• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol. 12, No. 2, Desember 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Vol. 12, No. 2, Desember 2011"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 12, No. 2, Desember 2011

Vol. 12, No. 2, Desember 2011

(2)

Dari Redaksi ... (Pemimpin Redaksi) iii

Berdasarkan Surat LIPI No. 2111/I.2/KP/2001, tanggal 12 April 2001, Jurnal Sains &

Teknologi Modifikasi Cuaca diklasifikasikan sebagai Jurnal Ilmiah

ISSN 1411-4887 JURNAL

SAINS & TEKNOLOGI MODFIKASI CUACA Vol 12, No.2, Desember 2011 Hal.: 37 – 71

Diterbitkan Oleh:

Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Pelindung: Kepala BPPT

Penasihat:

Deputi Kepala TPSA, BPPT, Ka. UPT Hujan Buatan, BPPT

Penanggung Jawab: Kabid PPTPH, UPTHB, BPPT

Pemimpin Redaksi: Dr. Findy Renggono Wakil Pemimpin Redaksi:

Drs. Sunu Tikno Msi. Dewan Redaksi:

Prof. Untung Haryanto MSi., APU, Dr. Mahally Kudsy, Dr. Tri Handoko Seto, Dra. Mimin Karmini MSc.,

Drs. Moh. Husni MT Redaksi Pelaksana: M. Djazim Syaifullah, SSi, MSi

Budi Harsoyo SSi., MSi., Dini Harsanti MSi., Halda Aditya Belgaman SSi., MM

Sekretariat: Gangsar Wijanarko SE,

Warsun Alamat Redaksi: Gedung BPPT I, Lantai 19 Jalan MH Thamrin 8 – Jakarta 10340 Tlp.: (021) 316 8828, Fax: (021) 390 6225

Email: [email protected] Dicetak Oleh: BPPT Press

Dari Redaksi

Dewan redaksi mengucapkan puji syukur kehadirat Allah swt, karena Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca volume 12 no 2 dapat kami terbitkan pada bulan Desember 2011.

Edisi kedua tahun 2011 ini diisi dengan berbagai tema penelitian yang cukup menarik. Untuk pengembangan teknologi bahan semai, disajikan dalam bentuk kajian menggunakan model 2 dimensi, sedangkan kajian kebencanaan dapat dilihat dalam tulisan mengenai kondisi cuaca pada saat banjir di DKI tahun 2005. Kajian pertumbuhan awan di Sulawesi Barat dan Selatan juga disajikan dalam tiga tulisan terpisah lainnya yang masing-masing menggunakan data berlainan namun dapat saling melengkapi, sehingga dapat menambah referensi bagi kajian cuaca di Sulawesi.

Kami harapkan tulisan-tulisan hasil penelitian yang dimuat pada jurnal ini dapat dijadikan rujukan bagi perkembangan penelitian di Indonesia. Untuk itu kami masih menunggu para pakar/peneliti bidang iklim, cuaca, hidrologi dan terutama teknologi modifikasi cuaca untuk menyumbangkan hasil penelitian/pemikirannya agar dapat kami muat di jurnal ini sebagai sarana berbagi ilmu dan tukar pikiran antar peneliti.

Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca, dan kami tunggu partisipasinya, baik dalam bentuk tulisan, saran maupun kritik terhadap isi penampilan jurnal ini.

Juni 2011

Pemimpin Redaksi

Frekuensi terbit: 2 kali pertahun Terbit Pertamakali: Juni 2000

(3)

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 2, 2011

iv

DAFTAR ISI

Dari Redaksi Daftar Isi

”Studi Model untuk Peningkatan Presipitasi Awan Konvektif dengan Bubuk Garam”

(Belyaeva M.V., Drofa A.S., Ivanov V.N. Kudsy M., Haryanto U.,Goenawan, R.D., Harsanti, D dan Ridwan)

”Mengintip Kondisi Cuaca Penyebab Banjir Besar di DKI Jakarta Tanggal 25 Oktober 2010”

(M. Karmini dan F. Renggono)

“Observasi Pertumbuhan Awan di DAS Mamasa Sulawesi Barat dengan Radar Cuaca”

(Erwin Mulyana)

“Distribusi Temporal dan Spasial Tekanan Udara Terkait Pertumbuhan Awan di DAS Larona, Sulawesi Selatan”

(Tri Handoko Seto)

”Pengaruh ENSO terhadap Pola Angin dan Curah Hujan di DAS Larona, Sulawesi Selatan”

(Findy Renggono)

Syarat dan Format Penulisan

iii iv 37-41 43-48 49-53 55-61 63-68 69-71 Hal

(4)

STUDI MODEL UNTUK PENINGKATAN PRESIPITASI

AWAN KONVEKTIF DENGAN BUBUK GARAM

Abstract

Intisari

Belyaeva M.V1, Drofa A.S1, Ivanov V.N1

Kudsy M2, Haryanto U2,Goenawan, R.D2, Harsanti, D2 dan Ridwan2

A study of use of polydisperse salt as seeding agent in cloud modification was conducted using 1-dimensional model. In this study the effects of introduction of the salt powder to cloud droplet distribution and the amount of precipitation enhancement were analyzed and compared to the results obtained by introduction of hygroscopic particles from pyrotechnic flares at various cloud media conditions such as cloud thickness, updraft, and original atmospheric condensation nuclei. This study reveals that polydisperse salt powder is usable to obtain precipitation from marginal cloud that usually can not produce precipitation.

Sebuah studi tentang penggunaan garam serbuk polidispersi sebagai bahan semai telah dilaksanakan dengan memakai model 1-dimensi. Dalam studi ini pengaruh penambahan serbuk garam tersebut terhadap distribusi tetes awan dan jumlah penambahan presipitasi telah dilakukan, serta hasilnya telah dianalisa dan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada pemakaian partikel higroskopis yang diperoleh dari flare piroteknik. Kondisi awan yang dipelajari terdiri dari beberapa macam ketinggian, updraft dan konsentrasi inti kondensasi atmosfer semula. Hasil studi menunjukkan bahwa bubuk garam polidisperse dapat dipakai untuk menghasilkan presipitasi dari awan marginal yang biasanya tidak mampu menghasilkan presipitasi.

Kata kunci : Model 1-dimensi, modifikasi awan, bubuk garam polidispersi

1 RPA “Typhoon”, Rusia, email: [email protected]

2 UPT Hujan Buatan, BPPT, Thamrin No. 8 Jakarta

1. PENDAHULUAN

Partikel higroskopis dari flare piroteknik banyak digunakan dalam sejumlah proyek yang bertujuan untuk peningkatan curah hujan dari awan konvektif (Cooper et al., 1997). Pada modifikasi

dengan metode ini partikel higroskopis dimasukkan pada daerah updraft di dasar awan. Konsep

modifikasi adalah transformasi spektrum tetesan

awan pada tahap awal kondensasi sedemikian

rupa sehingga pada evolusi selanjutnya dari proses koagulasi awan akan menjadi lebih intens dan proses pembentukan curah hujan akan

meningkat. Partikel higroskopis yang dihasilkan oleh senyawa piroteknik memiliki ukuran 0,3-1 µm.

Hasil investigasi menunjukkan bahwa penggunaan

partikel yang lebih besar (I - 3 µm), memungkinkan

untuk memperoleh efek modifikasi lebih signifikan,

tetapi konsumsi agen (bahan semai) meningkat satu orde lebih besar peningkatan hasil yang diperoleh dari senyawa piroteknik.

Rosenfeld D. (2005, 2010) menyarankan penggunaan garam bubuk NaCl polydisperse

dengan fungsi distribusi ukuran partikel yang agak

luas untuk modifikasi awan. Bubuk garam tersebut telah diuji di Kamar Awan Besar SI RPA ‘Typhoon’

(Rusia) (Drofa et al., 2010). Hasil tes didukung oleh

hasil simulasi numerik menunjukkan keunggulan yang signifikan dari bubuk untuk mendapatkan tambahan curah hujan. Efek penting dari modifikasi

dengan bubuk garam tampak dengan sendirinya pada penambahan bubuk dengan konsentrasi massa yang 1-orde lebih sedikit dari pada

penggunaan flare piroteknik. Ketika digunakan bubuk garam, curah hujan dapat diperoleh dari awan konvektif hangat yang kecil biasanya tidak menghasilkan presipitasi (non-precipitating convective cloud).

Makalah ini memberikan gambaran (berdasarkan simulasi numerik) perkiraan

efek modifikasi pada awan konvektif yang

disebabkan oleh bubuk garam polydisperse dan menggambarkan kondisi yang diperlukan untuk

efek positif maksimum yang dapat dicapai dengan

metode ini.

(5)

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 2, 2011: 37-41

Gambar 1. Spetrum tetes awan 2 menit setelah

terjadinya pembentukan awan.

