• Tidak ada hasil yang ditemukan

Redaksi KATA PENGANTAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Redaksi KATA PENGANTAR"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga Jurnal AgriSains ini dapat diterbitkan sesuai rencana.

Jurnal AgriSains merupakan jurnal hasil penelitian bidang agrikultur yang diterbitkan oleh LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang bekerja sama dengan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali dalam setahun.

Jurnal AgriSains perdana ini menyuguhkan 3 hasil penelitian dari 3 kelompok bidang ilmu, yaitu Peternakan, Agroteknologi dan Teknologi Hasil Pertanian. Pada kelompok bidang Peternakan disajikan 4 artikel dengan tema Pengembangan Ternak Sapi di Daerah Aliran Sungai Progo, Studi Kelayakan Usaha Ternak Kambing Peranakan Etawah, Pemanfaatan Tepung Pupa Ulat Sutra Sebagai Pakan Puyuh dan Pemanfaatan Limbah Sapi dan Babi sebagai bio gas, dan pada bidang Agroteknologi dilaporkan pengembangan teknologi pembenihan kacang hijau dan jagung. Sedangkan pada bidang Teknologi

Hasil Pertanian disajikan pembuatan stick pisang, dan karak, serta evaluasi

retensi vitamin C pada jus jeruk.

Redaksi menyadari penerbitan jurnal perdana ini masih terdapat kekurangannya, oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata semoga jurnal ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Wassalam.

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga Jurnal AgriSains ini dapat diterbitkan sesuai rencana.

Jurnal AgriSains merupakan jurnal hasil penelitian bidang agrikultur yang diterbitkan oleh LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang bekerja sama dengan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali dalam setahun.

Jurnal AgriSains perdana ini menyuguhkan 3 hasil penelitian dari 3 kelompok bidang ilmu, yaitu Peternakan, Agroteknologi dan Teknologi Hasil Pertanian. Pada kelompok bidang Peternakan disajikan 4 artikel dengan tema Pengembangan Ternak Sapi di Daerah Aliran Sungai Progo, Studi Kelayakan Usaha Ternak Kambing Peranakan Etawah, Pemanfaatan Tepung Pupa Ulat Sutra Sebagai Pakan Puyuh dan Pemanfaatan Limbah Sapi dan Babi sebagai bio gas, dan pada bidang Agroteknologi dilaporkan pengembangan teknologi pembenihan kacang hijau dan jagung. Sedangkan pada bidang Teknologi

Hasil Pertanian disajikan pembuatan stick pisang, dan karak, serta evaluasi

retensi vitamin C pada jus jeruk.

Redaksi menyadari penerbitan jurnal perdana ini masih terdapat kekurangannya, oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata semoga jurnal ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Wassalam.

(4)

ISSN : 2086-7719 DAFTAR ISI

Hal

Kata Pengantar iii

Daftar Isi iv-v

PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRA (Bombyx mori)

UNTUK PAKAN PUYUH 1 - 6

(Coturnix-coturnix japonica) JANTAN

Sri Hartati Candra Dewidan J. Setiohadi

DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO

(THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE

TOWARDS BIOGAS PRODUCTION) 7 - 14

Setyo Utomo dan Vita Wahyuningsih

POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO

KULONPROGO, YOGYAKARTA 15 - 22

Nur Rasminati dan Setyo Utomo

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN

USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO

KABUPATEN KULONPROGO 23 - 30

Sundari dan Komarun Efendi

OPTIMASI PERENDAMAN DALAM LARUTAN CaCl2 TERHADAP SIFAT FISIK DAN TINGKAT

KESUKAAN STICK PISANG 31 - 39

Agus Slamet

PENAMBAHAN NATRIUM TRIPOLIFOSFAT DAN CMC (CARBOXY METHYL CELLULOSE)

PADA PEMBUATAN KARAK 40 - 49

Astuti Setyowati

VITAMIN C RETENTION AND ACCEPTABILITY OF ORANGE (Citrus nobilis var. microcarpa)

JUICE DURING STORAGE IN REFRIGERATOR 50 - 55 Chatarina Wariyah

(5)

ISSN : 2086-7719

PEMANFAATAN GULMA BABADOTAN DAN TEMBELEKAN DALAM PENGENDALIAN Sitophillus SPP.

PADA BENIH JAGUNG 56 - 67

Dian Astriani

PENGARUH KADAR AIR DAN WADAH SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH KACANG HIJAU DAN POPULASI

HAMA KUMBANG BUBUK KACANG HIJAU

Callosobruchus Chinensis L. 68 - 77 Wafit Dinarto

(6)

PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRERA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN

Sri Hartati Candra Dewi1) dan J. Setiohadi2)

Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta

e-mail : [email protected]

1)

Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta

2)

Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta ABSTRACT

This research was conducted to investigate the effect of the usage of

silk worms (Bombyx mori) pupa in rations on male quail performance. It used

120 male quails of 7 days old which were divided in to 5 treatments. Each treatment consisted of 3 replicationa, and 8 quails for eac replication. The level of silk worms (Bombyx mori) pupa meal in rations were respectively 0; 2,5; 5; 7,5; and 10%. The performances were feed consumption, ADG, feed conversion, mortality and carcass weight. This research was designed One Way Completely Randomized Design, and the data were analyzed by variance analysis and the significant results were tested by Duncan’s New Multiple Range Tesr (DMRT). The results showed that the performance of male quail were not affected by the treatment. Feed consumtion were respectively 10,77; 10,74; 10,76; 10,78 and 10,76 g/quail/day. ADG were 2,27; 2,18; 2,10; 2,16 and 2,10 g/quail/day. FFed conversions were 4,73; 4,92; 5,12; 4,97 and 5,12. Carcass weight were 69,16; 68,67; 69,15; 67,40 and 68,19 %.

It was concluded that silk worms (Bombyx mori) pupa a meal may be

substituting fish meal up to 10 % level of the total rations.

Key words : male quail (Coturnix-coturnix japonica), silk worms (Bombyx mori)

pupa meal, performance. PENDAHULUAN

Dalam memenuhi

kebutuhan protein hewani bagi masyarakat telah dilakukan usaha peningkatan produksi di bidang peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menyusun program sebagai tindak

lanjut Revitalisasi Pertanian,

Perikanan dan Kehutanan (RPPK)

tentang prospek dan arah

pengembangan agribisnis

komoditas unggulan peternakan

yaitu sapi, kambing/domba dan unggas (Anonimus, 2005). Selain komoditas unggulan perlu juga didukung dengan pengembangan

ternak lain yang mempunyai

potensi cukup baik sebagai

pemenuhan protein hewani. Salah satu jenis ternak yang cukup

potensial adalah puyuh (

Coturnix-coturnix japonica), yang dapat

menghasilkan daging maupun

telur. Puyuh betina digunakan sebagai penghasil telur dan puyuh

(7)

jantan dapat diarahkan sebagai penghasil daging.

Dalam mendukung usaha peternakan, faktor ketersediaan

pakan sangat penting untuk

diperhatikan baik kuantitas maupun

kualitasnya. Ketergantungan

komponen impor bahan penyusun ransum unggas yang semakin mahal, menyebabkan keterpurukan industri perunggasan dewasa ini. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan kehadiran dan meningkatkan produktifitas ternak perlu dilakukan upaya mencari

sumber pakan baru sebagai

alternatif bahan pakan yang dari

segi harga terjangkau tetapi

mempunyai kualitas yang baik..

Masalah pakan dapat diatasi

dengan cara pengembangan

peternakan secara integratif

dengan usaha pertanian maupun industri, sehingga dapat menekan biaya produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan

limbah industri yang dapat

digunakan sebagai bahan pakan antara lain adalah limbah industri pemintalan benang sutera.

Pupa ulat sutera (Bombyx

mori) merupakan limbah budidaya

ulat sutera dan proses pemintalan benang sutera. Kandungan protein tepung pupa ulat sutera cukup tinggi yaitu 54,9 % (Murtidjo, 1991).

Mathius dan Sinurat (2001)

mnyatakan bahwa dalam

memanfaatkan limbah pertanian maupun industri perlu diperhatikan

faktor kontinuitas ketersediaan,

kandungan gizi, kemungkinan

adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan. Oleh karena itu penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui

pengaruh penggunaan tepung

pupa ulat sutera (Bombyx mori)

dalam ransum terhadap kinerja

puyuh (Coturnix-coturnix japonica)

jantan.

