• Tidak ada hasil yang ditemukan

BioSMART ISSN: X Volume 7, Nomor 2 Oktober 2005 Halaman: 78-82

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BioSMART ISSN: X Volume 7, Nomor 2 Oktober 2005 Halaman: 78-82"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Halaman: 78-82

 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta ♥ Alamat korespondensi:

Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-368-21273.

e-mail: [email protected], [email protected]Alamat korespondensi:

Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail: [email protected]

Pengkayaan Pakan Nauplius

Artemia

dengan Korteks Otak Sapi untuk

Meningkatkan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan Daya Tahan Tubuh

Udang Windu (

Penaeus monodon

Fab.) Stadium PL 5-PL 18

Fed enriched

Artemia

nauplii with ox brain cortex to improve survival, growth, and stress

resistance of black tiger prawn postlarvae 5-18 (

Penaeus monodon

Fab.)

INDAH KUSUMANING TYAS, ARTINI PANGASTUTI, ABIDIN NUR

Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126

2 Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara

Diterima: 30 Maret 2005. Disetujui: 17 Mei 2005.

ABSTRACT

Natural food can improve survival rate, growth, and stress resistance of prawn larvae. One of the natural food, which passed to phase of post larvae prawn, was Artemia nauplii. The nutritional quality of Artemia nauplii was being relatively poor in EPA (Eicosapentaenoic Acid, C20:5n3) and especially DHA (DocosahexaenoicAcid, C22:6n3), therefore it was essential and common practice to enriched this live prey before given as feed to the post larvae. This research aimed to evaluate the effectiveness of fed enriched Artemia nauplii with ox brain cortex to improve survival, growth and stress resistance of black tiger prawn post larvae 5-18 (Penaeus monodon Fab.), and to evaluate the optimal concentration from ox brain cortex in Artemia nauplii to improve survival, growth, and stress resistance of black tiger prawn (Penaeus monodon Fab.). In this research, ox brain cortex was used to enrich Artemia nauplii, in various concentrations (0, 10, 20, 30)% w/v during 12 hours, further these Artemia nauplii were subjected to feed the larvae with 3 replicated. Survival, growth, stress resistance and water quality were collected during experiment. Data collected were analysed by one-way Anova and continued with Least Significant of Difference Test were done, if any difference. From this research, fed enriched Artemia nauplii with ox brain cortex were shown to have significant (P<0.05) on growth of body length and stress resistance but not significantly (P>0.05) on survival, growth of body weight, and specific growth rate of black tiger prawn post larvae. Result showed the best performing larval survival and stress resistance were fed enriched Artemia nauplii with ox brain cortex at concentration 20% w/v, while the highest growth interm of weight gain and body length were reached with fed enriched Artemia nauplii at concentration 30% w/v.

Key words:Penaeus monodon, Artemia, stress resistance, ox brain cortex.

PENDAHULUAN

Pakan alami diketahui dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan ketahanan terhadap stres beberapa jenis larva udang (Kanazawa, 1997). Nauplius Artemia digunakan sebagai makanan utama bagi banyak postlarva udang, meskipun komposisi asam lemak yang dimilikinya bervariasi (Watanabe et al., 1980), serta jumlah DHA (Docosahexaenoic Acid) sangat kecil (Dhert et al., 1993). Lemak merupakan sumber energi yang berkaitan erat dengan metabolisme selama perkembangan tahap larva (Sargent, 1995). Fungsi utama dari asam lemak esensial berhubungan dengan perannya sebagai fosfolipid. Asam lemak esensial terdapat dalam konsentrasi tinggi pada fosfolipid yang berperan penting dalam mempertahankan fleksibilitas, permeabilitas membran biologi, dan transpor lemak (Ozkizilcik dan Chu, 1994).

