelaziman yang sudah jamak diterima. Sementara Beradsley mengatakan metafora mengubah piranti (aktual atau aktributif) menjadi arti. Dalam hal ini mereka berdua sepakat menyatakan bahwa penjelasan yang bagus itu harus memenuhi dua prinsip, yaitu prinsip kesesuaian dan prinsip keberlimpahan. Prinsip keberlimpahan pada level makna adalah konsekuensi logis dari prinsip ekspresi utuh yang menarik

(6)

investigasi kita kearah yang benar-benar berbeda. c. Interprestasi Dilakukan dari Teks ke Metavora

Pada level interprestasi, pemahaman terhadap teks menjadi kunci utama menjadi pemahaman terhadap metafora. Karakter-karakter tertentu dari diskursus telah berbentuk karya sastra. Karakter itulah yang telah diletakkan di bawah tema rujukan dan rujukan pada diri sendiri. Dua karakter yang kontradiksi antara arti dan rujukan dapat dikenali dalam unit-unit terkecil dari bahasa sebagai diskursus, yaitu kalimat.

6. Penegasan Istilah Simbol dalam Hermeneutika Ricoeur

Istilah simbol mengandung dua dimensi, yaitu dimensi linguistik simbol dan dimensi linguistik nonlinguistik simbol. Karakteristik linguistik simbol dibuktikan oleh fakta bahwa adalah sangat mungkin untuk mengonstruk semantik simbol, yaitu sebuah teori yang akan mengilhami strukturnya dalam istilah makna dan signifikansi. Dengan demikian simbol mempunyai makna ganda atau makna pertama dan kedua. Menurut Ricoeur, simbol adalah ungkapan yang mengandung makna ganda. Di dalamnya terdapat makna lapis pertama yang disebut makna refresensial atau denotatif. Makna lapis pertama ini mesti di rujuk pada makna lapis kedua, yaitu makna konotatif dan sugestif yang tersembunyi di dalam makna lapis kedua (Thompson, 1990: 6).

Dimensi nonlinguistik, sebuah simbol selalu merujuk pada elemen linguistiknya kepada sesuatu yang lain. Jadi, psikonalisis menghubungkan simbolnya ke konflik psikis yang tersembunyi. Sementara kritik sastra mengacu kepada sesuatu yan lain seperti sebuah gambaran dunia atau hasrat mentransformasi keseluruhan bahasa ke dalam literatur. Sedangkan sejerawan agama melihat miliu manifestasi kesaklaran dalam simbol.

Tiga lankah untuk mengklasifikasi simbol menurut Ricoeur (2002: 120) adalah sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi karakteristik inti semantik dalam setiap simbol, meskipun dapat saja berbeda, pada basis struktur operasi makna dalam ungkapan metaforis. Kedua, fungsi metaforis bahasa memungkinkan kita mengisolasi strata simbol nonlinguistik, prinsip diseminasinya, melalui metode pembalikkan. Ketiga, pemahaman baru terhadap simbol ini akan memberikan kemunculan perkembangan yang lebih jauh daalam teori metaforra. Dalam cara ini teori simbol akan menyempunakan metafora.

(7)

7. Penegasan Istilah Bahasa Sastra dalam Hermeneutika Ricoeur

Menurut Ricoeur(178: 209) ada tiga ciri utama bahasa sastra yang perlu diperhatikan dalam kajian hermeneutika adalah sebagai berikut :

1. Bahasa sastra dan uraian falsafah bersifat simbolik, puitik, dan konseptual. Di dalamnya berpadu makna dan kesadaran

2. Dalam bahasa sastra pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan dan diselami maknanya, tidak dapat dibaca secara sepintas.

3. Bahasa saastra berpeluang menerbitkan pengalaman fiksional dan pada hakikatnya lebih kuat dalam menggambarkan ekspresi kehidupan. Bahasa sastra yang bersifat puitik tidak memberi kemungkinan kepada pembaca untuk memahaminya secra langsung. Oleh karena itu, kegiatan hermeneutika diperlukan. Ricoeur mena,ba Kan bahwa setiap teks berbeda komponen dan struktur bahasa atau semantiknya.

8. Narativasi dan Historitas dalam Hermeneutika Ricoeur

Ricoeur mengaskan bahwa rujukan-rujukan narasi empiris dan narasi fiksional bersilangan tepat pada historisitas atau kondisi historisitas manusia. Konsep rujukan silang menjadi kunci bagi hubungan fundamental anatra narativitas dan historisitas. Hubungan inilah yang pada akhirnya menjadi fungsi naratif sebagai tema hermeneutis. Dengan kata lain , historitas adalah bentuk kehidupan yang berhubungan dengan permainan bahasa dalam cerita.

9. Hermeneutika Kritis Ricoeur untuk Penjelasan Sejarah

Mengelaborasi pendekatan interpreatif dan kritis terhadap studi ideologi merupakan kontribusi terhadap pengembangan suatu hermeneutika kritis. Ricoeur menunjukkan bahwa hermeneutika dan kritik memiliki tugas yang berbeda karena masing-masing mensyaratkan cara yang spesifik. Hermeneutika mensyaratkan saaatu hal kritis sebab kita mempunyai budayadan tradisi pada kondisi tertentu yang membatasi jarak kita pada masa lalu, jarak yang diekspresikan di atas semuanya berada dalam distiansi yang dialami teks.

Karena terlepas dari batas ostensifnya, teks mampu memproyeksikan satu dunia atau satu model kehidupan dunia. Dengan demikian hermeneutika mensyaratkan sikap kritis. Hal ini sependapat dengan sikap pendapat Ricoeur, kritik ideeologi dibatasi oleh kondisi hermeneutis. Oleh karena itu, tidak terdapat wilyah ruang lingkupsejarah daan sosial yang di situ kita akan melakukan penelitian sosial historis. Hasilnya kritik dunia sosial dan diri kita selalu bersifat parsial, fragmentatif,

(8)

terbatas pada karakter hermeneutika pemahaman sejarah.

BAB II

HERMENEUTIKA DILTHEY SEBAGAI ALAT PENAFSIR KRYA

SASTRA BERSIFAT HISTORIS 1. Hakikat Hermeneutika Dilthey

Wilhelem dilthey (1770-1831) melihat adanya segi-segi terlalikan untuk dipikirkan, dia lalu menelaah lebih lanjut pemikiran tentang hermeneutika yang sudah di mulai oleh Schleiermacher, dengan cara melihat hermeneutika sebagai metode geisteswissenschaften sebagai metode semua ilmu sosial dan humanities, yaitu semua studi yang menafsirkan ekspresi kehidupan kejiwaan manusia, seperti sejarang , hukum tertulis, kry seni dan karya sastra.

Orientasi pemikiran dilthey adalah hidup mempunyai satu struktur Hermeneutika. Hidup bagi dilthey merajjuk pada keadaan jiwa, proses dan kegiatan sadar atau tidak sadar, termasuk kegiatan kreatif dan ekspresif yang merupakan substansi sejarah dan objek geisteswissenschaften.

2. Definisi Hermeneutika Dilthey

Dilthey berusaha untuk menyusun epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah. Uasaha ini berkisar pada gagasan tentang komprehensi atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah yaitu wajah dalam ( interior ) dan wajah luar ( exterior )

Kritik dilthey adalah suatu kontruksi spekulatif yang di maksudkan untuk menemukan mkna dalam sejarah sebagai cara memahami dengan lebih mendalam dari pada sekedar penelitian historis. Dithey menyatakan bahwa kenyataan ketergantungan semua bentuk pemahaman kehidupan pikiran ( jiwa ) pada suatu expresi.

3. Fungsi Hermeneutika Dilthey

(9)

arti ekspresi kehidupan batin” yang secara objektif sah” titik tolah dan titik khirnya adalah pengalaman konkrik. Fungsi lainnya adalah memahami orang atau pelaku yang menjadi sejarah.

