• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PELABUHAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PELABUHAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA DI INDONESIA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PELABUHAN TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA DI INDONESIA

Diana Sekarayu Karunia Komara Djaja

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

Email: dianakarunia@ymail.com

ABSTRAK

Peran kota adalah sebagai pusat aktivitas ekonomi suatu negara. Di Indonesia, aktivitas ekonomi terkonsentrasi di area perkotaan, terutama di kota-kota pesisir yang memiliki pelabuhan. Penelitian ini mengkaji peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota di Indonesia dan perbedaan pertumbuhan antara kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelabuhan berperan penting terhadap pertumbuhan kota, sesuai dengan pola pertumbuhan kota pelabuhan di Asia. Selain itu, terdapat perbedaan pertumbuhan kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan dilihat dari proporsi jumlah tenaga kerja manufaktur, kepadatan penduduk, dan rata-rata tingkat pendidikannya.

THE ROLE OF PORT ON CITIES’ ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA ABSTRACT

City acts as a core of economic activity in a country. In Indonesia, economic activity is concentrated in urban areas, especially in coastal cities which have ports. This study examines the role of port on cities growth in Indonesia and the differences on growth among port cities and non-port cities. The result shows that ports play important role on cities growth, similar with the pattern of port cities growth in Asia. Moreover, there are differences on growth among port cities and non-port cities in proportion of manufacture employment, population density, and average education level.

Keywords: Port City, Economic Growth, City Growth

PENDAHULUAN

Kota berperan sebagai pusat aktivitas utama ekonomi suatu negara. Kota dapat dipandang sebagai mesin inovasi dan pertumbuhan perekonomian modern karena

menyediakan komoditas yang penting, yaitu informasi. Hal ini memberikan kemudahan bagi proses produksi barang dan jasa serta aktivitas perekonomian lainnya. Kota menyediakan variasi barang dan jasa, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penduduknya.

Pada umumnya, pusat kota awalnya tumbuh di daerah pesisir karena efisiensi ekonomi dan keuntungan konsumsi (Henderson, 1986; Quigley, 1998; Venables, 2009). Berdasar sejarahnya, peningkatan efisiensi cenderung berdasar lokasi geografis: kota cenderung berlokasi dekat dengan laut atau sungai sehingga mempermudah pengiriman barang dengan

(2)

Kota Pelabuhan

Kota tidak memiliki pelabuhan 0 10.000.000 20.000.000 30.000.000 40.000.000 50.000.000 60.000.000 70.000.000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

biaya yang rendah dan perusahaan yang berlokasi dekat sungai mendapat keuntungan karena bisa memanfaatkan arus sungai menjadi sumber tenaga. Hal ini terjadi di berbagai negara, begitu pula di Asia Tenggara di kota-kota seperti Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur, Ho Chi Minh City, dan Manila yang berdiri dan tumbuh di pesisir.

Gambar

Gambar 1. Perbedaan Rata-rata PDRB Kota Pelabuhan dan Kota yang Tidak Memiliki Pelabuhan

Gambar 1 menunjukkan rata-rata PDRB kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan selama kurun waktu 10 tahun yang diambil dari 56 kota di Indonesia. Terlihat bahwa rata-rata PDRB kota pelabuhan lebih besar daripadaa kota yang tidak memiliki pelabuhan. Selain itu pertumbuhan PDRB kota pelabuhan juga lebih cepat dari kota yang tidak memiliki pelabuhan. Kota pelabuhan terbesar di Indonesia adalah Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Keempat kota pelabuhan terbesar ini juga merupakan kota terbesar di Indonesia yang memiliki aktivitas ekonomi tinggi. Peran pelabuhan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas sosial dan perdagangan di wilayah Indonesia sangat besar mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. Oleh karenanya, pelabuhan menjadi faktor penting dalam menjalankan roda perekonomian negara.

Namun, dalam teori evolusi spasial kota pelabuhan (Bird, 1963; Hoyle, 1989; Murphey, 1989; Lee, 2005), perkembangan masing-masing fungsi kota dan fungsi pelabuhan mensyaratkan adanya pemisahan spasial. Aktivitas pelabuhan yang semakin tinggi membutuhkan pembangunan pelabuhan modern, tambahan area sebagai pergudangan, dan infrastruktur transportasi dari dan ke pelabuhan. Aktivitas ini akan menambah kepadatan kota sehingga menganggu kenyamanan penduduknya. Sedangkan, bila perekonomian kota telah mengembangkan fungsi-fungsi lainnya, kota semakin tidak tergantung dengan aktivitas pelabuhan, misalnya dengan berkembangnya sektor jasa di pusat kota.

(3)

Pola spasial kota pelabuhan di Eropa dan Amerika Utara, yang merupakan negara maju, saat ini menunjukkan telah terjadi evolusi spasial dimana telah terjadi pemisahan antara fungsi pelabuhan dan kota (Lee, Song, & Ducruet, 2006). Pergeseran pola spasial ini juga ditemukan di negara-negara maju di Asia, misalnya Korea Selatan (Jung, 2011). Aktivitas kota sudah tidak tergantung dengan adanya pelabuhan dan bergeser ke sektor tersier seperti perbankan, finansial, dan pendidikan. Pemisahan spasial dapat berupa pergeseran letak pusat kota ke area daratan, ataupun letak pelabuhan modern berpindah dari pusat kota dan area bekas pelabuhan berubah menjadi kota.

Kota-kota besar di Indonesia masih didominasi oleh kota pelabuhan. Hal ini sangat menarik untuk dianalisis apakah masih terdapat peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota yang menyatakan bahwa kota dan pelabuhan di Indonesia masih tumbuh bersamaan dan belum terjadi pemisahan spasial. Selain itu, menarik juga untuk dianalisis apakah terdapat perbedaan pertumbuhan antara kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan.

LANDASAN TEORI

Kota memiliki pengertian sebagai kesatuan ekonomi dan kesatuan politik. Secara politik, kota mencakup area dimana pemerintah kota menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan. Secara ekonomi mencakup area dimana terdapat aktivitas ekonomi yang menyatu dan batas-batasnya ditentukan sejauh mana aktivitas ekonomi terintegrasi (Mulatip & Brodjonegoro, 2004).

