• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB SATU PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB SATU PENDAHULUAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB SATU

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi sebagai hukum tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat setiap warga dan seluruh komponen kehidupan bernegara. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh suatu negara hukum harus didasarkan pada suatu peraturan

perundang-undangan.1

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Implikasi dari ayat tersebut bahwa setiap

kebijakan-kebijakan yang diputuskan harus mempunyai landasan hukum yang kuat.2 Sehingga

setiap pemberlakuan peraturan perundang-undangan merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya dan tersusun secara hirarki.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Pemberlakuannya harus merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966

1 Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, (Jakarta: CV. Teratai Publisher, 2011), hlm. 13.

2

(2)

2

dalam lampiran II Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut;

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Keputusan Presiden

6. Peraturan- peraturan pelaksana lainnya seperti:

a. Peraturan Menteri

b. Instruksi Menteri

c. Dan lain-lain-nya.3

Demikian pula halnya setelah reformasi dan setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap ditempatkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis peraturan perundang-undangan.

Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No III/MPR/2000 yang menyebutkan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut;

1. UUD 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (S)

3. Undang-Undang (UU)

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

5. Peraturan Pemerintah (PP)

3 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm. 215.

(3)

3

6. Peraturan Presiden (Perpres)

7. Peraturan Daerah (Perda).4

Dari kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut terlihat, bahwa jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap dipandang sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang penting untuk diberlakukan.

Dalam kaitan ini keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat setingkat lebih rendah dari UUD 1945, pada dasarnnya bisa dipahami dengan

mengedepankan fungsi-fungsi yang dimiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat.5

Dalam konteksnya dengan sistem norma hukum Indonesia tersebut, kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat berada di bawah UUD 1945, namun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat selain masih bersifat umum dan belum dilekatkan oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.

Tetapi, keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dihilangkan dari jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa; jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 51.

5 Fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam naskah asli UUD 1945 Pasal 3 menyebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menetapkan UUD, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan memilih presiden dan wakil presiden.

(4)

4

c. Peraturan Pemerintah

d. Peraturan Presiden

e. Peraturan Daerah

Dari sudut pandang hukum, kebijakan dari pembentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentulah suatu kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip norma hukum yang berjenjang, artinya bertentangan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 yang berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang tersebut.

Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu tidak dimasukkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan tersebut tidak banyak diperdebatkan, meskipun sangat penting bagi ketertiban hukum di Indonesia.

Padahal, tata urutan (hirarki) norma hukum sangat berpengaruh pada kehidupan hukum suatu negara, apalagi suatu negara yang menganggap dirinya sebagai negara hukum. Urutan norma hukum dari negara manapun juga termasuk Indonesia selalu berlapis-lapis atau berjenjang secara berurutan.

Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak mempunyai kejelasan apa yang menjadi pertimbangan dari pembentuk undang-undang tersebut sehingga tidak dimasukkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

Kekeliruan mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya

(5)

5

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 itu akhirnya telah disadari oleh pembentuk undang-undang. Hal ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pada tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang dimaksukannya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 banyak terdapat perubahan atau penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, salah satunya penambahan urutan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Jenis Hirarki Peraturan Perundang-undangan.

Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga disebutkan dalam konsideran adanya kekurangan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis dari susunan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-Undang/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu)

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

(6)

6

7. Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.

Dalam undang-undang tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hirarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari undang-undang.

Dari uraian di atas muncul permasalah baru, ketika ada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertentangan dengan UUD 1945 atau bertentangan dengan masyarakat umum, apa upaya hukum yang harus dilakukan ketika hal itu terjadi, kemanakah harus diuji kelayakannya, karena mengingat tidak ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Sehingga, apabila Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat bertentangan dengan UUD 1945 atau masyarakat umum, kemanakah harus mengajukan keberatannya sesuai dengan tatanan hukum perundang-undangan di Indonesia.

Dalam hal ini, terjadinya kekosongan hukum (recht vacum) pengujian

terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan salah satu jenis produk perundang-undangan di Indonesia. Sehingga perlu diteliti dan dikaji lebih lanjut mengenai hal ini, dikarena kekosongan hukum akan mengganggu sistem hukum di Indonesia.

Jika merujuk kepada hukum ketatanegaraan di Indonesia, lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Pasal 24 huruf a dan Pasal 24 huruf c UUD 1945 adalah Mahkamah Agung (MA) berwenang menguji peraturan perundangan di bawah undang terhadap

(7)

undang-7

undang dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Berarti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mungkin diuji oleh Mahkamah Konstitusi karena pada pasal tersebut tidak disebutkan kewenangannya menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat melainkan hanya menguji undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar saja. Jadi intinya, Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat karena tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Jika dilihat secara historis, pada masa orde lama dan orde baru (sebelum amandemen UUD 1945) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat diuji oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga pembuat ketetapan itu sendiri yaitu dengan cara mengeluarkan Ketetapan yang baru untuk mencabut Ketetapan yang

lama. Dalam hal ini, metode pengujian yang digunakan yaitu “legeslative review”

(pengujian lembaga legeslatif).