Menurut dihlty lingkungan eksternal ataupun kejiwaan internal seseorang harus di lihat secara seksama dengan maksud untuk memahami prilakunya. Fungsi Hermeneutika Dilthey adalah melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah aman dari penyelundupan-penyelundupan pandangan yang tidak dapat di pertanggung jawabkan.kontribusi dilthey adalah memperluas horizon hermeneutika dengan menempatkannya dalam konteks interpretasi dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Konsekuensi pandanagan ini bagi teori sastra adalh bahwa seseorang dapat berbicra kembali secara bermakna tentang perdengaran suatu karya atau letiratur dan sebagai akibatnya bentuk ini tidak dapat di lihat sebagai sebuah elemen dalam dirinya sendiri tetapi sebagai sebuah symbol realita dalam.

4. Lingkaran Hermeneutika Dilthey

Menurut Hermeneutika Dilthey, sebelum menganalisis arti sesungguhnya di mulai, di tuntut adanya suatu latar belakang pengetahuan.pengetahuan tersebut bersifat gramatikal ( kebahasaan ) dan bersikaf sejarah. Lingkaran yang sama juga di jumpai pada saat kita memahami pengaru-pengaruh yang di alami engarang atau karyanya. Prosesnya dapat di lanjutkan terlebih jauh lagi, yaitu dengan cara suatu buku dapat di ungkap secara lebih melalui karya-karya lain si pengarang dan arti kaya-karya lain tersebut dapat di baca melalui hidup dan watak si pengarang. pemahaman de facto juga tidak terpisahkan dari apresiasi dan penentuan sehinggaanalisis arti secara tidak tersa menjadi keritik dan selanjutnya mengacu kepenyusunan prinsip-prinsip umum kritik. Kritik yaitu teori ekstetika. Keseluruhan lingkaran hermeneuutis itu memperoleh maknanya dari pungsi bagian-bagianya dan secara resiprokal bagian-bagian tersebut hanya dapat di pahami dengan mengacu kepada keseluruhannya. Makna dan kbermaknaan bersifat kontektual, keduanya merupakan bagian dari situasi. Makna juga bersifat historis, dia berubah selaras sewaktu dan merupakan persoalan hubugan yang selalu berkenaan dengan suatu perspektif saat peristiwa di lihat. Dilthey menyatakan kebermaknaan secara fundamental timbul dari hubungan bagian terhadap keseluruhan yang di dasarkan pada hakikat pengalaman yang hidup.

5. Cara kerja Hermeneutika Dilthey

Dilthey menyatakan bahwa operasi ( vertehen ) berlansung di dalam perinsip lingkaran hermeneotika. Keselurihannya di artikan berdasarkan bagian dan sebaliknya,bagian0bagian hanya dapat di tangkap dalam kaitan dengan keseluruhan. Arti senantiasa bergantung pada hubungannya merupakan bagian dari situasi. Arti

(10)

bersifat historis, yaitu berubah bersama waktu. Arti adalah masalah hubugan yang merunjuk pada jaringan hubungan budaya yang saling berkaitan dan senantiasa berkaitan dengan suatu perspektif dari suatu peristiwa yang di lihat.

Dilthey berpendapat bahwa objektifitas sejarah dapat di capai dan relatifisme sejarah dapat di atasi dengan memusatkan perhatian pada lima geistige gebilde yang terdapat di dalam sejarah.

a. Interpretasi data

Interpretasi adalah suatu seni memahami manisfestasi atau pengejauantahan hal yang bersifat vital dan di tampakkan kepada kebiasaaan tahan lama. Semua bagian dalan interpretasi berlangsung menurut aturan-aturan yang berlaku supaya segala sesuatu kesulitan dapat di atasi. Seni interpretasi lahir lahir berserta dengan aturan-aturannya sendiri. Sedangkan hermeohitika lahir karna adanya pertentangan atau komplik antara aturan-aturan tersebut dan juga karna munculnya antagonism antara gaya atau corakyang berbeda-beda dalam karya-karya interpretasi. Hermeneotika adalah seni mengintrasi teks yang bersikap menumental atau karya-karya besar.

b. Risep sejarah

Delthey menyatakan bahwa pristiwa sejarah dapat di pahami melalui tiga proses sebagai berikut :

1. Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli

2. Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah

3. Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gasan-gagasan berikut,berlaku pada saat sejarawan itu hidup

(11)

BAB III

MENFSIRKAN TEKS SASTRA BERSAMA HABERMAS MELALUI KAJIAN HERMENEUTYIKANYA.

1. Prawacan

Gagasan tentang hermeneutika habermes dapat di baca dalam bukunya knowledge and human interests (pengetahuan dan minat manusia). Ada dua konsep yaitu penjelasan dan pemahaman. Penjelasan adalah menuntut penerapan proposisi teoritis terhadap fakta dan terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis (habermes, 1972:144). Sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis terpadu mejadi satu. 2. Proses pembacaan

Proses habermes hermeneutika meliputi tiga kelas ekspresi kehidupan, yaitu lingustik, tindakan, dan pengalaman. Linguistik menurut habermas adalah ekspresi atau ungkapan dapat sama sekali dipisahkan dari kehidupan konkret, jika tidak berhubungan dengan bagia-bagian khusus dalam konteks tersebut. Dalam hal ini ekspresi linguistik muncul dalam bentuknya yang absolut, yaitu yang menggambarkan pemahaman monologis (sumaryono, 1999:91-92).

Habermes mengungkapkan bahwa pemahaman hermeneutika harus menintegrasikan ketiga kelas ungkapan kehidupan. Hermeneutika habermas ini

(12)

juga dipengaruhi oleh hermeneutika dilthey. Tindakan selalu dikaitkan dengan aktifitas tubuh. Jadi, dalam hermeneutika ditemukan kombinasi antara bahasa, tindakan, dan pengalaman.

3. Habermas membaca sastra antara linguitik, tindakan, dan pengalaman

Pemahaman hermeneutika habermas menganggap interaksi simbolik sebagai fakta dan pemahaman hermeneutikanya tidak memisahkan pernyataan-pernyataan tentang fakta dan fakta yang diamati. Menurut habermas, hermeneutika adalah bentuk pengalaman sekaligus analisis gramatikal (hardiman, 2004:192).

Ekspresi linguistik ini sangat terkait dengan konteks kehidypan kongkret, sombol-simbol linguistik ini menjadi semakin dialogal. Kontes kehidupan kongkret, itu dapat juga dieksplisitkan dengan tindakan. Tindakan dapat melengkapi makna yang tak dapat di ungkapkan dengan melalui bahasa. Tindakan ini menurut habermas dilakukan dengan tetap berpedoman pada norma. Dalam kaitan ini, habermas menyebut tindakan ini dengan nama tindakan komunikatif. Tindakan komunikatif tampak dalam bentuk interaksi yang mendasarkan diri pada harapan-harapan timpal balik terhadap tingkah laku masing-masing pihak. Selanjutnya, secara hemeneutik, ekspresi-ekspresi pengalaman dipahami sebagai tanda dari maksud-maksud dinyatakan, tapi juga tanda dari hubungan yang tidak stabil antara ego dan obkektifasi.

Dengan demikian, hermeneutika habermas juga berusaha mengadopsi pandangan dilthey tersebut tentang lingkaran hermeneutika yang mengaitkan linguistik dan praxis, analisis bahasa dan pengalaman, lingkaran hermeneutika itu sejajar dengan proses belajar komulatif dari logika penelitian peirce.

4. Kritik idiologi dan teori kritis dalam perseptif habermas

Fungsi yang dianggap habermas mengacu pada marcuse sebagai idiologi modern, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi itu diperlukan pengetahuan empiris dan kepentingan tehnis. Habermas juga memperhadapkan tindakan komunikatif dengan sistem tindakan mental. Dia menghubungkan ranah ini dengan wilayah ilmu pengetahuan historis hermeneutis.

