168
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman TASAWUF ‘AMALI SEBAGAI MODEL TASAWUF SOSIAL
Nia Indah Purnamasari1
Iendha.nyax@gmail.com
Absract:In Sunni Sufism, Tasawuf ‘Amali becomes a term
that synergizes with social reality. Sufism ‘Amali emphasizes moral formation in an effort to draw closer to God. In this study the focus of the discussion is Sufism ‘amali which is an important part of the world of Sufism. This research is a literature research that discusses the social dimension in the world of Sufism which in this case is embodied by Sufism Amali. The results of this study are that tasawuf amali is the way of someone who wants to connect with God, by cleansing his soul. To achieve a close relationship with God, one must obey and implement Shari'a or religious provisions. Obedience to the provisions of religion must be followed by deeds both physically and mentally called tariqah as the path to God. In practice the inner birth of people will experience step by step spiritual development. Obedience to Shari'ah and deeds of inner and outer practice will lead one to the ultimate truth (haqiqah) as the core of the Shari'a and the end of tariqah. The ability of people to know haqiqah will deliver to ma'rifah, which is to know and feel closeness to God through qalb. This experience is so clear, so that his soul feels one with what he knows. With moral guidance, the essence of Sufism ‘Amali is not merely individual, but rather a spiritual-collective spirit in an effort to get closer to God.
Keywords: Sufism ‘Amali, Spiritual-Collective, Social
Sufism
Abstrak: Dalam tasawuf sunni, tasawuf ‘amali menjadi term yang bersinergis dengan realitas sosial. Tasawuf ‘amali menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri
169
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman kepada Tuhan. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus pembahasannya adalah tasawuf ‘amali yang merupakan bagian penting dalam dunia tasawuf. Penelitian ini merupakan penelitian literatur yang membahasa mengenai dimensi sosial dalam dunia tasawuf yang dalam hal ini diejawantahkan oleh tasawuf ‘amali. Hasil penelitian ini adalah bahwa tasawuf
‘amali merupakan jalan seseorang yang ingin berhubungan
dengan Allah, dengan membersihkan jiwanya. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan-ketentuan agama. Ketaatan pada ketentuan-ketentuan agama harus diikuti dengan amalan-amalan lahir maupun batin yang disebut tariqah sebagai jalan menuju Tuhan. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir
tariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah akan
mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan
merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb.
Pengalaman ini begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu. Dengan pembinaan moral, inti dari tasawuf ‘amali bukan semata spritual-individual, namun lebih kepada semangat spiritual-kolektif dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Kata Kunci: Tasawuf ‘Amali, Spiritual-Kolektif, Tasawuf Sosial
170
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman A. Pendahuluan
Para ahli dan pemerhati tasawuf berbeda-beda dalam mencari asal kata dan pengertian tasawuf secara etimologi maupun terminologi. Secara etimologis, kebanyakan para pengkaji tasawuf menyandarkan asal kata tasawuf pada kata-kata berikut: Şaff (baris). Kata ini dinisbatkan pada para sufi karena ia selalu berada dalam
barisan terdepan dalam mencari keridhoaan Ilahi.2 Ahl al-Şuffah,
nama yang diberikan kepada kalangan sahabat yang memilih hidup
miskin dan sederhana terutama pada masa awal islam.3 Sophos
(bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti
hikmah, dan kaum sufi adalah pencari hikmah4. Şhuuf (kain wol).
Term ini berasal dari penyebutan terhadap orang yang memakai
pakaian (wol) sutra.5 Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin
memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara
sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan
kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Selain istilah-istilah di atas masih banyak lagi, kata-kata yang disepadankan dengan istilah tasawuf. Hal ini dilakukan oleh berbagai pelaku sufistik ataupun peneliti tasawuf untuk mencari derivasi yang tepat dengan istilah tasawuf. Namun, di antara semua pendapat di atas yang memaparkan asal-usul kata tasawuf atau sufi, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata tasawuf atau sufi. Karena dari sisi makna dan bahasa lebih sesuai. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan bahwa para pelaku sufi menjauhi kemewahan. Walaupun demikian, tidak semua orang yang menggunkan wol kasar
2 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Rajawali Grafindo
Persada,1999), 32.
3 Bachrun Rifa’i dan Mu’dis Hasan, Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
24.
4 Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 32.
5 Spencer J. Trimingham,The Sufi Other In Islam (London: Oxford University Press,
171
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman disebut sufi. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa seseorang tidak bisa
disebut sufi hanya karena dia memakai pakaian wol kasar (shuuf).6
Peralihan tasawuf yang bersifat personal kepada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf, maka semakin banyak pula orang yang berhasrat mempelajarinya. Untuk itu, mereka menemui orang yang memiliki pengetahuan tasawuf yang dapat menuntun mereka. Sebab, belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman dakan suatu ilmu yang bersifat praktikal merupakan suatu keharusan bagi mereka. Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat
yang membedakannya dari tarekat yang lain. 7
Dalam sejarahnya, tasawuf yang mula-mula timbul sebagai sulit diketahui dengan pasti. Namun, Kamil Musthafa Asy-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan Syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul Qodir Al-Jailani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i di Mesir yang disebut dengan Tarekat Rifa’iyyah, dan Jalal Ad-Din Ar-Rumi (w. 672
H/1273 M) di Parsi.8
Teori lain sejarah kemunculan tasawuf dikemukakan Jhon O. Vollo. Ia menjelaskan bahwaa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah Islam, dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spritual personal mereka dengan melibatkan praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustakaan tentang kesalehan. Para sufi ini kadang-kadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan oleh
6 Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t,.), 370.
7 Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf (Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Sumatera Utara, 1981), 273.
8 Ibid.
172
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman banyak ulama’. Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-figur penting dalam kehidupan keagamaan dikalangan penduduk awam dan
mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut yang
diidentifikasi dan diikat bersama oleh jalan tasawuf khusus (tarekat) sang guru. Menjelang abad ke 12 M/5 H, jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi pengikutnya yang lebih permanen dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam
komunitas Islam. 9
Eksistensi tasawuf di dunia Islam masih menjadi domain utama sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Keberadaanya tidak pernah punah seiring dengan derasnya kritikan dan penolakan terhadap konsep-konsep dan ajarannya. Dunia pencarian Tuhan ini terus berevolusi menawarkan kebenaran intuitif yang sering dicari manusia yang berada dalam keputusasaan rasionalitas dan intelektual. Di saat pilihan rasionalitas tidak menemukan jawaban, di saat jawaban tidak lagi memuaskan, di saat rasionalitas terjebak dalam kegersangan rasa, maka pengetahuan intuitif sering kali menjadi alternatif pilihan.
