• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Penyakit Ginjal Kronis dengan Kondisi Higiene Oral pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Stabil di RSUP H.Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Penyakit Ginjal Kronis dengan Kondisi Higiene Oral pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Stabil di RSUP H.Adam Malik Medan"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENYAKIT GINJAL KRONIS DENGAN KONDISI

HIGIENE ORAL PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL YANG

MENJALANI HEMODIALISIS STABIL

DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

WONG CHUN KIAT NIM : 080600149

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Periodonsia Tahun 2012

Wong Chun Kiat

Hubungan antara penyakit ginjal kronis dengan kondisi higiene oral pada penderita penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis stabil di RSUP H.Adam Malik Medan. xv + 106 halaman

Penelitian yang dilakukan oleh Capicchiano pada tahun 2010 menunjukkan prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia adalah ±6,487,322 atau ±2,73% dari jumlah populasi Indonesia pada tahun yang sama. Di Amerika Serikat, penderitanya mencapai 9 juta jiwa. Hampir 1 dari setiap 10,000 orang yang mengidap established chronic kidney disease setiap tahun dan diperkirakan ±50,000 jumlah kematian yang terjadi di Amerika Serikat berkaitan erat dengan penyakit ginjal kronis. Logika mengindikasi bahwa penyakit sistemik berhubungan dengan kesehatan rongga mulut. Kondisi higiene oral yang buruk dapat terjadi pada penderita penyakit ginjal kronis yang merupakan hasil dari efek sindroma uremia di mana terjadi peningkatan serostomia dan peningkatan kalkulus akibat peningkatan kalsium dan fosfor saliva. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penyakit ginjal kronis dengan kondisi higiene oral.

(3)

rekam medis pemeriksaan laboratorium penderita dari instalasi hemodialisis rumah sakit H.Adam Malik. Data yang diambil dianalisis dengan uji-T dan uji korelasi Pearson.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa ada hubungan antara penyakit ginjal kronis dengan kondisi higiene oral pada penderita penyakit ginjal (p<0,05), namun tidak ada perbedaan pada uji korelasi Pearson antara kadar ureum dengan indeks gingiva, indeks debris, indeks kalkulus, indeks OHIS, dan indeks perdarahan papila dimodifikasi. (dengan menggunakan uji korelasi Pearson)

Daftar Pustaka : 51 ( 1946 – 2011 )

(4)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 27 April 2012

Pembimbing Tanda tangan

(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji

pada tanggal 27 April 2012

TIM PENGUJI

KETUA : Pitu Wulandari, drg.,S.Psi.,Sp.Perio ...

ANGGOTA : 1.Irmansyah R.,drg.,Ph.D ...

: 2.Krisna Murthy Pasaribu, drg.,Sp.Perio ...

Disetujui Ketua Departemen

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kurnia-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tersayang yaitu ayahanda Wong Wai Tow dan ibunda Low Ah Hoy yang senantiasa mendukung penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga banyak mendapat bimbingan, motivasi dan saran-saran serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Nazruddin., drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Irmansyah, drg., Ph. D selaku Ketua Departemen Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. T. Hermina M, drg selaku dosen wali saya turut sering memberi bimbingan dan motivasi kepada saya selama penulisan skripsi ini.

4. Pitu Wulandari, drg., S.Psi., Sp. Perio selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta sabar memberikan bimbingan, arahan, motivasi, nasehat, dan semangat selama penulisan skripsi ini.

(7)

6. Yati Roesnawi, drg selaku Ketua Departemen Pedodonsia USU turut memberi pikiran dan nasehat dalam proses pembikinan skripsi ini.

7. Dr Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit. Dalam FK-USU dan RSUP.H Adam Malik yang telah meluangkan waktu dan memberi bantuan selama penelitian di RSUP.H.Adam Malik.

8. Dr Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH atas masukan dan saran seiring spesialisasi dari bidang beliau.

9. Drs. Abdul Jalil A.A., M. Kes selaku Pembantu Dekan III Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan bimbingan dalam melakukan analisis statistik hasil penelitian.

10. Dr.Azwan Hakmi Lubis, Sp.A, M.Kes selaku Direktur Utama RSUP H.Adam Malik Medan.

11. Drs. Palas Tarigan, Apt sebagai Kepala Instalasi Penelitian dan Pengembangan dan seluruh staf di Instalasi Pelatihan dan Pengembangan.

12. Krisna Murthy Pasaribu, drg., Sp.Perio.(K), Zulkarnain ,drg., M Kes., Irma Ervina,drg.,Sp.Perio.(K), Armia Syahputra, drg., Martina Amalia, drg., PDDGS dan staf Departemen Periodonsia USU yang sering membantu.

13. Seluruh PDDS, perawat dan staf Departemen Penyakit Dalam RSUP.H.Adam Malik, khususnya di Instalasi Hemodialisis RSUP H .Adam Malik.

(8)

Penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi, khususnya di Departemen Periodonsia.

Medan, 27April 2012

Penulis (Wong Chun Kiat)

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

2.2.1.1 Tahapan Penyakit Ginjal Kronis ... 9

2.2.1.2 Berdasarkan Kebutuhan Renal Replacement Therapy ... 11

2.3 Epidemiologi ... 14

2.4 Etiologi ... 14

2.5 Patofisiologi ... 15

2.6 Manifestasi Penyakit Ginjal Kronis ... 16

2.6.1 Gejala Klinis ... 16

2.6.2 Sindrome Uremik ... 17

2.7 Penyakit Periodontal ... 18

2.8 Manifestasi Penyakit Ginjal Kronis pada Rongga ```````````iMulut ... 19

2.8.1 Oral Malodor ... 19

(10)

2.8.3 Karies ... 20

2.8.4 Plak dan Kalkulus ... 21

2.8.4.1 Fase Pembentukan Pelikel ... 21

2.8.4.2 Fase Adhesi Inisial oleh Bakteri ... 21

2.8.4.3 Kolonisasi dan Maturasi Plak ... 22

2.8.4.4 Kalkulus ... 22

2.8.4.5 Korelasi antara Penyakit Ginjal Kronis dengan Plak dan Kalkulus ... 23

2.8.5 Perubahan pada Gingiva dan Mukosa ... 24

2.8.5.1 Hiperplasia Gingiva yang Diinduksi oleh Siklosporin ... 24

2.8.5.2 Lesi Mukosa ... 25

2.8.5.3 Perubahan Warna Mukosa ... 27

2.8.5.4 Perdarahan pada Gingiva ... 28

2.8.6 Malignansi Rongga Mulut ... 28

2.8.7 Infeksi Rongga Mulut ... 28

2.8.8 Anomali Gigi ... 29

2.8.9 Lesi pada Tulang Alveolar ... 29

2.9 Perawatan Dental pada Penderita Penyakti Ginjal ```````````Kronis ... 30

2.10 Indeks Pengukuran Kondisi Higiene Oral ... 31

2.10.1 Indeks Gingiva (IG) ... 31

2.10.2 Indeks Higiene Oral (OHIS) ... 33

2.10.3 Indeks Perdarahan Papila Gingiva Dimodifikasi ```````````(IPPD) ... 36

2.11 Profil Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan ... 36

2.11.1 Visi dan Misi Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan ... 37

2.11.2 Kedudukan Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan 38 2.11.3 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan 38 Kerangka Teori ... 40

BAB3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep ... 41

3.2 Hipotesis ... 42

BAB4 METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 43

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

4.2.1 Tempat Penelitian ... 43

(11)

4.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel ... 44

4.3.1 Populasi ... 44

4.3.2 Sampel Penelitian ... 44

4.3.2.1 Sampel Uji ... 44

4.3.2.2 Sampel Kontrol ... 45

4.3.3 Besar Sampel ... 46

4.4 Variabel Penelitian ... 47

4.4.1 Variabel Bebas ... 47

4.4.2 Variabel Bergantung ... 47

4.4.3 Variabel Terkendali ... 47

4.4.4 Variabel Tidak Terkendali ... 47

4.5 Alat dan Bahan Penelitian ... 48

4.5.1 Alat Penelitian ... 48

4.5.2 Bahan Penelitian ... 48

4.6 Definisi Operasional ... 48

4.7 Prosedur Penelitian ... 50

4.7.1 Pengisian Kuesioner ... 50

4.7.2 Skema Alur Penelitian ... 51

4.8 Analisis Data ... 51

BAB5 HASIL PENELITIAN 5.1 Data Demografis Subjek Penelitian ... 52

5.2 Uji Normalitas ... 56

5.3 Indeks Gingiva ... 57

5.4 Indeks Debris ... 58

5.5 Indeks Kalkulus ... 58

5.6 Indeks OHIS ... 59

5.7 Indeks Perdarahan Papila Dimodifikasi ... 60

5.8 Korelasi antara Variabel Penyakit Ginjal Kronis dengan Variabel Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral ... 61

5.8.1 Korelasi antara kadar Hb dengan Hasil Pemeriksaan ... Kondisi Higiene Oral ... 61

5.8.2 Korelasi antara kadar Kalsium dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral ... 61

5.8.3 Korelasi antara kadar Fosfor dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral ... 62

5.8.4 Korelasi antara kadar Kreatinin dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral ... 62

5.8.5 Korelasi antara kadar Ureum dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral ... 63

(12)

