• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

35

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum

Keadaan Geografi

Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Sumatera Barat. Kabupaten ini terletak di bagian Timur wilayah Propinsi Sumatera Barat atau 124 km dari Kota Padang dan memiliki luas wilayah 3.354,30 km2. Kabupaten Lima Puluh Kota dikelilingi oleh empat kabupaten dan satu propinsi, yaitu : sebelah Utara-Timur berbatasan dengan Propinsi Riau, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Sijunjung dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman (Lampiran 1).

Kecamatan Harau

Peternakan Sapi Simmental Roni terletak di Desa Kota Tengah, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Kecamatan Harau memiliki luas daratan mencapai 416,80 km2. Topografi Kecamatan Harau bervariasi antara datar, bergelombang dan berbukit-bukit. Ketinggian tempat dan keadaan iklim lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Ketinggian Tempat dan Keadaan Iklim Lokasi Penelitian

No Parameter Nilai

1 Suhu rata-rata oC 23

2 Kelembaban nisbi (%) 65

3 Ketinggian tempat (m dpl) 498 4 Curah Hujan (mm/th) 1.308-3.333

Sumber : BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2011)

Kecamatan Harau memiliki dua gunung yang tidak aktif lagi yaitu: Gunung Bungsu (1241 m dpl) dan Gunung Sanggul (1459 m dpl). Daerah tersebut memiliki ketinggian rata-rata 498 meter diatas permukaan laut. Suhu lingkungan pada siang hari berkisar 22-24 oC, sedangkan pada malam hari berkisar antara 16-20 oC dengan tingkat kelembaban 65%. Curah hujan relatif tinggi yaitu sekitar 1.308-3.333 mm/tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin (2006) yaitu sapi potong dapat

(2)

tumbuh optimal di daerah dengan suhu ideal yaitu 17-270 oC dan lokasi yang ideal untuk sapi potong adalah lokasi yang bercurah hujan 800-1.500 mm/tahun.

Jumlah penduduk Kabupaten Lima Puluh Kota adalah 336.067 jiwa. Sumber mata pencaharian di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 2. Sumber mata pencaharian masyarakat yang paling banyak adalah sebagai petani dan peternak yaitu sebesar 80%. Hal ini sangat mendukung perkembangan peternakan di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Tabel 2. Sumber Mata Pencaharian Masyarakat di Kabupaten 50 Kota

Sumber Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Nilai (%)

Petani dan peternak 137.716 80

Pedagang 25.821 15

Pegawai Negeri Sipil/TNI/Polri 5.164 3

Jasa dan buruh lainnya 3.444 2

Total 172.145 100

Sumber : BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2010)

Kabupaten Lima Puluh Kota mempunyai potensi yang dapat diandalkan dalam bidang pertanian untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Penggunaan lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penggunaan Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

Sawah 22.286 6,64 Pekarangan 8.325 2,48 Tegalan/Ladang 33.395 9,96 Penggembalaan/Padang Rumput 23.208 6,92 Hutan Rakyat 53.797 16,04 Hutan Negara 139.432 41,57 Perkebunan 47.971 14,30 Lain-lain 7.016 2,09 Total 313.430 100,00

(3)

37 Total luas sawah 22.286 ha dengan kisaran produksi 34.228 ton Gabah Kering Giling (GKG) setiap tahun berhubungan dengan produksi sisa-sisa pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak sapi seperti jerami padi (Dinas Pertanian Kabupaten Lima Puluh Kota, 2011).

Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota sebagian besar digunakan sebagai lahan pertanian produktif. Jenis penggunaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan sapi potong adalah hutan rakyat, perkebunan, sawah, penggembalaan/padang rumput dan tegalan/ladang. Ternak sapi yang dipelihara di lahan perkebunan sawit akan menguntungkan.

Lahan sawah mayoritas ditanami padi dengan periode tanam tiga kali per tahun. Lahan tegalan ditanami dengan tanaman palawija periode tanam dua kali per tahun. Hal ini akan berpotensi terhadap ketersediaan pakan.

Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian

Umur peternak yang menjadi responden yaitu 32 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur peternak masuk dalam kisaran umur produktif. Umur produktif menurut Djenen (1982) berkisar antara 20-40 tahun. Adiwilaga (1973) menyatakan bahwa peternak yang berada pada usia produktif akan lebih efektif dalam mengelola usahanya bila dibandingkan dengan peternak yang lebih tua.

Tingkat pendidikan berperan penting dalam pengembangan sumber daya masyarakat. Peternak responden memiliki latar belakang Sekolah Tinggi Keperawatan di Pekanbaru, Riau. Mosher (1983) menyatakan bahwa pendidikan merupakan faktor pelancar yang dapat mempercepat pembangunan pertanian. Pendidikan yang baik akan memudahkan seorang peternak dalam mengadopsi teknologi baru, mengembangkan ketrampilan dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.

Beberapa alasan beternak Sapi Simmental adalah sebagai sumber penghasilan, turun temurun dan sebagai upaya untuk pengembangan bibit unggul di Kecamatan Harau. Pendapatan rata-rata peternak dari hasil penjualan sapi adalah di atas lima juta rupiah hingga mencapai dua puluh juta per bulan. Pendapatan ini dihitung berdasarkan hasil penjualan sapi umur 6-12 bulan dan jumlah anak yang dihasilkan dibagi per bulan. Pendapatan yang di atas rata-rata menjadi motivasi bagi

(4)

peternak lain untuk lebih mengembangkan usaha ternak sapi khususnya peternak yang ada di sekitar Peternakan Roni.

Populasi Sapi Potong

Budidaya ternak yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Harau antara lain sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, ayam ras petelur, ayam buras, ayam pedaging dan puyuh. Populasi ternak sapi potong dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya menduduki peringkat pertama pada tahun 2009 di Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu sebanyak 63.214 ekor. Perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota meningkat selama tiga tahun terakhir terutama sapi betina yaitu sebesar 12,19%.

Ternak yang dipelihara di Kabupaten Lima Puluh Kota berasal dari berbagai wilayah di Pulau Sumatera. Ternak ruminansia besar berasal dari daerah-daerah di Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Bengkulu, sedangkan ternak unggas sebagian didatangkan dari Sumatera Utara. Beberapa daerah tujuan hasil ternak yang ada di Kabupaten 50 Kota yaitu Propinsi Riau, Bukittinggi, Payakumbuh, Kepulauan Riau, Palembang, Bangkulu, Sumatera Utara, Agam, Jambi dan Pekanbaru.

Jumlah pemotongan ternak ruminansia besar yaitu sapi potong menurun dari tahun 2008 sebanyak 4.655 ekor menjadi 3.955 pada tahun 2009. Pemotongan yang dilakukan terutama pada sapi betina sebesar 1.048 ekor.

Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu sentra produksi daging ruminansia besar di Sumatera Barat. Total produksi daging di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2009 yaitu 909.428 kg. Sapi potong menyumbang produksi daging paling besar yaitu 828.128,07 kg.

Keadaan Ternak Sapi di Peternakan Roni

Peternakan Sapi Simmental Roni berdiri sejak tahun 2001. Jumlah ternak sapi ketika pertama kali dipelihara yaitu 2 ekor betina dara. Pertambahan ternak selama satu tahun terakhir yaitu 37 ekor. Jumlah ternak sapi yang dipelihara saat ini yaitu jantan pedet 1 ekor, betina dewasa 28 ekor, betina muda 4 ekor dan betina pedet 10 ekor. Perbandingan jumlah ternak sapi betina yang dipelihara lebih banyak daripada pejantan karena dapat memberi nilai tambah berupa anak. Sapi jantan umumnya dijual pada umur 6-12 bulan. Bibit ternak tahun pertama pemeliharaan berasal dari

(5)

39 pasar ternak yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Sapi dikawinkan dengan cara kawin IB. Semen pejantan yang digunakan yaitu bangsa Simmental dan berasal dari Balai Inseminasi Buatan Kabupaten Lima Puluh Kota.

