KATA PENGANTAR
Puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga Jurnal AgriSains ini dapat diterbitkan sesuai rencana.
Jurnal AgriSains merupakan jurnal hasil penelitian bidang agrikultur yang diterbitkan oleh LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang bekerja sama dengan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali dalam setahun.
Jurnal AgriSains perdana ini menyuguhkan 3 hasil penelitian dari 3 kelompok bidang ilmu, yaitu Peternakan, Agroteknologi dan Teknologi Hasil Pertanian. Pada kelompok bidang Peternakan disajikan 4 artikel dengan tema Pengembangan Ternak Sapi di Daerah Aliran Sungai Progo, Studi Kelayakan Usaha Ternak Kambing Peranakan Etawah, Pemanfaatan Tepung Pupa Ulat Sutra Sebagai Pakan Puyuh dan Pemanfaatan Limbah Sapi dan Babi sebagai bio gas, dan pada bidang Agroteknologi dilaporkan pengembangan teknologi pembenihan kacang hijau dan jagung. Sedangkan pada bidang Teknologi
Hasil Pertanian disajikan pembuatan stick pisang, dan karak, serta evaluasi
retensi vitamin C pada jus jeruk.
Redaksi menyadari penerbitan jurnal perdana ini masih terdapat kekurangannya, oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata semoga jurnal ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalam.
KATA PENGANTAR
Puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga Jurnal AgriSains ini dapat diterbitkan sesuai rencana.
Jurnal AgriSains merupakan jurnal hasil penelitian bidang agrikultur yang diterbitkan oleh LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang bekerja sama dengan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali dalam setahun.
Jurnal AgriSains perdana ini menyuguhkan 3 hasil penelitian dari 3 kelompok bidang ilmu, yaitu Peternakan, Agroteknologi dan Teknologi Hasil Pertanian. Pada kelompok bidang Peternakan disajikan 4 artikel dengan tema Pengembangan Ternak Sapi di Daerah Aliran Sungai Progo, Studi Kelayakan Usaha Ternak Kambing Peranakan Etawah, Pemanfaatan Tepung Pupa Ulat Sutra Sebagai Pakan Puyuh dan Pemanfaatan Limbah Sapi dan Babi sebagai bio gas, dan pada bidang Agroteknologi dilaporkan pengembangan teknologi pembenihan kacang hijau dan jagung. Sedangkan pada bidang Teknologi
Hasil Pertanian disajikan pembuatan stick pisang, dan karak, serta evaluasi
retensi vitamin C pada jus jeruk.
Redaksi menyadari penerbitan jurnal perdana ini masih terdapat kekurangannya, oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata semoga jurnal ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalam.
ISSN : 2086-7719 DAFTAR ISI
Hal
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv-v
PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRA (Bombyx mori)
UNTUK PAKAN PUYUH 1 - 6
(Coturnix-coturnix japonica) JANTAN
Sri Hartati Candra Dewidan J. Setiohadi
DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO
(THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE
TOWARDS BIOGAS PRODUCTION) 7 - 14
Setyo Utomo dan Vita Wahyuningsih
POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO
KULONPROGO, YOGYAKARTA 15 - 22
Nur Rasminati dan Setyo Utomo
ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN
USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO
KABUPATEN KULONPROGO 23 - 30
Sundari dan Komarun Efendi
OPTIMASI PERENDAMAN DALAM LARUTAN CaCl2 TERHADAP SIFAT FISIK DAN TINGKAT
KESUKAAN STICK PISANG 31 - 39
Agus Slamet
PENAMBAHAN NATRIUM TRIPOLIFOSFAT DAN CMC (CARBOXY METHYL CELLULOSE)
PADA PEMBUATAN KARAK 40 - 49
Astuti Setyowati
VITAMIN C RETENTION AND ACCEPTABILITY OF ORANGE (Citrus nobilis var. microcarpa)
JUICE DURING STORAGE IN REFRIGERATOR 50 - 55 Chatarina Wariyah
ISSN : 2086-7719
PEMANFAATAN GULMA BABADOTAN DAN TEMBELEKAN DALAM PENGENDALIAN Sitophillus SPP.
PADA BENIH JAGUNG 56 - 67
Dian Astriani
PENGARUH KADAR AIR DAN WADAH SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH KACANG HIJAU DAN POPULASI
HAMA KUMBANG BUBUK KACANG HIJAU
Callosobruchus Chinensis L. 68 - 77 Wafit Dinarto
PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRERA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN
Sri Hartati Candra Dewi1) dan J. Setiohadi2)
Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta
e-mail : [email protected]
1)
Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta
2)Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta ABSTRACT
This research was conducted to investigate the effect of the usage of
silk worms (Bombyx mori) pupa in rations on male quail performance. It used
120 male quails of 7 days old which were divided in to 5 treatments. Each treatment consisted of 3 replicationa, and 8 quails for eac replication. The level of silk worms (Bombyx mori) pupa meal in rations were respectively 0; 2,5; 5; 7,5; and 10%. The performances were feed consumption, ADG, feed conversion, mortality and carcass weight. This research was designed One Way Completely Randomized Design, and the data were analyzed by variance analysis and the significant results were tested by Duncan’s New Multiple Range Tesr (DMRT). The results showed that the performance of male quail were not affected by the treatment. Feed consumtion were respectively 10,77; 10,74; 10,76; 10,78 and 10,76 g/quail/day. ADG were 2,27; 2,18; 2,10; 2,16 and 2,10 g/quail/day. FFed conversions were 4,73; 4,92; 5,12; 4,97 and 5,12. Carcass weight were 69,16; 68,67; 69,15; 67,40 and 68,19 %.
It was concluded that silk worms (Bombyx mori) pupa a meal may be
substituting fish meal up to 10 % level of the total rations.
Key words : male quail (Coturnix-coturnix japonica), silk worms (Bombyx mori)
pupa meal, performance. PENDAHULUAN
Dalam memenuhi
kebutuhan protein hewani bagi masyarakat telah dilakukan usaha peningkatan produksi di bidang peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menyusun program sebagai tindak
lanjut Revitalisasi Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (RPPK)
tentang prospek dan arah
pengembangan agribisnis
komoditas unggulan peternakan
yaitu sapi, kambing/domba dan unggas (Anonimus, 2005). Selain komoditas unggulan perlu juga didukung dengan pengembangan
ternak lain yang mempunyai
potensi cukup baik sebagai
pemenuhan protein hewani. Salah satu jenis ternak yang cukup
potensial adalah puyuh (
Coturnix-coturnix japonica), yang dapat
menghasilkan daging maupun
telur. Puyuh betina digunakan sebagai penghasil telur dan puyuh
jantan dapat diarahkan sebagai penghasil daging.
Dalam mendukung usaha peternakan, faktor ketersediaan
pakan sangat penting untuk
diperhatikan baik kuantitas maupun
kualitasnya. Ketergantungan
komponen impor bahan penyusun ransum unggas yang semakin mahal, menyebabkan keterpurukan industri perunggasan dewasa ini. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan kehadiran dan meningkatkan produktifitas ternak perlu dilakukan upaya mencari
sumber pakan baru sebagai
alternatif bahan pakan yang dari
segi harga terjangkau tetapi
mempunyai kualitas yang baik..
Masalah pakan dapat diatasi
dengan cara pengembangan
peternakan secara integratif
dengan usaha pertanian maupun industri, sehingga dapat menekan biaya produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan
limbah industri yang dapat
digunakan sebagai bahan pakan antara lain adalah limbah industri pemintalan benang sutera.
Pupa ulat sutera (Bombyx
mori) merupakan limbah budidaya
ulat sutera dan proses pemintalan benang sutera. Kandungan protein tepung pupa ulat sutera cukup tinggi yaitu 54,9 % (Murtidjo, 1991).
Mathius dan Sinurat (2001)
mnyatakan bahwa dalam
memanfaatkan limbah pertanian maupun industri perlu diperhatikan
faktor kontinuitas ketersediaan,
kandungan gizi, kemungkinan
adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan. Oleh karena itu penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan tepung
pupa ulat sutera (Bombyx mori)
dalam ransum terhadap kinerja
puyuh (Coturnix-coturnix japonica)
jantan.