Garis solid – bubuk garam dari RPA Typhoon. Garis putus – bubuk garam pada (Drofa, 2010) 1 – spektrum tetes pada konsentrasi latar

2 – spektrum tetes pada penambahan partikel garam dengan radius 1µ

3 – spektrum tetes pada penambahan garam dengan konsentrasi massa 0.01mg/m3; 4 – 0.1 mg/m3; 5 – 1 mg/m3

38

2. METODOLOGI

Analisis skenario pembentukan tetes awan

pada awan konvektif menunjukkan bahwa pada

tahap awal kondensasi tetesan awan utama ukuran spektrum distribusi dibentuk pada inti higroskopis

dengan jari-jari 0,015-0,65 µm. Spektrum awan maksimum terbentuk pada inti (nuclei) dengan

radius sekitar 0,02 µm. Hanya partikel higroskopis tersebut yang merupakan inti kondensasi aktif yang pertumbuhannya “tak terbatas” pada tahap kondensasi awal direalisasikan. Untuk stimulasi

secara artifisial dari proses koagulasi dalam awan

tersebut diperlukan perubahan spektrum tetesan pada tahap awal kondensasi sedemikian rupa

sehingga jumlah tetes besar akan meningkat tanpa terjadi perubahan kondisi pembentukan tetes awan

pada inti kondensasi atmosfer (inti kondensasi yang semula ada). Untuk partikel higroskopis dengan

jari-jari lebih besar 0,5-0,6 µm harus ditambahkan

dari luar. Jumlah partikel tambahan yang diperlukan

untuk intensifikasi peristiwa koagulasi, dan pembentukan curah hujan berikutnya ditentukan

dapat ditentukan dari hasil simulasi numerik. Distribusi ukuran partikel higroskopis pada simulasi numerik digambarkan oleh fungsi dalam bentuk:

f (r) = r-μ exp (- (r / r

o)2 1) Spektrum partikel bubuk garam mengikuti

persamaan (1). Untuk bubuk yang disajikan dalam

(. Drofa et al, 2010) parameter distribusi (1) sama

dengan: μ = 1,5, r0 = 5 μm, dan untuk bubuk dalam (. Drofa et al, 2011) - μ = 0,5, r0 = 5,3 μm. Contoh

perhitungan dari tahap awal formasi struktur mikro medium awan dengan penambahan bubuk garam

ke lapisan sub-cloud ditunjukkan pada Gambar. 1.

Berikut ditampilkan hasil perhitungan dari spektrum

tetes awan pada paras yang dapat tercapai oleh

udara dalam waktu 120s. Karakteristik kimia dan

fisika dari aerosol latar mewakili karakteristik

rata-rata aerosol atmosfer benua, demikian pula kondisi atmosfer adalah tipikal untuk awan konvektif daerah

benua. Kecepatan updraft didekat dasar awan V = 1,5 m/s, suhu atmosfer semula 10 °C, tekanan 900

mb. Distribusi partikel aerosol awal yang bersifat inti kondensasi didekati dengan persamaan Junge: f(rc)=a•r –ν (2)

Formula (2) mendekati cukup baik spektrum

sebenarnya partikel aerosol di atmosfer. Untuk

massa udara benua itu biasanya dianggap ν = 4-5 (Drofa, 2006).

Jadi jelaslah bahwa efek positif dari modifikasi

awan dengan bubuk garam mungkin hanya

muncul ketika sejumlah relatif partikel tambahan diperkenalkan kurang dari 0,5 μM tidak melebihi jumlah inti kondensasi aktif dalam aerosol latar. Ini berarti bahwa kondisi μ<ν harus dipenuhi. Dalam kasus sebaliknya (μ>ν) penambahan partikel akan

menyebabkan peningkatan konsentrasi partikel yang terbentuk dan penurunan ukuran rata-rata nya. Efek ini disebut “overseeding”.

Sebagai contoh pada Gambar 1 ditampilkan

adalah ukuran spektrum tetes awan pada penambahan partikel higroskopis ke lapisan

konvektif sub-cloud (dasar awan) dengan fungsi distribusi ukuran yang sempit. Partikel NaCl dengan radius yang efektif dari 1 μm dan dispersi relatif

dari fungsi distribusi ukuran S = 0,3 digunakan.

Konsentrasi jumlah partikel diperkenalkan membuat 120 cm3.

Seperti konsentrasi optimal untuk partikel ukuran ini untuk mendapatkan efek maksimum

modifikasi (Drofa, 2006). Konsentrasi massa

partikel adalah 1,1 mg/m3. Seperti terlihat dari Gambar 1, penambahan partikel tersebut berakibat pembentukan spektrum tetes awan bimodal yaitu fraksi besar tetes yang ditentukan oleh pertumbuhan partikel yang terbentuk pada partikel garam, dan fraksi halus tetesan awan - diatas inti dari aerosol

latar. Studi-studi tentang efek modifikasi dengan partikel tersebut telah menunjukkan (Drofa, 2006;.

Segal et al, 2007) bahwa pada penambahan

partikel garam akibat penurunan kejenuhan

berlebih (oversaturation) dari uap air di awan,

maka jumlah inti atmosfer diaktifkan (yaitu mereka berubah menjadi tetes awan) pada tingkat yang

lebih rendah daripada di awan latar. Karena hal ini, konsentrasi total tetes awan yang terbentuk pada latar dan inti tambahan tampak kurang dibandingkan kasus ketika inti kondensasi tambahan tidak hadir.

(6)

Gambar 2. Intensitas Temporal tren curah hujan dari

awan tebal 4,2 km. Garis padat - bubuk

garam RPA ‘Typhoon’; garis putusputus -bubuk disajikan dalam (Drofa et al, 2010.).

1 - tanpa agen,

2 - konsumsi bahan garam, 2,4 kg/km2 3 - 12 kg/km2,

4 - 48 kg/km2.

Studi Model untuk Peningkatan... (Belyaeva M.V. dkk) 39 pada penambahan partikel. Karena efek positif

modifikasi dengan partikel higroskopis dengan distribusi ukuran yang sempit terjadi sebagai akibat

pembesaran tetes awan adalah faktor utama yang

memicu terjadinya koagulasi yang diinduksi oleh gravitasi dalam awan dan memicu pembentukan curah hujan berikutnya. Satu hal yang harus

diperhatikan adalah fakta bahwa ukuran tetes

awan yang terbentuk pada modifikasi mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan tetes yang terjadi

pada awan latar. Ini berarti bahwa dalam kasus

ini modifikasi dengan partikel garam menghasilkan

perubahan kondisi pembentukan tetes awan pada inti kondensasi atmosfer.

Modifikasi awan dengan bubuk garam tidak

menyebabkan perubahan seperti yang disebutkan pada paragraf diatas bahkan dengan penambahkan

garam dengan konsentrasi massa yang cukup besar. Jumlah tetes awan yang terjadi dari partikel

aerosol latar sedikit dalam kasus ini. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1, penambahan bubuk

garam ke dalam level sub-cloud pada awan konvektif mengakibatkan terjadinya “ekor” (tail) untuk butir

besar pada kurva distribusi tetes awan. Spektrum

tetes yang terjadi pada partikel atmosfer latar dalam

hal ini tidak mengalami perubahan. Sebagaimana

ditunjukkan dari analisis hasil pemodelan numeris, modifikasi dengan bubuk garam secara signifikan menghasilkan terjadinya koagulasi yang lebih

intensif (yang kemudian mengakibatkan proses penambahan presipitasi) dibandingkan dengan partikel higroskopis dengan distribusi yang sempit.

Data yang diperoleh pada tahap awal kondensasi (Gambar 1) adalah data dasar untuk menghitung perubahan (evolusi) struktur mikro medium awan dengan model numeris 1-dimensi (Drofa, 2010). Model 1 dimensi tersebut menggambarkan evolusi medium awan pada bagian tengah awan sebagai variabel dari

kecepatan vertikal dari udara naik yang membentuk awan tersebut. Model ini secara parametris

memperhitungkan panas dan uap air karena masuk dari lingkungan karena entrainment. Aktifasi

inti kondensasi atmosfer terjadi pada lapisan sub-cloud (lapisan dibawah awan). Dengan adanya massa udara yang naik selanjutnya, perubahan mikrostruktur medium awan terjadi karena

adanya kondensasi, pertambahan/penguapan

tetes, koagulasi, pemecahan dan sedimentasi

butir2 awan. Struktur spatiotemporal parameter2 meteorologis dan karakteristik integral dari fungsi distribusi ukuran butir dihitung dengan model

ini. Kandungan air liquid (LWC) dari tetes-tetes besar dengan ukuran r > 200 µm yang mencirikan

presipitasi dihitung pula berdasarkan model. Jumlah dan intensitas presipitasi dihitung berdasarkan data yang merepresentasikan dasar awan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tren temporal dari intensitas presipitasi

dihitung pada modifikasi awan yang tebalnya 4,2 km dengan bubuk garam ditunjukkan pada Gambar

2.

Pada tahap awal pembentukan awan ini,

kadar air cair maksimum 3,46 g/m3 dan kecepatan

udara vertikal updraft maksimum 4,5 m / s.

Penambahan partikel ke dalam lapisan sub-awan

dengan ketebalan 60-240 m dilakukan pada

menit ke-10 dari awal pembentukan awan. Dari

grafik pada Gambar 2 terlihat bahwa dengan penambahan bubuk garam, jumlah presipitasi dapat mencapai 2-5 kali lebih besar. Pengaruh modifikasi

disebabkan oleh penggunaan bubuk yang

diproduksi di RPA ‘Typhoon’, seperti yang terlihat dari Gambar 2, agak lebih menonjol daripada yang

Precipitation, mm/h Time, min 70 60 50 40 30 30 40 50 60 70 20 10 0

telah disajikan sebelumnya (Drofa et al., 2010). Secara umum, hasil perhitungan menunjukkan bahwa tambahan curah hujan yang diperoleh dari modifikasi modifikasi awan dengan bubuk dari RPA ‘Typhoon’ adalah dengan 1-2 mm lebih dari pada modifikasi dengan bubuk disajikan dalam (Drofa et al., 2010). Untuk mendapatkan jumlah tambahan presipitasi yang sama dibutuhkan jumlah bubuk garam 10-15% lebih sedikit dari yang pertama.