BAB6 PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 66

6.2 Hubungan antara Penyakit Ginjal Kronis dengan ```````````Indeks Gingiva ... 71

6.3 Hubungan antara Penyakit Ginjal Kronis dengan ````` Indeks Debris... 72

6.4 Hubungan antara Penyakit Ginjal Kronis dengan ````` Indeks Kalkulus ... 73

6.5 Hubungan antara Penyakit Ginjal Kronis dengan ````` Kebersihan Rongga Mulut (OHIS) ... 75

BAB7 KESIMPULAN 7.1 Kesimpulan ... 77

7.2 Saran ... 78

DAFTAR RUJUKAN ... 80

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penyakit ginjal merupakan penyakit sistemik berupa gangguan kapasitas fungsional homeostasis di dalam membuang produk metabolik, elektrolit, dan air dari tubuh penderita akibat terjadinya kerusakan pada nefron (ginjal).1,2,3

Prevalensi penderita penyakit ginjal kronis di seluruh dunia terus bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Di Amerika Serikat, penderitanya mencapai 9 juta jumlahnya. Hampir 1 dari setiap 10,000 orang yang menghidap established chronic kidney disease setiap tahun dan dianggar ±50,000 jumlah kematian yang terjadi di Amerika Serikat berkaitan erat dengan penyakit ginjal kronis. Center For Disease Control & Prevention menunjukkan bahwa ±16.8% penderita ginjal berusia 20 tahun dan ke atas. Kematian dari penyakit ginjal kronis mencapai 30% - 80% secara keseluruhannya, bergantung kepada kondisi kesehatan pasien. 1,4,5

Capicchiano melaporkan bahwa prevalensi penderita penyakit ginjal di Indonesia adalah ±6,487,322 atau ±2,73% dari jumlah populasi Indonesia pada tahun 2010.Suhardjono

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penyakit ginjal merupakan penyakit sistemik berupa gangguan kapasitas fungsional homeostasis di dalam membuang produk metabolik, elektrolit, dan air dari tubuh penderita akibat terjadinya kerusakan pada nefron (ginjal).1,2,3

Prevalensi penderita penyakit ginjal kronis di seluruh dunia terus bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Di Amerika Serikat, penderitanya mencapai 9 juta jumlahnya. Hampir 1 dari setiap 10,000 orang yang menghidap established chronic kidney disease setiap tahun dan dianggar ±50,000 jumlah kematian yang terjadi di Amerika Serikat berkaitan erat dengan penyakit ginjal kronis. Center For Disease Control & Prevention menunjukkan bahwa ±16.8% penderita ginjal berusia 20 tahun dan ke atas. Kematian dari penyakit ginjal kronis mencapai 30% - 80% secara keseluruhannya, bergantung kepada kondisi kesehatan pasien. 1,4,5

Capicchiano melaporkan bahwa prevalensi penderita penyakit ginjal di Indonesia adalah ±6,487,322 atau ±2,73% dari jumlah populasi Indonesia pada tahun 2010.Suhardjono

(15)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal

Ginjal adalah organ utama sistem kemih atau uriner (tractus urinarius) yang berperan menyaring dan membuang cairan sisa metabolisme dari dalam tubuh agar darah tetap bersih, dan pembuangan sampah metabolik agar sel-sel tubuh tidak keracunan. Tubuh akan memakai makanan sebagai energi dan perbaikan jaringan sel tubuh, maka sisanya akan dikirim melalui darah untuk disaring di ginjal.4

2.1.1 Struktur Ginjal

(16)

pelvis renalis dan berlanjut membentuk ureter. Ginjal mendapat darah dari arteri renalis yang merupakan cabang dari aorta abdominalis.11-12

````````````````````Gambar 1 :

Anatomis ginjal dari aspek koronal. ( Sumber: FH.

```````````````````````````````````Netter. Atlas of Human Anatomy 4th ed. 2006 .

```````````````````````````````````Philadelphia.: 335)

Unit fungsional ginjal adalah nefron, dan setiap ginjal memiliki ± 1 juta unit nefron. Setiap unit nefron terdiri dari Bowman’s capsule, yang menutupi seluruh kapiler glomerular,

proximal convoluted tubule, loop of Henle, dan distal convoluted tubule. Glomerulus merupakan suatu struktur yang sangat unik, terletak di antara arteriol aferen dan eferen yang ditutupi oleh Bowman’s capsule yang berfungsi sebagai penyaring. Zat-zat yang disaring dikeluarkan dari glomerulus ke tubulus. Diikuti langkah kedua dalam pembentukan urin yaitu

(17)

Gambar 2 : Skema nefron dan tubulus pengumpul. (Sumber: FH.Netter. Atlas

``````````````````````OfHuman Anatomy 4th ed. 2006. Philadelphia.:336)

Dan setiap hari, tubuh mungkin menghasilkan 1,5 – 2,0 liter urin. Walaupun pembuangan toksik dan zat-zat dari darah merupakan fungsi utamanya, ginjal juga penting dalam menghasilkan hormon seperti vitamin D dan eritropoeitin, regulasi garam serta eskresi air. Nefron merupakan jaringan yang tidak akan bertumbuh kembali atau beregenerasi apabila sudah rusak, tetapi masih mampu melakukan fungsi-fungsi utama dengan hipertrofi unit fungsional nefron yang sisa.11,12

2.1.2 Fungsi ginjal

(18)

keseimbangan asam-basa (pH). Fungsi kedua adalah proses excretory melalui pembuangan bahan sisa dan toksin seperti urea, asam urik dan sebagainya dari tubuh, ketiga adalah proses

endocrine di mana tekanan darah diregulasi dengan kerja renin pada sistem angiotensin. Proses endokrin juga penting dalam memastikan produksi eritropoietin yang optimal dan produksi prostaglandin dalam mengontrol vasodilatasi. Fungsi keempat merupakan

metabolisme. Ginjal merupakan organ yang penting untuk produksi bentuk aktif vitamin D yaitu kalsitriol, dan turut berperan sebagai situs untuk proses katabolik beberapa hormon seperti insulin, hormon paratiroid, dan kalsitonin.12

2.2 Penyakit Ginjal Kronis

(19)

Penyakit ginjal kronis timbul secara perlahan dan sifatnya progresif. Apabila pembuangan bahan toksik sistemik terhalang, maka akan menyebabkan kondisi intoksikasi yaitu uremia yang memiliki karakteristik klasik seperti peningkatan protein fase akut, sitokin dan makrofag.1

Etiologi utama berkembangnya penyakit ginjal kronis adalah diabetes melitus (40-60%), hipertensi (15-30%) dan penyakit nefrovaskular seperti glomerulonefritis (10%).

Established chronic kidney disease merupakan tahap terakhir (tahap 5) dari klasifikasi penyakit ginjal kronis, di mana kondisi ini bersifat ireversibel dan pasien harus menjalani perawatan khusus yaitu renal replacement therapy yang terbagi ke dalam 2 tipe yaitu hemodialisis dan transplantasi organ. 1,2,13

2.2.1 Klasifikasi

2.2.1.1 Tahapan Penyakit Ginjal Kronis

(20)

Tabel 1 : Nomenklatur dan definisi tahap keparahan penyakit ginjal kronis menurut

....Kidney/ Dialysis Outcome Quality Initiative Guidelines (DeRossi dkk. ....Renal Disease. 2008. Burkett’s Oral Medicine. Hamilton: BC Decker Inc: ....368

Tahapan Definisi

Tahap 1 GFR normal atau meningkat dengan sedikit bukti adanya kerusakan ginjal berdasarkan perubahan pada albuminurea/ proteinurea, hematuria atau histologi.

Tahap2 Gagal ginjal kronis yang ringan, 60 – 89 GFR milliliter per menit per 1,73m2 body surface area

Tahap 3 Gagal ginjal kronis yang moderat, 30 - 59 GFR milliliter per menit per 1,73m2 body surface area

Tahap 4 Gagal ginjal kronis yang parah, 15 - 29 GFR milliliter per menit per 1,73m2 body surface area, renal replacement therapy dikonsiderasi Tahap 5 Established chronic kidney disease di mana renal replacement

therapy merupakan penyelesaian, <15 GFR milliliter per menit per 1,73m2 body surface area

(21)

indikator penyakit ginjal kronis pada tahap awal. Pada tahap ini penderita tidak mengalami gangguan biokemis dan biasanya asimtomatik. 1,4

Tabel 2 : Pengukuran fungsi ginjal dan parameter untuk tahap penyakit ginjal kronis

yang berbeda. (Alba JC dkk. Dental Management in Renal Failure : ....Patients on Dialysis. Med Oral Ptol Oral Cir Bucal. 2008; 13 (7):E419-26)

Persentase Fungsi

100% 90-120ml/menit 0,5-1,3mg/dL Normal

>50% >45-60ml/menit <1,3 mg/dL Kompensasi ginjal 25-50% 20-60ml/menit 1,3-2,5mg/dL Manifestasi

klinis ginjal kronis timbul 10-25% 10-25ml/menit 2,5-10mg/dL Kondisi klinis

ginjal parah <10% <10ml/min >10mg/dL Hemodialisis

Apabila nilai serum kreatinin adalah 10mg/dL dan glomerulus filtration rate lebih rendah dari 15ml /menit /1,73m2 body surface area, maka seseorang individual itu diduga menderita penyakit ginjal kronis tahap 5. Pada tahap ini, penderita menjadi simptomatik dan akan diserang simtom uremik.2,15

2.2.1.2 Berdasarkan Kebutuhan Renal Replacement Therapy

(22)

Penderita yang memasuki tahap 5 yaitu established chronic kidney disease wajib menjalani renal replacement therapy yang terdiri dari dialisis jangka panjang (hemodialisis atau peritoneal dialisis) bahkan sampai harus transplantasi ginjal. 1,3 Gambar 3 : Mekanisme

hemod

ialisis.

