• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANESTRUS POST PARTUM SAPI POTONNG RAKYAT DAN PENANGGULANGANNYA DENGAN CUE-MATE DAN INJEKSI VITAMIN A,D, DAN E. Bayu Rosadi, Teguh Sumarsono, Darmawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANESTRUS POST PARTUM SAPI POTONNG RAKYAT DAN PENANGGULANGANNYA DENGAN CUE-MATE DAN INJEKSI VITAMIN A,D, DAN E. Bayu Rosadi, Teguh Sumarsono, Darmawan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

ANESTRUS POST PARTUM SAPI POTONNG RAKYAT DAN

PENANGGULANGANNYA DENGAN CUE-MATE DAN INJEKSI VITAMIN A,D, DAN E

Bayu Rosadi, Teguh Sumarsono, Darmawan

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek aplikasi Cue-Mate (progesteron) dan vitamin A,D,dan E terhadap masa anestrus dan fertilitas sapi betina pasca melahirkan. Dalam penelitian ini digunakan sapi induk postpartum sebanyak 30 ekor dibagi ke dalam 3 perlakuan : sapi kontrol (P0), induk yang diberi perlakuan Cue-Mate (P1), dan induk yang diberi injeksi vitamin A,D,dan E. Aplikasi Cue-Mate dilakukan pada induk pada hari ke-40 setelah melahirkan. Pemberian vitamin A,D,E dimulai 7 hari pasca melahirkan diinjeksikan intramuscular setiap 3 hari dengan dosis sesuai anjuran pabrikan. Peubah yang diamati adalah kemunculan estrus pertama pasca melahirkan dan intensitas estrus serta fertilitasnya. Setiap induk yang estrus diinseminasi. Fertilitas diukur berdasarkan keberhasilan kebuntingan dengan pemeriksaan kebuntingan menggunakan USG, 50-74 hari pasca IB. Data masa anestrus pasca melahirkan dan intensitas estrus dianalisis dengan uji t-student, sedangkan angka kebuntingan dianalisis dengan uji khi-kuadrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2 menyebabkan pemendekan masa anestrus dengan masa anestrus post partum masing masing 68,8 hari dan 72,4 hari, lebih cepat dibandingkan P0 yang mencapai rata-rata 83,4 hari. Tidak ada perbedaan pada intensitas estrus pada semua perlakuan.

(6)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Efisiensi reproduksi adalah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi usaha budidaya sapi potong. Kondisi reproduksi ideal yang diupayakan adalah mendapatkan satu anak perinduk setiap 12 bulan (Ahmadzadeh et al 2011). Karena berbagai masalah yang mengganggu performans reproduksi sapi, kondisi ideal tersebut tidak selalu dapat diwujudkan. Terjadinya anestrus postpartum menyebabkan jarak beranak sapi lebih dari 12 bulan.

Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Anestrus sering merupakan penyebab infertilitas pada sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi pada sapi sesudah partus atau inseminasi tanpa terjadi konsepsi (Berandinelli, 2007). Anestrus postpartum adalah kondisi yang terjadi setelah partus, sapi gagal memperlihatkan estrus dan ovulasi.

Studi lapangan yang dilakukan di Provinsi Jambi menunjukkan bahwa sebagian besar induk sapi potong mengalami anestrus postpartum lebih dari empat bulan, bahkan dapat berkepanjangan sampai 48 bulan (Rosadi et al 2011). Kondisi anestrus dikaitkan dengan kehadiran ovarium tidak aktif, pertumbuhan folikel yang terjadi tidak memungkinkan folikel yang cukup matang untuk ovulasi (Montiel dan Ahuja, 2005).

Upaya peningkatan populasi ternak sapi terkendala belum optimalya kinerja reproduksi induk sapi betina. Masalah yang sering muncul adalah interval kelahiran yang panjang karena lamanya masa anestrus postpartum. Upaya untuk mengatasi panjangngnya masa anestrus postpartum ini dapat ditempuh dengan pemberian hormone eksogen yang dapat memicu proses fisiologi terkait aktivitas ovarium yang bertujuan munculnya estrus kembali. Upaya lain yang dapat ditempuh adalah dengan pemberian nutrient tertentu diantaranya vitamin-vitamin yang mempengaruhi aktivitas reproduksi sapi betina.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek aplikasi Cue-Mate (progesterone eksogen) dan vitamin A,D, E terhadap masa anestrus dan fertilitas sapi-sapi indukpasca melahirkan. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat efektivitas kedua metode dalam memunculkan estrus dan meningkatkaan angka kebuntingan.