Jumlah presipitasi terhitung karena modifikasi

dapat dilihat pada Gambar 3. Sebagaimana terlihat

pada Gambar tersebut, tambahan curah hujan terjadi terjadi dengan adanya penambahan bubuk garam > 2,4 kg/km2 pada awan dengan ketebalan

2,5 – 3,5 km. Awan ini biasanya tidak memberikan presipitasi secara alami (tanpa penambahan

garam). Efek penyemaian yang maksimal – atau

penambahan presipitasi maksimal – terjadi pada

(7)

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 2, 2011: 37-41

40

Dengan penambahan terakhir ini, semua tetes

awan berubah menjadi tetesan presipitasi. Setelah terjadinya presipitasi dari awan tersebut sejumlah

tetes awan masih tertinggal di dalam awan, namun

dengan penambahan bubuk garam lebih lanjut

tidak menghasilkan presipitasi tambahan.

Hasil perhitungan dari efek modifikasi yang dicapai dengan menggunakan flare piroteknik Afrika Selatan (Cooper et al., 1997) menunjukkan bahwa sejumlah besar tambahan curah hujan hanya terjadi pada modifikasi awan dengan

ketebalan lebih dari 4 km. Perhitungan dibuat untuk konsumsi 12 kg agen per 1 km2 awan yang

disemai. Penggunaan partikel dalam jumlah yang lebih sedikit tidak memberikan pengaruh modifikasi yang signifikan Hasil yang disajikan di sini adalah sesuai dengan data percobaan lapangan pada

penyemaian dengan partikel tersebut (Mather et al., 1997). Seperti terlihat dari Gambar 3, penyemaian dengan garam bubuk hasil dalam peningkatan

curah hujan yang signifikan. Pada konsumsi bubuk

Amount of precipitation, mm H, Km 25 20 15 10 5 0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

Gambar 3. Perhitungan hasil jumlah total presipitasi

dari awan dengan ketebalan yang berbeda. 1 tanpa penambahan partikel, 2

-penambahan partikel flare Afrika Selatan,

3 - Masuknya bubuk garam pada konsumsi 2,4 kg/km2, 4 - 6 kg/km2, 5 - 12 kg/km2,

6 - 24 kg / km2, 7 - 48 kg/km2. Garis putus

putus - penambahan partikel garam ukuran

1 µM dg konsumsi 64 kg/km2.

garam 2,4 kg/km2 jumlah curah hujan yang jatuh dari awan dengan ketebalan kurang dari 4 km lebih besar dari pada penyemaian dengan partikel piroteknik di konsumsi 12 kg/km2.

Pengaruh penyemaian dengan partikel

bubuk garam polydisperse secara signifikan juga

lebih besar dari hasil penyemaian dengan partikel garam besar dengan distribusi ukuran partikel yang sempit. Dari Gambar 3 terlihat bahwa efek penyemaian dengan partikel garam (radius efektif

1 μm dan konsentrasi berat optimum 1,1 mg/m2)

pada konsumsi garam total 64 kg/km2 tampaknya memberikan hasil kurang dari pada dengan

penyemaian bubuk garam pada konsumsi 12 g / km yang kedua.

Dari hasil simulasi numerik tampak bahwa efek dari penyemaian dengan bubuk garam

tergantung secara signifikan pada kondisi atmosfer

di mana awan konvektif terbentuk. Gambar 4

menyajikan hasil perhitungan untuk intensitas

presipitasi pada penyemaian dengan bubuk garam pada awan dengan ketebalan 3 km. Awan tersebut

secara alami tidak akan menghasilkan presipitasi. Maksimum kadar air cair (LWC) media awan di awan yang dimodelkan mencapai 2,56 g/m3. Perlu disebutkan disini bahwa pada penyemaian awan dengan ketebalan tersebut dan dengan kadar air

cair kurang dari 2 g/m3 praktis tidak memberikan

hasil curah hujan bahkan pada konsumsi bubuk

garam yang sangat besar. Seperti terlihat dari Gambar 4, efek penyemaian dengan bubuk garam

paling menonjol di awan dengan konsentrasi tetes awan yang besar dan kecepatan updraft yang lebih

rendah.

Gambar 4. Trend Intensitas Temporal curah hujan dari awan dengan ketebalan 3 km di modifikasi

dengan bubuk garam di konsumsi dari 48 kg/km2. Garis tebal - updraft udara

maksimum Vm = 3,3 m/s, garis putus-putus

- Vm = 5 m/s. 1,4 - konsentrasi tetes N = 1015 cm3, 2,5 - N = 485 cm3, 3,6 - N = 305 cm3. Precipitation, mm/h Time, min 50 40 30 30 40 50 60 70 20 10 0

Hasil simulasi numerik di atas konsisten

dengan pengamatan di lapangan. UPT Hujan

Buatan, Indonesia melaksanakan kegiatan operasional penyemaian awan di DAS Larona

(Sulawesi) dan Kawasan DAS Citarum (Jawa). Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa selama

penyemaian awan dengan kondisi atmosfer yang

menguntungkan di Larona Catchment area pada April 2005 mengakibatkan 3 kali lebih besar dari total curah hujan dibanding dengan hasil di DAS Citarum yang dilakukan di bawah kondisi yang

tidak menguntungkan pada bulan Februari 2011 karena badai konvektif yang terbentuk (Haryanto

dkk, 2011). Salah satu beda signifikan dari kondisi

atmosfer dari dua daerah tersebut adalah suhu

(8)

Studi Model untuk Peningkatan... (Belyaeva M.V. dkk) 41 analisis sounding atmosfer - yang berperan penting

dalam aktivitas koalesensi dalam awan konvektif. 4. KESIMPULAN

Hasil dari studi yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa penggunaan garam bubuk polydisperse untuk mendapatkan sejumlah tambahan curah hujan dari awan konvektif hangat

lebih menguntungkan terhadap penggunaan

partikel higroskopis yang dihasilkan oleh flare

piroteknik relatif terhadap agen konsumsi dan efek

modifikasi. Pada penyemaian dengan bubuk garam tambahan curah hujan dapat diperoleh dari awan

konvektif hangat dengan ketebalan moderat yang

tidak memberikan curah hujan di bawah kondisi

biasa. Dalam hal ini pula efek “overseeding”, yang

dapat membuyarkan awan seperti yang terjadi pada modifikasi dengan fine partikel dari flare piroteknik tidak terjadi pada modifikasi dengan penggunaan

bubuk garam. DAFTAR PUSTAKA

Cooper W.A., Bruintjes R.T., Mather G.K.,

Calculations pertaining to hygroscopic seeding with flares. J. Appl. Meteorol., 36, 1449–1469, 1997.

Drofa A.S., Formation of cloud microstructure: the role of hygroscopic particles. Atmos. Ocean. Phys., 42, 326-336., 2006.

Drofa A.S., Studies of a Modification Effect from a Warm Convective Cloud Seeding by Hygroscopic Particles Based on Numerical Simulation Results. Atmos. Ocean. Phys., 46, 346-359, 2010.

Drofa A.S., Ivanov V.N., Rosenfeld D., Shilin A.G., Studying an Effect of Salt Powder Seeding Used for Precipitation Enhancement from Convective Clouds. Atmos. Chem. Phys.,

10, 8011-8023, 2010.

Drofa A.S., Eran’kov V.G., Ivanov V.N., Shilin A.G., Yaskevich G.F., Experimental studies of salt powder efficiency at convective cloud modification for precipitation enhancement,

2011 [in present proceedings].

Haryanto, U., D. Harsanti, R.D. Goenawan, K. Adithya, Analysis of Storm Category and Coalescence Activity: Relationship to The Daily Mean Catchment Rainfall (Cases Cloud Seeding Operational in Larona and Citarum Catchment Area). Paper submitted

to Tenth WMO Scientific Conference on Weather Modification, Bali October 2011. Mather G.K., Terblanche D.E., Steffens F.E.,

Fletcher L., Results of South African cloud-seeding experiments using hygroscopic flares, J. Appl. Met., 36, 1433-1447, 1997.

Rosenfeld D., Lahav R., The Search for the Optimal Size of Hygroscopic Seeding Particles. Proceedings of the 16-th Conference on Planned and Inadvertent Weather Modification, San Diego, USA, 2005.

Rosenfeld D., Axisa D., Woodley W.L. and Lahav R., A Quest for Effective Hygroscopic Cloud Seeding. J. Appl. Met. Climate, 49, 1548-1562, 2010.

Segal Y, Pinsky M. and Khain A., The Role of Competition Effect in the Raindrop Formation. Atmos. Res., 83, 106–118, 2007.

(9)
(10)

MENGINTIP KONDISI CUACA

PENYEBAB BANJIR BESAR DI DKI JAKARTA

TANGGAL 25 OKTOBER 2010

Abstract

Intisari

M. Karmini1 dan F. Renggono1

Jakarta was struck by torrential rain at 16:00 pm. Standing water caused by heavy rain occured immediately. The rain lasted until around 20:00 pm. From the AWS measurement at Jatiwaringin, highest rainfall of 230 mm was recorded at 16:00 pm. Rainfall amount until 19:00 pm was recorded of about 650.60 mm, in other words rainfall intensity was about 216.87 mm/hour for the period of 16:00 – 19:00 pm. Some stability indices, which is calculated from rawinsonde at 07:00 am showed the potential for convective activity which could produce heavy rain. Some stability indices that show strong potential for convective process are: LI (Lifted Index) = - 06; SI (Showalter Index) = - 0.7; K Index = 36.7; TT (Total Totals) = 43.9. The heaviest rainfall occured in the western region of Jakarta until Tangerang. Stagnant water is almost evenly in Jakarta and Tangerang with varying heights between 20 cm - 100 cm.