Produktivitas Ternak Sapi

Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu. Produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert, 1978).

Reproduksi

Karakteristik reproduksi indukan Sapi Simmental dapat dilihat pada Tabel 4. Umur berahi pertama Sapi Simmental di Peternakan Roni sesuai dengan hasil survei Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu 12 bulan. Hal ini disebabkan pemberian pakan yang berkualitas selama pemeliharaan. Selain itu, suhu lingkungan juga memiliki peranan penting terhadap umur berahi. Suhu di Peternakan Roni rata-rata 23 oC sesuai dengan suhu nyaman ternak Sapi Simmental yaitu <25 oC, sehingga kapasitasi sperma pada saluran reproduksi betina dapat berjalan normal (Hafez dan Hafez, 2000).

Tabel 4. Karakteristik Reproduksi Indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni Sifat Reproduksi Peternakan Roni Literatur

Umur berahi pertama (bulan) 12 12 a)

Umur kawin pertama (bulan) 18 24a)

Lama berahi (jam) 20 17-20a)

Panjang siklus berahi (hari) 18 18-21a)

Service per conception 1,2 1,5-1,76b)

Angka kebuntingan (%) 82 72,22b)

Lama kebuntingan (bulan) 9 285a)

Persentase kelahiran (%) 90 94,44b)

Calf crop (%) 95 65-85a)

Umur kematian anak (%) - -

Berahi kembali setelah melahirkan (bulan)

2-3 3c)

Selang beranak (hari) 365 450c)

Beranak pertama (bulan) 28 31-32c)

Sumber : a)Dinas Peternakan Kabupaten 50 Kota (2004), b) Nuryelliza et al. (2008), c)Iskandar dan Arfa’i (2007)

(6)

Umur kawin pertama terjadi pada umur 18 bulan. Umur kawin pertama sapi di Peternakan Roni lebih cepat dibandingkan laporan Dinas Peternakan Kabupaten 50 Kota (2004) yaitu 24 bulan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemberian pakan bernutrisi, manajemen pemeliharaan yang baik dan penataan lingkungan yang nyaman bagi ternak sehingga dewasa tubuh yang dicapai lebih cepat.

Sapi betina muda yang diberi nutrisi yang baik mencapai pubertas pada umur 9 bulan dan dikawinkan pada umur 18 bulan (Djanuar, 1985). Faktor utama yang mempengaruhi umur berahi pertama di Peternakan Roni yaitu bangsa sapi dan keadaan pakan yang berkualitas. Seekor ternak betina akan mengalami kesulitan beranak jika dikawinkan pada saat pubertas (Nuryadi, 2007).

Lama berahi dan panjang siklus berahi berdasarkan hasil wawancara masing-masing adalah 20 jam dan 18 hari. Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota (2004) adalah 18-21 hari dengan lama berahi yaitu 17-20 jam. Lama berahi setiap jenis ternak berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, musim, ketersediaan pejantan dan bobot badan.

Nuryadi (2007) menyatakan bahwa keberhasilan perkawinan pada induk sapi ditunjukkan dengan adanya kebuntingan dan dipengaruhi oleh faktor kesuburan induk betina, kesuburan pejantan dan tatalaksana perkawinan. Nilai S/C yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 1,2. Nilai ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Nuryelliza (2008) yaitu 1,5-1,76. Nilai yang rendah mengindikasikan bahwa pelayanan IB yang dibutuhkan sapi sampai terjadi kebuntingan hanya sedikit.

Angka kebuntingan Sapi Simmental di Peternakan Roni menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Nuryelliza (2008) yaitu 82%. Penelitian Nuryelliza (2008) menunjukkan angka kebuntingan sebesar 72,22%. Angka kebuntingan yang tinggi di Peternakan Roni dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kesuburan ternak, kondisi pada saat inseminasi dan deteksi estrus yang tepat. Menurut Tarmudji et al. (2001) secara normal suatu kelompok ternak sapi yang dikelola dengan baik menunjukkan angka konsepsi 65-70%.