Tasawuf akan terus berevolusi sesuai dengan selera para pelakunya, di samping itu tasawuf juga mengalami perubahan ketika berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Ajaran-ajaran tasawuf seringkali bertentangan dengan rasionalitas sehingga sulit diterima oleh rasionalitas yang lebih bersifat deskriptif dan definitif. Setiap orang akan menemukan kebenaran dalam tasawuf sesuai dengan subjektifitasnya, suatu hal yang sulit diterima oleh rasio yang lebih mengandalkan objektivitas dalam menilai sebuah kebenaran.
Praktek-praktek yang dilakukan kaum sufi itu bisa berbeda-beda, ada yang melalui jumlah salat, wirid, zikir, dan doa yang bermacam-macam. Beberapa praktik sufi jauh lebih kaku dari pada praktik lainnya. Sebagian sufi melakukan praktiknya dan berjaga malam dalam posisi duduk. Sebagian lagi melakukannya sambil
9 Jhon O. Voll, Tarekat-Tarekat Sufi, dalam Jhon L. Esposito, Ensiklopedi Oxford : Dunia Islam Modern, Jild 5, cet. I, terj., Eva Y.N dkk, (Bandung: Mizan, 2001), 215.
173
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman berdiri, atau bersandar, dan ada yang menempuh cara lain. Apabila suatu tarekat sufi berkembang di lingkungan pengembara, maka sebagian besar praktik dilakukan sambil kafilahnya berjalan. Ada pula yang menggunakan alat bantu visual, ada yang tidak. Masing-masing tarekat mengembangkan teknik yang sesuai untuk mendaki gunung "diri" (nafs).
Namun, apapun dan bagaimanapun bentuk praktek
tasawufnya, semua penganutnya percaya bahwa apa yang mereka percaya dan apa yang meraka kerjakan adalah terdapat dalam al-Qur’an dan contoh nyatanya adalah perilaku kehidupan Muhammad SAW. Berangkat dari pengantar di atas, maka penulis akan mengkaji tasawuf ‘amali dengan menelaah beberapa literatur yang berkaitan dengannya.
B. Tasawuf dalam Konteks Historis
Definisi tasawuf secara terminologis merupakan sesuatu yang relatif rumit, hal ini karena dunia tasawuf bersifat subjektif, para sufi melalui pengalaman-pengalaman yang berbeda sehingga sulit didefinisikan secara objektif. Walaupun demikian para ulama berusaha memberikan definisi tasawuf sejauh pantauan mereka terhadapnya. Berikut beberapa definisi sebagaimana dikutip oleh
Abdul Fattah Muhammad Sayyid Muhammad10 dari beberapa tokoh
tasawuf.
Tasawuf menurut Ma’ruf Al-Karkhi adalah menempuh jalan hakikat, dan memutuskan kepada sesama makhluk. Sedangkan menurut Hasan Ats-Tsauri tasawuf berarti membenci dunia dalam usahanya mendekati dan mencintai Allah semata. Sementara itu, Junaid Al-Bagdadi (W.297 H/910 M) berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Bachrun Rif’i adalah membersihkan hati dari sifat-sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyah, menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada ilmu
10 Sayyid Muhammad Ahmad, Tasawuf Antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah (Terj).
174
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, menepati janji kepada Allah dan mengikuti syari’at
Rasulullah.11 Dari beberapa definisi di atas, maka tasawuf bisa
diartikan sebagai zuhud di dunia dan menghadapkan semua amal perbuatannnya hanya untuk Allah, dan meninggalkan hal-hal yang dapat menyelewengkan dari tujuan utamanya yakni hanya berorientasi pada kecintaannya kepada Allah.
Sementara, diskursus mengenai asal mula ajaran tasawuf terjadi dikalangan oreintalis maupun oksidentalis. Permasalahan yang muncul adalah apakah tasawuf benar-benar berasal dari ajaran Islam atau merupakan ajaran-ajaran agama lain yang kemudian diadopsi oleh umat Islam itu sendiri? Secara garis besar sumber atau asal mula istilah tasawuf ada dua yakni: Berasal dari luar Islam atau berasal dari Islam.12
Berikut beberapa pendapat terkait, bahwa tasawuf berasal dari luar Islam di dalam penelitian ini dipetakan menjadi dua perspektif : Perspektif geografis-teritorial dan perspektif konsep dan ajaran. Perspektif kategori pertama berpendapat bahwa tasawuf berasal dari daearah Persia, India, Yunani. Perspektif yang kedua berpendapat bahwa tasawuf berasal dari ajaran Kristen, Hindu, Budha dan Nasrani. Sedangkan pendapat bahwa tasawuf berasal dari ajaran Islam alasannya adalah bahwa Konsep dan ajaran tasawuf dapat ditemukan dalam sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an, hadith qudsi dan hadith Nabi. Sedangkan dalam perspektif historis-sosiologis dapat diidentifikasi dari perilaku kehidupan Nabi saw, para sahabat dan sahabatnya sahabat. Pada dasarnya sejarah awal perkembangan tasawuf, sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi saw dan para sahabatnya yang memilih hidup sederhana dan menghabiskan hari-harinya untuk berpikir dan berdzikir untuk mendekatkan diri kepada
11 Rifa’i, Filsafat Tasawuf, 30.
175
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman Allah. Menurut pandangan para ahli, tasawuf merupakan manifestasi
dari hadith Nabi tentang ihsan.13
Perkembangan tasawuf selanjutnya adalah masuk pada periode generasi setelah sahabat yakni pada masa kehidupan para “Tabi’in (sekitar abad ke-1 dan abad ke-2 Hijriyah), pada periode ini munculah kelompok (gerakan) tasawuf yang memisahkan diri terhadap konflik-konflik politik yang dilancarkan oleh dinasti bani Umayyah yang sedang berkuasa guna menumpas lawan-lawan politiknya.