MATERI DAN METODE Materi

Penelitian ini menggunakan

puyuh (Coturnix-coturnix japonica)

jantan umur 7 hari sebanyak 120 ekor. Obat-obatan yang digunakan

adalah vaksin New Castle Disease

(NCD) strain lasota, vitamin,

antibiotic dan desinfektan.

Kandang yang digunakan untuk

penelitian adalah kandang

kelompok model bertingkat, terbuat dari kayu, bamboo dan kawat strimin, sebanyak 15 buah. Ukuran kandang 50 cm x 40 cm x 30 cm, dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum.

Peralatan yang digunakan

adalah timbangan Ohaus

berkapasitas 2610 gram, dengan kepekaan 0,1 gram. Seperangkat alat untuk menyembelih puyuh.

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini tersusun dari jagung, bekatul, tepung ikan, kapur dan tepung pupa ulat sutera.

Penyusunan ransum penelitian

dibedakan atas aras tepung pupa ulat sutera pada masing-masing perlakuan yaitu 0 %; 2,5 %; 5 %; 7,5% dan 10 % untuk mensubtitusi tepung ikan.

Metode

Metode pembuatan tepung pupa ulat sutera yaitu kepompong ulat sutera dicuci dengan air bersih

kemudian dipisahkan antara

kepompong dan pupa dengan menggunakan gunting. Setelah itu

(8)

ditiriskan dan dikeringkan dengan sinar matahari, kemudian digiling menjadi tepung.

Puyuh dikelompokkan

dalam 15 kandang, sehingga tiap kandang berisi 8 ekor. Tiap kelompok perlakuan terdiri dari 3 ulangan.

Data yang diamati meliputi

pertambahan bobot badan,

konsumsi pakan, konversi pakan, persentase karkas dan mortalitas.

Rancangan penelitian yang

digunakan adalah Rancangan

Acak Lengkap (RAL) pola searah terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variansi dan apabila ada beda nyata

dilanjutkan dengan uji Duncan’s

New Multiple Range Test (DMRT) (Astuti, 1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan rata-rata per ekor selama penelitian untuk setiap perlakuan tertera pada tabel

1. Hasil analisis variansi

menunjukkan bahwa konsumsi

pakan dengan menggunakan

tepung pupa ulat sutera (Bombyx

mori) dalam ransum terdapat

perbedaan yang tidak nyata.

Konsumsi pakan dipengaruhi

beberapa faktor, antara lain umur, ukuran tubuh, palatabilitas, dan kualitas pakan yang diberikan. Konsumsi pakan yang berbeda tidak nyata tersebut karena ransum tiap perlakuan

Tabel 1. Rata-rata konsumsi pakan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0(Tp.pupa 0 %) 10,96 10,65 10,70 10,77 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 10,76 10,69 10,76 10,74 R2 (Tp.pupa 5 %) 10,75 10,76 10,76 10,76 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 10,78 10,77 10,72 10,76 R4 (Tp.pupa 10 %) 10,74 10,77 10,77 10,76

Keterangan : ns = berbeda tidak nyata disusun mendekati iso energi dan protein. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyudi (2003) dan Budi (2005) yang meyatakan bahwa pakan yang mempunyai nutrient yang relatif sama maka konsumsi pakannya juga relatif sama.

Pertambahan Bobot Badan

Rata-rata pertambahan

bobot badan (g/ekor/hari) untuk setiap perlakuan tertera pada tabel 1. Pertambahan bobot badan hasil penelitian berkisar antara 2,02 – 2,33 g/ekor/hari. Hasil analisis

variansi menunjukkan bahwa

penggunaan tepung pupa ulat

sutera (Bombyx mori) dalam

ransum berbeda tidak nyata.

Perbedaan pertambahan bobot

badan yang tidak nyata disebabkan karena kandungan nutrient dalam

ransum yang dikonsumsi

mempunyai kandungan protein dan

energi yang relatif sama.

Pertambahan bobot badan yang berbeda tidak sama ini disebabkan karena konsumsi pakan yang sama antar perlakuan. Hal ini sesuai

(9)

(1994), yang menyatakan bahwa konsumsi pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan selain jenis

kelamin, hormon, kastrasi,

Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0 (Tp.pupa 0 %) 2,26 2,23 2,33 2,27 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 2,17 2,10 2,28 2,18 R2 (Tp.pupa 5 %) 2,02 2,16 2,13 2,10 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 2,05 2,30 2,15 2,16 R4 (Tp.pupa 10 %) 2,04 2,05 2,22 2,10

Keterangan : ns = berbeda tidak nyata genetik dan jenis pakan yang

diberikan. Dengan demikian

penggunaan tepung pupa ulat

sutera (Bombyx mori) mempunyai

pengaruh yang sama dengan tepung ikan,

sehingga tepung tersebut dapat digunakan bahan pakan sebagai

alternatif yang dapat menggantikan tepung ikan.

Konversi Pakan

Konversi pakan rata-rata untuk tiap perlakuan tertera pada tabel 3. Konversi pakan hasil penelitian berkisar antara 4,59 – 5,33.

Tabel 3. Rata-rata konversi pakan setiap perlakuan Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0 (Tp.pupa 0 %) 4,84 4,77 4,59 4,73 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 4,95 5,09 4,71 4,92 R2 (Tp.pupa 5 %) 5,33 4,98 5,05 5,12 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 5,25 4,68 4,98 4,97 R4 (Tp.pupa 10 %) 5,26 5,25 4,85 5,12

Keterangan : ns = berbeda tidak nyata

Hasil analisis variansi

menunjukkan bahwa konversi

pakan antar perlakuan terdapat perbedaan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang berbeda tidak nyata juga. Konversi pakan merupakan

perbandingan antara konsumsi

pakan dan pertambahan bobot badan, sehingga apabila kedua peubah tersebut tidak beda nyata

makan konversi pakannya juga

akan berbeda tidak nyata.

Penggunaan tepung pupa ulat

sutera (Bombyx mori) dengan

hasil yang berbeda tidak nyata dengan tepung ikan, maka tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori)

dapat digunakan untuk

menggantikan tepung ikan.

Konversi pakan merupakan

nilai yang menggambarkan

kemampuan unggas untuk

(10)

Hasil penelitian ini yang

menghasilkan konversi pakan

antara 4,59 – 5,33, hasil ini lebih rendah dibandingkan pakan yang

menggunakan bahan pakan

enceng gondok. Hasil penelitian

Wahyudi (2003) yang

menggunakan tepung enceng

gondok dalam ransum puyuh

jantan menghasilkan konversi

pakan sebesar 5,68 – 7,82.

Dengan demikian penggunaan

tepung pupa ulat sutera (Bombyx

mori) lebih baik dari pada tepung

enceng gondok. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamal (1999) yang menyatakan bahwa semakin kecil konversi pakan menunjukkan bahwa ramsum yang dikonsumsi

dapat digunakan lebih efisien

dalam menghasilkan peningkatan bobot badan.

Persentase Karkas

Rata-rata persentase

karkas yang dihasilkan untuk

setiap perlakuan tertera dalam

tabel 4. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang tidak nyata pada persentase karkas puyuh jantan.

Persentase karkas merupakan

hasil yang diperoleh dari bobot karkas dibagi dengan bobot hidup dikalikan 100 %., oleh karena bobot badan berbeda tidak nyata maka persentase karkaspun juga berbeda tidak nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (1994) dan hasil penelitian Dewi (2007),

bahwa persentase karkas

dipengaruhi oleh bobot hidup dan bobot karkas, apabila bobot hidup dan bobot karkas berbeda tidak nyata maka persentase karkasnya juga berbeda tidak nyata.

Tabel 4. Rata-rata persentase karkas setiap perlakuan (%) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0(Tp.pupa 0 %) 69,51 68,90 69,06 69,16 R1(Tp.pupa 2,5 %) 68,72 68,95 68,34 68,67 R2(Tp.pupa 5 %) 68,48 69,50 69,46 69,15 R3(Tp.pupa 7,5 %) 64,93 67,13 70,16 67,40 R4(Tp.pupa 10 %) 68,01 68,60 67,97 68,19

Keterangan : ns = berbeda tidak nyata Hasil penelitian persentase karkas puyuh jantan dengan perlakuan

ransum dengan pakan yang

menggunakan tepung pupa ulat

sutera (Bombyx mori) rata-rata

berkisar antara 67,40 – 69,16 %. Hasil ini lebih baik dari persentase karkas yang menggunakan tepung gangsing yang berkisar antara 60,08 – 68,09 % (Budi, 2005). Mortalitas

Selama penelitian tidak

terjadi kematian puyuh, hal ini menunjukkan bahwa pemberian

tepung pupa ulat sutera (Bombyx

mori) dalam ransum tidak

menyebabkan kematian puyuh. Hal ini membuktikan bahwa kandungan nutrient ransum dari bahan yang disusun dengan tepung pupa ulat

sutera (Bombyx mori) mampu

memenuhi kebutuhan nitrisi puyuh jantan, dan juga tepung pupa ulat

(11)

mengandung bahan yang merugikan puyuh jantan.