Calf crop adalah persentase jumlah anak saat lepas sapih yang hidup dalam

satu tahun dari seluruh induk yang diteliti. Calf crop ternak Sapi Simmental di peternakan Sapi Simmental Roni adalah 95%. Faktor yang mempengaruhi tingginya

(7)

41

calf crop di Peternakan Roni adalah ketepatan waktu kawin, kasus penyakit jarang

ditemukan dan pakan yang diberikan berkualitas baik.

Waktu yang diperlukan oleh induk untuk berahi kembali setelah melahirkan di Peternakan Roni relatif lebih cepat dibandingkan dengan hasil penelitian Iskandar dan Arfa’i (2007) yaitu 2-3 bulan. Hal ini disebabkan oleh hijauan pakan yang tersedia baik jumlah maupun mutu sesuai dengan kondisi setempat (musim hujan). Gejala estrus kembali setelah melahirkan diduga disebabkan oleh kondisi tubuh, lingkungan, pemeliharaan dan ketersediaan pakan (Yanhendri, 2007). Pakan berpengaruh yang sangat besar terhadap penundaan aktifitas estrus setelah melahirkan. Perbaikan pakan harus dilakukan pada triwulan terakhir dari kebuntingan, sapi yang kehilangan berat badan yang ekstrim sering gagal memperlihatkan gejala estrus (Spitzer, 1987).

Selang beranak Sapi Simmental di Peternakan Roni lebih cepat dibandingkan laporan Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota (2004) yaitu 365 hari. Selang beranak pada sapi sangat ditentukan oleh kemunculan estrus setelah melahirkan, perkawinan yang terjadi setelah melahirkan dan jumlah perkawinan setelah melahirkan. Pada sebagian ternak, aktifitas menyusui akan menunda terjadinya estrus kembali setelah melahirkan. Selain itu selang beranak di peternakan ini juga dipengaruhi oleh lingkungan dan penerapan manajemen pemeliharaan yang cukup baik.

Produksi

Sapi Simmental termasuk sapi yang memiliki bobot lahir yang tinggi dibandingkan dengan bangsa sapi potong Hereford dan Angus. Bobot lahir Sapi Simmental di Peternakan Roni adalah sebesar 35 kg. Menurut Rincker et al. (2006) bobot lahir Sapi Simmental bisa mencapai 44,1 kg. Rendahnya bobot lahir disebabkan oleh manajemen pemeliharaan induk bunting yang kurang baik.

Bobot sapih adalah bobot anak sapi pada saat dipisahkan dari induknya (Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih anak sapi di Peternakan Roni yaitu 125-175 kg dengan umur sapih 7 bulan. Bobot sapih yang tinggi dipengaruhi oleh bobot lahir dan manajemen pemeliharaan anak, terutama pemberian pakan selama penyapihan.

Performa produksi ternak sapi dapat dilihat dan diukur dengan mengetahui ukuran tubuh dan kondisi ternak. Ukuran tubuh dianggap sebagai indikator penting

(8)

dalam menentukan kematangan ternak. Bangsa Sapi Simmental merupakan bangsa tipe kerangka besar. Sapi dengan tipe kerangka besar memiliki perdagingan yang lebih banyak dibandingkan sapi tipe kerangka kecil (Williams, 1982).

Ukuran Tubuh

Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengetahui produktivitas ternak adalah ukuran tubuh (Sariubang dan Tambing, 2008). Rataan ukuran tubuh Sapi Simmental di Kecamatan Harau disajikan pada Tabel 5. Peningkatan ukuran tubuh terutama pada tinggi pinggul dan tinggi pundak yang relatif lebih tinggi pada kelompok umur dua tahun yaitu 146,78±12,71 cm dan 145,91±14,51 cm, sedangkan pada umur >2 tahun sapi tersebut menunjukkan laju pertumbuhan yang menurun.

