• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dina Astrianai 1 Maria Komariah 1 Dian Adiningsih 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dina Astrianai 1 Maria Komariah 1 Dian Adiningsih 1"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT ODOR YANG DIPERSEPSIKAN MAHASISWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

ANGKATAN 2007 SAAT MERAWAT TIGA JENIS LUKA KRONIS Dina Astrianai1Maria Komariah1Dian Adiningsih1

1

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat ABSTRAK

Luka kronis adalah luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan. Luka kronis seperti ulkus diabetes, ulkus tekanan, dan luka kanker dirasakan sangat tidak sedap dipandang dan bau/malodor. Bau atau odor yang ditimbulkan mengganggu konsentrasi dan meningkatkan tanda-tanda vital seperti respirasi rate, heart rate, meningkatkan produksi keringat dan membuat cemas dan gelisah bagi yang merawat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan tingkat odor yang dipersepsikan mahasiswa fakultas ilmu keperawatan Universitas Padjadjaran angkatan 2007 saat merawat luka diabetes, luka dekubitus, dan luka kanker. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif komparatif. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan sampel sebanyak 10 orang masing-masing merawat 3 jenis luka. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala odor dari rentang 0-6 yang akan dipersepsikan oleh mahasiswa. Data dianalisis menggunakan uji kruskall wallis. Hasil uji dibuktikan bahwa H1 diterima yaitu terdapat perbedaan odor pada ketiga luka kronis. Berdasarkan uji kruskal wallis diketahui pula nilai rata-rata ranking odor pada setiap luka kronis. Rata-rata ranking odor untuk luka diabetes paling tinggi yaitu 21. Penurunan imunitas, abses, eksudat, jaringan nekrotik, bakteri yang lebih banyak diketahui menjadi penyebab luka diabetes mendapatkan skala odor paling tinggi. Oleh karena itu, informasi mengenai skala odor pada luka kronis perlu untuk diketahui sebelumnya oleh mahasiswa.

Kata kunci : Odor, Bau, Luka kronis.

ABSTRACT

Chronic Wounds are wounds that fail to heal with ‘standard’ therapy.Some chronic wounds such as diabetic ulcers, pressure ulcers, and fungating wounds are felt unslightly and smelly/malodours. The odor decrease the concentration and improve the vital signs such as respiration rate, heart rate, sweat production and also make anxiety and restlessness for the people who take care of it. The purpose of this research was to determine the level of odor an perceived by 2007th Nursing Faculty Student of Padjadjaran University when treating diabetic ulcer, decubitus sores and fungating wounds. This research uses comparative descriptive research method. Sampling was purposive sampling study conducted with a sample of 10 respondents for each wounds type. The Instrument used in this study is an odor scale (range 0-6) that would be perceived by students. Data were analyzed using the formula of kruskal wallis metho. Test result proved that H1 is accepted that there are differences in all

(2)

three chronics wound odor.Based on the kruskal wallis test is also known to the average rank of each odor on chronic wounds.Average rank of odor to the highest diabetic wounds compared with decubitus sores and cancer sores. Lowered immunity, abscesses, exudates, necrotic tissue, bacteria are cause diabetic wounds have the highest odor scale than any chronic wounds. Therefore, knowledge about odor scale that perceived by student are important.

Keywords: Odor, malodours, Chronic wounds

PENDAHULUAN

Salah satu ruang lingkup garapan perawat adalah membantu proses penyembuhan luka melalui perawatan luka. Terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu penyembuhan dapat dibagi menjadi dua, yaitu luka akut dan luka kronis. Luka akut adalah luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.. Luka kronis adalah luka yang belum menunjukan kesembuhan yang signifikan dalam empat minggu atau belum sepenuhnya sembuh dalam delapan minggu (Jefferson, 2011).