KESIMPULAN

Tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dapat digunakan

dalam ransum puyuh jantan

mensubtitusi tepung ikan sampai

pada aras 10 % tanpa

mengganggu kinerja pada puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2005, RPPK : Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan

Penelitian dan

Pengembangan

Pertanian. Departemen

Pertanian. Jakarta.

Astuti, M., 1980, Rancangan

Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian I.

Fakultas Peternakan

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Budi, S. , 2005, Pengaruh Aras

Tepung Gangsing

(Sesarma reticulatum) dalam Ransum terhadap

Kinerja Burung Puyuh

(Coturnix-coturnix

japonica) Jantan. Skripsi.

Fakultas Pertanian,

Universitas Wangsa

Manggala Yogyakarta. Dewi, S. H. C., 2007, Pengaruh

Pemberian Gula dan

Insulin sebelum

Pemotongan terhadap

Kualitas Fisik Daging

Domba. Buletin Pertanian dan Peternakan Vol. 8 N0. 17.

Kamal, M. 1999, Nutrisi Ternak

Dasar. Laboratorium Makanan Ternak. Jurusan

Nutrisi dan Makanan

Ternak. Fakultas

Peternakan. Universitas

Gadjah Mada. Yogyakarta. Mathius I.W dan A.P. Sinurat,

2001, Pemanfaatan

Bahan Baku Pakan

Inkonvensional Untuk

Ternak. Wartazoa Vol. 11

No. 2 Tahun 2001. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Murtidjo, B. A., 1991, Pedoman

Beternak Ayam Broiler.

Yayasan Kanisius,

Yogyakarta.

Soeparno, 1994. Ilmu dan

Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wahyudi, A. 2003. Pengaruh

Penggunaan Tepung

Enceng Gondok

(Eichornia crassites)

dalam Ransum terhadap

Kinerja Burung Puyuh

(Coturnix-coturnix

japonica) Jantan.

Fakultas pertanian,

Universitas Wangsa

(12)

DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO

(THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION)

Setyo Utomo1) Vita Wahyuningsih2)

1)Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta 2)Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta

ABSTRACT

This research was aimed to know biogas production consist of the mixture of cattle and pigs waste within three levels. The treatment consist of 75% pigs waste; 25 % cattle waste (P1), 50% pigs waste; 50% cattle waste (P2) and 25% pigs waste; 75% cattle waste (P3). The observed variable consist of dry matter waste (DM), substrat, pH, C/N ratio, environmental and digester temperature, the maximal biogas product and the total of biogas. The research showed that the DM waste of P1 = 29,35%; P2= 25,98% and P3 = 80,88%. The DM of substrat P1 = 7,94%, P2 = 7,84% and P3 = 7,76%. pH of P1 = 7,59; P2 and P3 = 7,44. CN ratio P1 = 11,82; P2 = 10,32 and P3 = 8,81.

The avarage of digester temperature P1 = 26,160C; P2 = 26,380C and P3 =

26,280C with the environmental temperature was between 270C to 300C. The

total of biogas production within 30 days retention was P1 = 2195,20 (l/1 atm/290C); P2 = 2098,77 0C (l/1 atm/290C) and P3 = 2224,83 (l/1 atm/290C) showed the different was not significant, while the biogas production tended to be higher rather than (P1) and (P2) and the maximum biogas production reached on the 21st to 25th day.

Key words : Biogas production, Pig waste, Cattle waste, level

PENDAHULUAN

Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha

pemeliharaan ternak, rumah

potong hewan, pengolahan

produksi ternak dan lain-lain.

Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti

feses, urine, sisa makanan,

embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen dan lain-lain (Sihombing,

2000). Semakin berkembang

usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.

Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut

dengan menerapkan teknologi

pembuatan gasbio (Basuki, 1985).

Pembuatan dan penggunaan

biogas mulai digalakkan pada awal

tahun 1970-an, bertujuan

memanfaatkan bahan limbah

menjadi sumber energi lain di luar kayu bakar dan minyak tanah

(Suriawirya, 2004). Teknologi

pembuatan biogas dari kotoran ternak berpeluang menjadi solusi

(13)

ketersediaan bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar serta

peningkatan produksi ternak

menuju swasembada daging serta mendorong perbaikan lingkungan (Sembiring, 2005)

Gasbio sebagai sumber

bahan bakar dapat diperoleh

melalui proses fermentasi anaerob dari limbah pertanian maupun

limbah peternakan yang

mengalami biokonversi menjadi bahan bakar yang lebih berguna. Komposisi gas bio terdiri dari gas

methan (CH4), Karbondioksida

(CO2), dan sedikit Hidrogen Sulfida

(H2S), Nitrogen (N2),

Karbonmonoksida (CO) serta

Oksigen (O2) (Sihombing, 1980).

Diantara komponen penyusun gas

bio tersebut yang berfungsi

sebagai bahan bakar adalah gas

methan (CH4) (Soejono et al.

1989)

Produksi gas methan untuk setiap proses produksi produksi berbeda-beda, termasuk antara feses ternak babi dan ternak sapi potong, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah mikrobia dan C/N rasio feses. Menurut Hadi (1982) rasio C/N feses babi adalah 25 lebih besar dari pada sapi 18.

Terdapat perbedaan jumlah

mikrobia antara feses babi dan feses sapi potong. Selain itu banyak sedikitnya jumlah mikrobia dipengaruhi oleh perbedaan jenis makanan, umur ternak, kondisi

pengumpulan feses, cara

memelihara dan juga faktor

lingkungan (Anonimus, 1980).

MATERI DAN METODA

Penelitian ini di Desa

Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo, DIY dan di Lab.Tanah Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.

Materi Penelitian

Bahan yang digunakan

dalam penelitian adalah larutan feses sapi potong dan feses babi masing-masing sebanyak 123,09 kg. Alat yang digunakan adalah digester berupa drum plastik

bekas dengan kapasitas 125

l,digunakan sebanyak 9 buah, Gas

holder, terbuat dari plastik

berukuran 60 kg, 9 buah, selang kecil, digunakan untuk mengukur

tekanan gas berbentuk “U”,

thermometer, diperlukan 10 buah thermometer air raksa, pH Meter, digunakan untuk mengukur derajat keasaman isian digester (substrat), drum bekas dan ember dan Kompor gas.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan

tiga level perlakuan dan tiga ulangan yaitu campuran feses babi dengan feses sapi . Sebelum

substrat dimasukkan kedalam

digester dilakukan pengamatan berupa kadar bahan kering feses dan substrat serta pengukuran C/N

rasio. Pengamatan setelah

pengisisan substrat adalah

pengukuran pH, , pengukuran suhu lingkungan dan digester serta pengukuran produksi gas bio. 1. Analisis kadar bahan kering

feses dan substrat 2. Pembuatan substrat

Substrat dibuat dengan

perbandingan feses dengan

air 1 : 3 dari drum

(14)

bagian x 125 l = 109,38 kg/l (kotoran + air)

a. P1 digunakan substrat yang

terdiri dari feses babi

sebanyak 20,51 kg, feses sapi 6,84 kg dan airnya sebanyak 82,04 l b. P2 digunakan substrat yang

terdiri dari feses babi

sebanyak 13,675 kg, feses sapi 13,675 kg dan airnya sebanyak 82,04 l.

c. P3 digunakan substrat yang

terdiri dari feses babi

sebanyak 8,84 kg, feses sapi 20,51 kg dan airnya sebanyak 82,04 l.

3. Pengukuran derajat keasaman,

temperatur digester dan

temperatur lingkungan 4. Pengukuran gas bio

Setelah digester di isi dengan substrat (P1), (P2) dan (P3)

dan pengisian dilakukan

sampai hampir penuh yaitu 7/8

bagian drum berkapasitas 125 litter, pengukuran tekanan gas bio dalam slang yang diisi air indicator dimulai pada hari ke dua setelah substrat dimasukan

kedalam digester. Untuk

mengukur tekanan dalam gas

holder digunakan rumus:

P =

.

g

.

h

13

1

Produksi gas bio dihitung berdasar

tekanan suhu atmosfir 290C dengan

menggunakan rumus Boyle-Gay

Lussac 2 2 2 1 1 1

.