Tabel 5. Rataan Ukuran Tubuh Sapi Simmental di Peternakan Roni, Kecamatan Harau

Peubah Kelompok Umur

I0 (<12 bulan) I1 (12-24 bulan) I2 (>25 bulan) --- x ± sb (KK) --- Panjang Badan (cm) 103,47±8,41 8,13 148,62±13,73 9,24 159,39±3,92 2,46 Dalam Dada (cm) 50,86±15,30 30,08 96,36±5,29 5,49 106,43±10,42 9,79 Lingkar Pinggul (cm) 115,26±22,56 19,57 166,05±11,67 7,03 185,37±12,21 6,58 Lingkar Dada (cm) 116±10,82 9,27 167,60±9,43 5,63 193,77±8,66 4,47 Tinggi Pinggul (cm) 93,42±17,55 18,78 146,78±12,71 8,66 158,58±8,35 5,27 Tinggi Pundak (cm) 94,81±18,62 19,64 145,91±14,51 9,95 159,16±8,19 5,15 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%), sb = simpangan baku

Deni (2006) menyatakan bahwa tinggi pundak dan tinggi pinggul Sapi Simmental × Bali (SimBa) umur dua tahun yaitu 111,4±2,0 cm dan 106,1±1,9 cm. Pertumbuhan dan perkembangan tulang tercapai sebelum ternak dewasa kelamin. Setelah sapi mencapai dewasa kelamin pertumbuhan tulang akan terhenti karena osifikasi tulang rawan sudah sempurna (Field and Taylor, 2002).

(9)

43 Menurut Williams (1982) sapi tipe kerangka besar memiliki tingkat perdagingan yang lebih besar daripada sapi tipe kerangka kecil. Ukuran lingkar dada Sapi Simmental×Bali betina pada umur 1, 2 dan >3 tahun masing-masing adalah 131,5±7,1; 143±5,4 dan 157,5±3,6 cm (Deni, 2006). Bobot potong yang semakin tinggi menyebabkan perlemakan dan perdagingan di daerah dada semakin meningkat (Sariubang dan Tambing, 2008).

Koefisien keragaman berdasarkan Tabel 5 digunakan untuk melihat tingkat keragaman ukuran tubuh sapi pada setiap kelompok, semakin tinggi nilai koefisien keragaman berarti ukuran tubuh sapi pada kelompok tersebut beragam. Tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien keragaman paling tinggi adalah kelompok ternak I0

yaitu 8,13–30,08%. Tingkat keragaman yang tinggi pada kelompok umur I0

disebabkan sapi masih dalam fase pertumbuhan. Sapi mencapai dewasa tubuh pada umur dua tahun dan pada fase tersebut pertumbuhan otot mencapai klimaks dengan laju pertumbuhan yang mulai menurun (Philips, 2001).

Evaluasi Penerapan Good Farming Practices (GFP)

Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2000) Good Farming Practices (GFP) meliputi empat aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan. Hasil penerapan aspek Good Farming Practices di Peternakan Roni, Harau-Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Lampiran 5 sampai 8.

Sarana

Penerapan GFP secara keseluruhan belum memenuhi persyaratan seperti pemeriksaan baku mutu air dan kualitas air secara berkala. Selain itu, alat penerangan (lampu) pada setiap kandang tidak ada. Berdasarkan GFP Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2000) aspek sarana yang baik meliputi lokasi, lahan, penyediaan air dan alat penerangan, bangunan, alat dan mesin peternakan, bibit/bakalan, pakan, obat hewan dan tenaga kerja sesuai dengan persyaratan peternakan nasional.

Lokasi Peternakan Roni sudah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD). Letak dan ketinggian lokasi terhadap wilayah sekitarnya sudah memperhatikan lingkungan dan topografi sehingga kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan.

(10)

Peternakan Roni terletak sekitar 2 km dari jalan raya dan memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 489 m di atas permukaan laut.