Leger et al. (1987) dalam Sorgeloos et al. (2001), menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi kualitas nutrisi nauplius Artemia adalah kandungan HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid) yang dimilikinya. Peningkatan kandungan HUFA dalam nauplius Artemia dilakukan dengan cara pengkayaan dengan bahan-bahan yang kaya asam lemak HUFA (Sorgeloos et al., 1985). Pada penelitian ini akan dicoba pemberian bahan yang mengandung asam lemak EPA dan DHA, yaitu bahan korteks otak sapi. DHA yang disintesis dari LNA (α -Linolenic Acid) terdapat dalam konsentrasi yang tinggi dalam korteks otak sapi (Murray et al.,1999), dan dalam lemak otak (Wasito,1992). Beberapa penelitian yang ada menggunakan alga uniseluler, fitoplankton (Harel et al., 2002), berbagai emulsi minyak ikan (Tuncer et al., 1993 ; McEvoy et al., 1996), dan mikroenkapsul dengan kandungan minyak ikan (Southgate dan Lou, 1995).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pe-ngaruh pengkayaan pakan nauplius Artemia dengan korteks otak sapi dan untuk mengetahui konsentrasi optimal dari korteks otak sapi terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan daya tahan tubuh Penaeus monodon Fab.

(2)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-April 2004 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara Jawa Tengah. Analisis proksimat dan kandungan asam lemak dalam otak sapi dilakukan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM Yogyakarta.

Cara kerja

Pemeliharaan postlarva Penaeus monodon Fab.

Penaeus monodon Fab. stadium postlarva 5 (7,09 ±

0,12 mm) dengan berat awal 0,75 mg diperoleh dari pembenihan Jepara Jawa Tengah, dan diadaptasikan selama 1 hari dalam bak fiberglass volume 360 liter yang disi dengan 250 liter air laut (salinitas 30 ppt, suhu 290C) dan pH 8,1 yang telah disaring dengan filterbag dan melalui proses ultrafiltrasi. Pemeliharaan dilakukan dalam 3 kali ulangan dengan menggunakan sistem resirkulasi air dengan kepadatan awal 6 ekor/liter postlarva (1500 ekor/bak) dan diberikan pakan nauplius Artemia yang telah diperkaya dengan korteks otak sapi. Pengaturan penggantian air laut selama pemeliharaan sebanyak 60% dari volume awal dilakukan setiap 3 hari sekali melalui proses resirkulasi air dengan debit air 7,9 detik/liter yang dilakukan sebelum pemberian pakan uji. Pakan uji diberikan 2 kali sehari pada pukul 07.00 WIB dan 18.00 WIB. Selama 14 hari pemeliharaan, postlarva juga diberikan pakan flake yaitu PL-150 dengan dosis menurut standar INVE Aquaculture (Tabel 1) sebanyak 2 kali sehari pada pukul 13.00 WIB dan 24.00 WIB.

Tabel 1. Dosis kista Artemia dan pakan flake PL-150 dari INVE Aquaculture.

Pakan flake PL-150 Artemia

Hari Umur Dosis (g/hari) H-1 PL-5 10 5 H-2 PL-6 11 5,25 H-3 PL-7 12 5,48 H-4 PL-8 13 5,73 H-5 PL-9 14 5,96 H-6 PL-10 15 6,2 H-7 PL-11 16 6,44 H-8 PL-12 17 6,68 H-9 PL-13 18 6,92 H-10 PL-14 19 7,16 H-11 PL-15 20 7,4 H-12 PL-16 21 7,64 H-13 PL-17 22 7,88 H-14 PL-18 23 8,12

Pada akhir penelitian, postlarva pada masing-masing perlakuan ditimbang untuk mengetahui rata-rata berat akhir berdasar dengan rumus menurut Weatherley (1972) dan dihitung untuk mengetahui kelangsungan hidup (Survival Rate) berdasar dengan rumus menurut Effendie (1979). Pengukuran rata-rata panjang tubuh akhir postlarva