.

T

V

P

T

V

P

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Complletely Randomized Design

(CRD) pola searah, dengan

analisis data adalah analisis

variansi. (Astuti, 1980). Hipotesis

Produksi gas bio

dipengaruhi oleh macam/level

substrat / campuran (feses sapi dan feses babi).

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis bahan kering Feses dan substrat, pH serta C/N rasio

Analisis bahan kering

(BK) feses (P3) sebesar 33,80%,

lebih besar dari (P1) 29,35% dan

(P2) 25,98%. Perbedaan BK terjadi

karena pengaruh pakan, umur ternak, jenis ternak dan besar

kecilnya ternak. Selengkapnya

data BK adalah sbb.:

P : Tekanan dalam gas holder

g :

Gaya

grafitasi bumi

h : Selisih permukaan air dalam

manometer

P1 : Tekanan gas dalam 1 atm

P2 : Tekanan gas dalam gas holder

V1 : Volume gas pada tekanan 1 atm

V2 : Volume gas dalam gas holder

T1 : Suhu lingkungan ( 0

Kelvin) T2: Suhu dalam gas holder (0 Kelvin)

(15)

Tabel 1. Kadar bahan kering feses, substrat, pH dan C/N rasio Perlakuan BK. Feses ( % ) BK Substrat ( % ) pH C/N rasio P1 29,35 7,94 7,59 11,82 P2 25,98 7,84 7,52 10,32 P3 33,80 7,76 7,44 8,81

Sumber : Laboratorium Ilmu Tanah

Universitas Wangsa Manggala

Yogyakarta.

Kadar BK substrat masih

dalam kisaran normal yaitu (P3)

sebesar 7,76 %, (P2) 7,84% dan

(P1) 7,94%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Basuki, 1990) bahwa kadar bahan

kering substrat berada pada

kisaran 7 – 9 %.

Derajat keasaman (pH) P3

sebesar 7,44%, P2 sebesar 7,52%

dan P1 sebesar 7,59%. Wibowo et

al (1985) menyatakan bahwa

aktivitas mikroorganisme

dibutuhkan kisaran pH 6 – 8, sedangkan yang paling ideal 7,4

(Blot, 1976). Suriawirya dan

Sastramiharja (1980),

menambahkan bahwa fermentasi anaerob dapat bekerja dengan baik untuk menghasilkan gas bio secara optimal pada kisaran pH 6,8 – 8. Pada pH dibawah 6,8, misalnya

6,2, aktivitas mikroorganisme

metanogenik menurun sedang

bakteri asetogenik yang

menghasilkan asam asetat terus

meningkat dan mengakibatkan

produksi gas bio menurun

(Sihombing, 1997).

Hasil penelitian

menunjukan kandungan C/N rasio

(P3) adalah 8,81, (P2) adalah 10,32

dan (P1) adalah 11,82. Imbangan

karbon (C) dan nitrogen (N) yang

terkandung dalam bahan organik sangat menentukan kehidupan dan

aktifitas mikroorganisme.

Imbangan C/N yang optimum bagi mikroorganisme adalah 25 – 30 % (Surajudin et al, 2006).

Ratio C/N dalam bahan

organik sangat mempengaruhi

kegiatan mikroorganisme dalam memproduksi gas bio. Bila C/N terlalu tinggi populasi dan aktivitas mikroorganisme rendah akibatnya produksi gas bio menjadi rendah

atau mungkin tidak terbentuk

samasekali dan apabila C/N terlalu rendah akan mengurani nitrogen

yang akan berubah menjadi

ammonia dan meracuni bakteri (Hadi, 1982).

B Proses gas bio

Suhu lingkungan yang diperoleh dari hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan sebesar

28,16 0C dengan kisaran 18 – 32

0C.

(16)

22. 00 23. 00 24. 00 25. 00 26. 00 27. 00 28. 00 29. 00 30. 00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 HARI T E M P E R A T U R ( 0C ) BA BI 25% BA BI 50% BA BI 75% SUHU LINGKUNGA N

Perlakuan Suhu digester (0C) Suhu lingkungan

(0C)

P1 26,16 28,16

P2 26,38 28,16

P3 26,28 28,16

Hasil penelitian

menunjukkan bahwa suhu digester dari (P1) 26,16 0C, (P2) 26,38 0C

dan (P3) 26,28 0C, suhu tersebut

masih pada kisaran yang normal meskipun belum ideal untuk proses pembentukan gas bio. Fermentasi

dapat berlangsung bila suhu

lingkungan dan suhu digester

berkisar antara 5 – 55 0C,

sedangkan suhu digester yang

ideal antara 32 – 35 0C

(Sihombing, 1997).

Suhu digester berada

dibawah suhu lingkungan ideal dan

suhu digester mengalami

perubahan hampir sama dengan suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Meynell (1976) bahwa temperatur kerja penghasil gas bio sangat tergantung pada temperatur lingkungan, semakin tinggi suhu lingkungan, temperatur didalam pencerna (digester) gas bio semakin tinggi. Produksi gas

bio akan menurun akibat

perubahan temperatur yang

mendadak dalam digester.

Perubahan temperatur yang

tiba-tiba melebihi 3 0C akan

mempengaruhi proses produksi gas bio (Hadi, 1980).

Gambar 4. Grafik hubungan suhu digester dengan suhu lingkungan C Produksi gas bio

Volume gas bio yang di produksi setiap perlakuan tidak selalu sama. Adanya keteraturan yang sama yaitu bahwa produksi gas bio bervariasi dari ke hari

namun cenderung mengalami

kenaikan sampai dengan hari ke 20, tetapi setelah mancapai

puncak produksi akan terjadi

penurunan secara gradual. Hal ini di sebabkan oleh penurunan aktivitas bakteri anaerob, dengan adanya penurunan bahan organik yang telah mengalami degradasi menjadi komponen lain.

1. Pengukuran produksi gas bio

Tabel 3: Produksi gas bio dari campuran feses babi dengan feses sapi per 10 hari (l/1 atm/29 0C)

(17)

0.00 2 0.00 4 0.00 6 0.00 8 0.00 10 0.00 12 0.00 14 0.00 1 3 5 7 9 11 13 1 5 17 1 9 2 1 23 2 5 27 29 HARI T E M P E R A T U R ( 0 C )

F.B abi 25 % F.B abi 50 % F.B abi 75 %

Perlakuan Waktu Retensi P1 P2 P3 0 – 10 325.62 240.95 262.63 11 - 20 786.48 686.00 810.02 21 - 30 1083.10 1171.82 1152.18 Jumlah 2195.20 2098.77 2224.83 Reratans 731.73 699.59 741.61

ns. Rerata produksi gasbio ketiga perlakuan substrat berbeda tidak beda nyata (non significant).

Hasil penelitian produksi

gas bio selama 30 hari

menunjukkan bahwa puncak

produksi dari (P1) dicapai pada hari

ke 20 sebesar 114,16 l, (P2)

dicapai pada hari ke 25 sebesar

128,37 l dan (P3) dicapai pada hari

ke 24 sebesar 113,17 l. Perbedaan

tersebut dimungkinkan karena

adanya faktor yang mempengaruhi produksi gas bio seperti C/N rasio substrat, apabila C/N rasio substrat mendekati C/N rasio yang ideal yaitu 25 – 30 maka proses

fermentasi akan lebih cepat

sehingga produksi gas bio yang diproduksi akan lebih cepat.

Hasil analisa statistik untuk ketiga perlakuan macam substrat menunjukkan adanya perbedaan

yang tidak nyata. Hal itu

disebabkan semua perlakuan

substrat mempunyai pH, suhu lingkungan ,suhu digester dan bahan kering substrat yang hampir

sama. Adanya kecenderungan

perbedaan dikarenakan adanya

faktor yang mempengaruhi

produksi gas bio seperti C/N rasio. Selain itu (P3) masih banyak aktifitas mikrobia dan zat-zat lainnya seperti protein, lemak, lignin dan lainnya yang dapat diurai menjadi gas methan. Fakta

menunjukan bahwa perlakuan

dengan slah satu bahan (feses)

yang banyak memiliki

kecenderungan produksi gasbio yang relative lebih banyak, hal ini disebabkan karena tingginya C/N rasio pada babi dan didukung banyaknya mikroorganisme yang mampu merubah gas methan yang terdapat pada feses sapi.