Teori kritis berusaha untuk menggambarkan bagaimana kekhususan yang kongkret diangkat oleh kekuatan sosial yang lebih umum dan abstrak dengan mengusahakan kekhususan untuk menjelaskan kekuatan sosial yang lebih luas. Tentu saja kritik idiologi memerlukan sistem acuan yang melampui batas-batas tradisi, sistem yang akan meruntuhkan keabsolutan tradisi dengan menjelaskan secara sistematis kondisi-kondisi empiris dimana tradisi tersebut berkembang dan berubah. Di samping pemahaman hermeneutis harus jadi kritik herdiologi, dia juga harus jadi analisis sistem sosial. Implikasi dari hermeneutika bukanlah keterikatan pada tradisi tapi juga memahami ketika mengamati secara sesama

(13)

berbagai prasangka yang mendisporsi realitas.

5. Tindakan komunikatif dalam hermeneutika sastra habermas

Tujuan rasional substantif teori kritis adalah dunia kehidupan yang bebas dari bentuk-bentuk penaklukan cara inheren ada dalam kebenaran atau keabasahan intersubjektif yang menjadi tolok ukur semua tindakan wicara. Tindakan wicara konstantif dan regulatif memiliki kedekatan khusus dengan duania sejajar dan dekat dengan dunia aksi habermas. Ini adalah dunia diskursus atau srgumentasi. Jika sebuah tindakan konstantif di tolak, dan usaha-usaha untuk mendpatkan landasan empirisnya juga ditolak, maka tampaknya kita beralih pada diskursus teoritis. Jika sebuah tindakan regulatif di tolak dan norma-norma sosial yang mendasari pelaku tindakan regulatif juga ditolak, maka pembicara dan pendengar segera beralih pada dunia diskursus peraktis, yabg didalamnya argumen diuraikan demi keabsahan norma-norma tersebut.

Diskusi tentang hermeneutika memaikan peran yang sangat penting dalam metodologi habermas. Hermeneutika mengarah pada serangkaian gagasan inti dalam formulasi teori sosial kritis yang belum dikembangkannya secara memuaskan.

BAB IV

FOKLOR, SATRA LISAN, DAN MITOS DI KALIMANTAN SELATAN

1. Kondisi Penelitian Sastra di Indonesia

Maraknya penelitia sastra lisan dan sastrs melayu klasik di indonesia akhir-akhir ini mengundang gairah (geliat) bteori satra lisan untuk berperan penting. Foklor pun tak luput dari sorortan para peneliti Indonesia. Hal ini menjadi suatu pertandaa naiknya pamor mereka dalam kancah akademis. Disertai-disertai di Universitas Universitas Negeri Malang yang mengkaji foklor, sasatra lisan, dan mitos antara lain Panji Narawangsa : Analisa Struktur dan Fungsi serta Hubungannya dengan

(14)

Pendidikan ;Sistem Simbol dalam Munaba, Waropen Papua; Teka-Teki Jawa, Struktur Wacana Lontara La Galigo ; Mitos Amungme : Reprensentasi Budaya Amungme; Mitos Asal-Usul Kejadian dalam Hoho, Masyarakat Nias, Sumatera Utara, dan lain-lain.

Kajian mengenai foklor, satra lisan, dan mitos sangat menarik untuk diuraikan karena bermanfaat bagi dasar teori pengkajian sastra Melayu klasik di Indonesia. Pengkajian teori foklor, sastra lisan, dan mitos di Indonesia dewasa ini masih memanfaatkan teori dari dunia Barat. Sebut saja, buku The Study of Foklore yang di editori oleh Alan Dundes (1965), The Study of American Foklore, an Introduction karangan Jan Harold Bruvand (1968), Teori and History of Foklore karangan Vladmir Propp (1984), dan lain-lain. Kalau pun ada buku tentang sastra lisan di Indonesia, itu nsebenarnya diilhami dari buku-buku di atas. Buku-buku itu antara lain Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Satra Lisan karangan Suripan Sadi Hutomo (1991), Indonesia : Antara Kelisana dan Keberaksaraan karangan A. Teeuw (1994), dan Metode Penelitian Sastra Lisan karanga Setya Yuawab Sudikan(2001), dan lain-lain.

Foklor, sastra lisan, dan mitos di Kalimantan Selatan merypakan warisan turun-temurun yang senantiasa memberikan nilai pendidikan dan nilai budaya bagi generasi muda untuk mempertahankan jati diri daerah dan budayanya. Jati diri dan eksistensi itu menuntut pemertahanan dan pelestarian dari generasi muda sekrang untuk lebih memasyarakatkan dan menciantai budayanya tersebut. Alhasil, tentu saja ini menunutut kesiapan mereka dalam menghargai dan menghormati budayanya tersebut.

2. Foklor

Foklor berasal dari bahasa inggris foklore. Kata itu adalah kata majemuk yang bersal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Folk yang sama artinya dengan kata kolektif (colectivity). Menurut Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Namun yang lebih penting lagi ialah bahwa mereka telah memiliki sesuatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya ada dua generasi yang dapat mereka akui sebgai milik bersamanya. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri (Dundes, 1965: 2; 1977 : 17-35; 1978: 7). Jadi folk adalah sinonim dengan kata kolektif yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau pembantu pengingat (mnemonic device).

(15)

kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, nbaik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).

Berikut ini akan disajikan ciri-ciri pengenal utama foklor yang membedakannya dari kebudayaan lainnya (Brundvand, 1968: 4; Carvalho-Neto, 1965; 70; Danandjadja, 2002: 3-5).

a. Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.

b. Foklor bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).

c. Foklor ada dalam variasi-variasi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut(lisan). Biasanya bukan dari cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa lupa diri manusia atau prosese interpolasi(interpolation), foklor dengan mudah mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaan terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.

d. Foklor bersifat anonom, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi atau tidak ada pengarangnya.

e. Foklor biasanya mempunyai bentuk berpola. Cerita rakyat misalnya selalu menggunakan kata-kata klise seperti bulan empat belas hari untuk menggambarkan kecantikan seorang gadisdan seperti ular berbelit-belit menggambarkan kemarahan seseorang atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembuka dan penutup yang baku, seperti kata sahibul hikayat... dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya, atau menurut yang empunya cerita....demikianlah konon.

f. Foklor mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan untuk alat mendidik, pelipur lara, protes sosial, dan peroyeksi keinginan terpendam.

g. Foklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini teruttama berlaku bagi foklor lisan dan sebagian tulisan.

h. Fokllor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karrena penciptanya yang pertama sudah diketahui lagi sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memikinya.

(16)

i. Foklor pada umumnya bersifat polos dan lugusehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dimengerti apapbila mengingat bahwa banyak foklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya. Orang yang pertama kali memperkanalkan istilah foklor ke dalam ilmu pengetahuan adalah Wiliam John Thomas, seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian) Inggris. Istilah itu di perkenalkan pertama kaali dalam bentuk surat terbuka dalam majalah The Ahenacum No. 982, tanggal 22 Agustus 1846, dengan mempergunakan nama samaran Ambrose Merton (1846: 862-863). Ddalam surat terbuka itu, Thoms mengakui bahwa dialah yang telah menciptakan istilah foklore untuk sopan santun inggris, takhayul, balada, dan sebagainya dari masa lampau, yang sebelumnya disebut dengan istilah antiquites, popular antiquites, atau popular literatur (Dundes, 1965 : 4).

3. Foklor dan Sastra Lisan

Foklor hanya merupakan sbeagian kebudayaan, yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau lisan. Itulah sebabnya ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan. Padahal foklor lebih luas cakupannya bila dibandingkan dengan tradisi lisan. Menurut Danandjadja (2002 : 5) tradisi lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, pribahasa, dan nyanyian raktyat. Sedagnkan foklor mencakup lebih luas dari itu, seperti tarrian rakyat dan arsitektur rakyat.

Brunvand (1968: 2-3) membagi foklor itu menjadi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu (1) foklor lisan(verbal foklore); (2) foklor sebagaian lisan (partly verbal foklore); dan foklor bukan lisan (nonverbal foklore). Brunvand (1968: 3) juga menggunakan istilah mentifact siciofact, dan artifact. Foklor lisan adalah foklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) yang termasuk ke dalam foklor lisan ini antara lain (a) bahasa rakyat(folk speech) seperti logat, julukan, pangkat traditional, dan title kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) perntanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dn syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mitos, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.