dilakukan dengan mengambil 50 ekor postlarva pada masing-masing perlakuan dan dihitung dengan rumus menurut Effendie (1979). Untuk mengetahui laju pertumbuhan (Specific Growth Rate) dihitung berdasar rata-rata berat postlarva udang pada awal dan akhir penelitian menurut rumus Steffens (1989). Pada hari ke-13 dilakukan uji ketahanan tubuh terhadap stres pada salinitas 0 ppt dan suhu 290 C, dengan cara mengambil 20 ekor postlarva udang windu secara acak pada masing-masing perlakuan dalam 2 liter air. Pengamatan mortalitas postlarva dilakukan selama 1 jam dengan interval waktu setiap 5 menit dihitung menggunakan indeks mortalitas kumulatif/CMI (Cumulative Mortality Index) berdasarkan Rees et al. (1994).

Pengukuran kualitas air

Selama pemeliharaan dilakukan kontrol pengukuran kualitas air meliputi suhu air, kandungan oksigen terlarut, pH, dan salinitas setiap 3 hari sekali pada pukul 06.00 WIB dengan menggunakan alat DO meter, hand pH meter ketelitian 0.1, dan refraktometer ketelitian 0.1 ppt. Pengukuran amonia total dan nitrit dilakukan pada awal, tengah dan akhir penelitian pada pagi hari dengan metode kolorimetri menggunakan reagen dari E.Merck.

Penetasan kista Artemia

Kista Artemia sesuai dengan dosis menurut standar INVE Aquaculture (Tabel 1) ditetaskan selama 24 jam menurut metode Chumaidi dkk. (1990) Setelah penetasan kista Artemia selesai, aerasi dihentikan selama 15 menit. Setelah itu nauplius Artemia dan cangkangnya dipisahkan. Panen nauplius Artemia dilakukan dengan menggunakan saringan Artemia 120 mikron dan dipindahkan ke dalam botol plastik volume 1,5 liter untuk diberikan konsentrasi pakan pengkaya yaitu korteks otak sapi dengan cara mengambil jaringan korteks pada otak sapi, kemudian ditimbang lalu ditambahkan 2 ml akuades dan dihaluskan dengan blender selama 1 menit. Korteks otak sapi yang telah halus ditambahkan 100 ml air laut dan disaring dengan saringan mysis. Pengamatan ukuran dari partikel korteks otak sapi yang diberikan pada nauplius Artemia dilakukan dengan mikroskop bermikrometer. Nauplius Artemia diaerasi selama 12 jam dengan diberikan korteks otak sapi dengan konsentrasi (0, 10, 20, 30)% b/v dan ditambahkan dengan yeast sebanyak 100 ppm menurut (Rees et al., 1994).

Analisis proksimat dan asam lemak

Pada akhir penelitian dilakukan analisis proksimat dalam korteks otak sapi meliputi kadar air dengan menimbang sampel dengan menggunakan wadah krus porselain yang sudah diketahui beratnya, lalu memanaskan dalam oven pada suhu 1050 C menurut metode Thermogravimetri, kadar abu menurut metode Thermogravimetri, kadar protein menurut metode Kjeldahl dalam Sudarmadji et al. (1984), kadar lemak dengan ekstraksi menurut metode Folch (1957). Analisis asam lemak korteks otak sapi dilakukan dengan GLC (Gas Liquid Chromathography).

(3)

Analisis data

Analisis data dilakukan dengan Anava signifikansi 5%. Apabila dari hasil analisis sidik ragam diketahui adanya pengaruh yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) signifikasi 5%, sedangkan data kualitas air dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi korteks otak sapi

Hasil pengukuran diketahui bahwa ukuran partikel korteks otak sapi yaitu 15,1 ± 0,68 mikron. Dengan alasan ukuran partikel yang kecil tersebut, maka korteks otak sapi dapat langsung diberikan sebagai pakan pengkaya pada nauplius Artemia yang baru menetas. Menurut Chumaidi dkk. (1990), nauplius Artemia merupakan hewan penyaring makanan yang tidak selektif (non selective filter feeder) yang dapat memakan makanan dengan ukuran 1-50 mikron. Hasil analisis proksimat dan asam lemak dalam korteks otak sapi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis proksimat dan asam lemak dalam korteks otak sapi.