(18)

Puncak produksi gasbio

sesuai dengan Basuki et al (1990)

yaitu bahwa puncak produksi

gasbio dicapai pada hari ke 21 – 25 dan setelah mencapai puncak produksi gas bio akan menurun secara gradual. Pada hari ke 30 gas bio masih tetap berproduksi ini

dimungkinkan karena masih

adanya substrat yang dapat

digunakan untuk proses

pembentukan gas bio, sehingga

prses fermentasi tetap

berlangsung.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Biogas mulai terbentuk pada hari ke 2 dan puncak produksi dicapai pada hari ke 21 - 25 dengan bahan baku sebanyak 27,35 kg. Produksi gas bio yang paling baik dari ketiga level adalah (P3) yaitu sebesar 2224,83 l dan terendah adalah (P2) sebesar 2098,77 l.

Saran

Dalam pembuatan gasbio sebaiknya menggunakan substrat dengan campuran feses babi 25% dengan feses sapi sebanyak 75%, karena akan dihasilkan produksi gasbio terbanyak.

DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1980. Guide Book on

Bio Gas Development. Energy Resources Development Series 21. United Nations Publ., Bangkok.

Astuti, M., 1980. Rancangan

Percobaan dan Analisis Statistik I. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Basuki, P., 1985. Pemanfaatan

Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi Rumah Tangga. Seminar on Development of Tropical

Resources and Efective

Utilization of Energi in

Agriculture. 21 – 22 Januari 1985, Yogyakarta.

Basuki, P., G. Murjito dan N.

Ngadiono. 1990. Hubungan

Antara Umur Isian Bahan Baku Dengan Produksi Gas Bio Pada Kotoran Sapi

Potong. Proyek

Peningkatan Perguruan

Tinggi. Fakultas

Peternakan, UGM,

Yogyakarta.

Blot, P. de. S. J., (1976). Recycling

Proses dalan Integrated Rural, Development system, Yayasan Realina, Yogyakarta.

Hadi, N., 1980. Sumber Gas

sebagai Sumber Energi dan Pengembangan Desa. Seminar Nasional Lembaga Penelitian Ternak. 28-29 Januari 1979, Jakarta. Hadi, Asmara, dan Ariono, 1982,

Pra Rencana Pabrik Bio Gas dari Kotoran Sapi, Fakultas Teknik Kimia, ITS, Surabaya.

(19)

Meynell., J. P. 1976. Methane Planning a Digester. Prism

Press, Stable Court,

Calmington, Dorchester,

Dosert.

Sihombing, D. T. H. 1980, Prospek Penggunaan Bio Gas untuk Energi Pedesaan di Indonesia, LPL, No II Tahun XIV, LEMIGAS, Jakarta.

Sihombing, D. T. H. 1997, Ilmu

Ternak Babi, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta Sihombing, D. T. H. 2000, Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan, Pusat Penelitian Lingkungan

Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Soejono, M., E.S. Soetarto, R.

Utomo, P. Basuki dan

Harsoyo. 1989. Pengaruh

Amoniasi Urea Jerami Padi Terhadap Kotoran Sapi

Untuk Produksi Gas Methana. Laporan Penelitian No. 50/L. PAU/UGM/215/1989. PAU. Bioteknologi UGM, Yogyakarta. Suriawiria, U. dan I. Sastramihardja. 1979. Faktor Lingkungan Biotis dan Abiotis didalam Proses Pembentukan Gas Bio Serta Penggunaan Starter Efektif didalamnya.

Lokakarya Pengembangan Energi Non Konvensional. Direktorat Jenderal

Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta.

Suriawirya, U, 2004, Menuai

Biogas dari Limbah, Info Teknologi, Bandung.

Sembiring, I, 2005, Biogas,

Alternatif Ketika BBM Menipis, Waspada Online, Fakultas Pertanian,

(20)

POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO KULONPROGO, YOGYAKARTA

Nur Rasminati*) Setyo Utomo*)

*)Staf Pengajar Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

The objectives of this research was to know the potency of DAS Progo for beef cattle development based on capability of forage production, carrying capacity and the level of animal productivity. The number of 60 respondents that live around DAS Progo, Lendah district, Kulon Progo regency were used in this research. The data were feed productivity, average daily gain (ADG) and calving interval were analyzed descriptively. The result showed that 96,66% respondents have areas DAS that is planted with forage. While the rest don’t have DAS area, but they undirectly used by buying from owner of DAS area. The productivity of elephant grass is 47,2 ton/Ha/defoliation, so it’s predicted the production in one year is 424,8 ton and can receive 33,25 UT of cattle. The ADG for PO and Simmental cross at 0 – 12 months are 0,476

g/head vs 0,509 g/head, 12 – 30 months are 0,379 g/head vs 0,445 g/head,

more than 30 month are 0,253 g/head vs 0,278 g/head. The calving interval

for PO dan Simmental are 15,33 and 13,67 months. It could be concluded that DAS Progo area in Kulonprogo regency has potency for the cattle development. The Simmental cross is appropriate to be developed in DAS Progo, it has growth rate and calving interval better than PO cattle.

Key words : DAS Progo, Beef cattle, The potency of area

PENDAHULUAN

DAS Progo menyimpan

potensi dalam menghasilkan

hijauan pakan ternak terutama

rumput gajah dan rumput star

grass yang berkembang pesat dengan produksi yang melimpah meskipun tanpa pembudidayaan yang intensif. Produksinya hampir 100 ton per ha per defoliasi. Hal ini

didukung oleh kondisi media

tumbuh yang sangat subur karena

tersedianya unsur-unsur hara

dalam tanah. Proses terbentuknya

tanah di sepanjang DAS Progo

disebabkan adanya endapan

sungai yang selalu terjadi pada saat air melimpah dan tanaman

yang ada, sehingga endapan

maupun seresah bahan organik yang terbawa air akan tertahan, akhirnya menjadi media tumbuh tanaman yang sangat subur. Areal yang berjarak sekitar 700 m dari

batas pemukiman penduduk

merupakan lahan yang dapat

ditanami hijauan pakan dan

(21)

Melihat fakta yang ada

dapat dipastikan bahwa

pengembangan ternak sapi

maupun ternak ruminansia lainnya dapat dilakukan secara intensif di wilayah tersebut. Kondisi yang ada

sekarang menunjukkan bahwa

ketersediaan hijauan belum

dimanfaatkan sepenuhnya oleh

masyarakat yang mempunyai

ternak sapi dengan pola

pemeliharaan yang masih

tradisional. Mereka justru memberi pakan jerami padi dengan alasan jerami padi lebih efisien karena sekali mendatangkan dengan truk bisa dapat digunakan berhari-hari. Hal ini dapat dipahami karena

pemeliharaan ternak hanya

merupakan usaha sambilan dan hanya sekedar sebagai tabungan

yang sewaktu-waktu dapat

digunakan untuk mendapatkan

uang kontan.

Permasalahan yang

dihadapi masyarakat adalah sapi yang berada di sepanjang DAS Progo belum berproduksi secara

optimal sehingga keuntungan

belum dapat dirasakan oleh petani

peternak. Mereka belum

memanfaatkan secara maksimal potensi DAS sebagai penyedia

rumput atau hijauan pakan.

Masyarakat perlu melihat secara

langsung bahwa wilayahnya

berpotensi sebagai pusat

pengembangan ternak sapi karena

keberadaan DAS dengan

ketersediaan hijauan yang cukup tinggi.

Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui kontribusi DAS Progo terhadap pengembangan ternak sapi di masyarakat sekitar

terutama dalam penyediaan

hijauan pakan, kemampuan

produksi rumput, daya tampung ternak, produktivitas ternak baik produksi maupun reproduksinya.

METODA PENELITIAN

Penelitian

ini

dilaksanakan

di

desa

Ngentakrejo,

kecamatan

Lendah yang berada di wilayah

aliran

sungai (DAS)

Progo

Kulonprogo

Materi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah :

1. Peternak sapi, peternak

yang diambil sebagai

responden sebanyak 60

orang yang memiliki

minimal 1 ekor ternak sapi dalam berbagai fase. 2. Ternak sapi, dibutuhkan

minimal 60 ekor sapi dalam berbagai fase.

3. Hijauan pakan, yang

digunakan adalah hijauan pakan yang tumbuh di sepanjang DAS Progo yaitu rumput alam, rumput gajah dan star grass.

Metoda

Penelitian ini menggunakan metoda survey terhadap 60 petani

peternak responden sebagai

sampel yang berada di desa Ngentakrejo, kecamatan Lendah, Kulon Progo terutama yang berada di sepanjang DAS Progo.