Foklor sebagian lisan adalah fokor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang modern menyebutnya takhayul itu terdiri atas pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib. Bentuk-bentuk foklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lai-lain.

Foklor bukan lisaan adalah foklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua

(17)

subkelompok, yaitu yang material dan bukan material. Bentuk-bentuk foklor yang bukan material antara lain arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajianan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-o batan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di jawa dan bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di afrika), dan musik rakyat.

Satra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Ciri-ciri sastra lisan itu adalah (1) lahir dari masyarakat yang polos,belum melek huruf, dan bersifat tradisional;(2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran jenaka, dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. Di samping itu terdapat juga ciri-ciri yang lain seperti (1) sastra lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise, dan (2) sastra lisan sering bersifat menggurui (Endraswar, 2006: 151).

Hutomo (1991: 62) menjelaskan bahwa satra lisan dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu (1) bahan yang bercorak cerita seperti; cerita-cerita biasa, mitos, legenda, epik, cerita tutur, memori. (2) bahan yang bercorak cerita seperti; ungkapan, nyanyian, peribahasa, teka-teki, puisi lisan, nyanyian sedih pemakaman,undang-undang atau peraturan adat. (3) bahan yang bercorak tingkah laku (drama) seperti; drama panggung dan drama arena

Satra lisan berisi cerita-cerita yang disampaikan secara lisan dan bervariasi mulai dari uraian genealogis, mitos, legenda, dongeng, hingga berbagai cerita kepahlawanan (Sedyawati, 1996:5). Perkembangan satra lisan dari mulut kemulut menyebabkan banyak versi cerita yang berbeda. Sementara itu Pudentia (1999: 32) sastra lisan itu mencakup cerita rakyat, teka-teki, pribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda.

Sastra lisan itu merupakan bagian dari foklor yaitu segala sesuatu yang tercakup dalam kehidupan kebudayaan rakyat seperti adat-istiadat, kepercayaan, dongeng dan ungkapan(lihat webster, 1958 : 80). Sastra lisan mencakup tarian-tarian rakyat, drama rakyat, perumpamaan, teka-teki, adat kebiasaan, kepercayaan pepatah, legenda, mite, dan cerita lisan rakyat (lihat shippley, 1962: 161-163).

(18)

Teori-teori mitos golongan poligenesis ini natara lain teori survival kebudayaan Andrew lang, teori psikoanalisis, teori euhemerisme, teori neo-euhemerisme, teori ritual mitos Raglan, dan teori Mircea Eliade. Berikut ini disajikan teori-teori mitos golongan poligenesis secara berurutan.

Teori survival Andrew Lang ini dapat dimasukkan ke dalam golongan teori poligenesis karena mempunyai paham yang menganggap bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunyai kemampuan untuk berevolusi. Oleh karenanya, masing-masing folk mempunyai kemampuan untuk melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama dalam taraf evolusi yang sama. Jadi, sampia ada motif cerita rakyat yang sama dari berbagai negara mempunyai kemampuan untuk menciptakan secara berdiri sendiri maupun sejaajar. Teori survival sendiri berarti peninggalan yang dapat hidup terus dalam kebudayaan.

Teori mitos psikoanalis dipelopori oleh Sigmud Freud, Carl Jung, dan lai-lain. Menurut teori ini, persamaan-persamaan mitos-mitos di berbagai tempat buan disebabkan difusi (penyebaran) melainkan disebabkan penemuan-penemuan yang berdiri sendiri. Mitos-mitos itu dapat mirip satu sama lain, karena danya yang disebut Carl Jung sebagai kesadaran bersama yang terpendam pada setiap umat manusia yang diwarisinya secara biologis. Kesadaran bersama yang terpendam itu berupa antara laian berupa keinginan untuk bersetubuh, keinginan untuk kembali kedalam rahim, dan keinginan untuk lahir kembali.

Teori Euhemerisme telah dikembangkan seejak abad ke-4 S.M. Teori Euhemerisme diambil dari nama pencetusnya, yaitu Euhemerus, seorang filsuf Sisila (330-260 S.M.). Dialah yang menganggap bahwa manusia menciptakan para dewanya berdasarkan wajahnya sendiri. Menurut dia, para dewa dari mitologi pada hakekatnya adalah manusia (pria maupun wanita), dan mitos sebenarnya adalah kisah nyata orang-orang yang hidup, namun kemudian kisah itu mengalami distorsi (Webster New Word Dictionary, 1959: 501).

Berdasarkan teori Euhemerisme lalu muncul semacam teori neo-Euhemerisme, yang dikenl dengan nama heroic age theory dari H.M. dan N.K. Cadwick. Teori ini diuraikan dalam buku mereka yang berjudul The Growth of Literature (3 jilid, 1932-1940). Menurut mereka, tokoh-tokoh mitologi seperti, Beowulf(inggris), Seigfred (Jerman), Roland (Prancis), dan Cuhulin (Irlandia), sebenarnya adlah kepal-kepala suku-suku pengembara, yang memang pernah hidup dalam zaman Eropa purba. Kisah pertualangan mereka diwariskan kepada generasi kemudian dalam bentuk mitos. Teori ini dinamakan pula heroic agae theory.

Teori ritual mitos dikemukakan pertama kali oleh Raglan (1956) dalam bukunya The Hero : A Study in Tradition, Myth, and Drama. Teori ini menganggap

(19)

bahwa assal mitos b

kanlah sejarah. Menurut Raglan, walaupun pribadi pahlawan-pahlawan mitos adalah tokoh sejarah, namun riwayat hidupnya yang kita kenal sebagai mitos bukanlah sejarah pribadi orang-orang itu sendiri. Hal ini disebabkan riwayat hidup orang-orang itu bukanlah diambil dari riwayat hidup mereka yang asli, melainkan dari riwyat hidup tradisional, yang telah ada dalam repertoar foklor. Pola riwyat hidup tradisioanal menggambarkan pola lingkaran hidup, yang menceminkan usaha peralihan dan kelahiran, inisiasi, dan kematian, mungkin dari tokoh-tokoh bangsawan yang di anggap sebagai titisan dewa (Dundes, 1965: 142).

Seperti halnya Johan Georg von Hahn (1864), Alfred Nutt (1881), Otto Rank (1957), Vladimir Propp (1958), Josehp Campbell (1970), dan Jan de Vries (1963), Raglan juga telah mengabstraksikan semua riwyat tokoh, tokoh mitologi yang telah diteliti. Dia berpendapat bahwa isi cerita siklus tokoh-tokoh rakyat di nseluruh dunia, seperti cerita Oedipus, Theseus, Romulus, Nabi Musa, Nyikang(dari Afrika), dan Ratu Watu Gunung ( dari jawa), pada umumnya mengandung sebagian besar dari 22 unsur cerita yang telah ia rumuskan itu.

Fungsi mitos yang termasuk kedalam foklor itu menurut Bascom (1965a: 3-20) ada empat yaitu: sebagai sistem proyeksi yaitu sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Sementara itu, Dundes,ed. (1965: 277) membagi fungsi mitos yang termasuk ke dalam fungsi foklor itu menjadi lima, yaitu; alat pendidikan, peningkatan perasaan solidaritas kelompok, pengunggul dan pencela orang lain, pelipur lara, dan krritik masyarakat.

Berdasrakan teri-teori mitos diatas, teori mitos dari Raglan dan teoi mitos Mircea Eliade cukup representatif digunakan untuk mengkaji mitos. Hal ini disebabkan kedua teori mitos tersebut sudah memiliki ciri-ciri mitos yang cukup lengkap untuk mengkaji suatu mitos. Peneliti memilih teori mitos poligenesis ini didukung oleh pernyataan Danandjaya (2002: 62) yang mengatakan bahwa jika kita mulai melihat mitos-mitos dari luar pulau Jawa maka teori polegenesislah yang menang.