Asam lemak Berat kering (mg/100 g)

EPA (C20:5n3) 10,92

DHA (C22:6n3) 14,08

Proksimat Berat kering (%)

Lemak 52,2 Protein 51,7 Abu 7,25

Kelangsungan hidup (survival rate)

Kelangsungan hidup postlarva udang windu menunjukkan tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) dari perlakuan pengkayaan pakan nauplius Artemia dengan korteks otak sapi. Tingkat kelangsungan hidup postlarva udang windu pada stadium PL 5-PL 18 tertinggi dicapai pada perlakuan B (20% b/v) dan terendah pada perlakuan C (30% b/v). Pada perlakuan B diperoleh kelangsungan hidup postlarva udang windu rata-rata sebesar 44,80% dan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan K (43,84%), A (44,16%) dan C (43,60%) (Tabel 3.).

Tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh pada

perlakuan C lebih rendah daripada perlakuan lain, karena tidak adanya penambahan nutrisi pada pakan nauplius Artemia, khususnya EPA dan DHA yang terkandung didalam korteks otak sapi yang dikonsumsi postlarva udang windu. Hal ini didukung oleh Furuita et al. (1996), yang menyatakan bahwa kekurangan asam lemak esensial akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Peningkatan konsentrasi pengkayaan korteks otak sapi pada nauplius Artemia menjadi 30% b/v pada perlakuan C tidak menghasilkan adanya korelasi positif akan tetapi mengakibatkan penurunan tingkat kelangsungan hidup. Hal ini diduga karena kebutuhan asam lemak khususnya EPA dan DHA postlarva udang windu sudah cukup terpenuhi dengan pakan nauplius Artemia yang diperkaya dengan konsentrasi 20% b/v korteks otak sapi. Menurut Watanabe et al. (1988), kelebihan asam lemak n-3 dapat berakibat buruk seperti halnya dengan kekurangan asam lemak tersebut. Pertumbuhan panjang dan berat

Pertumbuhan panjang tubuh rata-rata postlarva udang windu menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P<0,05) pada perlakuan pengkayaan pakan nauplius Artemia dengan korteks otak sapi. Pertumbuhan panjang tubuh rata-rata postlarva udang windu stadium PL 5-PL 18 tertinggi dicapai pada perlakuan C (30% b/v) dan terendah pada perlakuan K (0% b/v). Dari perlakuan C diperoleh pertumbuhan panjang tubuh rata-rata sebesar 7,12 dan dari hasil uji BNT 5%, perlakuan tersebut berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan K (4,46), A (5,38) dan B (5,48). Perlakuan A dan B tidak berbeda tetapi berbeda dengan perlakuan K (Tabel 3).

Pertumbuhan panjang tubuh postlarva udang windu pada perlakuan A,B, dan C lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan K. Pertumbuhan panjang postlarva udang windu cenderung eksponensial, hal ini disebabkan udang windu pada stadium postlarva masih dalam tahap pertumbuhan yang akseleratif. Pertumbuhan yang pesat ini disebabkan kadar asam lemak esensial yang didapat dari pakannya dapat digunakan secara efisien untuk proses fisiologis tubuhnya seperti untuk transpor lemak.

Pertumbuhan berat

Pertumbuhan berat postlarva udang windu stadium PL 5-PL 18, tertinggi dicapai perlakuan C (30% b/v) dan terendah pada perlakuan K (0% b/v). Dari perlakuan C

Tabel 3. Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate; SR), pertumbuhan panjang (∆L) dan berat tubuh (∆W), serta laju pertumbuhan

(Specific Growth Rate; SGR) udang windu dengan pakan nauplius Artemia yang diperkaya korteks otak sapi (rata-rata ±cv).