(7)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Anestrus Postpartum

Anestrus postpartum merupakan suatu kondisi yang terjadi setelah melahirkan dimana betina postpartum tidak menunjukkan estrus dan ovulasi (Berardinelli 2007). Kondisi ini berkaitan dengan adanya ovarium yang inaktif, dan jika terjadi perkembangan folikel, tidak ada folikel yang menjadi cukup matang untuk ovulasi (Montiel dan Ahuja 2005). Anestrus terjadi akibat banyak faktor yang berkaitan meliputi faktor managerial, faktor fisiologi, faktor dan faktor nutrisi. Faktor-faktor ini mencakup umur, bangsa, nutrisi prepartum dan postpartum, kondisi badan saat menyusui, produksi susu, ada atau tidaknya pejantan, tertundanya involusi uteri, dystocia, dan status kesehatan umum mempengaruhi lamanya anestrus postpartum (Yavas and Walton, 2000).

Pada sapi potong, perpanjangan anestrus postpartum adalah penyebab utama betina gagal kawin kembali selama musim kawin sehingga merupakan penyebab infertilitas yang utama (Whitier et al 2008). Penelitian menunjukkan hubungan negatif antara interval postpartum terhadap estrus pertama dengan angka kebuntingan secara keseluruhan. Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor penyebab perpanjangan anestrus postpartum dan bukan oleh efek perpanjangan itu sendiri (Hess et al 2005). Di negara empat musim, kebuntingan dini pada sapi potong yang menyusui dapat tertekan secara drastis oleh proporsi betina menyusui yang tidak menunjukkan gejala siklus estrus regular (anestrus) pada awal musim kawin (Short et al., 1990).

Faktor nutrisi merupakan salah satu penyebab utama anestrus postpartum. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa sapi induk dalam periode pasca beranak yang memperoleh pakan berenersi rendah dan selalu berkaitan dengan kandungan protein yang rendah pula sehingga tidak mencukupi kebutuh-.an minimum untuk mempertahankan kondisi badannya, secara nyata akan mcnckan proses sintesis dan pelepasan hormon gonsdotropin di kelenjar pituitari, dan berakibat aktivitas oavrium akan terganggu. Implikasi nyata akibat kondisi tcrsebut adalah lebih lamanya periode anestrus postpartum dari kondisi fisiologis yang normal (Dunn et al., 1969; Stevenson dan Britt, 1980; Bearden dan Fuquay,. 1980; Kaufmann, 1981).

Lama anestrus postpartum terkait dengan masa involusi uteri pasca melahirkan. Setelah melahirkan uterus gravid harus kembali kondisi non-gravid dan siklisitas seksual harus muncul untuk mendaapatkan konsepsi. Efisiensi dari dua proses reproduksi kritis ini

(8)

bersam efsoesni kawin alam atau inseminasi buatan direfleksikan dari perkiraan interval kelahiran (Abeygunawardena dan Dematawewa, 2004). Penelitian menunjukkan bahwa involusi uteri terjadi antara 25 sampai 35 hari pasca melahirkan (Rao dan Rao, 1980; Bastindas et al, 1984; Tan et al, 1986). Kadu dan Kalkini (1976) melaporkan korelasi nyata antara waktu yang diperlukan untuk menyempurnakan involusi uterus dangan estrus pertama.

1.2. Upaya Mengatasi Anestrus Post Partum

Dari hasil penelitian Rosadi et al (2012) yang dilaksanakan di Desa Pudak teridentifikasi bahwa masalah yang menghambat keberhasilan program IB adalah kegagalan deteksi estrus (birahi) dan anestrus postpartum. Pada penelitian sebelumnya didapatkan fakta bahwa di Provinsi Jambi sebagian besar induk sapi potong mengalami anestrus postpartum lebih dari empat bulan, bahkan dapat berkepanjangan sampai 48 bulan (Rosadi et al 2011).

