• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Informasi adalah salah satu kebutuhan manusia yang selalu mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat akan kebutuhan informasi yang semakin lama semakin modern khususnya media cetak. Dalam era globalisasi yang diiringi dengan semakin berkembangnya teknologi ini, masing-masing media massa berkompetisi untuk meningkatkan produktifitasnya, baik tampilan luar maupun tampilan dalam isinya.

Media massa dipandang punya kedudukan strategis untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Dengan begitu media massa merupakan instrumen fungsi pragmatis dari pihak di luar media massa ataupun bagi pemilik media massa sendiri dalam menghadapi masyarakat.

Isu sensitivitas gender di media massa memiliki kompleksitas tersendiri di Indonesia, sebagaimana layaknya negara dunia ketiga lainnya, masih menganggap gender sebagai konsep baru. Konsep gender masih harus melakukan beberapa adaptasi sebagai sistem nilai setempat agar dapat diterima secara luas. Pengelola media yang lebih banyak laki-laki menghasilkan produk yang cenderung berpihak pada kepentingan laki-laki, meskipun ada liputan tentang perempuan, maka tendensi yang muncul sarat dengan kepentingan komersial semata. Media secara tidak sadar seringkali membuat relasi-relasi tertentu yang bias gender, seperti menempatkan posisi perempuan sebagai pihak yang lemah, dan membuat konstruksi kebenaran yang diproduksi oleh laki-laki. Paradoks terjadi ketika berita yang dihasilkan menjadi bias gender. Sementara media massa mempunyai peran signifikan untuk menanamkan ideologi gender di tengah stereotip tentang gender yang berlaku di masyarakat.

Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Dr. Daniel Dhakidae, yang mengatakan bahwa pers, terutama suratkabar harian, sebagai sosok yang

(2)

male industry, suatu industri yang didominasi oleh kaum laki-laki dari segi kuantitas (personalia) maupun kualitas (struktur organisasi dan manajemen kerja) (Siregar, 1999:14).

Belum banyak media memenuhi etika media dan hak korban dalam pemberitaan kekerasan seksual. Sejumlah istilah justru menempatkan tindak kekerasan seksual sebagai isu moralitas. Berdasarkan pengamatan terhadap delapan media, yaitu Jakarta Post, Jakarta Globe, Kompas, Media Indonesia, Republika, Seputar Indonesia, Koran Tempo, dan Post Kota, baru tiga media yang memenuhi etika media dan hak perempuan korban kekerasan, yaitu Jakarta Post (84%), Kompas (80%), dan Media Indonesia (73%). Namun, dalam pemberitaan kekerasan seksual, pemenuhan etika media dan hak perempuan korban berkurang secara signifikan, yaitu tak lebih dari 50%. (Komnas Perempuan, 2011)

Fakta di atas menyebabkan sensitivitas gender pengelola media massa yang diimplementasikan lewat kebijakan media, bisa dikatakan masih belum memadai. Persoalan perempuan yang diakibatkan oleh munculnya diskriminasi, subordinasi atau marginalisasi di tengah masyarakat, masih dihampiri secara setengah-setengah. Sebagian besar pengelola media massa masih memiliki kepercayaan dan nilai yang bias gender. Ideologi patriarki masih kuat melekat pada para pengelola media massa.

Pemberitaan suatu peristiwa di media massa terkait dengan ideologi yang mereka anut. Media massa memiliki kemungkinan keberpihakan terhadap ideologi, gagasan-gagasan, dan kepentingan-kepentingan tertentu. idologi yang bekerja di media massa merupakan ideologi yang pluralis. Kita harus melihat apa saja yang bekerja dalam ideologi itu, yaitu istiadat, budaya, kekuatan politik, dan lain-lain. Pada umumnya ideologi juga dianggap menyusup ke dalam teks untuk memproduksi dan mereproduksi relasi kekuasaan yang tidak seimbang, yaitu relasi dominan.

Ideologi patriarki sebagai ideologi umum masyarakat Indonesia, membawa konsekuansi pada posisi dan peran perempuan di media, sebab bagaimanapun media tidak hidup dalam situasi yang bebas nilai terhadap

(3)

lingkungan sosialnya. Artinya bahwa suatu media pasti memiliki orientasi nilai keyakinan, kesadaran kultural, profesionalitas dan keberpihakan. Diakui atau tidak ideologi gender yang muncul secara dominan dalam masyarakat di atas, mengakibatkan adanya fenomena di mana status peran dan kedudukan perempuan menjadi tidak pernah mengalami kemajuan yang berarti.

Orientasi jurnalisme di Indonesia yang sangat patriarkat, dalam prakteknya telah menyebabkan proses marjinalisasi perempuan dalam kehidupan. Pembertaan media di Indonesia mengenai permasalahan gender belum menunjukkan keadilan karena menampilkan peristiwa secara faktual tanpa disertai perspektif gender. Persoalan perempuan yang diakibatkan munculnya diskriminasi, subordinasi atau marginalisasi di tengah masyarakat, masih dihampiri secara setengah-setengah. Sebagian besar pengelola media massa masih memiliki kepercayaan dan nilai yang bias gender. Hal ini tercipta karena lingkungan internal media dan lingkungan sosial dimana pengelola media tersebut berada, masih mngukuhkan praktek dan menjadi agen perilaku yang bias gender. Suara perempuan menjadi suara yang terbisukan dalam media massa.