Perlakuan (%; b/v) Kelangsungan Hidup (SR) (%) Pertumbuhan panjang (L)(mm) Pertumbuhan berat (W) (mg) Laju pertumbuhan (SGR) (%/hari) Indeks mortalitas kumulatif (CMI) K 43,84 ± 0,21 a 4,46 ± 0,03 c 11,12 ± 0,08 a 19,71 ± 0,03 a 149,33 ± 0,02 b A 44,16 ± 0,02 a 5,38 ± 0,04 b 11,5 ± 0,04 a 19,94 ± 0,01 a 117,66 ± 0,02 a B 44,80 ± 0,06 a 5,48 ± 0,1 b 11,69 ± 0,08 a 20,04 ± 0,03 a 112,33 ± 0,16 a C 43,60 ± 0,05 a 7,12 ± 0,03 a 12,61 ± 0,02 a 20,56 ± 0,01 a 127,67 ± 0,04 a

Keterangan: huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan. K: nauplius Artemia

tanpa diperkaya korteks otak sapi. A: nauplius Artemia yang diperkaya 10% korteks otak sapi. B: nauplius Artemia yang diperkaya 20% korteks otak sapi. C: nauplius Artemia yang diperkaya 30% korteks otak sapi.

(4)

diperoleh pertumbuhan berat rata-rata sebesar 12,61 dan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan K (11,12), A (11,5) dan B (11,69) (Tabel 3.).

Pertumbuhan berat postlarva udang windu pada semua perlakuan lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan kontrol. Pertumbuhan berat postlarva udang windu masih memberikan respon positif seiring dengan peningkatan konsentrasi pengkayaan menjadi 30% b/v, meskipun secara statistik pertumbuhan berat postlarva udang windu tidak berbeda nyata dengan konsentrasi pengkayaan. Dari pengamatan pada perlakuan C, postlarva udang windu cenderung mempunyai tubuh yang lebih gemuk dibandingkan perlakuan lain, walaupun mempunyai panjang tubuh yang relatif sama dengan perlakuan lain. Laju pertumbuhan (specific growth rate)

Hasil analisis sidik ragam pada laju pertumbuhan postlarva udang windu menunjukkan tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) perlakuan pengkayaan pakan nauplius Artemia dengan korteks otak sapi. Pada postlarva udang windu yang diberi pakan nauplius Artemia, laju pertumbuhan tertinggi (Tabel 5) postlarva udang windu stadium PL 5-PL 18, dicapai pada perlakuan C (30% b/v) dan terendah pada perlakuan K (0% b/v). Dari perlakuan C diperoleh laju pertumbuhan rata-rata sebesar 20,56%/hari dan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan K (19,71%/hari), A (19,94%) dan B (20,04%/hari) (Tabel 3.).

Adanya peningkatan konsentrasi pengkayaan pada nauplius Artemia tidak menghasilkan peningkatan laju pertumbuhan (SpecificGrowthRate) pada postlarva udang windu. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh pendeknya periode pemeliharaan sehingga perlakuan belum cukup mempengaruhi pertumbuhan postlarva udang windu. SGR yang dihasilkan berkisar antara 19.71%/hari-20.56%/hari. Kemungkinan lain, kondisi tempat pemeliharaan dan kualitas dari postlarva udang juga berpengaruh.

Ketahanan tubuh terhadap stres

Nilai indeks mortalitas kumulatif/Cumulative Mortality Indeks (CMI) menunjukkan bahwa perlakuan pengkayaan pakan nauplius Artemia dengan korteks otak sapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap ketahanan tubuh postlarva udang windu. Ketahanan tubuh postlarva udang windu stadium PL 5-PL 18, tertinggi dicapai perlakuan B (20% b/v) dan terendah pada perlakuan K (0% b/v). Dari perlakuan B, diperoleh indeks mortalitas kumulatif terendah rata-rata yaitu 112.33 dan dari hasil uji BNT 5% perlakuan tersebut berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan K (149.33), tetapi tidak berbeda dengan perlakuan A (117.66) dan C (127.66). Perlakuan A dan C tidak berbeda tetapi berbeda dengan perlakuan K (Tabel 3.). Ketahanan tubuh yang lebih tinggi terhadap kondisi stress dapat digunakan sebagai acuan terhadap kondisi fisiologis maksimum dari postlarva, dalam hal ini yang dimaksud adalah postlarva mempunyai kemampuan beradaptasi pada kondisi yang buruk, misal adanya perubahan dalam salinitas air.