(Sumb

er:

Instala

si

Hemo

dialisi

s

R.S.U.

H.Ada

m

Malik,

Medan

(23)

Gambar 4 :

Aliran darah dari arteri

penderita dan aliran darah yang

```````````````siap didialisis kembali ke vena penderita. (Sumber:

```Instalasi hemodialisis R.S.U.H.Adam Malik, Medan)

Gambar 5 : Dialyzer. (Sumber : Instalasi Hemodialisis

```````````````R.S.U.H.Adam Malik, Medan)

(24)

Prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia mencapai 29,1% pada populasi yang berisiko tinggi seperti penderita hipertensi, diabetes dan proteinuria. Insidensi established chronic kidney disease mencapai 30,7 per juta populasi dan prevalensi pada 23,4 per juta populasi. Pada tahun 2006, terdapat 10,000 pasien yang menjalani hemodialisis. Masalah keuangan, tidak cukupnya fasilitas dialisis, dan kurangnya tenaga medis yang seringkali menjadi masalah utama dari ketidakberhasilan perkembangan terapi renal replacement di Indonesia. 7

2.4 Etiologi

Menurut data yang diperoleh dari United States Renal Data System report, pada persentase 44,4% dan 26,6%, diabetes dan hipertensi dikategorikan sebagai 2 penyebab utama berkembangnya suatu penyakit ginjal ke tahapan terakhirnya atau tahapan 5. Sedangkan glomerulonefritis menduduki posisi ketiga dengan persentase 12,2% dari kasus established chronic kidney disease yang tercatat. Kondisi- kondisi yang jarang seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan uropati obstruktif menyebabkan 9,6% dari kejadian established chronic kidney disease. 4,13

(25)

juga menjelaskan kebiasaan merokok menambah risiko nefropati dan melipatkalikan progresi penyakit ginjal kronis ke tingkat terminal (tahap 5). 7,10

2.5 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronis amat kompleks. Apabila jaringan ginjal mengalami kerusakan, tekanan intraglomerular akan meningkat dan jaringan ginjal akan berkompensasi dengan hipertrofi glomerular untuk mengembalikan fungsi filtrasinya. Pada saat yang sama, permeabilitas glomerulus terhadap molekul makro seperti transforming growth factor- beta

(TGF-beta), fatty acid, pro-inflammatory markers of oxidant stress serta protein (albumin) akan meningkat. Peningkatan permeabilitas molekul menyebabkan toksisitas pada matriks mesangial yang kemudian dilanjutkan dengan inflamasi.3,10

Menurut teori nefron utuh (intact nephron theory) , kehilangan fungsi ginjal normal terjadi akibat dari penurunan jumlah nefron yang berfungsi dengan tepat. Gambaran dari teori ini adalah bahwa keseimbangan antara glomerulus dan tubulus yang dipertahankan nilai jumlah nefron akan berkurang sampai menjadi tidak adekuat dalam mempertahankan keseimbangan homeostasis sehingga menyebabkan terjadinya gangguan fisiologis. Penyakit ginjal kronis akhirnya mempengaruhi semua sistem tubuh karena tidakmampuan ginjal melaksanakan fungsi metaboliknya dan untuk membersihkan toksin dari darah. 16

2.6 Manifestasi Penyakit Ginjal Kronis

(26)

Di Indonesia, masih ditemukan cukup banyak penderita dengan gejala klinis yang lanjut dan berat. Umumnya gejala baru timbul bila faal ginjal sudah terganggu sehingga ureum darah lebih dari 100-150 ml/dL. Pada penderita lanjut ditemukan keadaan umum pasien yang buruk, pucat, hiperpigmentasi kulit, mulut dan bibir yang kering, spasme otot, dan kesadaran menurun sehingga koma.1

Tabel 3 : Gejala klinis penyakit ginjal kronis (Proctor R dkk. Oral and Dental ...Aspects of Chronic Renal Failure. J Dent Res. 2005;84-199)

Sistem Gejala

Hematologis Anemia (akibat penurunan eritopoietin), disfungsi platelet, gangguan imunitas yang diperantarai sel

Kardiovaskular Hipertrofi ventrikel kiri (sekunder dari anemia/ hipertensi), gagal jantung, perikarditis, hipertensi, arteriosklerosis yang progresif Neurologis Konfusi, paranoid, apati, konvulsi, koma, neuropati perifer,

twitching dan fasikulasi

Gastrointestinal Serostomia, malodor, sialosis, anoreksia, sedakan, muntah, pendarahan gastrointestinal, konstipasi, esofagitis, gastritis, duodenitis, dan ulserasi peptik

Dermatologis Pruritis, hiperpigmentasi kutan, hiperpigmentasi kuku Respiratori Infeksi, hiperventilasi, edema pulmonari

Endokrin Disfungsi tiroid, penurunan sekresi hormon pertumbuhan, amenorrhea, oligomenorrhea, peningkatan luteinizing hormone

dan follicle-stimulatory hormone, disfungsi seksual pada laki (penurunan testosterone)

(27)

Sindroma uremik merupakan sekelompok gangguan toksik sistemik akibat penyakit ginjal dan terjadi pada tingkat established chronic kidney disease. Apabila ginjal masih sehat, tahap serum kreatinin adalah normal. Tetapi apabila glomerulus fliltration rate di bawah 10ml/menit, penderita akan mengalami suatu simptom yang tipikal yaitu uremia. Efek sindroma uremia yang paling parah adalah multiple organ failure dan metabolism failure.1,4

Tabel 4 : Gangguan sistemik pada penderita penyakit kronis (sindroma uremia) (Scott

...SD dkk. Renal Disease. 2008. Burkett’s Oral Medicine. Hamilton: BC ...Decker Inc: 368) yang diinduksi serangan bakteri secara akut atau kronik pada gingiva, ligamen periodontal, sementum dan tulang alveolar oleh bakteri gram negatif. Patogenesis dari penyakti periodontal Sistem badan Manifestasi

Gastrointestinal Nausea, muntah, anoreksia, penciuman dan kecap logam dalam rongga mulut, stomatitis, parotitis, esofagitis, gastritis dan pendarahan gastrointestinal Neuromuskular Sakit kepala, neuropati perifer, paralisis, dan kejang Hematoimunogik Anemia normositik dan normokromik, gangguan

koagulasi, bertambahnya kerentanan terhadap infeksi, produksi eritropoietin menurun, limfositopenia

Metabolik endokrin Osteodistrofi ginjal (osteomalasia, osteoporosis, osteosklerosis), hiperparatiroidisme sekunder, gangguan pertumbuhan, penurunan libido, amenorrhea kardiovaskular Hipertensi arteriol, gagal jantung kongestif,

kardiomiopati, pericarditis, aritmia

(28)

yang klasik melibatkan respons immunogenik yang berlanjut menjadi destruksi jaringan dan paling signifikan, destruksi tulang alveolar. Mayoritas dari kandungan plak adalah bakteri seperti Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans dan lain lain yang beradhesi pada permukaan gigi dalam beberapa saat setelah kita menyikat gigi. 1,17

Plak merupakan faktor etiologi penyakit periodontal. Plak supragingiva mengandungi produk bioaktif yang bervariasi, seperti asam organik, komponen sulfur, enzim pemakan jaringan, peptidoglikan, dan liposakarida (endotoksin). Komponen tersebut akan berdiffusi dari struktur plak ke permukaan epitelium gingiva dan meningkatkan pengaliran cairan inflamatori ke jaringan periodontal. Bakteri proteolitik akan mengembangkan niche ekologi dan memproduksi protease yang dapat merusakan jaringan.4,17

Konsep dasar yang menghubungkan penyakit sistemik seperti penyakit ginjal kronis dengan kondisi rongga mulut, terutama periodontitis sangat membutuhkan penelitian yang lanjut. Teori infeksi fokal muncul hasil dari hasil pemikiran para ilmuwan terhadap hubungan tersebut. Infeksi fokal merupakan suatu infeksi kronis yang membebaskan mikroorganisme atau produk toksik ke jaringan yang jauh dari daerah asal infeksi sehingga secara tidak langsung menginfeksi organ lain melalui respons inflamasi dan kerja sitokin. Pernyataan demikian walaupun bersifat hipotetik, namun menjadi dasar yang substansial untuk membuktikan hubungan bi-directional antara penyakti sistemik dan patogenesis penyakit periodontal. Hal ini karena infeksi rongga mulut seperti penyakit periodontal berkaitan dengan peningkatan prevalensi komplikasi arterosklerotik dan peningkatan serum C-reactive protein

(29)

2.8 Manifestasi Penyakit Ginjal Kronis pada Rongga Mulut

Apabila aspek fungsional ginjal terganggu pada tahap terminal, maka fungsi ginjal hampir tidak ada sehingga glomerulus filtration rate terus menurun dan retensi dari berbagai produk buangan sistemik akan menberikan gambaran penyakit ginjal kronis pada rongga mulut apabila kondisi tubuh dari azotemik menjadi uremik. Berikut merupakan manifestasi penyakit ginjal kronis di rongga mulut, yaitu : 4

2.8.1 Oral Malodor

Simtom yang paling sering muncul dan paling awal terjadi apabila ginjal gagal berfungsi adalah oral malodor atau timbulnya rasa kecap logam akibat alterasi sensasi pengecapan, terutama pada pagi hari. Rasa kecap logam ini berupa bau ammonia, dan kondisi ini sering dialami oleh penderita yang menjalani hemodialisis. Uremic fetor atau ammoniacal odor ini terjadi karena konsentrasi urea yang tinggi dalam rongga mulut, dan pecah menjadi ammonia pada penderita dengan simptom uremia. 1,4,8

2.8.2 Serostomia

(30)

Serostomia cenderung menambah kerentanan penderita terhadap karies dan inflamasi gingiva, kandidiasis, sialadenitis suppuratif serta menyebabkan kesulitan berbicara, penurunan retensi gigi palsu, kesulitan mastikasi, disfagia, dan gangguan penciuman. 18,21

2.8.3 Karies

Secara umum terdapat berbagai teori dan hasil penelitian terhadap korelasi karies dan penyakit ginjal kronis. Sebagian penelitian menunjukkan bahwa penyakit ginjal kronis tidak meningkatkan kerentanan penderita terhadap karies, namun kebanyakkan dari penelitian memberikan hasil positif terhadap hal ini. Penelitian Klassen dkk menunjukkan bahwa penderita penyakit ginjal kronis memiliki higiene oral yang buruk dengan kalkulusnya banyak dan lesi karies yang tinggi.8,10,13

2.8.4 Plak dan Kalkulus

Secara umum, plak adalah lapisan tipis yang mengandungi bakteri, sisa makanan serta produk saliva seperti amilase dapat menjadi faktor pembentukan kalkulus. Pembentukan plak pada tahap ultrastruktural terbagi kepada 3 fase utama yaitu pembentukan pelikel, adhesi inisial oleh bakteri, dan akhirnya kolonisasi dan maturasi plak.22,23

2.8.4.1Fase Pembentukan Pelikel

Kurang dari beberapa saat setelah menyikat gigi, saliva-derived acquired pellicle layer

(31)

hidrofobik untuk membentuk dasar plak yang akan terus menebal apabila koloni bakteri beradhesi padanya.22

2.8.4.2 Fase Adhesi Inisial oleh Bakteri

Mengikuti fase pembentukan pelikel adalah fase adhesi inisial oleh bakteri. Pada fase ini terjadi adhesi bakteri dalam kondisi akuatik melalui 4 sub-fase yaitu transportasi bakteri ke permukaan acquired pellicle layer, kemudian diikuti dengan bakteri yang akan beradhesi secara inisial pada permukaan acquired pellicle layer dengan daya elektrostatik dan van der waals. Apabila adhesi inisial terjadi, akan terjadi subfase ketiga yang dinamai attachment. Pada sub-fase ini, interaksi bakteri dengan permukaan gigi akan diperkuatkan dengan adanya daya spesifik seperti pengikatan ionik, hidrogen dan kovalen. Tetapi metode pengikatan setiap bakteri berbeda, contohnya Actinomyces viscosus menggunakan fimbriae untuk beradhesi dengan proline-rich protein pada permukaan acquired pellicle layer; Streptococcus sanguis

tidak hanya berikat pada proline-rich protein tetapi juga pada amilase dan asam sialik. Sub-fase keempat mengambarkan kolonisasi bakteri pada permukaan gigi dan terbentuknya

biofilm.22

2.8.4.3 Kolonisasi dan Maturasi Plak

Pada fase ini, ketebalan plak akan bertambah apabila bakteri mulai berproliferasi.

(32)

koaggregasi koloni baru. Siklus ini berulang sehingga suatu matriks intramikrobial yang terdiri dari produk saliva, eksudat gingiva, dan substansi multipel mikrobial bermaturasi dan mulai menganggu kesehatan struktur enamel gigi sehingga terbentuk lesi karies.22

2.8.4.4 Kalkulus

Selain plak, kalkulus juga sering ditemukan pada rongga mulut penderita penyakit ginjal kronis. Kalkulus merupakan deposit mineral organik yang kuning-keputihan dengan 80% isinya mineral inorganik dan 20% sisanya adalah mineral organik seperti lipid, saliva dan protein. Pembentukan kalkulus merupakan lanjutan dari proses maturasi plak, ditambah proses kalsifikasi yang mulai terjadi dalam 4-8 jam setelah plak bermaturasi. Apabila plak bertransformasi menjadi kalkulus, koloni bakteri akan bertukar dari mayoritas gram positif ke mayoritas gram negatif anaerob dan tumbuhnya struktur dendritik plak ke permukaan sementum setelah 5 hari sehingga menambah keutuhan kalkulus.22,23

2.8.4.5 Korelasi antara Penyakit Ginjal Kronis dengan Plak dan ````````````````````Kalkulus

(33)

Namun menurut Kho dkk, hidrolisis urea akan menghasilkan konsentrasi ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa pada penderita established chronic kidney disease sehingga meningkatkan substansi fosfat dan ammonia dalam saliva dan hasilnya kapasitas buffer yang tinggi disertai risiko karies menurun. Hal ini turut didukung oleh peneliti, di mana hidrolisis urea mampu meningkatkan kapasitas antibakteri akibat peningkatan urea nitrogen dalam saliva. Kebenaran teori inin terus diperkuat terutama pada anak anak walaupun konsumsi gula yang tinggi dan kurang penjagaan kesehatan rongga mulut, risiko karies tetap rendah dan terkontrol. 1,12,14,24-25

Peneliti juga menemukan bahwa pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan rapat dengan gangguan homeostasis kalsium-fosfor. Presipitasi kalsium dan fosfor yang didorong oleh pH yang buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea saliva menjadi ammonia, dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi basa. Secara langsung, retensi urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan meningkatkan pembentukan kalkulus terutamanya pada penderita yang menjalani hemodialisis. Selain itu, penderita yang menjalani hemodialisis memiliki nilai magnesium saliva yang sangat rendah. Peneliti menemukan bahwa pada kalkulus penderita yang menjalani hemodialisis mengandung oksalat, dan pada kondisi uremia turut menyebabkan retensi oksalat. 4,10,25

2.8.5 Perubahan pada Gingiva dan Mukosa

(34)

2.8.5.1 Hiperplasia Gingiva yang Diinduksi oleh Siklosporin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Seymour dkk, kondisi ini cenderung tidak terjadi pada orang dewasa. Skeling terbukti dapat memperbaiki kondisi tersebut menurut

Thomason dkk, tetapi tindakan pembersihan

ini hanya untuk mengurangi

inflammasi akibat plak dan bukan

inflamasi jaringan akibat Siklosporin.1