Fakta ini jelas bertolak belakang dengan gagasan normatif yang muncul dalam Undang-Undang Pers No.40/ Tahun 1999 Pasal 2 tentang Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, yang menyebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Selain itu juga bertentangan dengan Kode etik Jurnalistik pasal 1, yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, mengasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Independen adalah membuat suatu berita sesuai dengan hati nurani, tidak paksaan, baik dari pihak lain maupun perusahaan pers. Akurat adalah bisa dipercaya, sedangkan berimbang adalah semua pihak mendapatkan kesempatan setara. Prinsip tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat untuk merugikan pihak lain secara sengaja. Kedua undang-undang tersebut menyiratkan bahwa

(4)

media dalam melakukan konstruksi pemberitaan, seharusnya tidak melakukan diskriminasi terhdap perempuan dan komunitas lain yang dimarjinalkan.

Penelitian ini akan mengalisis berita mengenai isu gender yang terdapat pada koran lokal di Yogyakarta tahun 2013, dalam hal ini Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja untuk memperoleh gambaran bagaimana media massa tersebut membingkai berita sehingga gambaran bagaimana opini publik yang tercipta dari berita-berita yang telah dibingkai oleh media tersebut juga diperoleh.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana perbedaan pembingkaian berita surat kabar lokal Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja) terkait isu Gender?

1.3 Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan perbedaan pemberitaan yang tekait isu Gender pada surat kabar Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari pemaparan di atas, manfaat penelitian ini adalah :

1.4.1 Dapat memberi gambaran mengenai perbedaan pembingkaian berita mengenai isu gender yang muncul di koran lokal, dalam hal ini Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja.

1.4.2 Dapat dijadikan bahan acuan dalam penelitian-penelitian analisis framing selanjutnya.

1.5 Kerangka Pemikiran

Terkait dengan persoalan gender, maka “campur tangan” media dalam menyajikan berita melalui proses yang disebut konstruksi realitas

(5)

(construction of reality). Liputan di media massa secara tertulis ataupun rekaman adalah konstruksi realitas, yaitu upaya menyusun realitas dari satu atau sejumlah peristiwa yang semula terpenggal-penggal (acak) menjadi tersistematis hingga membentuk cerita atau wacana yang bermakna.

Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1966) adalah tokoh pertama yang menggunakan istilah konstruksi sosial. Social Construction of Reality, Berger dan Luckman menjelaskan betapa realitas dalam kehidupan sehari-hari telah memberikan ingatan, kesadaran, dan pengetahuan yang membimbing tindakan pada sesuatu yang dianggap wajar. Indikasi seperti ini menerangkan bahwa makna dalam kehidupan sehari-hari tidak ada tanpa interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Lebih lanjut Berger dan Luckman menjelaskan:

“I know that my natural attitude to this world corresponds to the natural attitude of others, that they also comprehend the objectifications by which this world is ordered, taht they also organize this world around the “here and now” of their being in it and have projects for working in it. All the same, I know that I lie with them in a common world. Most imprortantly. I konw that there is an ongoing correspondence between my meanings and their meanings in this world, that we share a common sense about its reality” (Berger & Luckman, 1966 : 22)

Penjelasan Berger dan Luckman di atas memperlihatkan bahwa realitas dalam pandangan konstruksi sosial sangat mementingkan proses dialogis berkesinambungan yang terjadi antara satu individu tersebut tentang dunia. Kualitas lain yang disebutkan oleh Berger dan Luckman adalah pemaknaan “here and now” pada manusia tentang keberadaan dan tujuan mereka di dunia.

Bagaimana persisnya media massa mengkonstruksikan realitas? Sederhananya, proses konstruksi realitas adalah upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, orang atau benda dan tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik. Bahkan karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan

(6)

peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) sedemikian rupa susunannya hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna.

Dalam konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama (Berger dan Luckman, 1967: 34-46). Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita maupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti, seluruh isi media entah media cetak maupun elektronik adalah bahasa, baik bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non-verbal (gambar, photo, gerak-gerik, grafik, angka dan tabel). Lebih jauh dari itu, terutama dalam media massa, keberadaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) mengenai suatu realitas (realitas media) yang akan muncul di benak khalayak.

Di samping penggunaan bahasa, media juga melakukan strategi pembingkaian (framing strategy). Di sini media mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur tertentu, sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan dari narasi (berita) yang akan dibentuk. Alhasil, dilihat dari strategi framing ini, setiap berita selalu memiliki struktur internalnya sendiri yakni gagasan inti (a central organizing ide) yang dibingkai dalam sebuah struktur tertentu (Gamson dan Modigliani, 1989 : 3).

Oleh karena itu, media massa memiliki peran besar dalam membentuk dan mengubah pikiran, perasaan, sikap, opini dan perilaku masyarakat pada setiap individu, termasuk perempuan, konstruksi wacana dalam dalam media massa terkadang menjadi tumpuan pengharapan kaum perempuan “mengucapkan” diri, namun secara ideologis media massa terkadang belum memihak kepentingan kaum perempuan. Perlakuan yang tidak proporsional dialami perempuan dalam pemberitaan di media. Media

(7)

melalui konstruksi bahasa yang dibuat, telah menyebabkan suara perempuan terbungkam. Pembungkaman kemudian mengarah pada ketidakmampuan perempuan untuk mengekspresikan diri secara nyata dalam berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat. Teoritisi komunikasi, Cheris Kramarae (Kramarae, 1981: 1-32) mengembangkan Muted Group Theory dengan menggabungkaannya dengan hasil-hasil penelitian tentang perempuan dan komunikasi.