Sebagian besar luka kronis dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu ulkus diabetes, ulkus tekanan, dan ulkus vena (Posnett et al, 2008). Ulkus kaki diabetes merupakan suatu komplikasi yang umum bagi pasien dengan diabetes mellitus (Robertson et al, 1986). Ulkus kaki diabetes biasa terjadi karena neuropati perifer, iskemia vaskuler, dan infeksi. Klasifikasi ulkus kaki diabetes menurut Wagner 1987, yaitu grade 0 tidak ada ulkus, grade 1 ulkus superficial yang mengenai seluruh lapisan kulit tetapi tidak mengenai jaringan dibawahnya, grade 2 ulkus dalam yang menembus sampai otot dan ligamentum tanpa melibatkan otot dan abses, grade

(3)

3 ulkus dalam dengan selulitis disertai abses, grade 4 gangren terlokalisasi, dan grade 5 gangren luas yang mengenai seluruh bagian region tubuh misalnya pada kaki.

Ulkus tekanan atau luka dekubitus merupakan suatu daerah kerusakan seluler yang terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada kulit sehingga mengakibatkan iskemia tekanan maupun akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stress mekanik terhadap jaringan (Chapman dan Chapman, 1986). Luka dekubitus dapat dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu : tingkat 1 adanya eritema pada kulit setempat yang menetap, tingkat 2 adanya kerusakan pada epidermis dan dermis ditandai dengan luka lecet atau melepuh, tingkat 3 kerusakan semua lapisan kulit atau sampai jaringan subkutan dan mengalami nekrosis dengan kapasitas yang dalam, dan tingkat 4 adanya kerusakan pada ketebalan kulit dan nekrosis sampai ke jaringan otot bahkan tulang atau tendon (Suriadi, 2004)

Selain luka kronis diatas, luka kanker dikatakan pula sebagai luka kronis dilihat dari karakteristiknya yaitu sulit sembuh, sangat menyakitkan, tidak sedap dipandang, bau/malodor, dan sangat banyak memproduksi eksudat (Dennis et al, 2010). Di Indonesia prevalensi angka kanker dikatakan cukup tinggi. Menurut Dowsett (2002) memyatakan perkiraannya antara 5-10% pada pasien yang mengalami metastase kanker akan mengalami luka kanker.

Luka kronis ditandai dengan terganggunya pasokan oksigen, terganggunya pengiriman nutrisi, pengeluaran protease dan regulasi protein yang abnormal, fase proliferasi yang terlalu dini, dan 80% kasus luka kronis menunjukan perkembangan bakteri (Casey, 2012).

(4)

Teknik perawatan luka oleh perawat juga dapat meningkatkan resiko infeksi silang, seperti infeksi bakteri streptokokus β-hemolitikus, pseudomonas, dan bakteri lainnya yang memungkinkan berkembangnya bakteri yang dapat menghasilkan bau. Invasi bakteri sebenarnya dapat ditangani oleh komponen sistemik tubuh tetapi kolonisasi bakteri tidak sampai melebihi batas normal, maka dari itu teknik pencucian dan perawatan yang tepat sangat dibutuhkan. Teknik perawatan sebaiknya aseptik dan membutuhkan perhatian yang seksama saat melakukan perawatan luka (Gitarja, 2008).

Bau yang dipersepsikan perawat dari luka kronis secara fisiologis dapat menurunkan konsentrasi perawat dan membuat perasaan terburu-buru saat merawat luka. Bau yang ditimbulkan dari luka kronis dapat dipersepsikan dengan pengukuran skala malodor. Skala malodor itu sendiri mempunyai rentang dari 0-6. Skala 1 menunjukan bau sangat lemah, skala 2 bau lemah, skala 3 sedang, skala 4 bau terasa kuat, skala 5 sangat bau, skala 6 sangat sangat bau.

Pikiran atau intepretasi dari luka kronis yang ditangani perawat dapat pula menentukan respon emosi perawat. Salah satu respon nya adalah respon fight or flight. Respon ini terletak di batang otak. Kalau seseorang berada dalam keadaan tidak nyaman, hemisfer medialis hipotalamus segera mensekresikan pesan-pesan biokimiawi (katekolamin) ke dalam sirkulasi darah. Pelepasan katekolamin yang merupakan hormon pencentus stress dapat dilihat melalui tanda-tanda vital seperti peningkatan heart rate, peningkatan respirasi rate, cemas, gelisah, peningkatan produksi keringat (Atkinson, 2003).