``````````````````````````Gambar 6 : Hiperplasia gingiva akibat obat Siklosporin.

`````````````````````````````````````````(Sumber : Periodontology for the Dental `````````````````````````````````````````Hygienist 3rd ed. 2007. Missouri:112)

2.8.5.2 Lesi Mukosa

(35)

`````````````````````````Gambar 7 : Uremic Frost pada penderita penyakit

`````````````````````````````````````````````ginjal kronis pada sublingual. (Sumber :

`````````````````````````````````````````````Burket’s Oral Medicine 11th ed. 2008.

`````````````````````````````````````````````Hamilton:374)

Stomatitis uremik turut diobservasi dan dapat muncul sebagai daerah berpigmentasi putih, merah maupun keabuan pada mukosa oral. Pada stomatitis uremik tipe eritematous, suatu lapisan pseudomembran keabuan yang akan melapisi lesi eritema dan lesi ini selalu menyakitkan. Stomatitis uremik tipe ulseratif memiliki gambaran merah dan ditutupi lapisan yang pultaceous. Secara umumnya, gambaran stomatitis uremik amat luas tetapi unik dan tidak paralel secara klinis. Menurut Larato, manifestasi klinis ini dapat terjadi akibat peningkatan nitrogen yang membentuk trauma kemis secara langsung akibat gagal ginjal.1,4,14,26

Suatu penelitian oleh Dencheva dkk pada tahun 2010 menunjukkan manifestasi oral hairy leukoplakia pada penderita penyakit ginjal kronis pada permukaan dorsal seiring dengan observasi yang dibuat oleh peneliti dari China ditemukanmelalui korelasi daerah lingual yang ditutupi oral hairy leukoplakia dengan organ sistemik yang berkaitan.18

(36)

`Gambar 8 : Oral Hairy Hyperplasia padadaerah dorsal lidah dan korelasinya dengan

````````````````````````````organ sistemik yang berkaitan. (Sumber : Oral Findings in Patients with

``````````````````````````Replaced Renal Function –a Pilot Study. 2010. Bulgaria)

2.8.5.3 Perubahan Warna Mukosa

Mukosa rongga mulut penderita gagal ginjal sering terlihat lebih pucat. Hal ini disebabkan karena pengaruh anemia dari penderita tersebut dan kondisi ini disebut pallor. Gejala lain yang sering terlihat adalah warna kemerahan pada mukosa akibat deposit beta-carotene. 1,14

`````````````````````Gambar 9 : Mukosa rongga mulut yang kepucatan. (Sumber : Burket’s

(37)