Cheris Kramarae memandang pembicaraan laki-laki dan perempuan sebagai pertukaran yang tidak setara antara mereka yang mempunyai kekuasaan di masyarakat dan yang tidak. Ia meyakini bahwa kurang bisanya perempuan mangartikulasi diri/ memperjuangkan diri dibanding laki-laki di sektor publik sebab kata dalam bahasa dan norma-norma yang mereka gunakan itu telah dikendalikan laki-laki. Sepanjang pembicaraan pembicaraan perempuan sebagai tentatif dan sepele, posisi dominan laki-laki aman. Kramarae yakin bahwa kebisuan perempuan itu cenderung menipis, kontrol mereka dalam kehidupan kita akan meningkat.

Teori ini memandang bahwa bahasa adalah batasan budaya, dan karena laki-laki lebih berkuasa dari perempuan, laki-laki lebih mempengaruhi bahasa sehingga menghasilkan bahasa yang bisa laki-laki. Hal ini terjadi karena bahasa dari budaya yang khusus tidak menyajikan semua pembicara (speakers) secara sama, tidak semua pembicaraa berkontribusi dalam formulasi yang sama. Perempuan (dan anggota dari kelompok subordinat) tidak sebebas dan semampu laki-laki untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma untuknya menggunakan formulasi dari kelompok dominan, yaitu laki-laki.

Charlotte Krolokke dan Anne scott Sorensen (2006) membuat klasifikasi bahasa yang membedakan dengan jelas man language dan women language. Berikut daftar yang dibuat Krolokke dan Sorensen:

(8)

Tabel 1.1

Man Language dan Women Language

No Man Language Woman Language

1. Strong assertion : penegasan/klaim kuat

Attenuated assertions : Penegasan/klaim lemas 2. Disagreement with others :

perselisihan dengan orang lain

Support and agreement with others Dukungan dan kesepakatan dengan orang lain

3 Less Polite : kurang sopan More polite Lebih sopan 4 Sarcasm and insult :

Sarkasme dan hinaan 5 Use more violent verbs :

Menggunakan kata kerja yang lebih keras/tegas

Use more natural and affectionate verbs

(9)

dan kasih sayang 6 Evaluatif judgement

Evaluasi yang menghakimi

Appreciation and support Apresiasi dan dukungan 7 Self promotion Promosi diri Apologies Permintaan maaf 8 More profanity Lebih senonoh

More emoticons and laughter Lebih emosional dan mengandung tawa

Selanjutnya, Kramarae merancang tiga asumsi dari muted group theory, yaitu : (1) Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki-laki karena perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Pengalaman yang berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat. Perbedaan ekspresi ini seringkali terlihat pada perbedaan antara dunia kerja, komersial dan kompetisi serta dunia privat rumah, keluarga, dan pengasuhan; (2) karena laki-laki merupakan kelompok dominan di masyarakat, persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan. Muted Group Theory melalui konsep persepsi ini membawa komunikasi pada garis terdepan. Khususnya, muted group theory mengemukakan bahwa karena kelompok dominan (khusunya laki-laki kulit putih Eropa) mengontrol makna ekspresi publik, seperti media massa, hukum dan pemerintah, maka gaya ekspresi mereka mempunyai hak istimewa (privileged).

Sokongan komunikasi kulit putih ini akan memasukkan segala sesuatu daroi perspektif dominasi rasionalitas publik dan organisasional yang berbicara dengan menggunakan metafora untuk memberikan komentar dan lelucon yang menghina perempuan; dan (3) sehingga, agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus menstransformasi meodelnya dalam term sistem ekspresi yang dominan tersebut. Cara-cara perempuan dalam berbicara seperti wacana emosional, metafora yang relevan dengan kehidupan rumah, tidak akan memiliki tempat dalam dunia

(10)

laki-laki dan laki-laki akan mengklaim bahwa mereka tidak dapat memahami perempuan atau mode ekspresinya. Melalui proses yang meliputi ejekan, ritual, penjagaan gawang, dan pelecehan, perempuan akan dibuat bisu atau sukar berbicara dalam diskursus publik. Tegasnya, perempuan akan sering merasa tidak nyaman berbicara dalam arus utama masyarakat, karena harus menterjemahkan gagasannya ke dalam bahasa komunikasi publik yang didominasi laki-laki. Sehingga perempuan dianggap sederhana/ simpel dalam berbicara, atau menggunakan bentuk interaksi “bawah tanah” seperti : catatan harian, jurnal, atau ruang obrolan khusus perempuan.

Pembungkaman terhadap suara perempuan semakin meneguhkan pandangan bahwa kerja jurnalisme adalah dunia maskulin yang pelakunya (sebagian besar) laki-laki dan menggunakan sudut pandang laki-laki dalam melihat dan menggambarkan berbagai realitas sosial. Hal yang hampir sama diungkapkan dalam laporan yang dikeluarkan Women, Men and Media Project menurut Jade Kramer yang mengungkapkan secara kritis cerita-cerita di balik Perang Teluk (Gulf war). Menurut laporan tersebut hampir seluruh cerita yang ada hanya mengenai laki-laki, pekerjaan mereka, senjata dan opini mereka. Semuanya “male story” (tavris, 1992 : 309). Male story pun menjadi wujud praktik ideologi patriarki di media massa. Dalam kondisi seperti itu seluruh kerja jurnalistik mulai dari penugasan wartawan, penulisan berita, proses memilih, memilah, menyunting bahkan pemilihan tipografi jenis huruf sebenarnya dikonstruksi oleh beberapa orang yang mayoritas laki-laki.