O’Sullivan (2007) menyatakan terdapat empat sumber pertumbuhan ekonomi kota. Pertama, akumulasi kapital, yaitu pertumbuhan jumlah kapital per pekerja. Kedua, peningkatan modal manusia, yaitu ilmu pengetahuan dan keahlian yang didapat dari pendidikan dan pengalaman kerja. Ketiga, perkembangan terknologi seperti teknik produksi hingga penemuan baru. Keempat, aglomerasi ekonomi, yaitu peningkatan produktivitas melalui berbagi input, pengumpulan tenaga kerja, penyamaan tenaga kerja, dan luapan pengetahuan.

Pelabuhan merupakan pintu gerbang utama arus barang, baik ekspor maupun impor, dan pemindahmuatan antar moda transportasi. Adanya pelabuhan sebagai infrastruktur ekonomi menciptakan lapangan pekerjaan. Selain itu, pelabuhan merangsang aktivitas ekonomi yang lebih besar, misalnya tumbuhnya perusahaan dan pabrik di sekitar pelabuhan. Aktivitas ekonomi yang tinggi pada akhirnya akan menarik lebih banyak penduduk untuk tinggal didekatnya, sehingga akan membentuk suatu kota.

(4)

Teori New Economic Geography (NEG) berfokus pada pilihan antara peningkatan hasil dan biaya transportasi (Krugman, 1995). Krugman (1998) menyatakan bahwa ada hubungan erat antara geografi dan ekonomi. Konsentrasi aktivitas ekonomi pada suatu lokasi ditentukan oleh adanya kekuatan sentripetal dan kekuatan sentrifugal. Kekuatan sentripetal adalah kekuatan yang menarik ke dalam. Dalam konteks ekonomi, kekuatan sentripetal menyebabkan terjadinya konsentrasi aktivitas ekonomi. Konsentrasi mendukung besarnya pasar tenaga kerja, dan eksternalitas positif berupa limpahan informasi. Sedangkan kekuatan sentrifugal adalah kekuatan yang mendorong ke luar. Kekuatan sentrifugal yang mendispersi aktivitas ekonomi dapat berupa faktor produksi yang tidak dapat berpindah seperti tanah dan sumber daya alam lainnya. Konsentrasi aktivitas ekonomi menyebabkan harga sewa tanah mahal dan kepadatan. Pelabuhan secara natural membentuk pusat kegiatan ekonomi. Keunggulan kompetitif dari industri yang berlokasi di sekitar pelabuhan dan kemudahan hubungan transportasi antara pelabuhan dan pusat area adalah penentu utama pertumbuhan ekonomi lokal.

Di banyak negara, kota-kota besarnya terbentuk dan berkembang karena adanya pelabuhan (termasuk pelabuhan laut, sungai, dan danau). Di hampir semua negara Asia Timur, misalnya, sebagian besar populasi dan industri manufaktur terkonsentrasi di kota-kota utama yang berlokasi dekat pelabuhan (seperti Indonesia, Filipina, dan Thailand). Namun, ada juga kota-kota besar yang pelabuhannya tidak berperan penting lagi pada masa kini, walaupun pertumbuhan kota itu pada awalnya didorong karena mudahnya akses pelabuhan (seperti Chicago dan Paris). Secara geografis, peran pelabuhan dalam proses terbentuknya kota adalah karena pelabuhan merepresentasikan lokasi paling mudah dan nyaman untuk ekspor dan impor.

Dari waktu ke waktu, ketika perdagangan terus tumbuh di sekitar pelabuhan dan perekonomian kota juga terus tumbuh, arus barang pelabuhan dapat memenuhi permintaan barang dan komoditas lainnya. Untuk memfasilitasi aktivitas perekonomian di kota, infrastruktur seperti jalan tol dan rel kereta dibangun untuk menghubungkan pelabuhan dan pusat kota. Selain untuk transportasi ke pelabuhan, infrastruktur juga memudahkan mobilitas penduduk kota itu sendiri. Dengan pelabuhan yang berfungsi baik, aktivitas komersial yang ada, dan infrastruktur, pelabuhan dapat menarik investasi dari area sekitarnya maupun luar negeri. Di kota pelabuhan, pelabuhan yang produktif bersama dengan jasa-jasa pendukungnya akan mendukung pembangunan fungsi kota itu. pertemuan kota dan pelabuhan mendukung pertumbuhan kota dan peningkatan kualitas demografi kota itu.

(5)

Kota pelabuhan adalah tempat yang strategis sebagai area perdagangan, contohnya di Eropa dan Asia, mengingat bahwa 90% volume perdagangan di dunia dikirim melalui laut (Rodrigue, 2006). Namun, peran kota pelabuhan di Eropa dan Asia berbeda karena beberapa alasan, misalnya sejarah perdagangan dan perencanaan kota, bentuk geografis, dan tingkat integrasi regional. Di Eropa, pentingnya suatu kota direfleksikan dengan paradigma “pusat area”, dan kota pelabuhan kurang menjadi perhatian (Bird, 1973). Kebanyakan perencana tata kota Eropa menyatakan bahwa kota pelabuhan memberi kontribusi ekonomi yang lebih rendah (Brunet, 1989; Rozenbalt & Cicille, 2002). Di Asia, sejak masa kolonial dan industrialisasi di area tepi pantai Jepang, kota pelabuhan merupakan penggerak penting bagi pembangunan. Kota pelabuhan telah menjadi pusat-pusat baru bagi perekonomian nasional (Gipouloux, 2001).

Gambar

Gambar 2. Berbagai Macam Pola Spasial Kota Pelabuhan

Gambar 2 menunjukan pola spasial dimana perekonomian kota tepi pantai merupakan pasar “sisa” di Eropa, sedangkan di Asia (dan Australia, Afrika, dan Amerika Selatan) merupakan pasar utama. Perbedaan penting lainnya adalah tingkat integrasi regional. Pelabuhan Eropa bersaing untuk satu pasar saja di seluruh Eropa, sedangkan pelabuhan Asia masih berfokus pada perekonomian nasional dan mengembangkan fungsi hub untuk daya saing regional.