Mortalitas kumulatif (Gambar 1) postlarva udang windu pada perlakuan A, B, dan C lebih rendah dibanding perlakuan K. Jumlah postlarva udang pada perlakuan A, B,

dan C mempunyai kemampuan bertahan hidup lebih lama dalam salinitas 0 ppt dibanding pada perlakuan K. Hal ini menggambarkan adanya pengaruh nyata dari pakan nauplius Artemia yang diperkaya korteks otak sapi terhadap peningkatan daya tahan tubuh dari postlarva udang windu. 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Waktu (menit) m or tal it as k um u la ti f (e k or ) K-0% A-10% B-20% C-30%

Gambar 1. Mortalitas kumulatif postlarva udang windu selama 1 jam pengamatan dalam salinitas air 0 ppt.

Dalam perlakuan B, postlarva udang windu memiliki daya tahan tubuh yang lebih tinggi daripada perlakuan lain dalam uji tes stres selama 1 jam pengamatan dalam salinitas air 0 ppt. Penambahan EPA dan DHA dalam korteks otak sapi pada nauplius Artemia yang dikonsumsi postlarva udang windu pada perlakuan B mampu mendukung kondisi fisiologis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kemampuan kondisi ini berhubungan dengan kemampuan organ yang berfungsi sebagai osmoregulator. Pada perlakuan C, postlarva udang windu memiliki daya tahan tubuh yang menurun. Hasil ini didukung juga oleh Rees et al. (1994), bahwa pemberian HUFA yang sangat tinggi pada pakan dapat mempengaruhi keseimbangan antara fungsi fisiologis dan aktivitas yang berhubungan dengan pertumbuhan misalnya proses pergantian kulit dan faktor ketahanan terhadap stres merupakan indikator yang lebih baik untuk mengetahui standar kualitas postlarva udang dibandingkan dengan laju pertumbuhan.

Kualitas air

Hasil pengukuran kualitas air disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis kualitas air media pemeliharaan postlarva udang windu.

Parameter Rata-rata kisaran

Salinitas (ppt) 30-31 pH 8-8,1 Suhu (0 C) 31,5-33,1 O2 (ppm) 5,70-6,71 Amonia total (ppm) < 1 NO2 (ppm) < 0,8

(5)

Salinitas air pemeliharaan akan mempengaruhi kondisi fisiologis dari postlarva udang windu. Apabila terjadi perubahan salinitas, maka postlarva akan menjalankan mekanisme osmoregulasi untuk menjaga keseimbangan cairan tubuhnya. Dalam penelitian ini, salinitas air dibuat konstan pada salinitas 30-31 ppt, sehingga masih layak untuk pemeliharaan postlarva udang windu.

Nilai pH air media pemeliharaan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup postlarva udang windu. Estepa (1992) menyatakan bahwa kisaran pH optimal untuk budidaya udang adalah 7,5-8,5, sedangkan dalam penelitian ini, pH air berkisar antara 8-8,1, sehingga masih layak untuk pemeliharaan postlarva udang windu.

Suhu air mempunyai pengaruh langsung terhadap laju metabolisme udang dan juga dapat mempengaruhi kelarutan gas oksigen. Semakin tinggi suhu air, maka laju metabolisme akan meningkat namun kelarutan gas oksigen akan menjadi menurun. Pada penelitian ini, suhu air media pemeliharaan postlarva udang windu dipertahankan pada suhu 290C dengan menggunakan alat pengatur suhu (heater), akan tetapi pengaruh suhu di sekitar lingkungan luar bak menyebabkan suhu air media pemeliharaan juga meningkat sampai 33,10 C.