2.8.5.4 Perdarahan pada Gingiva

Pada penderita penyakit ginjal kronis sering dilihat gejala seperti petechiae dan ekimosis karena disfungsi platelet serta efek dari antikoagulasi turut dilihat pada rongga mulut penderita penyakit ginjal kronis. Perdarahan apabila tubuh diserang sindroma uremia sering terjadi apabila penderita diberikan rawatan invasif pada mukosa rongga mulut.21,27

2.8.6 Malignansi Rongga Mulut

Menurut Farge dkk, sarkoma kaposi dapat dilihat pada rongga mulut penerima transplantasi akibat terjadi penekanan pada sistem imun. Namun, sampai saat ini kondisi tersebut mungkin terjadi akibat imunosupresi iatrogenik. Berdasarkan teori ini, imunosupresi iatrogenik secara langsung akan meningkatkan kerentanan terhadap virally associated tumor

seperti sarkoma kaposi dan Hodgkin’s lymphoma. Perkembangan tumor juga bisa berkaitan erat dengan penderita AIDS yang menderita penyakit ginjal kronis, sebagai faktor risiko primer maupun sekunder.1

2.8.7 Infeksi Rongga Mulut

Menurut King dkk, angular chelitis ditemukan pada sebanyak 4% penderita sedangkan lesi pseudomembranous ditemukan pada 1,9%, eritematous pada 3,8% dan kandidiasis atropik kronis ditemukan pada 3,8% dari jumlah penerima allograf ginjal dan penderita yang menjalani hemodialisis. 1,4,19

(38)

Beberapa anomali struktur gigi seperti hipoplasia enamel, erosi gigi, peningkatan mobiliti gigi, dan maloklusi dapat terjadi pada penderita penyakit ginjal kronis. Menurut Davidovich dkk, hipoplasia enamel sekunder berasal dari perubahan metabolisme kalsium dan fosfor yang akan mempengaruhi struktur dan bentuk gigi decidui dan permanen. Selain itu, pada gigi penderita tampak juga adanya erosi. Menurut beberapa penelitian, erosi yang parah pada gigi tersebut merupakan hasil nausea dan muntah setelah menjalani perawatan dialisis. 1-4,27

Manifestasi klinis lain termasuk mobiliti gigi, maloklusi, dan kalsifikasi jaringan lunak terjadi secara metastatik. Peningkatan mobiliti dan drifting pada gigi tanpa pembentukan poket periodontal yang patologis bisa terjadi dan dapat mengakibatkan pelebaran pada ligamen periodontal. Apabila keadaan ini semakin berlanjut maka dapat terjadi maloklusi.1,4

2.8.9 Lesi pada Tulang Alveolar

Abnormalitas pada tulang seperti renal osteodystrophy terjadi akibat destruksi tulang alveolar yang penting sebagai fondasi gigi serta gambaran yang merefleksikan perubahan metabolisme kalsium termasuk gangguan prosedur dialisis terhadap biokemis fosfat dan kegagalan aktivasi vitamin D.1,14

Tulang kompak pada rahang akan menipis dan akhirnya hilang. Fraktur spontaneous

dapat terjadi saat pergerakan motorik yaitu pada saat mastikasi, dan sering menyulitkan dalam melakukan perawatan bedah pada rongga mulut terutama yang membutuh ekstraksi.4

(39)

Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis berhak mendapatkan perawatan gigi yang khas, bukan karena adanya hubungan antara sistemik dan rongga mulut tetapi karena efek samping dan karasteristik dari perawatan yang diterima harus diperhatikan agar tidak menambah beban dan rasa sakit pada penderita.1,25,28

Pertama, dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam penderita, jika tiada harus mendapatkan rujukan yang menyeluruh dari spesialis nefrologi sehingga rekam medis, kondisi fisiologis dan komplikasi penderita sebelum perawatan gigi dilakukan demi mempertahankan atau memperbaiki kesehatan rongga mulut dan umum penderita.1,27

Dua kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan yang berlebihan dan anemia pada populasi uremia dan penyakit ginjal kronis shingga disarankan agar tes hematologi seperti blood count dan tes koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasif dilakukan. Menurut Levy dkk, infeksi rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus dipertimbangkan apabila risiko endokarditis infektif (pada penderita yang menjalani hemodialisis) dan septimia meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi, perawatan periodontal dan bedah. Demi mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat dijadwalkan pada hari setelah hemodialisis supaya heparin dalam darah berada pada tingkat paling minimal. Sebelum perawatan dimulai, tekanan darah penderita harus diperhatikan dan disaran untuk mengurangi perasaan cemas pada penderita dengan sedasi. 1,27

(40)

Peningkatan plak akan menjadi konstan dan memperburukan kesehatan rongga mulut penderita. Dokter gigi dapat memberikan mouth-moisturizing paste, permen karet bebas gula yang menstimulasi saliva (saliva-stimulating chewing gum atau chew sugar-free gum), dan obat kumur non-alkohol serta bila perlu dilakukan pemberian saliva substitute.4

Kesehatan jaringan periodontal dan hygiene oral pasien perlu dijaga. Pasien dianjurkan berkumur-kumur dengan obat kumur chlorhexidine 0,12 % atau chlorhexidine digluconate 0,2% dan mengajarkan pasien cara menjaga kebersihan rongga mulutnya dengan baik. Untuk mencegah sepsis, amoxicillin 2 gram 1 jam direkomendasi sebelum prosedur dental atau clindamycin 600 mg digunakan sebagai antibiotik profilaksis. Selain itu, clarithromycin oral dipakai untuk penderita yang berhipersensitivitas terhadap penisilin. Penatalaksanakan pembesaran gingiva akibat efek obat disarankan dengan menggunakan obat kumur antimikrobial seperti Metranidazole untuk menurunkan konsentrasi Siklosporin serta meminimalisasikan nefrotoksisitas. Rekurensi sering terjadi sehingga disarankan agar melakukan kontrol plak yang efektif dan dapat dibantu dengan pemberian klorheksidin glukonat topikal atau triklosan.1,4,9,27

2.10 Indeks pengukuran Kondisi Higiene Oral

Untuk mengetahui kondisi higiene oral pada penderita penyakit ginjal kronis maka dilakukan pengukuran dengan pelbagai indeks yaitu : Indeks Gingiva (IG), Indeks Oral Higiene (OHIS), dan Indeks Pendarahan.22-23

(41)

Indeks yang diperkenalkan oleh Loe dan Silness ini digunakani untuk menilai derajat keparahan inflamasi. Pengukuran dilakukan pada gingiva di dua sisi gigi geligi yang diperiksa yaitu vestibular dan oral. 22-23

Kriteria untuk penentuan skornya adalah sebagai berikut: 22-23

Tabel 5 : Kriteria penentuan Skor Indeks Gingiva (Sumber: Perry

...DA.Periodontology for the Dental`hygienist 3rd ed.2007: 48)

S menjumlahkan skor dari keempat sisi yang diperiksa lalu dibagi dengan dua (jumlah gigi yang diperiksa per gigi). Skor Indeks Gingiva untuk individu diperoleh dengan membagi jumlah skor dari semua gigi yang diperiksa dengan jumlah gigi yang diperiksa. Keparahan inflamasi gingiva secara klinis dapat ditentukan dari skor Indeks Gingiva dengan kriteria berikut: 27

Tabel 6: Kriteria Skor Indeks Gingiva (Sumber: Sumber: Perry DA. Periodontology ...for the Dental Hygienist 3rd ed.2007: 48)

Skor Indeks Gingiva Kondisi Gingiva

0,1-1,0 Gingivitis ringan

1,1-2,0 Gingivitis sedang

0 Gingiva normal

1 Inflamasi ringan pada gingiva yang ditandai dengan perubahan warna, sedikit oedema; pada palpasi tidak terjadi pendarahan

2 Inflamasi gingiva sedang, gingiva berwarna merah, oedema, dan berkilat; pada palpasi terjadi pendarahan.

(42)

2,1-3,0 Gingivitis parah

2.10.2 Indeks Higiene Oral (OHIS)

Indeks Higiene Oral merupakan salah satu indeks yang paling popular untuk menentukan status kebersihan mulut pada penelitian epidemiologis. Indeks ini bertujuan mengukur permukaan gigi yang ditutupi oleh debris dan kalkulus. Indeks ini terdiri atas dua komponen yaitu Indeks Debris dan Indeks Kalkulus. 23,29

Pemeriksaan dilakukan pada enam gigi yaitu gigi 16, 21, 24, 36, 41, dan 44. Pada gigi 16, 21, 36 dan 41 dilihat permukaan bukalnya sedangkan pada gigi 36 dan 44 permukaaan lingualnya. Apabila gigi 11 tidak ada maka diganti dengna gigi 21 dan sebaliknya. Alat yang digunakan adalah kaca mulut dan sonde. Setiap permuakaan gigi dibagi secara horizontal atas sepertiga gingiva, sepertiga tengah dan sepertiga insisal. Untuk mengukur skor indeks debris, sonde diletakkan pada sepertiga insisal permukaan gigi lalu digerakkan ke arah gingiva dan skor diberikan sesuai dengan kriteria berikut. 29

Skor indeks debris:23,29

Tabel 7 : Kriteria Pengukuran Skor Indeks Debris (Sumber: Sumber: Perry DA.

...Periodontology for the DentalHygienist 3rd ed.2007: 46-47) 0 Tidak ada debris/stein.