Sedangkan menurut Gaye Tuchman (1978 : 183), setiap masyarakat mendefinisikan berita sesuai struktur sosialnya. Norma dan sikap tertentu yang mendefinisikan aspek kehidupan sosial yang dianggap menarik oleh masyarakat. Struktur menyangkut aktivitas pekerja media dan organisasi ketika mereka mengaktualisasikan norma-norma dalam masyarakat yang mempunyai peran penting. Struktur tak lagi penting, tapi individu penting. Muncul distorsi berita karena norma yang merasuk dalam

(11)

diri individu dan diaktualisasikan sesuai norma dia sebagai individu. Menurut Glaslow University Media Group (GUMG) (1980: 3), berita bukan semata-mata serangkaian fakta atau cermin dari realitas eksternal. Sebaliknya, itu adalah produk budaya dan gambaran dunia produksi dari dalam, dengan menggunakan kerangka interpetatif.

Media mengikutsertakan perspektif dan cara pandang mereka dalam menafsifkan relitas sosial. Mereka memilih untuk menentukan aspek-aspek yang ditonjolkan maupun dihilangkan, menentukan struktur berita yang sesuai dengan kedendak mereka, dari sisi mana peristiwa yang ada disoroti, bagian mana dari peristiwa yang didahulukan atau dilupakan ; siapakah yang diwawancarai untuk menjadi sumber berita, dan lain-lain. Berita bukan representasi dari peristiwa semata-mata, akan tetapi di dalamnya memuat juga nilai-nilai lembaga media yang membuatnya.

Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996: 105), menyebutkan bahwa pelapisan-pelapisan yang melingkupi intitusi media. Keduanya membuat model “hierarchy of influence” yang menjelaskan ada hirarki pengaruh terhadap teks berita yang dihasilkan oleh wartawan, yaitu: (1) faktor individual, (2) rutinitas media, (3) organisasi, (4) ekstra media, dan (5) ideologi.

Faktor individual, bahwa sebuah teks media muncul dipengaruhi oleh karakteristik pekerja komunikasi, latar belakang profesial dan personal. Artinya, seorang wartawan perempan berbeda dengan wartawan laki-laki ketika meliput kasus kekerasan seksual (misalnya). Latar belakang pribadi si wartawan akan mempengaruhi sudut pandangnya dalam menulis berita, pemilihan judul, lead dan bahkan pemilihan narasumber yang sesuai dengan keyakinannya. Maka dari itu, tidaklah mengherankan apabila kita sulit mengharapkan objektivitas berita, karena bias bisa saja terjadi. Begitu juga, pendidikan serta latar belakang sosial politik serta ekonomi si wartawan akan sangat mempengaruhi berita yang dihasilkan.

Faktor organisasi, berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan

(12)

wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu. Masing-masing komponen dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk menwujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar bagian berita tertentu disajikan, tapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.

Faktor ekstra media, berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media, yaitu : (1) sumber berita, (2) sumber penghasilan media, dan (3) pihak ekternal.

Faktor ideologi, diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Raymond William (dalam Eriyanto, 2001: 87-89) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah, yaitu : (1) sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu, (2) sebuah sistem kepercayaan yang dibuat –ide palsu atau kesadaran palsu- yang biasanya dilawankan dengan pengetahuan ilmiah, dan (3) proses umum produksi makna dan ide.

(13)

Ranah ideologi pertama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebagai misal, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demonstrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemonstrasi mengganggu kelangsungan produksi. Oleh karenanya, demonstrasi tidak boleh ada, karena hanya akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, menganggu kemacetan lalulintas, dan membuat perusahaan mengalami kerugian besar. Jika memprediksi sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap, tetapi ideologi tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam individu sendiri, melainkan diterima masyarakat.

1.6 Kerangka Konsep

Dari teori-teori yang telah dipaparkan, ada beberapa konsep utama yang akan dielaborasi dalam penelitian ini. Konsep-konsep ini akan dioperasionalisasikan lebih dalam hingga cukup mumpuni untuk dijadikan variabel penelitian. Konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut:

1.6.1. Berita terkait Isu Gender

Yang dimaksud dengan berita terkait isu gender adalah berita harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja yang menyajikan isu gender sebagai salah satu bahasan. Berita tersebut meliputi pembahasan mengenai peristiwa yang berhubungan dengan isu gender dari berbagai pihak yang berisi pendapat atau gagasan narasumber tertentu terkait dengan isu gender. 1.6.2. Unit Analisis Berita terkait Isu gender

Dalam penelitian ini, framing adalah proses menyeleksi dan memberi perlakuan tertentu terhadap beberapa aspek dari peristiwa terkait isu gender dan membuatnya tampil lebih mencolok dalam teks berita. Cara-cara media membuat peristiwa terkait isu gender agar lebih menonjol dalam berita dapat dinilai dari struktur teks dan jenis berita.