Kandungan oksigen terlarut yang tinggi akan mendukung pertumbuhan yang normal. Dalam penelitian ini, kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5,70-6,71 ppm. Nilai ini masih berada dalam kisaran layak untuk pertumbuhan postlarva udang windu.

Amonia total dan nitrit dalam air merupakan hasil penguraian bahan organik yang berasal dari sisa makanan atau sisa metabolisme dari organisme. Dari hasil pengukuran, kadar amonia selama penelitian mempunyai kisaran nilai dibawah 1 ppm. Nilai kandungan nitrit selama penelitian dibawah 0,8 ppm. Nilai amonia dan nitrit yang cukup tinggi selama penelitian dapat dikurangi pengaruhnya dengan adanya proses penggantian air dengan sistem resirkulasi terus-menerus.

KESIMPULAN

Pengkayaan nauplius Artemia dengan korteks otak sapi berpengaruh nyata (P< 0,05) terhadap pertumbuhan panjang tubuh dan daya tahan tubuh, tetapi tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan berat, dan laju pertumbuhan postlarva udang windu. Pengkayaan pakan nauplius Artemia dengan konsentrasi 20% b/v korteks otak sapi menghasilkan tingkat kelangsungan hidup dan daya tahan tubuh terbaik, sementara pertumbuhan tertinggi meliputi berat dan panjang tubuh dicapai pada pengkayaan pakan nauplius Artemia dengan konsentrasi 30% b/v korteks otak sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Chumaidi, S., I. Yunus, M. Sahlan R. Utari, A. Prijadi, P. Imanto, Hartati, Bastiawan, Z. Jangkaru, dan R. Arifudin. 1990. Pedoman Teknis

Budidaya Pakan Alami Ikan dan Udang. Jakarta: Departemen

Pertanian.

Dhert, P., P. Sorgeloos, and B. Devresse. 1993. Contribution toward a specific DHA enrichment in the live food Brachionus plicatilisand Artemia sp. In: Reinertsen, H., L.A. Dahle, L. Jorgensen, and K. Tvinnereim (eds). Proceeding of The First National Conference of

Fish Farming Technology. Rotterdam: Comittee ofthe First National

Conference of Fish Farming Technology.

Effendie, M.I.1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.

Estepa, F.P. 1992. Shrimp seed production at SEAFDEC/AQD. In:

Villegas, C.T., Castanos, M.T.,and Lacierda, R.B (eds). Proceedings

of the Aquaculture Workshop for SEAFDEC/AQD Training Alumni.

Iloilo: SEAFDEC Aquaculture Departement.

Folch, J., M. Lees, and G.M. Sloane-Stanley, 1957. A simple method for the isolation and purification of total lipids from animal tissue.

Journal of Biological Chemistry 226: 497-509.

Furuita, H., M. Takeuchi, M. Toyota, and T. Watanabe. 1996. EPA and DHA requirement in early juvenile red sea bream using HUFA enriched Artemia nauplii. Aquaculture 62 (2): 246-251.

Harel, M., W. Koven, I. Lein, Y. Bar, P. Behrens, J. Stubblefield, Y. Zohar, and A.R. Place. 2002. Advanced DHA EPA and ARA enrichment materials for marine aquaculture using single cell heterotrophs. Aquaculture 213: 347-362.

Kanazawa. 1997. Effects of docosahexaenoic acid and phospholipids on stress tolerance of fish. Aquaculture 155: 129-134.

McEvoy, L.A., J.C. Navarro, J.G. Bell, and J.R. Sargent. 1996. Two novel Artemia enrichment diets containing polar lipid. Aquaculture 144: 339-352.

Murray, R.K., D.K. Granner, P.A. Mayes, and V.W. Rodwell. 1999.

Biokimia Harper. Edisi 24. Jakarta: Penerbit EGC.

Ozkizilcik, S., and F.L.E. Chu. 1994. Evaluation of omega-3 fatty acid enrichment of Artemia naupli as food for striped bass Morone saxatilis larvae. Journal of World Aquaculture Society 15 (1): 147-154.