Data yang diamati meliputi kinerja produksi sapi yang meliputi bobot badan pada setiap fase (pedet, fase pertumbuhan sampai dengan pubertas) dan ADG pada masa pertumbuhan dan kinerja

(22)

reproduksi seperti Calving Interval dan S/C serta data produksi

rumput, Carrying Capacity dan

jenis rumput unggul yang ada di wilayah DAS Progo.

Analisis Data

Data yang diperoleh baik data produktivitas hijauan maupun ternak, yang ada di DAS Progo

Kulonprogo dianalisis secara

deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah

Penelitian

Luas wilayah desa

Ngentakrejo adalah 540,8865 Ha terdiri atas pemukiman, ladang, jalan, kuburan dan lahan DAS Progo. Kondisi DAS yang cukup

luas sebagai lahan hijauan

merupakan potensi yang baik

untuk usaha pengembangan

peternakan terutama ternak sapi potong. Diperkirakan desa ini memiliki lahan DAS sekitar 399 Ha. Kepemilikan lahan DAS

Ketersediaan

lahan

hijauan pakan di sepanjang

DAS Progo akan menentukan

jumlah hijauan pakan ternak

yang dapat disediakan sebagai

pakan. Pada kenyataannya

sebagian besar lahan DAS

ditanami hijauan pakan berupa

rumput unggul (rumput gajah

maupun star grass). Sehingga

secara langsung sumber daya

DAS

akan

menentukan

keberhasilan usaha ternak sapi

potong di DAS Progo.

Berdasarkan hasil

penelitian diketahui bahwa

sebagian besar masyarakat di

desa Ngentakrejo (96,66%)

memiliki lahan DAS yang ditanami dengan hijauan pakan. Sedangkan sisanya tidak memiliki lahan DAS namun secara tidak langsung memanfaatkannya dengan cara membeli rumput kepada pemilik lahan DAS. Kepemilikan lahan DAS berlangsung secara turun temurun dan tidak dibuktikan oleh

tanda bukti apapun, hanya

berdasarkan siapa yang terlebih

dahulu memanfaatkannya.

Selengkapnya data kepemilikan lahan DAS tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Kepemilikan lahan daerah aliran sungai (DAS) Progo

Jumlah responden

Luas DAS (m2) Orang Persentase

0 2 3,33 100 – 500 33 55 600 – 1000 8 13,33 1100 – 1500 4 6,67 1600 – 2000 6 10 > 2000 7 11,67 Jumlah 60 100

Daya tampung DAS Progo

Fungsi DAS Progo bagi masyarakat disekitarnya adalah

(23)

sebagai lahan sawah / pertanian tadah hujan, lahan hijauan pakan ternak, tanaman pertanian seperti jagung, pisang, singkong, dan

bahkan sebagai lahan

penambangan pasir. Santosa

(1992) menyatakan bahwa DAS merupakan bagian integral dari kesatuan wilayah teritorial yang

mempunyai potensi untuk

mendukung bidang pertanian

termasuk bidang peternakan. Fungsi sinergis yang telah berlangsung selama ini adalah sebagai lahan penyedia hijauan pakan ternak khususnya ternak

sapi. Kebanyakan tanaman

rumput yang ditanam adalah

rumput gajah, rumput raja dan

rumput star grass serta rumput

alam yang tumbuh secara liar. Pengelolaan hijauan pakan unggul belum dilakukan secara intensif, hanya dalam pemberian pupuk

saja sedangkan pendangiran

jarang dilakukan sehingga

produktivitasnya belum optimal. Cara penanaman rumput gajah dan raja dilakukan dengan pols (akar) bukan menggunakan stek, sehingga diharapkan akan mempunyai titik tumbuh yang lebih banyak dan produksinya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan stek. Luas lahan di sepanjang DAS yang diperkirakan

sekitar 420 Ha di wilayah

Ngentakrejo, hal ini dapat menjadi

potensi untuk pengembangan

usaha peternakan karena

tersedianya lahan untuk sumber pakan yang cukup luas.

Dari hasil penelitian

diketahui bahwa produksi rumput

gajah adalah sebesar 47,2

ton/Ha/defoliasi, sehingga

diperkirakan produksi hijauan

selama satu tahun adalah 424,8 ton dan menampung sapi dewasa sekitar 33,25 UT/th. Produksi rumput gajah di lokasi penelitian belum optimal (optimal sekitar 150 ton/ha/defoliasi), karena rumput gajah di sepanjang DAS walaupun diberi pupuk, tetapi belum sesuai

standar kebutuhan. Hal ini

disebabkan peternak kurang

memiliki modal untuk membeli sarana produksi termasuk membeli pupuk. Para peternak lebih mengutamakan memupuk tanaman pertaniannya dibandingkan dengan tanaman rumput.

Pemberian Pakan

Ketersediaan pakan secara

kontinyu, murah dan mudah

didapat merupakan kunci sukses

keberhasilan suatu usaha

peternakan. Biaya pakan

menduduki porsi sekitar 70 – 80 % dari total biaya produksi. Atas dasar itulah pemenuhan pakan

secara cukup dan sempurna

merupakan suatu keharusan dalam

suatu usaha peternakan,

khususnya pada ternak ruminansia kebutuhan akan hijauan pakan

ternak juga menjadi sangat

penting.

Umumnya sapi di wilayah DAS mengkonsumsi pakan berasal dari hijauan pakan di lahan DAS

(100%) meskipun harus

menambah jerami dari daerah lain dengan alasan kepraktisan dalam teknis memotong hijauan terutama dari aspek waktu. Sedangkan

berdasarkan jenis rumputnya

masyarakat DAS Progo sebagian besar memberikan jenis rumput

(24)

gajah sebagai pakan ternak

sapinya (86,67%) sedangkan

sisanya (13,33%) memberikan

campuran rumput gajah dengan rumput alam yang juga diambil dari lahan DAS.

Defoliasi terhadap rumput gajah maupun rumut raja dilakukan pada umur 30 – 40 hari, dengan alasan penampilan rumput belum

terlalu tua dan ternak lebih

menyukainya. Sebagaimana

pendapat Reksohadiprojo (1985)

yang menyatakan bahwa

sebaiknya pemotongan rumput

gajah adalah umur 6 – 8 minggu atau dilakukan paling baik adalah pada umur 6 minggu (42 hari).

Jumlah pemberian rumput gajah per hari per ekor sapi adalah sekitar 25 kg untuk sapi dewasa (sekitar 18 bulan) dengan taksiran berat sekitar 350 kg sehingga

masih diperlukan lagi hingga

mencapai 35 kg/ekor/hari.

Meskipun ternak tersebut juga diberi pakan tambahan atau pakan penguat yang terdiri atas bekatul, ampas tahu, kulit kedelai dan

ketela. Rata-rata responden

memberikan pakan penguat

berupa bekatul (83,34%), bahan campuran (ampas tahu, bekatul, kulit kedelai dan ketela) sebanyak 1,66% dan hanya 1,66 yang

memberikan ampas tahu dan

sebanyak 13,34% masyarakat DAS tidak memberikan bahan pakan penguat.

Capaian Produksi Sapi Sebagian besar masyarakat di sepanjang DAS Progo memiliki ternak sapi potong rata-rata 2 ekor

(41,66%) atau berada pada jumlah kepemilikan antara 1 – 5 ekor, dengan status kepemilikan adalah milik sendiri (61,6%), gaduhan (28,3%) dan lain-lain (10%). Dari jumlah tersebut bangsa sapi yang dipelihara adalah sapi PO (52,2%) dan sapi Simental (47,8%). Umur sapi yang dipelihara masyarakat di DAS Progo terbanyak adalah anakan sampai dengan umur 30 bulan (76,31%) dan sisanya di atas 30 bulan.

Berdasarkan kenyataan

tersebut menunjukkan bahwa

sudah terdapat kesadaran

masyarakat untuk beternak sapi dari bangsa unggul yang lebih menguntungkan. Meskipun dari status kepemilikan ternak sapi

terbesar adalah milik sendiri

namun untuk pengembangan

usaha masih dibutuhkan

permodalan karena rata-rata

kepemilikan hanya 2 ekor.

Prospek

pemeliharaan

sapi masyarakat DAS cukup

baik terutama ditinjau dari umur

ternak

sapinya

disamping

bangsa

yang

dipelihara.

Dengan umur sapi anakan

sampai

dengan

30

bulan

menunjukkan

sapi

dalam

kisaran umur produktif baik

untuk

tujuan

penggemukan

maupun

tujuan

pembibitan.

Peningkatan

produktivitas

sangat

mungkin

dilakukan

dalam

rangka

meningkatkan

kesadaran beternak sebagai

suatu kegiatan usaha. Indikator

kinerja sapi dapat ditentukan

berdasarkan capaian

Avarage

Daily Gain (ADG) dan dari

(25)

kinerja

reproduksinya

sudah

tergambarkan dalam ukuran CI

(Calving Interval).