Deteksi estrus dan inseminasi pada waktu yang paling tepat merupakan titik kritis untuk memperoleh fertilitas reproduksi yang lebih tinggi pada sapi. Determinasi estrus yang tidak akurat meningkatkan jumlah inseminasi per kebuntingan, jarak beranak dengan inseminasi berikutnya serta interval kelahiran (Keister et al 1999). Untuk mengatasi kendala deteksi estrus yang tidak tepat dilakukan sinkonisasi estrus yaitu menyerentakkan estrus dari seluruh betina yang diprogram. Keunggulan dari metode ini adalah deteksi estrus tidak perlu dilakukan sepanjang waktu, tetapi terfokus selam 1-2 hari pengamatan, sehingga deteksi dapat dilakukan jauh lebih akurat. Metode sinkronisasi dikembangkan untuk membantu menentukan estrus dan inseminasi pada waktu yang tepat (Nebel dan Jobst 1999, Rosadi dan Sumarsono 2004).

Uji coba sinkonisasi estrus menggunakan controlled intravaginal device

release-bovine (CIDR-B) di dapatkan derajat kesentakan estrus sebesar 100%, angka kebuntingan

mencapai 58% (Rosadi et al 2012). Cue-Mate merupakan perangkat serupa CIDR-B dengan perbedaan pada bentuk. Cara penggunaan dan cara kerja perangkat ini sama dengan CIDR-B

(9)

METODE PENELITIAN Ternak

Ternak yang digunakan adalah induk yang dipelihara peternak di Kabupaten Muaro Jambi. Jumlah induk yang digunakan sebanyak 45 ekor. Kriteria ternak sapi yang akan diidentifikasi adalah induk pasca melahirkan.

Seleksi Induk dan Penilaian Kondisi Tubuh

Sebelum digunakan sapi-sapi akan diseleksi berdasarkan catatan dari petugas teknis lapangan dan keterangan dari peternak. Induk sapi betina tersebut dinilai kondisi tubuh secara umum berdasarkan Skor Kondisi Tubuh (SKT) menurut petunjuk Awaluddin dan Panjaitan (2010).

Aplikasi Cue-Mate dan Injeksi Vitamin A,D, E

Tiga puluh lima ekor induk sapi pasca melahirkan dibagi secara acak ke dalam 3 perlakuan, yaitu

P0 = induk yang tidak mendapat perlakuan tambahan

P1 = induk yang diberi perlakuan aplikasi Cue-Mate selama 9 hari mulai hari ke-40 pasca melahirkan

P2= induk yang diberi injeksi vit A, D, E (Cofavit 500, Romindo Primavetcom) setiap tiga hari @ 6 ml mulai hari ke-7 pasca melahirkan

(10)

Deteksi Estrus dan Ineminasi Buatan

Semua induk diamati kemunculan estrusnya sampai hari ke-90 pasca melahirkan Jarak antara melahirkan dengan munculnya estrus ditetapkan sebagai lama anestrus postpartum. Induk yang tidak mengalami estrus sampai hari ke-90 dianggap tidak berrespon terhadap perlakuan. Intensitas estrus diukur pada skala 1-4. Makin jelas tanda-tanda estrus, makin besar skornya. Inseminasi buatan dilakukan pada induk estrus 10 jam setelah awal estrus.

Analisiis Data

Data lama anestrus postpartum dan intensitas estrus dianalisis menggunakan uji t-student, sedangkan keberhasilan kebuntingan dianalisis menggunakan uji khi-kuadrat. Semua perhitungan statistik menggunkan perangkat lunak SPSS.

HASIL DAN PEMBAHASAN .

Kondisi Umum Sapi Induk

Kondisi umum sapi betina yang mengalami anestrus postpartum dapat dilihat dari penampilan umum eksterior tubuh yaitu dengan Skor Kondisi Tubuh. Berdasarkan petunjuk Awaluddin dan Panjaitan (2010) sapi diberi skor dengan rentang 1-5. Angka menunjukkan tingkat kurus atau gemuknya ternak, semakin gemuk semakin tinggi skornya. Secara umum tingkat kegemukan ternak menunjukkan status kesehatan dan nutrisi dari individu ternak yang dinilai. Sapi-sapi betina yang mengalami anestrus post partum mempunyai skor kondisi tubuh 2,6 ± 0,7 berkisar 2,0 sampai dengan 3,2, masuk kriteria kurus sampai sedang. Kisaran angka demikian menunjukkan bahwa sebagian besar sapi-sapi tersebut mempunyai status nutrisi suboptimal walaupun pada kisaran tersebut masih memungkinkan proses reproduksi berlangsung.