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya adalah memasuki abad ke-3 dan abad ke-4 Hijriyah. Pada masa ini tasawuf sudah mulai
dipetakan.14 Ada tasawuf yang menitikberatkan pada perbaikan
akhlak dengan didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang biasa disebut dengan “Tasawuf Sunni” dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti : Haris al-Muhasibi (Basrah), Imam al-Ghazali, Sirri as-Saqafi, Abu Ali ar-Ruzbani dan lain-lain.
Kelompok kedua, adalah yang cenderung pada kajian tasawuf filsafat, dikatakan demikian karena tasawuf telah berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Adapun tokoh-tokoh tasawuf filsafat yang terkenal pada saat itu di antaranya: Abu Yazid al-Bustami (W.260 H.) Dengan konsep tasawuf filsafatnya yang terkenal yakni tentang “Fana dan Baqa” (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi), serta “Ittihad” (Bersatunya hamba dengan Tuhan). Adapun puncak perkembangan tasawuf filsafat pada abad ke-3 dan abad ke-4, adalah pada masa Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H ), ia merupakan tokoh yang dianggap paling kontroversial dalam sejarah tasawuf, sehingga akhirnya harus menemui ajalnya di tiang gantungan.
Periode sejarah perkembangan tasawuf pada abad ke-5 Hijriyah terutama tasawuf filsafat telah mengalami kemunduran luar
13 Sokhi Huda Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS,
2008),31.
176
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman biasa, hal itu akibat meninggalnya al-Hallaj sebagai tokoh utamanya. Pada periode ini perkembangan sejarah tasawuf sunni mengalami kejayaan pesat, hal itu ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh tasawuf sunni seperti, Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H.), seorang penentang tasawuf filsafat yang paling keras yang telah disebarluaskan oleh al-Bustami dan al-Hallaj. Dan puncak kecemerlangan tasawuf sunni ini adalah pada masa al-Ghazali, yang karena keluasan ilmu dan kedudukannya yang tinggi, hingga ia mendapatkan suatu gelar kehormatan sebagai “Hujjatul Islam”.
Sejarah perkembangan tasawuf selanjutnya adalah memasuki periode abad ke-7, di mana tasawuf filsafat mengalami kemajuan
kembali yang dimunculkan oleh tokoh terkenal yakni Ibnu Arabi.15
Ibnu Arabi telah berhasil menemukan teori baru dalam bidang tasawuf filsafat yakni tenyang “Wahdatul Wujud”, yang banyak diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Ibnu Sab’in, Jalaluddin ar-Rumi dan sebagainya. Kecuali itu pada abad ke-6 dan abad ke-7 ini pula muncul beberapa aliran tasawuf ‘amali. , yang ditandai lahirnya beberapa tokoh tarikat besar seperti: Tarekat Qadiriyah oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Bagdad (470-561 H.), Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’I di Irak (W.578 H.) dan sebagainya. Dan sesudah abad ke-7 inilah tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau toh ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya.
Dari uraian singkat di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa pada awalnya ajaran dan konsep tasawuf hanya berupa amalan-amalan dan perilaku kehidupan saja tanpa berpatokan pada teori dan kaidah tertentu. Penyebutannya hanya ditunjukan terhadap perilaku atau kebiasaan seseorang yang mirip dengan konsep-konsep kesufian. Baru kemudian pada abad ke-3-4 H tasawuf sudah bisa diidentifikasi penyebutan, pola dan variasinya secara formal. Pada perkembangan
177
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman selanjutnya tasawuf lebih terstruktur dan terorganisir ketika sudah menjadi kelompok tarekat.
Secara periodik, fase perkembangan tasawuf berdasarkan uraian singkat di atas dapat dispesifikasikan dalam babakan sebagai berikut: Masa Pembentukan pada abad (1-2 H), Masa Pengembangan Pada abad (3 dan 4), Masa Konsolidasi Abad 5 H terjadi pertentangan antara tasawuf semi falsafi dan tasawuf Suni. Dimenangkan tasawuf sunni, tasawuf falsafi tenggelam kemudian muncul lagi abad 6 H. Masa Falsafi pada abad 6, ajaran tasawufnya tercampur dengan ajaran filsafat.dan seterusnya adalah masa-masa tasawuf menemukan bentuk barunya dalam dunia tarekat.
C. Tipologi Tasawuf; Dari Falsafi hingga ‘Amali
Pada masa klasik muncul banyak sufi yang lebih menitikberatkan kepada aspek batin dan spiritualisme dari ajaran Islam dalam amalan kehidupan sehari-hari mereka. Namun di samping itu, ada juga yang tidak menekankan pentingnya amalan tasawwuf, tetapi merumuskan pemikiran-pemikiran sufistik yang
bercorak filosofis dan banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.16
Pada masa itu, tasawwuf telah dilembagakan dalam suatu institusi atau organisasi tasawwuf yang bernama tarekat. Dari kesimpulan tersebut, tampaklah pertalian yang sedemikian erat antara tasawwuf dan tarekat, bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Tasawwuf adalah sebuah ideologi dari institusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan sekte-sekte dalam tasawwuf. Tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawwuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka
mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama.17
16 Syafiq A Mughni, Dinamika Intelektual Islam pada Abad Kegelapan (Surabaya:
LPAM, 2002), 58.
17 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia
178
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman Permulaan yang paling awal dari tarekat adalah ditandai oleh kegiatan-kegiatan berkumpul yang santai dan tidak resmi untuk membicarakan masalah-masalah agama dan melakukan latihan-latihan spiritual. Acara berkumpul ini dinamakan halaqah, pembacaan formula keagamaan, yang disebut zikr, dapat dilakukan di
mana saja dan umumnya secara bersama-sama.18
Namun, variasi pendekatan dalam perjalanan ketasawufan di kalangan para sufi membentuk tipologi dan karakteristiknya tersendiri sesuai dengan rumpun pemahaman dan konsepsinya. Dari pengertian dan penjelasan tentang tasawuf yang terdapat dalam penelitian ini, ada dua hal pokok yang menjadi ciri utama dari perjalanan tasawuf itu sendiri, yakni: Kesucian jiwa (individu) dan usahanya dalam
mendekatkan diri pada Tuhan.19 Kaum sufi memahami Ajaran pokok
tasawuf dengan variasi pendekatan yang berbeda, perbedaan pendekatan ini kemudian melahirkan tipe-tipe tasawuf, yakni: Tasawuf falsafi dan tasawuf sunni ada juga yang menyebutnya tasawuf salafi.