(14)

a. Struktur teks

Zhong Dang Pan dan Kosicki menawarkan model framing yang tepat untuk dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini. Menurut mereka, framing dibagi menjadi empat struktur besar yaitu sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Skema besar analisis framing Pan dan Kosicki (dalam Eriyanto 2005: 925) dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 1.2

Perangkat Framing Pan dan Kosicki

STRUKTUR PERANGKAT FRAMING UNIT YANG DIAMATI

SINTAKSI: Cara wartawan menyusun fakta.

1. Skema berita Headline, lead, latar informasi, sumber, pernyataan, penutup. TEMATIK: Cara wartawan menulis fakta. 3. Detail 4. Maksud Kalimat 7. Koheransi 8. Bentuk Kalimat 9. Kata Ganti Paragraf, Proporsi. RETORIS: Cara wartawan menekankan fakta. 10. Leksikon 12. Metaphor 13. Pengandaian

Kata, Idiom, gambar/ foto, grafis.

Sumber : Eriyanto, 2009

b. Struktur Sintaksis

Struktur ini berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa-pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa- ke dalam bentuk susunan umum berita. Struktur sintaksis ini dapat diamati dari bagan berita (lead, latar, headline, kutipan yang diambil, dan sebagainya). Unit analisis yang diamati adalah:

(15)

1) Headline, adalah judul berita yang terletak di halaman pertama surat kabar. Headline memiliki tingkat kemenonjolan yang tinggi dan menunjukkan kecenderungan berita. Sebab, pembaca biasanya lebih mengingat headline daripada bagian berita yang lain untuk mengingat wacana berita.

2) Lead, merupakan pengantar sebelum masuk ke dalam isi berita. Lead bisa menjadi penjelas atau pemerinci headline, bias juga memberikan sudut pandang berita dan menunjukkan perspektif tertentu dan peristiwa yang diberitakan.

3) Latar. Dengan mengemukakan latar tertentu dari sebuah peristiwa, dapat diketahui ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa. Latar umumnya ditampilkan pada awal sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul dengan maksud mempengaruhi dan memberikan kesan bahwa pendapat tersebut sangat beralasan. Oleh karena itu latar dapat membantu menyelidiki bagaimana seseorang memberi pemaknaan terhadap suatu peristiwa.

4) Kutipan. Penulisan kutipan sumber bertujuan untuk membangun objektivitas dan covering both story. Kutipan pun dipakai untuk menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam berita bukan sekedar pendapat wartawan, melainkan pendapat dari narasumber yang memiliki otoritas tertentu. Posisi/jabatan, latar belakang pendidikan,atau bidang kepakaran narasumber menjadi faktor penting dalam menilai sebuah berita. Karenanya, pemilihan narasumber bisa menjadi indikator penting mengenai cara media memframing beritanya.

c. Struktur skrip

Struktur yang berhubungan dengan cara wartawan bercerita dalam mengemas peristiwa menjadi berita. Bentuk umum dari struktur ini adalah pola 5W+1H (who, what, when, where, why, dan how). Unsur kelengkapan ini menjadi penanda framing yang penting karena dengan mengabaikan satu atau lebih unsur hingga tak dimuat dalam berita, maka makna berita itu akan menjadi lain.

(16)

Skrip juga menjadi satu strategi wartawan dalam mengkonstruksi berita: bagaimana suatu peristiwa dipahami melalui cara tertentu dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Sikap memberikan tekanan mana yang didahulukan dan bagian mana yang kemudian bisa menjadi strategi untuk menyembunyikan informasi penting.

d. Struktur Tematik

Bagi Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis. Peristiwa yang diinput, sumber yang dikutip, dan pernyataan yang diungkapkan, semuanya digunakan untuk memberi dukungan logis bagi hipotesis yang dibuat. Pengujian hipotesis ini bisa disamakan dengan struktur skematis berita.

Struktur ini berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa, serta apa tema yang dipilihnya dalam berita. Tema-tema itu bisa ditemukan dengan melihat bentuk kalimat, kehadiran detail, kata ganti yang digunakan, serta hubungan antar kalimat (koherensi).

1) Koherensi. Adalah pertalian atau jalinan antar kata atau kalimat dalam teks. Disini koherensi digunakan untuk menentukan bagaimana hubungan fakta satu dengan fakta lainnya sehingga dapat menjelaskan makna apa yang ingin ditampilkan komunikator. Ada beberapa macam koherensi: (a) koherensi sebab-akibat, yaitu satu proposisi dan kalimat dipandang sebagai akibat atau sebab dari proposisi lain. Ditandai dengan kata ‘sebab’ atau ‘karena’; (b) koherensi penjelas, proposisi dan kalimat dipandang sebagai penjelas proposisi lain. Ditandai dengan kata ‘dan’ atau ‘lalu’; (c) koherensi pembeda, proposisi dan kalimat dipandang sebagai pembeda dari proposisi atau kalimat lain. Koherensi jenis ini ditandai dengan kata hubung ‘dibandingkan’ atau ‘sedangkan’.

2) Bentuk kalimat. Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis yakni pinsip kausalitas. Logika kausalitas ini bisa berarti susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Bentuk kausalitas ini tidak sekedar persoalan teknis

(17)

kebahasaan tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berpola aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya. Pola kalimat memang bisa dibuat aktif atau pasif, namun pada umumnya pokok yang dianggap penting selalu diletakkan di awal kalimat. Bentuk kalimat juga menentukan apakah seseorang diekspresikan secara eksplisit atau implisit dalam teks.