ADG sapi DAS Progo

Angka ADG menunjukkan hasil capaian dari seekor ternak (sapi) yang merupakan gambaran prestasi dari berbagai pengaruh baik genetik maupun lingkungan yang ada dimana sapi tersebut

berada dan dipelihara.

Pengaruhnya akan sangat nyata terutama pada masa pertumbuhan sapi (0 – 18 bulan) atau sebelum pubertas dicapai. Capaian ADG untuk sapi dengan bangsa yang

berbeda yaitu PO dan Simmental dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan rata-rata ADG sapi PO dan Simmental pada umur pertumbuhan anakan sampai dengan 12 bulan diketahui adalah

0,476 g/ekor/hari vs 0,509

g/ekor/hari. Perbedaan ADG antar ke dua bangsa disebabkan karena genetik yang berbeda, sapi PO merupakan keturunan sapi-sapi

Bos Zebu yang memiliki

kemampuan pertumbuhan lebih lambat jika dibandingkan dengan

Simmental yang merupakan

keturunan Bos taurus.

Tabel 2. Capaian ADG sapi DAS berdasarkan bangsa yang berbeda Avarage Daily Gain (ADG) g/ekor

Umur (bulan ) Peranakan Ongole (PO) Simmental

0 – 12 0,476 0,509

13 - 30 0,379 0,445

> 30 0,253 0,278

Williamson dan Payne

(1993) menyatakan bahwa

rata-rata ADG dari mulai sapih

sampai siap potong untuk

sapi-sapi

keturunan

Bos

taurus

sebesar 0,84 kg sedangkan

sapi-sapi keturunan

Bos indicus

sebesar

0,33

kg.

Menurut

Reksohadiprodjo

(1985),

kenaikan berat badan harian

sapi keturunan

Bos taurus lebih

besar dibandingkan dengan Bos

indicus karena secara genetis

kedua

bangsa

ini

memiliki

karakteristik

dalam

hal

pertumbuhan, pertumbuhan Bos

indicus

lebih

lambat

dibandingkan

dengan

Bos

taurus.

Rata-rata pertumbuhan

harian sapi Simmental yang

dipelihara di wilayah DAS hanya

mencapai angka pertumbuhan

0,509 g/ekor/hari. Perbedaan ini

disebabkan karena sapi-sapi

Simmental yang dipelihara

masyarakat DAS bukan

merupakan keturunan Bos taurus

murni namun sudah merupakan persilangan dengan sapi-sapi PO (keturunan Bos Zebu) (Williamson dan Payne, 1993). Selain itu,

pakan yang diberikan oleh

(26)

standar kebutuhan sehingga pertumbuhan yang dihasilkan juga masih rendah.

Pada pertumbuhan 12

bulan sampai dengan 30 bulan

baik sapi-sapi PO maupun

Simmental mengalami penurunan

ADG yaitu 0,379 g/ekor/hari vs

0,445 g/ekor/hari, namun sapi Simmental masih berada lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi PO. Hal ini disebabkan karena masa pertumbuhan optimal sudah terlewati dan juga sapi-sapi sudah mengalami masa pubertas maupun kelahiran pertama pada sapi betina. Kedua bangsa yang

berbeda capaian ADG nya

disebabkan karena sistem

pemeliharaan dan kemampuan

genetis. Untuk sapi PO memiliki kemampuan genetis lebih rendah

dibandingkan dengan sapi

Simmental terutama dalam hal

pertumbuhan (Reksohadiprodjo,

1985).

Hal yang sama ditunjukkan pada ADG umur sapi di atas 30 bulan yang hanya dicapai pada sapi PO 0,253 g/ekor/hari dan sapi Simmental 0,278 g/ekor/hari. Penurunan ADG ini diakibatkan karena kondisi fisiologis sapi yang

sudah banyak mengalami

penurunan dalam pertumbuhan jaringan otot namun sudah lebih dominan ke arah pembentukan timbunan lemak. Dalam kondisi ideal berat tubuh akan bertambah (mengikuti kurva sigmoidal) yang menunjukkan laju pertumbuhan lebih besar pada saat menjelang pubertas dan selanjutnya akan

berangsur-angsur menurun

(lambat) pada saat dicapai dewasa kelamin (Williamson dan Payne,

1993; Black, 1983 dan Hammond, dkk, 1984).

Interval kelahiran

Untuk mengetahui kinerja

reproduksi ternak sapi dapat

dilakukan dengan pengukuran

interval kelahiran (calving interval = CI). Atas dasar perhitungan CI

maka performens dari pola

pemeliharaan dan kemampuan

ternak akan dapat tergambarkan

dengan baik dan jelas. Calving

interval akan menggambarkan jarak beranak yang normal jika

batas-batas waktu ideal

berdasarkan kondisi fisiologis

ternak dapat tercapai. Kondisi paling ideal dari CI adalah 12 bulan (negara-negara maju) dan

13,5 bulan untuk Indonesia

(Hardjosubroto, 1994).

Berdasarkan hasil

penelitian diketahui bahwa rata-rata CI untuk sapi PO dan Simmental masing-masing adalah 15,33 dan 13,67 bulan. Ternyata CI sapi Simmental mendekati kondisi CI yang digunakan di Indonesia yaitu 13, 5 bulan dan agak panjang untuk sapi PO. CI dipengaruhi oleh faktor genetik dan

sistem pemeliharaan termasuk

kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Berdasarkan capaian nilai CI pemeliharaan sapi di wilayah DAS sudah tergolong baik terutama untuk sapi Simmental yang mampu merespon lingkungan

secara baik dalam kinerja

reproduksinya meskipun agak

rendah pada sapi-sapi PO.

Calving Interval menggambarkan estrus kembali

setelah beranak (Estrus Post

(27)

bunting. EPP dipengaruhi oleh

penyapihan (weaning), kualitas dan

kuantitas pakan dan kondisi

kesehatan ternaknya. S/C

dipengaruhi oleh kondisi ternak sapi, kualitas dan kuantitas pakan dan ketrampilan inseminator . Lama bunting sapi rata-rata pada

kisaran 286 hari, maju dan

mundurnya waktu bunting

ditentukan oleh kondisi kesehatan induk, kondisi foetus dan jumlah anak yang dikandungnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan

hasil

penelitian disimpulkan bahwa

wilayah DAS Progo mampu

menopang

pakan

ternak

khususnya untuk ternak sapi.

Kinerja produksi dan reproduksi

sapi

potong

masih

perlu

ditingkatkan

lagi.

Sapi

keturunan

Simmental

cocok

untuk dikembangkan di wilayah

DAS,

memiliki

angka

pertumbuhan dan jarak beranak

yang

lebih

baik

jika

dibandingkan dengan sapi PO.

DAFTAR PUSTAKA

Black, J.L., 1983. Sheep

Production. Butterworth, London.

Hammond, J.Jr, Bowman, J. C dan Robinson T. R., 1984. Hammond’s Farm Animals.

5th ed. Butler dan Tanner

Ltd. London. Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Grassindo. Jakarta. Reksohadiprodjo, S., 1985.

Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE, Yogyakarta.

Santoso, H., 1992. Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai :

Konsepsi dan

Kebijaksanaan. Makalah disampaikan pada kursus

Evaluator AMDAL

Pertanian, 22 Mei 1992.

Departemen Pertanian,

Jakarta.

Wiiliamson, G dan W. J. A. Payne,

1993. Pengantar

Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada

University Press,

(28)

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO

KABUPATEN KULONPROGO Sundari 1dan Komarun Efendi2 1

Dosen, Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

2Alumni Prodi Produksi Ternak UMBY

ABSTRACT*)

This research was conducted to investigate the income and feasibility of etawah cross farming in Girimulyo, Kulonprogo regency. Location was determined by purposive on 3 villages and such as a combination of the high of land and population of Etawah cross. Samples were taken by proportional random sampling 10% of farmers. There were 51 farmers of 3 villages : Jatimulyo 37 respondent, Giripurwo 10 respondents, and Pendoworejo 4 respondents. The characteristics of respondents were the everage 48,78 years old, 50,99% on elementary school, 78,51% farmer as main job, experienced 25,05 years, 8 mature goat owned or 1,18 AU. The data analysis showed that the average income was Rp. 4.486.443,31 per year. This farming was feasible to be raised with RCR value 1,28 and rentability value 28,03%. The rentability was higher than Bank BRI rate in Girimulyo sub district. Break Event Point (BEP) Rp. 787.822,60 or 0,17 AU, about 1 mature goats. It was concluded that Etawah cross farming was profitable and feasible to be raised.

