Katalog BPS : 1101002.34
BADAN PUSAT STATISTIK
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Statistik
Daerah Istimewa Yogyakarta
2014
Statistik
Daerah Istimewa Yogyakarta
2014
http://yogyakarta.bps.go.id
STATISTIK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2014
ISBN
: 978-602-1392-05-8
No. Publikasi
: 34.553.14.13
Katalog BPS
: 1101002.34
Ukuran Buku
: 17,6 cm X 25 cm
Jumlah Halaman
: 110
Naskah :
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
Gambar kulit :
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
Diterbitkan oleh :
Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya
STATISTIK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2014
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab : Y. Bambang Kristianto, MA
Editor
: Mainil Asni, SE, ME
Mutijo, S.Si, M.Si
Naskah
: Waluyo, SST, SE, M.Si
Pengolah Data
: Gita Oktavia, S.Si
Waluyo, SST, SE, M.Si
Layout
: Waluyo, SST, SE, M.Si
vii
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya buku Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Publikasi ini memuat berbagai informasi dan indikator terpilih seputar Daerah Istimewa Yogyakarta yang dianalisis secara sederhana untuk membantu pengguna data dalam memahami perkembangan pembangunan serta potensi yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Buku Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 diterbitkan secara rutin setiap tahun untuk melengkapi publikasi-publikasi statistik yang sudah terbit sebelumnya. Berbeda dengan publikasi-publikasi yang sudah ada, publikasi ini lebih menekankan pada aspek analisis dalam membaca dan memahami data BPS.
Materi yang disajikan dalam buku Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 berupa informasi dan indikator terpilih yang terkait dengan pembangunan di berbagai sektor. Diharapkan informasi tersebut dapat menjadi rujukan/kajian dalam perencanaan maupun evaluasi kegiatan pembangunan.
Kritik dan saran konstruktif berbagai pihak kami harapkan untuk penyempurnaan penerbitan di masa mendatang. Semoga publikasi ini mampu memenuhi tuntutan kebutuhan data statistik, baik oleh institusi pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat luas.
Yogyakarta, Oktober 2014 Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kepala
Y. Bambang Kristianto, MA
http://yogyakarta.bps.go.id
ix
Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
1. Geografi dan Iklim 2
2. Pemerintahan 4 3. Penduduk 10 4. Ketenagakerjaan 14 5. Pendidikan 20 6. Kesehatan 26 7. Pembangunan Manusia 30 8. Kemiskinan 34 9. Pertanian 40
10. Pertambangan dan Energi 50
11 . Industri Pengolahan 54
12. Konstruksi 58
13 Hotel dan Pariwisata 60
14. Perbankan dan Investasi 66
15. Harga-harga 72 16. Pengeluaran Penduduk 76 17. Perdagangan 80 18 PDRB 82 19. Perbandingan Regional 86 Lampiran 90
Daftar Isi
http://yogyakarta.bps.go.id
2
KONDISI GEOGRAFIS
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah setingkat provinsi yang memiliki luas wilayah administrasi terkecil kedua di Republik Indonesia, setelah Provinsi DKI Jakarta. Luas wilayah administrasi DIY mencapai 3.185,80 km2, atau 0,17 persen dari seluruh wilayah
daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara astronomis, wilayah DIY terletak pada posisi 7o.33’- 80.12’ Lintang Selatan dan 110o.00’-110o.50’ Bujur Timur. Posisi geografis
DIY berada di bagian tengah Pulau Jawa, tepatnya sisi selatan. Seluruh wilayah daratan DIY dikelilingi oleh wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah, yakni Kabupaten Purworejo di sisi barat, Kabupaten Magelang dan Boyolali di sisi utara; serta Kabupaten Klaten dan Kabupaten Wonogiri di sisi timur. Wilayah selatan DIY berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.
GEOGRAFI DAN IKLIM
DIY merupakan wilayah setingkat provinsi yang memiliki luas wilayah administrasi terkecil kedua di Republik Indonesia dengan luas 0,17 persen dari wilayahNKRI
Sumber: Bakosurtanal, elantowow.wordpress.com Gambar 1.1.
Peta Wilayah Administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta
Bentang alam wilayah DIY merupakan kombinasi antara daerah pesisir pantai, dataran dan perbukitan/pegunungan yang dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi. Pertama, satuan fisiografi Gunung Merapi dengan ketinggian antara 80 m sampai 2.911 m di atas permukaan laut. Wilayah ini terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung api serta bentang lahan vulkanik di wilayah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul. Kedua, satuan fisiografi Pegunungan Selatan dengan ketinggian 150 m sampai 700 m. Wilayah ini menjadi bagian dari jalur Pegunungan Seribu yang terletak di wilayah Kabupaten Gunungkidul dan bagian timur Kabupaten Bantul. Kawasan ini didominasi oleh wilayah perbukitan batu kapur dan karst yang tandus dan kekurangan air permukaan, sehingga kurang potensial untuk kegiatan budidaya komoditas pertanian semusim.
Ketiga, satuan fisiografi Pegunungan Kulonprogo yang terletak di bagian utara Kulonprogo. Kawasan ini menjadi bentang lahan dengan topografi wilayah berupa perbukitan, sehingga cukup potensial untuk pengembangan komoditas perkebunan. Keempat, satuan fisiografi Dataran Rendah dengan ketinggian 0-80 m di atas permukaan laut. Kawasan ini membentang di bagian selatan wilayah DIY mulai dari daerah pesisir di Kabupaten Kulonprogo sampai wilayah Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Kawasan ini sangat subur, sehingga cukup potensial untuk kegiatan budidaya komoditas pertanian semusim.
1
1
3
KONDISI IKLIM DAN CUACA
Wilayah DIY berada di sekitar garis khatulistiwa tepatnya pada posisi 7o.33’- 80.12’ LS,
sehingga termasuk daerah yang beriklim tropis atau memiliki dua musim dalam setahun yakni musim penghujan dan kemarau. Secara umum, karakteristik cuaca di wilayah DIY bertemperatur tinggi atau memiliki suhu udara yang panas serta memiliki kelembaban udara dan curah hujan yang cukup tinggi. Ringkasan perkembangan kondisi cuaca di wilayah DIY berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika Kelas I Yogyakarta selama beberapa tahun terakhir disajikan dalam Tabel 1.1.
Wilayah DIY termasuk dalam daerah yang beriklim tropis, sehingga memiliki curah hujan dan kelembaban udara yang cukup tinggi
Rata-rata hari hujan juga meningkat dari 9 kali per bulan menjadi 15 kali di tahun 2013. Curah hujan yang tertinggi selama tahun 2013 terjadi di bulan Januari dengan intensitas sebesar 442 mm selama 21 hari dan bulan Desember dengan intensitas 358 mm selama 20 hari. Sementara, intensitas hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dan September. Bahkan, di kabupaten Gunungkidul, Bantul dan Kota Yogyakarta tidak terjadi hujan selama dua bulan tersebut.
Rata-rata kelembaban udara pada tahun 2013 tercatat sebesar 86 persen dan cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 80 persen. Kelembaban udara minimum tercatat sebesar 44 persen yang terjadi pada bulan Oktober, sementara kelembaban maksimum mencapai 98 persen yang terjadi pada bulan Februari, Juni dan September. Secara rata-rata, kelembaban terendah terjadi pada bulan Oktober sebesar 80 persen dan kelembaban tertinggi di bulan Juni sebesar 90 persen. Tekanan udara rata-rata selama tahun 2013 tercatat sebesar 1.015 milibars dan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 1.014 milibars. Tekanan udara terendah tercatat sebesar 1.010 milibars yang terjadi di bulan Februari dan Juni, sementara tekanan udara tertinggi sebesar 1.019 milibars yang terjadi selama bulan September. Selama bulan Januari-Juni 2013, angin lebih banyak bergerak dari arah barat dengan rata-rata kecepatan tertinggi sebesar 5,4 m/s pada bulan Januari dan kecepatan terendah sebesar 2,7 m/s pada bulan Mei. Pada bulan Agustus-November angin lebih banyak bergerak dari arah selatan. Tabel 1.1.
Ringkasan Kondisi Cuaca di Wilayah DIY, Tahun 2010-2013 di wilayah DIY selama tahun Rata-rata suhu udara
2013 berada pada kisaran 260
Celsius. Suhu udara tertinggi mencapai 360 Celsius dan terjadi
pada bulan Oktober. Sementara, suhu udara terendah tercatat sebesar 180 Celsius dan terjadi di
bulan Agustus. Intensitas hujan yang diukur dari rata-rata curah hujan per bulan pada tahun 2013 tercatat sebesar 230 mm dan mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 122 mm.