Semua induk yang dieksaminasi pada penelitian dipelihara oleh peternak dengan skala kepemilikian rendah rata-rata 2-3 ekor, ternak dikandangkan, dan diberi pakan dari hijauan yang disediakan oleh peternak. Tidak ada peternak yang menyediakan pakan tambahan selain rumput. Mengingat kondisi demikian, diduga induk-induk sapi ini mengalami kekurangan nutrisi yang penting untuk proses pemulihan pasca melahirkan dan melanjutkan kembali

(11)

proses reproduksi, dengan kembalinya pertumbuhan folikel sampai matang, ditandai dengan munculnya gejala estrus.

Kamal et al (2014) bahwa induk sapi betina SKT terlalu rendah atau terlalu tingggi cenderung mengalami anestrus lebih panjang dari 60 hari dibandingkan SKT optimal. Perubahan pada status energi yang yang ditunjukkan dengan SKT adalah faktor penting mengatur waktu sapi betina mengalami siklus setelah melahirkan (Santos et al 2009). Kekurangan pakan dan SKT rendah meningkatkan kejadian anestrus (Opsomer et al 2000). Meskipun status energi ikut menentukan kapan induk sapi betina ovulasi pertama setelah melahirkan, tampaknya faktor-faktor lain juga terlibat (Kamal et al 2014).

Anestrus Postpartum

Lama anestrus post partum dan intensitas estrus pertama post partum pada penenlitian ini tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Lama Anestrus dan Intensitas Estrus Postpartum

No Perlakuan Lama Anestrus Postpartum Intensitas estrus post

(hari) partum

1 P0 74,4 ± 5,18b 3,1 ± 0,5a

2 P1 71,5 ± 7,41b 3,1 ± 0,4a

3 P2 58,6 ± 4,93a 3,3 ± 0,4a

Keterangan: superkrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan P2 menyebabkan pemendekan masa anestrus dengan masa anestrus postpartum masing masing 58,6 hari, lebih cepat dibandingkan P0 dan P1 yang mencapai rata-rata 74,4 hari dan 71,5 hari. Penambahan vitamin A, D, E dengan injeksi pada sapi anestrus mempercepat munculnya estrus pertama setelah melahirkan. Hal ini diduga berkaitan dengan percepatan masa involusi uterus yang memungkinkan terjadinya percepatan siklus estrus karena aktivitas perkembangan folikel di ovarium dimulai. Banyak laporan menyebutkan bahwa involusi uteri terjadi antara 25-35 hari postpartum dan dipengaruhi oleh paritas, bulan melahirkan, laktasi, menyusui, berjalan, dan lain-lain (Abeygunawardena dan Dematawewa, 2004). Terdapat korelasi nyata antara waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan involusi uteri dengan interval antara melahirkan dengan estrus pertama (Kadu dan Kaikini, 1979).

(12)

Berardinelli (2007) menggambarkan anestrus postpartum sebaagai suatu kondisi dimana sapi betina gagal estrus dan ovulasi setelah melahirkan. Kondisi anestrus berkaitan dengan dengan keberaadaan ovarium inaktif, dan bahkan jika ada perkembangan folikel, tidak ada folikel yang tumbuh cukup matang untuk ovulasi (Montiel dan Ahuja, 2005). Sebagai akibatnya ovulasi tidak terjadi jika terjadi anestrus (Ahmadzadeh et al 2011). Lama anestrus post partum pada penelitian ini lebih singkat dibandingkan dengan laporan Yusran et al (1992), pada sapi Madura yang diamati selama musim kemarau dengan kondisi pakan yang relatif kurang dengan lama anestrus postpartum mencapai 110 hari.

Tidak ada perbedaan pada intensitas estrus pada semua perlakuan. Diduga tidak terdapaat perbedaan pada konsentrasi estradiol dalam darah pada saat estrus pada semua perlakuan. Perbedaan terletak pada kapan mulai siklisitas pada ovarium yang menandai perkembangan folikel yang normal sampai tahap cukup matang untuk ovulasi ditandai munculnya gejala estrus yang cukup jelas.