DKI Jakarta dikejutkan dengan hujan deras pada jam 16:00 WIB. Genangan air langsung terjadi akibat derasnya hujan. Hujan berlangsung sampai sekitar jam 20:00 WIB. Dari data AWS di Jatiwaringin, curah hujan tertinggi sebesar 230 mm tercatat pada jam 16:00 WIB. Curah hujan sampai jam 19:00 WIB tercatat sebesar 650.60 mm atau intensitas 216.87 mm/jam untuk periode jam 16:00 s.d. 19:00 WIB. Beberapa indeks stabilitas, yang dihitung dari data rawinsonde jam 07:00 WIB, menunjukan potensi terjadinya aktivitas konvektif yang bisa menghasilkan hujan deras. Beberapa indeks stabilitas yang menunjukan potensi terjadinya proses konvektif kuat adalah: LI (Lifted Index) = - 06; SI (Showalter Index) = - 0.7; K Index = 36.7; TT (Total Totals) = 43.9. Kejadian hujan paling deras di kawasan barat DKI Jakarta sampai Tangerang. Genangan air hampir merata di DKI Jakarta dan Tangerang dengan ketinggian yang bervariasi antara 20 cm – 100 cm.

Kata kunci : Intensitas hujan,rawinsonde, radar cuaca, awan konvektif, banjir.

1 Peneliti Madya - UPT Hujan Buatan, BPPT, Thamrin No. 8

Jakarta, email [email protected]

1. PENDAHULUAN

Pada tanggal 25 Oktober 2010 sekitar jam 16:00 WIB, Jakarta dikejutkan dengan hujan yang

sangat deras disertai kilat dan guntur. Dalam tempo yang sangat singkat, genangan air sudah

mulai tampak. Kejadian hujan hampir bersamaan

dengan waktu pulang karyawan sehingga lalulintas

di Jakarta dapat dikatakan lumpuh. Hujan deras

yang mengakibatkan visibility kurang dari 10 m (pengalaman pribadi), volume kendaraan yang sangat besar, serta mulai adanya genangan air memperburuk kondisi lalu lintas. Sebagai akibatnya,

banyak karyawan yang terjebak macet dan baru

sampai ke rumah hampir tengah malam.

Menurut Vivanews tanggal 25 Oktober 2010, jam 17:05 WIB (metro-vivanews 1), genangan air sampai jam 16:30 WIB terdapat di: Jl. Sudirman 50 cm (depan Ratu Plaza); sekitar Gd. Wika Cawang genangan air antara 20 – 40 cm; di bawah fly over Cawang genangan 50 cm; depan Gd. Depnaker, Gatot Subroto genangan 50 cm; Kawasan SCBD genangan 50 cm; bahkan di jalan H. Saidi, Ciledug genangan air dilaporkan mencapai 100 cm. Dengan kondisi seperti ini, lalu lintas hampir macet

total di seluruh wilayah Jakarta karena banyak kendaraan yang tidak bisa melewati genangan air tersebut. Beberapa daerah di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan masih mengalami genangan air

dengan ketinggian yang bervariasi antara 10 – 50 cm (Vivanews, 26 Oktober 2010 jam 08:32 WIB

(metro-vivanews 2).

(11)

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 2, 2011: 43-48

44

Hujan dengan intensitas tinggi sekitar 3 jam-an mengindikasikjam-an bahwa hujjam-an berasal dari awjam-an konvektif yang cukup besar. Untuk melihat apa yang terjadi dengan kondisi cuaca pada tanggal 25 Oktober 2010, kami mengumpulkan beberapa data

untuk dianalisa.

Tulisan ini akan menyajikan analisis kondisi cuaca pada tanggal 25 Oktober 2010.

2. DATA YANG DIGUNAKAN

Data yang akan digunakan untuk analisis

kondisi cuaca terdiri dari: radar cuaca di Serpong

yang dikelola oleh HARIMAU; data rawinsonde

yang diluncurkan di Cengkareng pada tanggal 25 Oktober 2010, jam 07:00 WIB; data AWS (Automatic Weather Station) yang berlokasi di Jatiwaringin (60 15.1 LS, 1060 54.5 BT) dan citra satelit.

3. PEMBAHASAN 3.1. Data Rawinsonde

Rawinsonde adalah alat pengukur parameter

atmosfer secara vertikal. Rawinsonde diluncurkan di Cengkareng 2 kali setiap hari yaitu jam 07:00

dan 19:00 WIB. Data yang akan dianalisis adalah

data tanggal 25 Oktober jam 07:00 WIB. Data tekanan udara, suhu, arah dan kecepatan angin secara vertikal di proses dengan program RAOB

akan menghasilkan plot suhu udara dan suhu titik

embun, arah dan kecepatan angin untuk berbagai

ketinggian (tekanan udara). Selain plot, dalam analisis ini adalah skewT-log p, akan diperoleh

juga beberapa indek stabilitas atmosfer yang dapat

menggambarkan kondisi atmosfer saat pengukuran dilakukan.

Data tanggal 25 Oktober 2010, jam 07:00

menghasilkan gambar skew T – log p seperti yang tampak dalam Gambar 1. Beberapa indek stabilitas

adalah: LI = - 0.6; SI = - 0.7; KI = 35.7; TT = 43.9.

a. LI (Lifted Index) yang dikembangkan

oleh Galway (1956), sangat bermanfaat dalam memprediksi kemungkinan terjadinya

severe thunderstorm. Kemungkinan

terjadinya severe thunderstorm sangat tinggi apabila nilai LI ≤ - 0.6. (profhorn.aos. wisc.edu). Hasil rawinsonde tanggal 25 Oktober 2010 menunjukan bahwa nilai LI = -0.6.

b. SI (Showalter Index) yang dikembangkan oleh Showalter (1947) merupakan indikator yang sederhana untuk mengukur tingkat stabilitas atmosfer. Bila nilai SI positif, maka

kondisi atmosfer stabil (profhorn.aos.wisc edu). Hasil analisis rawinsonde menunjukan

bahwa nilai SI = - 0.7.

c. KI dikembangkan oleh George (1960) menjadi indikator yang baik tentang kemungkinan terjadinya air mass thunderstorm (profhorn.aos.wisc.edu). Air

mass thunderstorm adalah thunderstorm yang tidak diasosiasikan dengan kehadiran front, yaitu pertemuan dua massa udara

(weather.weatherbug.com). Thunderstorm ini mempunyai tiga ciri: mempunyai life cycle

singkat, terisolasi (tidak embeded), dan tidak terlalu membahayakan. KI antara

31 -35 menunjukan bahwa kemungkinan terjadi air mass thunderstorm sebesar 60 – 80 %. KI tercatat sebesar 35.7 pada tanggal 25 Oktober.

d. TT, yang dikembangkan oleh Miller (1972),

menunjukan apakah kondisi atmosfer

mendukung untuk berkembangnya severe

thunderstorm (profhorn.aos.wisc.edu). Bila nilai TT ≥ 48, maka kondisi atmosfer

sangat mendukung untuk berkembangnya severe thunderstorm. TT pada tanggal

25 Oktober tercatat sebesar 43.9.

Gambar 1. Hasil ploting parameter suhu udara (red solid line) dan titik embun (garis putus-putus), serta arah dan

(12)

Mengintip Kondisi Cuaca Penyebab banjir ... (M. Karmini dan F. Renggono) 45

3.2. Data Radar Cuaca

C-Band Doppler radar berlokasi di PUSPIPTEK Serpong, Jakarta (6.40 LS, 106.70 BT). Radar ini merupakan bagian dari proyek

HARIMAU yang mana merupakan kerjasama antara JAMSTEC dan BPPT. Citra radar yang digunakan adalah CAPPI reflektivitas untuk ketinggian 2 km. Citra radar dapat di download dari http://turbulence. ddo.jp/index.html.

a. Citra radar tanggal 25 Oktober 2010, jam

09:29 WIB.

Gambar 2 menunjukan bahwa pada jam

09:29 WIB belum tampak adanya pertumbuhan awan. Udara masih dapat

dikatakan clear dari awan. Kecepatan angin juga dapat dikatakan lemah.

b. Citra radar jam 12:23 WIB.

Awan cumulus (Cu) sudah mulai tampak

pada Gambar 3, yaitu di sekitar Teluk

Jambe dan sektor selatan pada citra radar.

Akan tetapi, di sekitar Jakarta Barat, Selatan

dan Tangerang, kondisi cuaca tampaknya masih clear.

c. Citra radar jam 13:59 WIB.

Pada jam 13:59 awan Cu aktif sudah tampak di sekitar Jonggol, Pondok Cabe dan Curug, selain yang di sektor selatan (Gmb. 4). Kondisi seperti ini menunjukan bahwa awan Cu tumbuh akibat kuatnya

proses konvektif di daerah tersebut.

Reflektivitas di sekitar Pondok cabe menunjukan nilai sekitar 53 dBz yang berarti

kandungan air dalam awan tersebut sangat tinggi.

d. Citra radar jam 14:59 WIB.

Jam 15:00 WIB sudah terjadi hujan di

sebagian wilayah seperti halnya di

Jatiwaringin dan Curug. Awan cumulonimbus (Cb) sudah memasuki wilayah Jakarta Pusat sementara awan Cb yang di sekitar Pondok Cabe masih tetap ada (Gambar 5). Angin terpantau tidak terlalu kencang. Hujan deras di sekitar jalan

protokol, tol dalam kota dan sekitarnya

terjadi sekitar jam 16:00 WIB. sekitar jalan

protokol, tol dalam kota dan sekitarnya

terjadi sekitar jam 16:00 WIB.

Gambar 2. Citra radar (CAPPI untuk

ketinggian 2 km) tanggal 25 Oktober 2010, jam 09:29 WIB.

Gambar 4. Seperti Gambar 2 untuk jam 13:59 WIB.