Key words : Etawah cross, income, feasibility, Girimulyo subdistrict.

PENDAHULUAN Permintaan pasar daging

kambing dalam negeri setiap tahun mencapai 4,3 juta ekor. Sekitar 15% dari jumlah tersebut masih diimpor. Peluang pasar ekspor bahkan jauh lebih besar. Menurut

data Food and Agriculture

Organization (FAO), peluang pasar daging kambing dunia saat ini mencapai 22,2 juta ekor per tahun. Sebagian besar permintaan itu datang dari Afrika, Amerika, Asia dan Eropa. Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, tingkat

konsumsi daging per kapita dunia khususnya negara berkembang akan terus meningkat. Di sisi lain laju konsumsi daging kambing di

Tanah Air juga mengalami

peningkatan dengan laju 5,6% per tahun, bahkan pada tahun 2005 total konsumsi daging mencapai 18,531 ton atau 5,25 kg per kapita

per tahun (Anonimus, 2005),

sehingga ternak kambing masih

sangat berpeluang untuk

dikembangkan guna mencukupi kebutuhan gizi masayarakat dari protein hewani nasional.

(29)

Sampai saat ini peternakan di Indonesia masih didominasi oleh peternakan rakyat, dengan jumlah kepemilikan ternak kambing sedikit

yaitu 1-2 ekor saja, serta

kepemilikan lahan yang sempit.

Usaha peternakan kambing

merupakan usaha sampingan dari usaha tani tanaman pangan yang

dilakukan petani di pedesaan

(Murtidjo, 1995). Ternak kambing dapat beranak kembar dan mudah dalam pemeliharaannya. Ditinjau dari aspek pengembangan secara komersil sangat potensial bila diusahakan, karena umur dewasa kelamin dan dewasa tubuh serta

lama bunting ternak kambing

sangat pendek dibandingkan

dengan ternak ruminansia lainnya.

Kecamatan Girimulyo

terletak pada ketinggian 500 m diatas permukaan air laut dengan

suhu rata-rata harian 25-270 C dan

curah hujan 1.192 mm/tahun. Pada umumnya masyarakat Girimulyo

bermata pencaharian sebagai

petani, sehingga pada tahun 2003 hasil pertanian mencapai 38 % dari

total penghasilan daerah

Kecamatan Girimulyo (Data Pokok Pembangunan, 2003). Akan tetapi penghasilan dari sektor pertanian sangat ditentukan oleh adanya musim penghujan, sehingga pada musim kemarau hasil pertanian menurun. Oleh karena itu banyak petani yang berusaha memenuhi

kebutuhan keluarga dengan

beternak, karena wilayah

kecamatan Girimulyo yang berbukit sampai pegunungan cocok untuk pengembangan ternak kambing Peranakan Etawah.

Ketersediaan pakan untuk ternak di daerah Girimulyo sangat

mencukupi, ini didukung adanya hutan lindung dan petani yang rata-rata berkebun serta banyaknya lahan yang tidak bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian maupun

perkampungan maka daerah

tersebut ditanami tanaman

kaliandra/ramban. Ternak kambing lebih menyukai pakan rambanan daripada pakan berupa rumput-rumputan (Sarwono, 2006).

Ciri-ciri kambing Etawah adalah berat badan relatif besar 50-70 kg, tinggi gumba sekitar 70-80 cm, kepala tegak, garis profil cembung dan produksi susu rata-rata 2-3 liter/ekor/hari (Djanah, 1988). Ciri-ciri kambing Peranakan Etawah diantara kambing kacang (lokal) dengan kambing Etawah. Derajat kecembungan, garis profil,

panjang maupun lebar daun

telinga, berat badan, tinggi dan lain-lain hampir sama dengan kambing Etawah. Produksi daging kambing ini sangat baik dengan

pertambahan berat badan 49

gram/hari, sedangkan produksi

susu 1-1,5 liter/hari. Berat badan jantan dewasa rata-rata 45 kg dan 38 untuk betina dewasa, bobot lahir rata-rata 3,5 kg. Sentra

kambing Peranakan Etawah

terdapat di Kecamatan Kaligesing,

Kabupaten Purworejo dan

Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo serta Kecamatan Turi,

Kabupaten Sleman (Sarwono,

(30)

MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Girimulyo Kabupaten

Kulonprogo Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Materi yang digunakan pada

penelitian ini adalah :

1. Peternak kambing

Peranakan Etawah yang ada di desa Jatimulyo, Giripurwo dan Pendoworejo

Kecamatan Girimulyo

dengan jumlah sebanyak 51 responden.

2. Peralatan yang digunakan

adalah : kuisioner dan alat tulis.

Penentuan Sampel Lokasi

Kecamatan Girimulyo terdiri dari 4 desa yaitu desa Purwosari,

Jatimulyo, Giripurwo dan

Pendoworejo. Pada letak

ketinggian yang berbeda terdapat

perbedaan biaya produksi,

terutama air guna memenuhi

kebutuhan hidup ternak. Lokasi

penelitian diambil secara Purposive

pada tiga desa yang dianggap

mewakili dan merupakan

kombinasi antara tinggi tempat dan kepadatan peternak yaitu desa yang datarannya relatif tinggi, sedang dan rendah serta pada desa dimana populasinya relatif padat, sedang dan sedikit. Desa yang ada di dataran tinggi adalah

Jatimulyo, sedang adalah

Giripurwo dan dataran rendah

adalah Pendoworejo. Jumlah

peternak kambing Peranakan

Etawah di Kecamatan Girimulyo

sebanyak 876 peternak yang

tersebar di empat desa (Tabel 1). Tabel 1. Populasi peternak kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Girimulyo. No Desa Jumlah Peternak (orang) Tinggi tempat (DPL) Suhu rata-rata 1 Purwosari 360 750 m 23-30 0C 2 Jatimulyo 370 750 m 23-30 0C 3 Giripurwo 100 600 m 24-30 0C 4 Pendoworejo 46 500 m 24-30 0C Jumlah 876

Sumber : Monografi Kecamatan Girimulyo, 2006 Pengambilan Sampel Responden

Pengambilan sampel

responden menggunakan metode Purposive Random Sampling

sebanyak 10% dari jumlah

peternak.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan

dengan metode survey terhadap

peternak kambing Peranakan

Etawah yang berada di lokasi terpilih secara acak. Data yang diambil meliputi data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil

wawancara dengan peternak

seperti keterangan atau

angka-angka yang diperoleh secara

langsung dari peternak sebagai

responden yang terdiri dari

identitas peternak, biaya produksi (biaya tetap dan biaya tidak tetap)

Gambar

Tabel 1. Kadar bahan kering feses, substrat, pH dan C/N rasio   Perlakuan  BK. Feses  ( % )  BK Substrat ( % )  pH  C/N  rasio  P1  29,35  7,94  7,59  11,82  P2  25,98  7,84  7,52  10,32  P3  33,80  7,76  7,44  8,81
Gambar 4. Grafik hubungan suhu digester dengan suhu lingkungan  C    Produksi gas bio
Gambar 5. Produksi Gas bio (L/1 atm/29 0 C)
Tabel 1. Kadar air stick pisang *  Konsentrasi CaCl 2  (%)  Kadar air (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Permainan simulasi ini dimulai, tiap-tiap perwakilan kelompok menentukan topik yang akan dibahasnya dengan cara diundi. Kemudian masing-masing kelompok mengadakan diskusi

Pada tahap ini Augmented Reality diimplementasikan sebagai aplikasi untuk memunculkan objek sepatu 3D dari marker yang berupa lembaran

Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pada pasal 1 angka 1 dan juga pada Pasal 171 Kompilasi Hukum

tingkat relativisme, usia dan jenis kelamin memiliki hubungan signifikan dengan sensitivitas etis mahasiswa akuntansi, sedangkan ethical reasoning.. dan locus of control

 Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengamati beberapa permasalahan yang terkait dengan materi yang sedang dipelajari, yaitu Mobilitas Sosial.. 

Penelitian ini dirancang untuk memperoleh data tentang pengaruh ,kepuasan pelanggan, citra perusahaan, switching barrier dan loyalitas pelanggan pada industri

Untuk mode auto, percobaan dilakukan bervariasi untuk menggambar objek- objek sederhana seperti lingkaran, bujur sangkar, segitiga dan bentuk huruf kapital dari “A” sampai dengan

Sumber Bunga Seletreng Kapongan Kab.. Sumenep