(5)

Setelah melakukan study pendahuluan kepada mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD Angkatan 2007 yang sedang melakukan kegiatan profesi di RSUP Hasan Sadikin muncul fenomena bahwa 10 dari 10 mahasiswa yang merawat luka kronis mengaku merasa bau saat merawat pasien dengan luka kronis. Dan 7 dari 10 mahasiswa mengatakan bau yang timbul itu mengganggu konsentrasi. Dan hal tersebut berdampak ke kinerja saat bertugas, cemas, gelisah, terdapat perasaan ingin buru-buru dalam melakukan perawatan dan kadang tidak maksimal dalam merawat luka dan rasa mual yang luar biasa tak terhindarkan.

Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Perbedaan Tingkat Odor yang Dipersepsikan Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Angkatan 2007 saat Merawat Tiga Jenis Luka Kronis”.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif komparatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa angkatan A 2007 Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD yang sedang melakukan kegiatan profesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung yang merawat luka kronis berjumlah ± 60 orang.

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik purposive sampling.

(6)

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

• Mahasiswa angkatan A 2007 Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD yang

melakukan perawatan luka diabetes grade 3, luka dekubitus grade 3 dan luka kanker stadium lanjut

Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

• Mahasiswa angkatan A 2007 Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD yang sedang sakit flu.

Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat odor yang dipersepsikan mahasiswa saat merawat luka kronis. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan odor scale. Skala odor itu sendiri mempunyai rentang dari 0-6. Skala 1 menunjukan bau sangat lemah, skala 2 bau lemah, skala 3 sedang, skala 4 bau terasa kuat, skala 5 sangat bau, skala 6 sangat sangat bau. Skala ini memiliki nilai reabilitas r = 0,97 (Sucker, K,et al, 2007).

Setelah data diperoleh maka dilakukan uji Kruskal Wallis. Uji Kruskal Wallis adalah uji non-parametrik yang digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih kelompok data sampel. Dalam uji ini akan diketahui nilai rata-rata ranking odor pada setiap jenis luka kronis.

Penyusunan hipotesis dalam Uji Kruskal Wallis adalah sebagai berikut : Ho : µ1 = µ2 = µ3, Rata-rata bau pada ketiga luka sama

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel Perhitungan Uji Kruskal Wallis

Berdasarkan tabel diatas maka diketahui nilai chi-kuadrat setelah dihitung menggunakan rumus kruskal wallis adalah 115,3 yang artinya lebih besar dibandingkan t-tabel yaitu 18,307 sehingga Ho ditolak, yang berarti H1 diterima yaitu paling sedikit satu bau berbeda, rata-rata ketiga bau pada luka tidak sama.

Luka DM

Dari hasil perhitungan uji statistik kruskal wallis, luka DM merupakan luka yang mempunyai rata-rata ranking odor paling tinggi. Hal tersebut sesuai dengan data dari Dutch Nursing Home Physician (2009) yang mengatakan bahwa resiko infeksi pada luka diabetes mencapai angka 91,4%. Terdapat 5 tanda dan gejala infeksi yang umum, yaitu pus/abses, bau, eritema, terlambatnya proses penyembuhan, dan nyeri.

Bau pada luka DM merupakan tanda gejala yang biasa timbul. Timbulnya bau pada luka ini pun merupakan salah satu dari 5 tanda dan gejala terjadinya infeksi,

Luka DM Ranking DM Luka DK Ranking DK Luka Kanker Ranking Kanker Nilai Chi-Kuadrat 4 14,5 2 2 3 6 115,3 4 14,5 2 2 3 6 4 14,5 2 2 4 14,5 4 14,5 3 6 4 14,5 5 24,5 3 6 4 14,5 5 24,5 3 6 4 14,5 5 24,5 4 14,5 5 24,5 5 24,5 4 14,5 5 24,5 5 24,5 4 14,5 5 24,5 6 29,5 4 14,5 6 29,5 Total 210 82 173 Rata-rata 21 8,2 17,3

(8)

tingkat kejadiannya mencapai 14% (Rondas, 2009). Bau dari luka sebagian besar disebabkan degradasi jaringan, nekrosis, atau invasi bakteri aerob dan anaerob.