Gambar 3. Seperti Gambar 2 untuk jam

12:23 WIB.

Gambar 5. Seperti Gambar 2 untuk jam 14:59 WIB.

(13)

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 2, 2011: 43-48

46

Gambar 6. Seperti Gambar 2 untuk jam 17:35 WIB.

Gambar 7. Citra satelit kanal visible untuk tanggal 25 Oktober, jam

16:00 WIB. Tanda lingkaran merah menunjukan wilayah

DKI Jakarta dan Sekitarnya.

e. Citra radar jam 17:35 WIB.

Pada jam 17:35 awan Cb yang tampak pada Gambar 5 sudah turun sebagai hujan yang deras seperti tampak pada Gambar 6. Reflektivitas yang tampak

merupakan awan stratus (nimbostratus)

meskipun reflektivitas masih tampak tinggi (44 dBz) di sekitar wilayah Bekasi. Hal ini menunjukan bawhwa awan nimbostratus cukup tebal dan masih mengandung banyak

air.

3.3. Data Citra Satelit.

Citra satelit diambil dari Kochi University Jepang dengan situs: http://weather.is.kochi-u. ac.jp/SE/00Latest.jpg. Situs ini menyediakan citra satelit kanal infra merah untuk wilayah Asia Tenggara yang diterbitkan tiap jam. Gambar 7

menunjukan citra satelit jam 16:00 WIB di mana hujan di wilayah DKI Jakarta sangat deras. Tampak

bahwa awan yang ada sekitar Jawa Barat, DKI

Jakarta dan Banten merupakan awan Cb (dicirikan

dengan bentuknya) 3.4. Data AWS.

AWS (Automatic Weather Station) mencatat data suhu udara, tekanan permukaan, curah hujan dan angin permukaan secara kontinu. Akan dilihat profil suhu permukaan yang mana dapat menunjukan apakah suhu konvektif yang dianalisa dari data rawinsonde tercapai pada tanggal 25 Oktober 2010? Jika suhu konvektif tercapai atau

bahkan terlampaui, maka nilai indek stabilitas akan

sangat berarti. Waktu kejadian hujan dan besarnya jumlah curah hujan juga dapat diketahui. Profil

tekanan udara permukaan terhadap waktu akan

menunjukkan berapa besar perubahan tekanan saat terjadi proses konvektif dan saat terjadi hujan.

a. Data suhu udara permukaan.

Suhu konvektif Tc (320C) sudah dicapai

sekitar jam 11:30 WIB. Suhu permukaan tertinggi adalah 33.50C yang terjadi sekitar

jam 13:30 WIB (Gambar 8). Hal ini menunjukan bahwa radiasi matahari sangat kuat. Dengan dilampauinya suhu Tc, maka

proses konvektif berlangsung. dan nilai LI, SI, KI, dan TT yang mengindikasikan akan

terjadi awan Cb (thunderstorm) dapat dijadikan pedoman bagaimana kuatnya awan Cb pada tanggal 25 Oktober yang

(14)

Mengintip Kondisi Cuaca Penyebab banjir ... (M. Karmini dan F. Renggono) 47

Gambar 8. Profil suhu udara permukaan tanggal 25 Oktober 2010.

Gambar 9. Grafik curah hujan terhadap waktu, tanggal 25 Oktober 2010.

Gambar 10. Grafik tekanan udara permukaan tanggal 25 Oktober 2010. Tekanan (mB) 0 50 100 150 200 250 12 :0 0 14 :0 0 16 :0 0 18 :0 0 20 :0 0 22 :0 0 [mm] 20 25 30 35 40 0: 00 3: 00 6: 00 9: 00 12: 00 15: 00 18: 00 21: 00 [ oC]

b. Data curah hujan.

Grafik curah hujan dapat dilihat pada Gambar 9. Hujan mulai turun di Jatiwaringin sekitar jam 15:00 WIB dengan jumlah sebesar 30.6 mm. Hujan berhenti jam 15:30 WIB selama setengah jam. Jam 16:00 terjadi hujan sangat deras dengan curah hujan tercatat sebesar 230 mm dalam tempo setengah jam. Hujan berlangsung sampai jam 20:00 WIB. Curah hujan dari jam 16:00 s.d. jam 19:00 WIB tercatat sebesar 650.6 mm, dengan kata lain intensitas curah hujan antara jam 16:00 s.d. 19:00 WIB sebesar 216.87 mm/jam.

c. Data tekanan udara permukaan.

Tekanan udara permukaan berkisar pada nilai 1008 mb. Saat proses konvektif sangat

aktif, tekanan udara turun sampai mencapai 1006 mb, atau turun sebesar 2 mb (Gambar 10). Hujan di Jatiwaringin mulai jam 15:00 WIB, dan tekanan udara mulai menunjukan kenaikan pada jam 15:00 WIB. Tekanan udara paling tinggi tercatat sebesar 1011 mb, dengan kata lain terjadi kenaikan tekanan udara sebesar 5 mb dalam tempo 6 jam.

4. KESIMPULAN

Dari hasil analisis data yang ada, kondisi

cuaca dan kejadian hujan tanggal 25 Oktober 2010

dapat disimpulkan sebagai berikut.

• Awan Cb yang menyebabkan curah hujan

tinggi dapat dikategorikan sebagai air mass thunderstorm.

• Proses pertumbuhan awan didominasi oleh proses konvektif yang dimulai sejak jam

11:30 WIB.

• Kondisi atmosfer tidak stabil dan sangat mendukung pertumbuhan awan Cb. Hal ini tercermin dari nilai LI, SI dan TT.

• Intensitas hujan sebesar 216.87 mm/jam dalam periode 3 jam menyebabkan genangan air terjadi di beberapa wilayah

DKI Jakarta dan Tangerang, Banten. 5. Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih yang

setinggi-tingginya kepada Proyek HARIMAU yang telah memperbolehkan kami menggunakan data

citra radar C-Band Doppler radar di PUSPIPTEK,

Serpong.

DAFTAR PUSTAKA

Galway, J. G., 1956: The lifted index as a predictor of latent instability. Bull. Amer.

Meteor. Soc., 528–529.

George, J. J., 1960: Weather Forecasting for Aeronautics, Academic Press, 673 pp Showalter, A. K., 1947: A stability index for

forecasting thunderstorms. Bull. Amer. Meteor. Soc., 34, 250– 252.

Miller, R. C., 1972: Notes on analysis and severe storm forecasting procedures of the Air Force Global Weather Central. Tech. Rept. 200(R), Headquarters, Air Weather Service,

USAF, 190 pp. 1002 1004 1006 1008 1010 1012 0: 00 3: 00 6: 00 9: 00 12 :0 0 15 :0 0 18 :0 0 21 :0 0

(15)

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 2, 2011: 43-48 48 SITUS http://metro.vivanews.com/news/read/184873- total http://metro.vivanews.com/news/read/184968-hingga-pagi-ini-banjir-masih-genangi-jakarta h t t p : / / p r o f h o r n . a o s . w i s c . e d u / w x w i s e / AckermanKnox/chap11/TW_Index.html http://weather.is.kochi-u.ac.jp/SE/00Latest.jpg http://weather.weatherbug.com/weather-glossary/A/Air%20Mass%20Thunderstorm. html

(16)

49

OBSERVASI PERTUMBUHAN AWAN DI DAS MAMASA SULAWESI

BARAT DENGAN RADAR CUACA

Abstract

Intisari

Erwin Mulyana

Study on the characteristic of cloud development at Mamasa catchment area is very important since the water supply for Bakaru hydro-electric power is highly depend on the rain fall over this area. During rain enhancement project on 21 October to 19 November 2009, convective clouds have been analized based on X-band mobile weather radar observation over Mamasa River catchment area. The observation result shows that cloud development in this area are influenced by orographic processes and wind direction. During westerly wind, the clouds developed over the western part of catchment area. On the contrary, the clouds were observed over the east side of cathment area during easterly wind.

Telah dilakukan pengamatan awan di DAS Mamasa berdasarkan data X-band Mobile Radar untuk mengetahui karakteristik pertumbuhan awan di daerah tersebut. Pengamatan awan dilakukan pada saat kegiatan penyemaian awan tangal 21 Oktober - 19 November 2009. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan awan di DAS Mamasa dipengaruhi oleh proses orografik dan arah angin. Pada saat angin baratan, pertumbuhan awan terkonsentrasi di sisi bagian barat DAS Mamasa. Sebaliknya, pertumbuhan awan terkonsentrasi di sisi bagian timur DAS Mamasa ketika terjadi angin timuran.

Kata kunci : Pertumbuhan awan, radar cuaca, proses orografik, arah angin,

DAS Mamasa.

1 Peneliti Madya - UPT Hujan Buatan, BPPT, Thamrin No. 8

Jakarta, email: [email protected]

1. PENDAHULUAN

Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi variabilitas iklim di Sulawesi

khususnya di Sulawesi Tengah (Gunawan, 2006).

Tiga faktor tersebut adalah El Nino Southern

Oscillation (ENSO), Monsun Asia-Australia

dan faktor lokal yang sangat bergantung pada

karakteristik topografi masing masing daerah. Aldrian, (2002) menyebutkan pola hujan di Sulawesi

sebelah selatan ekuator dipengaruhi oleh system sirkulasi monsoon. Pola monsunal ini ditandai oleh perbedaan yang sangat tegas yaitu musim kemarau yang berkaitan dengan monsun Australia

dan musim hujan yang berkaitan dengan monsun

Asia.