Sumber: Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika Kelas I Yogyakarta, diolah
1
1
Indikator Satuan 2010 2011 2012 2013
Suhu Udara Terendah 0C 22 18 17 18
Suhu Udara Tertinggi 0C 35 40 35 36
Rata-rata Suhu Udara 0C 27 26 27 26
Curah Hujan Maksimum mm 512 405 409 442 Rata-rata Curah Hujan/Bulan mm 254 173 122 230
Rata-rata Hari Hujan kali 17 14 9 15
Kelembaban Udara Minimum % 41 42 47 44
Kelembaban Udara Maksimum % 97 96 100 98 Rata-rata Kelembaban Udara % 74 78 80 86 Tekanan Udara Minimum milibars 1.005 990 1.006 1.010 Tekanan Udara Maksimum milibars 1.015 1.000 1.021 1.019 Rata-rata Tekanan Udara milibars 1.010 995 1.014 1.015
4
PEMERINTAHAN
Secara administratif, DIY terbagi menjadi lima kabupaten/kota dengan pusat pemerintahan berada di Kota Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi wilayah yang memiliki keistimewaan khusus dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka NKRI. Keistimewaan yang dimaksud tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 yang mengatur tentang kedudukan hukum DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gurbernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan pemerintah daerah; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang. Dasar filosofi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di DIY adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Secara administratif, wilayah DIY terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Pusat pemerintahan DIY berada di Kota Yogyakarta. Berbeda dengan provinsi lain yang banyak mengalami pemekaran wilayah sejak pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001, jumlah kabupaten/kota di DIY tidak mengalami perubahan. Demikian pula dengan jumlah kecamatan dan desa/kelurahan, dalam beberapa tahun terakhir juga tidak mengalami perubahan. Jumlah kecamatan pada tahun 2013 sebanyak 78 kecamatan yang terbagi menjadi 438 desa/kelurahan.
Tabel 2.1.
Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2013
Daerah yang memiliki wilayah administrasi yang terluas adalah Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km2 atau 46,62 persen dari
luas daratan DIY. Sementara, Kota Yogyakarta memiliki luas administratif yang terkecil sebesar 32,5 km2 atau
0,01 persen dari luas wilayah DIY. Meskipun demikian, dengan status sebagai ibukota provinsi kehidupan sosial dan ekonomi di Kota Yogyakarta lebih majemuk dan lebih dinamis dibandingkan dengan keempat kabupaten lainnya.
Sumber : BPS DIY
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Penyelenggara pemerintahan di DIY terdiri dari pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemerintah daerah berfungsi eksekutif yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, Gubernur juga dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari Sekretaris Daerah (Sekda) dan Lembaga Teknis Daerah seperti Dinas-dinas, Badan-badan dan Kantor-kantor.
Tahukah Anda ?
DIY adalah provinsi tertua kedua di NKRI setelah Jawa Timur yang memiliki keistimewaan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan
2
2
Perkotaan Perdesaan Kulonprogo 586,27 12 88 13 75 Bantul 506,85 17 75 47 28 Gunungkidul 1485,36 18 144 5 139 Sleman 574,82 17 86 59 27 Yogyakarta 32,50 14 45 45 -DIY 3185,80 78 438 169 269 Luas Wilayah (km2) Jumlah Kecamatan Status Desa/Kelurahan Jumlah Desa/ Kelurahan Kabupaten/ Kotahttp://yogyakarta.bps.go.id
5
Berbeda dengan provinsi lainnya, Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY tidak dipilih melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal), namun melalui proses penetapan Sultan Yogyakarta yang bertahta menjadi Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur sebagai salah satu wujud keistimewaan DIY. Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pembantu gubernur dalam pelaksanaan pemerintahan, membawahi tiga asisten. Pertama, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat yang membawahi Biro Tata Pemerintahan; Biro Hukum; serta Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan. Kedua, Asisten Perekonomian dan Pembangunan yang membawahi Biro Administrasi Perekonomian dan SDA serta Biro Administrasi Pembangunan. Ketiga, Asisten Administrasi Umum yang membawahi Biro Organisasi dan Biro Umum Humas dan Protokol.
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPRD)
DPRD merupakan lembaga legislatif yang merepresentasikan perwakilan rakyat yang dipilih melalui mekanisme Pemilu yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Komposisi anggota DPRD DIY periode 2009-2014 hasil Pemilu Legislatif 2009 berjumlah 55 orang, terdiri dari 42 anggota laki-laki (76,36 %) dan 13 anggota perempuan (23,64 %). Sementara, komposisi hasil Pemilu Legislatif 2014 terdiri dari 48 anggota laki laki ( 87,27 persen) dan 7 anggota perempuan (12,73 persen). Komposisi hasil Pemilu 2014 tersebut mengindikasikan proporsi keterwakilan perempuan dalam parlemen yang semakin menurun.
Komposisi anggota DPRD DIY hasil Pemilu Legislatif 2014 berdasarkan partai politik pengusungnya didominasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). PDIP berhasil menempatkan wakilnya sebanyak 14 orang (25 persen anggota) atau meningkat 3 orang dibandingkan hasil Pemilu 2009. Berikutnya adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar yang menempatkan wakil masing-masing sebanyak 8 anggota, diikuti oleh Partai Gerindra dan Partai keadilan Sejahtera (PKS) menempatkan wakil masing-masing sebanyak 7 dan 6 anggota. Sebaliknya, perolehan kursi Partai Demokrat mengalami kemerosotan tajam dari 10 kursi menjadi 2 kursi.
Gambar 2.1.
Komposisi Anggota DPRD DIY Periode 2009-2014 dan 2014-2019 menurut Partai Politik
Sumber : Sekretariat DPRD DIY
Gubernur dan wakil gubernur DIY tidak dipilih melalui mekanisme Pemiilukada, tetapi
melalui proses penetapan sebagai salah satu wujud keistimewaan DIY
2
2
Tahukah Anda ?
Keterwakilan perempuan dalam parlemen DIY Hasil Pemilu legislatif 2014 semakin berkurang dibanding dengan Pemilu 2009
6
Struktur birokrasi kepegawaian di lingkungan pemerintahan DIY didominasi oleh pegawai yang berpendidikan sarjana dan mayoritas memiliki kepangkatan pada golongan III
Sebagai mitra kerja kepala daerah, DPRD memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah (Perda), fungsi pengawasan untuk mengontrol pelaksanaan perda, peraturan lain serta kebijakan pemerintah daerah, dan fungsi anggaran untuk menyusun dan mengesahkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) bersama pemerintah daerah. Untuk mendukung fungsi tersebut, struktur DPRD DIY dibagi menjadi empat komisi yang terdiri dari Komisi A (pemerintahan), Komisi B (ekonomi dan keuangan), Komisi C (pembangunan) dan Komisi D (kesejahteraan rakyat) serta alat kelengkapan dewan yang lain seperti fraksi dan pimpinan dewan. Selama tahun 2013, DPRD DIY mampu menghasilkan sebanyak 12 Perda. Jumlah ini sedikit berkurang dibandingkan dengan tahun 2012 dan 2011 yang menghasilkan sebanyak 14 dan 16 Perda. PEGAWAI NEGERI SIPIL
Komposisi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di lingkungan pemerintahan DIY terdiri dari pegawai daerah dan pegawai pusat. Pegawai daerah mencakup semua PNS yang sistem penggajiannya dicover oleh dana APBD, sementara pegawai pusat mencakup semua PNS yang bekerja di institusi vertikal (perwakilan pemerintah pusat) dan sistem penggajiannya dicover oleh dana APBN. Jumlah PNS daerah di DIY pada tahun 2013 tercatat sebanyak 56.369 orang yang terdiri dari 28.118 pegawai laki laki (49,88 persen) dan 28.251 pegawai perempuan (50,12 persen). Fakta ini menggambarkan telah tercapainya kesetaraan gender dari sisi komposisi dalam lingkungan birokrasi pemerintahan DIY.
Berdasarkan golongan kepangkatan, mayoritas PNS daerah DIY merupakan pegawai golongan III dengan proporsi 43,09 persen. Komposisi selanjutnya adalah pegawai golongan IV dan II dengan proporsi masing-masing sebesar 37,86 persen dan 16,16 persen. Jumlah pegawai pada golongan I juga masih cukup banyak dengan porsi sebesar 2,88 persen. Dari sisi pendidikan tertinggi yang ditamatkan, struktur PNS daerah didominasi oleh mereka yang berpendidikan Sarjana/S1 (41,36 %). Komposisi berikutnya adalah pegawai yang berpendidikan SLTA sederajat dan Diploma I/II/III/IV dengan porsi masing-masing sebesar 25,33 persen dan 25,69 persen. Sementara, jumlah pegawai yang berpendidikan SLTP ke bawah memiliki proporsi sebesar 4,5 persen. Berdasarkan daerah penempatannya, maka proporsi pegawai yang terbanyak ditempatkan di Pemda kabupaten Sleman dan Bantul dengan jumlah masing-masing sebesar 20,93 persen dan 19,84 persen.
Gambar 2.1.
Komposisi PNS Daerah di DIY Berdasarkan Golongan Kepangkatan dan Pendidikan
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Regional I Jawa Tengah dan DIY
2
2
7
KEUANGAN DAERAH
Penerimaan daerah untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang dikelola oleh pemerintah DIY berasal dari beberapa sumber, yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan (dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana Alokasi Khusus/DAK), serta penerimaan lain yang sah. Sampai saat ini, komponen PAD yang bersumber dari pajak daerah dan komponen DAU menjadi sumber penerimaan terpenting bagi pendapatan daerah DIY.
Berdasarkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DIY 2013, jumlah nominal pendapatan yang direncanakan mencapai Rp 2,287 triliun dan meningkat sebesar 18,16 persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp1,94 triliun. Selama empat tahun terakhir, nilai nominal pendapatan daerah yang direncanakan semakin meningkat secara signifikan terutama pasca disahkannya Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY yang salah satunya memuat tentang alokasi dana keistimewaan DIY yang mulai direalisasikan pada tahun 2012. Dalam RAPBD 2013, semua sumber pendapatan yang baik PAD, dana perimbangan maupun penerimaan lainnya yang sah mengalami peningkatan. Sumber utama pendapatan dalam RAPBD 2013 berasal dari komponen PAD dengan proporsi sebesar 44,34 persen, sementara komponen dana perimbangan dan penerimaan lainnya yang sah masing-masing memiliki proporsi sebesar 42,03 persen dan 13,62 persen. Kondisi ini berbeda dengan RAPBD tahun 2012 dimana komponen dana perimbangan memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan komponen PAD.
Secara nominal, nilai PAD dalam RAPBD 2013 mencapai Rp 1,01 triliun dengan sumber penerimaan terbesar berasal dari pajak daerah dengan nilai nominal sebesar Rp 885,22 miliar. Nilai penerimaan pajak daerah dalam RAPBD 2013 meningkat sebesar Rp 196 miliar dari tahun sebelumnya dengan sumber utama dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor. Komponen terbesar dana perimbangan berasal dari DAU dengan nilai Rp 828 milyar atau 36,22 persen, sementara sumber utama penerimaan lainnya yang sah berasal dari dana penyesuaian dan otonomi khusus atau dana keistimewaan dengan nilai Rp 302,76 milyar. Tabel 2.2.
Rencana Anggaran Pendapatan Daerah DIY menurut Sumber Penerimaan, 2010-2013 (Rp Milyar)
Sumber : BPS DIY Cat : Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Sumber utama pendapatan daerah dalam RAPBD DIY 2013 berasal dari Pendapatan Asli
Daerah khususnya pajak daerah dan dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum
2
2
8
Struktur belanja daerah dalam RAPBD DIY 2013 didominasi oleh belanja pegawai, sementara dari fungsinya sebagian besar digunakan untuk pelayanan umum
Pengeluaran/belanja daerah dalam RAPBD DIY 2013 direncanakan sebesar Rp 2,45 triliun. Secara nominal, nilai tersebut meningkat sebesar Rp 330,78 miliar atau naik 15,57 persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp 2,12 triliun. Komposisi pengeluaran daerah untuk belanja langsung sebesar Rp 1,03 triliun (41,85 %) atau meningkat 19,83 persen dibandingkan dengan rencana pengeluaran 2012 yang sebesar Rp 587,26 milyar. Belanja langsung yang terbesar digunakan untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal dengan nilai masing-masing sebesar Rp 609,74 miliar (24,84 %) dan Rp 292,51 miliar (11,92 %). Sementara, jumlah belanja tidak langsung direncanakan sebesar Rp 1,43 triliun (58,15 %) atau meningkat 12,68 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Komposisi belanja tidak langsung yang terbesar digunakan untuk belanja pegawai dengan nilai Rp 503,34 miliar (20,50 persen) dan diikuti oleh belanja hibah dan bagi hasil dengan proporsi masing-masing sebesar 19,04 persen dan 306,12 persen. Nilai belanja pegawai secara nominal meningkat namun proporsinya justru menurun, sementara nilai nominal maupun proporsi dari belanja hibah, bagi hasil, serta belanja modal justru semakin meningkat. Perubahan komposisi dalam belanja daerah ini menunjukkan pengelolaan keuangan yang semakin berorientasi pada pelayangan publik. Secara umum, RAPBD DIY tahun 2013 mengalami defisit sebesar Rp 168,06 milyar.
Berdasarkan fungsinya, pengeluaran terbesar dalam RAPBD 2013 digunakan untuk pelayanan umum dengan nilai sebesar Rp 1.318,08 miliar (53,69 %). Proporsi terbesar selanjutnya adalah pengeluaran bidang ekonomi (12,89 %), pendidikan (10,24 %), perumahan dan fasilitas umum (9,90 %) serta kesehatan (6,89 %). Sementara, porsi pengeluaran untuk kegiatan pariwisata dan budaya, perlindungan sosial, ketertiban dan ketentraman, serta lingkungan hidup berada di bawah 5 persen.
Tabel 2.3.
Rencana Pengeluaran/Belanja Daerah dalam RAPBD DIY, 2010-2013 (Rp Milyar)
Sumber : DIY dalam Angka 2010-2013, BPS DIY Cat : Angka dalam kurung menunjukkan persentase Tahukah Anda ?
Dengan semakin meningkatnya sumber penerimaan daerah dari sumber pendapatan asli daerah maka derajad ketergantungan fiskal DIY semakin menurun.
2
2
9
Sumber : DIY dalam Angka 2013, BPS DIY Gambar 2.2.
Rencana Pendapatan Daerah menurut Sumber dan Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Rp Milyar)
Gambar 2.3.
Rencana Pendapatan dan Belanja Daerah menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Rp Milyar)
Struktur pendapatan dan belanja dalam RAPBD tahun 2013 kabupaten/kota di DIY cukup bervariasi. Dari sisi pendapatan, Kabupaten Sleman menjadi daerah yang memiliki rencana pendapatan yang tertinggi sebesar Rp 1,67 triliun dan diikuti oleh Kabupaten Bantul dengan rencana pendapatan sebesar Rp 1,34 triliun. Sementara, Kabupaten Kulonprogo menjadi daerah yang memiliki rencana pendapatan yang terendah sebesar Rp 918,78 miliar. Dari sisi pengeluaran atau belanja daerah juga memiliki pola yang sama. Kabupaten Sleman menjadi daerah yang memiliki belanja yang tertinggi sebesar Rp 1,73 triliun, sementara kabupaten Kulonprogo menjadi daerah dengan belanja terendah sebesar Rp 935,37 miliar. Dalam RAPBD 2013, semua kabupaten/kota mengalami defisit anggaran atau memiliki nilai belanja yang lebih besar dibandingkan dengan nilai pendapatan. Nilai defisit anggaran yang terbesar dialami oleh Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp 93,92 miliar dan diikuti oleh Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan defisit sebesar Rp 63,44 milyar dan Rp 63,06 milyar. Sementara, nilai defisit Kabupaten Bantul dan Kulonprogo masing-masing sebesar Rp 17,44 milyar dan Rp 16,59 milyar.
Komposisi pendapatan daerah dalam RAPBD 2013 kabupaten/kota DIY berdasarkan sumbernya didominasi oleh komponen dana perimbangan terutama Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan proporsi antara 59,41-74,96 persen. Proporsi dana perimbangan yang tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Gunungkidul, sementara yang terendah dimiliki oleh Kabupaten Sleman. Semakin tinggi proporsi dana perimbangan dalam struktur APBD kabupaten/kota menunjukkan derajat ketergantungan yang semakin besar terhadap dana transfer dari pemerintah pusar sekaligus menunjukkan derajat kemandirian yang semakin rendah. Sementara, komponen pendapatan asli daerah memberi andil antara 5,69-28,45 persen. Kota Yogyakarta menjadi daerah yang memiliki rasio PAD terhadap total penerimaan yang terbesar, sehingga menjadi daerah yang kemandirian fiskalnya paling baik. Sementara, Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo memiliki rasio PAD terhadap total penerimaan yang terendah atau derajat ketergantungan fiskal terhadap transfer dana dari pemerintah pusat tinggi. Dari sisi belanja, komponen yang terbesar digunakan untuk belanja pegawai. Komponen pengeluaran untuk belanja barang dan jasa berkisar antara 12-29 persen, sementara pengeluaran untuk belanja modal berkisar antara 10-15 persen.
Kota Yogyakarta dan Sleman menjadi daerah dengan kemandirian fiskal tertinggi, sementara
rasio belanja modal/infrastruktur dalam RAPBD kabupaten/kota di DIY masih rendah.
2
2
10
PENDUDUK
Laju pertumbuhan penduduk per tahun di DIY pada periode 2000-2010 kembali meningkat di atas 1 persen, setelah dua dekade sebelumnya yang selalu di bawah 1 persen
JUMLAH PENDUDUK DAN PERTUMBUHANNYA
Hasil Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk yang tinggal di wilayah DIY mencapai 3.457.491 jiwa, dengan komposisi 49,43 persen laki-laki dan 50,57 persen perempuan yang tersebar di lima kabupaten/kota. Jumlah penduduk DIY semakin bertambah setiap tahun dengan laju pertumbuhan yang berfluktuasi, namun masih cukup terkendali. Hasil Sensus Penduduk tahun 1971 mencatat jumlah penduduk DIY sebanyak 2,49 juta jiwa dan terus meningkat menjadi 3,46 juta jiwa di tahun 2010. Laju pertumbuhan penduduk selama periode 1971-1980 tercatat sebesar 1,10 persen per tahun. Laju ini melambat menjadi 0,58 persen per tahun di periode 1980-1990 dan 0,72 persen per tahun di periode 1990-2000 sebagai dampak keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) maupun program perbaikan taraf kesehatan masyarakat lainnya. Peningkatan taraf kesehatan masyarakat ditandai oleh membaiknya kesehatan ibu, anak dan balita sehingga terjadi penurunan angka kematian bayi secara signifikan dan berpengaruh terhadap menurunnya fertilitas (tingkat kelahiran). Meskipun demikian, dalam sepuluh tahun terakhir (2000-2010) laju pertumbuhan penduduk kembali meningkat menjadi 1,04 persen per tahun. Fenomena ini berkaitan dengan semakin menurunnya angka kematian dan meningkatnya angka harapan hidup serta semakin bertambahnya migrasi masuk ke DIY dengan tujuan untuk bersekolah maupun bekerja.