Bau yang ditimbulkan oleh luka kronis seringkali bau itu tidak dapat hilang dengan cepat seperti bau yang lainnya. Kontak yang berulang terhadap bau tetap dapat menimbulkan gejala mual muntah (Fleck, 2006). Pada saat mahasiswa merawat luka mahasiswa merasakan bau yang timbul menyebabkan rangsangan mual dan muntah. Bau ini tidak dapat teridentifikasi berasal dari bakteri aerob atau bakteri anaerob, karena untuk mengetahui lebih lanjut perlu dilakukan kultur jaringan dan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut.

Bau pada luka DM dapat pula disebabkan oleh timbulnya abses. Pada luka DM diketahui bahwa kejadian timbulnya abses/pus mencapai angka 34,4% (Rondas, 2009). Pada saat mahasiswa merawat luka DM tersebut diketahui bahwa banyak luka yang menimbulkan abses biasanya telah pecah dan terlihat cairan putih kekuningan pada luka.

Selain bau, karakteristik khas lain dari luka DM adalah sukar sembuh. Keterlambatan masa penyembuhan pada luka diabetes tingkat kejadiannya mencapai 14,2 % (Rondas, 2009). Keterlambatan penyembuhan luka disebabkan karena infeksi, suplai darah yang buruk, nekrosis, eksudat dan adanya benda asing pada luka (Suriadi, 2004). Luka diabetes memproduksi banyak eksudat akibat proses inflamasi dan merupakan manifestasi dari gangren (World Union of Wound Healing Societies, 2007). Peningkatan eksudat tersebut membuat proses penyembuhan semakin lama dan apabila tidak terkontrol dengan baik akan menyebabkan maserasi (Cutting and

(9)

White, 2002). Pada saat mahasiswa merawat luka DM ditemukan beberapa luka dalam kondisi eksudat yang berlebih dan itu dirasakan menambah bau yang timbul pada luka.

Selain eksudat, telah dikatakan diatas bahwa tempat hidup bagi bakteri yang menyebabkan bau salah satunya adalah jaringan nekrotik. Menurut Jurnal of Wound Care, 2011 angka kejadian nekrosis pada pasien dengan luka diabetes mencapai 27%, dan nekrosis merupakan port the entry untuk bakteri yang dapat menyebabkan berkembangnya bakteri anaerob yang menyebabkan bau. Bau yang kuat berhubungan dengan jaringan nekrotik atau merupakan indikasi Clostridium dan gangren yang basah(Fleck, 2006). Jaringan nekrotik dikatakan berkatian erat dengan infeksi bakteri anaerob.

Kondisi di lapangan pada kasus-kasus yang ditangani mahasiswa, ada beberapa luka yang sampai memerlukan tindakan debridement untuk meningkatkan potensi penyembuhan jaringan yang masih sehat dan membuang jaringan nekrotik. Jaringan nekrotik ini dapat dikatakan berhubungan erat dengan berkembangnya bakteri anaerob. Hal ini dapat menjadi faktor penunjang bahwa luka yang dirawat mahasiswa walaupun merupakan terbuka tetapi memungkinkan terdapat bakteri anaerob.

Oksigenasi dan perfusi jaringan yang buruk selain menimbulkan jaringan nekrotik, dapat pula menyebabkan terjadinya hipoksia yang dapat menghalangi mitosis dalam sel-sel epitel dan fibroblast yang bermigrasi, sintesa kolagen dan makrofag untuk menghancurkan bakteri. Selain faktor oksigenasi dan perfusi jaringan, faktor penurunan daya imunitas yang biasa diderita pasien diabetes menyebabkan penurunan

(10)

kemampuan leukosit dalam menghancurkan bakteri (Morison, 2003). Hal-hal tersebut merupakan resiko tinggi invasi bakteri yang melebihi kadar normal dan dapat menyebabkan infeksi dan keterlambatan proses penyembuhan. Hal ini pula yang dapat menyebabkan pada saat mahasiswa merawat luka DM dirasakan lebih bau dibandingkan saat merawat luka DK atau luka kanker.