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu
wihdatul wujud (kesatuan wujud). Tasawuf falsafi juga berarti
tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya lebih bersifat teoritis dan lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang ini sulit bahkan bisa dikatakan mustahil diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam.
Menurut Fazlur Rahman, tasawuf falsafi> ini juga terkena
pengaruh Grego-gnostik dan doktrin-doktrin Kristen seperti yang
dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi>>.20 Bagaimana pun juga tidak dapat
18 Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1997), 191. 19 Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah, 35. 20 Rahman, Islam, 142.
179
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman dipungkiri, dalam perjalanan selanjutnya sekitar abad keenam dan ketujuh Hijriyah, wacana-wacana tasawuf banyak yang bernuansa filosofis atau falsafi> sebagaimana yang diprakarsai oleh Suhra>wardi> (w. 587 H), Ibn ‘Arabi>> (w. 638 H) dan Ibn Fa>rid} (w. 632 H). Pada fase ini, konsep-konsep ajaran tasawuf banyak diwarnai oleh prinsip-prinsip dari luar Islam, khususnya filsafat Yunani, sekalipun pijakan
fundamental para sufi adalah Al-Qur’an dan Sunnah.21
Sehingga dalam segmen ini, Abu al-A’la> ‘Afi>fi mengklasifikasikan pendapat para sarjana tentang historisitas dan genealogi ajaran tasawuf ke dalam empat teori. Pertama, tasawuf
berasal dari India melalui Persia; Kedua, berasal asketisme Nasrani;
Ketiga, berasal dari ajaran Islam sendiri; dan Keempat berasal dari sumber-sumber yang bebeda kemudian menjelma menjadi satu
konsep utuh, yakni tasawuf.22
Berbeda dengan tasawuf falsafi tasawuf sunni atau tasawuf salafi lebih praktis dalam konsep dan ajarannya. Sehingga mudah dipraktekan oleh siapa saja yang mau menjadi salik. Dalam membentuk konsep dan mengamalkan prakteknya tasawuf sunni
selalu melandaskan tasawufnya pada al-Qur’an dan sunnah.23
Tasawuf sunni ada dua jenis, yakni tasawuf akhlaqi dan tasawuf ‘amali. Biasanya ada juga yang langsung menggabungkan kedua istilah tasawuf tersebut dengan sebutan tasawuf sunni akhlaqi dan tasawuf sunni ‘amali. Perbedaan keduanya terletak pada penekanan orientasinya, tasawuf akhlaqi lebih menekankan pembinaan mental melalui pengendalian nafsu dalam upaya mendekatkan diri dengan Tuhan. Sedangkan tasawuf ‘amali. lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus pembahasannya
21 Lihat Abu> al-Wafa>’ al-Taftaza>ni>, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj Ahmad Rofi’
Utsmani (Bandung: Pustaka, 2003), 21., Abu> Nas}r as-Sarra>j, Al-Luma’, terj. Wasmukan dan Samson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), 30-47; Bandingkan dengan Jamil, Cakrawala Tasawuf (Ciputat: Gaung Persada Press, 2004), 18-26.
22 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002), 19. 23 Ahmad, Tasawuf Antara Al-Ghazali Dan Ibnu Taimiyah., 175.
180
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman adalah tasawuf ‘amali. Pun demikian, pembahasan tasawuf ‘amali. ini tidak bisa mengesampingkan begitu saja tasawuf akhlaqi, karena sebenarnya tasawuf ‘amali merupakan kelanjutan dari ajaran tasawuf
akhlaqi.24
Dalam pandangan para sufi pengamal tasawuf akhlaqi untuk merehabilitasi sikap itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu, pengamal tasawuf
akhlaqi merumuskan tiga tingkatan yang harus dilalui oleh seorang
salik sebagai tahapan atau sistem dalam melakukan pembinaan akhlak. Tiga tingkatan yang harus dilalui tersebut adalah: Takhalli,
tahalli dan tajalli.
Langkah pertama adalah takhalli, yakni membersihkan diri
dari sifat-sifat dan hal-hal tercela, melepaskan diri dari
ketergantungan duniawi. Langkah kedua adalah tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat dan hal-hal terpuji. Langkah ketiga adalah tajalli,
yakni terungkapnya nur Ilahi bagi hati.25 Untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah dalam rangka mencari keridhaan-Nya, ada beberapa langkah dan cara-cara yang diajarkan oleh para sufi, yakni: Melakukan munajat kepada Allah, muraqabah dan muhasabah, memperbanyak wirid dan zikir, ingat mati dan senantiasa ber-tafakkur atau bermeditasi. Ritual-ritual seperti ini diyakini lebih mendekatkan diri kepada Allah dan akan senantiasa mendapat ridha-Nya.
D. Konsep dan Ajaran Tasawuf ‘Amali
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, tasawuf
‘amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaqi karena seseorang
yang ingin berhubungan dengan Allah maka Ia harus membersihkan jiwanya, sebagimana Allah berfirman:
24 Huda, Tasawuf Kultural Fenomena, 58. 25 Rifa’i, Filsafat Tasawuf, 116-118.
181
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman “dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”(Qs. at-Taubah:108) dan “sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertobaat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”(Qs. al-Baqarah: 222).
Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan-ketentuan agama. Ketaatan pada ketentuan-ketentuan agama harus diikuti dengan amalan-amalan lahir maupun batin yang disebut tariqah sebagai jalan menuju Tuhan. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
Arti dekat dengan Tuhan terdapat tiga simbolis, yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan arti dekat dengan Tuhan adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah monolog antara manusia yang telah menyatu dengan iradat Tuhan.