Laju pertumbuhan penduduk yang tercepat selama empat dekade terakhir terjadi di Kabupaten Sleman dan Bantul. Selama periode 2000-2010 kedua daerah ini memiliki laju pertumbuhan penduduk per tahun masing-masing sebesar 1,92 persen dan 1,55 persen. Sebaliknya, Kota Yogyakarta justru mengalami pertumbuhan penduduk negatif sebesar 0,21 persen. Sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan, Kota Yogyakarta pada tahun 2010 dihuni oleh 388.627 jiwa penduduk. Selama beberapa tahun terakhir, wilayah Kota Yogyakarta sudah semakin jenuh untuk menampung penduduk akibat meningkatnya aktivitas perekonomian, pemerintahan dan sosial. Hal ini membawa konsekuensi terhadap perkembangan kawasan pemukiman dan peningkatan jumlah penduduk di wilayah penyangganya, terutama di Kabupaten Sleman dan Bantul.
Tabel 3.1.
Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2013
Sumber : Data Sensus Penduduk, BPS DIY Tahukah Anda ?
Laju pertumbuhan penduduk DIY per tahun pada periode 2000-2010 sebesar 1,04 persen, sehingga tahun 2020 jumlah penduduk diproyeksikan mencapai 3,88 juta jiwa.
3
3
1971 1980 1990 2000 2010 1971-1980 1980-1990 1990-2000 2000-2010 Kulonprogo 370.629 380.685 372.309 370.944 388.869 0,29 -0,22 -0,04 0,48 Bantul 568.618 634.442 696.905 781.013 911.503 1,21 0,94 1,19 1,57 Gunungkidul 620.085 659.486 651.004 670.433 675.382 0,68 -0,13 0,3 0,07 Sleman 588.304 677.323 780.334 901.377 1.093.110 1,56 1,43 1,5 1,96 Yogyakarta 340.908 398.192 412.059 396.711 388.627 1,72 0,34 -0,39 -0,21 DIY 2.488.544 2.750.128 2.912.611 3.120.478 3.457.491 1,10 0,58 0,72 1,04 Kabupaten/ KotaJumlah Penduduk (jiwa) Laju Pertumbuhan per Tahun (%)
http://yogyakarta.bps.go.id
11
PERSEBARAN PENDUDUK DAN KEPADATANNYA
Distribusi penduduk DIY selama empat dekade terakhir terpusat di Kabupaten Sleman, Bantul dan Gunungkidul. Kabupaten Sleman dan Bantul menjadi dua daerah yang memiliki distribusi penduduk terbesar dan memiliki pola yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul juga semakin meningkat dalam empat dekade terakhir, namun laju pertumbuhannya relatif lebih lambat dibandingkan dengan kedua daerah sebelumnya sehingga andil distribusi penduduknya semakin menurun. Sementara, Kota Yogyakarta menjadi potret wilayah yang populasi penduduknya sudah jenuh dan semakin berkurang akibat terbatasnya wilayah administasi yang digunakan untuk pemukiman dan tempat tinggal.
Kepadatan penduduk DIY pada tahun 2010 sebesar 1.085 jiwa per km2, artinya setiap
1 km2 wilayah DIY dihuni oleh 1.085 jiwa penduduk. Kepadatan penduduk ini berada pada
urutan ketiga secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, yang masing-masing memiliki kepadatan penduduk 14.469 jiwa per km2 dan 1.217 jiwa per km2. Dibandingkan
dengan kepadatan penduduk pada tahun 2000 yang mencapai 979 jiwa per km2, kepadatan
penduduk pada tahun 2010 meningkat cukup tajam dengan selisih 106 jiwa per km2. Hal
ini berarti, selama rentang sepuluh tahun jumlah penduduk di setiap 1 km2 wilayah DIY
bertambah sebanyak 106 jiwa.
Berdasarkan wilayah, kepadatan penduduk yang tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta. Setiap 1 km2 wilayah Kota Yogyakarta dihuni oleh 11.958 jiwa penduduk. Tingginya kepadatan
penduduk di Kota Yogyakarta berkaitan dengan statusnya sebagai ibukota pemerintahan provinsi maupun sebagai pusat perekonomian dan pendidikan yang menuntut ketersediaan sarana dan infrastruktur sosial ekonomi yang lebih memadai. Faktor ini menjadi daya tarik bagi sebagian penduduk dari luar daerah untuk bermigrasi dan melakukan aktivitas ekonomi maupun aktivitas pendidikan di Kota Yogyakarta. Di sisi lain, luas wilayah administrasi Kota Yogyakarta relatif terbatas untuk menampung kelebihan populasi penduduk sehingga banyak di antara mereka yang tinggal di daerah pinggiran perkotaan yang menjadi penyangga perkembangan kota Yogyakarta.
Tabel 3.2.
Distribusi Penduduk DIY menurut Kabupaten/ Kota Hasil SP Tahun 1971-2010 (Persen)
Tabel 3.3.
Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk DIY menurut Kabupaten/Kota Hasil SP 1971-2010 (jiwa/km2)
Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY
Kepadatan penduduk DIY di tahun 2010 mencapai 1.085 jiwa/km2 dan ssebaran penduduk
yang terbesar terdapat di Kabupaten Sleman dan Bantul
3
3
1971 1980 1990 2000 2010 Kulonprogo 14,89 13,84 12,78 11,89 11,25 Bantul 22,85 23,07 23,93 25,03 26,36 Gunungkidul 24,92 23,98 22,35 21,48 19,53 Sleman 23,64 24,63 26,79 28,89 31,62 Yogyakarta 13,7 14,48 14,15 12,71 11,24 Jumlah 100 100 100 100 100
Tahun Sensus Penduduk Kab/Kota Km2 % 1971 1980 1990 2000 2010 Kulonprogo 586 18,4 632 649 635 633 663 Bantul 507 15,91 1.122 1.252 1.375 1.541 1.798 Gunungkidul 1.486 46,63 418 444 438 451 455 Sleman 575 18,04 1.024 1.178 1.358 1.568 1.902 Yogyakarta 32 1,02 10.490 12.252 12.679 12.206 11.958 DIY 3.186 100 781 863 914 979 1.085 Kepadatan Penduduk (Jiwa per Km2) Kab/Kota Luas Wilayah
12
Kabupaten Sleman dan Bantul menjadi dua daerah yang memiliki peningkatan kepadatan penduduk tercepat dengan dengan tingkat kepadatan masing-masing sebesar 1.902 jiwa/km2 dan 1.798 jiwa/km2 pada tahun 2010. Sementara itu, Gunungkidul menjadi
daerah dengan kepadatan penduduk terendah yakni 445 jiwa/km2. Rendahnya kepadatan
penduduk di Gunungkidul berkaitan dengan karakteristik wilayah yang berupa pegunungan kering dengan dukungan infrastruktur yang kurang memadai untuk dijadikan sebagai tempat tinggal maupun tempat untuk melakukan aktivitas ekonomi, sehingga ada kecenderungan kaum terdidik dari daerah ini yang justru bermigrasi keluar dengan motif mencari pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak.
KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT USIA DAN JENIS KELAMIN
Komposisi penduduk DIY menurut kelompok usia berdasarkan hasil SP 2000 dan SP 2010 masih didominasi oleh kelompok penduduk berusia muda (15-34 tahun). Namun demikian, komposisi penduduk selama kedua periode menunjukkan pergeseran secara signifikan. Populasi penduduk berusia muda (kelompok usia 15-24 tahun) pada piramida penduduk tahun 2000 terlihat cukup dominan, namun pada piramida penduduk tahun 2010 populasi penduduk yang dominan terdapat pada kelompok usia 15-44 tahun. Penduduk pada kelompok umur rendah (0-9 tahun) di piramida penduduk tahun 2010 terlihat meningkat, sementara pada kelompok usia produktif (25-54) terjadi penambahan populasi yang cukup signifikan. Fenomena ini menunjukkan perkembangan kelompok penduduk usia muda yang cukup progresif dan mendorong peningkatan jumlah angkatan kerja. Hal ini menjadi sebuah potensi manakala penduduk yang mulai masuk pasar kerja memiliki keahlian yang mumpuni dan didukung oleh tersedianya kesempatan kerja yang luas. Namun, jika kesempatan kerja yang tersedia terbatas fenomena peningkatan penduduk berusia ini perlu diantisipasi agar tidak berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran. Secara umum juga terjadi peningkatan populasi penduduk berusia tua (>64 tahun) dan hal ini menandakan adanya perbaikan kualitas kesehatan yang mendorong meningkatnya usia harapan hidup penduduk.