Bau yang dihirup oleh perawat selanjutnya akan diproses oleh otak dan diintepretasikan yang kemudian akan menentukan respon emosi perawat. Salah satu respon nya adalah respon fight or flight. Respon ini terletak di batang otak. Kalau seseorang berada dalam keadaan tidak nyaman, hemisfer medialis hipotalamus segera mensekresikan pesan-pesan biokimiawi (katekolamin) ke dalam sirkulasi darah dan pesan-pesan ini bersama dengan aktivasi sistem saraf simpatik (Price, 1997).

Aktifasi saraf simpatis ini sebenarnya dapat ditekan dengan cara melatih diri untuk keluar dari emosi negatif karena emosi ini mengaktifkan saraf simpatis, lakukan tarik nafas dalam-dalam karena ini adalah salah satu cara untuk mengontrol sistem saraf otonom dan pernafasan (Wilson,L, 2008). Stress dalam tubuh dapat timbul karena ketegangan otot, maka dapat dilakukan sedikit peregangan otot saat merawat luka untuk relaksasi otot dan menurunkan kerja saraf simpatis.

Pengendalian bau ini harus direncanakan secara komprehensif oleh perawat. Selain mengobati infeksi penyebab bau, hendaknya tindakan-tindakan sederhana tidak dilupakan seperti mengganti linen tempat tidur sesegera mungkin begitu linen tersebut terkontaminasi eksudat yang merembes, segera mengganti balutan bila terdapat eksudat, menyediakan udara yang segar, perhatikan ventilasi, menggunakan

(11)

parfum atau aromaterapi, serta mendorong keluarga untuk membawa tanaman yang berbau harum. Lingkungan yang ideal dirasakan lebih efektif dibandingkan hanya memilih balutan luka yang sesuai (Morison, 2003).

Luka DK

Dari hasil perhitungan uji statistik kruskal wallis, luka DK merupakan luka yang mempunyai rata-rata ranking odor yang terkecil. Pada luka dekubitus ini terdapat mahasiswa yang mempersepsikan skala odor hanya pada skala 2 yaitu baunya slemah. Dan skala odor yang paling tinggi yang dirasakan hanya sampai skala 4 yaitu bau kuat, tidak ada yang mempersepsikan luka ini pada skala odor 5 dan 6.

Berdasarkan Dutch Nursing Home Physician (2009) resiko infeksi pada luka dekubitus mencapai angka 53%. Pada luka dekubitus diketahui bahwa kejadian timbulnya pus/abses mencapai 44%. Pus atau abses pada luka dekubitus yang dirawat mahasiswa tidak selalu timbul. Oleh karena itu pus yang merupakan tempat hidup bakteri diperkirakan jumlahnya masih sedikit, karena pus yang timbul pada luka DK juga cenderung sedikit.

Timbulnya bau itu sendiri pada luka dekubitus angka kejadiannya mencapai 12,2% (Rondas, 2009). Skala odor pada luka dekubitus dapat dikatakan berada di rentang 2 sampai 4. Mahasiswa menyatakan bau pada luka dekubitus masih dapat ditahan dibandingkan dengan bau yang ditimbulkan oleh luka lainnya.Keadaan luka yang masih dirasakan cukup baik dengan sedikit pus, sedikit eksudat dirasakan berpengaruh dalam menimbulkan bau.

(12)

Skala odor paling tinggi dirasakan pada saat mahasiswa merawat dekubitus di daerah sacrum, hal ini dapat terjadi salah satunya dapat terjadi karena terpajan bakteri dari kontaminasi fekal yang berdekatan dengan sacrum. Bila bakteri E.coli dijumpai pada tempat infeksi, E.coli akan memakai semua oksigen yang ada dan menghasilkan lingkungan yang sesuai bagi bakteri anaerob (Muliawan, 2007).