Mekanisme yang mengontrol anestrus postpartum terletak pada axis hipotalamus-pituitary-ovarium, dan interkasi axis dengan system syaraf pusat yang lain yang melibatkan laktasi/menyusui, metabolism dan perilaku induk (Short et al, 1990; Ahmadzadeh et al, 2011). Produksi sejumlah besar steroid oleh plasenta khususnya E2 dan progesteron selama akhir masa kebuntingan menimbulkan umpan balik negative terhadap hipotalamus menyebabkan penurunan pelepasan GnRH (Short et al, 1990) mulainya siklus ovarium yang normal postpartum utamanya diatur oleh laju pemulihan sekresi normal GnRH dan LH. Kegagalan folikel dominan postpartum untuk maturasi akhir berkaitan dengan ketiadaan pulsus GnRH dan LH yang sesuai yang diperlukan untuk maturasi akhir dan ovulasi berikutnya.

KESIMPULAN

. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan injeksi vitamin A,D, dan E menyebabkan pemendekan masa anestrus dengan masa anestrus post partum

masing masing 58,6 hari, lebih cepat dibandingkan kontrol dan insersi Cue-Mate (progesteron) yang mencapai rata-rata 74,6 hari dan 71,5 hari . Tidak ada perbedaan pada intensitas estrus pada semua perlakuan. Angka kebuntingan belum diketahui, menunggu pemeriksaan kebuntingan yang akan dilaksanakan Minggu ke-4 Oktober 2017.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

AbeygunawardenaH, and Dematawewa CMB. 2004.. Pre-pubertal and postpartum anestrus in tropical Zebu cattle. Anim Reprod Sci 82–83 : 373–387.

Ahmadzadeh A, Carnahan K, Autran C. 2011. Understanding puberty and postpartum anestrus. Proceedings Applied Reproductive Strategies in Beef Cattle September 30 – October 1, Boise, ID.

Awaluddin dan Panjaitan T. 2010. Petunjuk Praktis Pengukuran Ternak Sapi Potong. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB, Mataram.

Bastidas, P, Troconiz, J, Verde, O, Silva O..1984. Effect of suckling on pregnancy rates and call performance in Brahman cows. Theriogenology 21, 289–294.

Bearden, H. Joe dan John W. Fuquay: 1980. Applied Animal Reproduction. Reston Publishing Company, Inc. A Prentice Hall Co. Reston. Virginia.

Berandinelli J. 2007. Management Practices to Overcome Problems With Puberty an Anestrus. Proceedings Applied Reproductive Strategies in Beef Cattle.

Dunn, T.G., Ingalls, J.E., Zimmerman, D.R., dan Wiltbank, J.N. 1969. Reproduction performance of 2-year old Hereford Angus heifers as in~uenced by pre-and post calving energy intake. J. Anim. Sci. 29: 719-726.

Hess, B. W., S. L. Lake, E. J. Scholljegerdes, T. R. Weston, V. Nayigihugu, J. D. C. Molle and G. E. Moss. 2005. Nutritional controls of beef cow reproduction. J Anim Sci 83(Suppl): E90-E106.

Kadu, M.S., Kaikini, A.S., 1976. Study on postpartum oestrus in Sahiwal cows. Anim. Breed. Abstr. 46, 3283.

Kamal, MdM, Bhuiyan MdMU, Parveen N, Momont HW, Shamsuddin M. 2014. Risk factors for postpartum anestrus in crossbred cows in Bangladesh Turk J Vet Anim Sci 38: 151-156.

Kaufmann, W. 1981. The significance of using special protein in early lactation. Dalam : Protein and Energy Supply for High Production of Milk and Meat. Pergamon Press. Oxford.

Keister ZO, Denise SK, Armstrong DV, Ax RL, Brown MD. 1999. Pregnancy outcomes in two commercial dairy herds following hormonal scheduling programs.

Theriogenology 51: 1587- 96. (81): 1169-74.

Montiel, F., and C. Ahuja. 2005. Body condition and suckling as factors influencing the duration of postpartum anestrus in cattle: A review. Anim. Reprod. Sci. 85:1-26.