1 Debris lunak menutupi tidak lebih dari sepertiga permukaan gigi atau adanya `stein ekstrinsik tanpa debris pada daerah tersebut.

2 Debris lunak menutupi lebih dari sepertiga tapi kurang dari dua pertiga permukaan gigi.

(43)

Gambar 10: Indeks Debris (Sumber: Reddy S. Essential of Clinical

````````````````Periodontology and Periodontics 2nd ed. 2008:45)

Skor Indeks Kalkulus menurut

Green dan Vermillion : 29

Tabel 8 : Kriteria Skor Indeks

Kalkulus menurut Green dan

Vermillion (Sumber:

.. Perry DA.

Periodontology for the Dental Hygienist 3rd ed.2007: 46-47)

0 : Tidak ada kalkulus

1 : Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan

2 : Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3 dan tidak lebih dari 2/3

```````permukaan gigi atau adanya kalkulus subgingiva di daerah servikal gigi atau

(44)

3 : Kalkulus supragingiva yang menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi atau

```````kalkulus subgingiva yang melingkari servikal gigi.

Skor akhir indeks debris dan kalkulus individual dihitung dengan membagi jumlah skor indeks debris dan kalkulus dari semua gigi yang diperiksa dengan jumlah permukaan gigi yang diperiksa. Skor indeks debris dan kalkulus dijumlahkan untuk mendapatkan Skor Higiene Oral. Kemudian skor ini dimasukkan ke dalam 3 kategori untuk menentukan level Higiene Oral yaitu:23,29

a. 0,0 – 1,2 : baik b. 1,3 – 3,0 : sedang c. 3,1 – 6,0 : buruk

2.10.3 Indeks Perdarahan Papila Gingiva Dimodifikasi (IPPD)

Perdarahan gingiva dicatat dengan indeks perdarahan papila dan gingiva dimodifikasi dari Saxer dan Muhlemann dengan kriteria berikut:30

Tabel 9 : Kriteria Skor Indeks Perdarahan Papila Gingiva Dimodifikasi (Sumber: ..

Reddy S. Essential of Clinical Periodontology and Periodontics 2nd ed. ...2008:41) 0 : Tidak ada perdarahan

(45)

2 : Perdarahan berupa titik yang besar atau berupa garis 3 : Perdarahan menggenang di interdental

2.11 Profil Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

Pada saat awal didirikan, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik merupakan Rumah Sakit Umum Kelas A di Medan yang berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 335/Menkes/SK/VII/1990. Namun nama rumah sakit ini mengalami perubahan yang pada mulanya bernama Rumah Sakit Umum Kelas A di Medan menjadi Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik. Perubahan ini berdasarkan pada Keputusan Menteri Republik Indonesia Nomor: 775/MENKES/SK/IX/1992. Adapun pergantian nama rumah sakit ini disebabkan karena perlunya pencantuman nama Pahlawan Nasional sebagai penghargaan dan kebanggaan terhadap Pahlawan Nasional.35

(46)

2.11.1 Visi dan Misi RSUP H. Adam Malik Medan

Visi Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik medan adalah sebagai “Pusat Rujukan Kesehatan Regional”, dengan Misi sebagai berikut: (1) Melaksanakan pelayanan kesehatan yang paripurna, bermutu dan terjangkau oleh lapisan masyarakat. (2) Menyelenggarakan pendidikan dan latihan yang bermutu untuk menghasilkan sumber daya manusia yang profesional di bidang kesehatan. (3) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan. (4) Menyelenggarakan pelayanan penunjang kesehatan yang berkualitas dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. 35

2.11.2 Kedudukan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

(47)

Sumatera Bagian Tengah.(3) Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dipimpin oleh seorang kepala yang disebut direktur. 35

2.11.3 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

Menurut Undang-undang Rumah Sakit pasal 4 dan 5, suatu rumah sakit harus mempunyai tugas dan fungsi. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik medan memiliki tugas sebagai berikut:(1) Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.(2)Bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Sumatera Utara dan lembaga lainnya dalam menyelenggarakan pendidikan klinik calon dokter dan pendidikan dokter keahlian, calon dokter spesialis dan serta tenaga kesehatan lainnya. 35

(48)

Kerangka Teori

(49)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep Penyakit Ginjal Kronis − Tahap 1 - 4

− Glomerulus Filtration Rate >15ml /menit /1,73m2

− Kreatinin darah <10,0 mg/dL

− Tahap 5

− Glomerulus Filtration Rate <15ml / menit / 1,73m2

− Kreatinin darah >10,0 mg/dL

− Uremia

− Penyakit Sistemik Lain − Umur

− Obat-obatan

− Kebiasaan merokok

Kondisi Higiene Oral − Indeks Higiene Oral

− Indeks Debris − Indeks Kalkulus − Indeks Gingivitis

(50)

3.2 Hipotesis

Hipotesis Nol (Ho) : Tidak ada hubungan antara penyakit ginjal kronis dengan kondisi higiene oral pada penderita penyakit ginjal kronis.

(51)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan secara observasional dengan pendekatan Cross Sectional,

dimana sampel kasus dan sampel kontrol hanya diobservasi satu kali tanpa diberi perlakuan dan variabel-variabel diukur menurut keadaan atau status sewaktu diobservasi.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 4.4.1. Tempat

RSUP Haji Adam Malik, Jalan Bunga Lau Medan

4.4.2. Waktu Penelitian

(52)

4.3Populasi, Sampel, dan Besar Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah pasien penderita penyakit ginjal kronis di RSUP H. Adam Malik Medan.

4.3.2. Sampel Penelitian 4.3.2.1 Sampel Uji

Sampel yang diambil adalah penderita penyakit ginjal kronis yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria inklusi:

1. Usia penderita 30 – 70 tahun 2. Penderita penyakit ginjal kronis

3. Bersedia menjalani pemeriksaan dan menandatangani informed consent

Kriteria ekslusi :

1. Pernah mendapatkan perawatan periodontal dalam 6 bulan terakhir

2. Penderita yang mengkonsumsi obat yang menpengaruhi status periodontal seperti

Cyclosporine, Tacrolimus, dan lain-lain

(53)

4.3.2.2 Sampel Kontrol

Sampel yang diambil adalah bukan penderita penyakit ginjal kronis yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria inklusi:

1. Usia penderita 30 – 70 tahun

2. Bukan penderita penyakit ginjal kronis

3. Bersedia menjalani pemeriksaan dan menandatangani informed consent

Kriteria ekslusi :

1. Pernah mendapatkan perawatan periodontal dalam 6 bulan terakhir

2. Penderita yang mengkonsumsi obat yang menpengaruhi status periodontal seperti

Cyclosporine, Tacrolimus, dan lain-lain

(54)

4.3.3. Besar Sampel

Untuk mendapatkan besar sampel yang akan diambil pada penelitian ini, penulis menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana :

Zα= α = 0,05  Zα = 1,96

Zβ= β = 0,15  Zβ = 1,036

P1 = Proporsi penderita penyakit ginjal kronis disertai penyakit periodontal = 0,5 Q1 = 1 – P1 = 0,5

P2 = Proporsi penyakit periodontal pada individu yang tidak memiliki penyakit ginjal kronis = 0,2

Q2 = 1 – P2 = 0,7

P = = = 0,35 Q = 1 – P = 0,65

n1 = n2

n1 = n2 ≥ 31,24  32

4.4Variabel Penelitian

(55)

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :

4.4.1. Variabel bebas

Penyakit ginjal kronis

4.4.2. Variabel Tergantung 1. Indeks Gingiva

2. Indeks Debris 3. Indeks Kalkulus 4. Indeks OHIS

5. Indeks Perdarahan Papila Gingiva Dimodifikasi

4.4.3. Variabel Terkendali 1. Usia

2. Kelamin

4.4.4. Variabel Tidak Terkendali 1. Pekerjaan

2. Tingkat pendidikan 3. Status Sosial-ekonomi

4. Pemeliharaan kebersihan rongga mulut 5. Penyakit sistemik

(56)

4.5.1 Alat Penelitian

1. Prob periodontal UNC-15 2. Kaca mulut

3. Pinset 4. Sonde 5. Senter

4.5.2 Bahan Penelitian 1. Sarung tangan disposable

2. Masker disposable

3. Kapas steril 4. Kasa steril 5. Sterilisasi pack 6. Alkohol 70%

5Definisi Operasional

1. Penyakit ginjal kronis merupakan kondisi kerusakan jaringan nefrovaskular irreversibel lebih dari 3 bulan, glomerulus filtration rate penderita < 90 ml/menit/1,73m2 body surface area, nilai serum kreatinin penderita > 1,3 mg/ml dan kadar urea penderita > 20 mg/dl.Kedalaman saku adalah jarak yang diukur dari dasar saku ke krista gingiva bebas.

(57)

mesiovestibular dan tepi gingiva oral. Pada pemeriksaan ini hanya dilakukan pada 6 gigi sahaja yaitu 16, 21, 24, 36, 41, dan 44.