Akhir-akhir ini semakin sering terjadi ketidak teraturan musim antara musim hujan dan musim kemarau. Kemarau panjang berdampak terhadap

kurangnya sumber air di beberapa Pusat Listrik Tenaga Air. Hal ini mengakibatkan berkurangnya

pasokan listrik untuk masyarakat. Salah satu PLTA yang mengalami krisis air adalah PLTA Bakaru yang memanfaatkan aliran sungai Mamasa.

Upaya menambah curah hujan untuk

meningkatkan pasokan air di PLTA Bakaru telah

dilakukan dengan cara penyemaian awan di

Daerah Aliran Sungai (DAS) Mamasa. Untuk mendapatkan awan potensial di DAS Mamasa yang layak disemai maka dilakukan observasi awan

dengan menggunakan radar cuaca. Radar cuaca

diantaranya dapat memberikan informasi ketingian

dasar, puncak, serta arah pergerakan awan.

Beberapa penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan awan di wilayah Indonesia telah banyak dilakukan. Hadi dkk (2000, 2002) menyebutkan pengaruh angin laut terhadap pertumbuhan awan di wilayah Jakarta. Variasi tahunan dan harian dari awan telah diteliti

oleh Renggono dkk (2011). Sedangkan aktifitas

konveksi di wilayah Indonesia dipengaruhi intra

seasonal variation (Seto, 2004, 2006).

Pada tulisan ini akan dibahas karakteristik pertumbuhan awan di DAS Mamasa pada saat kegiatan pelaksanaan penyemaian awan untuk

(17)

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 2, 2011: 49-53

50

menambah curah hujan di DAS Mamasa bagi

keperluan PLTA Bakaru. 2. METODOLOGI

Metodologi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah dengan melakukan observasi langsung

menggunakan radar cuaca untuk melihat sebaran awan secara spasial dan temporal. Pengamatan dilakukan pada tanggal 21 Oktober sampai dengan

19 Nopember 2009.

Untuk melihat faktor regional dan global yang

mempengaruhi cuaca lokal digunakan informasi suhu permukaan laut dari NOAA dan dan angin

gradient dari Bureau of Meteorology Australia. 2.1. Daerah Penelitian

Penelitian dilakukan di DAS Mamasa yang berada di dua provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan bagian hulu DAS Mamasa dan Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan bagian hilir DAS Mamasa.

Daerah Aliran Sungai merupakan suatu

kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi

yang menampung, menyimpan dan mengalirkan

curah hujan yang jatuh di atasnya ke dalam suatu

system pengaliran sungai yang mengalir dari hulu

menuju hilir sungai atau tempat tertentu. Bentuk DAS Mamasa memanjang dari utara ke selatan

seperti diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Daerah Aliran Sungai Mamasa yang ditandai oleh garis hitam tebal.

Gambar 2. Mobile Weather Radar yang digunakan untuk observasi awan

Secara geografis daerah aliran Sungai

Mamasa meliputi Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polewali Mandar di Sulawesi Barat serta Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Enrekang di Sulawesi Selatan. Luas DAS Mamasa kurang

lebih 118.500 hektar. Hulu Sungai Mamasa berada

di Kabupaten Mamasa, kemudian mengalir ke arah selatan dan berakhir di Kabupaten Pinrang.

2.2. Data yang digunakan

Data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah data primer berupa citra awan hasil observasi dengan radar cuaca. Radar cuaca yang digunakan

adalah X band mobile weather radar milik UPT

Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi. Radar ini mampu mendeteksi awan

hingga radius 150 km. Mobile radar ditempatkan di

Polewali pada koordinat 119018’ BT dan 3025’ LS. Mobile radar yang digunakan dalam

pengamatan ini ditunjukkan pada Gambar 2, sedangkan spesifikasi teknisnya dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Spesifikasi teknis Mobile Weather Radar

Antenna Slotted Array Flat Plate, Lightweight Aluminum or Parabolic Dish

Beam Width 3.6 Degrees, (2.2° - 4’ and 1.1° - 6’) Tilt (vertical

scan) 0 through + 90 Degrees Azimuth 360 Degree Rotation Plus User Specified Sector Scanning

Transmit Power

200 Watts Minimum

Fully Coherent on Transmit with Pulse Compression (equivalent to 12,620 watts)

Frequency 9.345GHz, User Tunable Within +/-25 MHz Workstation/

Software

Pentium IV Laptop or Desktop, Windows XP Operating System EWR Weather ScoutTM and Sigmet IrisTM Software Packages Operating

Frequency X Band, 9.345 GHz, User Tunable Within +/-25 MHz Signal

Processor Sigmet RVP8 as used in the NEXRAD System Range 150 km (max theoretical limited by earth’s curvature) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Kondisi Global dan Regional

(18)

Observasi Pertumbuhan Awan di DAS Mamasa ... (Erwin Mulyana) 51

Gambar 3. Rata-rata anomaly suhu permukaan

laut di Samudra Pasifik yang menunjukkan

sedang berlangsungnya El Nino

(sumber :NOAA)

Gambar 4. Penjalaran MJO mulai Juni hingga pertengahan Nopember 2009. Garis vertical tebal merupakan garis bujur DAS Mamasa.

Gambar 5. Pantauan radar cuaca pada tanggal 26 Oktober 2009 jam 14.15 WITA yang menunjukkan kondisi atmosfer kering.

Di DAS Mamasa tidak tampak adanya

awan yang termonitor oleh radar cuaca.

Berdasarkan penjalaran MJO terlihat bahwa pada dasarian ketiga bulan Oktober 2009

wilayah Indonesia masuk pada fase kering seperti

ditunjukkan pada Gambar 4. Kondisi demikian

mengakibatkan keringnya kondisi atmosfer di sebagian besar wilayah Indonesia, Kondisi

cuaca di daerah penelitian juga terpengaruh oleh munculnya siklon tropis Mirinae di sekitar perairan

Filipina. Siklon ini menarik masa udara ke pusat siklon sehingga mengganggu pertumbuhan awan di DAS Mamasa.

3.2. Observasi Radar

Hasil observasi radar cuaca menunjukkan

bahwa pertumbuhan awan yang di DAS Mamasa

mulai terjadi pada siang hingga sore hari. Faktor lokal seperti angin laut cukup berpengaruh terhadap

pertumbuhan awan di daerah tersebut.

Angin laut dari arah selatan yang berhembus pada pagi hingga siang hari mengakibatkan uap air naik ke atmosfer akibat tertahan oleh pegunungan yang ada di sekitar DAS Mamasa. Uap air tersebut

akhirnya membentuk awan orografik di sebagian

besar batas DAS bagian barat dan bagian selatan seperti di daerah Sumarorong dan Makuang.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa angin laut dapat mencapai daratan hingga 60- 80 km

(Hadi, 2000,2002).

Secara umum keberadaan awan potensial yang berada di DAS Mamasa berfluktuasi. Pada 3 hari pertama kegiatan, awan potensial cukup

banyak ditemui di dalam DAS. Kondisi atmosfer

selanjutnya berangsur-angsur menjadi kering

sehingga awan di daerah target dan sekitarnya sulit terbentuk. Kondisi kering tersebut berlangsung

hingga akhir bulan Oktober, kecuali pada tanggal 27, 30 dan 31 Oktober.

Gambar 5 menunjukkan contoh kondisi atmosfer kering pada tanggal 26 Oktober 2009.

Dari gambar tersebut tampak beberapa sel awan di sebelah sebelah barat Mamasa, sedangkan di dalam DAS Mamasa tidak tampak adanya dilakukan penelitian dipengaruhi oleh fenomena

El Nino yang ditandai dengan anomaly positif suhu

permukaan laut di Samudera Fasifik ekuator (lihat

(19)

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 2, 2011: 49-53

52

Gambar 6. Citra radar cuaca pada tanggal 07 Nopember 2009 jam 15.15 WITA yang menunjukkan kondisi atmosfer basah.

Tampak awan banyak ditemukan di dalam maupun di luar DAS Mamasa.

Gambar 8. Citra radar cuaca yang menunjukkan

kondisi atmosfer basah pada tanggal

25 Nopember 2009 jam 14.50 WITA.

Tampak awan potensial berada di dalam maupun di luar DAS Mamasa.

Gambar 7. Citra radar cuaca pada tanggal 21 Nopember 2009 jam 14.15 WITA yang menunjukkan kondisi atmosfer kering.

Di DAS Mamasa tidak tampak adanya

awan yang termonitor oleh radar cuaca.

pertumbuhan awan. Daerah yang dilingkari warna putih (arah utara-timur radar) bukan merupakan

awan akan tetapi noise (ground cluter) oleh

pebukitan yang ada di sekitar lokasi radar.

Masuk bulan Nopember hingga pertengahan bulan Nopember, kondisi atmosfer kembali lembab sehingga awan banyak ditemui di dalam DAS maupun di daerah sekitarnya. Selama kurun waktu tersebut hanya ditemukan kondisi atmosfer kering

pada tanggal 3, 5, 10 dan 14 Nopember 2009. Gambar 6 merupakan contoh kondisi

atmosfer basah pada tanggal 7 Nopember 2009.

Sejumlah sel awan tampak di dalam maupun di

luar DAS Mamasa.

Selanjutnya pertumbuhan awan yang berada di DAS Mamasa berfluktuasi. Pada tanggal 19 Nopember, atmosfer cukup lembab sehingga awan

potensial banyak tumbuh di dalam DAS. Atmosfer

kemudian berubah menjadi kering, akibatnya

pertumbuhan awan sulit terbentuk. Kondisi kering tersebut berlangsung selama 2 hari yaitu tanggal 20 dan 21 Nopember (lihat Gambar 7).