Di Asia, kota pelabuhan adalah pasar yang paling penting bagi pelabuhan. Model kolonial di Asia Selatan dan Asia Tenggara memberi pengaruh pada penyatuan hierarki kota dan pelabuhan di sepanjang daerah perdagangan, lewat pembangunan kawasan pergudangan di Singapura dan Hongkong. Sampai sekarang, kota-kota paling penting di Asia adalah kota pelabuhan dan juga berperan paling besar dalam perdagangan dengan negara-negara di Eropa dan Amerika Utara. Proses pembangunan di Asia Timur yang sangat cepat melahirkan model

(6)

hubungan kota-pelabuhan seperti zona bebas perdagangan di Taiwan, Korea, dan China. Namun akibat dari konsentrasi geografis di area tepi pantai, transportasi darat dan pasarnya masih belum berkembang. Buruknya transportasi darat penghubung Asia Selatan dan Asia Tenggara, serta antara Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Benua Asia, mencegah pelabuhan untuk menjangkau pasar di negara lainnya. Di Asia, pelabuhan dan kota telah dibangun dan dikembangkan fungsinya kearah yang saling menguntungkan.

Gambar

Gambar 3. Tahap Evolusi Hubungan Kota dan Pelabuhan di Eropa dan Asia

Gambar 3 merupakan model evolusi hubungan antara kota dan pelabuhan. Model evolusi untuk kota di negara-negara barat (Eropa dan Amerika Utara) dikembangkan oleh Hoyle (1989). Model ini menjelaskan pemisahan antara kota dan pelabuhan karena konflik fungsional dan spasial antara kota dan pelabuhan, memperlihatkan pola pertumbuhan kota-kota pelabuhan di Eropa dan Amerika Utara. Kemudian dikembangkan model evolusi untuk kota-kota pelabuhan di Asia karena pola yang sangat berbeda. Model kota pelabuhan di Asia adalah pembentukan pelabuhan modern yang berlokasi jauh dari pusat kota karena aktivitas pelabuhan yang meningkat. Kota dan pelabuhan menjalani fungsinya masing-masing namun ada saling ketergantungan antara pusat kota, pelabuhan, dan area belakang pelabuhannya.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan terdiri dari studi literatur, pengolahan data sekunder, dan analisis hasil penelitian. Metode statistika yang dipakai untuk mengolah data

(7)

sekunder yaitu model ekonometrika dengan data panel. Data yang digunakan adalah 56 kota di Indonesia pada tahun 2001-2010, diantaranya terdapat 25 kota yang memiliki pelabuhan. Penulis ingin meneliti seluruh kota di Indonesia (93 kota), namun data yang tersedia tidak lengkap. Model yang dipakai diambil dari beberapa literatur terdahulu yang juga mengkaji masalah pertumbuhan kota. Dari beberapa model tersebut, penulis mengembangkannya sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Penulis memakai variabel-variabel yang berkaitan dan relevan untuk digunakan dalam penelitian ini. Piranti lunak yang dipakai dalam penelitian ini adalah STATA 11.0. Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik dan PT Pelabuhan Indonesia (PELINDO).

Untuk menganalisis perbedaan karakteristik kota pelabuhan dan tidak memiliki pelabuhan digunakan model ekonometrika:

PDRBit= α+ β1 Primacyit + β2 Manpropit + β3 Densityit + β4 Avgschoolit + δ Porti + Uit (1)

dimana δ adalah dummy bagi kota yang memiliki pelabuhan = 1, kota yang tidak memiliki pelabuhan = 0, sehingga terlihat perbedaan karakteristik diantara keduanya.

Untuk menganalisis peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota digunakan model ekonometrika:

PDRBit = α+ β1 Primacyit + β2 Manpropit + β3 Densityit + β4 Avgschoolit +β5 Volumeit + Uit(2)

PDRB : PDRB per kapita kota

Primacy : persentase penduduk kota terhadap penduduk provinsi Manprop : persentase tenaga kerja di sektor manufaktur

Density : kepadatan penduduk kota (penduduk/km2)

Avgschool : rata-rata lama bersekolah penduduk usia 5 tahun ke atas (tahun) Volume : volume barang ekspor dan impor (dalam ton)

Umumnya dalam analisis pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita dijadikan sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi. World Bank (2009) menyatakan bahwa kepadatan penduduk, aglomerasi ekonomi, dan letak geografis suatu kota berpengaruh besar terhadap produktivitas perekonomiannya. Sedangkan, faktor modal manusia juga telah digunakan

(8)

dalam berbagai studi mengenai pertumbuhan kota. Volume ekspor dan impor dapat digunakan untuk mengukur besar aktivitas pelabuhan di suatu kota.

HASIL PENELITIAN

Pertumbuhan kota pada penelitian ini diwakili oleh PDRB per kapita pada masing-masing kota. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota yang digunakan dalam penulisan ini adalah primacy (persentase jumlah penduduk kota terhadap penduduk provinsi), proporsi pekerja manufaktur terhadap total jumlah tenaga kerja, kepadatan penduduk, rata-rata lama bersekolah, dan variabel pengaruh pelabuhan, yaitu volume ekspor dan impor pelabuhan. Untuk membandingkan perbedaan pertumbuhan kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan digunakan variabel dummy.

Dari hasil pengolahan data, maka didapat hasil estimasi seperti berikut:

Tabel 1. Hasil Estimasi Penelitian

Model no (1) (2) Variabel PDRB PDRB Primacy -0.0499 -0.0065 (0.044) (0.071) Proporsi manufaktur 0.558*** 0.496*** (0.058) (0.089) Density 1.002*** 0.839*** (0.041) (0.062) Average school 1.114** 3.066*** (0.43) (0.663)

Volume ekspor & impor 0.233***

(0.023) Dummy Pelabuhan 0.805*** (0.103) Konstan 4.047*** -1.498 (0.93) (1.459) Observasi 495 232 Jumlah kota 56 25 Level signifikansi *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

Tabel 1 menampilkan hasil estimasi model (1) yaitu model pertumbuhan kota dengan dummy pelabuhan dan model (2) yaitu peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota, keduanya dengan variabel dependen PDRB perkapita kota. Seperti yang terlihat pada tabel,

(9)

empat variabel independen signifikan pada level 1% dan 5% untuk variabel dependen PDRB per kapita kota.