MATERI DAN METODE Materi
Penelitian ini menggunakan
puyuh (Coturnix-coturnix japonica)
jantan umur 7 hari sebanyak 120 ekor. Obat-obatan yang digunakan
adalah vaksin New Castle Disease
(NCD) strain lasota, vitamin,
antibiotic dan desinfektan.
Kandang yang digunakan untuk
penelitian adalah kandang
kelompok model bertingkat, terbuat dari kayu, bamboo dan kawat strimin, sebanyak 15 buah. Ukuran kandang 50 cm x 40 cm x 30 cm, dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum.
Peralatan yang digunakan
adalah timbangan Ohaus
berkapasitas 2610 gram, dengan kepekaan 0,1 gram. Seperangkat alat untuk menyembelih puyuh.
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini tersusun dari jagung, bekatul, tepung ikan, kapur dan tepung pupa ulat sutera.
Penyusunan ransum penelitian
dibedakan atas aras tepung pupa ulat sutera pada masing-masing perlakuan yaitu 0 %; 2,5 %; 5 %; 7,5% dan 10 % untuk mensubtitusi tepung ikan.
Metode
Metode pembuatan tepung pupa ulat sutera yaitu kepompong ulat sutera dicuci dengan air bersih
kemudian dipisahkan antara
kepompong dan pupa dengan menggunakan gunting. Setelah itu
ditiriskan dan dikeringkan dengan sinar matahari, kemudian digiling menjadi tepung.
Puyuh dikelompokkan
dalam 15 kandang, sehingga tiap kandang berisi 8 ekor. Tiap kelompok perlakuan terdiri dari 3 ulangan.
Data yang diamati meliputi
pertambahan bobot badan,
konsumsi pakan, konversi pakan, persentase karkas dan mortalitas.
Rancangan penelitian yang
digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) pola searah terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variansi dan apabila ada beda nyata
dilanjutkan dengan uji Duncan’s
New Multiple Range Test (DMRT) (Astuti, 1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan rata-rata per ekor selama penelitian untuk setiap perlakuan tertera pada tabel
1. Hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa konsumsi
pakan dengan menggunakan
tepung pupa ulat sutera (Bombyx
mori) dalam ransum terdapat
perbedaan yang tidak nyata.
Konsumsi pakan dipengaruhi
beberapa faktor, antara lain umur, ukuran tubuh, palatabilitas, dan kualitas pakan yang diberikan. Konsumsi pakan yang berbeda tidak nyata tersebut karena ransum tiap perlakuan
Tabel 1. Rata-rata konsumsi pakan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0(Tp.pupa 0 %) 10,96 10,65 10,70 10,77 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 10,76 10,69 10,76 10,74 R2 (Tp.pupa 5 %) 10,75 10,76 10,76 10,76 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 10,78 10,77 10,72 10,76 R4 (Tp.pupa 10 %) 10,74 10,77 10,77 10,76
Keterangan : ns = berbeda tidak nyata disusun mendekati iso energi dan protein. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyudi (2003) dan Budi (2005) yang meyatakan bahwa pakan yang mempunyai nutrient yang relatif sama maka konsumsi pakannya juga relatif sama.
Pertambahan Bobot Badan
Rata-rata pertambahan
bobot badan (g/ekor/hari) untuk setiap perlakuan tertera pada tabel 1. Pertambahan bobot badan hasil penelitian berkisar antara 2,02 – 2,33 g/ekor/hari. Hasil analisis
variansi menunjukkan bahwa
penggunaan tepung pupa ulat
sutera (Bombyx mori) dalam
ransum berbeda tidak nyata.
Perbedaan pertambahan bobot
badan yang tidak nyata disebabkan karena kandungan nutrient dalam
ransum yang dikonsumsi
mempunyai kandungan protein dan
energi yang relatif sama.
Pertambahan bobot badan yang berbeda tidak sama ini disebabkan karena konsumsi pakan yang sama antar perlakuan. Hal ini sesuai
(1994), yang menyatakan bahwa konsumsi pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan selain jenis
kelamin, hormon, kastrasi,
Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0 (Tp.pupa 0 %) 2,26 2,23 2,33 2,27 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 2,17 2,10 2,28 2,18 R2 (Tp.pupa 5 %) 2,02 2,16 2,13 2,10 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 2,05 2,30 2,15 2,16 R4 (Tp.pupa 10 %) 2,04 2,05 2,22 2,10
Keterangan : ns = berbeda tidak nyata genetik dan jenis pakan yang
diberikan. Dengan demikian
penggunaan tepung pupa ulat
sutera (Bombyx mori) mempunyai
pengaruh yang sama dengan tepung ikan,
sehingga tepung tersebut dapat digunakan bahan pakan sebagai
alternatif yang dapat menggantikan tepung ikan.
Konversi Pakan
Konversi pakan rata-rata untuk tiap perlakuan tertera pada tabel 3. Konversi pakan hasil penelitian berkisar antara 4,59 – 5,33.
Tabel 3. Rata-rata konversi pakan setiap perlakuan Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0 (Tp.pupa 0 %) 4,84 4,77 4,59 4,73 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 4,95 5,09 4,71 4,92 R2 (Tp.pupa 5 %) 5,33 4,98 5,05 5,12 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 5,25 4,68 4,98 4,97 R4 (Tp.pupa 10 %) 5,26 5,25 4,85 5,12
Keterangan : ns = berbeda tidak nyata
Hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa konversi
pakan antar perlakuan terdapat perbedaan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang berbeda tidak nyata juga. Konversi pakan merupakan
perbandingan antara konsumsi
pakan dan pertambahan bobot badan, sehingga apabila kedua peubah tersebut tidak beda nyata
makan konversi pakannya juga
akan berbeda tidak nyata.
Penggunaan tepung pupa ulat
sutera (Bombyx mori) dengan
hasil yang berbeda tidak nyata dengan tepung ikan, maka tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori)
dapat digunakan untuk
menggantikan tepung ikan.
Konversi pakan merupakan
nilai yang menggambarkan
kemampuan unggas untuk
Hasil penelitian ini yang
menghasilkan konversi pakan
antara 4,59 – 5,33, hasil ini lebih rendah dibandingkan pakan yang
menggunakan bahan pakan
enceng gondok. Hasil penelitian
Wahyudi (2003) yang
menggunakan tepung enceng
gondok dalam ransum puyuh
jantan menghasilkan konversi
pakan sebesar 5,68 – 7,82.
Dengan demikian penggunaan
tepung pupa ulat sutera (Bombyx
mori) lebih baik dari pada tepung
enceng gondok. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamal (1999) yang menyatakan bahwa semakin kecil konversi pakan menunjukkan bahwa ramsum yang dikonsumsi
dapat digunakan lebih efisien
dalam menghasilkan peningkatan bobot badan.
Persentase Karkas
Rata-rata persentase
karkas yang dihasilkan untuk
setiap perlakuan tertera dalam
tabel 4. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang tidak nyata pada persentase karkas puyuh jantan.
Persentase karkas merupakan
hasil yang diperoleh dari bobot karkas dibagi dengan bobot hidup dikalikan 100 %., oleh karena bobot badan berbeda tidak nyata maka persentase karkaspun juga berbeda tidak nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (1994) dan hasil penelitian Dewi (2007),
bahwa persentase karkas
dipengaruhi oleh bobot hidup dan bobot karkas, apabila bobot hidup dan bobot karkas berbeda tidak nyata maka persentase karkasnya juga berbeda tidak nyata.
Tabel 4. Rata-rata persentase karkas setiap perlakuan (%) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0(Tp.pupa 0 %) 69,51 68,90 69,06 69,16 R1(Tp.pupa 2,5 %) 68,72 68,95 68,34 68,67 R2(Tp.pupa 5 %) 68,48 69,50 69,46 69,15 R3(Tp.pupa 7,5 %) 64,93 67,13 70,16 67,40 R4(Tp.pupa 10 %) 68,01 68,60 67,97 68,19
Keterangan : ns = berbeda tidak nyata Hasil penelitian persentase karkas puyuh jantan dengan perlakuan
ransum dengan pakan yang
menggunakan tepung pupa ulat
sutera (Bombyx mori) rata-rata
berkisar antara 67,40 – 69,16 %. Hasil ini lebih baik dari persentase karkas yang menggunakan tepung gangsing yang berkisar antara 60,08 – 68,09 % (Budi, 2005). Mortalitas
Selama penelitian tidak
terjadi kematian puyuh, hal ini menunjukkan bahwa pemberian
tepung pupa ulat sutera (Bombyx
mori) dalam ransum tidak
menyebabkan kematian puyuh. Hal ini membuktikan bahwa kandungan nutrient ransum dari bahan yang disusun dengan tepung pupa ulat
sutera (Bombyx mori) mampu
memenuhi kebutuhan nitrisi puyuh jantan, dan juga tepung pupa ulat
mengandung bahan yang merugikan puyuh jantan.