3) Kata ganti. Elemen wacana yang digunakan untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana psisi seseorang dalam wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti ‘saya’ atau ‘kami’ yang menggambarkan sikap tersebut sebagai sikap resmi komunikator belaka. Tetapi ketika memakai kata ganti ‘kita’ sikap tersebut terlihat sebagai representasi sikap bersama dlaam suatu komunitas. Batas antara komunikator dengan khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap keseluruhan komunitas. Sedangkan penggunaan kata ganti ‘mereka’ justru menciptakan jarak dengan komunikator bahkan menjelaskan pihak yang berbeda pendapat dengan komunikator.

4) Detail. Berhubungan dengan kontrol informasi yang ingin ditampilkan. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan dengan detail dan lengkap, kalau perlu diperinci dengan data, informasi yang menguntungkan atau menimbulkan citra yang diinginkannya. Sebaliknya, ia akan informasi yang sedikit, bakan kadang tidak disampaikan, apabila hal tersebut merugikan atau tidak sesuai dengan makna yang ingin dikonstruksinya. Elemen detail merupakan strategi penonjolan makna yang dilakukan wartawan seara implisit. Wacana mana yang dikembangkan wartawan kadangkala tidak perlu disampaikan secara terbuka, tetapi dari detail bagian mana yang dikembangkan dengan detail yang besar.

(18)

e. Struktur Retoris.

Ini berhubungan dengan cara wartawan menekankan arti tertentu hingga menciptakan citra dari sebuah fenomena ke dalam berita. Elemen yang dapat diamati dari struktur ini yang terpenting adalah leksikon, Metafora, dan grafis.

1) Leksikon. Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Wartawan memilih kata tidak terjadi begitu saja. Pilihan kata yang mereka gunakan secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.

2) Metafora. Adalah kata atau kelompok kata yang mengandung arti bukan sebenarnya, dapat berupa kiasan, kepercayaan masyarakat, pribahasa, pepatah, kata-kata kuno, ayat ajaran agama, serta ungkapan sehari-hari yang dipakai secara strategis sebagai landasan berfikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Pemakaian metafora tertentu dapat memunculkan gambaran makna berdasrkan persamaan atau perbandingannya dengan arti harfiah kata-kata yang digunakan.

3) Grafis. Dalam wacana berita, grafis biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain, misalnya pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, atau huruf dengan ukuran besar. Elemen grafis juga muncul dalam bentuk foto, gambar, dan tabel untuk mendukung arti penting dari suatu pesan. Bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut.

Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang dapat menunjukkan kecenderungan wartawan dalam memahami suatu peristiwa. Dengan kata lain, ia dapat diamati dari bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk umum berita, cara wartawan mengisahkan peristiwa, kalimat yang dipakai, dan pilihan kata atau idiom. Ketika menulis berita dan menekankan makna atas peristiwa, wartawan akan memakai semua strategi wacana itu untuk meyakinkan khalayak pembaca bahwa berita yang dia tulis adalah benar.

(19)

Jenis berita. Selain keempat struktur itu, penting pula untuk mengamati jenis berita. Sebab, tiap jenis berita memiliki karakteristik masing-masing dan karenanya mampu membawa makna tersendiri bagi peristiwa yang tengah diangkat. Penelitian ini membatasi ada 3 jenis yang akan diteliti yaitu straight news, soft news, dan feature.

a. Straight news atau berita langsung adalah berita yang dibuat untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa yang secepatnya harus diketahui khalayak. Karena itu, yang dilaporkan hanya momentum dari sebuah peristiwa. Fokus berita ini adalah mengenai ‘apa’ yang telah terjadi. Sehingga tak berlebihan jika berita langsung bertujuan untuk membentuk atau memperkuat sense mengenai peristiwa yang diberitakan.

b. Soft news atau berita ringan merupakan berita tentang kejadian yang bersifat manusiawi dalam sebuah peristiwa yang penting. Berita ringan biasanya merupakan lanjutan dari berita langsung. Kalau berita langsung menonjolkan unsur momentum, maka berita ringan cenderung menonjolkan unsur menarik dari sebuh peristiwa dengan mengutamakan jawaban mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi.

c. Kolom merupakan tulisan tentang komentar seseorang mengenai masalah yang sedang hangat di masyarakat.

1.7 Definisi Operasional 1.7.1. Analisis Framing

Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja

Isu Gender Realitas

Framing

Televisi Radio Surat kabar Film Internet

(20)

Analisis framing merupakan strategi pembingkaian yang digunakan oleh pekerja media mengenai sebuah isu yang berkaitan dengan realitas tertentu, dengan menonjolkan isu tertentu sementara isu yang lain dikaburkan bahkan dihilangkan maknanya, walaupun isu yang dihilangkan tersebut merupakan isu yang penting. Eriyanto (2002:4) mengemukakan karena penonjolan atau penekanan aspek tertentu dari realitas tersebut akan membuat (hanya) bagian tertentu saja yang bermakna, lebih mudah diingat, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak, sehingga secara singkatnya pandangan Eriyanto ini mau menjelaskan bahwa media mempunyai peran yang sangat beras dalam membingkai suatu realitas. Akibatnya orang akan mengingat dan mengikuti peristiwa yang diberitakan oleh media, sementara berita yang lain dilupakan walaupun berita yang lain tersebut lebih penting dari realitas yang ditonjolkan oleh media massa.