Empat variabel independen yang digunakan signifikan dan mampu menjelaskan pertumbuhan kota pelabuhan. Dari kedua model, variabel independen yang memiliki koefisien terbesar adalah rata-rata lama bersekolah yang mencerminkan modal manusia penduduk kota. Variabel yang ingin diteliti dalam penelitian ini yaitu variabel dummy kota pelabuhan dan variabel peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota yang diwakili oleh variabel volume ekspor dan impor juga signifikan pada kedua model. Sehingga dari hasil estimasi dapat dinyatakan terdapat perbedaan pertumbuhan antara kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan dan bahwa terdapat peran pelabuhan dalam pertumbuhan kota di Indonesia.

Dari hasil estimasi model (1) untuk seluruh sampel 56 kota, variabel primacy memiliki elastisitas sebesar -0,0499 namun tidak signifikan. Sedangkan hasil estimasi model (2) untuk 25 kota pelabuhan, variabel primacy memiliki elastisitas sebesar -0,0065 namun juga tidak signifikan.

Primacy atau persentase penduduk kota terhadap penduduk provinsi yang semakin besar menandakan bahwa pertumbuhan penduduk di kota tersebut lebih cepat daripada kota lainnya. Semakin banyak penduduk di kota maka permintaan akan barang dan jasa akan semakin beragam. Hal ini berarti menciptakan suatu pasar yang besar dengan banyak pembeli potensial. Berbagai perusahaan akan tertarik untuk berlokasi di kota untuk memenuhi permintaan di pasar ini. Aktivitas ekonomi terus berlangsung dan meningkatkan pendapatan kota itu. Lalu, semakin banyak dan berkembangnya perusahaan di kota maka akan membutuhkan semakin banyak tenaga kerja yang kemudian akan menarik lebih banyak orang untuk datang ke kota. Dengan demikian kota akan terus tumbuh, baik dilihat dari PDRB per kapita kotanya maupun jumlah penduduknya.

Hasil estimasi menunjukkan variabel primacy tidak signifikan terhadap PDRB per kapita kota. Hasil ini tidak kuat mendukung hipotesis bahwa urbanisasi ekonomi mendukung pertumbuhan kota. Namun, hasil ini sesuai dengan hasil laporan World Bank (2012) yang menyatakan bahwa pada empat dekade terakhir, Indonesia tidak mendapat hasil yang optimal dari pembangunan kota, seperti yang terlihat dari perbandingan tingkat manfaat yang didapat negara-negara Asia lainnya dari proses urbanisasi. Walaupun Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk kotanya, proporsi PDRB yang dihasilkan di area perkotaan tidak sebanding peningkatannya. Pada periode 1993-2007, World Bank menghitung kontribusi PDRB area perkotaan terhadap PDB total cenderung stagnan pada tingkat 60

(10)

persen. Indonesia telah mencapai rasio terendah antara pertumbuhan ekonominya dan tingkat urbanisasinya dibanding negara-negara kompetitornya seperti China, India, Thailand, dan Vietnam.

Variabel proporsi pekerja manufaktur terhadap pertumbuhan kota positif dan signifikan pada kedua model. Untuk model (1), peningkatan proporsi pekerja manufaktur sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan kota yang diwakili oleh variabel PDRB per kapita kota sebesar 0,558%. Hasil ini menyatakan bahwa produktivitas sektor manufaktur cukup tinggi di kota-kota di Indonesia secara keseluruhan. Kemudian untuk model (4.2), peningkatan proporsi pekerja manufaktur sebesar 1% juga akan meningkatkan PDRB per kapita kota sebesar 0,496%. Elastisitas proporsi sektor manufaktur positif untuk kota pelabuhan, namun sedikit lebih rendah daripada elastisitas kota secara keseluruhan.

Proporsi manufaktur merupakan variabel yang merefleksikan aglomerasi ekonomi suatu kota, khususnya lokalisasi ekonomi. Dari hasil estimasi penelitian, proporsi pekerja manufaktur positif dan signifikan mempengaruhi pertumbuhan kota. Semakin besar proporsi pekerja manufaktur berarti semakin besar lokalisasi ekonomi di suatu kota. Lokalisasi ekonomi mendukung pertumbuhan kota melalui limpahan pengetahuan dan peningkatan produktivitas. Selain itu, lokalisasi ekonomi dari suatu industri juga menstimulasi penyediaan jasa yang tidak dapat diperdagangkan di kota seperti perbankan dan perusahaan hukum. Dengan demikian, koefisien estimasi positif menunjukkan efek limpahan pengetahuan dari lokalisasi ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. World Bank (2012) menyatakan bahwa sektor manufaktur di Indonesia semakin berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi, baik perekonomian kota maupun nasional. Hal ini juga merupakan hasil dari proses urbanisasi yang terus meningkat, dimana aktivitas sektor manufaktur cenderung berlokasi di perkotaan.

Namun, ada perbedaan koefisien elastisitas antara kota-kota di Indonesia secara umum (model 1) dan kota-kota pelabuhan saja (model 2). Koefisien elastisitas untuk kota pelabuhan sedikit lebih kecil yang berarti pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi kota sedikit lebih rendah. Hal ini dapat dijelaskan oleh adanya desentralisasi sektor manufaktur di kota-kota pelabuhan menuju area sekitarnya, seperti yang dijelaskan dalam hasil penelitian Batubara (2010) untuk kota Surabaya menuju Gresik dan Sidoarjo, hasil penelitian Henderson, Kuncoro, dan Nasution (1996) untuk kota Jakarta menuju area Bodetabek, dan laporan World Bank (2012) untuk kota Makassar. Desentralisasi aktivitas sektor manufaktur pada kota-kota pelabuhan di Indonesia menjelaskan bahwa terdapat aktivitas lainnya yang sedang berkembang, yaitu sektor jasa. Sektor jasa yang lebih banyak berlokasi di kota-kota besar

(11)

memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Namun, sektor manufaktur masih tetap menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi kota-kota di Indonesia (UNIDO, 2009; Yusuf & Nabeshima, 2010).