KESIMPULAN
Tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dapat digunakan
dalam ransum puyuh jantan
mensubtitusi tepung ikan sampai
pada aras 10 % tanpa
mengganggu kinerja pada puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2005, RPPK : Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan
Penelitian dan
Pengembangan
Pertanian. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Astuti, M., 1980, Rancangan
Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian I.
Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Budi, S. , 2005, Pengaruh Aras
Tepung Gangsing
(Sesarma reticulatum) dalam Ransum terhadap
Kinerja Burung Puyuh
(Coturnix-coturnix
japonica) Jantan. Skripsi.
Fakultas Pertanian,
Universitas Wangsa
Manggala Yogyakarta. Dewi, S. H. C., 2007, Pengaruh
Pemberian Gula dan
Insulin sebelum
Pemotongan terhadap
Kualitas Fisik Daging
Domba. Buletin Pertanian dan Peternakan Vol. 8 N0. 17.
Kamal, M. 1999, Nutrisi Ternak
Dasar. Laboratorium Makanan Ternak. Jurusan
Nutrisi dan Makanan
Ternak. Fakultas
Peternakan. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta. Mathius I.W dan A.P. Sinurat,
2001, Pemanfaatan
Bahan Baku Pakan
Inkonvensional Untuk
Ternak. Wartazoa Vol. 11
No. 2 Tahun 2001. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Murtidjo, B. A., 1991, Pedoman
Beternak Ayam Broiler.
Yayasan Kanisius,
Yogyakarta.
Soeparno, 1994. Ilmu dan
Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wahyudi, A. 2003. Pengaruh
Penggunaan Tepung
Enceng Gondok
(Eichornia crassites)
dalam Ransum terhadap
Kinerja Burung Puyuh
(Coturnix-coturnix
japonica) Jantan.
Fakultas pertanian,
Universitas Wangsa
DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO
(THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION)
Setyo Utomo1) Vita Wahyuningsih2)
1)Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta 2)Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta
ABSTRACT
This research was aimed to know biogas production consist of the mixture of cattle and pigs waste within three levels. The treatment consist of 75% pigs waste; 25 % cattle waste (P1), 50% pigs waste; 50% cattle waste (P2) and 25% pigs waste; 75% cattle waste (P3). The observed variable consist of dry matter waste (DM), substrat, pH, C/N ratio, environmental and digester temperature, the maximal biogas product and the total of biogas. The research showed that the DM waste of P1 = 29,35%; P2= 25,98% and P3 = 80,88%. The DM of substrat P1 = 7,94%, P2 = 7,84% and P3 = 7,76%. pH of P1 = 7,59; P2 and P3 = 7,44. CN ratio P1 = 11,82; P2 = 10,32 and P3 = 8,81.
The avarage of digester temperature P1 = 26,160C; P2 = 26,380C and P3 =
26,280C with the environmental temperature was between 270C to 300C. The
total of biogas production within 30 days retention was P1 = 2195,20 (l/1 atm/290C); P2 = 2098,77 0C (l/1 atm/290C) and P3 = 2224,83 (l/1 atm/290C) showed the different was not significant, while the biogas production tended to be higher rather than (P1) and (P2) and the maximum biogas production reached on the 21st to 25th day.
Key words : Biogas production, Pig waste, Cattle waste, level
PENDAHULUAN
Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha
pemeliharaan ternak, rumah
potong hewan, pengolahan
produksi ternak dan lain-lain.
Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti
feses, urine, sisa makanan,
embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen dan lain-lain (Sihombing,
2000). Semakin berkembang
usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut
dengan menerapkan teknologi
pembuatan gasbio (Basuki, 1985).
Pembuatan dan penggunaan
biogas mulai digalakkan pada awal
tahun 1970-an, bertujuan
memanfaatkan bahan limbah
menjadi sumber energi lain di luar kayu bakar dan minyak tanah
(Suriawirya, 2004). Teknologi
pembuatan biogas dari kotoran ternak berpeluang menjadi solusi
ketersediaan bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar serta
peningkatan produksi ternak
menuju swasembada daging serta mendorong perbaikan lingkungan (Sembiring, 2005)
Gasbio sebagai sumber
bahan bakar dapat diperoleh
melalui proses fermentasi anaerob dari limbah pertanian maupun
limbah peternakan yang
mengalami biokonversi menjadi bahan bakar yang lebih berguna. Komposisi gas bio terdiri dari gas
methan (CH4), Karbondioksida
(CO2), dan sedikit Hidrogen Sulfida
(H2S), Nitrogen (N2),
Karbonmonoksida (CO) serta
Oksigen (O2) (Sihombing, 1980).
Diantara komponen penyusun gas
bio tersebut yang berfungsi
sebagai bahan bakar adalah gas
methan (CH4) (Soejono et al.
1989)
Produksi gas methan untuk setiap proses produksi produksi berbeda-beda, termasuk antara feses ternak babi dan ternak sapi potong, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah mikrobia dan C/N rasio feses. Menurut Hadi (1982) rasio C/N feses babi adalah 25 lebih besar dari pada sapi 18.
Terdapat perbedaan jumlah
mikrobia antara feses babi dan feses sapi potong. Selain itu banyak sedikitnya jumlah mikrobia dipengaruhi oleh perbedaan jenis makanan, umur ternak, kondisi
pengumpulan feses, cara
memelihara dan juga faktor
lingkungan (Anonimus, 1980).
MATERI DAN METODA
Penelitian ini di Desa
Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo, DIY dan di Lab.Tanah Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.
Materi Penelitian
Bahan yang digunakan
dalam penelitian adalah larutan feses sapi potong dan feses babi masing-masing sebanyak 123,09 kg. Alat yang digunakan adalah digester berupa drum plastik
bekas dengan kapasitas 125
l,digunakan sebanyak 9 buah, Gas
holder, terbuat dari plastik
berukuran 60 kg, 9 buah, selang kecil, digunakan untuk mengukur
tekanan gas berbentuk “U”,
thermometer, diperlukan 10 buah thermometer air raksa, pH Meter, digunakan untuk mengukur derajat keasaman isian digester (substrat), drum bekas dan ember dan Kompor gas.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan
tiga level perlakuan dan tiga ulangan yaitu campuran feses babi dengan feses sapi . Sebelum
substrat dimasukkan kedalam
digester dilakukan pengamatan berupa kadar bahan kering feses dan substrat serta pengukuran C/N
rasio. Pengamatan setelah
pengisisan substrat adalah
pengukuran pH, , pengukuran suhu lingkungan dan digester serta pengukuran produksi gas bio. 1. Analisis kadar bahan kering
feses dan substrat 2. Pembuatan substrat
Substrat dibuat dengan
perbandingan feses dengan
air 1 : 3 dari drum
bagian x 125 l = 109,38 kg/l (kotoran + air)
a. P1 digunakan substrat yang
terdiri dari feses babi
sebanyak 20,51 kg, feses sapi 6,84 kg dan airnya sebanyak 82,04 l b. P2 digunakan substrat yang
terdiri dari feses babi
sebanyak 13,675 kg, feses sapi 13,675 kg dan airnya sebanyak 82,04 l.
c. P3 digunakan substrat yang
terdiri dari feses babi
sebanyak 8,84 kg, feses sapi 20,51 kg dan airnya sebanyak 82,04 l.