Bangunan yang diperlukan untuk usaha peternakan sapi potong yaitu kandang pemeliharaan, kandang isolasi sapi yang sakit, gudang pakan dan peralatan, barak pekerja, unit penampungan dan pengolahan limbah. Kandang isolasi ternak yang sakit tidak terdapat di Peternakan Roni. Hal ini dapat membahayakan ternak sapi yang sehat. Menurut Office International des Epizooties (OIE) (2006) bangunan dan fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di dalamnya dapat menjadi sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan ternak secara langsung dan tidak langsung.

Konstruksi bangunan di Peternakan Roni belum memenuhi standar GFP. Bangunan kandang di Peternakan Roni terbuat dari bahan yang mudah patah sehingga anak sapi khususnya dapat dengan mudah keluar dari kandang.

Letak kandang dan bangunan lain menurut GFP harus ditata sedemikian rupa agar memudahkan karyawan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan oleh limbah yang dihasilkan. Kandang ternak cukup sirkulasi udara, sehingga di dalam kandang akan selalu terdapat udara yang segar, bersih dan sehat.

Ventilasi kandang yang sempurna menguntungkan ternak di dalam kandang, karena ventilasi bermanfaat untuk mengeluarkan udara kotor dari dalam kandang dan menggantinya dengan udara segar dari luar kandang. Letak kandang sebagian besar menghadap ke arah sinar matahari. Sinar matahari pagi banyak mengandung sinar ultraviolet. Sinar matahari pagi sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan ternak karena dapat membantu proses pembentukan vitamin D, membunuh bibit penyakit dan dapat mempercepat pengeringan kandang yang basah akibat air kencing dan lainnya. Kandang yang basah menyebabkan kelembaban. Kelembaban kandang berpengaruh terhadap kesehatan ternak, pertumbuhan dan perkembangan bibit penyakit. Kelembaban kandang disebabkan oleh beberapa hal yaitu berasal dari tubuh ternak itu sendiri, kotoran dan air kencing serta percikan air minum.

Usaha Peternakan Roni hanya memiliki satu pintu masuk yang tidak dilengkapi dengan kolam desinfektan, sehingga setiap tamu dan kendaraan yang

(11)

45 masuk peternakan tidak didesinfektan. Hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit dari luar. Unit penampungan limbah berlokasi terlalu dekat dengan perkandangan, sehingga dapat menyebabkan pencemaran penyakit terhadap ternak.

Bakalan sapi yang dipelihara berasal dari pasar ternak Kabupaten Lima Puluh Kota yang terbebas dari penyakit menular. Pemerikasaan kesehatan hanya dilakukan sebelum ternak sampai di peternakan.

Peralatan di Peternakan Roni sesuai dengan kapasitas/jumlah sapi yang dipelihara. Alat dan mesin yang perlu disediakan yaitu timbangan sapi, chopper (pemotong rumput), tempat bongkar muat yang memadai.

Gambar 3. Alat Transportasi yang Digunakan di Peternakan Roni Pakan merupakan semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk kehidupannya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin (Parakkasi, 1999). Darmono (1993) menjelaskan bahwa bahan pakan yang baik adalah bahan pakan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta tidak mengandung racun yang dapat membahayakan ternak.

Air minum pada ternak sapi diberikan secara ad libitum. Kebutuhan air tergantung pada kondisi iklim, bangsa sapi, umur dan jenis pakan yang diberikan.

Pakan yang diberikan adalah hijauan (rumput/jerami) dan konsentrat (ampas tahu/dedak). Jumlah jerami yang diberikan untuk induk yaitu ± 30kg/ekor/hari dan ampas tahu sebanyak ± 6kg/ekor/hari. Menurut GFP pemberian pakan hijuan segar minimal 10% dan konsentrat 0,4% dari bobot badan.

(12)

Pakan diberikan sebanyak 3 kali/hari. Ampas tahu diberikan pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00. Pemberian jerami fermentasi dilakukan pada siang dan sore hari yaitu sekitar pukul 10.30-11.00 dan pukul 16.00-17.00. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2008) yaitu pemberian konsentrat yang dilakukan 2 jam sebelum pemberian hijauan akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik, karena konsentrat relatif banyak mengandung pati sebagian besar dicerna mikroorganisme rumen pada saat hijauan mulai masuk ke dalam rumen. Konsumsi pakan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu lingkungan, palatabilitas, selera, satatus fisiologi, kandungan nutrisi, bentuk pakan dan bobot tubuh.