Dalam melakukan perjalanan ketempat tertinggi (sisi Tuhan) para sufi mempunyai jalan rohani yang berbeda-beda dan bersifat khusus dalam melakukan jalan sufistiknya. Thariqat (jalan) ini berdasarkan pada asas dan petunjuk serta berpatokan kepada Qur`an dan Hadis. Prinsip jalan sufi ini dinamakan maqâmât wa
al-ahwâl.26 Dua istilah ini merupakan dua hal yang berkesinambungan
dan bertalian dari kausaliti (sebab-akibat) amalan-amalan yang dilalui dengan latihan-latihan rohani.
182
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman
Maqâmât (bentuk jamak dari Maqâm), berarti posisi,
kedudukan, tingkatan. Dalam dunia tasawuf, Maqâmât dipahami sebagi tempat pemberhentian atau stasiun dalam sebuah perjalanan panjang menuju Tuhan. Maqâmât juga diartikan sebagai kedudukan seorang hamba di hadapan tuhan yang bisa dicapai dengan ibadah yang penuh perjuangan melawan hawa nafsu dan segala keinginan dengan berbagai latihan spritual dan tahapan-tahapan tertentu. Orang yang pertama kali menggunakan istilah Maqâmât adalah al-Haris Ibnu Asad Al-Muhasibi (243 H), Ia dijuluki Al-Muhasibi karena ia
sering intropeksi diri.27
Para sufi berbeda di dalam merinci maqâm yang harus dilalui oleh seorang salik untuk menuju tujuannya. Seperti al-Kalabadzi yang memulai dengan maqâm taubat dan mengakhirinya dengan makrifat. Imam al-Ghazali memulai dengan maqâm taubat dan mengakhirinya dengan ridha. Demikian juga jumlah maqâmat yang dilalui ada yang menyebutnya 10 maqâmat, ada yang 7 maqâmat bahkan ada yang 6
maqâmat, ada juga yang menyebut maqâmat-nya lebih banyak dari
apa yang disebutkan dalam penelitian ini. Waktu yang ditempuh dalam menempuh perjalanan sufistiknya juga berbeda-beda ada yang
cepat dan ada juga yang lambat.28
Di samping itu para sufi juga berbeda dalam mengartikan tiap-tiap maqâmatnya walaupun istilahnya sama. Berikut akan dipaparkan penjelasan tentang maqâmat-maqâmat versi Ghazali dan al-Qusyairi sebagaimana dipaparkan oleh Mulyadhi Kartanegara dalam
bukunya Menyelami Lubuk Tasawuf.29
Pertama, taubat. dalam pandangan al-Ghazali taubat berarti
penyesalan. Dalam arti yang lebih rinci taubat berarti menyesali dosa yang telah dilakukan. Sedangkan menurut Imam al-Qusyairi taubat berarti kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Al-Qushairi memakai Maqâm Wara’ dan sabar
27 Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 113.
28 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006.), 181. 29 Ibid., 197-202.
183
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman masing-masing pada maqâm kedua dan maqâm kelima. sedangkan al-Ghazali menempatkan sabar pada maqâm yang kedua dan tidak mengenalkan Wara’dalam maqâmnya. Wara’ menurut ‘Ali Daqqaq sebagaimana dikutip Mulyadhi Kartenegara, berarti meninggalkan segala sesuatu yang bersifat meragukan. Ibrahim Ibn Adham menambahkan Wara’ berarti meninggalkan apapun yang tidak berarti
dan yang berlebihan. 30
Sedangkan sabar, baik al-Qushairi maupun Imam al-Ghazali membaginya menjadi dua. Menurut al-Qushairi bisa berupa sabar terhadap yang diupayakan dan sabar terhadap yang tidak diupayakan. Sabar dalam menjalankan perintah Allah masuk dalam kategori pertama sedangkan sabar dalam menerima ketentuan Allah masuk
dalam kategori kedua.31 Al-Ghazali juga membagi sabar dalam dua
kategori, yang pertama sabar yang berkaitan dengan fisik, seperti sabar dalam melakukan pekerjaan berat seperti ibadah dan perintah-perintah yang lainnya. Ke dua, sabar yang terpuji dan sempurna, yaitu yang berkaitan dengan kesabaran jiwa dalam menahan diri dari
berbagai keinginan tabiat dan tuntutan nafsu.32
Kefakiran menempati maqâm yang ketiga dalam struktur
maqâmât-nya Imam al-Ghazali, sedangkan al-Qushairi menempatkan
zuhud dalam maqâm yang ketiga, zuhud dalam maqâmât-nya Imam al-Ghazali berada dalam tingkat yang keempat. Al-Qushairi tidak memakai kefakiran dalam maqâmât-nya. Kefakiran dalam pandangan al-Ghazali diartikan sebagai ketak-tersedianya apa yang dibutuhkan oleh seseorang. Dalam hal ini zuhud diartikan sebagai tahap menjauhkan diri dari hingar-bingar kehidupan dunia dan lebih memilih kehidupan akhirat.
Pada maqâm yang kelima al-Ghazali menempatkan tawakkal yang berarti menyerahkan dan mempercayakan urusan kepada Allah dalam segala gerak dan diamnya setelah melakukan usaha
30 Ibid,192. 31 Ibid., 194. 32 Ibid., 198.
184
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman
sebelumnya.33 Sedangkan tawakkal dalam maqâmât al-Qushairi
berada dalam maqâm yang keempat. Maqâm keenam, dalam pandangan Ghazali adalah cinta Ilahi (mahabbah) menurut al-Ghazali mencintai sesuatu itu harus dilandasi dengan landasan mencintai Allah. Maqâm ridha menempati struktur maqâm yang terkahir bagi keduanya, ridha merupakan puncak kecintaan yang diperoleh seorang sufi setelah menjalani proses ‘ubudiyyah yang
panjang kepada Allah SWT.34
Dari uraian di atas, bisa diidentifikasi bahwa antara tokoh-tokoh tasawuf itu berbeda-beda dalam menentukan struktur dan memberi makna maqâmât-nya. Al-Qusyairi memiliki 6 tingkatan sedangkan al-Ghazali mempunyai 7 tingkatan maqâmât kedua-duanya memulai dan mengakhiri maqâmât-nya dengan taubat dan ridha.