Henderson (1980) mendeskripsikan perpindahan sektor manufaktur dari pusat kota ke daerah sekitarnya disebut sebagai dekonsentrasi. Pusat kota berubah orientasinya menjadi produksi jasa (finansial, bisnis, teknik dan menejemen, pendidikan, dan kesehatan). Ketika proses pembangunan berlangsung, dekonsentrasi menjadi efisien karena dua alasan. Pertama, perekonomian dapat menjangkau penyebaran infrastruktur ekonomi dan sumberdaya ilmu pengetahuan hingga ke area hinterland. Kedua, kota yang sejak awal konsentrasinya tinggi menjadi berbiaya tinggi, lokasi yang padat menjadi kurang efisien untuk produsen dan konsumen.

Dampak perkembangan sektor manufaktur terhadap pertumbuhan kota dapat dilihat dari sejarah kota-kota di Indonesia. Berdasarkan sejarahnya, pada masa kolonial di Indonesia, pendirian perusahaan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah atau militer atau pebisnis dari etnis Cina. Kewirausahaan pada masa itu belum banyak dilakukan sehingga pola lokasi perkembangan industri di Indonesia lebih terdispersi. Faktor ini mempercepat aglomerasi ekonomi di pusat pemerintahan dan menghasilkan pertumbuhan sektor manufaktur di Jakarta pada tahun 1980an hingga awal 1990an. Tahun 1991, proporsi sektor manufaktur pada PDB Indonesia melampaui proporsi sektor pertaniannya dan sebagian besar disumbangkan oleh daerah Jawa bagian barat. Pusat industri manufaktur lainnya adalah Surabaya, yang pada awalnya adalah pusat industri perkapalan, dan Bandung, yang pada awalnya adalah daerah pertanian yang kini berubah menjadi pusat industri tekstil. Pusat industri manufaktur lainnya yaitu Medan dan Makassar yang juga merupakan pusat perdagangan karena kota tersebut memiliki pelabuhan besar. Pendirian perusahaan manufaktur pada masa kolonial di beberapa kota telah mempercepat pertumbuhan kota-kota tersebut hingga sekarang.

Untuk hasil estimasi model (1), peningkatan kepadatan penduduk sebesar 1% akan meningkatkan PDRB per kapita kota sebesar 1,002%. Sedangkan hasil estimasi model (2) kota pelabuhan, peningkatan kepadatan penduduk sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan kota sebesar 0,839%. Di kedua model, variabel kepadatan penduduk berpengaruh positif dan signifikan. Hasil ini juga didapat oleh beberapa penelitian sebelumnya.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu, dampak kepadatan penduduk sebenarnya relatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Gallup, Sachs, & Mellinger, 1999). Pada tahap awal, kepadatan penduduk yang meningkat akan menimbulkan dampak positif berupa

(12)

limpahan pengetahuan dan memicu aglomerasi. Namun bila suatu kota memiliki kepadatan penduduk yang terlalu tinggi, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti kepadatan, polusi, dan biaya peluang dari penggunaan lahan. Henderson (1996b) dengan menggunakan data UN untuk 80-100 kota di seluruh dunia, menunjukkan kota yang terlalu padat akan memberi dampak negatif seperti meningkatnya kematian anak, rasio murid terhadap guru, kebutuhan air bersih, dan kualitas hidup yang buruk di kota berukuran sedang, setelah dihitung perbedaan ukuran, pendapatan, dan pertumbuhan antarkota. Jadi, biaya dari kepadatan kota akan terasa di seluruh sistem kota, bukan hanya di kota-kota besar saja.

Namun, dari hasil penelitian ini, elastisitas kepadatan penduduk positif dan signifikan menjelaskan bahwa semakin banyak penduduk berkumpul di kota maka akan berdampak positif terhadap pertumbuhan kota. Hal ini menjelaskan bahwa kota-kota di Indonesia masih belum terlalu padat sehingga bertambahnya kepadatan penduduk masih akan meningkatkan pertumbuhan kota. Hal yang perlu diperhatikan adalah koefisien elastisitas kepadatan penduduk untuk kota-kota pelabuhan sedikit lebih rendah daripada kota-kota secara umum. Lee, Song, & Ducruet (2008) menjelaskan kota-kota pelabuhan di Asia semakin berkembang aktivitasnya dari pusat industri hingga pusat aktivitas tersier dan pariwisata. Selain itu, karena aktivitas pelabuhan tetap berlangsung dan perlu berkembang, maka terjadi kepadatan di kota. Peningkatan jumlah penduduk walaupun akan memberikan keuntungan, tetapi ada biaya kepadatan juga yang terbebani kepada kota.

Elastisitas paling besar dari variabel penentu pertumbuhan kota dimiliki oleh variabel rata-rata lama bersekolah. Dari kedua model, elastisitas variabel ini lebih dari 1. Pada model (1), peningkatan 1% rata-rata lama bersekolah akan meningkatkan PDRB per kapita kota-kota di Indonesia sebesar 1,114%. Sedangkan pada untuk kota pelabuhan pada model (2) akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar 3,066%. Variabel rata-rata lama bersekolah berpengaruh positif dan signifikan di kedua model.