Luka Kanker

Luka kanker atau biasa disebut luka Fungating adalah tanda keganasan metastatis. Luka malignan ini berpotensi besar lebih eksudatif, hemoragik dan berbau busuk (Alvares, et al, 2007). Pasien dengan luka kanker stadium lanjut menimbulkan banyak jaringan mati, eksudat dan tentunya menimbulkan bau tak sedap (Dowsett, 2002).

Bau tidak sedap disebabkan oleh produksi asam lemak yang mudah menguap (proprionic, isobutyc, butirat, isovaleric, dan valeric). Selain itu bau tidak sedap pun dapat disebabkan oleh jaringan nekrotik dan eksudat berlebih. Luka kanker menimbulkan peningkatan eksudat dan peningkatan jaringan mati dan hal itu meningkatkan resiko infeksi (Young, 2000).

Seiring dengan peningkatan masa pada sel kanker, maka akan terjadi kehilangan vaskularisasi, pecah pembuluh darah kapiler, dan perkembangan jaringan nekrosis. Pertumbuhan sel-sel malignan mendesak pembuluh darah di sekitarnya dan membuat aliran darah terhambat sehingga terjadi hipoksia yang menyebabkan jaringan nekrotik yang retan terpajan bakteri pathogen.Keadaan seperti ini sangat memungkinkan luka

(13)

terpapar infeksi (McDonald, 2006).Keadaan seperti ini merupakan tempat hidup yang sangat digemari oleh bakteri.

Pada saat mahasiswa merawat luka kanker diketahui bahwa terdapat banyak jaringan mati terdapat pada luka kanker.Jaringan mati ini lebih banyak ditemukan dibandingkan saat merawat luka DM dan luka DK. Bakteri anaerob yang terkenal gemar hidup di jaringan mati adalah penyebab timbulnya bau pada luka. Bau yang dihasilkan bakteri Anaerob dikenal berbau tajam dan busuk.

Bau atau odor dirasakan oleh reseptor penciuman ini yang terletak di belakang hidung (Van Toller, 1994) dan diproses baik di tingkat sadar dan bawah sadar. Bau itu sendiri mempunyai kemampuan adaptasi. Secara umum diketahui bahwa apabila seseorang secara terus-menerus terpajan bau tertentu (bahkan bau yang paling tidak mengenakan), persepsi bau akan menurun dan akhirnya berhenti.

Pengendalian bau oleh perawat seperti pemilihan dressing dan memberikan lingkungan yang menunjang mengurangi bau sangatlah penting terutama untuk pasien paliatif karena secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Peningkatan kualitas hidup ini meliputi dalam hal menghadapi masalah yang terkait dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan menghilangkan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian sempurna dan pengobatan rasa sakit dan masalah lain, fisik, psikososial, dan spiritual (WHO, 2012).

SIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran dengan responden sebanyak 10 orang, dapat

(14)

disimpulkan bahwa berdasarkan uji statistik kruskal wallis dapat dibuktikan H1 diterima yaitu terdapat perbedaan bau pada ketiga jenis luka. Berdasarkan uji kruskal wallis diketahui pula rata-rata ranking odor pada ketiga luka kronis. Luka kronis yang mempunyai rata-rata ranking odor paling tinggi yaitu 21 adalah luka DM. Hal tersebut dikarenakan luka DM beresiko infeksius lebih tinggi dibandingkan luka kronis lainnya, selain itu faktor sulit sembuh pada luka DM menjadi pemicu utama berkembangnya bakteri pada luka yang kesulitan memfagosit bakteri.

SARAN

1. Bagi mahasiswa disarankan mempersiapkan diri baik mental maupun fisik sebelum merawat luka kronis. Selain itu manfaatkan fungsi fisiologis sistem penghiduan, reseptor hidung akan kelelahan bila terus distimulus bau yang sama dalam jangka waktu tertentu. Penurunan aktivasi saraf simpatis seperti tarik nafas dalam, kurangi tingkat stress pada saat merawat luka, dan melakukan sedikit peregangan otot dapat dilakukan untuk mengurangi dampak aktivasi saraf simpatis akibat bau.