Apabila legeslative review diaplikasikan terhadap Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat pada saat sekarang ini, maka akan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dikarenakan menurut Undang-Undang Dasar setelah amandemen Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dapat lagi mengeluarkan produk

hukum ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan hanya bisa mengeluarkan

ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking).

Apalagi Majelis Permusyawaratan Rakyat sekarang bukan lembaga tertinggi lagi melainkan lembaga tinggi sama kedudukannya dengan lembaga tinggi lainnya

(8)

8

(Presiden, DPR, MK) sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak semena-mena mengeluarkan atau mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai kewenangan menguji Ketetapannya sendiri.

Berarti, status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sampai sekarang tidak jelas, dikarenakan tidak ada landasan hukum yang menjelaskannya untuk dijadikan pedoman dalam proses pengujiannya.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penulisan proposal skripsi ini yang menjadi pokok permasalahan adalah :

1. Bagaimanakah status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

dalam sistem perundang-undangan di Indonesia ?

2. Bagaimanakah pendapat ahli hukum tentang judicial review terhadap

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Lembaga manakah yang mempunyai kewenangan judicial review terhadap

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan

(9)

9

2. Untuk mengetahui pendapat ahli hukum tentang judicial review terhadap

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Untuk mengetahui lembaga yang berwenang melakukan judicial review

terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

1.4. Penjelasan Istilah

Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca dalam memahami judul skripsi ini, penulis menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini diantaranya adalah:

1. Judicial Review

Dalam kamus besar Bahasa Inggris, yudicial diartikan yang berhak dengan

pengadilan dan review diartikan tinjauan6.Judicial review (hak uji materil)

merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif di

hadapan konstitusi yang berlaku.7

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan

(beschikking). Pada masa sebelum Perubahan (Amandement) UUD 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan peraturan perundangan yang secara

6 John M, Echols dan Hasan Shadly, Kamus Besar Bahasa Inggris, cet XXVI, (Jakarta: PT Gramedia, 2005).

7 Dian Rositawati, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005, Materi:

(10)

10

hirarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang yang besifat

mengatur (regeling). Pada masa awal reformasi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat tidak lagi termasuk urutan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dan hanya bersifat penetapan saja.

Namun pada tahun 2011, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat kembali menjadi peraturan perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat sempat menyatakan bahwa kembali berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak serta-merta mengembalikan posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat seperti kondisi sebelumnya, dikarenakan pada era reformasi pembuatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat baru tidak akan seperti masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan undang-undang (legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dimaksud di sini menurut Penjelasan Umum (PU) Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) tahun 1960 sampai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tahun 2002 yang masih berlaku untuk saat ini.

1.5. Kajian Pustaka

Permasalahan yang berkaitan dengan judicial review (hak menguji

undang-undang) sudah banyak dikaji sebelumnya, akan tetapi kajian tentang kewenangan

(11)

11

dikaji dalam bentuk skripsi. Adapun kajian yang berhubungan dengan skripsi ini adalah:

Skripsi yang ditulis oleh Delvi Suganda mengenai “Mekanisme Judicial

Review terhadap Qanun Aceh”.8 Kesimpulan dari skripsi ini menjelaskan tentang posisi atau kedudukan Qanun Aceh dengan Peraturan Daerah (perda) setingkat atau

sederajat dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Maka, mekanisme judicial

review nya kepada Mahkamah Agung karena kewenangannya dalam menguji segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Penelitian lain adalah skripsi yang ditulis oleh Suhardi yang berjudul

“Kewenangan Menteri Dalam Negeri terhadap Perda”.9

Di dalam skripsi ini menjelaskan tentang kewenangan Menteri Dalam Negeri berhak membatalkan

peraturan daerah melalui exekutive review sehingga fungsi pengawasan pemerintah

pusat terhadap pemerintah daerah dapat terjalin dengan baik. Sebelum peraturan daerah disahkan atau diundangkan, Menteri Dalam Negeri berhak mengkaji dan menguji kelayakan peraturan daerah yang akan diundangkan oleh pemerintah daerah.

8 Delvi Suganda, Mekanisme Judicial Review terhadap Qanun Aceh, (Skripsi yang tidak dipublikasi). Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2008.

9 Suhardi, Kewenangan Menteri Dalam Negeri terhadap Perda, (Skripsi yang tidak dipublikasi). Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2010.

(12)

12

1.6. Metode Penelitian

Setiap penelitian memerlukan metode dan teknik pengumpulan data tertentu sesuai dengan masalah yang diteliti. Penelitian adalah sarana yang digunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan demi

kepentingan masyarakat luas.10

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis

normatif. Penelitian yuridis normatif (hukum normatif) adalah metode penelitian

hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.11

Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif yaitu cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan kebenarannya dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang

sifatnya khusus.12

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif di sini akan digunakan beberapa

pendekatan, yaitu :13

1). Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan

yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan judicial

review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti:

10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 3.