3. Pengukuran derajat keasaman,
temperatur digester dan
temperatur lingkungan 4. Pengukuran gas bio
Setelah digester di isi dengan substrat (P1), (P2) dan (P3)
dan pengisian dilakukan
sampai hampir penuh yaitu 7/8
bagian drum berkapasitas 125 litter, pengukuran tekanan gas bio dalam slang yang diisi air indicator dimulai pada hari ke dua setelah substrat dimasukan
kedalam digester. Untuk
mengukur tekanan dalam gas
holder digunakan rumus:
P =
.
g
.
h
13
1
Produksi gas bio dihitung berdasar
tekanan suhu atmosfir 290C dengan
menggunakan rumus Boyle-Gay
Lussac 2 2 2 1 1 1
.
.
T
V
P
T
V
P
Analisis DataPenelitian ini menggunakan Complletely Randomized Design
(CRD) pola searah, dengan
analisis data adalah analisis
variansi. (Astuti, 1980). Hipotesis
Produksi gas bio
dipengaruhi oleh macam/level
substrat / campuran (feses sapi dan feses babi).
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis bahan kering Feses dan substrat, pH serta C/N rasio
Analisis bahan kering
(BK) feses (P3) sebesar 33,80%,
lebih besar dari (P1) 29,35% dan
(P2) 25,98%. Perbedaan BK terjadi
karena pengaruh pakan, umur ternak, jenis ternak dan besar
kecilnya ternak. Selengkapnya
data BK adalah sbb.:
P : Tekanan dalam gas holder
g :
Gayagrafitasi bumi
h : Selisih permukaan air dalam
manometer
P1 : Tekanan gas dalam 1 atm
P2 : Tekanan gas dalam gas holder
V1 : Volume gas pada tekanan 1 atm
V2 : Volume gas dalam gas holder
T1 : Suhu lingkungan ( 0
Kelvin) T2: Suhu dalam gas holder (0 Kelvin)
Tabel 1. Kadar bahan kering feses, substrat, pH dan C/N rasio Perlakuan BK. Feses ( % ) BK Substrat ( % ) pH C/N rasio P1 29,35 7,94 7,59 11,82 P2 25,98 7,84 7,52 10,32 P3 33,80 7,76 7,44 8,81
Sumber : Laboratorium Ilmu Tanah
Universitas Wangsa Manggala
Yogyakarta.
Kadar BK substrat masih
dalam kisaran normal yaitu (P3)
sebesar 7,76 %, (P2) 7,84% dan
(P1) 7,94%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Basuki, 1990) bahwa kadar bahan
kering substrat berada pada
kisaran 7 – 9 %.
Derajat keasaman (pH) P3
sebesar 7,44%, P2 sebesar 7,52%
dan P1 sebesar 7,59%. Wibowo et
al (1985) menyatakan bahwa
aktivitas mikroorganisme
dibutuhkan kisaran pH 6 – 8, sedangkan yang paling ideal 7,4
(Blot, 1976). Suriawirya dan
Sastramiharja (1980),
menambahkan bahwa fermentasi anaerob dapat bekerja dengan baik untuk menghasilkan gas bio secara optimal pada kisaran pH 6,8 – 8. Pada pH dibawah 6,8, misalnya
6,2, aktivitas mikroorganisme
metanogenik menurun sedang
bakteri asetogenik yang
menghasilkan asam asetat terus
meningkat dan mengakibatkan
produksi gas bio menurun
(Sihombing, 1997).
Hasil penelitian
menunjukan kandungan C/N rasio
(P3) adalah 8,81, (P2) adalah 10,32
dan (P1) adalah 11,82. Imbangan
karbon (C) dan nitrogen (N) yang
terkandung dalam bahan organik sangat menentukan kehidupan dan
aktifitas mikroorganisme.
Imbangan C/N yang optimum bagi mikroorganisme adalah 25 – 30 % (Surajudin et al, 2006).
Ratio C/N dalam bahan
organik sangat mempengaruhi
kegiatan mikroorganisme dalam memproduksi gas bio. Bila C/N terlalu tinggi populasi dan aktivitas mikroorganisme rendah akibatnya produksi gas bio menjadi rendah
atau mungkin tidak terbentuk
samasekali dan apabila C/N terlalu rendah akan mengurani nitrogen
yang akan berubah menjadi
ammonia dan meracuni bakteri (Hadi, 1982).
B Proses gas bio
Suhu lingkungan yang diperoleh dari hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan sebesar
28,16 0C dengan kisaran 18 – 32
0C.
22. 00 23. 00 24. 00 25. 00 26. 00 27. 00 28. 00 29. 00 30. 00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 HARI T E M P E R A T U R ( 0C ) BA BI 25% BA BI 50% BA BI 75% SUHU LINGKUNGA N
Perlakuan Suhu digester (0C) Suhu lingkungan
(0C)
P1 26,16 28,16
P2 26,38 28,16
P3 26,28 28,16
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suhu digester dari (P1) 26,16 0C, (P2) 26,38 0C
dan (P3) 26,28 0C, suhu tersebut
masih pada kisaran yang normal meskipun belum ideal untuk proses pembentukan gas bio. Fermentasi
dapat berlangsung bila suhu
lingkungan dan suhu digester
berkisar antara 5 – 55 0C,
sedangkan suhu digester yang
ideal antara 32 – 35 0C
(Sihombing, 1997).
Suhu digester berada
dibawah suhu lingkungan ideal dan
suhu digester mengalami
perubahan hampir sama dengan suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Meynell (1976) bahwa temperatur kerja penghasil gas bio sangat tergantung pada temperatur lingkungan, semakin tinggi suhu lingkungan, temperatur didalam pencerna (digester) gas bio semakin tinggi. Produksi gas
bio akan menurun akibat
perubahan temperatur yang
mendadak dalam digester.
Perubahan temperatur yang
tiba-tiba melebihi 3 0C akan
mempengaruhi proses produksi gas bio (Hadi, 1980).
Gambar 4. Grafik hubungan suhu digester dengan suhu lingkungan C Produksi gas bio
Volume gas bio yang di produksi setiap perlakuan tidak selalu sama. Adanya keteraturan yang sama yaitu bahwa produksi gas bio bervariasi dari ke hari
namun cenderung mengalami
kenaikan sampai dengan hari ke 20, tetapi setelah mancapai
puncak produksi akan terjadi
penurunan secara gradual. Hal ini di sebabkan oleh penurunan aktivitas bakteri anaerob, dengan adanya penurunan bahan organik yang telah mengalami degradasi menjadi komponen lain.
1. Pengukuran produksi gas bio
Tabel 3: Produksi gas bio dari campuran feses babi dengan feses sapi per 10 hari (l/1 atm/29 0C)
0.00 2 0.00 4 0.00 6 0.00 8 0.00 10 0.00 12 0.00 14 0.00 1 3 5 7 9 11 13 1 5 17 1 9 2 1 23 2 5 27 29 HARI T E M P E R A T U R ( 0 C )
F.B abi 25 % F.B abi 50 % F.B abi 75 %
Perlakuan Waktu Retensi P1 P2 P3 0 – 10 325.62 240.95 262.63 11 - 20 786.48 686.00 810.02 21 - 30 1083.10 1171.82 1152.18 Jumlah 2195.20 2098.77 2224.83 Reratans 731.73 699.59 741.61
ns. Rerata produksi gasbio ketiga perlakuan substrat berbeda tidak beda nyata (non significant).
Hasil penelitian produksi
gas bio selama 30 hari
menunjukkan bahwa puncak
produksi dari (P1) dicapai pada hari
ke 20 sebesar 114,16 l, (P2)
dicapai pada hari ke 25 sebesar
128,37 l dan (P3) dicapai pada hari
ke 24 sebesar 113,17 l. Perbedaan
tersebut dimungkinkan karena
adanya faktor yang mempengaruhi produksi gas bio seperti C/N rasio substrat, apabila C/N rasio substrat mendekati C/N rasio yang ideal yaitu 25 – 30 maka proses
fermentasi akan lebih cepat
sehingga produksi gas bio yang diproduksi akan lebih cepat.