2. Bagi Fakultas Ilmu Keperawatan dapat menyampaikan informasi ini sebagai pengetahuan baru untuk mahasiswa yang akan terjun ke dunia Rumah Sakit. Pengetahuan tentang palliative care pun penting untuk membangun landasan bertindak dan berfikir.

3. Untuk Rumah Sakit diharapkan dapat memfasilitasi dengan memperhatikan ventilasi ruangan, sediakan udara segar dalam ruangan, gunakan parfum atau aromaterapi bila perlu, sediakan tanaman yang dapat mengharumkan ruangan

(15)

4. Bagi dunia kesehatan disarankan hal ini dapat menjadi perhatian baru untuk diatasi.Penemuan baru mengenai dressing, obat, dan terapi alternatif diperlukan untuk mengatasi hal ini.

5. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat disempurnakan dengan melibatkan pemantauan kultur jaringan untuk memastikan bakteri pada luka, pemantauan dressing dan obat-obatan yang dikonsumsi pasien, dan perluasan sampel dapat dilakukan untuk menyempurnakan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, R, et al . 2003. Pengantar Psikologi edisi delapan jilid 2.Jakarta : Penerbit Erlangga

Casey, G.2012. Chronic Wound Healing :Leg Ulcer.

Dowsett, C.2002.Malignant Fungating Wounds : Asessment and Management.British Journal of Community Nursing.

Fleck,C.2006.Palliative Dilemmas Wound Odour.Wound Care Canada

McDonald, A, Lesage, P.2006.Palliative Management of Pressure Ulcer and Malignant Wound Patients with Advanced Illness.Journal of Palliative Medicine.

Morison MJ.2003.Manajemen Luka.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Muliawan, S.2007.Bakteri Anaerob yang Erat Kaitannya dengan Problem Klinik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Posnett, J., Franks, P.J. 2008.The Burden of Chronic Wounds in the UK. Available

online at

http://www.nursingtimes.net/nursing-practice/clinical- specialisms/wound-care/the-burden-of-chronic-wounds-in-the-uk/527138.article . (Diakses Maret 2012)

Price, S, et al. 1997. Aromaterapi bagi Profesi Kesehatan.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rondas, A, et al.2009.Definition of infection in Chronic Wounds by Dutch Nursing Home Physicians.

Setiadi. 2007 . Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Sugiyono. 2006 . Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif Dan R&D. Bandung :

Alfabeta.

Suriadi.2004.Perawatan Luka Edisi 1.Jakarta:Agung Setyo.

Sucker, K; Both,R; Bischoff, RG; Winneke, G.2007. Odor Frequency and Odor Annoyance.Part I :Assesment of Frequency, Intensity and Hedonic Tone of Environmental Odors In The Field.

Gambar

Tabel Perhitungan Uji Kruskal Wallis

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 1.14 Diagram Persentase Persepsi Pelatih Terhadap SDM Berdasarkan diagram persentase persepsi pelatih di atas maka sumber daya manusia (SDM) yang ada di Akademi

Salah satu bentuk risiko akibat tindakan pelayanan kesehatan di RS adalah kesalahan pengobatan (medication error), yang dapat berupa kesalahan identifikasi pasien, salah nama

Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia di Jakarta Yang Dipertahankan Di Hadapan Sidang Terbuka Senat Guru Besar Universitas Indonesia Dibawah

Sarana prasarana yang digunakan untuk mendukung proses kegiatan belajar mengajar, seperti ruang pelayanan, alat pembelajaran, hingga waktu pelayanan masih menjadi

Setelah selesainya pelatihan ini, para peserta diharapkan akan mempunyai ide-ide dan pemikiran baru yang lebih baik tentang bagaimana menggunakan berbagai macam tools

pembuatan materi ujian dan koreksi hasil ujian. Pengelolaan kepegawaian dilaksanakan dengan mengacu pada pola merit dan pola karier. Sistem ini dilakukan untuk mengantisipasi

Dari table di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata nilai rasio CAR (Solvability Ratio) Bank Mega Konvensional dan Bank Mega Syariah masih dianggap baik karena

Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara tehnis tata ruang ke tempat atau ke lokasi lain, maka