Jerami padi terlebih dahulu dipotong-potong dan dicampur dengan urea. Penggunaan urea pada jerami basah yaitu sebanyak 7,5 kg campuran urea untuk setiap 300 kg jerami basah. Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO

(Parakkasi, 1999). Pencampuran ini bertujuan agar ikatan silika dan liginin pada selulosa dapat dilonggarkan, sehingga jerami mudah dicerna dan memperkaya jumlah nitrogen (N) dalam jerami (Agus, 2003).

Mineral dan vitamin diberikan kepada ternak sapi dalam jumlah terbatas. Pemberian mineral dan vitamin dilakukan terhadap ternak terutama ternak yang sedang bunting dan menyusui. Penggunaan mineral dan vitamin yaitu dicampur dengan ampas tahu sebanyak 0,01%. %. Tillman et al. (1981) menyatakan bahwa mineral memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai bahan pembentukan tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan keras dan kuat, mempertahankan keadaan koloidal dari beberapa senyawa dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam basa tubuh, aktivator sistem enzim tertentu, komponen dari suatu enzim dan mempunyai sifat yang spesifik terhadap kepekaan otot dan saraf.

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kebutuhan zat makanan induk sapi pedaging yaitu bahan kering (5,5-11,6%), konsentrat (0-15% dalam ransum), protein kasar (5,9-9,2%). Menurut Agus (2003) kandungan nutrisi jerami padi fermentasi yaitu bahan kering (67,08%), protein kasar (9,66%), serat kasar (32,04%), lemak kasar (1,73%), BETN (39,57%) dan total nutrient tercerna (54,42%). Kandungan zat makanan pada jerami padi dan ampas tahu yang digunakan di Peternakan Roni dapat dilihat pada Tabel 6.

(13)

47 Tabel 6. Kandungan Zat Makanan pada Bahan Pakan pada Peternakan Roni di

Kecamatan Harau

Bahan Pakan Nutrien

BK Abu PK SK LK Beta-N

Jerami Padi 95,2 18,60 8,84 41,67 1,77 29,09 Ampas Tahu 32,51 4,5 21,28 24,63 6,52 43,40

Keterangan : Hasil Analisa di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Peternakan, FAPET, IPB (2011).

Karyawan yang bekerja pada usaha peternakan sapi potong menurut GFP harus berbadan sehat. Tenaga kerja di Peternakan Roni berjumlah dua orang dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sistem pemberian gaji berdasarkan kesepakatan bersama antara pemilik dan karyawan.

Proses Produksi

Pemilihan sapi bakalan yang akan dipelihara di Peternakan Roni berasal dari bangsa Sapi Simmental dengan kisaran umur 1-2 tahun. Penggunaan sapi ini diharapkan mampu memberikan keuntungan maksimal bagi peternak.

Usaha Peternakan Roni didirikan dengan merencanakan jumlah kandang. Hal ini sesuai dengan GFP bahwa setiap usaha peternakan sapi potong yang akan didirikan harus merencanakan jumlah kandang yang akan dibangun sesuai dengan jumlah dan bangsa sapi yang akan dipelihara. Sistem kandang yang digunakan adalah individu/tunggal dengan luas 6 m2.

Tempat penampungan limbah (kotoran) dibuat terpisah dengan kandang ternak. Jarak kandang dengan tempat penampungan limbah terlalu dekat. Jarak seharusnya 25 m. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan ternak. Pemanfaatan limbah (kotoran) di Peternakan Roni digunakan sebagai pupuk. Pupuk digunakan untuk rumput dan beberapa tanaman lainnya seperti cabai, kopi coklat dan pepaya yang ada di sekitar peternakan.