Hasil analisa statistik untuk ketiga perlakuan macam substrat menunjukkan adanya perbedaan
yang tidak nyata. Hal itu
disebabkan semua perlakuan
substrat mempunyai pH, suhu lingkungan ,suhu digester dan bahan kering substrat yang hampir
sama. Adanya kecenderungan
perbedaan dikarenakan adanya
faktor yang mempengaruhi
produksi gas bio seperti C/N rasio. Selain itu (P3) masih banyak aktifitas mikrobia dan zat-zat lainnya seperti protein, lemak, lignin dan lainnya yang dapat diurai menjadi gas methan. Fakta
menunjukan bahwa perlakuan
dengan slah satu bahan (feses)
yang banyak memiliki
kecenderungan produksi gasbio yang relative lebih banyak, hal ini disebabkan karena tingginya C/N rasio pada babi dan didukung banyaknya mikroorganisme yang mampu merubah gas methan yang terdapat pada feses sapi.
Puncak produksi gasbio
sesuai dengan Basuki et al (1990)
yaitu bahwa puncak produksi
gasbio dicapai pada hari ke 21 – 25 dan setelah mencapai puncak produksi gas bio akan menurun secara gradual. Pada hari ke 30 gas bio masih tetap berproduksi ini
dimungkinkan karena masih
adanya substrat yang dapat
digunakan untuk proses
pembentukan gas bio, sehingga
prses fermentasi tetap
berlangsung.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Biogas mulai terbentuk pada hari ke 2 dan puncak produksi dicapai pada hari ke 21 - 25 dengan bahan baku sebanyak 27,35 kg. Produksi gas bio yang paling baik dari ketiga level adalah (P3) yaitu sebesar 2224,83 l dan terendah adalah (P2) sebesar 2098,77 l.
Saran
Dalam pembuatan gasbio sebaiknya menggunakan substrat dengan campuran feses babi 25% dengan feses sapi sebanyak 75%, karena akan dihasilkan produksi gasbio terbanyak.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1980. Guide Book on
Bio Gas Development. Energy Resources Development Series 21. United Nations Publ., Bangkok.
Astuti, M., 1980. Rancangan
Percobaan dan Analisis Statistik I. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Basuki, P., 1985. Pemanfaatan
Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi Rumah Tangga. Seminar on Development of Tropical
Resources and Efective
Utilization of Energi in
Agriculture. 21 – 22 Januari 1985, Yogyakarta.
Basuki, P., G. Murjito dan N.
Ngadiono. 1990. Hubungan
Antara Umur Isian Bahan Baku Dengan Produksi Gas Bio Pada Kotoran Sapi
Potong. Proyek
Peningkatan Perguruan
Tinggi. Fakultas
Peternakan, UGM,
Yogyakarta.
Blot, P. de. S. J., (1976). Recycling
Proses dalan Integrated Rural, Development system, Yayasan Realina, Yogyakarta.
Hadi, N., 1980. Sumber Gas
sebagai Sumber Energi dan Pengembangan Desa. Seminar Nasional Lembaga Penelitian Ternak. 28-29 Januari 1979, Jakarta. Hadi, Asmara, dan Ariono, 1982,
Pra Rencana Pabrik Bio Gas dari Kotoran Sapi, Fakultas Teknik Kimia, ITS, Surabaya.
Meynell., J. P. 1976. Methane Planning a Digester. Prism
Press, Stable Court,
Calmington, Dorchester,
Dosert.
Sihombing, D. T. H. 1980, Prospek Penggunaan Bio Gas untuk Energi Pedesaan di Indonesia, LPL, No II Tahun XIV, LEMIGAS, Jakarta.
Sihombing, D. T. H. 1997, Ilmu
Ternak Babi, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta Sihombing, D. T. H. 2000, Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan, Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Soejono, M., E.S. Soetarto, R.
Utomo, P. Basuki dan
Harsoyo. 1989. Pengaruh
Amoniasi Urea Jerami Padi Terhadap Kotoran Sapi
Untuk Produksi Gas Methana. Laporan Penelitian No. 50/L. PAU/UGM/215/1989. PAU. Bioteknologi UGM, Yogyakarta. Suriawiria, U. dan I. Sastramihardja. 1979. Faktor Lingkungan Biotis dan Abiotis didalam Proses Pembentukan Gas Bio Serta Penggunaan Starter Efektif didalamnya.
Lokakarya Pengembangan Energi Non Konvensional. Direktorat Jenderal
Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta.
Suriawirya, U, 2004, Menuai
Biogas dari Limbah, Info Teknologi, Bandung.
Sembiring, I, 2005, Biogas,
Alternatif Ketika BBM Menipis, Waspada Online, Fakultas Pertanian,
POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO KULONPROGO, YOGYAKARTA
Nur Rasminati*) Setyo Utomo*)
*)Staf Pengajar Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
The objectives of this research was to know the potency of DAS Progo for beef cattle development based on capability of forage production, carrying capacity and the level of animal productivity. The number of 60 respondents that live around DAS Progo, Lendah district, Kulon Progo regency were used in this research. The data were feed productivity, average daily gain (ADG) and calving interval were analyzed descriptively. The result showed that 96,66% respondents have areas DAS that is planted with forage. While the rest don’t have DAS area, but they undirectly used by buying from owner of DAS area. The productivity of elephant grass is 47,2 ton/Ha/defoliation, so it’s predicted the production in one year is 424,8 ton and can receive 33,25 UT of cattle. The ADG for PO and Simmental cross at 0 – 12 months are 0,476
g/head vs 0,509 g/head, 12 – 30 months are 0,379 g/head vs 0,445 g/head,
more than 30 month are 0,253 g/head vs 0,278 g/head. The calving interval
for PO dan Simmental are 15,33 and 13,67 months. It could be concluded that DAS Progo area in Kulonprogo regency has potency for the cattle development. The Simmental cross is appropriate to be developed in DAS Progo, it has growth rate and calving interval better than PO cattle.
Key words : DAS Progo, Beef cattle, The potency of area
PENDAHULUAN
DAS Progo menyimpan
potensi dalam menghasilkan
hijauan pakan ternak terutama
rumput gajah dan rumput star
grass yang berkembang pesat dengan produksi yang melimpah meskipun tanpa pembudidayaan yang intensif. Produksinya hampir 100 ton per ha per defoliasi. Hal ini
didukung oleh kondisi media
tumbuh yang sangat subur karena
tersedianya unsur-unsur hara
dalam tanah. Proses terbentuknya
tanah di sepanjang DAS Progo
disebabkan adanya endapan
sungai yang selalu terjadi pada saat air melimpah dan tanaman
yang ada, sehingga endapan
maupun seresah bahan organik yang terbawa air akan tertahan, akhirnya menjadi media tumbuh tanaman yang sangat subur. Areal yang berjarak sekitar 700 m dari
batas pemukiman penduduk
merupakan lahan yang dapat
ditanami hijauan pakan dan
Melihat fakta yang ada
dapat dipastikan bahwa
pengembangan ternak sapi
maupun ternak ruminansia lainnya dapat dilakukan secara intensif di wilayah tersebut. Kondisi yang ada
sekarang menunjukkan bahwa
ketersediaan hijauan belum
dimanfaatkan sepenuhnya oleh
masyarakat yang mempunyai
ternak sapi dengan pola
pemeliharaan yang masih
tradisional. Mereka justru memberi pakan jerami padi dengan alasan jerami padi lebih efisien karena sekali mendatangkan dengan truk bisa dapat digunakan berhari-hari. Hal ini dapat dipahami karena
pemeliharaan ternak hanya
merupakan usaha sambilan dan hanya sekedar sebagai tabungan
yang sewaktu-waktu dapat
digunakan untuk mendapatkan
uang kontan.
Permasalahan yang
dihadapi masyarakat adalah sapi yang berada di sepanjang DAS Progo belum berproduksi secara
optimal sehingga keuntungan
belum dapat dirasakan oleh petani
peternak. Mereka belum
memanfaatkan secara maksimal potensi DAS sebagai penyedia
rumput atau hijauan pakan.
Masyarakat perlu melihat secara
langsung bahwa wilayahnya
berpotensi sebagai pusat
pengembangan ternak sapi karena
keberadaan DAS dengan
ketersediaan hijauan yang cukup tinggi.
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kontribusi DAS Progo terhadap pengembangan ternak sapi di masyarakat sekitar
terutama dalam penyediaan
hijauan pakan, kemampuan
produksi rumput, daya tampung ternak, produktivitas ternak baik produksi maupun reproduksinya.