Rees, J.F., K. Kure, S. Piyatiratitivorakul, P. Sorgeloos, and Menavesta. 1994. Highly unsaturated fatty acid requirement of Penaeus monodon post larvae: anexperimental approach based on Artemia enrichment. Aquaculture 122: 193-207.

Sargent, J.R. 1995. Origin and function of egg lipids; nutritional implications. In: Bromage, N.R. and R.J. Robert, (eds). Broodstock

Management Egg and Larval Quality. Oxford: Blackwell.

Sorgeloos, P., P. Dhert, and P. Candreva. 2001. Use of the brine shrimp, Artemia sp. in marine fish larviculture. Aquaculture 200: 147-159. Sorgeloos, P., P. Leger, Millamena, and K.L. Simpson. 1985. International

study on Artemia XXV factors determining the nutritional effectiveness of Artemia, the relative impact of chlorinated hydrocarbons and essensial fatty acid. Journal of Exp. Marine Biology and Ecology 93: 71-78.

Southgate, P.C and D.C. Lou. 1995. Improving the n-3 HUFA Composition of Artemia using Microcapsules Containing Marine Oil.

Aquaculture 134: 91-99.

Steffens, W. 1989. Principles of Fish Nutrition. London: John Wiley & Sons.

Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk

Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty

Tuncer, H., R.M. Harrel, and T. Chai. 1993. Beneficial effects of N-3 HUFA enriched Artemia as food for larval palmetto bass (Morone saxatilis x M.chrysops). Aquaculture 110: 241-359.

Wasito. 1992. Patologi Nutrisi Bahan Ajaran. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi

Watanabe, T., F. Oowa, C. Kitajima, and S. Fujita. 1980. Relationship between dietary value of brine shrimp Artemia salina and their contents of n-3 highly unsaturated fatty acid. Bulletin Japan Society Science Fish 46 (1): 35-41.

Watanabe, T., T. Takeuchi, A. Kanazawa, C.Y. Cho, and M. Furuichi, 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo: JICA Textbook The General Aquaculture Course.

Weatherley, A.H. 1972. Growth and Ecology of Fish Population. London: Academic Press.

Gambar

Tabel 1. Dosis kista Artemia dan pakan flake PL-150 dari INVE  Aquaculture.
Tabel 2. Hasil analisis proksimat dan asam lemak dalam korteks  otak sapi.
Gambar 1. Mortalitas kumulatif postlarva udang windu selama 1  jam pengamatan dalam salinitas air 0 ppt

Referensi

Dokumen terkait

Pengetahuan yang dmlk seseorang dpengaruh oleh berbaga hal 5 , yatu: 1) Penddkan.Tngkat.. penddkan seseorang akan membantu orang tersebut untuk lebh mudah menangkap

Hasil analisis uji DMRT 5% menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang terjadi antara varietas, galur dengan berbagai konsentrasi BP-1 terhadap rata-rata bobot 1000

Kitadin dalam meningkatkan pendapatan usahatani keramba di Desa Kerta Buana berada dalam kategori cukup berperan dengan skor nilai rata-rata 72,461, hal ini dikarenakan

Pengamatan secara deskriptif yaitu dengan cara melihat ada tidaknya kerusakan struktur hepar setelah pemberian perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol, menentukan

meningkatkan kemampuan berpikir kritis, 2) mengurangi miskonsepsi peserta didik pada materi Ekologi melalui penerapan e-module berbasis Problem-Based Learning.. Teknik

Nilai efisiensi pemanfaatan pakan tertinggi dihasilkan dari perlakuan C yaitu pemberian enzim papain pada pakan komersil menunjukkan nilai rata - rata tertinggi jika

tikus sawah pada sawah tanam tidak serempak dapat berlangsung secara sinambung karena selalu tersedia pakan yang mendukung untuk reproduksi, yaitu berupa padi stadia bunting

Hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini antara lain adalah : 1) Daun memiliki kemampuan rata-rata untuk membunuh nyamuk sebesar 52% dan bersifat paling efektif