(20)

a. Foklor di Kalimantan Selatan

Di Kalimantan Selatan di kenal dengan adnya cerita Radin Pengantin yang hampir mirip dengan cerita Mlain Kundang di Teluk Bayur, Sumatera Barat. Radin Pengantin juga durhaka kepada kepada ibunya setelah sukses menjadi perantau dan kembali kedaerahnya dia tidak mengakui ibunya kaerna ibunya miskin. Mereka pun dikutuk ibinya dan akhirnya mereka menjadi batu.. sehingga sekarang di Kalimantan Selatan di kenal asal-mula daerah Pagat, Batu Banaw yang merupakan daerah terkenal di daerah Hulu Sungai Tengah sebagai tempat tujuan wisaata. Menurut tuturan setempat, daerah tersebut terbntuk dari kapal yang pecah akibat sumpah seorang ibu. Mtoif anak durhak juga tersebar di Kalimantan Selatan.

Pernah dulu dalam pelajaran bahasa Indoneseia di SMU diajarkan bahan bacaan Legenda Putmaragayang isinya kurang lebih cerita Radin Pengantin itu. Waktu kecil di tinggal bersama ibunya sambil memelihara ikan gabus. Kemudian dia pergi merantau ke negeri orang, setelah berhasil dia kembali ke negeri asalnya dan bertemu ibunya. Namun karena ibunya miskin dia tidak mengakui ibunya itu walaupun sudah ditunjukkan oleh ibunya bukti hewan peliharaannya dulu ketika masih kecil, yaitu ikan gabus. Ibunya pun marah dan mengutuk anaknya itu. Setelah Putmaraga kembali berlayar, ditengah jalan kapalnya dihantam badai dan pecah. Putmaraga pun berubah menjadi batu dan bekas kapalnya menjadi gunung.

Selain itu, di Kalimantan Selatan terdpat juga cerita rakyat Lok si Naga. Cerita Lok si Naga terdpat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kandangan. Lok si Naga berkisah tentang seorang biasa yang akhirnya berubah menjadi naga setelah memakan telur naga. Hal ini menandakan adanya mito naga dalam kesusastraan rakyat Banjar. Motif naga juga terdapat dalam Hikayat Carita Raja Banjar dan Raja Kota Waringin. Namun yang ada dalam hikayat tersebut adalah sepasang naga putih peliharaan Putri Junjung Buih. Bukan hasil reinkarnasi manusia. Namun dalam Tutur candi, naga adalah hasil reinkarnasi manusia.

b. Sastra Lisan di Kalimantan Selatan

Sastra lisan dapat bertahan secara turun-temurun karena sifatnya yang lentur, tidak kaku, dan penyajiannya belainan dengan sastra tertulis yang acapkali sudah dibatasi oleh acuan tertentu, misalnya aturan penulisan. Sastra lisan mempunyai ciri-ciri gaya bahasa yang berlainan dengan sastra yang tertulis walaupun perbedaan itu begitu mencolok. Ciri-ciri khas yang berwujud pengungkapan alam

(21)

pikiran masyarakat, norma hidup, nilai-nilai, tercakup dalam sastra lisan, seperti sering tergambar pula dalam satra tertulis.

Sastra lisan di Kalimat Selatan banyak ragamnya terutama puisi lama. Puisi lama itu antara lain mantera, karmina, pantun, peribahasa, ungkapan tradisioanl, capatian atau cucupitan (teka-teki), mahalabio, dan lain-lain. Sastra lisan yang masih bertahan sampai sekarang adalah mantera, pantun,teka-teki, dan mahalabio. Sedangkan syair, pribahasa, dan ungkapan Banjar hanya dapat dibaca di museum, perpustakaan, atau toko buku sebagai sastra tulis.

Sastra tulis yang cukup menarik dan pantas menjadi sorotan adalah capatian dan mahalabio. Selain masih dituturkan orang Banjar sampai sekarang kedua sastra lisan itu sangat jarang diteliti oleh peneliti sastra lisan Banjar. Capatian merupakan teka-teki yang ada di daerah Banjar hulu. Sedangkan di Banjar kuala namanya adalah tatangguha. Mahalabio semula da di daerah Alabio, Hulu Sungai Utara. Namun kahirnya menyebar ke seluruh penjuru Kalimantan Selatan sejalan dengan migrasi orang Banjar di Alabio ke daerah-daerah di sekitarnya. Mahalabio merupakan teknik bercerita untuk mengelabui lawan tutur, bisa berisi teka-teki dan humor. Rafiek (2005) menyebutnya sebagai jebakan bahasa, karena bila lawan tutur tidak menyimak dengan seksama apa yang diceritakan atau yang ditanyakan penutur mereka akan terkecoh atau terjebak.

Sastra lain yang harus diselamatkan dari kepunahan adalah Karmina Banjar. Karmina Banjar rumusnya sama dengan karmina dalam sastra Melayu karena bentuknya yang merupakan versi pendek dari pantun dan berpola a-b-a-b. Sebagai contoh karmina Banjar dapat dilihat pada contoh di bawah ini.

Pipit hirang (a)

Pipit kelau (b)

Awak hirang (a)

Katiak babau (b)

Cing (a)

(22)

Tahi kucing (a)

Di atas lantai (b)

Pit (a)

Kudayam (b)

Mata sipit (a)

Dipatuk ayam (b)

Tek nong (a)

Kaleker pacah (b)

Itik bakunyung (a)

Kada basah (b)

Berdasarkan contoh yang di atas dapat diketahui bentuk karmina Banjar memang unik dan jarang dikira sebagai bentuk sastra lisan karena bentuknya yang pendek dan sebagai seloroh biasa. Sepak terjang karmina Banjar yang lebih banyak menyindir dan membuat kesan humor itulah yang membuatnya kurang dilirik “para akademisi” dan “peneliti” dalam kajian sastra mereka. Alhasil, bisa dibayangkan karmina Belajar ke depan diambang kepunahan.

Namun ada satu hal yang menarik dari Karmina Banjar bila menyindir orang untuk mengetahui orang yang kentut tetapi tidak mau mengaku, ada bebagai versi. Hal ini dilakukan agar orang kentut malu atau takut dikatakan sesuai isi karmina. Hal ini terlihat pada contoh di bawah ini.

(23)

Sang tut (a)

Bakul rumbis (b)

Siapa bakantut (a)

Anak bugis (b)

Sang tut (a)

Bilahampang (b)

Siapa bakantut (a)

Anak kampang (b)

Sang tut (a)

Bigi tiwadak (b)

Siapa bakantut (a)

Buritnya meledak (b)

Sang tut (a)

Nyiur rabah (b)

(24)

Pukul abah (b)

Di samping itu, terdapat pula khazanah sastra lisan Banjar yang sudah mulai pudar dilakukan di masyarakat seperti tradisi babalas pantun, pantun bantaran, dan bapandung. Oleh karena itu,boleh jadi kedepan konsep pemertahanan bukan sajamilk bahasa dalam arti komunikasi tetapi juga milik sastra yang menggunakan media bahasa sebagai alat komunikasi. Pemertahanan sastra lisan sebagai suatu ciri penanda identitas daerah perlu senantiasa dilestarikan dengan cara inventarisasi pendokumentasian untuk disebarluaskan keseluruh pelosok daerah. Hal ini sudah dirintis dan dikembangkan oleh Syamsiar Seman dan Tajuddin Noor Ghani.

c. Mitos di Kalimantan Selatan

Kalimantan Selatan kaya akan khazanah karya sastra klasik, baik yang hidup maupun yang sudah tidak hidup lagi dalam masyarakat Banjar. Sastra klasik tersebut umumnya berupa sastra lisan yang kemudian ditranskripsi dan dibukukan. Berdasarkan informasi dari buku Sastra Lisan Banjar yang merupakan hasil penelitian Sunarti, Purlansyah, Seman, Maswan, Kadir (1978) didapat klasifikasi sastra klasik Banjar atas empat jenis. Keempat bentuk sastra lisan Banjar itu diklasifikasikan dalam bentuk prosa, puisi, prosa liris, dan bentuk khusus. Bentuk prosa terbagi atas legenda, sage, fabel, mitos, asal-usul tempat, kisah datu, kisah hantu dan raksasa, kisaah senjata dan cerita humor. Bentuk puisi terbagi atas pantun, pantun permainan, bacaan, syair, dan baandai (baduan). Bentuk prosa liris terbagi atas bandi-bandi kekanakan dan andi-andi. Sementara itu bentuk khusus terbagi atas lamut, mamanda, madihin dan wayang Banjar.