METODA PENELITIAN
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
desa
Ngentakrejo,
kecamatan
Lendah yang berada di wilayah
aliran
sungai (DAS)
Progo
Kulonprogo
Materi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
1. Peternak sapi, peternak
yang diambil sebagai
responden sebanyak 60
orang yang memiliki
minimal 1 ekor ternak sapi dalam berbagai fase. 2. Ternak sapi, dibutuhkan
minimal 60 ekor sapi dalam berbagai fase.
3. Hijauan pakan, yang
digunakan adalah hijauan pakan yang tumbuh di sepanjang DAS Progo yaitu rumput alam, rumput gajah dan star grass.
Metoda
Penelitian ini menggunakan metoda survey terhadap 60 petani
peternak responden sebagai
sampel yang berada di desa Ngentakrejo, kecamatan Lendah, Kulon Progo terutama yang berada di sepanjang DAS Progo.
Data yang diamati meliputi kinerja produksi sapi yang meliputi bobot badan pada setiap fase (pedet, fase pertumbuhan sampai dengan pubertas) dan ADG pada masa pertumbuhan dan kinerja
reproduksi seperti Calving Interval dan S/C serta data produksi
rumput, Carrying Capacity dan
jenis rumput unggul yang ada di wilayah DAS Progo.
Analisis Data
Data yang diperoleh baik data produktivitas hijauan maupun ternak, yang ada di DAS Progo
Kulonprogo dianalisis secara
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah
Penelitian
Luas wilayah desa
Ngentakrejo adalah 540,8865 Ha terdiri atas pemukiman, ladang, jalan, kuburan dan lahan DAS Progo. Kondisi DAS yang cukup
luas sebagai lahan hijauan
merupakan potensi yang baik
untuk usaha pengembangan
peternakan terutama ternak sapi potong. Diperkirakan desa ini memiliki lahan DAS sekitar 399 Ha. Kepemilikan lahan DAS
Ketersediaan
lahan
hijauan pakan di sepanjang
DAS Progo akan menentukan
jumlah hijauan pakan ternak
yang dapat disediakan sebagai
pakan. Pada kenyataannya
sebagian besar lahan DAS
ditanami hijauan pakan berupa
rumput unggul (rumput gajah
maupun star grass). Sehingga
secara langsung sumber daya
DAS
akan
menentukan
keberhasilan usaha ternak sapi
potong di DAS Progo.
Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa
sebagian besar masyarakat di
desa Ngentakrejo (96,66%)
memiliki lahan DAS yang ditanami dengan hijauan pakan. Sedangkan sisanya tidak memiliki lahan DAS namun secara tidak langsung memanfaatkannya dengan cara membeli rumput kepada pemilik lahan DAS. Kepemilikan lahan DAS berlangsung secara turun temurun dan tidak dibuktikan oleh
tanda bukti apapun, hanya
berdasarkan siapa yang terlebih
dahulu memanfaatkannya.
Selengkapnya data kepemilikan lahan DAS tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Kepemilikan lahan daerah aliran sungai (DAS) Progo
Jumlah responden
Luas DAS (m2) Orang Persentase
0 2 3,33 100 – 500 33 55 600 – 1000 8 13,33 1100 – 1500 4 6,67 1600 – 2000 6 10 > 2000 7 11,67 Jumlah 60 100
Daya tampung DAS Progo
Fungsi DAS Progo bagi masyarakat disekitarnya adalah
sebagai lahan sawah / pertanian tadah hujan, lahan hijauan pakan ternak, tanaman pertanian seperti jagung, pisang, singkong, dan
bahkan sebagai lahan
penambangan pasir. Santosa
(1992) menyatakan bahwa DAS merupakan bagian integral dari kesatuan wilayah teritorial yang
mempunyai potensi untuk
mendukung bidang pertanian
termasuk bidang peternakan. Fungsi sinergis yang telah berlangsung selama ini adalah sebagai lahan penyedia hijauan pakan ternak khususnya ternak
sapi. Kebanyakan tanaman
rumput yang ditanam adalah
rumput gajah, rumput raja dan
rumput star grass serta rumput
alam yang tumbuh secara liar. Pengelolaan hijauan pakan unggul belum dilakukan secara intensif, hanya dalam pemberian pupuk
saja sedangkan pendangiran
jarang dilakukan sehingga
produktivitasnya belum optimal. Cara penanaman rumput gajah dan raja dilakukan dengan pols (akar) bukan menggunakan stek, sehingga diharapkan akan mempunyai titik tumbuh yang lebih banyak dan produksinya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan stek. Luas lahan di sepanjang DAS yang diperkirakan
sekitar 420 Ha di wilayah
Ngentakrejo, hal ini dapat menjadi
potensi untuk pengembangan
usaha peternakan karena
tersedianya lahan untuk sumber pakan yang cukup luas.
Dari hasil penelitian
diketahui bahwa produksi rumput
gajah adalah sebesar 47,2
ton/Ha/defoliasi, sehingga
diperkirakan produksi hijauan
selama satu tahun adalah 424,8 ton dan menampung sapi dewasa sekitar 33,25 UT/th. Produksi rumput gajah di lokasi penelitian belum optimal (optimal sekitar 150 ton/ha/defoliasi), karena rumput gajah di sepanjang DAS walaupun diberi pupuk, tetapi belum sesuai
standar kebutuhan. Hal ini
disebabkan peternak kurang
memiliki modal untuk membeli sarana produksi termasuk membeli pupuk. Para peternak lebih mengutamakan memupuk tanaman pertaniannya dibandingkan dengan tanaman rumput.
Pemberian Pakan
Ketersediaan pakan secara
kontinyu, murah dan mudah
didapat merupakan kunci sukses
keberhasilan suatu usaha
peternakan. Biaya pakan
menduduki porsi sekitar 70 – 80 % dari total biaya produksi. Atas dasar itulah pemenuhan pakan
secara cukup dan sempurna
merupakan suatu keharusan dalam
suatu usaha peternakan,
khususnya pada ternak ruminansia kebutuhan akan hijauan pakan
ternak juga menjadi sangat
penting.
Umumnya sapi di wilayah DAS mengkonsumsi pakan berasal dari hijauan pakan di lahan DAS
(100%) meskipun harus
menambah jerami dari daerah lain dengan alasan kepraktisan dalam teknis memotong hijauan terutama dari aspek waktu. Sedangkan
berdasarkan jenis rumputnya
masyarakat DAS Progo sebagian besar memberikan jenis rumput
gajah sebagai pakan ternak
sapinya (86,67%) sedangkan
sisanya (13,33%) memberikan
campuran rumput gajah dengan rumput alam yang juga diambil dari lahan DAS.
Defoliasi terhadap rumput gajah maupun rumut raja dilakukan pada umur 30 – 40 hari, dengan alasan penampilan rumput belum
terlalu tua dan ternak lebih
menyukainya. Sebagaimana
pendapat Reksohadiprojo (1985)
yang menyatakan bahwa
sebaiknya pemotongan rumput
gajah adalah umur 6 – 8 minggu atau dilakukan paling baik adalah pada umur 6 minggu (42 hari).
Jumlah pemberian rumput gajah per hari per ekor sapi adalah sekitar 25 kg untuk sapi dewasa (sekitar 18 bulan) dengan taksiran berat sekitar 350 kg sehingga
masih diperlukan lagi hingga
mencapai 35 kg/ekor/hari.
Meskipun ternak tersebut juga diberi pakan tambahan atau pakan penguat yang terdiri atas bekatul, ampas tahu, kulit kedelai dan
ketela. Rata-rata responden
memberikan pakan penguat
berupa bekatul (83,34%), bahan campuran (ampas tahu, bekatul, kulit kedelai dan ketela) sebanyak 1,66% dan hanya 1,66 yang
memberikan ampas tahu dan
sebanyak 13,34% masyarakat DAS tidak memberikan bahan pakan penguat.
Capaian Produksi Sapi Sebagian besar masyarakat di sepanjang DAS Progo memiliki ternak sapi potong rata-rata 2 ekor
(41,66%) atau berada pada jumlah kepemilikan antara 1 – 5 ekor, dengan status kepemilikan adalah milik sendiri (61,6%), gaduhan (28,3%) dan lain-lain (10%). Dari jumlah tersebut bangsa sapi yang dipelihara adalah sapi PO (52,2%) dan sapi Simental (47,8%). Umur sapi yang dipelihara masyarakat di DAS Progo terbanyak adalah anakan sampai dengan umur 30 bulan (76,31%) dan sisanya di atas 30 bulan.