Gambar 3.1.
Piramida Penduduk DIY Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan 2010 (Ribu Jiwa)
SP 2000 SP 2010
Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY
Komposisi penduduk DIY menurut usia hasil Sensus Penduduk 2010 didominasi oleh penduduk berusia muda (usia produktif)
3
3
13
Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk laki-laki di DIY tercatat sebanyak 1.708.910 jiwa dan perempuan 1.748.581 jiwa, sehingga nilai seks rasionya sebesar 97,73. Artinya, terdapat 98 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan atau jumlah penduduk perempuan 2,27 persen lebih banyak dari penduduk laki-laki. Dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk tahun 2000, seks rasio tahun 2010 mengalami penurunan dari 98,3 menjadi 97,73. Seks rasio di hampir semua kabupaten/kota memiliki nilai kurang dari 100, artinya jumlah penduduk perempuan lebih dominan dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Namun demikian, Kabupaten Sleman justru memiliki seks rasio lebih dari 100 yang berarti jumlah penduduk laki-lakinya lebih banyak dari perempuan. Hampir semua kabupaten/kota juga mengalami penurunan seks rasio, kecuali Bantul yang meningkat dari 99 persen pada tahun 2000 menjadi 99,45 persen pada tahun 2010.
Seks rasio berdasarkan kelompok umur menunjukkan pola yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur. Nilai seks rasio penduduk DIY mulai dari lahir sampai umur 29 tahun berada di atas 100, artinya jumlah penduduk laki-laki pada usia tersebut lebih dominan dari perempuan. Mulai usia 30 tahun, jumlah penduduk perempuan cenderung lebih dominan dari laki-laki yang ditunjukkan oleh nilai sex rasio yang kurang dari 100. Namun, pada kelompok umur 55-59 nilai sex rasio berada di atas 100. Pada kelompok umur 60 tahun ke atas, jumlah penduduk perempuan jauh lebih dominan. Fenomena ini terjadi karena angka harapan hidup perempuan yang relatif lebih tinggi dari laki-laki yang disebabkan oleh kecenderungan penduduk laki-laki untuk melakukan pekerjaan dan aktivitas yang sifatnya lebih berat, kasar dan memiliki resiko lebih tinggi.
Rasio beban ketergantungan (Dependency Ratio) dihitung dari perbandingan antara banyaknya penduduk yang belum/tidak produktif secara ekonomi (usia dibawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas) dengan banyaknya penduduk yang berusia produktif (usia 15-64 tahun). Rasio ketergantungan penduduk DIY pada tahun 2010 tercatat sebesar 45,9 persen. Secara kasar, hal ini berarti setiap 100 penduduk produktif menanggung sekitar 46 orang yang belum produktif dan sudah tidak produktif. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2000 yang sebesar 44,7 persen. Semakin tinggi rasio ketergantungan menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif. Tabel 3.4.
Sex Ratio Penduduk DIY menurut Kabupaten/ Kota Hasil SP 2000 dan 2010
Gambar 3.2.
Sex Ratio Penduduk DIY menurut Kelompok Umur Hasil SP 2010
Rasio jenis kelamin penduduk DIY selama dua dekade terakhir didominasi oleh penduduk
perempuan, sementara rasio beban ketergantungannya berada pada level 45,9 persen
3
3
14
Tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi yang memiliki peran sentral dalam menggerakkan aktivitas perekonomian. Sebagai faktor produksi, tenaga kerja merupakan unsur manusia yang memiliki tingkat keahlian dan perilaku yang berbeda-beda. Setiap pekerja akan berharap mendapat balas jasa yang memadai sesuai pekerjaan yang telah dilakukannya. Namun, sistem dan struktur upah dalam pasar tenaga kerja ditentukan berdasarkan banyak pertimbangan seperti besarnya kebutuhan hidup minimum di wilayah yang bersangkutan maupun variabel individu dari angkatan kerja seperti pendidikan yang ditamatkan, masa kerja, jenis dan resiko pekerjaan, produktivitas, lokasi kerja, pengalaman kerja, usia, posisi/jabatan yang bersangkutan di tempat kerja maupun kemampuan perusahaan dalam membayar upah.
Pertumbuhan jumlah angkatan kerja setiap tahun sebanding dengan pertumbuhan penduduk, sementara kesempatan kerja yang tersedia relatif terbatas. Terbatasnya kesempatan kerja yang tersedia ini menyebabkan tidak semua angkatan kerja dapat terserap oleh pasar kerja atau terjadi ketidakseimbangan antara supply dan demand tenaga kerja, sehingga terjadi pengangguran. Penyebab lain dari pengangguran lebih bersifat struktural seperti kebijakan penetapan upah minimum maupun bersifat friksional akibat adanya jeda atau lama waktu menunggu kesempatan kerja yang sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Beberapa aspek ketenagakerjaan yang dikaji dalam sub bab ini menyangkut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) serta karakteristik penduduk bekerja.
Konsep ketenagakerjaan yang digunakan oleh BPS merujuk pada rekomendasi dari International Labor Organization (ILO) yang membagi penduduk berusia produktif (15 tahun ke atas) berdasarkan aktivitas utamanya menjadi dua kelompok yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari dua bagian yakni bekerja dan pengangguran, sementara bukan angkatan kerja mencakup bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Komposisi penduduk berusia kerja hasil Sakernas di DIY dalam beberapa tahun terakhir disajikan dalam Tabel 3.4. Jumlah penduduk berusia kerja meningkat dari 2,70 juta jiwa di bulan Agustus 2010 menjadi 2,83 juta jiwa di bulan Februari 2014.
KETENAGAKERJAAN
Terbatasnya penciptaan kesempatan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja menyebabkan terjadinya pengangguran
4
4
Tabel 4.1.
Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kegiatan Utama di DIY, 2010-2013
Sumber : Sakernas, BPS DIY
2010 2014
Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (8)
Angkatan Kerja 1.882.296 1.991.350 1.933.917 1.970.200 1.988.539 1.958.084 1.949.243 2.032.896
Bekerja 1.775.148 1.881.310 1.850.436 1.892.303 1.911.720 1.885.040 1.886.071 1.988.912
Pengangguran 107.148 110.040 83.481 77.897 76.819 73.044 63.172 43.984
Bukan Angkatan Kerja 815.838 739.052 813.549 793.422 791.920 838.726 863.845 796.887
Sekolah 279.420 262.569 269.226 324.537 280.427 306.151 201.760 349.639
Mengurus Rumah Tangga 437.630 365.924 433.602 360.161 404.800 466.843 479.109 352.183
Lainnya 98.788 110.559 110.721 108.724 106.693 65.732 182.976 95.065
Jumlah 2.698.134 2.730.402 2.747.466 2.763.622 2.780.459 2.796.810 2.813.088 2.829.783
Kegiatan 2011 2012 2013
15
TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA (TPAK)
Perkembangan jumlah angkatan kerja di DIY semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Selama periode Februari 2005 sampai Februari 2014, TPAK di DIY terlihat berfluktuasi dengan kisaran antara 68 sampai 73 persen. Angka ini menggambarkan besarnya proporsi atau bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian baik yang berstatus bekerja maupun sebagai pencari kerja atau penganggur. Secara umum, terdapat pola TPAK di bulan Februari yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan TPAK bulan Agustus. Fenomena ini berkaitan dengan periode musiman puncak panen komoditas tanaman padi yang terjadi selama triwulan pertama di setiap tahun. Periode panen ini mendorong meningkatnya TPAK di daerah perdesaan, terutama pada sektor pertanian tanaman pangan yang secara tidak langsung juga mendorong peningkatan TKAK secara umum. Pada bulan Februari 2014 TPAK DIY tercatat sebesar 71,84 persen atau meningkat 2,55 poin dibandingkan dengan periode sebelumnya. Secara umum, pola perkembangan TPAK di DIY menurut jenis kelamin menunjukkan TPAK penduduk laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan TPAK penduduk perempuan. TPAK lak-laki berfluktuasi pada kisaran 77-82 persen, sementara TPAK perempuan berada pada kisaran 57-67 persen. Fenomena ini mengindikasikan keterlibatan penduduk laki-laki dalam aktivitas perekonomian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terjadi karena sebagian besar aktivitas mengurus rumah tangga dilakukan oleh perempuan serta adanya pandangan bahwa kewajiban mencari nafkah adalah tanggung jawab laki-laki sehingga lebih sedikit perempuan yang masuk dalam angkatan kerja.