3. Indeks higiene oral terdiri atas dua kriteria yaitu indeks debris dan indeks kalkulus. Pemeriksaannya dilakukan pada enam gigi yaitu 16, 21, 24, 36, 41, dan 44. Untuk mengukur skor indeks debris dan kalkulus, sonde diletakkan pada sepertiga insisal permukaan gigi lalu digerakkan kearah gingiva dan skor diberikan sesuai kriterianya. Nilai dari kedua skor dijumlahkan untuk mendapat skor higiene oral dan ditentukan kategorinya.

4. Indeks pendarahan adalah indeks pendarahan papila dimodifikasi (modified papillary bleeding index) yang dikemukakan oleh Saxer dan Muhlemann, dimana pengukuran didasarkan pada pengamatan perdarahan gingiva yang timbul setelah prob periodontal diselipkan dari arah vestibular ke col sebelah mesial dari gigi yang diperiksa dan secara perlahan-lahan prob digerakkan sepanjang permukaan vestibular gigi. Prob kemudian ditarik keluar dari sulkus pada sudut mesiovestibular. Prosedur ini diulangi pada 6 gigi yaitu 16, 21, 24, 36, 41, dan 44 yang akan diukur indeks pendarahannya.

4.7 Prosedur Penelitian

(58)

4.7.1. Pengisian Kuesioner

Penelitian dilakukan terhadap penderita penyakit ginjal kronis di RSUP H. Adam Malik Medan. Pemilihan sampel dilakukan melalui wawancara langsung dengan bantuan kuesioner. Data lain mengenai penderita diperoleh dari bagian administrasi.

(59)

4.8 Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer dengan program SPSS versi 20.

---000---

Mencari sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi untuk setiap kelompok sampel

Meminta kesediaan sampel untuk mengikuti penelitian dengan memberikan lembar persetujuan

Memberikan pertanyaan-pertanyaan melalui kuesioner

Melakukan pemeriksaan klinis

(indeks gingiva, indeks debris, indeks kalkulus dan indeks pendarahan papila dimodifikasi)

Pencatatan hasil pemeriksaan

Analisis data Subjek Penderita

Penyakit Ginjal

(60)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2012 sehingga awal Maret 2012 di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik dan klinik Periodonsia RSGM FKG USU. Sebanyak 33 orang subjek penelitian yang terdiagnosis penyakit ginjal kronis serta memenuhi kriteria inklusi dipilih sebagai kelompok kasus dan 32 orang subjek yang lain dipilih secara random

sebagai kelompok kasus.

Hasil penelitian mengenai hubungan antara penyakit ginjal kronis dengan kondisi higiene oral pada penderita penyakit ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik akan disajikan dalam bentuk tabel berikut.

5.1 Data Demografis Subjek Penelitian

(61)

Tabel 10. .Data demografis penderita penyakit ginjal kronis dan penderita bukan penyakit ginjal kronis.

Variabel Kelompok Pengamatan Jumlah/ Persentase

Jenis Kelamin Penderita Penyakit Ginjal Kronis a. Perempuan

b. Laki – laki

Bukan Penderita Penyakit Ginjal Kronis a. Perempuan Usia Penderita Penyakit Ginjal Kronis

a. 30-40 b. 41-50 c. 51-60 d. 61-70

Bukan Penderita Penyakit Ginjal Kronis a. 30-40

Penderita Penyakit Ginjal Kronis a. SD

b. SLTP c. SLTA

d. Perguruan Tinggi

(62)

Berdasarkan tabel 10 diketahui bahwa subjek penelitian berjumlah 65 orang dan mayoritas adalah perempuan yaitu 39 (60%) pada penderita penyakit ginjal kronis dan 26 (40%) pada bukan penderita penyakit ginjal kronis.

Seluruh subjek penelitian memiliki rentang usia 30-62 tahun. Subjek terbanyak adalah kelompok bukan penderita penyakit ginjal kronis dengan rentang usia 30-40 tahun yaitu sebanyak 21 orang (66%) sedangkan yang paling sedikit adalah pada rentang usia 61-70 tahun. Berbeda dengan kelompok bukan penderita penyakit ginjal kronis, penderita penyakit ginjal terbanyak pada rentang usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 12 orang (36%) dan paling sedikit pada rentang usia 61-70 tahun (10%).

Berdasarkan pendidikan subjek penelitian terbanyak adalah dari kelompok SLTA yaitu 16 orang (50%) dari kelompok bukan penderita penyakit ginjal kronis dan 13 orang (40%) dari kelompok penderita penyakit ginjal kronis. Sedangkan yang paling sedikit adalah berpendidikan perguruan tinggi yaitu 4 orang (14%) pada kelompok bukan penderita penyakit ginjal kronis dan 6 orang (18%) masing-masing berpendidikan SD dan perguruan tinggi pada kelompok penderita penyakit ginjal kronis.

(63)

Variabel Kategori Jumlah/ persentase

Indeks gingiva

Penderita Penyakit Ginjal Kronis Normal Bukan Penderita Penyakit Ginjal Kronis

Normal

Penderita Penyakit Ginjal Kronis Baik Bukan Penderita Penyakit Ginjal Kronis

Baik

Penderita Penyakit Ginjal Kronis 0,0- 0,9 Bukan Penderita Penyakit Ginjal Kronis

0,0- 0,9

(64)

Hasil Pemeriksaan Minimum Maksimum Nilai Rerata

Standar Deviasi

Kadar Normal

Hemoglobin (gr/dL) 6,1 17,0 16,4 2,03 14,00 – 18,00

Kalsium (Ca) (mg/dL)

6,7 10,6 8,5 0,9 8,60 – 10,30

Fosfor (P) (mg/dL) 2,0 10,2 6,0 2,0 2,30 – 3,70

Kreatinin (mg/dL) 6,7 19,3 13,2 3,4 0,30 – 1,40

Ureum (mg/dL) 69,0 297,0 152,6 55,2 7,0 – 28,0

Hematokrit (Ht) (%) 17,2 37,40 24,2 4,3 41,00 – 53,00

5.2 Uji Normalitas

Berdasarkan perhitungan uji normalitas menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov terhadap indeks gingiva, indeks OHIS yang terdiri dari indeks debris dan indeks kalkulus, dan indeks perdarahan papila, kadar Hb, kalsium,fosfor, kreatinin, ureum, dan Ht didapatkan nilai p > 0,05 yang berarti distribusi dari data ini adalah normal.

Tabel 13. Uji normalitas Indeks Gingiva, Indeks Debris, Indeks Kalkulus, Indeks OHIS, IPPD, Kadar Hemoglobin, Kalsium, Fosfor, Kreatinin, Ureum, dan Hematokrit.

Variabel Nilai p

(65)

Indeks debris Keterangan : Uji Kolmogrov-Smirnov; p > 0,005 = sebaran data normal

5.3 Indeks Gingiva

Perbandingan nilai rerata indeks gingiva penderita penyakit ginjal kronis dengan bukan penderita penyakit ginjal kronis akan disajikan pada tabel 14.

Tabel 14 : Nilai Rerata Indeks Gingiva pada Kelompok Penderita Penyakit Ginjal

...Kronis dan bukaniPenderita Penyakit Ginjal Kronis. Status Penyakit Ginjal

(66)

5.4 Indeks Debris

Perbandingan rerata indeks debris penderita penyakit ginjal kronis dengan penderita non penyakit ginjal kronis akan disajikan pada tabel 15. Pada tabel jelas ditunjukkan nilai rerata indeks debris yang lebih rendah pada bukan penyakit ginjal kronis dari penderita penyakit ginjal kronis dan perbedaan tersbut bermakna secara statistik (p<0,05).

Tabel 15 : Nilai Rerata Indeks Debris pada Kelompok Penderita Penyakit Ginjal

...Kronis dan BukantPenderitaiPenyakit Ginjal Kronis. Status Penyakit Ginjal

Perbandingan nilai rerata indeks kalkulus penderita penyakit ginjal kronis dengan bukan penderita penyakit ginjal kronis akan disajikan pada tabel 16.

Tabel 16 : Nilai Rerata Indeks Kalkulus pada Kelompok Penderita Penyakit Ginjal

...Kronis dan Bukan Penderita Ginjal Kronis. Status Penyakit Ginjal

Kronis

Indeks Kalkulus P

Nilai Rerata (x)

(67)

Ya 2,144 0,379

0,000

Tidak 1,064 0,488

Perbedaan nilai rerata indeks kalkulus penderita penyakit ginjal kronis dengan bukan penderita penyakit ginjal kronis bermakna secara statistik (p<0,05), dimana nilai rerata indeks kalkulus penderita penyakit ginjal kronis lebih tinggi dibandingkan bukan penyakit ginjal kronis.

5.6 Indeks OHIS

Perbandingan nilai rerata indeks OHIS penderita penyakit ginjal kronis dengan bukan penderita penyakit ginjal kronis akan disajikan pada tabel 17.

Tabel 17 : Nilai Rerata Indeks OHIS pada Kelompok Penderita Penyakit Ginjal

...Kronis dan Bukan Penderita Penyakit Ginjal Kronis. Status Penyakit Ginjal

Kronis

Indeks OHIS P

Nilai Rerata (x)

Standar Deviasi

Ya 1,712 0,325

0,000

Tidak 1,026 0,439

Nilai rerata indeks OHIS penderita penyakit ginjal kronis lebih tinggi dibandingkan bukan penyakit ginjal kronis, dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik (p <0,05).

(68)

Perbandingan nilai rerata indeks perdarahan papila dimodifikasi penderita penyakit ginjal kronis dengan bukan penderita penyakit ginjal kronis akan disajikan pada tabel 18. Tabel 18 : Nilai Rerata Indeks pada Kelompok Penderita Penyakit Ginjal Kronis dan

...Bukan Penderita Penyakit Ginjal Kronis. Status Penyakit Ginjal

Kronis

Indeks IPPD P

Nilai Rerata (x)

Standar Deviasi

Ya 1,212 0,364 0,018

Tidak 0,946 0,507

Nilai rerata indeks gingiva penderita penyakit ginjal kronis (1,212) lebih tinggi dari bukan penyakit ginjal kronis (0,946) , dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik (p <0,05).