Berdasarkan kenyataan
tersebut menunjukkan bahwa
sudah terdapat kesadaran
masyarakat untuk beternak sapi dari bangsa unggul yang lebih menguntungkan. Meskipun dari status kepemilikan ternak sapi
terbesar adalah milik sendiri
namun untuk pengembangan
usaha masih dibutuhkan
permodalan karena rata-rata
kepemilikan hanya 2 ekor.
Prospek
pemeliharaan
sapi masyarakat DAS cukup
baik terutama ditinjau dari umur
ternak
sapinya
disamping
bangsa
yang
dipelihara.
Dengan umur sapi anakan
sampai
dengan
30
bulan
menunjukkan
sapi
dalam
kisaran umur produktif baik
untuk
tujuan
penggemukan
maupun
tujuan
pembibitan.
Peningkatan
produktivitas
sangat
mungkin
dilakukan
dalam
rangka
meningkatkan
kesadaran beternak sebagai
suatu kegiatan usaha. Indikator
kinerja sapi dapat ditentukan
berdasarkan capaian
Avarage
Daily Gain (ADG) dan dari
kinerja
reproduksinya
sudah
tergambarkan dalam ukuran CI
(Calving Interval).
ADG sapi DAS Progo
Angka ADG menunjukkan hasil capaian dari seekor ternak (sapi) yang merupakan gambaran prestasi dari berbagai pengaruh baik genetik maupun lingkungan yang ada dimana sapi tersebut
berada dan dipelihara.
Pengaruhnya akan sangat nyata terutama pada masa pertumbuhan sapi (0 – 18 bulan) atau sebelum pubertas dicapai. Capaian ADG untuk sapi dengan bangsa yang
berbeda yaitu PO dan Simmental dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan rata-rata ADG sapi PO dan Simmental pada umur pertumbuhan anakan sampai dengan 12 bulan diketahui adalah
0,476 g/ekor/hari vs 0,509
g/ekor/hari. Perbedaan ADG antar ke dua bangsa disebabkan karena genetik yang berbeda, sapi PO merupakan keturunan sapi-sapi
Bos Zebu yang memiliki
kemampuan pertumbuhan lebih lambat jika dibandingkan dengan
Simmental yang merupakan
keturunan Bos taurus.
Tabel 2. Capaian ADG sapi DAS berdasarkan bangsa yang berbeda Avarage Daily Gain (ADG) g/ekor
Umur (bulan ) Peranakan Ongole (PO) Simmental
0 – 12 0,476 0,509
13 - 30 0,379 0,445
> 30 0,253 0,278
Williamson dan Payne
(1993) menyatakan bahwa
rata-rata ADG dari mulai sapih
sampai siap potong untuk
sapi-sapi
keturunan
Bos
taurus
sebesar 0,84 kg sedangkan
sapi-sapi keturunan
Bos indicus
sebesar
0,33
kg.
Menurut
Reksohadiprodjo
(1985),
kenaikan berat badan harian
sapi keturunan
Bos taurus lebih
besar dibandingkan dengan Bos
indicus karena secara genetis
kedua
bangsa
ini
memiliki
karakteristik
dalam
hal
pertumbuhan, pertumbuhan Bos
indicus
lebih
lambat
dibandingkan
dengan
Bos
taurus.
Rata-rata pertumbuhan
harian sapi Simmental yang
dipelihara di wilayah DAS hanya
mencapai angka pertumbuhan
0,509 g/ekor/hari. Perbedaan ini
disebabkan karena sapi-sapi
Simmental yang dipelihara
masyarakat DAS bukan
merupakan keturunan Bos taurus
murni namun sudah merupakan persilangan dengan sapi-sapi PO (keturunan Bos Zebu) (Williamson dan Payne, 1993). Selain itu,
pakan yang diberikan oleh
standar kebutuhan sehingga pertumbuhan yang dihasilkan juga masih rendah.
Pada pertumbuhan 12
bulan sampai dengan 30 bulan
baik sapi-sapi PO maupun
Simmental mengalami penurunan
ADG yaitu 0,379 g/ekor/hari vs
0,445 g/ekor/hari, namun sapi Simmental masih berada lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi PO. Hal ini disebabkan karena masa pertumbuhan optimal sudah terlewati dan juga sapi-sapi sudah mengalami masa pubertas maupun kelahiran pertama pada sapi betina. Kedua bangsa yang
berbeda capaian ADG nya
disebabkan karena sistem
pemeliharaan dan kemampuan
genetis. Untuk sapi PO memiliki kemampuan genetis lebih rendah
dibandingkan dengan sapi
Simmental terutama dalam hal
pertumbuhan (Reksohadiprodjo,
1985).
Hal yang sama ditunjukkan pada ADG umur sapi di atas 30 bulan yang hanya dicapai pada sapi PO 0,253 g/ekor/hari dan sapi Simmental 0,278 g/ekor/hari. Penurunan ADG ini diakibatkan karena kondisi fisiologis sapi yang
sudah banyak mengalami
penurunan dalam pertumbuhan jaringan otot namun sudah lebih dominan ke arah pembentukan timbunan lemak. Dalam kondisi ideal berat tubuh akan bertambah (mengikuti kurva sigmoidal) yang menunjukkan laju pertumbuhan lebih besar pada saat menjelang pubertas dan selanjutnya akan
berangsur-angsur menurun
(lambat) pada saat dicapai dewasa kelamin (Williamson dan Payne,
1993; Black, 1983 dan Hammond, dkk, 1984).
Interval kelahiran
Untuk mengetahui kinerja
reproduksi ternak sapi dapat
dilakukan dengan pengukuran
interval kelahiran (calving interval = CI). Atas dasar perhitungan CI
maka performens dari pola
pemeliharaan dan kemampuan
ternak akan dapat tergambarkan
dengan baik dan jelas. Calving
interval akan menggambarkan jarak beranak yang normal jika
batas-batas waktu ideal
berdasarkan kondisi fisiologis
ternak dapat tercapai. Kondisi paling ideal dari CI adalah 12 bulan (negara-negara maju) dan
13,5 bulan untuk Indonesia
(Hardjosubroto, 1994).
Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa rata-rata CI untuk sapi PO dan Simmental masing-masing adalah 15,33 dan 13,67 bulan. Ternyata CI sapi Simmental mendekati kondisi CI yang digunakan di Indonesia yaitu 13, 5 bulan dan agak panjang untuk sapi PO. CI dipengaruhi oleh faktor genetik dan
sistem pemeliharaan termasuk
kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Berdasarkan capaian nilai CI pemeliharaan sapi di wilayah DAS sudah tergolong baik terutama untuk sapi Simmental yang mampu merespon lingkungan
secara baik dalam kinerja
reproduksinya meskipun agak
rendah pada sapi-sapi PO.
Calving Interval menggambarkan estrus kembali
setelah beranak (Estrus Post
bunting. EPP dipengaruhi oleh
penyapihan (weaning), kualitas dan
kuantitas pakan dan kondisi
kesehatan ternaknya. S/C
dipengaruhi oleh kondisi ternak sapi, kualitas dan kuantitas pakan dan ketrampilan inseminator . Lama bunting sapi rata-rata pada
kisaran 286 hari, maju dan
mundurnya waktu bunting
ditentukan oleh kondisi kesehatan induk, kondisi foetus dan jumlah anak yang dikandungnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
penelitian disimpulkan bahwa
wilayah DAS Progo mampu
menopang
pakan
ternak
khususnya untuk ternak sapi.
Kinerja produksi dan reproduksi
sapi
potong
masih
perlu
ditingkatkan
lagi.
Sapi
keturunan
Simmental
cocok
untuk dikembangkan di wilayah
DAS,
memiliki
angka
pertumbuhan dan jarak beranak
yang
lebih
baik
jika
dibandingkan dengan sapi PO.
DAFTAR PUSTAKA
Black, J.L., 1983. Sheep
Production. Butterworth, London.