Pola perkembangan TPAK menurut wilayah menunjukkan kecenderungan TPAK daerah perdesaan yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan. TPAK daerah perdesaan memiliki pola yang berfluktuasi antara 73-82 persen, sementara TPAK daerah perkotaan berfluktuasi pada kisaran 62-72 persen. Fenomena ini berkaitan dengan adanya kecenderungan penduduk perkotaan yang lebih memilih untuk menyelesaikan pendidikan sampai jenjang yang setinggi-tingginya sebelum memasuki pasar tenaga kerja. Sementara, penduduk perdesaan memiliki lama bersekolah yang lebih singkat dan merasa sudah cukup untuk menyelesaikan jenjang pendidikan dasar kemudian masuk pasar tenaga kerja untuk membantu ekonomi keluarga meski statusnya hanya sebagai pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar dan bekerja di sektor informal dengan jumlah jam kerja yang relatif pendek.
4
4
Gambar 4.1.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) DIY menurut Jenis Kelamin dan Wilayah, 2005-2014 (Persen)
Sumber : Sakernas, BPS DIY
Tingkat partisipasi angkatan kerja di DIY selama sepuluh tahun terakhir berada pada kisaran 68-73 persen dan ada kecenderungan partisipasi angkatan kerja laki-laki lebih tinggi dari perempuan dan partisipasi angkatan kerja di perdesaan lebih tinggi dari perkotaan.
80,26 79,00 81,25 79,82 81,33 80,18 81,17 80,84 79,72 77,70 63,87 61,95 62,64 60,15 62,06 62,65 65,08 62,17 60,73 66,24 71,95 70,30 71,69 69,95 71,70 71,41 72,93 71,29 70,01 71,84 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Feb'05 Feb'06 Feb'07 Feb'08 Feb'09 Feb'10 Feb'11 Feb'12 Feb'13 Feb'14
L P L+P 65,67 64,96 67,44 65,21 66,09 67,01 71,50 68,72 67,09 69,06 81,29 78,26 77,98 77,04 79,95 77,99 75,78 76,42 75,85 77,39 71,95 69,83 70,30 69,20 71,69 68,56 69,9570,51 71,70 70,2371,4169,76 72,93 70,3971,29 71,5270,01 69,29 71,84 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Feb'05 Feb'06 Feb'07 Feb'08 Feb'09 Feb'10 Feb'11 Feb'12 Feb'13 Feb'14
K D K+D
16
4
4
Gambar 4.2.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY menurut Wilayah dan Jenis Kelamin, 2005-2014 (Persen)
Sumber : Sakernas, BPS DIY
TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT)
Bagian dari angkatan kerja yang tidak terserap oleh pasar tenaga kerja termasuk dalam kategori pengangguran terbuka (TPT). TPT DIY selama periode Februari 2005-Februari 2014 memiliki pola yang berfluktuasi pada kisaran 2,16-7,59 persen dan memiliki kecenderungan yang semakin menurun. Pada bulan Februari 2005, TPT DIY tercatat sebesar 5,05 persen dan meningkat tajam hingga mencapai 7,59 persen di bulan November sebagai dampak dari keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM di tahun 2005 yang memberi tekanan negatif terhadap kondisi perekonomian DIY secara makro. Pada periode berikutnya, secara bertahap angka TPT di DIY semakin menurun hingga mencapai level 2,16 persen di bulan Februari 2014.
Perkembangan TPT menurut wilayah perkotaan dan perdesaan menunjukkan pola yang hampir sama dan terdapat kecenderungan TPT di daerah perkotaan selalu lebih tinggi dibandingkan TPT di daerah perdesaan. Meskipun demikian, gap atau selisih antara kedua wilayah menunjukkan pola yang semakin mengecil. Secara kasar, fenomena ini menunjukkan bahwa penduduk berusia kerja di daerah perdesaan yang lebih mudah terserap dalam pasar kerja karena pada umumnya mereka akan menerima jenis pekerjaan apa saja termasuk di sektor informal maupun bekerja dengan status sebagai pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar, meskipun pasar tenaga kerja di daerah perdesaan relatif terbatas dengan struktur homogen dan dominan pada sektor pertanian. Sebaliknya, penduduk di daerah perkotaan lebih selektif dalam memilih lapangan usaha dan jenis pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan maupun upah. Lamanya waktu dalam mencocokkan jenis pekerjaan inilah yang mendorong TPT daerah perkotaan menjadi lebih tinggi. Level TPT yang tertinggi di daerah perkotaan terjadi pada bulan Agustus 2005 dengan nilai TPT mencapai 10,37 persen, sementara level TPT tertinggi di daerah perdesaan terjadi di bulan Februari 2011 dengan nilai sebesar 4,90 persen. Pada bulan Februari 2014, TPT di daerah perkotaan dan perdesaan mengalami penurunan dengan nilai masing-masing mencapai 2,68 persen dan 1,24 persen. Perbandingan TPT menurut jenis kelamin tampak lebih dinamis dan polanya juga lebih berfluktuasi, meski secara umum keduanya terlihat memiliki kecenderungan yang semakin menurun. Mulai periode Februari 2005 sampai Agustus 2008 TPT penduduk perempuan tercatat lebih tinggi, namun di periode Februari 2009-Februari 2011 TPY penduduk laki-laki tercatat lebih tinggi. Pada kondisi Februari 2014, TPT laki-laki tercatat sebesar 2,67 persen dan TPT perempuan tercatat sebesar 1,62 persen.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di DIY selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan pola yang semakin menurun dan terdapat kecenderungan TPT di perkotaan lebih tinggi dari perdesaan, sementara TPT menurut jenis kelamin lebih berfluktuasi
7,06 8,36 8,41 8,42 7,62 7,42 5,86 4,84 4,45 2,68 2,63 3,64 3,11 3,03 4,03 4,21 4,90 2,36 2,47 1,24 5,05 6,25 6,08 6,04 6,00 6,02 5,53 3,95 3,73 2,16 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Feb'05 Feb'06 Feb'07 Feb'08 Feb'09 Feb'10 Feb'11 Feb'12 Feb'13 Feb'14
K D K+D 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Feb'05 Feb'06 Feb'07 Feb'08 Feb'09 Feb'10 Feb'11 Feb'12 Feb'13 Feb'14
L P L+P
17
4
4
STRUKTUR ANGKATAN KERJA MENURUT PENDIDIKAN
Struktur angkatan kerja di DIY berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan menunjukkan bahwa mayoritas telah mengenyam pendidikan sampai tingkat menengah baik SLTA umum maupun kejuruan. Pada kondisi bulan Februari 2014, komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SLTA mencapai 36,30 persen yang terdiri dari SLTA umum sebesar 16,27 persen dan kejuruan 20,03 persen. Sementara, komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SLTP dan Diploma/Universitas masing-masing mencapai 17,54 persen dan 16,57 persen. Di sisi lain, masih terdapat komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SD ke bawah dalam jumlah yang cukup besar yakni mencapai 29,59 persen. Komposisi angkatan kerja ini didominasi oleh penduduk yang tinggal di daerah perdesaan dan berjenis kelamin perempuan. Perkembangan struktur angkatan kerja menurut pendidikan dalam beberapa periode terakhir menunjukkan pola yang cukup dinamis. Komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SD ke bawah cenderung berkurang, sementara yang berpendidikan SLTP relatif stabil dan yang berpendidikan SLTA ke atas cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Secara kasar, hal ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas angkatan kerja dari sisi pendidikan.
Komposisi penduduk bekerja di DIY secara umum juga memiliki pola yang sama dengan komposisi angkatan kerja. Mayoritas penduduk yang bekerja telah menamatkan pendidikan pada jenjang SLTA, namun masih cukup banyak pekerja yang berpendidikan SD ke bawah. Pola perkembangan komposisi jumlah pekerja yang berpendidikan SLTA ke atas dalam beberapa tahun terakhir juga menunjukkan peningkatan, sementara yang berpendidikan SD ke bawah cenderung menurun. Persoalan ketenagakerjaan yang cukup serius adalah semakin meningkatnya komposisi penganggur atau pencari kerja yang berpendidikan tinggi atau penganggur terdidik. Berdasarkan hasil Sakernas, komposisi jumlah penganggur pada bulan Februari 2014 didominasi oleh mereka yang berpendidikan SLTA sederajat dengan jumlah mencapai 55,28 persen. Sementara, jumlah penganggur yang berpendidikan Diploma/Universitas tercatat sebanyak 26,17 persen dan sisanya adalah penganggur yang berpendidikan SLTP ke bawah dengan jumlah 18,55 persen. Fenomena tersebur berkaitan dengan persoalan pertumbuhan jumlah angkatan kerja baru yang berpendidikan tinggi melebihi pertumbuhan kesempatan kerja yang tercipta serta persoalan friksional dimana angkatan kerja baru yang berpendidikan tinggi cenderung lebih selektif dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan bidang pendidikannya.