(14)

Nebel RL, Jobst SM. 1998. Evaluation of systematic breeding programs for lactating dairy cows: A Review. J Dairy Sci.

Opsomer G, Grohn YT, Hertl J, Coryn M, Deluyker H, de Kruif.A. 2000. Risk factors for postpartum ovarian dysfunction in high producing dairy cows in Belgium: a field study. Theriogenology 2000; 53: 841–857.

Rosadi B, Sumarsono T. 2004. Efek pemberian progesteron dan prostaglandin terhadap keberhasilan sinkronisasi estrus dan kebuntingan sapi lokal Sumatera yang terindikasi malnutrisi ringan. JIIP 12 (3): 174-181.

Rosadi B, Depison, Arsyad, Ahmadi. 2011. Kaji terap optimalisasi reproduksi sapi potong melalui penerapan protokol Ovsynch dan transfer embrio di Provinsi Jambi. Laporan Penelitian Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi.

Rosadi B. Sumarsono T. Darmawan. 2012. Fixed-time artificial insemination sapi potong dengan metode ovsynch dan modifikasinya. JIIP 16 (2): 130-138.

Santos JEP, Rutigliano HM, SaFilho MF. 2009. Risk factors for resumption of postpartum estrous cycles and embryonic survival in lactating dairy cows. Anim Reprod Sci 110: 207–221

.

Short, R. E., R. A. Bellows, R. B. Staigmiller, J. G. Berardinelli, and E. E. Custer. 1990. Physiological mechanisms controlling anestrus and infertility in postpartum beef cattle. J Anim Sci 68:799-816.

Stevenson, J.5 dan Britt, J.H. 1980. Models for the prediction of days to first ovulation based on changes in endocrine and non-indocrine traits during the first two weeks postpartum in Holstein cows. J. Anim.5ci .50: 103 -111.

Tan, H.S., Kassim, H., Mak, T.K., 1986. Reproductive performance of indigenous cattle in Malaysia. In: Nuclear and Related Techniques in Animal Production and Health. International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria. pp. 189–203.

Whittier, J. C., J. Berardinelli, and L. Anderson. 2008. Understanding puberty and postpartum anestrus. In Proceedings, Applied Reproductive Strategies in Beef Cattle. Fort Collins, CO.

Yavas, Y., and J. S. Walton. 2000. Postpartum acyclicity in suckled beef cows: A review. Theriogenology 54:25-55.

Yusran MA, L Affandhy, Rasyid A, Wijono DB. 1992. Periode anestrus post-partus sapi Madura pada musim kemarau di Pulau Madura: studi kasus pada dua desa beragroekosistem pertanian lahan kering. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Grati 2 (2): 49-55.

Gambar

Gambar 1. Perangkat Cue-Mate dan Aplikatornya
Tabel 1. Lama Anestrus dan Intensitas Estrus Postpartum

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab pendahuluan ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan penelitian, serta menerangkan alasan pengambilan topik permasalahan untuk penelitian,

Kepercayan pula akan timbul diakibatkan kemauan konsumen untuk percaya dan menyakini brand tersebut, ini sesuai pernyataan lau dan lee dalam Arista (2011, 36) bahwa

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul

Berdasarkan penenlitian ini dapat disimpulkan bahwa Senyawa 3-BM dapat disintesis melalui reaksi benzoilasi antara asam 3-amino-4-metil benzoat dengan benzoil klorida,

Proses DFD level 2 pada proses 2 adalah sebuah proses pengelolaan kelas yang ada di sistem ini di mana admin menginputkan data siswa sebagai peserta kelas

Dengan kualitas kerja yang baik diharapkan setiap karyawan mendapatkan kepuasan terhadap hasil kerja mereka, sehingga mereka dapat memberikan loyalitas yang tinggi

Kanker merupakan penyakit kompleks yang terjadi pada jaringan dan organ ketika kerusakan genetik pada sel menyebabkan mutasi pada onkogen atau gen supresor tumor yang

Fungsi ini digunakan untuk melakukan kontrol dan monitoring SLA atau waktu proses atas permohonan kredit, dimulai sejak aplikasi pertama kali diinput ke dalam sistem