Di samping istilah maqâmât terdapat pula dalam literature tasawuf dikenal juga istilah ahwâl. Maqâmât diperoleh manusia dengan usaha manusia itu sendiri yang tidak berubah, sedangkan ahwâl tidak diperoleh dari usaha manusia tetapi merupakan anugerah Allah. Ahwâl merupakan keadaan mental yang hadir secara otomatis tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan, seperti perasaan senang, sedih, perasaan takut dan lain-lain. Ahwâl yang biasa terdapat dalam tasawuf adalah takut, tawadu’, taqwa, ikhlas,
rasa berteman, gembira, dan syukur.35
Meskipun ahwâl termasuk anugerah dari Allah tapi ia tidak datang dengan sendirinya. Ia butuh latihan-latihan dan perjuangan seperti apa yang di sebutkan dalam pembahasan maqâmat di atas. Oleh karena itu maqâmât dan ahwâl adalah dua keadaan yang saling terkait. Semakin tinggi maqâm sesorang ia akan berada pada kondisi hâl yang lebih tinggi pula.
Seperti halnya maqâm, jumlah dan formasi hâl juga berbeda-beda dikalangan para sufi. Dari kesekian banyak nama dan sifat hâl
33 Ibid., 199-200.
34 Rifa’i, Filsafat Tasawuf, 217.
185
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman yang dikenal dalam dunia tasawuf, ada beberapa yang terpenting, yakni: khawf, sikap mental merasa takut kepada Allah. Raja’, yaitu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia Ilahi; Syawq, yaitu kondisi kejiwaan yang menyerupai mahabbah, yaitu rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta sejati kepada Allah; dan yang terakhir adalah uns, yaitu terpusatnya ekspresi ruhani
kepada Allah.36 Selain itu, tingkatan ahwâl juga terbagi pada
tingkatan khawf, tawadhdhu’, taqwa, ikhlas, syukr, dan mutma’innah.
E. Tasawuf ‘Amali dan Sinergitas Sosial
Setidaknya sampai abad ke-4 H., orientasi dan pembahasan tasawuf pada masa itu masih seputar dasar-dasar moralitas dan perilaku. Tasawuf erat hubugannya dengan ajaran-ajaran tentang klasifikasi jiwa, hati, macam-macam kelemahan dan penyakit daripada keduanya, serta penyikapan dan pengobatan terhadap keduanya. Kaum sufi melihat manusia sebagai makhluk jasmani sekaligus rohani, sehingga wujud kepribadiannya bukan hanya kualitas material, tapi juga kualitas spiritual yang hidup dan dinamis. Manusia adalah jasad dan ruh, suatu entitas yang satu dan utuh, tidak terpisah. Sebab jika terpisah, maka tidak lagi disebut sebagi manusia. Oleh sufi pada kelompok ini hidup kerohanian diterjemahkan sebagai usaha mengalahkan tarikan hawa nafsu yang selalu bersemayam dalam diri manusia untuk suatu pencapaian yang sempurna.
Para tokoh dari aliran tasawuf ini, di antaranya adalah Hari>s al-Muh}a>sibi (w. 243 H.), al-Sirri al-Saqat}i (w. 257 H.), al-Kharra>z (w. 286 H.), Sahl al-Tust}u>ri> (w. 293 H.) dan yang terkenal sebagai pembaharunya al-Ghaza>li> (w. 505 H.) yang mampu membakukan masalah-masalah moral Islam dengan analisis sufistik dan
mengkompromikan antara shari>’at dan h}aqi>qa>t. Terdapat tiga
determinan yang dikenal dikalangan sufi tentang Islam, yaitu shari>’ah, t}ari>qah dan h{aqi>qah. Hal ini berarti tari>qah merupakan
186
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman media konvergensi shari>’ah dan h}aqi>qah dan lebih dikenal dikalangan sufi akhla>qi>>.
Pokok-pokok ajaran tasawuf akhla>qi>, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Takhalli>>
Tah}alli> artinya membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, juga maksiat lahir dan batin. Menurut al-Ghaza>li>, sifat-sifat tercela tersebut adalah marah, dendam, dengki, kikir, sombong dan semua yang mendorong pada keburukan diri manusia, dalam terminologi
kitab ihya’ disebut al-muhlika>t.37
Tujuan dari proses takhalli>> ini adalah bersihnya diri, baik
badan dan hati dari segala sesuatu yang memiliki potensi negatif, sehingga diri tersebut siap untuk ber-tah}alli>>, yakni diisi dengan sifat dan perbuatan yang baik. Al-Ghaza>li> mengatakan bahwa tujuan dari takhalli>> adalah tercapainya kesempurnaan diri dengan berfungsinya daya-daya manusia yang terkait dengan keutamaan-keutamaan hidup (al-fad}a>il), serta tidak berfungsinya daya-daya yang terkait dengan keburukan-keburukan (al-radha>il). Jadi intinya, takhalli> adalah upaya penyucian diri (tazkiyyat al-nafs) dari segala bentuk keburukan, sehingga diperoleh kesempurnaan hidup yang hakiki.
2. Tah}alli>
Setelah melakukan proses takhalli>, sufi atau sa>lik (murid sufi) berupaya mengisi diri dengan sifat dan perbuatan baik, disebut dengan tah}alli>, yakni berusaha agar setiap gerak lahir dan batin selalu
berada di atas garis-garis sha>ri’ah, terutama menyangkut kewajiban
sebagai ‘a>bid kepada ma’bu>d-nya, mengisi diri dengan sifat-sifat
keutamaan, memperbanyak amalan-amalan sunnah, seolah menjadi kewajiban yang harus selalu dijaga.