Tabel 4.2.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY menurut Wilayah dan Jenis Kelamin, 2005-2014 (Persen)
Sumber : Sakernas, BPS DIY
Struktur angkatan kerja di DIY menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan didominasi oleh mereka yang berpendidikan menengah, namun komposisi yang berpendidikan kurang dari SD juga masih cukup besar meskipun proporsinya semakin berkurang
Feb'12 Ags'12 Feb'13 Ags'13 Feb'14 Feb'12 Ags'12 Feb'13 Ags'13 Feb'14
SD ke Bawah 35,93 36,49 31,85 35,20 29,99 35,27 35,45 31,22 34,27 29,59 SLTP 17,30 17,68 17,12 17,78 17,78 17,27 17,73 16,57 17,67 17,54 SLTA Umum 14,78 16,74 16,93 15,85 16,41 15,27 16,89 16,89 16,01 16,27 SLTA Kejuruan 17,45 16,06 18,52 16,94 19,47 17,46 16,63 18,45 17,68 20,03 Diploma I/II/III 4,58 3,49 4,72 4,15 4,21 4,72 3,61 5,02 4,05 4,23 Universitas 9,96 9,53 10,86 10,08 12,14 10,01 9,69 11,85 10,30 12,34 Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bekerja Angkatan Kerja
Pendidikan
18
Struktur penduduk bekerja di DIY didominasi oleh lapangan usaha pada sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pertanian
4
4
STRUKTUR PENDUDUK BEKERJA MENURUT LAPANGAN USAHA
Pasar tenaga kerja di DIY didominasi oleh empat lapangan usaha, yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pertanian; sektor jasa-jasa; dan sektor industri pengolahan. Sektor pertanian yang pada awalnya paling dominan dalam menyerap angkatan kerja secara berangsur-angsur perannya mulai tergantikan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mampu menyerap angkatan kerja sebesar 26,64 persen di bulan Februari 2014. Meskipun peranannya semakin menurun, sektor pertanian masih menjadi andalan utama untuk menyerap angkatan kerja terutama di daerah perdesaan dan di bulan Februari 2014 mampu menyerap angkatan kerja sebesar 25,42 persen. Sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan masing-masing menyerap angkatan 20,75 persen dan 14,91 persen. Kedua sektor ini mengalami peningkatan peranan yang cukup signifikan dalam menyerap angkatan kerja. Keempat sektor yang lainnya (pertambangan, listrik, gas dan air bersih; konstruksi; angkutan dan komunikasi; dan keuangan) memiliki peranan yang relatif rendah, tetapi perkembangan andilnya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan status dalam pekerjaan utama, mayoritas penduduk bekerja di DIY melakukan kegiatan kerja sebagai buruh/karyawan. Pada bulan Februari 2014, komposisi pekerja yang berstatus sebagai buruh/karyawan mencapai 41,81 persen dan selama beberapa tahun terakhir proporsinya cenderung meningkat. Proporsi pekerja yang statusnya berusaha mencapai 36,21 persen, terdiri dari berusaha sendiri (12,14 %), berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar (19,97 %) dan berusaha dibantu buruh tetap (4,1 %). Perkembangan proporsi pekerja yang berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar selama lima tahun terakhir menunjukkan pola yang semakin menurun.
Proporsi penduduk bekerja yang berstatus sebagai pekerja bebas/lepas di sektor pertanian selama lima tahun terakhir semakin menurun hingga menjadi 1,28 persen, sementara proporsi pekerja bebas non pertanian juga menurun hingga sebesar 3,85 persen. Secara kasar, penurunan proporsi pekerja bebas di sektor pertanian menggambarkan kondisi sektor pertanian yang semakin jenuh untuk menampung kelebihan angkatan kerja karena lambatnya peningkatan produktivitas dan penyempitan lahan pertanian. Akibatnya, terjadi perpindahan status dari pekerja bebas di sektor pertanian menjadi pekerja lepas di sektor lainnya atau berubah menjadi pekerja tetap/buruh/pegawai atau pekerja tak dibayar.
Gambar 4.3.
Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut Status Pekerjaan Utama, Februari 2014 (Persen)
Gambar 4.4.
Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut Lapangan Usaha, Februari 2014 (Persen)
12,14 19,97 4,10 41,81 1,28 3,85 16,85 Berusaha Sendiri Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Tidak Dibayar Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar Buruh/ Karyawan Pekerja Bebas Pertanian Pekerja Bebas non Pertanian Pekerja Tak Dibayar
25,42 0,29 14,91 4,84 26,64 3,78 3,37 20,75 Pertanian Penggalian dan LGA Industri Pengolahan Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Transportasi dan Komunikasi
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan
Sumber : Sakernas Februari 2014, BPS DIY
19
4
4
Hal lain yang cukup menarik untuk dicermati adalah struktur pekerja menurut jam kerja per minggu. Jumlah pekerja dengan jumlah jam kerja di atas jam kerja normal (35 jam per minggu) hasil Sakernas Februari 2014 tercatat sebesar 71,10 persen. Sementara, jumlah pekerja dengan jam kerja kurang dari jam kerja normal tercatat sebesar 28,90 persen yang terdiri dari 1-14 jam sebanyak 7,36 persen dan 15-34 jam 21,54 persen. Hal ini mengindikasikan masih cukup banyak pekerja yang termasuk dalam kategori setengah pengangguran (under unemployment) karena memiliki jumlah jam kerja kurang dari jam kerja normal. Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan proporsi pekerja yang memiliki jumlah jam kerja lebih dari 35 jam per minggu semakin berkurang, sementara proporsi yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu justru semakin meningkat. Fenomena ini menunjukkan tingkat setengah pengangguran yang semakin meningkat meskipun TPT menurun secara signifikan. Artinya, penduduk yang berubah status dari pengangguran terbuka menjadi bekerja sebagian besar masih memiliki jam kerja di bawah jam kerja normal. UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP)
UMP merupakan standar upah minimal yang harus dibayarkan oleh pengusaha/ perusahaan kepada karyawan/ buruh/pegawai sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup minimum yang layak (KHL) yang berlaku di provinsi yang bersangkutan. Tujuan utama penetapan upah minimum adalah untuk menjaga daya beli penduduk akibat adanya kenaikan harga atau inflasi. Penentuan UMP dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah yang terdiri dari perwakilan birokrat, akademisi dan serikat pekerja melalui survei kebutuhan hidup minimum yang dilakukan setiap tahun. UMP DIY diambil dari nilai Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang terendah di DIY yakni UMK Kabupaten Gunungkidul.
UMP menjadi isu yang sensitif karena dalam realita tidak semua perusahaan mau dan mampu melakukan pembayaran upah sesuai dengan ketentuan, sementara nilai UMP yang ditetapkan dinilai masih jauh dari kebutuhan hidup minimum yang layak dari sisi pekerja. Pada tahun 2013, UMP DIY secara nominal ditetapkan sebesar Rp 947 ribu per bulan dan meningkat menjadi Rp 989 ribu di tahun 2014. Secara nominal UMP dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan, meskipun dari sisi KHL cenderung berfluktuasi dan sangat tergantung pada tingkat harga yang berlaku.
Gambar 4.5.
Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut Jumlah Jam Kerja per Minggu, 2011-2014 (Persen)
Sumber : Sakernas Februari 2011-2014, BPS DIY
Gambar 4.6.
Perkembangan Nilai Upah Minumum Provinsi (UMP) DIY , 2007-2014 (Rp 000)
Tingkat pengangguran terbuka di DIY dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun, sementara tingkat setengah penganggurannya justru meningkat
5,90 7,68 7,84 6,69 6,59 13,32 7,36 18,05 26,06 18,80 21,65 17,68 26,49 21,54 76,05 66,27 73,35 71,66 75,73 60,18 71,10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Feb'11 Ags'11 Feb'12 Ags'12 Feb'13 Ags'13 Feb'14
1-14 Jam 15-34 Jam 0 dan 35+ Jam
500 586 700 746 808 893 947 989 0 200 400 600 800 1000 1200 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
http://yogyakarta.bps.go.id
20
PENDIDIKAN
Perkembangan beberapa indokator pendidikan di DIY menggambarkan kondisi pendidikan penduduk yang semakin meningkat, baik dari sisi capaian maupun partisipasi
5
5
Salah satu tujuan negara yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Langkah yang ditempuh oleh pemerintah untuk mewujudkannya adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan baik pendidikan di dalam sekolah (formal) maupun di luar sekolah (non formal). Dalam beberapa kurun waktu terakhir, pembangunan pendidikan yang dilaksanakan telah menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yang didukung dengan pembangunan infrastruktur sekolah dan penyediaan tenaga pendidik yang mencukupi serta pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melaksanakan amanah UUD 1945. Beberapa indikator pendidikan yang dikaji dalam sub-Bab ini diantaranya adalah rasio murid-guru, rasio murid-kelas, angka partisipasi sekolah menurut tingkatan, angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah penduduk.
RASIO MUDIR GURU DAN RASIO MURID KELAS
Rata-rata jumlah murid dan guru per sekolah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Pada tahun ajaran 2013/2014, setiap sekolah pada level SD rata-rata menampung sebanyak 151 murid, level SLTP 290 murid, level SLTA 302 murid dan level SMK 368 murid. Rasio murid-guru memiliki pola yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan, sehingga rasio murid-guru pada tingkat SD lebih tinggi dari SLTP dan rasio murid-guru di tingkat SLTP lebih tinggi dari SLTA dan SMK. Pada tahun ajaran 2013/2014, seorang guru SD rata-rata memiliki beban untuk mengajar sebanyak 13 murid. Sementara, pada tingkat SLTP; SLTA dan SMK masing masing memiliki beban mengajar sebanyak 12, 9 dan 9 murid. Perkembangan rasio murid guru pada semua tingkatan pendidikan selama delapan tahun terakhir masih berada dalam kondisi ideal dan hal ini menjadi indikasi yang baik karena ketersediaan tenaga pendidik masih tercukupi.