11 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.

12 Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2002), hlm. 23.

13 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publising, 2007), hlm. 300.

(13)

13

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan objek penelitian.

2). Pendekatan konsep (conceptual approach)

Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami

konsep-konsep tentang : kewenangan judicial review terhadap Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum kedepan tidak lagi terjadi pemahaman yang kabur

dan bersifat ambigu.14

1.6.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reasearch) yaitu

penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, kitab undang-undang, artikel dan lain sebagainya yang berkaitan dengan

kewenangan judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

sehingga ditemukan data-data yang konkrit dan akurat.

1.6.2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dari mana data itu

diperoleh.15 Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library

research), maka semua kegiatan penelitian ini dipusatkan pada kajian terhadap

14Ibid.

15 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1988), hlm. 144.

(14)

14

data dan buku-buku yang berkaitan dengan tema. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu:

a. Sumber data utama (primer)

Yaitu sumber data berupa peraturan perundang-undang yang berhubungan dengan penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Sumber data pendukung (sekunder)

Adapun sumber data pendukung diperoleh dengan membaca dan menelaah buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Contohnya, buku-buku, pandangan para pakar hukum dan konsep-konsep yang

dipaparkan, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar.16 Adapun buku-bukunya

yaitu buku-buku yang secara khusus membahas tentang Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, judicial review dan juga data yang berkaitan dengan

pokok permasalahan yang dikaji yang dapat membantu penulis melakukan

penelitian, antara lain: buku karangan Jimly Asshiddiqie judulnya Pokok Pokok

Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi dan Perihal Undang-Undang, buku

karangan Muhammad Siddiq Armia judulnya Studi Epistemologi

Perundang-Undangan, buku karangan Mohd. Mahfud MD judulnya Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu dan lain sebagainya.

16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 141.

(15)

15

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan ini penulis

mengacu kepada buku Panduan Penulisan Skripsi dan Laporan Akhir Studi

Mahasiswa penerbit Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Tahun 2010.

1.6.3. Analisa data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis untuk memecahkan masalah yang terjadi berdasarkan gambaran yang dilihat dan didengar serta hasil penelitian melalui teori berupa data-data dan buku-buku yang berkaitan dengan topik

pembahasan sehingga diberikan penggambaran mengenai kewenangan judicial

review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan analisisnya diarahkan pada pendekatan peraturan perundang-undangan.

1.7. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian ini disusun sebuah sistematika pembahasan kepada empat bab, supaya dengan mudah memperoleh gambaran secara global dan jelas, maka secara umum ditulis sebagai berikut:

Bab satu, pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab dua, membahas tentang gambaran umum tentang tinjauan teoritis terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang meliputi: pengertian dan dasar hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, bentuk-bentuk Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, kategori-kategori Ketetapan Majelis

(16)

16

Permusyawaratan Rakyat, kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Bab tiga, menjelaskan tentang judicial review terhadap ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat menurut sistem hukum di Indonesia, yaitu sistem dan

mekanisme judicial review peraturan hukum di indonesia, sejarah Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam tata hukum negara Indonesia, pendapat ahli hukum

tentang judicial review terhadap ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, studi

kritis terhadap wewenang judicial review Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Bab empat, merupakan bab penutup yang di dalamnya hanya berisikan kesimpulan dan saran- saran.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanggapan responden terhadap budaya organisasi dengan dimensi involvement, consistency, adaptability, dan mission secara keseluruhan berada

mengerjakan tugas yang diberikan secara terstruktur dan dapat melaksanakan aturan sekolah yang berlaku. Hal ini dilaksanakan dengan tujuan mendidik karakter siswa

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa banyak kasus perceraian yang terjadi di Mahkamah syariah simpang tiga redelong kabupaten bener meriah,

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kelurahan Penfui Kecamatan Maulafa mengenai tindakan warga dalam pengelolaan sampah rumah tangga dengan kategori cukup 4

Acara : Undangan Pembuktian Dokumen kualifikasi dan dokumen penawaran Tempat : Kantor Dinas Bina Marga dan Pengairan Kab. Tangerang lantai II Tanggal : 15 - 16 Oktober 2012 (Senin

Sedangkan untuk kondisi parameter pemotongan dengan suhu luaran vortex tube 14,67 o C, kepatan potong 88,39 m/min, diameter benda kerja 45 mm dan putaran poros 625 rpm

Gaya kognitif merupakan keinginan untuk mencapai prestasi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (Degeng dalam Lamba, 2006), sehingga siswa dengan gaya

Proses pembuatan tepung umbi gembili ditampilkan pada Gambar 4, tahapan pembuatan tepung umbi gembili dimulai dari sortasi dengan tujuan memisahkan gembili yang