Ada dua metode yang dapat dilakukan dalam proses tah}alli>,
yakni olah lahir yang dilakukan dengan badan (jawa>rih) dan olah
37Muh}ammad Jamaluddi>n al-Qa>simi, Mau’i>dha>t al-Mu’mini>n min Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n,
187
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman batin yang dilakukan dengan hati (qalb dan ‘aql). Keduanya dilakukan secara beriringan sehingga tercipta keseimbangan antara mental dan perbuatan. Proses ini disebut pendekatan diri (mura>qabah). Pada tahap ini juga, kalangan sufi mengenal istilah maqa>ma>t (stations) dan ah}wa>l (states) serta klasifikasinya. Meskipun banyak perbedaan pendapat dalam klasifikasi maqa>m dan h}a>l, paling tidak ini menggambarkan kondisi spiritual sufi dalam menjalani fasenya. Di antaranya, tawbah, wara’, zuhd, qana>’ah, tawakkal, rid}a>, husn, wajd, qahr dan lut}f, khauf dan raja’, qabd dan bast}, uns dan
haybah, mah}abbah. 38
Untuk pemantapan dan pendalaman spiritualitas pada proses tah}alli>, maka sufi meneruskannya pada proses berikutnya yaitu tajali, berarti terungkapnya nur gaib bagi hati.
3. Tajalli>
Menurut Mustafa Zahri, tajalli> adalah lenyapnya hija>b
(penghalang) dari sifat-sifat bashariyyah (kemanusiaan). Jelasnya,
nur yang selama ini gaib, menjadi nampak atau musnahnya segala
sesuatu ketika nampak wajah Allah swt.39 Tajalli> juga dibedakannya
menjadi empat yaitu tajalli> af’a>l, asma>’, s}ifa>t dan dha>t.
Jadi, dengan proses tajalli> inilah, sufi mencapai puncak
spiritualitasnya, yakni muka>shafah, tersingkapnya perkara-perkara
gaib karena nur yang dipancarkan oleh Allah ke dalam hatinya. Nur ini memancar atas kehendak Allah pada waktu-waktu tertentu, di
mana seseorang harus selalu bersiap diri untuk menerimanya.40
Maka secara sederhana, prinsip pokok ajaran dari madzhab tasawuf akhla>qi> atau ‘amali> adalah takhalli> ‘an al-radza>’il atau
membersihkan diri dari sifat dan perbuatan buruk, kemudian tah}alli>
38HA. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999), 195, dikutip dari ‘Umar Kayla>ni>, Fi> Tas}awwuf al-Isla>m (Da>r al-Ma’a>rif, 1976), 27.
39Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), 245.
40Abu> H{a>mid Al-Ghaza>li>, al-Munqidh min al-D{ala<l (Beirut: Maktabat al-Su’biyyah, t.th.),
188
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman bi al-fadla>’il atau menghiasi diri dengan sifat dan perbuatan luhur, ini merupakan tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas elit, yaitu tajalli>, terpancarnya nur Allah dalam diri sufi, sehingga
terungkaplah hal-hal yang gaib (muka>shafah).41 Kesemua ini
digambarkan sebagai jalan spritualitas yang berpangkal pada shari>’ah (ortodoks).
Sementara, untuk mengidentifikasi dan menentukan tokoh-tokoh tasawuf ‘amali. Penulis dihadapkan pada pilihan-pilihan yang ambigu karena para sufi dalam menjalankan ajaran dan konsep tasawufnya sangat bervariasi tidak hanya satu arah. Sebagai contoh, al-Ghazali selain ia dikenal sebagai tokoh penganut tasawuf sunni
akhlaqi atau tasawuf sunni ‘amali. Ia juga dikenal sebagi tokoh
tasawuf falsafi. Berikut beberapa tokoh tasawuf menurut beberapa peneliti tasawuf bisa dikelompokkan menjadi tokoh tasawuf akhlaqi atau tokoh tasawuf ‘amali. .
1. Hasan al-Basri
Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar. Ia seorang yang mashur dikalangan tabi’in. ia lahir di Madinah pada tahun 21 H/632 M dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H/728 M. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian didasarkan pada Sunnah Nabi. Para sahabat Nabi pun mengakui kebesaran-kebesaran Hasan Al-Bashri Karir pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai di Hijaz, kemudian ia pindah ke Bashrah dan memperoleh puncak keilmuan di sana.
Ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya
Salah satu konsepnya adalah; Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram tapi yang menimbulkan rasa takut, Dunia adalah negeri tempat beramal,
189
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut, Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.
2. Imam al-Ghazali
Nama lengkap adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M/14 Jumadil
Akhir tahun 505H.42 Sejak kecil ia sudah hidup dikalangan sufi dan
banyak belajar disiplin ilmu agama kepada guru-gurunya. Kemampuannya yang terlihat sejak kecil ini mengantarnya menjadi ilmuwan besar pada masanya.
Sebagai seorang intelektual ia mengarang banyak kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Ia mendapatkan gelar “Hujjatul Islam” karena keluasan ilmunya, ia mendasarkan pokok ajaran tasawufnya pada bentuk maqâmat dan ahwal, melalui tahapan-tahapan latihan jiwa dan rohaniah tertentu, sehingga seorang akan sampai pada tingkatan “fana”, “tauhid” , “makrifat” dan “sa’adah” (kebahagiaan abadi).
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Selain kedua tokoh di atas ada tokoh lain yang dikelompokkan dalam tokoh tasawuf ‘amali. yakni:
3. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (470 - 561H)
Ia Umumnya disebut Sultan al-Auliya. Kitab karangannya lebih dari 15 yang populer di Indonesia di antaranya : Futuh Al
Ghaib, Aurad al Jilani, al Hizb al Kabir. Beliau terkenal sebagai
pendiri tharikat Qadiriyah, Melaluinya lahirlah gerakan Sufi dengan guru pembimbing spiritual. Qadiriyah adalah tharekat yang pertama ada.
190
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman 4. Abdul Qasim al-Qusyairi (376 H - 465H)
Ia Sufi Persia yang menulis kitab Risalah al-Qusyairiyah dan beberapa kitab yang isinya tentang doktrin sufi. Ia merupakan murid dari Ali Ad-Daqqaq seorang sufi terkenal. Selain belajar sufi Ia juga belajar ilmu fiqh dan kalam atas saran gurunya tersebut. Pada masanya, ia merupakan tokoh central dalam menentang ajaran sufi yang menunjukan kesatuan antara khaliq dan tuhannya. Ia juga
mengecan ucapan-ucapan ganjil dari para sufi.43 Dalam tasawufnya,
ia mencoba mengkombinasikan antara hal-hal batiniah dan hal-hal lahiriah agama, ia juga mengkompromikan antara syari’at dan hakikat, dan ia juga berpegang pada ajaran-ajran al-Qur’an dan hadith sebagimana sufi-sufi lainnya.