Variabel rata-rata lama bersekolah ini mencerminkan tingkat modal manusia di suatu kota. Rata-rata lama bersekolah mencerminkan semakin majunya tingkat pendidikan masyarakat suatu kota. Pendidikan merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan modal manusia sehingga penduduk yang memperoleh pendidikan akan lebih produktif karena penduduk memiliki keterampilan lebih dalam berhitung, membaca, menulis, dan lain-lain. Keterampilan tersebut adalah dasar untuk dapat bekerja, menghasilkan pendapatan untuk meningkatkan kualitas hidup. Semakin lama seseorang mengenyam pendidikan, maka akan semakin banyak keterampilan yang dimilikinya dan semakin tinggi pula pendapatannya.

(13)

Pendidikan yang meningkatkan produktivitas pekerja merupakan asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Di sisi lain, peningkatan produktivitas berarti peningkatan pendapatan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari peningkatan lama bersekolah secara agregat akan lebih besar bagi kelompok penduduk miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, pendapatan kelompok penduduk miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya akan mengurangi ketimpangan.

Elastisitas variabel rata-rata lama bersekolah lebih tinggi pada kota-kota pelabuhan dibanding kota-kota secara umum. Hal ini dapat disebabkan karena kota-kota pelabuhan secara umum merupakan kota-kota tebesar di Indonesia yang kepadatan penduduknya lebih tinggi, aktivitas sekunder dan tersiernya lebih tinggi, dan juga tingkat pendidikan dan keahlian penduduknya relatif lebih tinggi dibanding kota-kota lainnya. Meningkatnya pendidikan penduduknya memiliki dampak limpahan pengetahuan yang lebih tinggi sehingga meningkatkan produktivitas tenaga kerja lebih tinggi.

Dari hasil estimasi model (1), kota-kota pelabuhan memiliki rata-rata PDRB per kapita 0,805% lebih tinggi dibanding rata-rata PDRB per kapita kota yang tidak memiliki pelabuhan. Koefisien dummy ini positif dan signifikan. Koefisien dummy ini menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan.

Hasil penelitian ini menegaskan hasil laporan pertumbuhan kota di Indonesia oleh World Bank (2012). Jarak ke pasar dan akses ke fasilitas pengiriman barang (pelabuhan) adalah faktor utama yang mendukung pertumbuhan ekonomi kota. World Bank juga menyatakan perekonomian Indonesia sudah semakin tidak bertumpu pada sektor pertanian, yang pada umumnya berlokasi bukan di area pesisir. Selain itu, pertumbuhan kota yang tidak memiliki pelabuhan juga lebih rendah karena infrastruktur transportasi seperti jalan dan jembatan belum dibangun dengan baik dan terencana.

Perbedaan pertumbuhan antara kedua kota yang memilki karakteristik berbeda telah dinyatakan dalam beberapa penelitian sebelumnya. Kota yang memiliki pelabuhan memiliki keunggulan komparatif dibanding kota-kota lainnya karena terdapat hubungan saling menguntungkan antara pelabuhan dan perekonomian kota itu (Fujita et al., 1999; Clark et al., 2004). Kota pelabuhan sebagai lokasi hub transportasi secara alami menciptakan efek daratan terisolasi bagi aktivitas ekonomi karena menyediakan akses yang mudah ke pasar dan

(14)

konsumen, yang menjelaskan mengapa aglomerasi ekonomi cenderung terjadi di kota-kota pelabuhan (Behrens, 2004).

Volume ekspor dan impor memiliki koefisien elastisitas yang positif dan signifikan, yaitu sebesar 0,233. Peningkatan volume ekspor dan impor sebesar 1% akan meningkatkan PDRB per kapita kota pelabuhan sebesar 0,233%. Variabel ini menyatakan bahwa pelabuhan berperan dalam pertumbuhan kota.

Volume arus barang pelabuhan adalah faktor yang mampu menjelaskan tingkat pembangunan sebuah kota (Rodrigue, 1999). Hasil estimasi variable volume ekspor dan impor pelabuhan positif dan signifikan, sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya, terutama untuk penelitian di Indonesia oleh Landiyanto dan Prasetyo (2010). Aktivitas pelabuhan yang dicerminkan dari arus ekspor dan impor masih mempengaruhi pertumbuhan kota di Indonesia. Hal ini menjelaskan aktivitas kota-kota pelabuhan masih dipengaruhi oleh aktivitas pelabuhan dan kota masih terus tumbuh karena adanya pelabuhan.

Pelabuhan merupakan pintu gerbang utama arus barang, baik ekspor maupun impor, dan pemindahmuatan antar moda transportasi. Fungsi pelabuhan adalah melayani aktivitas ekonomi kotanya. Karena adanya pelabuhan, kota yang memiliki pelabuhan menghasilkan kegiatan jasa yang besar dalam perekonomiannya. Pola ini sesuai dengan pandangan tradisional mengenai hubungan antara kota dan pelabuhan yang terjadi di kota-kota di Asia (Jung, 2011).

Di Indonesia seperti halnya di negara-negara Asia lainnya, kota-kota pelabuhan mendominasi pusat perekonomian Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan. Kota pelabuhan merupakan pasar utama dan pasar terbesar bagi pelabuhan. Akibat dari konsentrasi geografis di daerah pesisir, integrasi antara kota pelabuhan dan kota yang berada di tengah daratan masih belum berkembang baik. Oleh karena itu, pertumbuhan kota pelabuhan cenderung lebih tinggi dan masih terus mendominasi (Ducruet, 2006).

Dari hasil estimasi model, dapat diketahui bahwa aktivitas pelabuhan di Indonesia masih mempengaruhi pertumbuhan kota-kotanya. Pola ini sesuai dengan pola kota pelabuhan di Asia dan negara berkembang, dimana kota pelabuhan terus menjadi tujuan urbanisasi dan pusat industri dan jasa, sedangkan fasilitas pelabuhan terus ditingkatkan karena peningkatan arus bongkar muat. Secara umum, kepadatan kota masih memberi dampak positif pada pertumbuhan kota. Oleh karena itu, kota-kota pelabuhan masih terus mendominasi.

Peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota yang masih tinggi, menjelaskan bahwa belum terjadi pemisahan pola spasial antara kota dan pelabuhan. Tahap pertumbuhan kota pelabuhan di Indonesia dapat dibandingkan dengan negara-negara lainnya berdasarkan model

(15)

evolusi kota-pelabuhan di Asia yang dikembangkan oleh Lee (2005). Ada enam tahapan evolusi kota-pelabuhan untuk model negara-negara di Asia. Kota-kota di Indonesia berada dalam tahap yang bervariasi mulai dari tahap ketiga hingga kelima. Tahap ketiga ialah dimana terjadi peningkatan fasilitas pelabuhan yang membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga menarik terjadinya urbanisasi. Tahap keempat adalah kota pelabuhan kawasan perdagangan bebas dimana aktivitas pelabuhan mendominasi aktivitas kota, seperti yang terjadi di Kota Batam. Tahap kelima ialah kota pelabuhan hub seperti Kota Jakarta dimana pelabuhannya terus dikembangkan untuk menampung arus barang yang semakin tinggi. Kota Jakarta letaknya strategis sebagai hub dan karena pasar yang sudah berkembang, terus menarik aktivitas ekonomi untuk berlokasi disini, termasuk perusahaan multinasonal (Holly, 1996).

Kemudian, yang menarik untuk dianalisis adalah apakah akan terjadi pemisahan spasial kota dan pelabuhan di Indonesia. Bila dilihat dari hasil estimasi variabel kepadatan penduduk, koefisien elastisitas untuk kota pelabuhan sedikit lebih rendah daripada kota-kota secara umum. Hal ini dapat dijelaskan dengan kemungkinan adanya biaya kepadatan di kota-kota pelabuhan yang merupakan kota-kota-kota-kota besar. Lalu, apakah kota-kota-kota-kota pelabuhan sudah mencapai titik ukuran optimal dimana populasi terlalu terkonsentrasi di tempat itu sehingga utilitynya semakin menurun, dapat dianalisis dengan teori ukuran kota optimal dari Henderson (1974).

Henderson (1974) menyatakan bahwa ukuran kota yang optimal tergantung dari peran kota itu sendiri. Kota pelabuhan cenderung lebih padat karena biasanya pada awalnya merupakan pusat aktivitas perdagangan yang strategis dan terus berkembang. Kota seharusnya berspesialisasi di satu atau beberapa industri yang menciptakan eksternalitas ekonomi. Henderson menjelaskan bahwa kota yang berspesialisasi di jasa akan mencapai ukuran optimal pada lebih banyak jumlah populasi dibanding kota yang berspesialisasi di industri, dalam menciptakan tingkat kepuasan yang sama.

Berdasarkan penelitian Batubara (2010) untuk kota Surabaya, Henderson, Kuncoro, dan Nasution (1996) untuk kota Jakarta, dan laporan World Bank (2012) untuk kota Makassar, terjadi desentralisasi sektor manufaktur ke area sekitarnya dan terjadi perkembangan sektor jasa. Dari teori Henderson, dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, ukuran optimal kota akan cenderung lebih besar untuk kota yang berspesialisasi di sektor jasa, yang artinya jumlah penduduk lebih banyak. Kedua, area di sekitar kota pelabuhan yang merupakan kota-kota yang tidak memiliki pelabuhan akan terus tumbuh akibat berkembangnya sektor manufaktur. Jadi, pertumbuhan kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan akan berjalan bersamaan.

(16)

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kota pelabuhan di Indonesia cenderung belum akan mengalami pemisahan spasial antara kota dan pelabuhannya. Pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga kota yang terletak di pesisir akan lebih strategis. Kedua, kota pelabuhan masih terus berkembang dan masih menjadi tujuan urbanisasi. Ketiga, berdasarkan laporan World Bank (2012) mengenai kondisi perkotaan di Indonesia, transportasi darat masih belum baik sehingga kurang efisien bagi kota-kota yang berlokasi jauh dari pesisir untuk tumbuh lebih cepat. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah terjadinya desentralisasi sektor manufaktur dari kota pelabuhan menuju kota-kota disekitarnya. Kota pelabuhan lama-kelamaan akan berspesialisasi di sektor jasa dan sektor manufaktur berpindah ke kota yang tidak memiliki pelabuhan. Oleh karena itu, diperlukan infrastruktur yang memadai seperti jalan dan penyediaan informasi untuk mendukung pertumbuhan baik kota pelabuhan maupun kota-kota yang tidak memiliki pelabuhan.

KESIMPULAN

Hasil penelitian mendukung hipotesis dan dapat dijelaskan berdasarkan teori dan fakta yang ada. Indonesia sebagai negara kepulauan, kota-kota pelabuhan yang berada di pesisir masih terus mendominasi karena kota-kota yang ada masih terus berkembang, urbanisasi masih tinggi, biaya transportasi minimum untuk perdagangan, dan infrastruktur transportasi darat masih belum baik. Perkembangan kota-kota pelabuhan semakin bergeser ke sektor jasa, sedangkan sektor manufaktur bergeser ke kota-kota hinterlandnya atau kota yang tidak memiliki pelabuhan. Dengan demikian, kota-kota yang tidak memiliki pelabuhan tetap terus tumbuh karena aktivitas sektor manufaktur.

SARAN

Hal yang perlu diperhatikan adalah pola pertumbuhan kota-kota pelabuhan di Indonesia yang masih terus tumbuh dan mendominasi perekonomian secara umum. Kota-kota pelabuhan sebagai kota-kota terbesar di Indonesia masih menjadi tujuan urbanisasi sehingga semakin padat. Di samping itu, aktivitas pelabuhan juga semakin meningkat sehingga menyebabkan kepadatan dan dampak lingkungan. Perlu perencanaan dan penanganan khusus bagi permasalahan di kota-kota pelabuhan seperti ini. Selain itu, desentralisasi sektor manufaktur sudah terjadi dari kota-kota pelabuhan menuju kota-kota disekitarnya. Diperlukan infrastruktur pendukung yang memfasilitasinya seperti perbaikan transportasi darat untuk menurunkan biaya transportasi dan penyediaan informasi untuk mendukung proses penyamaan tenaga kerja. Terakhir adalah dampak urbanisasi bagi pertumbuhan ekonomi di

(17)

kota-kota di Indonesia belum optimal sehingga perlu kebijakan yang mendukung untuk mengoptimalkan urbanisasi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bird, J. (1963). The Major Seaports of The United Kingdom. London: Hutchinson of London. Bird, J. (1973). Of Central Places, Cities and Seaports. Geography, 58, 105-118.