Menuju akhir bulan Nopember, Kondisi atmosfer kemudian berubah lagi menjadi lembab sehingga mudah terjadi pembentukan awan di

dalam DAS. Kondisi atmosfer lembab tersebut terus bertahan hingga kegiatan observasi berakhir pada tanggal 29 Nopember 2009. Pada periode ini awan banyak tumbuh di sisi batas DAS bagian barat hingga sisi batas DAS bagian selatan (lihat Gambar 8).

Analisis spasial menunjukkan adanya

keterkaitan antara arah angin dengan lokasi pertumbuhan awan di DAS Mamasa. Pada saat angin baratan berlangsung, pertumbuhan awan di DAS Mamasa dominan berada di sisi sebelah barat DAS. Hal ini mengindikasikan adanya pertumbuhan

(20)

Observasi Pertumbuhan Awan di DAS Mamasa ... (Erwin Mulyana) 53

awan akibat proses orografik. Uap air yang datang

dari arah barat dipaksa naik oleh pebukitan di sisi barat DAS sehingga terbentuk awan di daerah tersebut. Proses inilah yang menyebabkan daerah Sumarorong paling sering pertumbuhan awannya.

Kondisi ini bersesuaian dengan banyaknya hujan di daerah Sumarorong (Muchtar, 2006). Kondisi

sebaliknya ditemui pada saat belangsung angin timuran, dimana pertumbuhan awan banyak ditemukan di bagian timur batas DAS Mamasa. 4. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil observasi awan dengan

radar cuaca di DAS Mamasa dapat diambil

beberapa kesimpulan yaitu :

1. Pertumbuhan awan di DAS Mamasa sangat

dipengaruhi oleh proses orografis berupa

adanya pengangkatan uap air oleh

pebukitan di sepanjang batas DAS Mamasa.

2. Arah angin sangat berpengaruh terhadap penyebaran lokasi awan. Ketika berlangsung angin baratan, awan banyak tumbuh di sisi sebelah barat DAS. Sebaliknya ketika berlangsung angin timuran, awan banyak tumbuh di sisi sebelah timur batas DAS.

3. Daerah Sumarorong merupakan daerah yang paling sering pertumbuhan awannya dibandingkan dengan daerah lainnya yang berada di dalam DAS.

Diperlukan penelitian lanjutan untuk lebih mengetahui karakteristik awan orografik di daerah

tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian. E, 2002: Spatial Patterns of ENSO Impact on Indonesia Rainfall, Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 3, no.1, 5-9

Gunawan, D., 2006: Atmospheric Variability in Sulawesi, Indonesia Regional Atmospheric Model Result and Observation Desertasi, Georg August Universitat Gottingen.

Hadi, T. W., T. Tsuda, H. Hashiguchi, and S. Fukao,

2000: Tropical Sea-breeze Circulation and Related Atmospheric Phenomena Observed with L-band Boundary Layer Radar in Indonesia, J. Meteor. Soc. Japan,

Vol. 78, No. 2, pp. 123-140.

Hadi. Tri W., T. Horinouchi, T.Tsuda, H.Hashiguchi

and S.Fukao, 2002 : Sea-Breeze Circulation over Jakarta, Indonesia: A Climatology Based on Boundary Layer Radar Observation. Mon.Wea.Rev., 130 (9),

2153-2166.

Muchtar. A, 2006: Analisis factor faktor yang mempengaruhi debit Sungai Mamasa Sulawesi selatan. J. Sain & Teknologi,

Vol. 6, No.1 : 41-58.

Renggono, F, Hiroyuki Hashiguchi, Shoichiro Fukao, Manabu D Yamanaka, Shinya Ogino, Noriko Okamoto, Fumie Murata, Sriworo B Harijono, Mahally Kudsy, Mahdi Kartasasmita,

Sri Diharto, 2001: Precipitating clouds

observed by 1.3 GHz boundary

layer radars in equatorial Indonesia, Ann. Geophys., 19, 889-897.

Seto, T.H., M. K. Yamamoto, H. Hashiguchi,

and S. Fukao, 2004: Convective activities associated with intraseasonal variations over Sumatera, Indonesia, observed with the equatorial atmosphere radar, Ann

Geophys, 22, pp 3899-3916.

Seto, T. H., M. K. Yamamoto, H. Hashiguchi, S. Fukao, M. Abo., T. Kozu., M. Kudsy, 2006: Observational Study on Westerly Wind Burst over Sumatra, Indonesia by the Equatorial Atmosphere Radar – A Case Study During the First CPEA Campaign –,

(21)
(22)

55

DISTRIBUSI TEMPORAL DAN SPASIAL TEKANAN UDARA TERKAIT

PERTUMBUHAN AWAN DI DAS LARONA, SULAWESI SELATAN

Abstract

Intisari

T.H.Seto

Temporal and spatial data analysis of air pressure and rainfall data using AWS and rain gauges in the watershed of Larona, South Sulawesi has been done. From the results it appears that surface air pressure tends to fall when clouds develop. Pressure decreasing became energy which is used to draw air mass from the vicinity. When it rains then the air pressure increased due to the cooling of the air. From the spatial analysis it appears that areas with lower pressure tend to have higher rainfall than the surrounding areas. The results of this study can be used as a reference that when there is cloud growth in a location, air flow will go to the location of cloud growth. The stronger cloud’s growth the stronger pull of the surrounding air mass. In weather modification technology, strengthen the growth of cloud technique may be used as one strategy to attract the mass of air or clouds of smaller clouds to the area with strong growth. But it still needs to do further research to prove this hypothesis.

Telah dilakukan análisis temporal dan spasial data tekanan udara dan curah hujan menggunakan data hasil pengukuran dengan AWS dan penakar hujan manual di DAS Larona, Sulawesi Selatan. Dari hasil analisis temporal nampak bahwa tekanan udara permukaan cenderung turun saat pertumbuhan awan. Penurunan tekanan menjadi energi yang digunakan untuk menarik massa udara di sekitarnya. Ketika terjadi hujan maka tekanan udara menjadi tinggi akibat adanya pendinginan masa udara. Dari analisis spasial nampak bahwa daerah yang memiliki tekanan lebih rendah cenderung memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Hasil penelitian ini bisa dijadikan referensi bahwa ketika terjadi pertumbuhan awan di suatu lokasi maka aliran udara akan masuk menuju lokasi pertumbuhan awan. Semakin kuat pertumbuhan awannya maka semakin kuat tarikan massa udara dari sekitarnya. Dalam teknologi modifikasi cuaca, usaha memperkuat pertumbuhan awan mungkin bisa dijadikan salah satu strategi untuk menarik massa udara atau awan-awan yang lebih kecil ke area dengan pertumbuhan awan yang kuat. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hipotesa ini.

Kata kunci : Penurunan tekanan, pertumbuhan awan, peningkatan tekanan,

kejadian hujan.

1 Peneliti Madya - UPT Hujan Buatan, BPPT, Thamrin No. 8

Jakarta, email: [email protected]

1. PENDAHULUAN

Di ruang terbuka seperti atmosfir bumi yang merupakan sistem terbuka, segala kejadian yang terjadi di suatu wilayah akan saling terkait dan mempengaruhi dengan kejadian di wilayah lain. Pertumbuhan awan Cb di Indonesia juga tidak terlepas dari faktor cuaca global.

Beberapa penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan awan di wilayah Indonesia telah banyak dilakukan. Hadi dkk (2000, 2002) menyebutkan pengaruh angin laut terhadap

pertumbuhan awan di wilayah DKI. Variasi tahunan

dari siklus harian angin dan aktifitas awan untuk wilayah Utara pulau Jawa juga telah diteliti oleh Araki (2006). Sedangkan intra seasonal variation yang banyak berpengaruh pada aktifitas koveksi di

wilayah Indonesia telah diteliti oleh Seto dkk (2004,

2006). Analisis dengan model, Aldrian dkk (2003a,)

dan Aldrian dan Susanto (2003b) menemukan

bahwa hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh hujan convective.

Proses cuaca di suatu wilayah akan

mempengaruhi di wilayah yang berdekatan.

Akan tetapi, proses cuaca yang cukup komplek cukup sulit untuk mengetahui seberapa besar

(23)

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 2, 2011: 55-61

56

pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap wilayah di sekitarnya.

Perubahan tekanan permukaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan keberadaan awan di suatu daerah selain

unsur uap air. Terkait dengan hal tersebut, fluktuasi

tekanan udara permukaan yang diakibatkan

oleh kejadian hujan sangat penting untuk dikaji. Atmosfer merupakan fluida dengan sistim yang

terbuka dan tidak ada pembatas untuk mengisolasi bagian atmosfer supaya tidak saling berinteraksi. Dengan demikian, perubahan kondisi atmosfer di suatu lokasi akan mempengaruhi kondisi atmosfer di tempat lain.

Dalam tulisan ini dikaji perubahan tekanan

permukaan di daerah pertumbuhan awan dan

hujan, juga akan dibandingkan perubahan tekanan permukaan dengan lokasi sekitar kejadian hujan. Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui pergerakan udara di suatu wilayah

dengan mempelajari pola distribusi spasial tekanan

udara di wilayah tersebut. Dengan informasi ini

maka dapat diprediksi lebih lanjut lokasi awan-awan hujan yang akan tumbuh. Pola distribusi

spasial tekanan udara ini sangat dibutuhkan untuk menentukan strategi penyemaian awan. Jika

strategi penyemaian awan dapat dirancang dengan

baik karena telah diketahuinya pola distribusi spatial tekanan udara ini, maka waktu dan lokasi penyemaian awan dapat ditentukan dengan tepat, sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal. 2. TINJAUAN PUSTAKA

Tekanan udara adalah gaya yang disebabkan oleh berat satu kolom udara di atas satu luasan area. Di alam, perbedaan tekanan udara di permukaan bumi disebabkan oleh proses mekanik dan thermal. Proses mekanik merubah tekanan udara bila aliran

udara tertahan sehingga terjadi penumpukan udara

di lokasi tersebut dan mengakibatkan tekanan udara meningkat. Proses thermal diakibatkan oleh pemanasan atau pendinginan udara. Jika udara dipanaskan, udara akan naik dan akan menggeser lapisan udara di atasnya sehingga tekanan udara di permukaan akan turun. Sebaliknya, bila udara

didinginkan, udara akan turun (subsidence) ke

permukaan menyebabkan tekanan permukaan akan naik.