Dalam satra lisan Banjar ternyata terdapat jenis mitos dalam bentuk prosa. Contohnya adalah kisah binatang sebagai penjelmaan manusia yang istimewa seperti kisah Raja Baung, Kucing Balaki Raja, dan Kawin Lawan Babi. Sedangkan kesaktian sebagai sumber tema cerita terdapat dalam Balik Kungkang dan Bulan sairang. Dalam masalah mitos tidak di kaji secara mendalam (Sunarti, Purlansyah, Seman, Maswan, Kadir, 1978: 70). Oleh Sunarti, Purlansyah, Seman, Maswan, Kadir (1978: 40-51), salah satu Hakikat Carita Raja Banjar dan Raja Kota Waringin, yaitu Tutur Candi diklasifikan kedalam jenis sage, yaitu jenis cerita rakyat yang menceritakan kepahlawanan, kejantanan, dan cobaan hidup. Klasifikasi ini pula ternyata didukung oleh Bascom (1965: 4-5) yang menyatakan

(25)

mitos juga menceritakan pertualangan para dewa, kissh peercintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya. Khusus mengenai Hakikat Carita Raja Banjar dan Raja Kota Waringin belum ada dan disinggung dalam klasifikasi diatas. Padahal berdasarkan pengatar peneliti, sastra Banjar dapat dibagi sekurang-kurangnya menjadi tiga genre besar, yaitu prosa, puisi, dan teater tradisional. Genre prosa dapat diwakili dengan naskah Hakikat Carita Raja Banjar dan Raja Kota Waringin dan Tutur Candi. Genre puisi diwakili oleh pantun, karmina, syair, mantra, ungkapan tradisional, teka-teki (cucupatian), mahalabio, dan lain-lain. Sementara teater tradisional seperti mamanda, cerita lamut, dan lain-lain.

Kalaupun kisah Datu mau dimasukkan kedalam sastra lisan Banjar yang mengandung mitos kiranya hal itu cukup memenuhi syarat. Sebagaimana yang dilansir oleh Sunarti, Purlansyah, Seman, Maswan, Kadir (1978:70) bahwa mitos adalah kisah-kisah yang berhubungan dengan keajaiban dan erat kaitannya terhadap kepercayaan kepada para dewa-dewa yang mendapat tempat luas dalam masyarakat. Kisah datu-datu yang terkenal di Kalimantan Selatan antara lain Datu Munig, Datu Suban, Datu Sanggul, Datu Niang Talib, Datu Marukat, Datu Taruna Barikin, Datu Kalua, Datu Lebai Duliman, Datu Pujung, Datu-Datu Penjaga Pulau Laut, Datu Panjang, Datu Nuraya, Datu Tungkaran, dan lain-lain.

Mitos yang paling kuat saat ini dan peneliti temui daalam masyarakat Banajr di Kalimantan Selatan adalah mitos tokoh Pangeran Surianata, Putri Junjung Buih, dan Patih Lambu Mangkurat sebagai cikal bakal lahirnya raja-raja Banjar terkemudian. “Masyarakat Banjar Generasi Tua” menyatakan tokoh itu benar-benar ada tetapi gaib. Tetapi kenyataannya cerita itu adalah cerita yang ada dalam naskah Tutur Candi dan Hikayat Banjar yang dulu diceritakan oleh dalang istana.

Unsur-unsur cerita yang membangun mitos adalah sebagai berikut; ibuunya seorang perawan bangsawan, ayahnya seorang raja dan sering kali ayahnya itu kerabat dengan ibunya, ttetapi terjadinya prosese pembuahan anak tidak wajar, dan dia juga terkenal sebagai putra dewa, setelah dia di lahirkan, ada usaha, seringkali dari pihak ayahnya ingin membunuhnya, tetapi dia disembunyikan secara rahasia, dan dia dipelihara oleh orang tua angkatnya di negara jauh mengenai masa anak-anaknya tidak diketahui orang, tetapi menginjak usia dewasa dia kembali atau mrnuju kekerajaannya yang akan datang, dia kembali atau menuju kekerajaanya di kemudian hari, setelah berhasil menaklukkan raja (ayahnya), raksasa atau binatang liar, dia menikah dia menikah dengan seorang putri, sering kali putri raja yang telah dia taklukkan, dan dia menjadi raja, untuk beberapa waktu ia memerintah dengan tenang tanpa terjadi hal-hal yang luar biasa, dan dia membuat undang-undang, kemudian dia kehilangan kurnia (sokongan) para dewa, atau rakyatnya, dan dia jatuhkan dari singgasananya serta

(26)

diusir dari kota atau kerajaannya, dia meninggal dunia secara rahasia, seringkali tempat meninggalnya di puncak suatu bukit, anak-anaknya, jika mewarisi singgasananya, jenazahnya tidak dimakamkan, namun setelah wafat, dia mempunyai satu atau beberapa cungkup (sepulcher) suci (Raglan, 1965: 145).

Dengan penemuan unsur yang mendasari mito-mitos tokoh-tokoh di seluruh dunia, Raglan berkesimpulan bahawa yang menyebabkan riwayat hidup tokoh-tokoh dan cerita prosa identik adalah adanya pola perumusan yang sama didalam mitos mereka. Berdasarkan penemuan ini Raglan selanjutnya berkesimpulan bahwa cerita siklus tokoh-tokoh rakyat kurang mengandung nilai sejarah. Sebab menurut dia kalaupun tokoh-tokoh itu dalah pribadi-pribadi yang benar-benar pernah hidup, namun riwayat hidupnya yang diketahui sekarang sebagai cerita prosa rakyat sudah tidak asli lagi, sudah di rombak sedemikan rupa, sehngga sesuai dengan rumusan cerita siklus tokoh-tokoh rakyat rakyat tradisonal (Raglan, 1965: 150).

Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat dituturkan tetapi juga dapat diungkapkan lewat tarian-tarian ataupun pementasan wayang. Inti-inti cerita itu ialah lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian, dosa dan penyucian, perkawinan dan kesuburan, firdaus dan akhirat. Mitos mengatasi makna cerita dalam arti kata modren, isinya lebih padat daripada serangkaian peristiwa-peristiwa yang menggetarkan atau yan menghibur saja.

Mitos tidak hanya terbatas pada semacam reportase mengenai peristiwa-peristiwa yang dulu terjadi, sebuah kisah mengenai dewa-dewa dan dunia-dunia ajaib. Fungsi pertama mitos adalah menyadarkan manusia bahwa dad kekuatan-kekuatan ajaib. Fungsi kedua mitos adalah memberi jaminan bagi masa kini. Fungsi ketiga mitos adalah memberikan pengetahuan tentang dunia, baik khosmogoni maupun ttheogoni. Khosmogoni adalah cerita-cerita mengenai terjadinya langit dan bumi. Theogoni adalah dongeng-dongeng mengenai terjadinya dewa-dewa (van Peursen, 1993: 34-41).

(27)
(28)

BAB V

REFRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM KUCH-KUCH HOTA HAI

1. Penelitian Tentang representasi perempuan dalam film india

Film ini berhasil mengajak penonton untuk hanyut dalam jalinan kasihnya yang dibalut suasana haru. Menurut krishnan dan dighe (1990), representasi perempuan ideal ditelevisi india berasal dari teks-teks maha brata dan ramayana yang menyediakan moral ideal dan struktur ideologis bagi serangkaian film populer india yang di produksi di mumbay yang mentraspormasikan dan mengerjakan ulang sejumlah sistem narasi dan sistem nilai mereka dalam penelitiannya itu, mereka menemukan karakter

(29)

perempuan dalam film fiksi di televisi india, yaitu rela berkorban, tergantung, ragu untuk bersenang-senang, mendefinisikan dunia melalui ruang keluarga, emosional, dan senti mental.