Behrens, K. (2004). On The Location and ‘Lock In’ of Cities: Geography vs. Transportation Technology. Regional Science and Urban Economics, 37(1), 22-45.

Clark, X., Dollar, D., & Micco, A. (2004). Port Efficiency, Maritime Transport Costs, and Bilateral Trade. National Bureau of Economics Research Working Paper 10353.

Ducruet, C. (2006). Port-City Relationships in Europe and Asia. Journal of International Logistics and Trade, 4(2), 13-35.

Fujita, M., Krugman, P., & Venables, A. J. (1999). The Spatial Economy: Cities, Regions and International Trade. London : MIT Press.

Gallup, J. L., Sachs, J. D., & Mellinger, A. (1999). Geography and Economic Development. Working Papers Center for International Development at Harvard University, CID Working Paper No.1.

Gipouloux, F. (2001). Complementary and Rivalry among Asia’s Major Logistics Hubs: Hong Kong, Singapore and Shanghai in a Global Perspective. Paper presented at the 4th Europe-Asia Conference, Hong Kong, China.

Henderson, J.V. (1974). The Sizes and Types of Cities. American Economic Review, 64, 640-56.

Henderson, J. V. (1980). The Effects of Urban Concentration on Economic Growth. American Economic Review, 70(5), 894-910.

Henderson, J.V. (1986). Urbanization in A Developing Country: City size and Population Composition. Journal of Development Economics, 22, 269-293.

Henderson, J. V. (1999b). Notes on the Costs of Urban Primacy. Brown University mimeo, 10-24-99.

Henderson, J.V., Kuncoro, A. & Nasution P. (1996). Dynamic Development in Jabotabek. Indonesian Bulletin of Economic Studies, 32, 71-96.

Holly, B. (1996). Restructuring the Production System. In: Daniels, P. and Lever, W. (Eds.) The Global Economy in Transition (pp. 24-39). Harlow: Addison-Wesley.

Hoyle, B.S. (1989). The Port-city Interface: Trends, Problems and Examples. Geoforum, 20, 429-435.

(18)

Jung, B. M. (2011). Economic Contribution of Ports to the Local Economies in Korea. The Asian Journal of Shipping and Logistics, 27(1), 001-030.

Krugman, P. (1996). Confronting the Mystery of Urban Hierarchy. Journal of The Japanese and International Economies, 10(23), 399-418.

Krugman, P. (1998, April). The Role of Geography in Development. Paper presented for the Annual World Bank Conference on Development Economics, Washington DC.

Landiyanto, E. A. & Prasetyo A. H. (2005). Economic Growth of Indonesian Port Cities. Urban/Regional EconWPA.

Lee, S. W. (2005). Interaction Between City and Port in Asian Hub Port Cities. Unpublished dissertation in urban planning. Seoul National University.

Lee, S. W., Song, D. W., & Ducruet, C. (2008). A Tale of Asia’s World Ports: The Spatial Evolution in Global Hub Port Cities. Geoforum, 39(1), 372-385.

Mulatip, I. & Brodjonegoro, B. (2004). Determinan Pertumbuhan Kota di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 59(1), 61-82.

Murphey, R. (1989). On the Evolution of the Port City. In: Broeze, F. (Ed.) Brides of the Sea: Port Cities of Asia from the 16th-20th Centuries (pp. 223-245). Honolulu: University of Hawaii Press.

O’Sullivan, A. (2007). Urban Economics (6th ed.). Singapore: McGraw-Hill.

Quigley, J. M. (1998). Urban Diversity and Economic Growth. The Journal of Economic Perspective, 12(2), 127-138.

Rodrigue, J.P (1999). Globalization and The Synchronizaton of Transport Terminals. Journal of Transport Geography, 7(4), 255-261.

Rodrigue, J. P. (2006). Transportation and The Geographical and Functional Integration of Global Production Networks. Growth and Change, 37(4), 510-525.

Untied Nations Industrial Development Organization. (2009). Industrial Development Report 2009.

Venables, A. J. (2009). Economic Geography and African Development. Papers in Regional Science, 89(3), 469-483.

World Bank. (2009). System of Cities: Harnessing Urbanization for Growth and Poverty Alleviation.

World Bank. (2012). Indonesia Regional Urban Development Report, June 2012.

Yusuf, S. & Nabeshima, K. (2010). Changing The Industrial Geography in Asia: The Impact of China and India. Washington DC: World Bank.

Gambar

Tabel 1. Hasil Estimasi Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

4) kemudian tenaga kerja yang terserap berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 5) Belanja modal untuk bidang Bina Marga walaupun relatif lebih

Salah satu cara yang ditawarkan oleh menulis adalah dengan memberikan tanda tangan digital pada setiap ponsel dimana didalamnya terdapat data kepemilikan ponsel tersebut

62 senang mengerjakan LKSbersama kelompok yang membuat mereka dapat bekerja sama dan mendapat bimbingan dari guru saat menyelesaikan LKS. Aktifitas guru dalam pembelajaran

Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Gubernur Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Dana Zakat, Infak dan Shadaqahpada Badan Amil Zakat dan

Berdasarkan analisis terhadap data hasil penelitian tindakan kelas peningkatan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran matematika di kelas V SDN 10 Sungai

Gagasan pemecahan isu yang diangkat pada kegiatan aktualisasi ini adalah pembuatan daftar simak laporan desain pelimpah untuk mempermudah kontrol persetujuan desain

Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai remanensi dan koersivitas intrinsik yang tinggi sehingga akan dihasilkan nilai energi produk maksimum (BH) maks yang tinggi dari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan memori siswa pada siklus I sebesar 38,89% meningkat menjadi 63,89% pada siklus II, (2) Penerapan model pembelajaran