5. Al-Muhasibi (165H - 243 H)
Ia digelari al-Muhasibi karena suka mengadakan introspeksi. Dalam tasawufnya al-Muhasibi menjadikan al-Qur’an dan Hadith sebagai panduan utama, ia memadukan yang lahiriah dan batiniah dari agama, antara rasa dan akal, antara syari’at dan hakikat. Banyak hal yang dibicarakannya berkaitan dengan masalah tasawuf terutama dalam masalah pembentukan jiwa dan moral. Menurutnya, untuk dekat dengan tuhan senantiasa diperlukan perenungan, khawf, raja’,
Wara’ dan juga ma’rifah.
Tasawuf adalah turath yang mempunyai peran penting dalam menyelamatkan umat Islam dari gempuran modernisme yang di usung oleh Barat. Dan yang lebih menarik dari perdebatan itu adalah upaya dari sebagaian pemikir muslim yang mencoba untuk meng-islah-kan antara modernisme dan tasawuf. Bagaimana satu sama lainnya saling melengkapi, modernisme sebagai semangat kemajuan memiliki kelemahannya pada sisi spiritualitas yang menjadi domain tasawuf. Jika pada era kecemerlangan tasawuf terdahulu, aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis,
43 Rifa’i, Filsafat Tasawuf, 127.
191
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman maka dalam tasawuf ‘amali digantikan atau direformasi dengan
prinsip-prinsip Islam ortodoks.44
Tasawuf ‘amali mengalihkan pusat pengamatan dari
spirirtual-mistik-individual kepada rekonstruksi sosio-moral
masyarakat muslim.45 Tasawuf ‘amali mengakomodir sebanyak
mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan dengan semangat zaman dalam kerangka ortodoksi Islam. Proyeksi ini ditekankan terutama pada aspek moral-kemasyarakatan, atau dengan istilah gerakan sosial-antropologi. Di mana ajaran-ajaran tasawuf diintisarikan sebagai semangat spiritual-kolektif, bukan semata spritual-individual dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.
F. Kesimpulan
Dari uraian di atas ada beberapa hal yang perlu untuk dicermati di antaranya adalah bahwa tasawuf ‘amali merupakan serangkaian ritual-ritual yang didalamnya memuat nilai-nilai ibadah dalam rangka mendekatkan diri pada Allah dengan beragam cara yang bersifat dhahir atau batin. Pengalaman-pengalaman seorang sufi yang berbeda-beda dalam menempuh perjalanan sufistiknya berimplikasi terhadap variasi dan bentuk tasawuf itu sendiri. Pada akhirnya, seseorang mempunyai cara-cara dan golongan tersendiri dalam bertasawuf. Tasawuf ‘amali mengalihkan pusat pengamatan dari spirirtual-mistik-individual kepada rekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim. Tasawuf ‘amali mengakomodir sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan dengan semangat zaman dalam kerangka ortodoksi Islam. Proyeksi ini ditekankan terutama pada aspek moral-kemasyarakatan, atau dengan istilah gerakan sosial-antropologi. Di mana ajaran-ajaran tasawuf diintisarikan sebagai semangat spiritual-kolektif, bukan semata spritual-individual dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.
44 Rahman, Islam, 196-205.
45 Fazlur Rahman, “Revival and Reform”, dalam The Cambridge History of Islam, ed.
192
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman G. Daftar Pustaka
Anawati, C, Georges. Philosophy, theology, and mysticism, dalam
Legacy of Islam, ed. Joseph Schaht. Oxford: Oxford
University Press, 1974.
Ghaza>li> (al), Abu> H{a>mid. al-Munqidh min al-D{ala<l. Beirut: Maktabat al-Su’biyyah, t.th..
HAMKA. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaanya. Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1986.
Huda, Sokhi. Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah. Yogyakarta: LKiS, 2008.
Jamil. Cakrawala Tasawuf. Ciputat: Gaung Persada Press, 2004. Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta:
Erlangga, 2006.
Khaldun, Ibnu. Al-Muqaddimah. Beirut: Dar Al-Fikr, t.t,.
Lammens, H. Islam; Beliefs and Institutions. New Delhi: Oriental Bokks, 1979.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999,
Mughni, Syafiq A. Dinamika Intelektual Islam pada Abad Kegelapan. Surabaya: LPAM, 2002.
Muhammad, Sayyid Ahmad. Tasawuf Antara Al-Ghazali Dan Ibnu
Taimiyah,(Terj). Muhammad Muhson Anasy. Jakarta: Khalifa,
2005.
Nasution, Harun. Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Qa>simi (al), Muh}ammad Jamaluddi>n. Mau’i>dha>t al-Mu’mini>n min Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, terj. Mohammad Abda’i Rathomy. Bandung: Diponegoro, 1993.
193
Volume I Nomor 2 September 2018 e-ISSN 2620-5122
Mukammil : Jurnal Kajian Keislaman
Rahman, Fazlur. “Revival and Reform”, dalam The Cambridge History
of Islam, ed. P.P. Holt, et al., Vol. II, (1970).
Rifa’i, Bachrun dan Hasan, Mu’dis, Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Sarra>j (al). Abu> Nas}r. Al-Luma’, terj. Wasmukan dan Samson Rahman.
Surabaya: Risalah Gusti, 2002.
Simun. Tasawuf dan perkembangan dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 1996.
Siregar, Rivay. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1999.
Sviri, Sara. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf . Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002. Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Syukur, Aswadie. Al-Milal Wa Al-Nihal Aliran-aliran Teologi Dalam
Sejarah Umat Manusia. Surabaya: Bina Ilmu,t,t.
Taftaza>ni> (al), Abu> al-Wafa>’ Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 2003.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi orders in Islam. New York: Oxford
University Press, 1973.
Trimingham, Spencer J. The Sufi Other In Islam. London: Oxford University Press, 1973.
Voll, Jhon O. Tarekat-Tarekat Sufi, dalam Jhon L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford : Dunia Islam Modern, Jild 5, cet. I, terj., Eva Y.N dkk.