Perbedaan intensitas radiasi matahari terhadap permukaan bumi menyebabkan adanya temperature gradient. Wilayah yang relatif lebih hangat akan memiliki tekanan permukaan relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah yang lebih rendah suhunya (lebih dingin). Perbedaan tekanan akan menimbulkan pressure gradient.

Pressure gradient menyebabkan aliran udara dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah.

Sebagaimana dijelaskan di atas, tekanan

rendah di permukaan mengindikasikan suhu udara lebih hangat. Tekanan rendah merupakan akibat adanya massa udara naik ke level yang

lebih tinggi. Jika parcel massa udara lebih hangat dibanding suhu lingkungannya, parcel massa

udara akan terus naik, dan tekanan di permukaan akan semakin turun. Hal ini akan terus berlangsung

sampai parcel massa udara tidak mampu naik ke

level yang lebih tinggi lagi. Sebagai ilustrasi, dapat dilihat pada Gambar 1.

Dari gambar 1 (kanan), tampak suhu parcel

massa udara lebih rendah dibandingkan dengan

suhu lingkungannya sehingga parcel massa

udara tidak mampu untuk naik ke level yang

lebih tinggi. Parcel massa udara akan turun, dan

kondisi atmosfer seperti ini disebut kondisi stabil.

Sebaliknya pada gambar 1 (kiri), parcel massa

udara mampu naik ke level yang lebih tinggi karena

suhu parcel massa udara lebih hangat dibandingkan

suhu lingkungannya. Kondisi atmosfer seperti

ini disebut tidak stabil. Awan cumulus (Cu) dapat

tumbuh baik dalam kondisi atmosfer yang tidak

stabil. Pertumbuhan awan Cu dapat mencapai awan cumulonimbus (Cb) apabila suplay massa udara cukup dan mengandung banyak uap air.

Gambar 1. Ilustrasi naiknya parsel massa udara ke level yang lebih tinggi pada kondisi atmosfer stabil (kanan) dan tidak stabil (kiri).

(Diambil dari http://epswww.unm.edu/

facstaff/gmeyer/envsc101/k11atmcompcirc.

htm)

Proses parcel udara hangat naik ke level

yang lebih tinggi akan berulang sampai suplay

massa udara yang masuk tidak cukup membawa

uap air dan kondisi atmosfer stabil. Pada kondisi

ini akan sulit tumbuh awan Cu. Bila awan sudah mencapai fasa matang, hujan akan terjadi dan massa udara dalam bentuk hujan akan turun pada lokasi kejadian hujan. Tekanan udara pada

(24)

Distribusi Temporal dan Spasial Tekanan Udara Terkait ... (T. H. Seto) 57

Gambar 2. DAS Larona Sulawesi Selatan.

permukaan akan berangsur naik pada lokasi

hujan dibandingkan dengan besarnya tekanan permukaan sebelum terjadinya hujan.

Dari uraian di atas, dapat diimpulkan bahwa pada saat pertumbuhan awan tekanan permukaan

akan berkurang dengan waktu sampai terjadi hujan. Pada saat kejadian hujan tekanan permukaan akan bertambah, sebagai akibat terjadinya sinking massa udara dalam bentuk hujan. Sebagaimana

diketahui bahwa saat awan sudah dalam fasa matang, awan akan disipasi dan didominasi oleh gerakan ke bawah (downdraft).

Angin disebabkan oleh perbedaan tekanan udara di suatu wilayah dengan wilayah lain. Semakin besar beda tekanan udara maka semakin kuat pergerakan massa udara tersebut. Pada

level boundary layer (biasanya kurang dari 500

m di atas permukaan tanah), angin bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Akibat putaran

bumi menimbulkan adanya gaya coriolis yang

membelokan arah angin. Pada level free atmosfer

(di atas boundary layer), arah angin akan sejajar dengan isobar. Hal ini terjadi sebagai akibat

adanya keseimbangan antara pressure gradient

dan coriolis forces.

Untuk memahami pergerakan udara di suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) tertentu yang timbul akibat disipasi awan memerlukan

data pengukuran parameter cuaca secara time

series. Salah satu parameter yang bisa dilakukan analisis adalah angin permukaan. Pengamatan ini dilakukan dengan memasang alat pengukuran

Automatic Weather Station (AWS) yang mana dilakukan juga pengukuran arah dan kecepatan

angin permukaan. 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di daerah aliran sungai (DAS) Larona, Propinsi Sulawesi Selatan.

DAS Larona seluas 2500 km2 memilki danau

kaskade (Danau Matano, Mahalona, dan Towuti) yang dimanfaatkan untuk keperluan PLTA. DAS

ini mempunyai data pengamatan curah hujan yang panjang serta jaringan penakar yang cukup rapat

baik penakar manual maupun penakar otomatis.

Di DAS Larona telah terpasang jaringan penakar hujan manual dan jaringan AWS (Automatic Weather Station) sekitar 11 buah. Selain jaringan AWS, di lokasi penelitian juga terdapat radar cuaca yang sudah terpasang sejak tahun 2004 yang merupakan hasil kerja sama antara BPPT dengan PT. Inco.

3.2. Data dan Metode

Data yang akan digunakan adalah data

tekanan udara permukaan dan curah hujan (yang diukur secara otomatis setiap 0,5 jam). Metoda

yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis data AWS. Data hasil

pengukuran AWS meliputi curah hujan, temperatur,

kelembaban, tekanan udara, serta arah dan

kecepatan angin. Pengamatan dengan AWS

sifatnya kontinyu sehingga perubahan parameter

cuaca dan hujan dapat diukur setiap saat dengan

frekuensi pengukuran yang dapat di atur misalnya

setiap 10 menit, 30 menit, 1 jam, dan sebagainya.

Seluruh data diolah menggunakan metoda statistik sederhana, dengan menggunakan program fortran, GraDs, dan lain-lain.

Sementara itu, untuk melakukan analisis

keterkaitan antara perubahan tekanan dan curah hujan dilakukan metode sebagai berikut:

1. Sortir data curah hujan harian yang mempunyai jumlah paling tinggi.

2. Hitung perubahan tekanan udara permukaan (delta tekanan) di setiap stasiun pengukuran pada hari di mana

kejadian hujan memenuhi persyaratan di atas. Cara menghitung delta tekanan permukaan dengan cara mengurangkan besarnya tekanan pada jam tertentu dari

besarnya tekanan sebelumnya, atau dapat

digambarkan secara matematika sebagai: ∆p = ph-1 – ph, dimana p adalah besarnya tekanan permukaan dan h adalah jam

(waktu).

3. Lihat fluktuasi delta tekanan pada saat sebelum, selama dan sesudah hujan. 4. Bandingkan fluktuasi tekanan permukaan di

lokasi kejadian hujan dengan lokasi lainnya.

Gambar

Gambar 1.  Hasil ploting parameter suhu udara (red solid line) dan titik embun (garis putus-putus), serta arah dan kecepatan angin pada diagram Skew T – log p tanggal 25 Oktober jam 07:00 WIB
Gambar 4.  Seperti  Gambar  2  untuk  jam 13:59 WIB.
Gambar 6.  Seperti Gambar 2 untuk jam 17:35 WIB.
Gambar 10. Grafik  tekanan  udara  permukaan  tanggal 25 Oktober 2010.Tekanan (mB)05010015020025012:0014:0016:00 18:00 20:00 22:00[mm]20253035400:003:006:009:0012:0015:0018:00 21:00[oC]
+7

Referensi

Dokumen terkait

Didalam sistem pembayaran terpusat terdapat beberapa bagian yang terlibat didalam prosesnya. Bagian ini terpisah jelas baik tugas maupun.. Bagian Document Log

Oemar Hamalik (DMCA, 2015) menyatakan bahwa kedisiplinan dipengaruhi oleh dua faktor, baik berasal dari dalam diri individu ( faktor internal) maupun berasal dari

Di dalam mimpi ada tiga materi yang telah dikemukakan oleh Freud yaitu; pertama, telah diketahui bahwa materi-materi tertentu yang muncul dalam isi mimpi, yang sesudahnya tidak

Berdasarkan penelitian di beberapa tempat bahwa pada habitat hutan sekunder dan hutan alam keragaman spesies burung umumnya cend- erung lebih tinggi, seperti yang terjadi di kawasan

Dari tabel kondisi aktual dan kondisi perlakuan terlihat bahwa keempat pekerja pada kondisi awal memimiliki skor NASA TLX yang lebih tinggi daripada skor NASA TLX

Merawat anggota keluarga dengan penyakit mental dapat menyebabkan tekanan psikologis yang cukup besar dan mempengaruhi kesehatan mental anggota keluarga perempuan

Analisis Pengaruh Rasio Leverage, Likuiditas, Profitabilitas dan Proporsi saham public terhadap kelengkapan laporan keuangan pada perusahaan pertambangan yang

Faktor yang diteliti berkaitan dengan faktor anak, yaitu peneliti meneliti tentang perkembangan kreativitas anak usia 5-6 tahun yang meliputi aspek pribadi, proses, produk, dan