1.7.2. Berita

Berita dapat diartikan sebagai sebuah laporan dari jurnalis mengenai sebuah peristiwa yaang terjadi di sebuah kota atau negara dan bagian dunia yang lain, di televisi, radio, suratkabar, dsb. Dalam tulisan ini, berita yang dipakai adalah berita terkait isu gender yang di muat oleh SKH Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja selama tahun 2013.

1.7.3. Gender

Gender juga dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan antara peranan atau kedudukan antara laki-laki dan perempuan, di mana peranan itu tercipta dari mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Sifat-sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan dalam konsep gender dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Sifat-sifat tersebut juga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, maupun dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya (Aristiarini, 1998: 27).

(21)

Sementara itu, konsep gender merupakan suatu hal yang terbentuk karena adanya pengaruh sosial, geografis, maupun kebudayaan dalam suatu masyarakat. Untuk memperjelas konsep sex dan gender dapat dilihat pada skema berikut (Aristiarini, 1998: 27),

Gambar 1.1

Skema perbedaan Seks dan Gender

Perbedaan gender sebenarnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan (Fakih, 1996: 12). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum perempuan maupun laki-laki menjadi korban dalam sistem tersebut (Fakih, 1996: 12). Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan dan menjadi fenomena problematic sentral gender yang dapat diangkat oleh pers untuk melihat masalah perempuan

SEX GENDER

Biologis Konstruksi / bentukan sosial

Dipunyai sejak lahir

Tidak dipunyai sejak lahir

Tidak Bisa diubah

(22)

a. Gender dan marginalisasi perempuan

Marginalisasi merupakan suatu kondisi yang diartikan semakin miskin dan tersingkirnya (kaum perempuan) karena tidak mendapatkan sesuatu. Atau penjelasan lain adalah kecenderungan meminggirkan perempuan dalam sektor-sektor kehidupan (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007: 146). Dalam hal ini, isu yang sering diangkat oleh pers adalah isu sekitar tersingkirnya dan terdiskriminasikannya kaum perempuan dari dunia kerja serta berbagai sektor publik lainnya. Diskriminasi di sini bisa berupa perlakuan yang tidak adil dalam soal gaji, diskriminasi jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, dan lain-lain (Aristiarini, 1998: 58).

b. Gender dan subordinasi

Pandangan gender ternyata dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 1996: 15). Dalam isu ini, perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap, sebagai obyek dan tidak punya posisi tawar yang kuat dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga, di organisasi, politik maunpun bisnis (Aristiarini, 1998: 59)

c. Gender dan stereotip

Secara umum, stereotip merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Stereotip muncul karena adanya mitos-mitos masyarakat terhadap tugas kaum perempuan yang berkaitan dengan stereotipnya (Fakih, 1996: 16). Pada isu ini persoalan perempuan adalah mereka menerima berbagai cap sosial budaya sebagai

(23)

kaum yang lemah dan tak berdaya, tidak rasional, kelompok masyarakat kelas dua, kelompok sosial yang mudah dieksploitasi, mudah dilecehkan, dan lain-lain (Aristiarini, 1998: 59).

d. Gender dan kekerasan

Kekerasan diartikan sebagai serangan terhadap fisik maupun integral psikologis seseorang (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007: 111). Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat (Fakih, 1996: 17). Di sini isu yang sering diangkat oleh pers sekitar kekerasan fisik maupun psikis yang menimpa perempuan, mulai dari masalah perkosaan, pelecehan seksual, pemukulan atau penyiksaan sampai pada pembunuhan. Juga isu pornografi dan komodifikasi perempuan termasuk pelacuran (Aristiarini, 1998: 58)

e. Gender dan beban kerja

Pada isu ini persoalan perempuan mengemuka ketika perempuan harus mengambil dua peran sekaligus sebagai akibat kondisi rumah tangga yang patriarki, yaitu peran sektor domestik dan sektor publik. Akibatnya, perempuan amat menderita fisik maupun psikis yang berat dari harus membanting tulang mencari nafkah untuk keluarga sambil terus mengerjakan pekerjaan domestik, seperti memasak, mengasuh anak, mencuci dan lain-lain (Aristiarini, 1998: 59).

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh masyarakat, pekerjaan domestik dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan laki-laki. Sementara itu kaum perempuan, karena

(24)

anggapan gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak, kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Semua ini telah memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan (Fakih, 1996: 21-22). Dengan demikian, dapat disimpulkan manifestasi ketidakadilan gender ini talah mengakar mulai dalam keyakinan masing-masing orang, keluarga hingga pada tingkat negara yang bersifat global.