Usaha peternakan sapi potong berdasarkan GFP berlokasi di daerah yang bebas endemik penyakit zoonis. Semenjak peternakan ini berdiri, ternak yang dipelihara tidak pernah menderita penyakit zoonis. Pemberian vaksin dilakukan di Peternakan Roni namun tidak ada pencatatan tehadap pelaksanaan dan jenis vaksin yang digunakan.

Menurut GFP lokasi usaha peternakan tidak mudah dimasuki binatang liar dan bebas dari hewan piaraan lainnya yang dapat menularkan penyakit. Kondisi di

(14)

Peternakan Roni yaitu mudah dimasuki binatang liar seperti anjing yang dipelihara masyarakat sekitar. Perlu peningkatan pengawasan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan.

Peternakan Roni tidak melakukan desinfeksi kandang dan peralatan dengan pemakaian insektisida tabur dan cair. Ternak yang sakit tidak dikandangkan secara khusus. Hal ini memungkinkan adanya penularan penyakit terhadap ternak sehat. Pembagian kerja di Peternakan Roni tidak dilakukan sehingga setiap orang bebas keluar masuk kandang ternak dan dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit. Usaha Peternakan Roni tidak memiliki unit keamanan dan fasilitas desinfeksi untuk karyawan dan kendaraan tamu.

Penanganan sapi potong di Peternakan Roni telah memenuhi standar GFP. Sapi yang dijual yaitu berumur 6-12 bulan. Ternak sapi yang akan dijual bebas dari antibiotik dan hormon serta tidak cedera atau cacat.

Pelestarian Lingkungan

Bangunan kandang di Peternakan Roni ditanami dengan pepohonan. Pepohonan digunakan dalam upaya pencegahan erosi di wilayah sekitar peternakan. Selain itu, pepohonan menyebabkan udara menjadi sejuk dan segar pada saat cuaca panas.

Pengawasan

Aspek pengawasan meliputi sistem pengawasan, sertifikasi, monitoring dan evaluasi, pencatatan dan pelaporan. Secara keseluruhan penerapan GFP pada aspek pengawasan belum memenuhi standar. Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota tidak melakukan pengawasan mutu terpadu, monitoring dan evaluasi data. Peternakan Roni hanya memproduksi Sapi Simmental untuk tujuan Pulau Sumatera dan sekitarnya. Selain itu di Peternakan Roni juga tidak dilakukan pencatatan secara lengkap, pembuatan laporan tertulis dan teknis berkala, sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dinas setempat tidak bisa dengan cepat mengadakan perbaikan/ perubahan.

Gambar

Tabel 3. Penggunaan Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota
Tabel 4. Karakteristik Reproduksi Indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni
Tabel  5.  Rataan  Ukuran  Tubuh  Sapi  Simmental  di  Peternakan  Roni,  Kecamatan  Harau

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penerimaan Peserta Didik Baru

Dari data perhitungan hasil pemboran quarry yang diperoleh, kandungan kadar CaO dalam batugamping telah memenuhi standar bahan baku utama pembuatan semen portland

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dikenal sejak lama oleh masyarakat. Sebuah pesantren biasanya identik dengan para santri yang selalu mengenakan peci,

Berdasarkan hasil dan pembahasan diperoleh simpulan bahwa pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa self-esteem tinggi yaitu siswa dapat menggunakan

Mengacu pada penelitan Arbenethy apabila dikaitkan dengan implementasi sistem akrual basis maka diharapkan dengan adanya implementasi sistem akrual basis

Bobot media ternyata turut berperan pada produktivitas jamur shiitake. Peningkatan hasil panen tubuh buah jamur mencapai rata-rata 73,85% oleh jamur yang ditumbuhkan pada

pengaruh yang signifikan antara kualitas pelayanan terhadap keputusan memilih Kopontren atau lembaga keuangan syariah, dan dari hasil koefisien regresi diperoleh

Pada penelitian ini larutan edible coating yang diaplikasikan pada dodol rumput laut merupakan campuran dari 2 larutan coating yaitu coating karagenan dan