Hammond, J.Jr, Bowman, J. C dan Robinson T. R., 1984. Hammond’s Farm Animals.
5th ed. Butler dan Tanner
Ltd. London. Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Grassindo. Jakarta. Reksohadiprodjo, S., 1985.
Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE, Yogyakarta.
Santoso, H., 1992. Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai :
Konsepsi dan
Kebijaksanaan. Makalah disampaikan pada kursus
Evaluator AMDAL
Pertanian, 22 Mei 1992.
Departemen Pertanian,
Jakarta.
Wiiliamson, G dan W. J. A. Payne,
1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada
University Press,
ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO
KABUPATEN KULONPROGO Sundari 1dan Komarun Efendi2 1
Dosen, Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
2Alumni Prodi Produksi Ternak UMBY
ABSTRACT*)
This research was conducted to investigate the income and feasibility of etawah cross farming in Girimulyo, Kulonprogo regency. Location was determined by purposive on 3 villages and such as a combination of the high of land and population of Etawah cross. Samples were taken by proportional random sampling 10% of farmers. There were 51 farmers of 3 villages : Jatimulyo 37 respondent, Giripurwo 10 respondents, and Pendoworejo 4 respondents. The characteristics of respondents were the everage 48,78 years old, 50,99% on elementary school, 78,51% farmer as main job, experienced 25,05 years, 8 mature goat owned or 1,18 AU. The data analysis showed that the average income was Rp. 4.486.443,31 per year. This farming was feasible to be raised with RCR value 1,28 and rentability value 28,03%. The rentability was higher than Bank BRI rate in Girimulyo sub district. Break Event Point (BEP) Rp. 787.822,60 or 0,17 AU, about 1 mature goats. It was concluded that Etawah cross farming was profitable and feasible to be raised.
Key words : Etawah cross, income, feasibility, Girimulyo subdistrict.
PENDAHULUAN Permintaan pasar daging
kambing dalam negeri setiap tahun mencapai 4,3 juta ekor. Sekitar 15% dari jumlah tersebut masih diimpor. Peluang pasar ekspor bahkan jauh lebih besar. Menurut
data Food and Agriculture
Organization (FAO), peluang pasar daging kambing dunia saat ini mencapai 22,2 juta ekor per tahun. Sebagian besar permintaan itu datang dari Afrika, Amerika, Asia dan Eropa. Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, tingkat
konsumsi daging per kapita dunia khususnya negara berkembang akan terus meningkat. Di sisi lain laju konsumsi daging kambing di
Tanah Air juga mengalami
peningkatan dengan laju 5,6% per tahun, bahkan pada tahun 2005 total konsumsi daging mencapai 18,531 ton atau 5,25 kg per kapita
per tahun (Anonimus, 2005),
sehingga ternak kambing masih
sangat berpeluang untuk
dikembangkan guna mencukupi kebutuhan gizi masayarakat dari protein hewani nasional.
Sampai saat ini peternakan di Indonesia masih didominasi oleh peternakan rakyat, dengan jumlah kepemilikan ternak kambing sedikit
yaitu 1-2 ekor saja, serta
kepemilikan lahan yang sempit.
Usaha peternakan kambing
merupakan usaha sampingan dari usaha tani tanaman pangan yang
dilakukan petani di pedesaan
(Murtidjo, 1995). Ternak kambing dapat beranak kembar dan mudah dalam pemeliharaannya. Ditinjau dari aspek pengembangan secara komersil sangat potensial bila diusahakan, karena umur dewasa kelamin dan dewasa tubuh serta
lama bunting ternak kambing
sangat pendek dibandingkan
dengan ternak ruminansia lainnya.
Kecamatan Girimulyo
terletak pada ketinggian 500 m diatas permukaan air laut dengan
suhu rata-rata harian 25-270 C dan
curah hujan 1.192 mm/tahun. Pada umumnya masyarakat Girimulyo
bermata pencaharian sebagai
petani, sehingga pada tahun 2003 hasil pertanian mencapai 38 % dari
total penghasilan daerah
Kecamatan Girimulyo (Data Pokok Pembangunan, 2003). Akan tetapi penghasilan dari sektor pertanian sangat ditentukan oleh adanya musim penghujan, sehingga pada musim kemarau hasil pertanian menurun. Oleh karena itu banyak petani yang berusaha memenuhi
kebutuhan keluarga dengan
beternak, karena wilayah
kecamatan Girimulyo yang berbukit sampai pegunungan cocok untuk pengembangan ternak kambing Peranakan Etawah.
Ketersediaan pakan untuk ternak di daerah Girimulyo sangat
mencukupi, ini didukung adanya hutan lindung dan petani yang rata-rata berkebun serta banyaknya lahan yang tidak bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian maupun
perkampungan maka daerah
tersebut ditanami tanaman
kaliandra/ramban. Ternak kambing lebih menyukai pakan rambanan daripada pakan berupa rumput-rumputan (Sarwono, 2006).
Ciri-ciri kambing Etawah adalah berat badan relatif besar 50-70 kg, tinggi gumba sekitar 70-80 cm, kepala tegak, garis profil cembung dan produksi susu rata-rata 2-3 liter/ekor/hari (Djanah, 1988). Ciri-ciri kambing Peranakan Etawah diantara kambing kacang (lokal) dengan kambing Etawah. Derajat kecembungan, garis profil,
panjang maupun lebar daun
telinga, berat badan, tinggi dan lain-lain hampir sama dengan kambing Etawah. Produksi daging kambing ini sangat baik dengan
pertambahan berat badan 49
gram/hari, sedangkan produksi
susu 1-1,5 liter/hari. Berat badan jantan dewasa rata-rata 45 kg dan 38 untuk betina dewasa, bobot lahir rata-rata 3,5 kg. Sentra
kambing Peranakan Etawah
terdapat di Kecamatan Kaligesing,
Kabupaten Purworejo dan
Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo serta Kecamatan Turi,
Kabupaten Sleman (Sarwono,
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Girimulyo Kabupaten
Kulonprogo Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Materi yang digunakan pada
penelitian ini adalah :
1. Peternak kambing
Peranakan Etawah yang ada di desa Jatimulyo, Giripurwo dan Pendoworejo
Kecamatan Girimulyo
dengan jumlah sebanyak 51 responden.
2. Peralatan yang digunakan
adalah : kuisioner dan alat tulis.
Penentuan Sampel Lokasi
Kecamatan Girimulyo terdiri dari 4 desa yaitu desa Purwosari,
Jatimulyo, Giripurwo dan
Pendoworejo. Pada letak
ketinggian yang berbeda terdapat
perbedaan biaya produksi,
terutama air guna memenuhi
kebutuhan hidup ternak. Lokasi
penelitian diambil secara Purposive
pada tiga desa yang dianggap
mewakili dan merupakan
kombinasi antara tinggi tempat dan kepadatan peternak yaitu desa yang datarannya relatif tinggi, sedang dan rendah serta pada desa dimana populasinya relatif padat, sedang dan sedikit. Desa yang ada di dataran tinggi adalah
Jatimulyo, sedang adalah
Giripurwo dan dataran rendah
adalah Pendoworejo. Jumlah
peternak kambing Peranakan
Etawah di Kecamatan Girimulyo
sebanyak 876 peternak yang
tersebar di empat desa (Tabel 1). Tabel 1. Populasi peternak kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Girimulyo. No Desa Jumlah Peternak (orang) Tinggi tempat (DPL) Suhu rata-rata 1 Purwosari 360 750 m 23-30 0C 2 Jatimulyo 370 750 m 23-30 0C 3 Giripurwo 100 600 m 24-30 0C 4 Pendoworejo 46 500 m 24-30 0C Jumlah 876
Sumber : Monografi Kecamatan Girimulyo, 2006 Pengambilan Sampel Responden
Pengambilan sampel
responden menggunakan metode Purposive Random Sampling
sebanyak 10% dari jumlah
peternak.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan
dengan metode survey terhadap
peternak kambing Peranakan
Etawah yang berada di lokasi terpilih secara acak. Data yang diambil meliputi data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan peternak
seperti keterangan atau
angka-angka yang diperoleh secara
langsung dari peternak sebagai
responden yang terdiri dari
identitas peternak, biaya produksi (biaya tetap dan biaya tidak tetap)