2. Kata representasi

Kata representasi berasal dari bahasa inggris, yaitu respresentation. Repsentasi adalah perbuatan mewakili, keadaan diwakili, apa yang mewakili, atau perwakilan. Representasi bisa juga digunakan sebagai gambaran. Kata ini banyak digunakan dalam penelitian bahasa dan sastra di indonesia akhir-akhir ini.

(30)

BAB VI

MEMBACA MITOS DALAM HIKAYAT RAJA BANJAR BERSAMA CLAUDE LEVI-STRAUSS

1. Penelitian awal tentang hikayat banjar

Penelitian-penelitian awal yang pernah dilakukan oleh ras (1968) masih berupa penelitian tentang kebudayaan, sedikit sejarah, perbandingan naskah, dan sedikit sejarah banjar, jawa, dan melayu. Penelitian mengenai segi intrinsik masih sedikit dilakukan oleh ras. Penelitian ini lebih ini menitikberatkan pada telaah sastra dengan menggunakan pendekatan struktural-hermeneutik yang banyak meneliti baca dari buku dan tulisan heddy shri ahisma putra. Kesulitan-kesulitan yang dialami peneliti dalam menerpkan analisis berupa pendekatan strukturalisme adalah kesulitan pengkotak-kotakan cerytheme berdasarkan mytheme-myteme (berdasarkan satuan-satuan mitos).

(31)

Mamfaat penelitian yang diharapkan adalah memberikan pengetahuan dan praktik penganalisisan sastra klasik dngan pendekatan strukturlisme cloude levi-strouss.

2. Strukturalisme claude levi-strauss,

Strukturalisme mendasarkan diri pada semiologi ala sausure dan sekaligus melampauinya. Namun, dia tampak sering melampaui batasan-batasan kaku dari berpungsinya tanda. Tokoh utama strukturalisme dalam kehidupan intelektual prancis adalah seorang antropologi bernama claude levi-strauss.

Bagi levi-strauss, fenomena antropologi seperti sistem kekerabatan baru dapat dipelajari maknanya jika diletakkan dalam kerangka relasi-relasi struktural. Mitos dibongkar dengan memilahnya menjadi ndua poros. Poros sintagmatik yaitu urutan cerita secara horizontal dan poros paradigmatik berupa kumpulan relasi secara vertikal.

Teori hermeneutika menurut medison terpokus pada persoalan-persoalan umum interprestasi sebagai metode human science yang merupakan perpotongan antara semantik dengan kritik ideologi, struktualisme dengan analisi konsep.

3. Langkah kerja analisis struktural levi-strauss

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriftif kualitatif dengan berpedoman pada analisis strukturalisme claude levi-strauss yang menganggap bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa atau seperangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu.

Langkah-langkah analisis struktural

a. Membaca keseluruhan cerita terlebih dahulu.

b. Apabila cerita-cerita itu terlalu panjang, maka cerita tersebut dapat dibagi menjadi beberapa episode.

(32)

c. Setiap periode menganddung deskrifsi tentang tindakan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita.

d. Memperhatikan adanya relasi atau kalimat-kalimat yang menunjukkan hubungan-hubungan tertentu.

e. Cerita-cerita di susun secara di aktronis dan sinkronis atau mengikuti sundu sintakmatik dan paradikmatik.

f. Mencoba menarik hubungan relasi antar elemen-elemen di dalam suatu cerita secara keseluruhan.

g. Menarik kesimpulan-kesimpulan akhir dengan mencoba memaknakan cerita-cerita internal di atas kesimpulan-kesimpulan reprensial dan kontektual.

4. Mitos-mitos dalam hikayat banjar

a. Episode lembumengkurap mencari putri lenjungbuih

b. Episode lembumengkurap membunuh kemenakannya,bambang sukamaraga dan bambang patmaraga.

c. Episode lembumengkurap dengn empumandastana dan istrinya

d. Episode lembumengkurap mencari raden putra ( pangeran surya nata )

e. Episode lembumengkurap dengan maharaja surya ganggawangsa dan raden suryawangsa ( lembumengkurap kawin dan punya anak )

f. Episode mengkurap dengan maha raja carang lalean dan pitri lalumiksu serta raden sekarsungsang ( kimaslelana/maharaja cari keburungan )

(33)

BAB VII

PEMENTASAAN MADIHIN BANJAR:

KAJIAN ETNOPUITIKA

1. Perkembangan Etneupuitika di Indonesia

Kajian etneupuitika merupkan kajian ilmu baru dalam dunia sastra dan kebudayaan. Kajian ini menitik beratkan pada kajian instrinsik karya sastra terutama dari segi pementasan. Satra pentas atau lebih dikenal dengan seni peruntujukkan dewasa ini menjadi objek sorotan yang digemari, baik dikalangan budayawan dan sastrawan maupun akademisi, tak terkecuali masyarakat seni. Etneupuitika secara garis besar mengkaji kesenian atau tradisional beserta aspek-aspek pendukungnya. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Dengan teknik observasi dan studi pustaka yang mendukung uraian yang diterapkan dalam analisis dan pembahasan.

2. Mencermati Etnepuitika sebagai Kajian Sastra dan Budaya.

Etneupuitika berasal dari kata etno dan puitika, etno berarti etnik atau etnis dan puitika berarti fungsi pesan dalam bahasa (jakobson, 1960a;schiffrin,1994: 33).

Ditilik dari sudut bahasa inggris etneupuitika berasal dari kata ethnic dan poetics. Ethnic yyang merupakan bagian dari ethnology yang bermakna etnik atau suku, suku bangsa, ilmu bangsa-bangsa (echol dan shadily, 2000: 219). Sedangkan poetik

(34)

bermakna puitik atau peotical yang bermakna puitis.

Seperti yang telah didefinisinakn oleh suwarna (2005: 104) bahwa etneupuitika merupakan kombinasi beberapa disiplin ilmu, yaitu linguidtik, satra lisan foklore, dan antrologi. Kadarisman (2001: 7-11) menyebutkan delapan ciri kajian etneupuitika sebagai berikut ;

a. Etneupuitika mengkhususkan diri pada pentas sastra.

b. Etneupuitika berusaha mempelajari makna pentas sastra secara implikasinya dengan memhami terlebih dahulu pengetahuan lokal.

c. Etneupuitika harus dikaji oleh orang yang mengenal dan memahami benar ciri khas budaya lokal yyang diteliti

d. Etneupuitika harus diteliti oleh orang yang memahami pengetahuan lokal.

e. Etneupuitika hharus menampakkan warna lokal budaya setempat.

f. Etneupuitika memfokuskan objek kajiannya pada pentas.

g. Etneupuitika berusaha memahami nilai-nilailokal terlebih dahulu dan memusatkan kajiannya pada pentas satra. Selain itu juga memberikan unsur-unsur pembentuk struk dan bunyi.

h. Analisis etneupitika dimulai dengan menganlisis struktur baru kemudian kepada makna.

3. Membicarakan Etnopuitika Hymes dan Tedlock

Etnopuitika Hymes bertitik tolak dari keuniversalan baris, sementara itu etnopuitika Tedlock bertitik tolak pada seni atau estetika bunyi-bunyi puitik teks. Hymes juga menggaris bawahi bahwa etnopuitika perlu dilakukan dengan melakukan transkipsi teks pentas atau yang biasa disebut narasi puitik. Sementara itu Tedlock menkhususkan diri pada seni pengucapan teks atau seni tentang bunyi-bunyi teks naratif yang dinilainya lebih penting dari pada pembaitannya. Tedlock juga menyarankan agar transkripsi teks dengan konvensi-konvensi otografis sehingga

(35)

dapat mempertimbangkan aspek bunyi. Penulisan teks pentas model Tedlock dalah transkripsi terbatas atau sempit. Transkripsi Tedlock bertujuan menjelaskan

transkripsi teks lisan menjadi teks tulis yang penuh aturan. Aturannya sebagai berikut;

 Huruf kapital digunakan sebagai nada keras atau tinggi.

 Garis panjang(-) pada vokal untuk vokal yang diperpanjang.

 Tanda pisah pemisaah larik untuk berhenti menggunakan du titik(..)