1.8 Metodologi Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif tentang analisis framing pemberitaan di isu gender. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan jenis penelitian yang menyelidiki suatu objek tertentu, sekelompok manusia atau organisasi, untuk mendapatkan gambaran tentang fakta-fakta yang terjadi maupun fenomena, dimana data yang digunakan berupa kata-kata, bukan angka karena penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan variabel atau menguji hipotesis. Saifuddin Azwar mengungkapkan bahwa dalam penelitian deskripsi bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.1

1.8.2. Objek Penelitian

Penelitian ini mengambil objek dua media cetak di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu SKH Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja. Unit observasi adalah headline pemberitaan bias-gender yang diterbitkan media dengan mengambil sampel berita mulai tanggal 25 November – 10 Desember 2013 di masing-masing media. Masa ini diambil karena

(25)

bertepatan dengan kampanye “16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan”. Asumsinya terjadi kenaikan pemberitaan terkait isu gender. 1.8.3. Waktu Penelitian

Berikut ini merupakan waktu penelitian yang penulis lakukan: Tabel 2. Waktu Penelitian

Waktu Kegiatan November 2013 – Desember 2013 Pengumpulan Data Penelitian Desember 2013 – Januari 2014 Analisis Data 1.8.4. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan data berupa teks yang merepresentasikan orang-orang, tindakan-tindakan dari peristiwa yang menjadi obyek penelitian.

1.8.5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2006: 231). Dokumentasi dalam penelitian ini adalah artikel berita-berita mengenai pemberitaan terkait isu gender di harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja dalam kurun waktu 25 November – 10 Desember 2013.

1.8.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis framing. Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara media bercerita atas peristiwa. Cara bercerita tergambar pada “cara melihat” terhadap realitas yang dijadikan berita. “Cara melihat” ini berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realitas. Ada dua esensi utama dari framing yaitu, pertama, bagaimana peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta itu ditulis. Aspek

(26)

ini berhubungan dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar untuk mendukung gagasan. Sebagai sebuah metode analisis teks, analisis framing mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan analisis isi kuantitatif. Dalam analisis isi kuantitatif, yang ditekankan adalah isi (content) dari suatu pesan atau teks komunikasi. Sementara dalam analisis framing, yang menjadi pusat perhatian adalah pembentukan pesan dari teks. Framing, terutama, melihat bagaimana pesan atau peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dan menyajikannya kepada khalayak pembaca.2

Model framing yang diperkenalkan oleh Pan dan Kosicki adalah salah satu model yang paling populer dan banyak dipakai. Bagi mereka, analisis framing dapat menjadi salah satu alternatif dalam menganalisis teks media di samping analisis isi kuantitatif. Dalam media, framing dipahami sebagai perangkat kognisi yang digunakan dalam informasi untuk membuat kode, menafsirkan, dan menyimpannya untuk dikomunikasikan dengan khalayak yang semuanya dihubungkan dengan konvensi, rutinitas, dan praktik kerja profesional wartawan.3

Perangkat framing dapat dibagi ke dalam empat struktur besar, yaitu: 4

a. Struktur Sintaksis

Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa-pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan umum berita.

b. Struktur Skrip

Skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Struktur ini melihat bagaimana strategi cara bercerita atau bertutur yang dipakai oleh wartawan dalam mengemas peristiwa ke dalam bentuk berita.

c. Struktur Tematik

2 Eriyanto. 2005. Op.cit., hlm 10-11. 3 Ibid., hlm 189.

(27)

Tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan dalam bentuk yang lebih kecil.

b. Struktur Retoris

Retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembaca.

Tabel 1.3 Perangkat Analisis

STRUKTUR PERANGKAT

FRAMING

UNIT YANG DIAMATI

SINTAKSIS Cara wartawan menyusun berita

Skema berita Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup TEMATIK

Cara wartawan menulis fakta

1. Detail 2. Koherensi 3. Kata Ganti

Paragraf, kalimat, hubungan antar kalimat RETORIS Cara wartawan menekankan fakta sintaksis 1. Leksikon 2. Metafora Kata, idiom. Sumber: Eriyanto, 2005.

(28)

Dimensi gender yang ada dikolom terakhir dari tabel diatas akan digunakan sebagai landasan analisa tentang bagaimana praktek gender dilakukan di ketiga kedua media tersebut.

Gambar

Tabel 2. Waktu Penelitian
Tabel 1.3  Perangkat Analisis

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk (Shape) cara selanjutnya untuk membuat elemen visual dan elemen verbal adalah dengan cara memilih dan meletakkannya dalam bentuk yang. telah

Kebijakan redaksional surat kabar untuk menentukan apakah suatu kejadian (peristiwa) penting atau tidak, bisa dilihat dari nilai berita ( news value ) yang terkandung

Kesalahan yang banyak ditemukan dalam karangan narasi ekspositoris peserta didik adalah kesalahan pada penulisan huruf kapital, kata hubung, tanda baca, kalimat

Pembatasan ini berupa satuan lingual (kata, frasa, kalimat, dan wacana) berdasarkan konteks sosial dan budaya yang terdapat pada doa, mantra, dan ungkapan-ungkapan dalam

Di era digital saat ini media daring dituntut menemukan cara-cara segar dan inovatif dalam menyajikan konten berita (Wendratama, 2017, p. Bentuk inovasi dan cara baru

Penanda tuturan dalam bentuk verba ataupun kata panggilan juga akan diteliti pada penelitian ini (Cook, 2011). Perbedaanya pada penelitian ini adalah menganalisis

Bentuk bahasa dapat direalisasikan melalui penggunaan kata, frasa, klausa atau kalimat yang memiliki struktur dan sistem terbentuknya bahasa tersebut sehingga dapat

Kalimat Kausal Bahasa Jerman oleh Saputro pada tahun 2009. Hal ini mengindikasikan bahwa memang penggunaan kata penghubung dalam kalimat, khususnya dalam kalimat