Dengan demikian, hipotesis nol yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara penyakit ginjal kronis dengan kondisi higiene oral pada penderita penyakit ginjal, ditolak.

5.8 Korelasi antara Variabel Penyakit Ginjal Kronis denganeVariabel

rrrrrrrrrrriPemeriksaan Kondisi Higiene Oral

(69)

5.8.1 Korelasi antara Kadar Hb dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi ttttttttHigiene Oral

Tabel 19: Korelasi Kadar Hb dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral Variabel Indeks

Hasil uji korelasi kadar Hb dengan indeks gingiva, indeks debris, indeks kalkulus, indeks OHIS, dan indeks perdarahan papila dimodifikasi menunjukkan nilai p> 0,05 dan berarti tidak ada korelasi bermakna antara kadar Hb dengan kondisi higiene oral.

5.8.2 Korelasi antara Kadar Kalsium dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi

ttttttttHigiene Oral

Tabel 20: Korelasi Kadar Kalsium dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral Variabel Indeks

Hasil uji korelasi kadar Hb dengan indeks gingiva, indeks debris, indeks kalkulus, indeks OHIS dan indeks perdarahan papila dimodifikasi menunjukkan tidak ada korelasi bermakna antara kedua variabel tersebut.

5.8.3 Korelasi antara Kadar Fosfor dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi

ttttttttHigiene Oral

(70)

Variabel Indeks

Hasil uji korelasi kadar Hb dengan indeks gingiva, indeks debris, indeks kalkulus, indeks OHIS dan indeks perdarahan papila dimodifikasi tidak menunjukkan ada korelasi antara kadar fosfor dengan variabel kondisi higiene oral tersebut.

5.8.4 Korelasi antara Kadar Kreatinin dengan Hasil Pemeriksaan 11111iKondisi Higiene Oral

Tabel 22: Korelasi Kadar Kreatinin dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral Variabel Indeks

Hasil uji korelasi antara kadar Hb dengan indeks gingiva, indeks debris, indeks kalkulus, indeks OHIS dan indeks perdarahan papila dimodifikasi menunjukkan nilai p>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi bermakna antara kadar Hb dengan parameter kondisi higiene oral yang diteliti.

(71)

Tabel 23: Korelasi Kadar Ureum dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral

Hasil uji korelasi pada tabel 23 menunjukkan tidak ada korelasi antara kadar ureum dengan indeks gingiva, indeks debris, indeks kalkulus, indeks OHIS, dan indeks perdarahan papila dimodifikasi.

5.8.6 Korelasi antara Kadar Hematokrit dengan Hasil Pemeriksaan 11111iKondisi Higiene Oral

Tabel 24: Korelasi Kadar Hematokrit dengan Hasil Pemeriksaan Kondisi Higiene Oral Variabel Indeks

Hasil uji korelasi antara kadar ureum dengan indeks gingiva, indeks debris, indeks kalkulus, indeks OHIS, dan indeks perdarahan papila dimodifikasi menunjukkan tidak ada korelasi yang bermakna karena memiliki signifikasi p>0,05.

(72)

tahap yang kritis sehingga dapat memberi pengaruh yang langsung terhadap kondisi higiene oral. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar hemoglobin, kalsium, fosfor, kreatinin, ureum dan hematokrit tidak berhubungan dengan kondisi higiene oral pada penderita penyakit ginjal kronis.

(73)

BAB 6

PEMBAHASAN

(74)

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan selama satu minggu sejak awal bulan Februari 2012 di Rumah Sakit Umum H.Adam Malik, Medan. Subjek penelitian yang berhasil dikumpulkan adalah 32 orang dengan rentang usia dari 30 sampai 70 tahun yang terdiri dari 18 orang sampel laki-laki dan 15 orang sampel perempuan. Jumlah subjek penelitian dipilih dari sampel yang memenuhi semua kriteria inklusi. Metode penelitian adalah consecutive sampling

yakni semua subjek yang ada dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan di dalam penelitian sehingga diperoleh jumlah sampel yang diperlukan. Subjek penelitian diwawancarai apakah menderita penyakit sistemik tertentu seperti diabetes melitus dan penyakit kelainan hematologi karena hal ini merupakan kriteria eksklusi. Data-data pemeriksaan laboratorium subjek yang diambil berupa nilai kalsium (Ca), nilai fosfor (P), nilai ureum, dan nilai kreatinin darah serta diperiksa kondisi higiene oralnya.

Rentang usia subjek penelitian dibatasi minimal 30 tahun dan maksimal 70 tahun. Laporan Center for Disease and Prevention di Amerika Serikat menjelaskan individu yang berusia lanjut yaitu > 60 tahun lebih berisiko (39,4%) menderita penyakit ginjal kronis dibandingkan dengan individu yang berusia 40 – 59 tahun (12,6%) dan 20 – 39 tahun (8,5%). Hal ini sejalan dengan Atassi dkk di dalam penelitiannya yang mengambil sampel dalam rentang usia 45,63 ± 16,77 tahun yang turut didukung oleh Cirillo dkk dalam penelitiannya mengambil sampel dari usia 18 sehingga 88 tahun sehingga peneliti mengambil usia minimal 30 tahun di dalam penelitian ini. Hal ini didasari dari hasil penelitian Hosseinpanah dkk yang menunujukkan bahwa prevalensi penyakit ginjal kronis dari usia di atas 20 mencapai 5% dari jumlah 10063 sampel dan tidah harus diambil ringan. Selain itu, menurut Robinson E dkk,

(75)

usia 85 tahun, glomerulus filtration rate hanya mencapai < 60 GFR milliliter per menit per 1,73m2 body surface area, bersamaan sisa fungsi pada ginjal penderita penyakit ginjal kronis tahap 3. Hal ini tidak menunjukkan individu tersebut mengidap penyakit, namun risiko diserang penyakit ginjal akan meningkat seperti yang dilapor oleh Garg dkk di mana penderita berusia > 60 tahun mengalami risiko tinggi mengidap penyakit ginjal kronis, namun individu berusia >75 tahun akan menghadapi risiko yang lebih tinggi. Hal ini turut didukung ole Lamb dkk dan Verhana dkk. Menurut Arora R dkk, penyakit ginjal tidak bersifat diskriminasi terhadap usia penderitanya dan bersifat multifaktorial namun dalam penelitian ini individu yang berusia di bawah 20 tahun tidak dimasukkan sebagai sampel penelitian karena terbatasnya sampel yang berusia di bawah 20 tahun di rumah sakit H. Adam Malik. 25,35,37,41,50,51

Elemen gigi yang diperiksa terbatas pada 6 gigi sesuai dengan klassifikasi Ramfjord yaitu 16, 21, 24, 36, 41, dan 44. Hal ini dikarenakan untuk mengurangi risiko septikemia akibat berkurangnya imunitas selular dari efek toksik uremia yang dapat mensupresi respons limfositik dan disfungsi pada granulosit penderita penyakit ginjal kronis yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan Naylor G dkk serta kecenderungan terjadinya perdarahan yang berlebihan akibat disfungsi platelet dan pemakaian heparin pada saat hemodialisis, maka pemeriksaan yang bersifat invasif tidak dianjurkan. 1, 28

Gambar

Tabel 1 : Nomenklatur dan definisi tahap keparahan penyakit ginjal kronis menurut  ....Kidney/ Dialysis Outcome Quality Initiative Guidelines (DeRossi dkk
Tabel 2 : Pengukuran fungsi ginjal dan parameter untuk tahap penyakit ginjal kronis  yang berbeda
Gambar 5 : Dialyzer```````````````. (Sumber : Instalasi Hemodialisis  R.S.U.H.Adam Malik, Medan)
Tabel 3 : Gejala klinis penyakit ginjal kronis (Proctor R dkk. Oral and Dental  of Chronic Renal Failure
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kekalahan dalam Perang Uhud juga telah menimbulkan krisis keyakinan di kalangan umat Islam yang tipis imannya.Perang Uhud telah memberikan pengajaran kepada tentera Islam

Untuk aspek sosial, direkomendasikan untuk: (1) elakukan pendampingan 3 KTH untuk menjadi HKm, (2) melakukan upaya menurunkan angka kemiskinan di bawah 10% pada akhir

Namun para pemikir dan pemerhati pendidikan Islam terus berupaya untuk mengikis dikotomi tersebut, salah satu bentuknya adalah adanya pesantren yang

Berdasarkan uraian dan analisa diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, perilaku sangat berpengaruh dan kepemimpinan pada iklim

Judul : Penerapan Pemungutan, Perhitungan dan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (Studi Kasus di Kelurahan Genengan, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa melalui penerapan model pembelajaran Make A Match berbantu permainan ular

Dari hasil pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage operasi dan total assets turnover terhadap perataan laba

Pola hias yang sudah dirancang untuk busana atau untuk keperluan lenan rumah tangga dipindahkan terlebih dahulu pada bahan yang akan dihias. Cara memindahkan desain hiasan