 Akhir larik untuk berhenti setengah detik, dan lain-lain

4. Etnopuitika dalam Madihin Banjar

Madihin Banjar adalah salah satu kesenian daerah Kalimantan Selatan yaang dimainkan oleh seorang pamadihinan tunggal atau pamadihinan berpasangan. Sebagai satra dan seni pentas, madihin dipergelarkan diatas pentas yang lebiih tinggi dari penonoton berupa panggung. Panggung tersebut dihias seperti panggung pekawinan daerah Banjar yang dindingnya dipasang sulaman air guci. Tata cahaya lampu pun dipesiapkan dengan sebaik-baiknya bila madihin dipentaskan malam hari atau di dalam gedung pertunjukkan. Begitu juga dekorasi pentas disekitar tempat duduk pamadihinanbermain dibuat menarik sedemikian rupa dan disesuaikan dengan tema yang di angkat.

Penggunaan bahasa Banjar atau bahasa indonesia yang diBanjarakan

merupakan salah satu yang khas dari bahasa madihin. Hal ini dilakukan agar penonton yan bukan suku Banjar bisa memahami makna yang disampaikan pemadihinan. Khusus mengenai struktur pementasan madihin dari segi bahasa pantunnya terdiri dari empat, yaitu ;

 Pembukaan, yaitu dengan lagukan sampiran sebuah pantun yang diawali pukulan terbang yang disebut pukulan terbuka.

Memasang tabi, yaitu membawakan syair-syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, dan mohon maaf jika ada kekeliruan dalam penyampaiannya.

(36)

Menyampaikan isi (manguran), yaitu menyampaikan syair-syair atau pantun yang selalu selaras dengan tema penyampaian atau sesuai dengan permintaan pihak penyelenggara.

 Penutup, yaitu menyampaikan kesimpulan dari apa yang baru saja disampaikan sambil menghormati penonton, dan mohon pamit, ditutup dengan pantu-pantun dan lagu-lagu.

Tetapi pada kenyataanya ada juga yang membagi struktur dalam penyajian pantun madihin itu atas tiga saja, yaitu;

Pembukaan yang terdiri atass membawakan hadiyan dan memasang tabi.

 Penyampaian isi atau menguran.

(37)
(38)

BAB VIII

TEORI MITOS ROLAND BARTHES

1. Definisi Menurut Mitos Roland Barthes

Definisi mitos menurut Roland Barthes (2006: 232-233) di dasarkan pada bahasaa yang bertanggung jawab. Mitologi dengan demikian memustulatkan kebebasan bahasa. Hal ini bermakna bahwa dalam mitologi sesuai dengan dunia. Wicaranya dadlah metabahasa yang selalu berada dalam keadaan yang kabur, terikat dengan asal muasal etis. Mitos dapat hidup dalam suasana tindakan revolusioner dengan cara berkhayal. Oleh karena itu, memiliki karakter sadar diri dari fungsi yang kaku, bercampur gaur dan sederhana sehungga secara terbuka mempengaruhi perilaku intlektual dengan fondasi-fondasi politis serta semua ini berada dalam metabahasa.

Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi karena mitos inni merupakan sebuah pesan juga. Dia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan”, sebuah bentuk “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana.mitos tidaklah digambarkan melalui objek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos tergantung dari cara diintlektulisasikan.

(39)

2. Hakikat mitos Menurut Roland Barthes

Dalam semiologi terdapatistilah ketiga yang merupakan asosiasi antara istilah pertama dan istilah kedua. Istilah ini digunakan pada fakta aktual. Istilah ketiga ini dinamakan barthes sebagai penandaan. Penandaan adalah mitos itu sendiri. Cara yang ditempuh untuk mempersiapkan proses penandaan tersebut, yaitu bentuk korelasi konsep mitis dengan bentuk mitis.

Dalam mitos, istilah pertama dan kedua benar-benar manifes dan salah satu dari keduanya tidak disembunyikan di balik yang lain. Fungsinya adalah mendistorsi bukan melenyapkan. Pada dasarnya hubungan yang menyatukan konsep tentang mitos dengan maknanya adalah hubungan deformasi. Distorsi ini hanya dimungkinkan karena bentuk mitos telah dibentuk oleh makna linguistik. Dalam sistem yang sederhana seperti bahasa, petanda sama sekali tidak bisa mendistorsi apa-apa sebab penanda bersifat hampa, arbitrer, tidak memberikan perlawanan terhadap petanda.

Mitos merupakan sistem ganda,didalamnya terdapat semacam ubikuitas (ada di mana-mana). Penandaan mitos dibentuk oleh semacam pintu berputar yang silih berganti menghadirkan makna penanda dan bentuk, bahasa objek dan metabahas.perubahan ini terkumpul dalam konsep dan menggunakannya seperti penanda ambigu yang intelektif sekaligus imajiner, arbitrer, dan alamiah.

3. Membaca dan Mengurai Mitos Menurut Roland Barthes

Langkah-langkah membaca dan mengurai mitos menurut Roland Barthes (2006: 184-185) :

1. Bila memfokuskan pembacaan pada penanda yang kosong berarti membiarkan konsep mengisi betuk mitos tanpa kerancuan dan menemukan diri dihadapan

(40)

sebuah sistem yang sederhana pada saat penandaan bersifat literal. Tipe pemfokuskan ini adalah tipe pembacaan produsen mitos untuk mencari bentuk didalamnya.

2. Bila memfokuskan bacaan pada penanda yang penuh, pada saat jelas-jelas membedakan makna dari bentuk, dan akibatnya mampu melihat distorsi yang dilakukan satu pihak pada pihak lain. Hal ini berarti membatalkan proses penandaan dalam sistem mitis dan kemudian menerima sistem mitis ini sebagai tipuan. Cara ini adalah model pemfokuskan seorang mitolog. Dia menguraikan mitos, memahaminya sebagai distorsi.

3. Bila memfokuskan pembacaan pada penanda mitis sebagai sesuatu secara utuh terdiri atas bentuk dan makna. Hal itu berarti menerima penandaan yang ambigu. Ketika menanggapi mekanisme pembentukan mitos dan menanggapi kedinamisannya.

Berdasarkan tiga model penandaan mitos diatas diperoleh kesimpulan, yaitu dua tipe pemfokusan pertama bersifat statis dan analitis. Keduanya menghancurkan mitos, baik dengan mengungkapkan maksud mitos itu maupun dengan cara membuka kedoknya. Yang pertama bersifat sinis yang kedua bersifat mendemistifikasi. Tipe pemfokusan yang ketiga bersifat dinamis, dia mengosumsi mitos sesuai dengan tujuan strutur mitos itu sendiri. Pembaca menghidupkan mitos sebagai cerita yang benar dan realistis sekaligus.

Referensi

Dokumen terkait

Djamarah, Syaiful Bahri, 2006, Strategi Belajar Mengajar ,.. Banjarmasin:

11 Setelah proses di atas selesai, kita tinggal membuat garis di belakang KATA PENGANTAR kemudian spasi, terus tekan Tab pada keyboard sehingga hasil seperti gambar di bawah :.

[r]

PENGEMBANGAN D ESAIN D IDAKTIS PERSAMAAN LINEAR D UA VARIABEL BERD ASARKAN LEARNING OBSTACLE D AN HYPOTHETICAL LEARNING TRAJECTORY.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Dalam rangka membentuk individu yang memiliki konsep diri yang positif, maka setiap orang tua perlu memperhatiakan pola asuh seperti apa yang lebih tepat diterapkan di dalam

Although this will reduce individual self-esteem, this situation does increase the individual’s motivation to perform better (Deci & Ryan, (2008) (2000); Jones &

Kerjasama bidang politik antara Malaysia dan Amerika Serikat memang memiliki peranan karena pasca pencanangan Malaysian Vision 2020 negara ini menghadapi berbagai

Preferensi Habitat Berbiak Katak Pohon Bergaris ( Polypedates Leucomystax Gravenhorst 1829) di Kampus IPB Dramaga Bogor.. Bogor : Yayasan Penerbit Fakultas