Rasio murid-kelas pada tingkat SD berada pada kisaran 21 murid per kelas dan angka ini menggambarkan daya tampung kelas pada tingkat SD yang masih lebih rendah dibanding dengan tingkat SLTP maupun SLTA. Sementara, daya tampung pada tingkat SLTP, SLTA dan SMK di tahun 2013/2014 berada pada kisaran 26 murid per kelas. Secara umum, rasio murid-kelas pada semua tingkatan murid-kelas masih cukup ideal, karena berada pada kisaran 20-30 murid per kelas.
Tabel 5.1.
Rata-rata Murid dan Guru per Sekolah, Rasio Murid-Guru dan Murid-Kelas menurut Tingkat Pendidikan
Sumber : Diolah dari data Dinas Pendidikan DIY
Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru
2013/2014 151 11 13 21 290 24 12 27 302 33 9 26 368 39 9 26 2012/2013 153 12 13 21 283 24 12 29 300 32 9 26 378 39 10 27 2011/2012 153 12 13 18 284 25 11 28 299 34 9 27 388 40 10 29 2010/2011 153 12 13 21 294 26 11 29 297 35 9 28 395 41 10 30 2009/2010 153 12 13 22 296 26 11 30 288 34 8 28 387 41 9 30 2008/2009 152 12 13 21 295 26 11 33 292 35 8 29 347 38 9 30 2007/2008 152 11 13 22 292 26 11 33 300 35 9 30 327 35 9 31 Rata-rata per Sekolah Murid Rasio
Guru
SD/MI (Negeri+Swasta) SLTP/MTS (Negeri+Swasta) SLTA/MA (Negeri/Swasta) SMK (Negeri/Swasta) Tahun
Ajaran Murid Rasio
Guru Rasio Murid Kelas
Rata-rata per Sekolah Murid Rasio
Guru Rasio Murid Kelas Rasio Murid Kelas Rata-rata per Sekolah Murid Rasio
Guru Rasio Murid Kelas Rata-rata per Sekolah
http://yogyakarta.bps.go.id
21
5
5
ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH
Angka partisipasi sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah yang dihitung dari rasio antara jumlah penduduk pada kelompok usia tertentu sekolah yang bersekolah pada berbagai tingkatan dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sesuai. Indikator ini berguna untuk mengetahui seberapa besar akses penduduk usia sekolah terhadap institusi pendidikan yang tersedia. Semakin tinggi nilai APS maka secara kasar mencerminkan semakin besar pula penduduk usia sekolah yang mendapat kesempatan bersekolah. APS memperhitungkan adanya perubahan komposisi penduduk terutama pada kelompok usia muda. Selain APS, partisipasi sekolah juga dapat diukur dengan angka partisipasi sekolah kasar (APK) dan murni (APM). Angka partisipasi sekolah kasar (APK) mencerminkan tingkat partisipasi penduduk secara umum pada suatu tingkat pendidikan. Sama halnya dengan APK, angka partisipasi sekolah murni (APM) juga menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan tertentu, namun angka APM lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut.
Berdasarkan Gambar 5.1, APS di DIY selama periode 2003-2013 memiliki pola yang menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur, sehingga partisipasi sekolah penduduk berusia 7-12 tahun > APS 13-15 tahun > APS 16-18 tahun>19-24 tahun. APS penduduk berusia 7-12 tahun selama satu dekade terakhir sudah stabil mendekati 100 persen dan nilai pada tahun 2013 mencapai 99,96 persen. Fenomena ini mengindikasikan masih terdapat 0,04 persen penduduk pada usia 7-12 tahun yang belum/tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah atau sudah putus sekolah.
APS penduduk berusia 13-15 tahun (usia SLTP) dalam beberapa tahun terakhir juga semakin meningkat mendekati 100 persen. Pada tahun 2013, masih terdapat sekitar 3 persen penduduk berusia 13-15 tahun yang tidak/belum pernah bersekolah atau sudah putus sekolah karena berbagai alasan, meskipun kebijakan wajib belajar sembilah tahun telah dicanangkan sejak tahun 2004. Berbagai permasalahan seperti biaya pendidikan, jarak ke sekolah, membantu ekonomi keluarga atau tidak mau bersekolah karena alasan tidak mampu mengikuti menjadi alibi bagi mereka yang tidak berpartisipasi dalam sekolah. Gambar 5.1.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Kelompok Penduduk Berusia Sekolah di DIY, 2003-2013 (Persen)
Sumber : BPS RI
Tahukah Anda ?
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal partisipasi sekolah antara penduduk
laki-laki dan perempuan pada semua jenjang pendidikan di DIY 98,67 98,77 99,05 99,35 99,29 99,62 99,65 99,69 99,46 99,77 99,96 95,10 95,02 95,16 90,55 92,62 92,91 93,42 94,02 97,59 98,32 96,71 73,58 75,96 74,86 71,18 71,82 72,46 72,26 73,06 75,85 80,22 81,50 42,29 47,00 41,21 39,71 43,38 43,47 43,30 44,03 41,73 44,32 46,73 20 40 60 80 100 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 7-12 13-15 16-18 19-24
Angka partisipasi sekolah pada berbagai kelompok usia mencerminkan akses dan kesempatan penduduk berusia sekolah terhadap institusi pendidikan sesuai dengan kelompok usianya
22
5
5
APS penduduk berusia 16-18 tahun selama satu dekade terakhir menunjukkan pola peningkatan lebih tajam dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, meskipun dari sisi level masih jauh di bawah kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun. Pada tahun 2003, APS penduduk berusia 16-18 tahun tercatar sebesar 73,58 persen dan secara bertahap meningkat menjadi 81,50 persen di tahun 2013. Hal ini berarti masih terdapat sekitar 19,50 persen penduduk berusia 16-18 tahun yang tidak berpartisipasi atau berkesempatan mengenyam pendidikan sekolah pada berbagai tingkatan. Tingginya angka ini lebih banyak berkaitan dengan persoalan ekonomi seperti mahalnya biaya pendidikan pada tingkat SLTA/SMK dan belum adanya mekanisme BOS maupun keterbatasan ekonomi keluarga yang menuntut peran penduduk pada kelompok usia tersebut untuk berpartisipasi sebagai aset produksi dalam membantu ekonomi rumah tangga. Adanya pandangan dalam rumah tangga yang menganggap bahwa bersekolah sampai jenjang pendidikan dasar sembilan tahun sudah cukup juga menjadi penyebab lain. Di samping itu, persoalan aksibilitas seperti terpusatnya infrastruktur pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK) di pusat kecamatan atau daerah perkotaan sehingga masih ada penduduk yang kesulitan untuk mengakses karena faktor jarak maupun sarana transportasi menuju sekolah juga menjadi sebab masih banyaknya penduduk pada kelompok usia ini yang tidak berpartisipasi sekolah. Sementara, level APS penduduk berusia 19-24 tahun tercatat pada kisaran 45 persen.
Tingkat partisipasi sekolah juga dapat dikaji dari angka partisipasi murni yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada jenjang sekolah yang sesuai dengan usianya dibagi dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama. Indikator ini berguna untuk melihat proporsi penduduk sekolah yang tepat waktu. Secara umum, nilai APM lebih rendah dari APK, karena APK mencakup penduduk di luar kelompok usia pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. APM penduduk berusia SD pada tahun 2013 mencapai 98,72 persen, artinya jumlah penduduk yang berusia SD (7-12 tahun) yang sedang bersekolah pada tingkat SD mencapai 98,72 persen. Sisanya, sebanyak 1,28 persen kemungkinan belum bersekolah pada tingkat SD atau sudah bersekolah pada tingkat SLTP atau sudah putus sekolah. Selama satu dekade terakhir APM penduduk berusia SD cenderung meningkat, meskipun terlihat ada penurunan di tahun 2011 sebagai akibat dari perubahan metodologi dalam pengumpulan data Susenas dari tahunan menjadi triwulanan.
Gambar 5.1.
APM Penduduk DIY menurut Tingkatan, 2003-2013 (Persen)
Sumber : BPS RI
Tahukah Anda ?
Partisipasi sekolah murni penduduk usiaSD
di DIY menjadi yang tertinggi secara nasional,
sementara pada usia SLTA berada di peringkat kedua setelah
Provinsi Bali 91,98 92,55 95,46 94,38 93,53 94,32 94,38 94,76 91,98 96,03 98,72 79,06 77,37 83,27 72,30 74,94 75,31 75,34 75,55 69,15 72,64 75,82 59,77 61,51 62,45 55,85 57,88 58,96 58,69 59,35 59,68 64,02 64,92 20 40 60 80 100 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 SD SLTP SLTA
Kesetaraan gender dalam hal mengakses pendidikan yang diukur dari angka partisipasi sekolah sampai tingkat menengah semakin mendekati harapan